Pesta Ulang Tahun
Suara jerit dan teriakan terdengar memenuhi ruang depan. Saat aku mengintip ke sana, ruangan dipenuhi kertas warna-warni yang sengaja dibuat panjang dan spiral sambung menyambung yang digantung dari sudut ke sudut. Ada tulisan selamat ulang tahun terpasang di salah satu dinding. Suasana meriah dan ceria. Ruangan penuh gelak tawa, celotehan beragam anak-anak usia sepuluh tahun ke bawah yang memenuhi ruangan dengan beraneka warna pakaian.
Kuangkat tangan, melambaikan tangan ke arah kedua anakku, Dadan dan Neng, yang juga melambaikan tangannya. Ada topi ulang tahun di kepala mereka. Bahagia mereka. Sibuk lari kesana kemari berbarengan dengan teman-temannya.
Acara belum dimulai karena aku lihat masih ada anak-anak yang baru datang bersama orang tuanya. Sementara di teras depan rumah penuh dengan penonton maupun para pengantar. Sama meriahnya.
Mundur aku menuju dapur rumah ini. Suasana di sana lebih meriah. Dapur dipenuhi tawa dan obrolan mesum dari komunitas emak-emak yang sedang mempersiapkan konsumsi acara ulang tahun.
"Ceu,"panggil seseorang kepadaku.
Aku menoleh dan mendekatinya.
"Punten bawa makanan ini ke kamar,"ucapnya.
Kusambut keranjang yang berisi penuh kue itu dan melangkah aku menuju kamar yang ditunjuknya. Pintu kamar itu tertutup. Setelah aku ketuk dan tidak ada sambutan dari dalam, aku buka pintu itu. Astaga! Ada sang kekasih di sana. Sudah rapi dia. Gagah sekali.
Sebagai tuan rumah, Amir pasti harus terlihat sempurna hari ini. Ada kamera di tangannya. Kamera yang kami beli dan digunakannya untuk memotret aku ketika berada di Kambang Iwak, sebelum kami kencan di hotel kenangan itu.
Dibawah tatapannya, melangkah masuk aku. Sudah banyak keranjang kue di sana, dibawah kolong tempat tidur. Tersenyum dia dan aku pun menyambutnya. Merunduk aku untuk meletakkannya keranjang kue yang ada di tanganku berdampingan dengan keranjang-keranjang lainnya. Amir ikut merunduk, pura-pura ikut merapikan keranjang-ketanjangnya.
"Amir gagah sekali,"pujiku pelan agar tidak terdengar orang lain.
"Aku 'kan selalu gagah, Ceu."Ge-er dia.
"Amir memang selalu gagah,"balasku sembari tetap merapikan kue-kue yang memang sudah rapi itu.
"Makasih atas pujiannya, bikin si otong bangun."Genit dia berkedip.
Tersenyum sekilas aku dan balas mengedipkan mata sekalian aku buka lebar mulutku dengan tangan diidepannya berlagak sedang mengulum sesuatu. Muah-muah!
Terdengar langkah mendekat. Aku menoleh. Tetnyata Juju yang masuk. Baru mandi dia. Tubuh telanjangnya hanya berselimut handuk.
"Kuenya sudah semua, Ceu?"Dia bertanya padaku.
"Ini lebihannya, Ju,"jawabku."Kue-kue untuk tamu undangan sudah diwadahi di piring."
"Bagus 'kan pakaian yang Juju beli, Pa?"Juju mengambil pakaian dari hangger."Seragam dengan pakaian Juju."
Melengos aku melihat sainganku itu berlenggak-lenggok memamerkan pakaiannya. Berdiri aku. Ketika hendak melangkah keluar kamar, Juju memanggilku. Kutatap dia. Menunggu.
"Serasi tidak kami?"Juju memeluk erat suaminya yang adalah kekasihku.
Tersenyum aku, mengangguk untuk menyatakan persetujuan. Padahal muak aku melihat Juju yang berjinjit untuk mencium pipi suaminya. Lebay, kata anak muda sekarang. Sementara Amir yang berlindung dibelakang tubuh istrinya hanya tersenyum sumbang. Awas kau, ya, batinku.
Dengan hati yang panas, melangkah aku keluar kamar. Di dapur hanya ada beberapa orang karena yang lainnya sudah berada di depan, ikut menonton perayaan ulang tahun itu.
"Tekwan sudah masak?"Sebagai ketua seksi konsumsi, aku bertanya kepada mereka yang sedang mengobrol itu.
"Tinggal meracik saja, Ceu,"jawab salah seorang dari mereka.
"Kue-kue?"
"Sudah siap semua."
Tersenyum aku. Lalu,"Saya tinggal dulu, ya."
"Mau kemana, Ceu?"
"Mau mandi, mau pakai baju bagus, mau cantik-cantik,"gurauku,"'Kan mau ikut pesta. Mau nyanyi satu album."
Hahaha! Tertawa mereka. Padahal tidak tahu mereka rasa kesal ini akibat perilaku lebai Juju. Segera aku keluar rumah itu dan melangkah menuju rumahku. Kuambil handuk dan dengan membawa seember air, aku masuk ke kamar mandi dan segera menelanjangi diri. Semoga dengan membasahi diri, panas hatiku menjadi adem.
Kusiram tubuh telanjangku. Segar. Kusabuni tubuh ini. Buah dada mengkalku tak luput aku sabuni. Dengan sabun, aku mainkan bulu-bulu di kelaminku. Sudah harus dipotong, nih, gumamku. Sudah panjang.
Musik berdentum keras dan terdengar suara seorang lelaki dikejauhan sana. Acara ulang tahunnya sudah mulai rupanya. Sambil terus menyabuni tubuh telanjangku, pelan kuikuti lagu selamat ulang tahun yang terdengar.
Ada orang masuk ke bilik sebelah, bilik WC. Perlu diketahui bahwa kamar mandi ini berada di luar rumah. Karena keluarga adik iparku belum sanggup membangun kamar mandi sendiri, suamiku berinisiatif membangunnya di belakang rumah, menyatu dengan rumahku, agar kamar mandi dapat digunakan bersama dengan keluarga adik iparku.
Bangunan kamar mandinya terbilang sederhana. Lantainya kayu sementara dindingnya hanya ditutupi seng. Bilik WC terpisah dari kamar mandi agar penggunanya tidak rebutan memakainya. Sedang untuk sarana air mandi, airnya harus diambil dari kambang, sebutan orang Palembang untuk kolam darurat penampungan air, yang berada jauh di sisi lain halaman belakang rumahku.
Nyanyianku terhenti karena aku merasa ada mata yang mengintip ke dalam kamar mandi, mengintip aku yang telanjang, aku yang sedang mandi. Perlahan mataku beredar mencari celah yang kuperkirakan menjadi tempat orang disebelahku mengintip. Dibagian bawah, tepat mengarah ke pahaku, kutemukan lubang bekas paku yang lumayan lebar untuk dapat leluasa orang itu mengintip. Kututupi pahaku dengan kedua tangan. Bergeser aku menjauhi lubang itu. Biarlah nanti aku beritahu suamiku agar dia menutup lubang itu.
Ah, hilang sudah keinginanku untuk terus membasahi diri. Risih karena mata itu terus mengintip ke arahku. Kuambil handuk dan menutupi diriku, tapi.... perlahan terdengar pelan ketukan di dinding kamar mandi. Amirkah yang disebelahku itu? Amirkah yang sengaja mengintip aku.
Dengan ragu aku membalasnya. Sama pelannya. Terbit senyumku ketika ketukanku berbalas pula. Kini lebih jelas.
Amir sialan! Maka kulepaskan kembali handuk. Dengan menghadap ke arah dinding kamar mandi itu, tepat didepan lubang itu, aku kembali telanjang. Sengaja aku perlihatkan area intimku untuknya. Biar konak dia.
Di dalam kamar mandi itu, dibawah tatapan mata sang pengintip, aku siram selangkanganku. Kusabuni selangkanganku. Mengikuti irama suara anak-anak yang bernyanyi di acara pesta itu, aku goyang-goyangkan pantatku, ke depan dan ke belakang dan Amir pasti kelonjotan melihatnya.
Tidak lama aku menari. Kuambil handuk dan mengeringkan tubuhku yang basah. Setelah aku anggap kering, aku lilitkan tubuh telanjangku dengan handuk. Lantas kuambil pakaianku yang aku gantung dan kemudian keluar aku dari kamar mandi. Melewati bilik WC, tempat si pengintip berada, aku ketuk pintunya dan terus melanjutkan langkahku menuju rumahku.
Pintu kamar mandi yang aku tinggalkan terdengar membuka, tapi aku abaikan. Aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar tidurku. Rasain lo Amir, jeritku dalam hati dengan gembira.
Rumahku kosong. Anak-anakku berada di rumah sebelah, tempat pesta ulang tahun berlangsung. Leluasa aku menelanjangi diri. Berdiri aku didepan cermin, menikmati keindahan tubuh mungilku. Payudara imutku masih indah menggantung. Dan memang bulu-bulu di kemaluan sudah terlihat menghitam tanda harus aku babat.
Terdiam aku ketika terdengar suara yang teramat aku kenal di kejauhan sana. Itu Amir. Sedang berpidato dia, sedang memberi selamat untuk anaknya. Kembali panas hatiku membayangkan, bersama Juju, Amir memotong kue ulang tahunnya. Sialan.
Kembali terdengar lagu Selamat Ulang Tahun. Kali ini lebih membahana karena dibarengi oleh puluhan suara anak-anak yang hadir. Semangat mereka bernyanyi. Sambil ikut bernyanyi, kuambil gunting kecil dari laci. Kuangkat kaki kiriku dan aku letakkan di kursi. Pelan-pelan aku mulai memotongi bulu-bulu jembutku. Tidak terbiasa aku melihatnya memanjang. Kalau memanjang, sering Amir atau suamiku tersedak dan batuk-batuk karena, saat mereka mengoral memekku, ada bulu yang tercabut dan tertelan, menyangkut di tenggorokan mereka. Kasihan, kan?
Suit-suit.... ada siulan dari arah luar pintu kamar tidurku. Terkejut sangat aku. Menoleh aku dan spontan kututupi tubuh telanjangku dengan kedua tanganku, lalu dengan terburu-buru kuambil handuk yang aku sangkutkan di dudukan kursi dan cepat kupakai untuk menutupi tubuh telanjangku.
Terdengar tawa dari arah luar, tapi tidak tampak orangnya. Itu tawa Amir. Sialan!
Cepat aku sempurnakan posisi handukku agar tubuh telanjangku tertutup sempurna. Setelah itu, kukembalikan gunting kecil itu ke tempatnya. Lalu, dengan berkacak pinggang, aku menghadap ke arah pintu.
"Keluar kalau berani,"ucapku pura-pura marah,"beraninya cuma mengintip."
Dan memang benar dugaanku. Kepala Amir muncul dari balik pintu kamar, masih tertawa-tawa dia. Masih dengan pakaian seragamnya, dia masuk ke dalam kamar tidurku.
"Kenapa kemari?"tanyaku kaget."Nanti orang mencari-cari Amir."
"Salah Eceu kenapa tadi mandi. Bikin aku nafsu saja."
"Di luar ramai, Amir. Nanti ketahuan kita,"masih galau aku.
"Di rumahku yang ramai, tapi di sini tidak,"alasannya,"Orang juga sedang bergembira di sana. Kita bergembira di sini."
"Keluar Amir. Aku takut..."Kudorong dia agar keluar dari kamar tidurku.
"Eceu takut apa?"Amir berusaha menggapai handukku. Hendak ditelanjangi aku.
"Aku takut mau, Amir."
Dengan gemas dia peluk aku. Diciuminya leherku, buas. Sebenarnya ada rasa was-was di dada karena berani aku menerima Amir di kamar tidurku di siang hari bolong ini, di tengah saudara-saudaranya berkumpul di rumah sebelah, tapi keinginan untuk membalas kelakuan Juju di kamar tidurnya tadi mengalahkan ketakutanku.
Akhirnya kubiarkan dia telanjangi aku. Kubiarkan dia ciumi aku. Kubiarkan payudaraku dia remas. Kubiarkan dia jamah seluruh tubuhku, tapi tidak kubiarkan saat dia hendak melepaskan pakaian pestanya. Aku melarangnya karena ada kepuasan bagiku melihat lelaki itu, dengan pakaian seragam pesta yang dibanggakan oleh istrinya, berada dalam pelukanku. Pembalasan yang setimpal 'kan, Juju!
Mumpung pesta ulang tahun sedang seru-serunya dimana perhatian yang hadir terfokus di sana, aku tarik lepas tali pinggangnya, aku lepaskan kancing celana panjang hitamnya. Melorot turun celananya, meninggalkan celana dalamnya yang menutupi selangkangannya. Kusentuh celana dalam itu. Batang daging didalamnya sudah keras membatu. Pelan aku elus gundukan itu.
Ketika aku hendak merunduk turun, Amir menahanku. Dengan heran aku memandang dia yang menggelengkan kepalanya. Aku tahu dia juga sebenarnya khawatir dengan kencan kali ini, dia khawatir ketahuan, tapi birahinya membutakannya, sama butanya denganku.
Jadi, menurut aku ketika dia baringkan aku di tempat tidur. Dengan pantatku berada di pinggir tempat tidur, dengan dua kakiku menjuntai menjumpai lantai, Amir bersimpuh di depanku, tepat di depan memekku. Dia angkat kedua kakiku bertengger di sisi tempat tidur. Dia kuakkan lebar kedua pahaku, lalu dia datangi kemaluanku.
Menjengit aku karena bibirnya menekan memekku. Dia usel-uselkan bibirnya di bibir kemaluanku dan terangkat pantatku. Dia tusukan lidahnya ke lubang kemaluanku dan melenguh aku. Di balik segala keterburu-buruan persetubuhan kami kali ini, ada sensasi yang membuat aku begitu bergairah. Rasa takut karena adanya peluang akan diketahui orang, rasa was-was akan tertangkap basah, membuat detak jantung terpompa lebih cepat.
Terhenti lenguhanku karena Amir meninggalkan cumbuannya di memekku. Kutatap dia yang berdiri menjulang didepanku, lengkap dengan seragam pestanya yang memuakkan itu. Tersenyum aku, puas. Dia keluarkan kontolnya dari celana dalamnya. Setelah itu, dia tarik kakiku ke depan, lalu dikuakkan kedua pahaku, dan dia datangi kemaluanku.
Kutahan nafasku ketika kontol itu mencari lubang kemaluanku. Ternganga mulutku ketika kontol itu menusuk perlahan ke dalam lubang kemaluanku, membuat sesak lubang kemaluan. Lubang kemaluan yang sudah basah menyebabkan dengan mudah batang bulat panjang itu terbenam dan aku melenguh panjang.
Berpegangan aku di lengannya yang memegangi kedua dengkulku ketika kontol Amir menusuki kemaluanku. Maju mundur kontolku itu di dalam lubang kemaluanku, membuat merem melek mata ini dan mendesah-desah nikmat aku."Ah-ah-ah..."
Kubuka mataku karena Amir menghentikan tusukannya. Melenguh aku ketika dia cabut kontolnya dari kemaluanku. Dia turunkan kaki kiriku menjuntai ke lantai, lalu, sambil meremas payudaraku, dia timpakan kaki kanannya ke pahaku.
"Ah,"lenguhku ketika batang bulat panjang itu kembali menempel di ambang lubang kemaluanku. Kuambil kontolnya dan kuarahkan masuk ke lubang kemaluan itu. Kenikmatan kembali aku rasai karena kontol itu merambah masuk, pelan-pelan.
Ketika batang bulat panjang itu sudah tertanam sempurna, Amir menariknya mundur untuk kemudian dimajukannya kembali dan memekku menyambutnya penuh sukacita. Mendesah aku ketika kontol itu terus maju mundur menggagahi kemaluanku, makin cepat dan kian deras dan aku kesurupan. Desahan memenuhi kamar tidur tapi tertutup oleh suara anak-anak yang bergantian bernyanyi di rumah sebelah."Ah-uh, ah-uh, ah-uh..."desahku lepas.
Amir mengangkat kaki kananku meninggi. Menempel kakiku itu di pahanya, membuat aku menyamping, membuat memekku menjepit kuat batang bulat panjang itu, tapi Amir memaksakan kontolnya tetap menusukinya dan dengan kewalahan aku mendesah. Kuku jariku kuat mencengkeram di lengannya.
Kembali aku diterlentangkannya. Ditindihnya aku dan kusambut bibirnya. Lugas dan hangat kami berciuman sementara lubang kemaluan yang sesak dengan batang bulat panjang itu terus saja dia pompa.
"Amir,"panggilku disela desahanku.
"Ya, sayang,"sambutnya.
"Enak..."
Dia tegakkan badannya. Menatap aku, lalu,"Apa, Ceu? Coba diulang kata-katanya."
Aku tersenyum, lantas kupejamkan mataku, mengabaikan pertanyaan Amir. Yang pasti aku puas sekali hari ini dan aku ingin lebih lama menikmati kemenangan ini. Kupegang pinggang Amir dan kutarik maju untuk kemudian memundurkannya, lalu Amir pun melupakan pertanyaannya dan terus kubiarkan menggagahiku. Kembali aku melenguh. Kulepaskan bebas desahanku. Amir tetap bersemangat.
"Aku mau keluar...,"Berbarengan dengan itu, Amir mempercepat tusukan kontolnya dan aku menikmati serangan terakhir itu sebelum kemaluanku dipenuhi sperma Amir.
Tapi... "Ceu!"Ada teriakan dari arah ruang belakang.
Spontan Amir mencabut kontolnya dari lubang kemaluanku. Cemas wajahnya. Sambil menjauhi aku, dia pegangi kontolnya, tapi dapat aku rasakan air hangat menimpa di pahaku. Sepertinya dia sudah ejakulasi, sehingga spermanya muncrat kemana-mana.
Di dalam kamar tidurku, kelabakan kami. Semoga orang itu tidak langsung melongok ke dalam kamar tidur, doaku yang masih telanjang.
"Ceu,"kembali namaku dipanggilnya, tapi tidak masuk dia. Santun sekali orang ini, sempat aku memujinya.
Kesempatan itu kami ambil. Mukena yang menggantung aku tarik dan cepat mengenakannya. Setelah itu, kusuruh Amir yang masih mendekap celana panjangnya untuk masuk ke bawah kolong tempat tidur. Kuambil baskom berisi gundukan pakaian yang belum disetrika dan menaruhnya di kolong tempat tidur sehingga menghilang Amir. Setelah itu, kusambar sajadah dan aku keluar.
"Ada apa, Eti?"Ternyata Eti, tetangga sebelah rumah yang memanggil.
"Dicari Ceu Juju, Ceu,"ucapnya."Acaranya hampir selesai. Sudah siap-siap makan."
"Eceu ganti pakaian dulu, ya,"ujarku,"Eceu habis salat."
Menghilang kembali aku ke dalam kamar. Kututup pintu kamar tidur. Amir sudah lepas dari persembunyiannya. Duduk dia di lantai, di sudut ruang. Tersenyum sambil mendekap celana panjangnya.
"Dipakai celananya,"ucapku pelan.
Kulepaskan mukena. Sengaja aku bugil dihadapannya. Aku maju mundurkan pantatku sebentar dan lalu kembali aku kenakan celana dalamku, kupakai behaku, dan terakhir mengenakan daster. Sebelum aku keluar dari kamar tidur, kukedipkan mataku dan kumonyongkan mulutku. Muah-muah!