Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

THR I

Terduduk aku di kursi makan di ruang belakang rumahku. Sendok yang berada didalam mangkuk kolak pisang, aku mainkan. Menunggu memang menjemukan dan sudah hampir setengah jam aku menunggu kedatangan kekasihku, adik iparku, Amir.
Amir tidak pernah menciderai janjinya. Meski sering terlambat datang, dia selalu hadir dan aku memakluminya. Hubungan asmara kami memang terlarang. Terlalu banyak resiko yang kami hadapi sehingga kami harus hati-hati menjaga kerahasiaannya. Amir bercerita, setiap akan mengunjungiku, dia harus sabar menunggu. Lama dia mengintai rumahku, bersembunyi dibalik pohon dengan di temani nyamuk. Ketika dirasa sudah aman, baru dia berani menyelinap masuk ke rumahku.

Ingat aku kejadian dua minggu lalu ketika Amir mengunjungiku. Saat itu rumah kosong karena para lelakinya pergi ke langgar untuk mengikuti salat tarawih, jadi aku setuju saat dia bilang akan mendatangiku.

Dalam kondisi rumah yang sepi, tubuh telanjang kami menyatu. Awalnya di ruang tengah, di depan televisi yang menyiarkan acara pengajian, Amir menelanjangi aku. Tidak berhenti bibirnya menjarahi tubuh telanjangku. Titik-titik sensitif di tubuhku dia jamah, membangkitkan birahi. Kemudian Amir mengajak berpindah ke ruang depan. Di atas sofa di ruang depan, dalam kegelapan, kami bergaya enam sembilan. Di dalam jepitan dua pahanya, aku mengulum kontolnya sementara Amir yang berada di antara dua pahaku menjilati memekku. Kecipak bibir-bibir kami yang terus mencumbu kemaluan lawan mainnya terdengar. Sayangnya kenikmatan ini terganggu oleh langkah-langkah kaki di luar rumahku, gedoran di pintu rumahku, dan ramainya anak-anak yang mengantar anakku lelakiku pulang dari langgar.

Pun aku masih ingat, setelah anak-anak yang mengantarkan pulang anak lelakiku menghilang, kami melanjutkan bersenggama di ruang belakang. Dengan doggy style, Amir menunggingi aku yang berpegangan di meja makan. Piring dan sendok yang berada di atas meja beradu berdenting ramai, sendok-sendok dalam gelas-gelas kosong bergoyang menimbulkan bunyi seirama dengan gerakan tubuhku yang maju mundur akibat desakan kontol Amir yang memenuhi lubang kemaluanku. Sayangnya kenikmatan itu kembali terganggu. Belum sempat Amir memuncratkan spermanya di lubang kemaluanku dan aku pun belum mencapai titik kepuasan, anak-anakku memanggil dari luar rumah karena salat tarawih sudah selesai.

(Kalau mau tahu cerita selengkapnya, silakan baca Tawaran Kehangatan dari Istri Kakak Ipar, bab Bulan Puasa I-III hal. 13-14)

Dan malam ini, untuk menghindari gangguan, Amir aku suruh mengunjungi aku di waktu biasa dia mendatangiku, yaitu tengah malam setelah penghuni rumah tertidur. Amir memang sudah biasa mendatangi aku. Hubungan asmara kami sudah terbilang bulan. Sudah berbilang bulan pula kami bersama melampiaskan rindu dan birahi dan aku menikmatinya.

"Tok-tok-tok!"Akhirnya terdengar ketukan di pintu belakang.

Mendadak jantungku berdetak kencang. Tidak sabar aku menunggu pintu itu membuka karena pintu memang tidak pernah aku kunci bila Amir janji akan datang. Pintu membuka dan diambang pintu, berdiri Amir. Sosok tinggi dan langsing itu melangkah masuk. Dia tutup pintu dan menguncinya. Aku tetap duduk, menunggu dia yang melangkah mendekat.

"Ada apa Eceu menyuruh aku datang malam ini? Eceu kangen sama aku, ya?"canda Amir setelah berada didepanku.

Dengan tinggi yang aku kira lebih dari 170, Amir begitu menjulang, sehingga aku perlu mendongak tinggi agar bisa mendapati wajah tampannya. Aku memang rindu Amir. Aku rindu hangat tubuhnya saat dia memeluk tubuh telanjangku, rindu dengan kekasaran bibirnya saat mencumbu tubuh telanjangku, dan terutama desakan kontolnya di lubang memekku.

Pundakku dia pegang. Seperti terhipnotis, aku berdiri. Tinggiku yang 150 senti terlihat liliput dihadapannya. Dipeluknya aku. Dapat aku rasakan detak jantungnya di telingaku, bertalu kencang. Dia cium rambutku, dia elus punggungku, dan aku eratkan dua tanganku ke tubuhnya.

Masih dalam pelukannya, Amir membawa aku menuju kamar tidurku. Tiba di kamar tidur, Amir melepaskan aku. Duduk dia di pinggir tempat tidur, membiarkan aku berdiri didepannya.

"Eceu kangen aku, ya?"Amir bertanya lagi.

Hanya tersenyum aku. Aku memang rindu Amir, tapi tabu bagi seorang perempuan menyatakan rasa rindunya. Maka aku tatap dia. Aku elus pipinya. Semoga sikapku ini membuat dia percaya bahwa aku benar-benar membutuhkan dia malam ini.

"Ya, sudah kalau Eceu tidak kangen,"ucap Amir kemudian,"biar aku saja yang kangen."

Merenggut aku jadinya. Kemudian kuambil kepalanya, aku peluk. Payudaraku menempel erat di wajahnya.

Tidak lama kemudian, Amir berontak. Dia tarik lepas kepalanya dari pelukanku. Lalu,"Aku tidak bisa bernapas. Eceu mau membunuhku, rupanya."

Amir memegang dadanya. Nafasnya terengah-engah. Lalu,"Aku memang kangen Eceu. Tapi karena Eceu tadi mau membunuhku dan gagal, aku mau menghukum Eceu."

Dihadapannya, aku bertolak pinggang. Kumajukan payudaraku, menantang dia dan,"Apa hukumannya?"

"Eceu harus telanjang,"ucapnya cepat,"Kalau tidak mau telanjang, aku akan teriak. Akan aku beri tahu ke orang-orang kalau Eceu mau membunuhku."

Tertawa aku dibuatnya. Mana mungkin dia berani. Kalau dia berteriak, berarti akan membongkar rahasia hubungan kami. Pasti dia tidak akan mau mengambil resiko kehilangan aku. Lagipula tanpa diminta pun aku ikhlas melepaskan pakaianku. Aku suka tatapan mesumnya saat melihat aku telanjang.

"Ayo, mendekat sini."Amir menarik aku. Hanya diam aku ketika tangannya jatuh di pundakku. Dia geser tali dasternya dan daster pun melorot meninggalkan tubuhku.

Aku telanjang. Melotot mata Amir melihat payudaraku yang imut berada di hadapannya. Kubiarkan payudaraku dia remas. Kubiarkan telapak tangannya menyentuh kemaluanku, memainkan bulu-bulu kasarnya yang rapi aku cukur.

Mundur selangkah aku ke belakang ketika Amir turun bersimpuh didepanku. Dua tangannya mencengkeram pantatku. Kepala Amir ke depan mendatangi selangkanganku, menciumnya. Maka aku lebarkan dan aku tekuk dua kakiku, memberi kesempatan bibir Amir menjangkau kemaluanku.

Ah, merinding aku karena Amir meniup area kemaluanku. Lalu dia tekan dalam-dalam mulutnya di kemaluanku, mengusek-usekkan bibirnya di kemaluanku. Mata ini terpejam manakala memekku dia gigit-gigit lembut. Lidahnya menggerayangi belahan memanjang di selangkanganku, memainkan daging kecil di dalamnya. Enak, Amir, batinku. Terus, Amir.

Tetapi, lelaki itu berhenti menjilati kemaluanku. Mundur kepalanya. Saat itu, kuambil kesempatan untuk memanjangkan kedua kakiku. Capek karena sedari tadi mengangkang. Amir pun berdiri. Dia elus pipiku sekilas, lalu duduk dia di sisi tempat tidur. Ditariknya aku duduk, berdampingan.

"Geli,"lemah suaraku terdengar ketika puting susu itu dia sentuh, dia raba, tapi Amir tetap mengelus lembut bola kecoklatan itu dan aku membiarkannya.

Dia dorong rebah aku di tempat tidur. Dia naiki aku dan duduk dia. Dia remas kedua payudaraku. Ada rasa sakit di dadaku, tapi aku biarkan. Kemudian jatuh dia menindih aku. Kusambut hangat bibirnya dan ganas bibir kami bertaut.

Lidah Amir memaksa membuka bibirku, maka aku sambut. Begitu kubuka mulutku, segera lidahnya menyelinap masuk ke dalam mulutku, mencari lidahku. Aku biarkan lidahnya memainkan lidahku. Kuladeni saat lidah Amir menarik lidahku keluar. Kini lidahku yang menjulur memasuki mulut Amir. Lama bibir-bibir kami bertaut, memilin. Bergantian bibir-bibir kami saling lilit, saling tarik, saling berganti mulut.

Bibir-bibir kami terlepas. Amir meninggalkan tubuh telanjangku. Turun dia dari tempat tidur. Kesempatan itu aku pakai untuk menyeka mulutku yang basah dengan ludah kami. Amir pun menyeka mulutnya. Lalu, dia menelanjangi dirinya. Dengan tubuh telanjangnya dia naik kembali ke atas tempat tidur. Sambil bersimpuh, dia ambil kakiku dan dia kuakkan lebar. Beringsut masuk dia di antara dua kakiku, mendekati selangkanganku. Ditariknya aku dan menjengit aku ketika batang daging itu menempel di lubang kemaluanku.

"Ah!"teriakku tertahan karena kontol Amir mendesak masuk. Terangkat tubuh ini ketika lubang kemaluanku pelan-pelan dipenuhi batang daging itu. Kontol Amir terus merangsek masuk, terus masuk ke kedalaman lubang kemaluan, hingga akhirnya mentok.

Amir mengangkat kedua kakiku tinggi-tinggi dan ditaruhnya di dadanya. Dia peluk kakiku. Perlahan batang panjang yang memenuhi lubang kemaluan milikku itu mulai dia tarik mundur dan kemudian dia dorong masuk dan aku yang mendesah,"Ah..."

Masih di dalam lubang kemaluanku, kembali lagi kontol itu tertarik mundur dan kembali pula terdorong masuk. Berulang-ulang Amir melakukannya dan berirama sedangkan aku hanya bisa mendesah."Ah... ah... ah..."

Dua kakiku Amir buang ke samping, menggeletak di tempat tidur. Dengan posisi tubuhku yang menyamping, dengan Amir berada di belakang pantatku, batang daging itu tetap mendesak-desak, maju dan mundur menggagahi kemaluanku. Aku hanya bisa terpejam dan desahan tak bisa aku kontrol."Ah.. uh... Ah... uh..."

Amir berbaring dibelakangku. Dia angkat paha kananku meninggi dan lalu kembali kontolnya maju mundur menerjang lubang kemaluanku. Tanpa henti dan aku tetap mendesah. Dengan tetap memajumundurkan kontolnya, Amir mengambil payudaraku, meremasnya sementara bibirnya mencumbu leherku, menjilati telingaku dan aku hanya bisa pasrah mendesah."Ah-ah-ah....ah-ah-ah...ah-ah-ah."

Hingga akhirnya, di telingaku, di sela desahanku, terdengar ucapan,"Aku mau keluar."

Berbarengan dengan itu, Amir mencabut kontolnya dari kemaluanku. Dia bangkit. Dia terlentangkan aku, masuk dia dan bersimpuh diantara dua pahaku. Batang daging mengeras itu menempel di ambang lubang kemaluanku dan, ahh..., lenguhku panjang karena Amir menekan masuk kontolnya ke lubang kemaluanku.

Lubang kemaluan kembali terisi penuh daging panjang besar itu. Cepat dan semakin cepat daging keras itu maju mundur di dalam lubang kemaluan sehingga desahan pun menjadi sama cepatnya.

Tusukan kontol Amir terhenti, tetapi bersamaan dengan itu ada percikan air hangat menerpa lubang kemaluanku. Berkali-kali air hangat itu memercik, memenuhi lubang kemaluan.

Ketika percikan sperma terhenti, Tubuh Amir terjatuh menimpa aku. Nafas kami sama menderu. Detak jantung pun sama cepatnya. Keringat pun sama menyatu. Tapi aku menikmatinya.

Setelah detak jantung menjadi stabil dan nafas pun kembali normal, Amir turun dari atas tubuhku, terlentang di tempat tidur. Aku menggeser, merapat dengan tubuhnya. Tangannya memeluk aku sedang tangan satunya aku jadikan sebagai bantal untuk kepalaku. Kupejamkan mata dan kueratkan pegangan tangannya di tubuhku. Irama detak jantungnya terasa di kulitku, begitu pula nafasnya yang hangat menerpa kulit wajahku.

"Eceu tidur?"suara Amir menyadarkan aku.

"Tidak."

"Besok kita pergi, yuk, Ceu,"ucap Amir di telingaku.

"Kemana?"tanyaku.

"Beli baju lebaran."

"Suamiku belum memberi uang."

"Aku yang membelikan untuk Eceu, juga untuk anak-anak."

"Tidak usahlah."

"Tidak apa-apa,"ucapnya,"Hitung-hitung sebagai ganti rugi untuk anak-anak Eceu."

"Kenapa?"

"Mereka banyak berkorban untuk kita,"jawabnya,"Banyak mengalah mereka. Mereka rela tidur di lantai, sementara Mimihnya enak-enakkan di tempat tidur."

Tersenyum aku. Kucubit lengannya, tapi benar apa kata Amir. Setiap Amir datang, aku harus memindahkan kedua anakku ke lantai agar kami leluasa bersetubuh di tempat tidur.

Aku tinggalkan dia. Aku turun dari tempat tidur. Aku duduk di lantai, duduk didekat dua anakku yang lelap. Lalu,"Tunggu saya dapat te-ha-er dari suamiku, ya."

"Pakai uangku saja."Amir ikut turun. Ikut duduk dia, duduk didepanku. Dia ambil celana panjangnya yang menggeletak di lantai. Tangannya masuk ke saku celana. Banyak permen dia keluarkan dari dalamnya. Permen-permen itu ditebarkan di kakiku yang bersila.

"Jangan, Amir."Kuambil botol minum dari bawah tempat tidur dan meminumnya, lalu,"Saya takut suami curiga melihat saya pulang dari pasar dengan membawa banyak belanjaan. Dia pasti nanya darimana uangnya."

Amir mengambil botol minum dari tanganku. Dia meminumnya.

"Kapan suami Eceu ngasih te-ha-ernya?"

"Belum tahu,"jawabku sambil menimang-nimang permen di tanganku,"Nanti kalau sudah dapat, saya kasih tahu Amir."

"Semoga besok, ya. Soalnya aku ingin jalan-jalan lagi sama Eceu."
Mantap suhu
 
Sang Pelaut II​

Dan malamnya, aku sengaja tidak memejamkan mata, hanya baring-baring di tempat tidurku. Aku menunggu kedatangan Amir, adik iparku itu. Maukah dia menerima undanganku tadi siang? Kalau melihat sikapnya tadi siang, pasti dia akan datang memenuhi undanganku. Lelaki mana sih yang menolak lubang milik seorang perempuan?

Kutatap jam dinding yang ada di kamar tidurku. Sudah jam sebelas malam. Untuk ukuran tahun 70-an, jam sebelas itu sudah larut karena masa 70-an, hiburan malam sangatlah minim. Hanya ada TVRI yang dapat memenuhi kebutuhan hiburan. Jadi, begitu TVRI berhenti siaran, maka kehidupan pun berhenti.

Dari ruang belakang, terdengar pelan suara pintu yang didorong. Sesuai dengan janjiku tadi siang, pintu belakang memang tidak aku kunci. Hanya aku ganjal dari dalam. Berdebar jantungku. Ada rasa senang karena lelaki itu akan hadir di kamar tidurku.

Aku turunkan rendah belahan atas daster agar lereng gunungku dapat Amir lihat. Kemudian bagian bawah daster aku angkat meninggi, menampakkan celana dalamku. Hihihi... Pasti bernafsu lelaki itu untuk menggarap aku.

Langkah kaki terdengar mendekati pintu kamar tidurku yang sengaja aku buat setengah terbuka, agar dia tinggal melangkah masuk menemuiku. Aku pejamkan mataku agar dia mengira aku tertidur. Aku tidak ingin dia mengira aku menunggu kehadirannya. Gengsi, dong.

Tapi, setelah lama menunggu, tidak terdengar lagi langkah kaki. Sepi. Tidak beranikah dia melangkah masuk ke kamar tidurku ini? Padahal dia tinggal mendatangiku dan aku akan sambut dia dengan ikhlas dan suka cita.

Aku picingkan mataku, mengintip ke pintu kamar tidurku. Hampir tertawa aku melihat Amir yang berdiri di ambang pintu, memandang aku. Lelaki itu mengenakan kemeja bewarna biru muda dan bercelana katun. Memang mau kondangan kemana, Amir?

Tak mau dia berlama-lama berdiri di sana, maka menggeliat aku. Sambil menguap, aku buka mataku dan pura-pura terkejut manakala mendapati dia yang berdiri di kejauhan sana.

"Amir?"Duduk aku di pinggir tempat tidur. Kembali aku pura-pura menguap. Aku kucek-kucek mataku. Lalu tersenyum aku untuk dia.“Dari tadi, ya? Ayo masuk. Jangan berdiri saja."

Gamang Amir melangkah masuk. Berdiri dia didepanku. Tegang wajahnya, napasnya tersendat-sendat tapi matanya mengarah ke selangkanganku yang masih terbuka.

"Saya kira Amir tidak datang.”Aku menggeser dudukku, mempersilakan dia duduk disampingku.

Duduk dia. Berdampingan kami duduk. Tangannya aku lihat gemetar. Sebenarnya aku juga tegang bercampur takut. Tegang karena untuk pertama kalinya ada lelaki lain selain suamiku yang mendatangi aku di tengah malam dan takut, aku takut ada yang mengetahui keberadaan Amir yang menyelinap masuk ke rumahku sementara suamiku berada di luar rumah. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Amir sudah berada didepanku. Sekarang tinggal keberanian lelaki itu untuk memulainya.

"Tidak ketemu bibi Kunti di luar?"gurauku untuk memecahkan ketegangan.

Tersenyum dia. Lalu kembali sepi. Amir masih menatap selangkanganku.

"Eceu cantik."Dengan mata mengarah ke wajahku, lelaki itu memuji aku.

"Amir juga gagah dengan pakaiannya,"balasku sambil menyentuh tangannya.

Amir memang gagah. Sisa-sisa ketampanannya masih terlihat di tubuh tinggi langsingnya. Sebelum menikah dengan Juju, adik iparku, Amir adalah seorang pelaut. Sebagai mantan pelaut, dia, dulunya pasti mempunyai banyak pacar. Seperti yang sering aku dengar jika seorang pelaut pasti mempunyai simpanan di setiap pelabuhan yang disinggahinya. Pasti pengalaman dia dalam bergaul dengan beragam perempuan sebanyak jam terbangnya sebagai pelaut. Dan kini aku ingin ikut merasakan tekniknya dalam memberikan kepuasan bagi para perempuan itu. Sambil menyelam sambil minum air. Sambil membalaskan sakit hati kepada ipar-iparku, aku dapat menikmati hangatnya pelukan Amir untuk mengganti peran suamiku di malam-malam sepi.

Melihat ada butiran keringat bergulir di pipinya, aku berucap,"Dilepas saja kemejanya kalau panas."

Tanpa ragu, Amir melepaskan kancing kemejanya. Bertelanjang dada dia. Biar pun sudah masuk usia empat puluh tahun, tubuh Amir masih bagus. Perutnya masih datar, tidak sebuncit perut suamiku. Kecoklatan pula kulitnya.

"Taruh di sana saja."Melihat Amir bingung hendak menaruh dimana kemejanya, aku tunjuk palang besi yang berada ujung tempat tidur. Tempat tidurku terbuat dari besi. Awalnya ada kelambu, tirai yang berfungsi melindungi dari nyamuk, mengelilingi tempat tidurnya, tetapi begitu ada anak, kelambu pun dilepas. Besi melengkung di atas tempat tidur yang berfungsi menjadi pengikat kelambu pun dilepas.

Setelah menyangkutkan kemeja di tempat yang aku suruh, Amir kembali duduk. Duduk berdampingan. Lalu,"Kenapa anak Eceu tidur di lantai?"

Tersenyum aku. Polos atau pura-pura lugu jantan ini? Pikirku. Kalau kedua anakku berada di atas tempat tidur, tempat tidurnya pasti akan penuh sesak sehingga pasti akan mengganggu permainan kami kalau nanti dia berani memulainya. Sayangnya lelaki ini belum juga mengambil aku. Apa lagi yang ditunggunya? Padahal aku sudah setengah telanjang. Apakah aku yang harus memulainya? Pikirku.

Dan saat itulah, aku pegang lengannya dan aku tarik mendekat dia ke arahku. Merunduk dia, memiring wajahnya, dan aku, aku pejamkan mata saat bibirnya menempel di bibirku. Sakit sekali Amir mengulum bibirku. Mungkin karena ini ciuman pertama kami atau karena Amir yang terlalu bernafsu mengulum bibir aku. Terserahlah. Yang pasti aku sudah menaklukkannya dan aku tidak akan melepaskan dia. Pembalasan dendam terhadap ipar-iparku sudah dimulai.

Saat Amir melepaskan bibirku, aku geser dudukku ke belakang dan aku merebahkan diri di tempat tidur. Kutarik satu kakiku meninggi dan aku biarkan matanya mencuri lihat selangkanganku. Tak lama kemudian dia timpakan sebagian tubuhnya di atas tubuhku dan dikejarnya bibirku. Aku pejamkan mataku ketika dia ambil bibirku. Lama bibir kami bertaut, bergumul, dan saling sedot.

Aku buka mulutku. Dengan lidahku aku sambut kedatangan lidah Amir di dalam mulutku. Lama lidah kami saling bertaut, saling memilin. Kemudian diajaknya lidahku berpindah masuk ke mulutnya dan kembali lidah-lidah kami bertaut dan bertarung. Lama dan panas. Setelah itu, disorongnya lidahku mundur, berpindah medan peperangan kami di dalam mulutku. Lidah kami kembali bertaut dan memilin.

Amir meninggalkan bibirku. Dia turunkan tali daster dari pundakku. Matanya membulat begitu dua gundukan daging keluar dari dalam daster. Segera dia mencecapi payudaraku.

"Amir, Jangan dibuat merah,"ucapku menyerupai desah ketika bibir Amir mencumbui lereng-lereng gunung milikku. Aku tidak mau Amir meninggalkan jejak-jejak pada tubuhku. Bisa berbahaya jika suamiku melihat tanda cupang di payudaraku.

Dia tinggalkan payudaraku. Di atas tempat tidur, berdiri dia dihadapanku. Amir memerosotkan celana katunnya. Begitu pula dengan celana dalamnya. Telanjang dia. Batang daging miliknya menghitam dan teramat panjang. Botak dan licin ujungnya. Senyumku terbit karena kontol itu manggut-manggut didepanku, siap mengobrak-abrik kemaluanku. Semoga.

Bangkit aku dari tidurku dan bersimpuh dihadapan dia yang berdiri menjulang. Aku raih senjata yang mengacung perkasa di depanku itu, menggenggamnya. Kenyal. Hangat. Penuh urat yang mengitarinya. Saat aku kocok, ada cairan keluar dari lubang di ujung kepala kontolnya.

Menjengit dia kala aku tempelkan kepala kontolnya di mulutku. Menggeliat dia karena aku jilat-jilat kepala kontolnya, aku celupkan kepala kontolnya ke dalam mulutku untuk aku emut. Dapat aku dengar desah nafas Amir yang menderu.

Rambut panjangku dia cekal dan dia maju mundurkan kepalaku sehingga batang kontol itu maju mundur di dalam mulutku. Beberapa kali aku tersedak dan melepaskan kontol itu tapi kembali aku tancapkan kontol Amir di mulutku dan kembali aku kulum dan kembali kontol itu maju mundur menggagahi mulutku.

Amir mendorong kepalaku mundur sehingga batang bulat panjang itu terlepas dari mulutku. Sambil mendongakkan wajah meninggi untuk mendapati dia yang juga memandang aku, kuseka mulutku yang basah akibat ludah sisa pergumulan bibir-bibir kami.

Bersimpuh Amir didepanku. Lalu ke belakang didorongnya rebah aku. Diambilnya paha kananku, diangkatnya melewati badannya. Kini kedua kakiku mengapit tubuh Amir. Dengan posisi berada di antara dua kakiku, jari-jari tangan Amir merengkuh pinggangku, mulai menurunkan celana dalam itu. Maka, aku angkat pantatku untuk mempermudah celana dalam meninggalkan selangkanganku. Aku angkat pula kedua kaki tinggi-tinggi sehingga celana dalam pun terlepas.

Dua pahaku aku kangkangkan lebih lebar karena Amir beringsut masuk. Menjengit aku ketika kepala kontol Amir menempel di ambang lubang kemaluan dan, ugh, lenguhan keluar dari mulutku manakala batang panjang bulat itu dengan perlahan terdorong masuk ke lubang kenikmatan milikku. Lubang kemaluanku pun menjadi sesak, penuh dengan batang daging itu.

Setelah senjata tertanam dalam-dalam di dalam lubang kemaluan, Amir mulai menarik kontolnya mundur yang membuat aku mendesah,"Ahh..." dan, "Ahh..." aku mendesah kembali ketika kontol Amir terdorong masuk kembali ke dalam lubang yang sudah becek itu.

"Ah... uh.. ah... uh.."Hanya itu yang bisa aku perbuat ketika kontol Amir dengan konstan maju mundur di dalam lubang kemaluan.

"Aaah!."Menjerit tertahan aku karena batang panjang bulat itu tercabut dari kemaluanku.

Dia balikkan tubuhku. Dia posisikan aku memunggunginya dan Pok! Dia pukul pantatku yang menungging.

Kontol Amir menempel di bagian bawah belahan pantatku. Dia desakkan batang panjang bulat itu ke dalam lubang kenikmatanku dan aku hanya bisa melenguh,"Ahh..."

Tubuhku terantuk-antuk, maju dan mundur, karena kontol Amir menyerang belahan pantat. Desahan pun kembali terdengar. Semakin cepat kontol itu menggagahi kemaluanku, semakin keras racauanku. Berkali-kali aku terjatuh tertunduk di tempat tidur, tapi berkali-kali pula Amir memaksa aku menungging kembali.

Terjerembab aku di tempat tidur ketika dengan tiba-tiba kontol itu tercabut dari lubang kenikmatan. Dengan cepat Amir terlentangkan aku. Dia buka lebar dua pahaku dan masuk mendekat. Dia timpakan paha kirinya naik menindih paha kananku, lalu menancapkan kembali batang bulat panjang itu ke kedalaman lubang di selangkanganku yang membuat aku terpekik nikmat.

Dia peluk paha kiriku, lalu sodokan kontol Amir ke lubang kenikmatanku begitu cepat dan terburu-buru. Payudaraku pun kembali dia remas sementara desahan kembali terdengar."Ah.... ah.... ah!"

Dapat aku dengar kamar tidur tempat kami bertarung penuh dengan desahan. Tempat tidur pun berderit seru akibat gerakan kami yang berirama cepat.

"Ah!"Terdengar teriakan tertahan Amir. Batang bulat panjang itu berhenti menyerang kemaluanku. Batang bulat panjang itu tertekan dalam-dalam di dalam lubang kemaluan dan, akhirnya, cairan hangat menyemprot, beberapa kali, memenuhi lubang kenikmatan milikku.

Setelah semprotan air hangat itu berhenti, tubuh Amir jatuh menimpa aku. Napasnya yang ngos-ngosan terdengar seksi di telingaku. Detak jantungnya menyebar di kulitku. Aku nikmati aroma khas yang menyergap hidungku. Pun aku nikmati denyutan-denyutan di lubang kemaluanku sebelum kontol itu perlahan mengecil dan akhirnya tercabut.

Amir turun dari tubuhku. Berdampingan kami berbaring di atas tempat tidur. Dia cium pipiku dan aku pejamkan mata, menikmati hangatnya bibir itu.

"Maaf, Ceu. Kecepatan keluarnya,"ucapan itu terdengar merdu di telingaku."Habisnya memek Eceu enak."

Mengembang dadaku karena bangga. Kubuka mataku dan kupandang dia. Dengan posisi miring, dengan tangan menahan kepala, Amir pun memandang aku. Maka aku elus wajahnya, lalu tersenyum aku dan,"Nama saya Ningsih. Nama Abang siapa?"

Amir tampak terkejut dengan pertanyaanku, tapi akhirnya dia sibak rambut yang menutupi telingaku dan bibirnya mendekat."Amir, namaku."

"Amir?"Aku pura-pura berfikir, lalu,"Mengingatkan aku pada seseorang."

Dipandangnya aku."Siapa?"

"Mantan pelaut yang berani menggagahiku malam ini."

Tertawa kecil dia. Lalu,"Eceu pun hebat. Aku jadi lemah didepan Eceu."

Kembali dia belai pipiku. Kembali dia cium pipiku.

"Suami jarang tidur di rumah, ya?"

"Iya. Sesuka dia kapan mau datang."

"Kasihan ya, Eceu."Puting susuku dia elus pelan. Geli tapi aku nikmati saja."Payudara cantik ini disia-siakan."

Sambil tersenyum pahit, aku menatap langit-langit kamar tidurku. Ada sepasang cicak berrkejaran di sana.

"Kalau aku tiap malam datang, boleh?"

"Boleh..."

"Kalau pagi?"

"Asal suamiku tidak ada di rumah. Boleh"

"Kalau siang?"

"Asal suamiku tidak ada di rumah. Silakan."

"Kalau sore?"

"Iya, asal suamiku tidak ada di rumah, Amir."

"Janji, ya."

"Janji."

Tersadar aku dari ingatan masa lalu dan kembali ke masa kini ketika mobil berhenti. Kuarahkan pandangan keluar kaca mobil. Kami tiba di Simpang Lemabang. Mobil berhenti karena lampu merah.
Jujur...sy selalu menantikan setiap cerita dr suhu....sangat menarik dan menggoda
 
Pesta Ulang Tahun

Suara jerit dan teriakan terdengar memenuhi ruang depan. Saat aku mengintip ke sana, ruangan dipenuhi kertas warna-warni yang sengaja dibuat panjang dan spiral sambung menyambung yang digantung dari sudut ke sudut. Ada tulisan selamat ulang tahun terpasang di salah satu dinding. Suasana meriah dan ceria. Ruangan penuh gelak tawa, celotehan beragam anak-anak usia sepuluh tahun ke bawah yang memenuhi ruangan dengan beraneka warna pakaian.

Kuangkat tangan, melambaikan tangan ke arah kedua anakku, Dadan dan Neng, yang juga melambaikan tangannya. Ada topi ulang tahun di kepala mereka. Bahagia mereka. Sibuk lari kesana kemari berbarengan dengan teman-temannya.
Acara belum dimulai karena aku lihat masih ada anak-anak yang baru datang bersama orang tuanya. Sementara di teras depan rumah penuh dengan penonton maupun para pengantar. Sama meriahnya.

Mundur aku menuju dapur rumah ini. Suasana di sana lebih meriah. Dapur dipenuhi tawa dan obrolan mesum dari komunitas emak-emak yang sedang mempersiapkan konsumsi acara ulang tahun.

"Ceu,"panggil seseorang kepadaku.

Aku menoleh dan mendekatinya.

"Punten bawa makanan ini ke kamar,"ucapnya.

Kusambut keranjang yang berisi penuh kue itu dan melangkah aku menuju kamar yang ditunjuknya. Pintu kamar itu tertutup. Setelah aku ketuk dan tidak ada sambutan dari dalam, aku buka pintu itu. Astaga! Ada sang kekasih di sana. Sudah rapi dia. Gagah sekali.

Sebagai tuan rumah, Amir pasti harus terlihat sempurna hari ini. Ada kamera di tangannya. Kamera yang kami beli dan digunakannya untuk memotret aku ketika berada di Kambang Iwak, sebelum kami kencan di hotel kenangan itu.

Dibawah tatapannya, melangkah masuk aku. Sudah banyak keranjang kue di sana, dibawah kolong tempat tidur. Tersenyum dia dan aku pun menyambutnya. Merunduk aku untuk meletakkannya keranjang kue yang ada di tanganku berdampingan dengan keranjang-keranjang lainnya. Amir ikut merunduk, pura-pura ikut merapikan keranjang-ketanjangnya.

"Amir gagah sekali,"pujiku pelan agar tidak terdengar orang lain.

"Aku 'kan selalu gagah, Ceu."Ge-er dia.

"Amir memang selalu gagah,"balasku sembari tetap merapikan kue-kue yang memang sudah rapi itu.

"Makasih atas pujiannya, bikin si otong bangun."Genit dia berkedip.

Tersenyum sekilas aku dan balas mengedipkan mata sekalian aku buka lebar mulutku dengan tangan diidepannya berlagak sedang mengulum sesuatu. Muah-muah!

Terdengar langkah mendekat. Aku menoleh. Tetnyata Juju yang masuk. Baru mandi dia. Tubuh telanjangnya hanya berselimut handuk.

"Kuenya sudah semua, Ceu?"Dia bertanya padaku.

"Ini lebihannya, Ju,"jawabku."Kue-kue untuk tamu undangan sudah diwadahi di piring."

"Bagus 'kan pakaian yang Juju beli, Pa?"Juju mengambil pakaian dari hangger."Seragam dengan pakaian Juju."

Melengos aku melihat sainganku itu berlenggak-lenggok memamerkan pakaiannya. Berdiri aku. Ketika hendak melangkah keluar kamar, Juju memanggilku. Kutatap dia. Menunggu.

"Serasi tidak kami?"Juju memeluk erat suaminya yang adalah kekasihku.
Tersenyum aku, mengangguk untuk menyatakan persetujuan. Padahal muak aku melihat Juju yang berjinjit untuk mencium pipi suaminya. Lebay, kata anak muda sekarang. Sementara Amir yang berlindung dibelakang tubuh istrinya hanya tersenyum sumbang. Awas kau, ya, batinku.

Dengan hati yang panas, melangkah aku keluar kamar. Di dapur hanya ada beberapa orang karena yang lainnya sudah berada di depan, ikut menonton perayaan ulang tahun itu.

"Tekwan sudah masak?"Sebagai ketua seksi konsumsi, aku bertanya kepada mereka yang sedang mengobrol itu.

"Tinggal meracik saja, Ceu,"jawab salah seorang dari mereka.

"Kue-kue?"

"Sudah siap semua."

Tersenyum aku. Lalu,"Saya tinggal dulu, ya."

"Mau kemana, Ceu?"

"Mau mandi, mau pakai baju bagus, mau cantik-cantik,"gurauku,"'Kan mau ikut pesta. Mau nyanyi satu album."

Hahaha! Tertawa mereka. Padahal tidak tahu mereka rasa kesal ini akibat perilaku lebai Juju. Segera aku keluar rumah itu dan melangkah menuju rumahku. Kuambil handuk dan dengan membawa seember air, aku masuk ke kamar mandi dan segera menelanjangi diri. Semoga dengan membasahi diri, panas hatiku menjadi adem.

Kusiram tubuh telanjangku. Segar. Kusabuni tubuh ini. Buah dada mengkalku tak luput aku sabuni. Dengan sabun, aku mainkan bulu-bulu di kelaminku. Sudah harus dipotong, nih, gumamku. Sudah panjang.

Musik berdentum keras dan terdengar suara seorang lelaki dikejauhan sana. Acara ulang tahunnya sudah mulai rupanya. Sambil terus menyabuni tubuh telanjangku, pelan kuikuti lagu selamat ulang tahun yang terdengar.

Ada orang masuk ke bilik sebelah, bilik WC. Perlu diketahui bahwa kamar mandi ini berada di luar rumah. Karena keluarga adik iparku belum sanggup membangun kamar mandi sendiri, suamiku berinisiatif membangunnya di belakang rumah, menyatu dengan rumahku, agar kamar mandi dapat digunakan bersama dengan keluarga adik iparku.

Bangunan kamar mandinya terbilang sederhana. Lantainya kayu sementara dindingnya hanya ditutupi seng. Bilik WC terpisah dari kamar mandi agar penggunanya tidak rebutan memakainya. Sedang untuk sarana air mandi, airnya harus diambil dari kambang, sebutan orang Palembang untuk kolam darurat penampungan air, yang berada jauh di sisi lain halaman belakang rumahku.

Nyanyianku terhenti karena aku merasa ada mata yang mengintip ke dalam kamar mandi, mengintip aku yang telanjang, aku yang sedang mandi. Perlahan mataku beredar mencari celah yang kuperkirakan menjadi tempat orang disebelahku mengintip. Dibagian bawah, tepat mengarah ke pahaku, kutemukan lubang bekas paku yang lumayan lebar untuk dapat leluasa orang itu mengintip. Kututupi pahaku dengan kedua tangan. Bergeser aku menjauhi lubang itu. Biarlah nanti aku beritahu suamiku agar dia menutup lubang itu.

Ah, hilang sudah keinginanku untuk terus membasahi diri. Risih karena mata itu terus mengintip ke arahku. Kuambil handuk dan menutupi diriku, tapi.... perlahan terdengar pelan ketukan di dinding kamar mandi. Amirkah yang disebelahku itu? Amirkah yang sengaja mengintip aku.

Dengan ragu aku membalasnya. Sama pelannya. Terbit senyumku ketika ketukanku berbalas pula. Kini lebih jelas.
Amir sialan! Maka kulepaskan kembali handuk. Dengan menghadap ke arah dinding kamar mandi itu, tepat didepan lubang itu, aku kembali telanjang. Sengaja aku perlihatkan area intimku untuknya. Biar konak dia.

Di dalam kamar mandi itu, dibawah tatapan mata sang pengintip, aku siram selangkanganku. Kusabuni selangkanganku. Mengikuti irama suara anak-anak yang bernyanyi di acara pesta itu, aku goyang-goyangkan pantatku, ke depan dan ke belakang dan Amir pasti kelonjotan melihatnya.

Tidak lama aku menari. Kuambil handuk dan mengeringkan tubuhku yang basah. Setelah aku anggap kering, aku lilitkan tubuh telanjangku dengan handuk. Lantas kuambil pakaianku yang aku gantung dan kemudian keluar aku dari kamar mandi. Melewati bilik WC, tempat si pengintip berada, aku ketuk pintunya dan terus melanjutkan langkahku menuju rumahku.

Pintu kamar mandi yang aku tinggalkan terdengar membuka, tapi aku abaikan. Aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar tidurku. Rasain lo Amir, jeritku dalam hati dengan gembira.

Rumahku kosong. Anak-anakku berada di rumah sebelah, tempat pesta ulang tahun berlangsung. Leluasa aku menelanjangi diri. Berdiri aku didepan cermin, menikmati keindahan tubuh mungilku. Payudara imutku masih indah menggantung. Dan memang bulu-bulu di kemaluan sudah terlihat menghitam tanda harus aku babat.

Terdiam aku ketika terdengar suara yang teramat aku kenal di kejauhan sana. Itu Amir. Sedang berpidato dia, sedang memberi selamat untuk anaknya. Kembali panas hatiku membayangkan, bersama Juju, Amir memotong kue ulang tahunnya. Sialan.

Kembali terdengar lagu Selamat Ulang Tahun. Kali ini lebih membahana karena dibarengi oleh puluhan suara anak-anak yang hadir. Semangat mereka bernyanyi. Sambil ikut bernyanyi, kuambil gunting kecil dari laci. Kuangkat kaki kiriku dan aku letakkan di kursi. Pelan-pelan aku mulai memotongi bulu-bulu jembutku. Tidak terbiasa aku melihatnya memanjang. Kalau memanjang, sering Amir atau suamiku tersedak dan batuk-batuk karena, saat mereka mengoral memekku, ada bulu yang tercabut dan tertelan, menyangkut di tenggorokan mereka. Kasihan, kan?

Suit-suit.... ada siulan dari arah luar pintu kamar tidurku. Terkejut sangat aku. Menoleh aku dan spontan kututupi tubuh telanjangku dengan kedua tanganku, lalu dengan terburu-buru kuambil handuk yang aku sangkutkan di dudukan kursi dan cepat kupakai untuk menutupi tubuh telanjangku.

Terdengar tawa dari arah luar, tapi tidak tampak orangnya. Itu tawa Amir. Sialan!
Cepat aku sempurnakan posisi handukku agar tubuh telanjangku tertutup sempurna. Setelah itu, kukembalikan gunting kecil itu ke tempatnya. Lalu, dengan berkacak pinggang, aku menghadap ke arah pintu.

"Keluar kalau berani,"ucapku pura-pura marah,"beraninya cuma mengintip."

Dan memang benar dugaanku. Kepala Amir muncul dari balik pintu kamar, masih tertawa-tawa dia. Masih dengan pakaian seragamnya, dia masuk ke dalam kamar tidurku.

"Kenapa kemari?"tanyaku kaget."Nanti orang mencari-cari Amir."

"Salah Eceu kenapa tadi mandi. Bikin aku nafsu saja."

"Di luar ramai, Amir. Nanti ketahuan kita,"masih galau aku.

"Di rumahku yang ramai, tapi di sini tidak,"alasannya,"Orang juga sedang bergembira di sana. Kita bergembira di sini."

"Keluar Amir. Aku takut..."Kudorong dia agar keluar dari kamar tidurku.

"Eceu takut apa?"Amir berusaha menggapai handukku. Hendak ditelanjangi aku.

"Aku takut mau, Amir."

Dengan gemas dia peluk aku. Diciuminya leherku, buas. Sebenarnya ada rasa was-was di dada karena berani aku menerima Amir di kamar tidurku di siang hari bolong ini, di tengah saudara-saudaranya berkumpul di rumah sebelah, tapi keinginan untuk membalas kelakuan Juju di kamar tidurnya tadi mengalahkan ketakutanku.

Akhirnya kubiarkan dia telanjangi aku. Kubiarkan dia ciumi aku. Kubiarkan payudaraku dia remas. Kubiarkan dia jamah seluruh tubuhku, tapi tidak kubiarkan saat dia hendak melepaskan pakaian pestanya. Aku melarangnya karena ada kepuasan bagiku melihat lelaki itu, dengan pakaian seragam pesta yang dibanggakan oleh istrinya, berada dalam pelukanku. Pembalasan yang setimpal 'kan, Juju!

Mumpung pesta ulang tahun sedang seru-serunya dimana perhatian yang hadir terfokus di sana, aku tarik lepas tali pinggangnya, aku lepaskan kancing celana panjang hitamnya. Melorot turun celananya, meninggalkan celana dalamnya yang menutupi selangkangannya. Kusentuh celana dalam itu. Batang daging didalamnya sudah keras membatu. Pelan aku elus gundukan itu.

Ketika aku hendak merunduk turun, Amir menahanku. Dengan heran aku memandang dia yang menggelengkan kepalanya. Aku tahu dia juga sebenarnya khawatir dengan kencan kali ini, dia khawatir ketahuan, tapi birahinya membutakannya, sama butanya denganku.

Jadi, menurut aku ketika dia baringkan aku di tempat tidur. Dengan pantatku berada di pinggir tempat tidur, dengan dua kakiku menjuntai menjumpai lantai, Amir bersimpuh di depanku, tepat di depan memekku. Dia angkat kedua kakiku bertengger di sisi tempat tidur. Dia kuakkan lebar kedua pahaku, lalu dia datangi kemaluanku.

Menjengit aku karena bibirnya menekan memekku. Dia usel-uselkan bibirnya di bibir kemaluanku dan terangkat pantatku. Dia tusukan lidahnya ke lubang kemaluanku dan melenguh aku. Di balik segala keterburu-buruan persetubuhan kami kali ini, ada sensasi yang membuat aku begitu bergairah. Rasa takut karena adanya peluang akan diketahui orang, rasa was-was akan tertangkap basah, membuat detak jantung terpompa lebih cepat.

Terhenti lenguhanku karena Amir meninggalkan cumbuannya di memekku. Kutatap dia yang berdiri menjulang didepanku, lengkap dengan seragam pestanya yang memuakkan itu. Tersenyum aku, puas. Dia keluarkan kontolnya dari celana dalamnya. Setelah itu, dia tarik kakiku ke depan, lalu dikuakkan kedua pahaku, dan dia datangi kemaluanku.

Kutahan nafasku ketika kontol itu mencari lubang kemaluanku. Ternganga mulutku ketika kontol itu menusuk perlahan ke dalam lubang kemaluanku, membuat sesak lubang kemaluan. Lubang kemaluan yang sudah basah menyebabkan dengan mudah batang bulat panjang itu terbenam dan aku melenguh panjang.

Berpegangan aku di lengannya yang memegangi kedua dengkulku ketika kontol Amir menusuki kemaluanku. Maju mundur kontolku itu di dalam lubang kemaluanku, membuat merem melek mata ini dan mendesah-desah nikmat aku."Ah-ah-ah..."

Kubuka mataku karena Amir menghentikan tusukannya. Melenguh aku ketika dia cabut kontolnya dari kemaluanku. Dia turunkan kaki kiriku menjuntai ke lantai, lalu, sambil meremas payudaraku, dia timpakan kaki kanannya ke pahaku.

"Ah,"lenguhku ketika batang bulat panjang itu kembali menempel di ambang lubang kemaluanku. Kuambil kontolnya dan kuarahkan masuk ke lubang kemaluan itu. Kenikmatan kembali aku rasai karena kontol itu merambah masuk, pelan-pelan.

Ketika batang bulat panjang itu sudah tertanam sempurna, Amir menariknya mundur untuk kemudian dimajukannya kembali dan memekku menyambutnya penuh sukacita. Mendesah aku ketika kontol itu terus maju mundur menggagahi kemaluanku, makin cepat dan kian deras dan aku kesurupan. Desahan memenuhi kamar tidur tapi tertutup oleh suara anak-anak yang bergantian bernyanyi di rumah sebelah."Ah-uh, ah-uh, ah-uh..."desahku lepas.

Amir mengangkat kaki kananku meninggi. Menempel kakiku itu di pahanya, membuat aku menyamping, membuat memekku menjepit kuat batang bulat panjang itu, tapi Amir memaksakan kontolnya tetap menusukinya dan dengan kewalahan aku mendesah. Kuku jariku kuat mencengkeram di lengannya.

Kembali aku diterlentangkannya. Ditindihnya aku dan kusambut bibirnya. Lugas dan hangat kami berciuman sementara lubang kemaluan yang sesak dengan batang bulat panjang itu terus saja dia pompa.

"Amir,"panggilku disela desahanku.

"Ya, sayang,"sambutnya.

"Enak..."

Dia tegakkan badannya. Menatap aku, lalu,"Apa, Ceu? Coba diulang kata-katanya."

Aku tersenyum, lantas kupejamkan mataku, mengabaikan pertanyaan Amir. Yang pasti aku puas sekali hari ini dan aku ingin lebih lama menikmati kemenangan ini. Kupegang pinggang Amir dan kutarik maju untuk kemudian memundurkannya, lalu Amir pun melupakan pertanyaannya dan terus kubiarkan menggagahiku. Kembali aku melenguh. Kulepaskan bebas desahanku. Amir tetap bersemangat.

"Aku mau keluar...,"Berbarengan dengan itu, Amir mempercepat tusukan kontolnya dan aku menikmati serangan terakhir itu sebelum kemaluanku dipenuhi sperma Amir.

Tapi... "Ceu!"Ada teriakan dari arah ruang belakang.

Spontan Amir mencabut kontolnya dari lubang kemaluanku. Cemas wajahnya. Sambil menjauhi aku, dia pegangi kontolnya, tapi dapat aku rasakan air hangat menimpa di pahaku. Sepertinya dia sudah ejakulasi, sehingga spermanya muncrat kemana-mana.

Di dalam kamar tidurku, kelabakan kami. Semoga orang itu tidak langsung melongok ke dalam kamar tidur, doaku yang masih telanjang.

"Ceu,"kembali namaku dipanggilnya, tapi tidak masuk dia. Santun sekali orang ini, sempat aku memujinya.

Kesempatan itu kami ambil. Mukena yang menggantung aku tarik dan cepat mengenakannya. Setelah itu, kusuruh Amir yang masih mendekap celana panjangnya untuk masuk ke bawah kolong tempat tidur. Kuambil baskom berisi gundukan pakaian yang belum disetrika dan menaruhnya di kolong tempat tidur sehingga menghilang Amir. Setelah itu, kusambar sajadah dan aku keluar.

"Ada apa, Eti?"Ternyata Eti, tetangga sebelah rumah yang memanggil.

"Dicari Ceu Juju, Ceu,"ucapnya."Acaranya hampir selesai. Sudah siap-siap makan."

"Eceu ganti pakaian dulu, ya,"ujarku,"Eceu habis salat."

Menghilang kembali aku ke dalam kamar. Kututup pintu kamar tidur. Amir sudah lepas dari persembunyiannya. Duduk dia di lantai, di sudut ruang. Tersenyum sambil mendekap celana panjangnya.

"Dipakai celananya,"ucapku pelan.

Kulepaskan mukena. Sengaja aku bugil dihadapannya. Aku maju mundurkan pantatku sebentar dan lalu kembali aku kenakan celana dalamku, kupakai behaku, dan terakhir mengenakan daster. Sebelum aku keluar dari kamar tidur, kukedipkan mataku dan kumonyongkan mulutku. Muah-muah!
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Ohhhh indahnya, seuntai memory yang mempesona, menjadi prsasti didalam hati yang tentu saja kan terbawa sampai mati... Sungguh kerennnn
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd