Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Bimbingan Skripsi Membawa Nikmat [Remake by : Bantengamuk]

Siapa Perempuan yang Suhu-Suhu Favoritkan di Cerbung ini ?


  • Total voters
    750
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Part XIV - Pulang Sejenak

POV Mufti

Pukul 07.00 alarm ponsel berbunyi, membangunkanku dari tidur nyenyak. Kukucek mataku aku lihat tak ada orang selain diriku di kamar ini. Kucari di kamar mandi pun tak ada, bahkan travel bag Fitri pun raib tak tahu dimana. "Wah kabur kemana tu anak ?" tanya Mufti dalam hati, diraih lah handphonenya lalu menelpon Fitri. Namun sayang hanya jawaban "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi" yang kudengar.

Sesaat setelah menyerah, mataku tertuju pada sebuah selembar kertas yang ada di meja. Catatan yang berada di dekat botol congyang yang sudah kosong itu bertuliskan, "Muf, aku balik dulu ke Banyumas. Lupakan saja kejadian semalam". DEG ! Tulisan itu terasa bagai palu godam yang memukul kepalaku. Apa aku sudah melakukan tindakan yang tak senonoh padanya ?

"Duh Gusti kok dadi ngene lelakon sing kudu tak lakoni (Duh Tuhan kok jadi begini jalan hidup yang harus kujalani)" gumamku pelan. "Oalah muf, kok tega-teganya kamu menyakiti perasaan perempuan yang baik padamu" ucapku pada diriku sendiri dalam hati. Entah mengapa rasa bersalah berayun-ayun di dalam sanubari.

Aku tak boleh berdiam diri disini, aku harus segera check out, ruang ini mengingatkanku akan kejadian semalam. Kuputuskan untuk pulang ke Karanganyar, untuk menengok ibu dan adik-adikku, dan tentu saja coffee shop yang menjadi sumber penghidupanku.

Setelah mandi dan beres-beres, kutinggalkan begitu saja hotel yang sudah dibooking sampai besok. Melalui aplikasi ojek online aku memesan driver yang mengantarkanku menuju ke Stasiun Poncol. Singkat cerita aku naik KA Kalijaga jam 9 dan sampai di Stasiun Balapan Solo sekitar jam 12 kurang seperempat. Di dekat pintu keluar Mas Suro, karyawan coffee shop ku, sudah menungguku. Memang sebelumnya aku sudah mengabari dia untuk menjemputku.

"Mas Suro ! Piye kabare ?" sapaku lalu kami berpelukan setelah lama tak bersua. Pria yang hampir menginjak kepala tiga ini memelukku begitu erat. Tampilannya tak berubah, rambutnya yang dikuncir kuda dan kumis tebalnya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan orang-orang yang berdiri di pintu keluar.

Sebelum mengantarkan ke rumahku, aku mengajaknya untuk makan siang terlebih dahulu. Begitulah caraku untuk menjaga loyalitas karyawanku, makan dengan menu yang sama dan duduk semeja. Aku memintanya untuk mampir sejenak di warung sate kambing yang tak jauh dari stasiun.

"Mas, kowe sek kuat mangan iwak wedhus to ? Ndak mengko wes hipertensi kowe hahaha (Mas, kamu masih kuat makan daging kambing kan ? Takutnya nanti udah kena hipertensi kamu hahaha)" aku memang terbiasa bercanda dengan karyawanku sendiri, biar nggak kaku.

"Gladuk, yo ra lah mangsamu. Wong umurku yo ra kacek adoh karo kowe !(Gladuk, ya nggak lah. Wong umurku nggak selisih jauh sama kamu !)" jawabnya disertai dengan umpatan. Tak masalah bagiku karena dia sudah kuanggap seperti saudara sendiri, lebih tepatnya teman seperjuangan.

Waktu coffee shop ku buka awal-awal, kami berdua yang bekerja dari sore hingga larut malam. Sebelum ikut denganku, ia hanyalah pemuda desa yang menganggur dan hanya mabuk-mabukan hampir tiap malam. Tapi dia memiliki motivasi untuk maju, dan kini ia sudah berpenghasilan sebesar UMP Jawa Tengah. Memang kebijakanku adalah menggaji karyawanku dengan upah yang layak, memang ora nyugihi nanging biso nguripi (tak membuat kaya tapi bisa menghidupi) bagi karyawanku. Kala masih aktif di coffee shop aku juga menggaji diriku sendiri yang bertindak selaku manajer, karena uang pribadi dan usaha kupisahkan seketat mungkin.

"Piye kabare Notoroso sak juk e tak tinggal ? Bloko sutho wae mas (Gimana kabarnya Notoroso semenjak kutinggal ? Jujur aja mas)" tanyaku pada Mas Suro. Notoroso adalah nama coffeshop ku.

"Mundak rame mas, awit dicekel adimu Arimbi san soyo maju pokoke (Semakin rame mas, mulai dipegang/dimanajeri adikmu Arimbi semakin maju pokoknya)" lapornya apa adanya. Semenjak aku kembali ke Bandung, pengelolaan Notoroso kuserahkan pada adikku, Arimbi. Meskipun pada saat itu ia masih kelas 1 SMK, namun minat bakatnya yang besar pada tata boga. Toh, ini bisa jadi tempat baginya untuk belajar langsung.

Sekalipun aku tak ragu pada keputusanku, namun aku memberikannya pedoman yang kunamai 'GBHN' alias Garis-garis Besar Haluan Notoroso hehehe. Cuma tiga isinya : 1) Upah layak 2) Jam kerja manusiawi 3) Pekerja dan pengunjung harus enjoy. Selama aku di Bandung, Arim mengabariku untuk menyegarkan dekorasi Notoroso yang dianggap klasik menjadi agak kekinian supaya lebih bisa diterima Gen Z.

"Sing mbludak saiki orderan es kopi susu mas. Meh ben dino ono ae wong-wong pemda sing mesen pas ngantor" katanya di sela-sela mengunyah makanan. Memang logis jika es kopi susu kini diminati, selain praktis tak semua orang suka single origin. Pesanan dari pegawai-pegawai berbagai dinas pemerintahan daerah mulai banyak setahun belakangan ketika kami sudah buka mulai jam 11 siang lalu tutup jam 10 malam dan bermitra dengan ojek online. Ya setidaknya aku meninggalkan sebuah legacy untuk Notoroso yang kudirikan.

"Eh mas, sampeyan kudu weruh karyawan anyar iki. Jan mening pokoke (Eh mas, kamu harus tau karyawan baru ini. Cantik banget pokoknya)" kata Mas Suro antusias. "Bekas terapis di Solo Baru, namanya Popi" ujarnya sambil memperlihatkan fotonya.

Popi

"Wah mantep iku mas, coba bribiken wae. Sopo ngerti jodo kan iso ngapiki keturunanmu hahaha (Wah mantep itu mas, coba gebet aja. Siapa tau jodoh kan bisa memperbaiki keturunanmu hahaha)" tanggapku mencandainya.

"Wuasuu, koyok aku elek-eleko dewe wae. Mundur alon-alon aku mas, ra kuat nukokne wedak karo ngramut anake ngko. Mbobot 5 sasi wisan (Wuasuu, kayak aku sejelek-jeleknya orang aja. Mundur pelan-pelan aku mas, nggak kuat belikan bedak sama ngurus anaknya nanti. Sudah hamil 5 bulan)" terang Mas Suro. Mufti heran mengapa Arim tidak melapor padanya, segala kebijakan terkait manajemen Notoroso tentu harus sepengetahuan dia.

"Kudune we sek ning Notoroso to ? Yo wes terno aku mulih (Harusnya kamu masih di Notoroso kan ? Ya udah anterin aku pulang)" kataku setelah makanan kita habis.

"Oklik Mas Mufti" jawabnya singkat, lalu kubayar semua makanan dan minuman yang kami pesan. Kemudian dengan dibonceng Jupiter MX Mas Suro aku pulang ke rumah. Tak sampai setengah jam, aku sudah sampai di depan pagar rumah dan Mas Suro sudah kembali ke Notoroso.

Di rumah, ibu yang tak kukabari kalau aku pulang begitu terkejut ketika aku ada di depan rumah. Tapi aku melihat ada dua orang tetanggaku yang ada di rumah ini sedang mengepak barang-barang.

"Hoalah leee....piye kabarmu ? Kuliahmu lancar-lancar saja to le ?" kata ibuku sambil memeluk dan mencium pipiku.

Aku yang agak risih dengan pelukan dan ciuman ibu di depan ibu-ibu tetangga yang ada di depan rumah pun berkata, "Udah to bu, malu dilihat Bu Nur sama Bu Dwi. Aku kan udah gede" kataku malu karena di usia 25 Tahun aku masih dicium oleh ibuku. Dua orang itu cuma cekikan melihat aku dan ibuku.

"Haha ya gak apa-apa to le... Namanya juga kangen anaknya. Ya wes ndang masuk dulu" perintahnya.

Setelah berganti pakaian, aku menuju ruang tengah tempat mereka mengepak barang, aku pun heran, "Ini ada apa to bu ? Kok kayak mau ngirim paket ?" tanyaku.

"Iya, sekarang ibu kan jualan online. Baju-baju gamis kayak gini. Ya alhamdulillah muf, ibu, Bu Dwi sama Bu Nur ada kesibukan yang menghasilkan" jelasnya padaku.

"Oalah syukurlah bu kalau begitu. Jadi seneng liatnya. Lha Arimbi sama Sinta pulangnya jam berapa ?

"Arim pulang jam 3, paling habis itu langsung ke Notoroso. Lha kalau Sinta paling jam 2 udah pulang sendiri naik sepeda. Lha kamu itu habis darimana to le kok belum libur semester udah pulang ?" tanya ibu.

"Dari kemarin saya ke Semarang bu, ada penelitian. Alhamdulillah saya sudah Sidang Proposal bu, tinggal nyelesaikan sisanya buat Sidang Akhir" kataku untuk menenangkan ibu. Supaya ia tak perlu khawatir mengenai masa depanku seperti yang sudah-sudah. Memikirkan masa depan anaknya seorang diri tanpa seorang ayah sungguh berat, duh jadi sedih.

"Aku masuk ke kamar dulu ya bu, agak capek soalnya" kataku meninggalkan ibu lalu masuk kamar lalu tidur sebentar. Jam 4 sore aku baru bangun, aku menyapa Sinta dan kadang menjahili adik bungsuku yang masih SMP ini. Setelah puas menggodai adikku yang manja ini, aku pamit pada ibuku, "Bu, Mufti berangkat ke Notoroso ya. Nyidak anak-anak bentar hehe". "Ya udah le, ati-ati. Lek bisa jangan malem-malem pulangnya" pesan ibuku.

Kupacu motor mio lawas yang sering dipakai ibuku untuk bepergian. Aku sudah tiba di depan rumah joglo yang dipinjamkan secara cuma-cuma oleh Pakde Noto, sahabat karib almarhum ayahku yang tinggal di Jakarta. Sangat beruntung sekali untukku mendapat tempat yang cukup strategis di tengah Kota Karanganyar, ditambah dengan modal yang cukup besar untuk membangun Notoroso. Nikmat mana lagi yang kudustakan kalau mendapat keberuntungan, mungkin banyak orang iri mendengar ceritaku ini, tapi aku harus membayarnya dengan kerja keras dan integritas agar tak sia-sia. Bahkan hingga kini Om Noto belum pernah menyambangi Notoroso.

Sedari berangkat aku menutupi wajahku dengan masker agar tak diketahui para pegawai serta Arim, dan ditambah aku memilih untuk duduk di meja luar. Aku ingin melihat cara mereka bekerja, apakah poin ketiga GBHN ku terlaksana. Arim nampak begitu dewasa, ya meninggalnya ayahku nampak membuatnya jadi perempuan yang mandiri dan tangguh.

"Lho heh.... Mas Mufti..." teriaknya sesaat setelah mengantarkan pesanan di meja seberangku.

"Mas....kamu tuh pulang kok nggak ngabari to ?" ucapnya separuh berteriak kemudian mencium tanganku.

"Lha aku sengaja nyidak kalian hlo. Habis dari Semarang kangen rumah ya udah aku mampir dulu" jelasku pada adikku ini.

Akibat kehebohan Arim, tiga orang pegawai : Mas Suro, Deva, dan seorang pegawai baru yang perutnya membuncit menghampiri mejaku. Baik Deva dan pegawai baru ini menyapa dan menyalamiku.

"Mas Mufti, kenalin namaku Popi" ucapnya lembut. Aku hanya mengangguk sok cool.

"He rim, kamu harusnya marahin Mas Suro. Soalnya dia yang jemput aku tadi siang. Kan harusnya dia laporan ke manajer hehehe" kataku memprovokasi.

"Mas Suro ki kebiasaan lho. Ada masku dateng malah nggak ngasih tau. Mas Mufti juga malah ngabari Mas Suro, adiknya sendiri malah ndak. Nganyelne kabeh ah (Nyebelin semua ah)" katanya lalu memukul pelan lengan Mas Suro.

"Wes udah, Arim ikut aku ke meja makan. Yang lain balik ya layani pelanggan" perintahku seolah kembali menjadi manajer. "Oh ya dev, bikinin aku juga ya kayak biasa, taruh sini aja" kemudian aku beranjak menuju meja makan yang satu ruang dengan dapur diiringi oleh Arimbi. Kami duduk berhadapan seolah akan ada hal serius yang dibicarakan.

Tanpa kutanya, Arim menyerahkan hardcopy laporan keuangan bulan ini, sebetulnya softcopynya sudah ia kirimkan lewat WA. Adikku ini bercerita bagaimana perkembangan dan kendala selama sebulan ini. Masukan-masukannya penting untuk kudengar agar orang yang seumuran dengannya tertarik untuk nongkrong di Notoroso. Aku ingin kafe ku ini memadukan nilai klasik dan kontemporer. Malah obrolan kita sampai pada gimana kalau kita memproduksi olahan biji kopi selain minuman seperti parfum mobil, sabun, atau bahkan masker, yang mungkin dalam jangka waktu 6 bulan ke depan bisa kita produksi.

"Rim, kayaknya ada satu yang belum kamu laporin ke aku" ucapku dengan tatapan serius.

Seperti lupa Arim pun "Apa itu mas ?"

"Soal pegawai yang baru, kok kamu nggak konsultasi dulu ke aku kalau mau rekrut orang ?" tanyaku mengintrogasinya. Dalam hal tertentu hubungan adik-kakak harus dipisahkan terlebih dahulu dalam usaha.

Dengan raut muka panik, Arim pun menjelaskan, "Duh kak, maaf ndak ngasih kabar. Nggak maksud ngelangkahin atau apa, sumpah. Mbak Popi itu kakaknya temenku sekelas, dia itu habis keluar dari tempatnya kerja gek terus lagi hamil, malahan lanange ndak mau tanggung jawab. Kan kasihan to mas, karena dia bisa masak ya kuminta jadi koki aja sambil belajar roasting ke Mas Suro atau Deva" ungkapnya panjang lebar.

"Lha terus mbok gaji berapa ?" sebetulnya aku menduga ada yang keliru.

"800 ribu mas" kata Arim.

"Duh dek, kamu itu kok kebangeten to. Perempuan lagi hamil mbok suruh kerja kayak biasa terus mbok gaji segitu ya kamu mulosoro orang namanya !" entah kenapa amarahku meluap untuk sesaat, naluriku terusik.

Aku tahu kalau ia sedang belajar mengelola sebuah bisnis, aku berusaha mengendalikan emosi, "Gini dek, aku bikin bisnis ini selain nguripi keluarga kita juga nguripi orang yang ikut kerja sama kita. Kita ini masih beruntung dek ada modal dan skill walau dikit, cara kita bersyukur ya dengan memperlakukan mereka secara manusiawi. Insyaallah usaha kita bakal berkah kok. Pokoknya mulai bulan depan naikkan gaji Popi sesuai UMP Jateng terus kamu kasih jatah cuti melahirkan, googling aja di internet" kujelaskan agak panjang agar ia dapat meresapi GBHN yang sudah kubuat.

"Ya wes dek kamu balik ke depan ya. Apa yang kamu lakuin udah bagus kok, tinggal improve dan koreksi kalau keliru. Tolong panggilin Popi, aku pengen ngobrol sama dia" perintahku pada Arim, ada rasa bangga pada adikku yang begitu kuat menggantikan peranku sejauh ini.

"Silahkan duduk Mbak Pop" saat ia membuka pintu dapur.

Dengan wajah tegang ia menghadapku, "Mas, tolong saya jangan dipecat dulu. Saya butuh biaya buat melahirkan".

"Aku manggil kamu kesini bukan mecat kamu lho, mbok jangan negative thinking ke aku. Aku tuh belum pernah ketemu ngobrol sama kamu, gimana kerja disini ? Betah nggak ?" tanyaku sehalus mungkin.

"Betah kok mas, malah disini saya dapet ilmu baru soal masak sama mbarista dari Mas Suro atau Deva. Kerasa kayak keluarga sendiri mas" jawabnya sudah agak rileks.

"Oh syukurlah kalau begitu, usia kandungan berapa bulan mbak ?" tanyaku.

"Sudah lima bulan mas" terlihat dari perutnya yang sudah mulai membesar.

"Biasanya kamu ditugasin apa sama Arim atau Mas Suro ?" tentu harus kutanya selama ini dia diperlakukan manusiawi atau tidak.

"Masak menu, buat minuman non coffee atau kadang disuruh eksperimen bikin single origin. Sesuai SOP kalau ada pelanggan yang dateng sendirian terus keliatan butuh temen ngobrol ya saya temenin mas. Tapi mas aku ngerasa dingertiin disini, kalau lagi capek ya mereka cover kerjaanku kok mas." katanya. Tatapan matanya begitu menggoda, pantas saja banyak tamu laki-laki yang ngopi disini. Oalah baru paham.

"Eh sebelumnya kamu kerja dimana mbak ?" tanyaku, tujuanku memancing hehehe.

"Duh malu aku ngomongnya" Popi terdiam sejenak, "Di spa yang ada di Solo Baru mas, aku memang pensiun mas. Panjang pokoknya alesannya, nggak mau lagi deh kerja disana" kata Popi.

"Ya udah gak apa-apa mbak pop. Jalan hidup orang beda-beda" hiburku agar tak mengingatkannya pada hal yang buruk. "Aku bukan maksud lancang atau apa. Badanku lagi pegel-pegel nih, kamu kan bisa mijet. Tolong pijetin, nanti aku bayar kok" ucapku diplomatis, berhati-hati agar tak menyinggung perasaannya.

Popi nampak berpikir sejenak, bingung mempertimbangkan situasi butuh uang atau tobat. Tapi dibenaknya kalau menolak bisa saja dipecat, "Nggih mas, paling pijetnya di kosanku aja ya. Biar nggak jauh kesini kalau udah masuk jam kerja" ujarnya menerima.

"Ya udah besok aku dateng jam 8. Mbak pop aku minta nomermu biar nanti bisa kontakan" akhirnya kami bertukar nomer telepon untuk memudahkan esok hari. Setelah itu kami keluar, perbincangan sudah selesai. Deal.

Sejenak kunikmati single origin Robusta dari Dampit Malang sembari menghisap Surya. Aku tak menghabiskan malamku di Notoroso, setelah habis gelasku aku pulang untuk menikmati masakan makan malam ibu. Hari ini campur aduk rasanya bagai nano-nano.

Keesokan Pagi

Di rumah aku tak bisa bangun siang, karena tiap azan subuh berkumandang ibuku selalu menggedor-gedor pintuku. Ia konsisten membangunkanku untuk sholat subuh, karena aku disuruh mengimami ibu dan kedua adikku. Tak hanya menggantikan peran almarhum ayahku secara materiil namun juga spiritual. Oh ibu, oh adik-adikku, maafkan anak/mas mu ini yang jauh dari iman dan taqwa.

Setelah melaksanakan sholat subuh aku melanjutkan tidurku yang tertunda. Jam setengah 8 aku bangun, segera aku menghubungi Popi dan mandi agar lebih segar. Ternyata ia sudah shareloc kosan, benar tak jauh dari Notoroso. Tanpa membuang waktu aku meluncur ke lokasi.

Di depan pagar kosan yang begitu sederhana ini aku menunggu Popi untuk keluar. Tak lama kemudian ia keluar mengenakan daster longgar, bagi ibu hamil pakaian ketat terasa tidak nyaman mungkin.

"Ayo mas, masuk..." ajaknya untuk masuk ke kamarnya, bagaikan orang yang terhipnotis aku mengekor di belakangnya. Sesampainya di dalam kamar Popi menyiapkan peralatan pijat beserta dua buah handuk kering, sementara aku melepas semua pakaianku hanya menyisakan celana dalam.

Aku diperintah untuk tengkurap di atas kasur. Lalu Popi menutupkan selembar handuk ke punggungku mulai leher hingga pantat dan mulai memijit telapak kakiku. Selanjutnya aku tidak menjelaskan tahapan-tahapan pijat.

"Sebentar ya mas, mau ke toilet" izinnya.
"Ya" jawabku singkat.

Saat kembali dia memijatku kembali. Mungkin lelah terlalu lama bersimpuh saat memijatku tadi, Popi naik ke kasur dan memijat kaki sebelahku yang belum disentuhnya dari tadi. Selanjutnya dengan mengangkang dia memijat punggungku. Terasa paha halusnya yang tak dilapisi apapun saat bersentuhan dengan pahaku.

"Dulu kamu pernah diisengin sama tamu nggak mbak ?" tanyaku penasaran.

"Itu sih sering mas, santapan setiap hari !" jawabnya tegas. Pijatannya begitu terasa enak di badanku.

"Maaf mas, tak tinggal ke toilet lagi" izinnya kembali.

"Monggo" jawabku singkat, membuyarkan kenikmatan pijatannya.

Tak lama Popi meneruskan pijatan yang belum selesai. Setelah menyelesaikan pijatan tadi, dia berkata, "Mau pakai krim nggak mas ?" tanyanya, kuiyakan saja karena aku penurut kok hehe.

"Sorry njih mas" ucapnya sambil melipat celana dalamku, menjepitnya ke celah-celah pantat, dan akan menutup sisi CD dengan handuk, "Tolong dilepas aja mbak" pintaku.

Dia menarik handuk dan melepaskan celana dalamku yang tersisa. Sehingga aku dalam keadaan bugil sekarang. Popi mulai meratakan krim di seluruh permukaan kulit kakiku, dan mulai memijit, dan beberapa menit kemudian, "Sebentar njih mas, mau ke toilet lagi" izinnya untuk ke tiga kalinya.

"Oke mbak" responku singkat. Aku tak protes, karena tahu saat hamil kandung kemihnya tertekan oleh kandungan. Itu saja sih yang wong waktu SMA aku ambil IPS hehehe.

Setelah kembali masuk kamar Popi mulai memijat kaki satunya lagi. Karena tak ada tempat lagi untuk duduk di atas kasur, ia duduk di atas pantatku yang dilapisi handuk dan mulai mengolesi krim. Saat sebelah kakinya diangkat untuk mengangkang terasa pahaku bergesekan dengan paha bagian dalamnya yang ada rambut atau bulunya. Tapi kuabaikan saja, mungkin cuma perasaanku saja.

Setelah punggungku rata dengan krim, ia mulai memijat. Posisi memijatnya adalah maju mundur, mulai dari pinggangku ke arah pundak. Karena cara memijat dan tumpuan duduknya pada tempat yang tidak rata walaupun dilapisi oleh handuk, lama kelamaan dia bergeser dan terpeleset ke arah pangkal pahaku. Dia mengembalikan posisi duduknya ke pantatku lagi. Saat bergerak maju, tepatnya saat mengurut dari pinggang ke arah pundak, dia terpeleset lagi.

Mungkin karena repot harus membenarkan handuk, ia duduk di atas pantatku tanpa handuk. Pun tempo pijatannya sudah semakin cepat. Tapi yang kurasakan bukan punggungku lagi, akan tetapi di pantatku ada sesuatu yang berambut atau berbulu membuatku geli.

Aku yang penasaran menoleh ke belakang, arah pantatku.

"Ampun ditingali mas, isin (Jangan dilihatin mas, malu)" kata Popi, tadi sekilas aku dapat melihat ada bulu kemaluan yang menghiasi kewanitaannya. Pantas saja terasa agak geli karena ada rambut atau bulu, wong dia nggak pake celana dalam.

"Kenapa kok nggak pakai kampes (celana dalam) mbak ?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Lha capek aku mas, tiap pipis harus melorotin celana dalem. Pas pertama aja udah capek jongkok" jawabnya menanggapiku. Selesai memijat punggung, dia mulai mengeringkan krim dengan posisi berlutut.

"Mas mlumaho (balik badan, terlentang)" perintahnya. Aku segera membalikkan badanku dan kulihat wajahnya. Tapi dia tidak melihatku malah melihat kemaluanku yang masih belum ereksi.

"Kok mbok cukur mas ?" tanyanya tanpa basa-basi setelah melihat juniorku yang tanpa bulu.

"Ben resik wae hehe (Biar bersih aja hehe)" jawabku slengean.

"Opo gak ngeroso keri mas dicukur ngono (Apa gak kerasa geli mas dicukur gitu) ?" tanyanya penasaran.

"Lha tadi pantatku udah mbok bikin geli hahaha" kataku bercanda. Ia pun tertawa. Kemudian Popi meminggirkan kedua kakiku agar dapat duduk di pinggir tempat tidur, lelah memang kalau dia harus berlutut kelamaan.

"Mbak pop, sebetulnya aku heran. Bojomu kok ya tega, udah hamil sebesar ini kok masih disuruh kerja" tanyaku pura-pura tak tahu statusnya.

"Walah mas, lebih tega lagi. Wong dia nggak ngakoni ini hasilnya, terus minggat gitu aja" jawabnya sambil menunduk dan terus memijat kakiku. Terpancar raut kesedihan di wajah ayunya.

Setelah mengeringkan kakiku, dia menggosok betisku yang berbulu dengan handuk. Lalu Popi mengangkangi kakiku tadi dan menggosok pahaku dengan handuk. Terasa bulu betisku terasa beradu dengan sesuatu yang bikin geli. Aku pura-pura tak tahu dan kuperhatikan wajahnya tidak berubah sedikitpun. Perubahan terjadi pada alat kelaminku, juniorku sudah tegak berdiri menantang duel hehehe.

Seperti tak mempedulikan batangku, entah karena sungkan atau terbiasa melihat, ia memijat kakiku yang sebelah. Perlakuan yang sama dengan kakiku yang sebelah tadi, juga gesek-menggesek.

Setelah selesai dengan kaki, dengan menggoda Popi berkata, "Perutnya mau dipijat Mas ?" tanyanya. Aku pun menjawab, "Ya mbak". Dengan mengangkangi kemaluanku, ia mulai memijat dari arah perut ke atas melebar ke sekitar pundak. Semakin lama tempo pijatannya makin dipercepat. Disengaja atau tidak posisi penisku berada di sela-sela bibir vaginanya.

"Mas, wes pernah main sama cewek belum ?" tanyanya vulgar.

"Udah kok mbak, kenapa ?" tanyaku mengikuti arah pembicaraannya.

"Lek aku pengen kentu sama Mas Mufti gimana ?" tanyanya balik dengan diksi yang kotor. Sewaktu Popi berkata demikian, antara kepala penisku dan bibir vaginanya sudah melekat. Bibir vaginanya lumayan tebal dan sudah cukup basah untuk penetrasi, maklum sedang hamil

"Ya wes mbak, manut (nurut)" kataku sok pasrah. Seketika ia melepaskan dasternya dan mulai memasukkan kemaluanku ke dalam kewanitaannya. SLEPP ! Terasa begitu licin tapi agak longgar. Kurasakan juga kepala penisku menyentuh sesuatu, seperti ada benjolan di bagian dalam vaginanya.

Popi tidak melakukan gerakan naik turun yang tentu melelahkannya, ia hanya bergoyang-goyang maju mundur. Goyangannya semakin lama semakin merunduk, kepalanya mendongak ke belakang. Pahanya terbuka begitu lebar mengingat perut besarnya. Klitorisnya bergesekan dengan bulu kemaluanku yang tumbuh kasar di atas batang penisku.

Sekitar menit kemudian ia membalikkan badannya tanpa melepas kontolku yang menancap di liang surgawinya. Gerakan yang sama dia lakukan, tanpa naik turun. Dia menahan lenguhannya, agar tak terdengar sampai ke luar. Hanya keluar suara hembusan nafasnya yang berfrekuensi tinggi, semua dilakukan melalui hidung. Nampak sekilas ia menggigit bibir bawahnya, mengunci mulutnya agar tak keluar suara.

Akhirnya tangannya meremas pergelangan kakiku dan mengedan. Terasa sekali denyutan lubang anusnya. Ia pun orgasme. Popi pun terlentang tampak lemas di atas tubuhku tanpa melepas penisku. Aku yang merasa belum ejakulasi memintanya untuk rebahan. Ia menuruti perintahku, kini aku berlutut di depannya bersiap untuk penetrasi ke dalam vaginanya. Kumajumundurkan pinggulku dalam keadaan lambat, karena takut melukai janin yang dikandungnya.

PLOK
PLOK
PLOK

Kulakukan gerakan seperti ini, tanpa menindihnya, agak lama 15 menit lebih mungkin. Terasa penisku mulai berdenyut, "Mbak...aku mau keluarrgh" bersamaan dengan ini spermaku menyembur dari kontolku. Sesaat kemudian, vaginanya berdenyut dan cairan kami menyatu di dalamnya. Aku pun melepaskan batang kemaluanku dan mencium bibirnya, lalu duduk di ujung kasur.

"Duh, kok banyak banget to pejuhmu ?" tanyanya sambil membersihkan vaginanya yang berbulu ini. Pun di atas spreinya menetes cairan kejantananku yang lengket. Jam sudah menunjukkan 10 kurang, aku pun berdiri mengambil dompetku.

Kuserahkan tiga lembar uang berwarna merah dan satu lembar warna biru sebagai bayaran atas pijat, diterimanya dengan senang hati. "Matur nuwun ya mas" ucapnya dengan senyuman. Aku pun membalas dengan senyuman, "Aku sudah kasih instruksi ke Arim kalau gajimu bakal sesuai UMP Jateng, terus nanti ada juga cuti kelahiran buat kamu dan tetep nerima gaji".

"Makasih banyak mas" ucapnya penuh syukur lalu mencium tanganku. Sejujurnya agak risih karena tak terbiasa disalimi. Lalu ia berpakaian dan akan mandi, sudah mendekati jam 11. Sementara aku pergi ke alun-alun untuk sekedar bengong.

Aku sedang berpikir keras bagaimana agar bisnisku survive, syukur-syukur naik kelas. Badan usaha yang lebih kuat legalitasnya pun aku belum bentuk, duh ! Notifikasi WA ku berbunyi.

[10.15] Arum : Hi muf how are u ?
[10.15] Mufti : I'm fine teh, and u ?
[10.16] Arum : Fine too
[10.16] Arum : Km lg dmn ?
[10.17] Mufti : Lagi pulkam bentar teh, besok udh balik.
[10.19] Arum : Okay muf, kabarin ya kalau udh di Bandung 😘

Gayung bersambut, apa Teh Arum bisa jadi saranaku untuk menghapus kegelisahan yang kurasa saat ini ? Semoga saja begitu.

****
Di Bandung

POV Irma


Bete rasanya udah diparaf 'acc' sama Bu Puspa, eh malah sama Pembimbing II disuruh revisi. Huhu padahal kan bentar lagi kan bisa Sidang Proposal. Pengen nangis, hikss.

Beberapa hari ini rasanya agak boring gak ada Kak Mufti. Chatting sih, tapi mungkin agak sibuk ya jadi agak lama balesnya. Rio mah jangan ditanya, udah beberapa hari ini gak ada kabar. Gak tau lah gue masih dianggep pacar apa bukan.

Kuketik search engine di laptopku. Kelihatan sepintas ada web yang asing, 46.166.167.16, apa ini ? Kuklik aja terus keluar tulisan Forum Semprot. Ada akun yang usernamenya @bantengocok, emang aku pernah login ? Punya akun ini aja nggak.

Kubuka notifikasi yang nenumpuk begitu banyak. Kuklik aja ngasal, keluar lah thread yang berjudul "[FR + PIC] Malam Mantap-Mantap bersama Miss X @ Kota Pahlawan". Kubaca bahwa si penulis sedang dimutasi di Surabaya. Kemudian ditulis bahwa "mumpung lagi LDR ama pacar & toh nggak bakal dikasih juga". Gue makin penasaran, kok kerasa familiar ya. Kubuka saja profilenya dan kulihat thread yang dibuatnya. Aku kaget bukan main, banyak thread yang dibuatnya, ternyata ada di Bandung dan Jakarta. Ada petunjuk lain, kalo satu-satunya cowok yang minjem laptop gue cuma Rio ! Anjing !

Tanpa berpikir panjang lebar, aku sangat yakin, aku chat Rio dan kutuliskan : "KITA PUTUS YA. SENENG-SENENGIN LAH YA AMA LONTEMU"

Tak kerasa air mataku netes di perpustakaan yang sepi ini. Keperawanan yang kujaga buat Rio kayak gak guna, anjing emang. Tapi kok penasaran ya sama Semprot......

Hayo Pilih Yang Mana ? Cuan apa Cinta muf ?

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Part XIV - Pulang Sejenak

POV Mufti

Pukul 07.00 alarm ponsel berbunyi, membangunkanku dari tidur nyenyak. Kukucek mataku aku lihat tak ada orang selain diriku di kamar ini. Kucari di kamar mandi pun tak ada, bahkan travel bag Fitri pun raib tak tahu dimana. "Wah kabur kemana tu anak ?" tanya Mufti dalam hati, diraih lah handphonenya lalu menelpon Fitri. Namun sayang hanya jawaban "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi" yang kudengar.

Sesaat setelah menyerah, mataku tertuju pada sebuah selembar kertas yang ada di meja. Catatan yang berada di dekat botol congyang yang sudah kosong itu bertuliskan, "Muf, aku balik dulu ke Banyumas. Lupakan saja kejadian semalam". DEG ! Tulisan itu terasa bagai palu godam yang memukul kepalaku. Apa aku sudah melakukan tindakan yang tak senonoh padanya ?

"Duh Gusti kok dadi ngene lelakon sing kudu tak lakoni (Duh Tuhan kok jadi begini jalan hidup yang harus kujalani)" gumamku pelan. "Oalah muf, kok tega-teganya kamu menyakiti perasaan perempuan yang baik padamu" ucapku pada diriku sendiri dalam hati. Entah mengapa rasa bersalah berayun-ayun di dalam sanubari.

Aku tak boleh berdiam diri disini, aku harus segera check out, ruang ini mengingatkanku akan kejadian semalam. Kuputuskan untuk pulang ke Karanganyar, untuk menengok ibu dan adik-adikku, dan tentu saja coffee shop yang menjadi sumber penghidupanku.

Setelah mandi dan beres-beres, kutinggalkan begitu saja hotel yang sudah dibooking sampai besok. Melalui aplikasi ojek online aku memesan driver yang mengantarkanku menuju ke Stasiun Poncol. Singkat cerita aku naik KA Kalijaga jam 9 dan sampai di Stasiun Balapan Solo sekitar jam 12 kurang seperempat. Di dekat pintu keluar Mas Suro, karyawan coffee shop ku, sudah menungguku. Memang sebelumnya aku sudah mengabari dia untuk menjemputku.

"Mas Suro ! Piye kabare ?" sapaku lalu kami berpelukan setelah lama tak bersua. Pria yang hampir menginjak kepala tiga ini memelukku begitu erat. Tampilannya tak berubah, rambutnya yang dikuncir kuda dan kumis tebalnya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan orang-orang yang berdiri di pintu keluar.

Sebelum mengantarkan ke rumahku, aku mengajaknya untuk makan siang terlebih dahulu. Begitulah caraku untuk menjaga loyalitas karyawanku, makan dengan menu yang sama dan duduk semeja. Aku memintanya untuk mampir sejenak di warung sate kambing yang tak jauh dari stasiun.

"Mas, kowe sek kuat mangan iwak wedhus to ? Ndak mengko wes hipertensi kowe hahaha (Mas, kamu masih kuat makan daging kambing kan ? Takutnya nanti udah kena hipertensi kamu hahaha)" aku memang terbiasa bercanda dengan karyawanku sendiri, biar nggak kaku.

"Gladuk, yo ra lah mangsamu. Wong umurku yo ra kacek adoh karo kowe !(Gladuk, ya nggak lah. Wong umurku nggak selisih jauh sama kamu !)" jawabnya disertai dengan umpatan. Tak masalah bagiku karena dia sudah kuanggap seperti saudara sendiri, lebih tepatnya teman seperjuangan.

Waktu coffee shop ku buka awal-awal, kami berdua yang bekerja dari sore hingga larut malam. Sebelum ikut denganku, ia hanyalah pemuda desa yang menganggur dan hanya mabuk-mabukan hampir tiap malam. Tapi dia memiliki motivasi untuk maju, dan kini ia sudah berpenghasilan sebesar UMP Jawa Tengah. Memang kebijakanku adalah menggaji karyawanku dengan upah yang layak, memang ora nyugihi nanging biso nguripi (tak membuat kaya tapi bisa menghidupi) bagi karyawanku. Kala masih aktif di coffee shop aku juga menggaji diriku sendiri yang bertindak selaku manajer, karena uang pribadi dan usaha kupisahkan seketat mungkin.

"Piye kabare Notoroso sak juk e tak tinggal ? Bloko sutho wae mas (Gimana kabarnya Notoroso semenjak kutinggal ? Jujur aja mas)" tanyaku pada Mas Suro. Notoroso adalah nama coffeshop ku.

"Mundak rame mas, awit dicekel adimu Arimbi san soyo maju pokoke (Semakin rame mas, mulai dipegang/dimanajeri adikmu Arimbi semakin maju pokoknya)" lapornya apa adanya. Semenjak aku kembali ke Bandung, pengelolaan Notoroso kuserahkan pada adikku, Arimbi. Meskipun pada saat itu ia masih kelas 1 SMK, namun minat bakatnya yang besar pada tata boga. Toh, ini bisa jadi tempat baginya untuk belajar langsung.

Sekalipun aku tak ragu pada keputusanku, namun aku memberikannya pedoman yang kunamai 'GBHN' alias Garis-garis Besar Haluan Notoroso hehehe. Cuma tiga isinya : 1) Upah layak 2) Jam kerja manusiawi 3) Pekerja dan pengunjung harus enjoy. Selama aku di Bandung, Arim mengabariku untuk menyegarkan dekorasi Notoroso yang dianggap klasik menjadi agak kekinian supaya lebih bisa diterima Gen Z.

"Sing mbludak saiki orderan es kopi susu mas. Meh ben dino ono ae wong-wong pemda sing mesen pas ngantor" katanya di sela-sela mengunyah makanan. Memang logis jika es kopi susu kini diminati, selain praktis tak semua orang suka single origin. Pesanan dari pegawai-pegawai berbagai dinas pemerintahan daerah mulai banyak setahun belakangan ketika kami sudah buka mulai jam 11 siang lalu tutup jam 10 malam dan bermitra dengan ojek online. Ya setidaknya aku meninggalkan sebuah legacy untuk Notoroso yang kudirikan.

"Eh mas, sampeyan kudu weruh karyawan anyar iki. Jan mening pokoke (Eh mas, kamu harus tau karyawan baru ini. Cantik banget pokoknya)" kata Mas Suro antusias. "Bekas terapis di Solo Baru, namanya Popi" ujarnya sambil memperlihatkan fotonya.

Popi

"Wah mantep iku mas, coba bribiken wae. Sopo ngerti jodo kan iso ngapiki keturunanmu hahaha (Wah mantep itu mas, coba gebet aja. Siapa tau jodoh kan bisa memperbaiki keturunanmu hahaha)" tanggapku mencandainya.

"Wuasuu, koyok aku elek-eleko dewe wae. Mundur alon-alon aku mas, ra kuat nukokne wedak karo ngramut anake ngko. Mbobot 5 sasi wisan (Wuasuu, kayak aku sejelek-jeleknya orang aja. Mundur pelan-pelan aku mas, nggak kuat belikan bedak sama ngurus anaknya nanti. Sudah hamil 5 bulan)" terang Mas Suro. Mufti heran mengapa Arim tidak melapor padanya, segala kebijakan terkait manajemen Notoroso tentu harus sepengetahuan dia.

"Kudune we sek ning Notoroso to ? Yo wes terno aku mulih (Harusnya kamu masih di Notoroso kan ? Ya udah anterin aku pulang)" kataku setelah makanan kita habis.

"Oklik Mas Mufti" jawabnya singkat, lalu kubayar semua makanan dan minuman yang kami pesan. Kemudian dengan dibonceng Jupiter MX Mas Suro aku pulang ke rumah. Tak sampai setengah jam, aku sudah sampai di depan pagar rumah dan Mas Suro sudah kembali ke Notoroso.

Di rumah, ibu yang tak kukabari kalau aku pulang begitu terkejut ketika aku ada di depan rumah. Tapi aku melihat ada dua orang tetanggaku yang ada di rumah ini sedang mengepak barang-barang.

"Hoalah leee....piye kabarmu ? Kuliahmu lancar-lancar saja to le ?" kata ibuku sambil memeluk dan mencium pipiku.

Aku yang agak risih dengan pelukan dan ciuman ibu di depan ibu-ibu tetangga yang ada di depan rumah pun berkata, "Udah to bu, malu dilihat Bu Nur sama Bu Dwi. Aku kan udah gede" kataku malu karena di usia 25 Tahun aku masih dicium oleh ibuku. Dua orang itu cuma cekikan melihat aku dan ibuku.

"Haha ya gak apa-apa to le... Namanya juga kangen anaknya. Ya wes ndang masuk dulu" perintahnya.

Setelah berganti pakaian, aku menuju ruang tengah tempat mereka mengepak barang, aku pun heran, "Ini ada apa to bu ? Kok kayak mau ngirim paket ?" tanyaku.

"Iya, sekarang ibu kan jualan online. Baju-baju gamis kayak gini. Ya alhamdulillah muf, ibu, Bu Dwi sama Bu Nur ada kesibukan yang menghasilkan" jelasnya padaku.

"Oalah syukurlah bu kalau begitu. Jadi seneng liatnya. Lha Arimbi sama Sinta pulangnya jam berapa ?

"Arim pulang jam 3, paling habis itu langsung ke Notoroso. Lha kalau Sinta paling jam 2 udah pulang sendiri naik sepeda. Lha kamu itu habis darimana to le kok belum libur semester udah pulang ?" tanya ibu.

"Dari kemarin saya ke Semarang bu, ada penelitian. Alhamdulillah saya sudah Sidang Proposal bu, tinggal nyelesaikan sisanya buat Sidang Akhir" kataku untuk menenangkan ibu. Supaya ia tak perlu khawatir mengenai masa depanku seperti yang sudah-sudah. Memikirkan masa depan anaknya seorang diri tanpa seorang ayah sungguh berat, duh jadi sedih.

"Aku masuk ke kamar dulu ya bu, agak capek soalnya" kataku meninggalkan ibu lalu masuk kamar lalu tidur sebentar. Jam 4 sore aku baru bangun, aku menyapa Sinta dan kadang menjahili adik bungsuku yang masih SMP ini. Setelah puas menggodai adikku yang manja ini, aku pamit pada ibuku, "Bu, Mufti berangkat ke Notoroso ya. Nyidak anak-anak bentar hehe". "Ya udah le, ati-ati. Lek bisa jangan malem-malem pulangnya" pesan ibuku.

Kupacu motor mio lawas yang sering dipakai ibuku untuk bepergian. Aku sudah tiba di depan rumah joglo yang dipinjamkan secara cuma-cuma oleh Pakde Noto, sahabat karib almarhum ayahku yang tinggal di Jakarta. Sangat beruntung sekali untukku mendapat tempat yang cukup strategis di tengah Kota Karanganyar, ditambah dengan modal yang cukup besar untuk membangun Notoroso. Nikmat mana lagi yang kudustakan kalau mendapat keberuntungan, mungkin banyak orang iri mendengar ceritaku ini, tapi aku harus membayarnya dengan kerja keras dan integritas agar tak sia-sia. Bahkan hingga kini Om Noto belum pernah menyambangi Notoroso.

Sedari berangkat aku menutupi wajahku dengan masker agar tak diketahui para pegawai serta Arim, dan ditambah aku memilih untuk duduk di meja luar. Aku ingin melihat cara mereka bekerja, apakah poin ketiga GBHN ku terlaksana. Arim nampak begitu dewasa, ya meninggalnya ayahku nampak membuatnya jadi perempuan yang mandiri dan tangguh.

"Lho heh.... Mas Mufti..." teriaknya sesaat setelah mengantarkan pesanan di meja seberangku.

"Mas....kamu tuh pulang kok nggak ngabari to ?" ucapnya separuh berteriak kemudian mencium tanganku.

"Lha aku sengaja nyidak kalian hlo. Habis dari Semarang kangen rumah ya udah aku mampir dulu" jelasku pada adikku ini.

Akibat kehebohan Arim, tiga orang pegawai : Mas Suro, Deva, dan seorang pegawai baru yang perutnya membuncit menghampiri mejaku. Baik Deva dan pegawai baru ini menyapa dan menyalamiku.

"Mas Mufti, kenalin namaku Popi" ucapnya lembut. Aku hanya mengangguk sok cool.

"He rim, kamu harusnya marahin Mas Suro. Soalnya dia yang jemput aku tadi siang. Kan harusnya dia laporan ke manajer hehehe" kataku memprovokasi.

"Mas Suro ki kebiasaan lho. Ada masku dateng malah nggak ngasih tau. Mas Mufti juga malah ngabari Mas Suro, adiknya sendiri malah ndak. Nganyelne kabeh ah (Nyebelin semua ah)" katanya lalu memukul pelan lengan Mas Suro.

"Wes udah, Arim ikut aku ke meja makan. Yang lain balik ya layani pelanggan" perintahku seolah kembali menjadi manajer. "Oh ya dev, bikinin aku juga ya kayak biasa, taruh sini aja" kemudian aku beranjak menuju meja makan yang satu ruang dengan dapur diiringi oleh Arimbi. Kami duduk berhadapan seolah akan ada hal serius yang dibicarakan.

Tanpa kutanya, Arim menyerahkan hardcopy laporan keuangan bulan ini, sebetulnya softcopynya sudah ia kirimkan lewat WA. Adikku ini bercerita bagaimana perkembangan dan kendala selama sebulan ini. Masukan-masukannya penting untuk kudengar agar orang yang seumuran dengannya tertarik untuk nongkrong di Notoroso. Aku ingin kafe ku ini memadukan nilai klasik dan kontemporer. Malah obrolan kita sampai pada gimana kalau kita memproduksi olahan biji kopi selain minuman seperti parfum mobil, sabun, atau bahkan masker, yang mungkin dalam jangka waktu 6 bulan ke depan bisa kita produksi.

"Rim, kayaknya ada satu yang belum kamu laporin ke aku" ucapku dengan tatapan serius.

Seperti lupa Arim pun "Apa itu mas ?"

"Soal pegawai yang baru, kok kamu nggak konsultasi dulu ke aku kalau mau rekrut orang ?" tanyaku mengintrogasinya. Dalam hal tertentu hubungan adik-kakak harus dipisahkan terlebih dahulu dalam usaha.

Dengan raut muka panik, Arim pun menjelaskan, "Duh kak, maaf ndak ngasih kabar. Nggak maksud ngelangkahin atau apa, sumpah. Mbak Popi itu kakaknya temenku sekelas, dia itu habis keluar dari tempatnya kerja gek terus lagi hamil, malahan lanange ndak mau tanggung jawab. Kan kasihan to mas, karena dia bisa masak ya kuminta jadi koki aja sambil belajar roasting ke Mas Suro atau Deva" ungkapnya panjang lebar.

"Lha terus mbok gaji berapa ?" sebetulnya aku menduga ada yang keliru.

"800 ribu mas" kata Arim.

"Duh dek, kamu itu kok kebangeten to. Perempuan lagi hamil mbok suruh kerja kayak biasa terus mbok gaji segitu ya kamu mulosoro orang namanya !" entah kenapa amarahku meluap untuk sesaat, naluriku terusik.

Aku tahu kalau ia sedang belajar mengelola sebuah bisnis, aku berusaha mengendalikan emosi, "Gini dek, aku bikin bisnis ini selain nguripi keluarga kita juga nguripi orang yang ikut kerja sama kita. Kita ini masih beruntung dek ada modal dan skill walau dikit, cara kita bersyukur ya dengan memperlakukan mereka secara manusiawi. Insyaallah usaha kita bakal berkah kok. Pokoknya mulai bulan depan naikkan gaji Popi sesuai UMP Jateng terus kamu kasih jatah cuti melahirkan, googling aja di internet" kujelaskan agak panjang agar ia dapat meresapi GBHN yang sudah kubuat.

"Ya wes dek kamu balik ke depan ya. Apa yang kamu lakuin udah bagus kok, tinggal improve dan koreksi kalau keliru. Tolong panggilin Popi, aku pengen ngobrol sama dia" perintahku pada Arim, ada rasa bangga pada adikku yang begitu kuat menggantikan peranku sejauh ini.

"Silahkan duduk Mbak Pop" saat ia membuka pintu dapur.

Dengan wajah tegang ia menghadapku, "Mas, tolong saya jangan dipecat dulu. Saya butuh biaya buat melahirkan".

"Aku manggil kamu kesini bukan mecat kamu lho, mbok jangan negative thinking ke aku. Aku tuh belum pernah ketemu ngobrol sama kamu, gimana kerja disini ? Betah nggak ?" tanyaku sehalus mungkin.

"Betah kok mas, malah disini saya dapet ilmu baru soal masak sama mbarista dari Mas Suro atau Deva. Kerasa kayak keluarga sendiri mas" jawabnya sudah agak rileks.

"Oh syukurlah kalau begitu, usia kandungan berapa bulan mbak ?" tanyaku.

"Sudah lima bulan mas" terlihat dari perutnya yang sudah mulai membesar.

"Biasanya kamu ditugasin apa sama Arim atau Mas Suro ?" tentu harus kutanya selama ini dia diperlakukan manusiawi atau tidak.

"Masak menu, buat minuman non coffee atau kadang disuruh eksperimen bikin single origin. Sesuai SOP kalau ada pelanggan yang dateng sendirian terus keliatan butuh temen ngobrol ya saya temenin mas. Tapi mas aku ngerasa dingertiin disini, kalau lagi capek ya mereka cover kerjaanku kok mas." katanya. Tatapan matanya begitu menggoda, pantas saja banyak tamu laki-laki yang ngopi disini. Oalah baru paham.

"Eh sebelumnya kamu kerja dimana mbak ?" tanyaku, tujuanku memancing hehehe.

"Duh malu aku ngomongnya" Popi terdiam sejenak, "Di spa yang ada di Solo Baru mas, aku memang pensiun mas. Panjang pokoknya alesannya, nggak mau lagi deh kerja disana" kata Popi.

"Ya udah gak apa-apa mbak pop. Jalan hidup orang beda-beda" hiburku agar tak mengingatkannya pada hal yang buruk. "Aku bukan maksud lancang atau apa. Badanku lagi pegel-pegel nih, kamu kan bisa mijet. Tolong pijetin, nanti aku bayar kok" ucapku diplomatis, berhati-hati agar tak menyinggung perasaannya.

Popi nampak berpikir sejenak, bingung mempertimbangkan situasi butuh uang atau tobat. Tapi dibenaknya kalau menolak bisa saja dipecat, "Nggih mas, paling pijetnya di kosanku aja ya. Biar nggak jauh kesini kalau udah masuk jam kerja" ujarnya menerima.

"Ya udah besok aku dateng jam 8. Mbak pop aku minta nomermu biar nanti bisa kontakan" akhirnya kami bertukar nomer telepon untuk memudahkan esok hari. Setelah itu kami keluar, perbincangan sudah selesai. Deal.

Sejenak kunikmati single origin Robusta dari Dampit Malang sembari menghisap Surya. Aku tak menghabiskan malamku di Notoroso, setelah habis gelasku aku pulang untuk menikmati masakan makan malam ibu. Hari ini campur aduk rasanya bagai nano-nano.

Keesokan Pagi

Di rumah aku tak bisa bangun siang, karena tiap azan subuh berkumandang ibuku selalu menggedor-gedor pintuku. Ia konsisten membangunkanku untuk sholat subuh, karena aku disuruh mengimami ibu dan kedua adikku. Tak hanya menggantikan peran almarhum ayahku secara materiil namun juga spiritual. Oh ibu, oh adik-adikku, maafkan anak/mas mu ini yang jauh dari iman dan taqwa.

Setelah melaksanakan sholat subuh aku melanjutkan tidurku yang tertunda. Jam setengah 8 aku bangun, segera aku menghubungi Popi dan mandi agar lebih segar. Ternyata ia sudah shareloc kosan, benar tak jauh dari Notoroso. Tanpa membuang waktu aku meluncur ke lokasi.

Di depan pagar kosan yang begitu sederhana ini aku menunggu Popi untuk keluar. Tak lama kemudian ia keluar mengenakan daster longgar, bagi ibu hamil pakaian ketat terasa tidak nyaman mungkin.

"Ayo mas, masuk..." ajaknya untuk masuk ke kamarnya, bagaikan orang yang terhipnotis aku mengekor di belakangnya. Sesampainya di dalam kamar Popi menyiapkan peralatan pijat beserta dua buah handuk kering, sementara aku melepas semua pakaianku hanya menyisakan celana dalam.

Aku diperintah untuk tengkurap di atas kasur. Lalu Popi menutupkan selembar handuk ke punggungku mulai leher hingga pantat dan mulai memijit telapak kakiku. Selanjutnya aku tidak menjelaskan tahapan-tahapan pijat.

"Sebentar ya mas, mau ke toilet" izinnya.
"Ya" jawabku singkat.

Saat kembali dia memijatku kembali. Mungkin lelah terlalu lama bersimpuh saat memijatku tadi, Popi naik ke kasur dan memijat kaki sebelahku yang belum disentuhnya dari tadi. Selanjutnya dengan mengangkang dia memijat punggungku. Terasa paha halusnya yang tak dilapisi apapun saat bersentuhan dengan pahaku.

"Dulu kamu pernah diisengin sama tamu nggak mbak ?" tanyaku penasaran.

"Itu sih sering mas, santapan setiap hari !" jawabnya tegas. Pijatannya begitu terasa enak di badanku.

"Maaf mas, tak tinggal ke toilet lagi" izinnya kembali.

"Monggo" jawabku singkat, membuyarkan kenikmatan pijatannya.

Tak lama Popi meneruskan pijatan yang belum selesai. Setelah menyelesaikan pijatan tadi, dia berkata, "Mau pakai krim nggak mas ?" tanyanya, kuiyakan saja karena aku penurut kok hehe.

"Sorry njih mas" ucapnya sambil melipat celana dalamku, menjepitnya ke celah-celah pantat, dan akan menutup sisi CD dengan handuk, "Tolong dilepas aja mbak" pintaku.

Dia menarik handuk dan melepaskan celana dalamku yang tersisa. Sehingga aku dalam keadaan bugil sekarang. Popi mulai meratakan krim di seluruh permukaan kulit kakiku, dan mulai memijit, dan beberapa menit kemudian, "Sebentar njih mas, mau ke toilet lagi" izinnya untuk ke tiga kalinya.

"Oke mbak" responku singkat. Aku tak protes, karena tahu saat hamil kandung kemihnya tertekan oleh kandungan. Itu saja sih yang wong waktu SMA aku ambil IPS hehehe.

Setelah kembali masuk kamar Popi mulai memijat kaki satunya lagi. Karena tak ada tempat lagi untuk duduk di atas kasur, ia duduk di atas pantatku yang dilapisi handuk dan mulai mengolesi krim. Saat sebelah kakinya diangkat untuk mengangkang terasa pahaku bergesekan dengan paha bagian dalamnya yang ada rambut atau bulunya. Tapi kuabaikan saja, mungkin cuma perasaanku saja.

Setelah punggungku rata dengan krim, ia mulai memijat. Posisi memijatnya adalah maju mundur, mulai dari pinggangku ke arah pundak. Karena cara memijat dan tumpuan duduknya pada tempat yang tidak rata walaupun dilapisi oleh handuk, lama kelamaan dia bergeser dan terpeleset ke arah pangkal pahaku. Dia mengembalikan posisi duduknya ke pantatku lagi. Saat bergerak maju, tepatnya saat mengurut dari pinggang ke arah pundak, dia terpeleset lagi.

Mungkin karena repot harus membenarkan handuk, ia duduk di atas pantatku tanpa handuk. Pun tempo pijatannya sudah semakin cepat. Tapi yang kurasakan bukan punggungku lagi, akan tetapi di pantatku ada sesuatu yang berambut atau berbulu membuatku geli.

Aku yang penasaran menoleh ke belakang, arah pantatku.

"Ampun ditingali mas, isin (Jangan dilihatin mas, malu)" kata Popi, tadi sekilas aku dapat melihat ada bulu kemaluan yang menghiasi kewanitaannya. Pantas saja terasa agak geli karena ada rambut atau bulu, wong dia nggak pake celana dalam.

"Kenapa kok nggak pakai kampes (celana dalam) mbak ?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Lha capek aku mas, tiap pipis harus melorotin celana dalem. Pas pertama aja udah capek jongkok" jawabnya menanggapiku. Selesai memijat punggung, dia mulai mengeringkan krim dengan posisi berlutut.

"Mas mlumaho (balik badan, terlentang)" perintahnya. Aku segera membalikkan badanku dan kulihat wajahnya. Tapi dia tidak melihatku malah melihat kemaluanku yang masih belum ereksi.

"Kok mbok cukur mas ?" tanyanya tanpa basa-basi setelah melihat juniorku yang tanpa bulu.

"Ben resik wae hehe (Biar bersih aja hehe)" jawabku slengean.

"Opo gak ngeroso keri mas dicukur ngono (Apa gak kerasa geli mas dicukur gitu) ?" tanyanya penasaran.

"Lha tadi pantatku udah mbok bikin geli hahaha" kataku bercanda. Ia pun tertawa. Kemudian Popi meminggirkan kedua kakiku agar dapat duduk di pinggir tempat tidur, lelah memang kalau dia harus berlutut kelamaan.

"Mbak pop, sebetulnya aku heran. Bojomu kok ya tega, udah hamil sebesar ini kok masih disuruh kerja" tanyaku pura-pura tak tahu statusnya.

"Walah mas, lebih tega lagi. Wong dia nggak ngakoni ini hasilnya, terus minggat gitu aja" jawabnya sambil menunduk dan terus memijat kakiku. Terpancar raut kesedihan di wajah ayunya.

Setelah mengeringkan kakiku, dia menggosok betisku yang berbulu dengan handuk. Lalu Popi mengangkangi kakiku tadi dan menggosok pahaku dengan handuk. Terasa bulu betisku terasa beradu dengan sesuatu yang bikin geli. Aku pura-pura tak tahu dan kuperhatikan wajahnya tidak berubah sedikitpun. Perubahan terjadi pada alat kelaminku, juniorku sudah tegak berdiri menantang duel hehehe.

Seperti tak mempedulikan batangku, entah karena sungkan atau terbiasa melihat, ia memijat kakiku yang sebelah. Perlakuan yang sama dengan kakiku yang sebelah tadi, juga gesek-menggesek.

Setelah selesai dengan kaki, dengan menggoda Popi berkata, "Perutnya mau dipijat Mas ?" tanyanya. Aku pun menjawab, "Ya mbak". Dengan mengangkangi kemaluanku, ia mulai memijat dari arah perut ke atas melebar ke sekitar pundak. Semakin lama tempo pijatannya makin dipercepat. Disengaja atau tidak posisi penisku berada di sela-sela bibir vaginanya.

"Mas, wes pernah main sama cewek belum ?" tanyanya vulgar.

"Udah kok mbak, kenapa ?" tanyaku mengikuti arah pembicaraannya.

"Lek aku pengen kentu sama Mas Mufti gimana ?" tanyanya balik dengan diksi yang kotor. Sewaktu Popi berkata demikian, antara kepala penisku dan bibir vaginanya sudah melekat. Bibir vaginanya lumayan tebal dan sudah cukup basah untuk penetrasi, maklum sedang hamil

"Ya wes mbak, manut (nurut)" kataku sok pasrah. Seketika ia melepaskan dasternya dan mulai memasukkan kemaluanku ke dalam kewanitaannya. SLEPP ! Terasa begitu licin tapi agak longgar. Kurasakan juga kepala penisku menyentuh sesuatu, seperti ada benjolan di bagian dalam vaginanya.

Popi tidak melakukan gerakan naik turun yang tentu melelahkannya, ia hanya bergoyang-goyang maju mundur. Goyangannya semakin lama semakin merunduk, kepalanya mendongak ke belakang. Pahanya terbuka begitu lebar mengingat perut besarnya. Klitorisnya bergesekan dengan bulu kemaluanku yang tumbuh kasar di atas batang penisku.

Sekitar menit kemudian ia membalikkan badannya tanpa melepas kontolku yang menancap di liang surgawinya. Gerakan yang sama dia lakukan, tanpa naik turun. Dia menahan lenguhannya, agar tak terdengar sampai ke luar. Hanya keluar suara hembusan nafasnya yang berfrekuensi tinggi, semua dilakukan melalui hidung. Nampak sekilas ia menggigit bibir bawahnya, mengunci mulutnya agar tak keluar suara.

Akhirnya tangannya meremas pergelangan kakiku dan mengedan. Terasa sekali denyutan lubang anusnya. Ia pun orgasme. Popi pun terlentang tampak lemas di atas tubuhku tanpa melepas penisku. Aku yang merasa belum ejakulasi memintanya untuk rebahan. Ia menuruti perintahku, kini aku berlutut di depannya bersiap untuk penetrasi ke dalam vaginanya. Kumajumundurkan pinggulku dalam keadaan lambat, karena takut melukai janin yang dikandungnya.

PLOK
PLOK
PLOK

Kulakukan gerakan seperti ini, tanpa menindihnya, agak lama 15 menit lebih mungkin. Terasa penisku mulai berdenyut, "Mbak...aku mau keluarrgh" bersamaan dengan ini spermaku menyembur dari kontolku. Sesaat kemudian, vaginanya berdenyut dan cairan kami menyatu di dalamnya. Aku pun melepaskan batang kemaluanku dan mencium bibirnya, lalu duduk di ujung kasur.

"Duh, kok banyak banget to pejuhmu ?" tanyanya sambil membersihkan vaginanya yang berbulu ini. Pun di atas spreinya menetes cairan kejantananku yang lengket. Jam sudah menunjukkan 10 kurang, aku pun berdiri mengambil dompetku.

Kuserahkan tiga lembar uang berwarna merah dan satu lembar warna biru sebagai bayaran atas pijat, diterimanya dengan senang hati. "Matur nuwun ya mas" ucapnya dengan senyuman. Aku pun membalas dengan senyuman, "Aku sudah kasih instruksi ke Arim kalau gajimu bakal sesuai UMP Jateng, terus nanti ada juga cuti kelahiran buat kamu dan tetep nerima gaji".

"Makasih banyak mas" ucapnya penuh syukur lalu mencium tanganku. Sejujurnya agak risih karena tak terbiasa disalimi. Lalu ia berpakaian dan akan mandi, sudah mendekati jam 11. Sementara aku pergi ke alun-alun untuk sekedar bengong.

Aku sedang berpikir keras bagaimana agar bisnisku survive, syukur-syukur naik kelas. Badan usaha yang lebih kuat legalitasnya pun aku belum bentuk, duh ! Notifikasi WA ku berbunyi.

[10.15] Arum : Hi muf how are u ?
[10.15] Mufti : I'm fine teh, and u ?
[10.16] Arum : Fine too
[10.16] Arum : Km lg dmn ?
[10.17] Mufti : Lagi pulkam bentar teh, besok udh balik.
[10.19] Arum : Okay muf, kabarin ya kalau udh di Bandung 😘

Gayung bersambut, apa Teh Arum bisa jadi saranaku untuk menghapus kegelisahan yang kurasa saat ini ? Semoga saja begitu.

****
Di Bandung

POV Irma


Bete rasanya udah diparaf 'acc' sama Bu Puspa, eh malah sama Pembimbing II malah disuruh revisi. Huhu padahal kan bentar lagi kan bisa Sidang Proposal. Pengen nangis, hikss.

Beberapa hari ini rasanya agak boring gak ada Kak Mufti. Chatting sih, tapi mungkin agak sibuk ya jadi agak lama balesnya. Rio mah jangan ditanya, udah beberapa hari ini gak ada kabar. Gak tau lah gue masih dianggep pacar apa bukan.

Kuketik search engine di laptopku. Kelihatan sepintas ada web yang asing, 46.166.167.16, apa ini ? Kuklik aja terus keluar tulisan Forum Semprot. Ada akun yang usernamenya @bantengocok, emang aku pernah login ? Punya akun ini aja nggak.

Kubuka notifikasi yang nenumpuk begitu banyak. Kuklik aja ngasal, keluar lah thread yang berjudul "[FR + PIC] Malam Mantap-Mantap bersama Miss X @surabaya". Kubaca bahwa si penulis sedang dimutasi di Surabaya. Kemudian ditulis bahwa "mumpung lagi LDR ama pacar & toh nggak bakal dikasih juga". Gue makin penasaran, kok kerasa familiar ya. Kubuka saja profilenya dan kulihat thread yang dibuatnya. Aku kaget bukan main, banyak thread yang dibuatnya, ternyata ada di Bandung dan Jakarta. Ada petunjuk lain, kalo satu-satunya cowok yang minjem laptop gue cuma Rio ! Anjing !

Tanpa berpikir panjang lebar, aku sangat yakin, aku chat Rio dan kukatakan : "KITA PUTUS YA. SENENG-SENENGIN LAH YA AMA LONTEMU"

Tak kerasa air mataku netes di perpustakaan yang sepi ini. Keperawanan yang kujaga buat Rio kayak gak guna, anjing emang. Tapi kok penasaran ya sama Semprot......

Hayo Pilih Yang Mana ? Cuan apa Cinta ?

BERSAMBUNG

Wokeeeh....
Naga²nya Irma di perawanin Mufti, neeh....
Masuk, Muf...

:semangat:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd