begawan_cinta
Guru Semprot
- Daftar
- 27 Oct 2023
- Post
- 619
- Like diterima
- 10.825
•••••
Binor Penjual Kue
BEBERAPA sore ini saya mendengar suara seorang wanita berteriak menjajakan barang dagangannya melewati depan rumah saya.
"Ongol-ongol, pastel... perkedel... bihun goreng masih hangat... donat..." suaranya seperti wanita yang sudah berumur paruh baya.
Berhubung saya sibuk dengan pekerjaan saya di depan komputer, dan saya juga tidak lapar, saya abaikan saja suara itu.
Saya masih bekerja dari rumah sejak Covid melanda negeri ini beberapa tahun yang lalu dengan komputer tersambung secara online ke server di kantor pusat, kecuali kalau saya diminta survey ke kantor klien, saya baru keluar, biasanya keluar kota.
Saya sudah punya istri. Saya berumur 35 tahun, sedangkan istri saya berumur 32 tahun. Kami menikah sudah hampir 5 tahun, tetapi belum punya anak.
Sore itu mungkin penjual makanan ini lagi mujur. Baru saja saya mematikan mesin sepeda motor saya di halaman rumah, terdengar suaranya yang garing menjajakan barang dagangannya. Ia berhenti di depan pagar rumah saya.
"Kue Koh..." tawarnya.
Saya tidak ingin membelipun, jadi ingin karena ditangannya bukan satu keranjang yang ditentengnya, tetapi dua. Satu tangan menenteng satu keranjang.
Selain itu orangnya juga berpakaian rapi. Rambutnya diikat ke belakang dengan gelang karet, bibirnya diberi lipstik tipis. Memang tubuhnya sudah tubuh ibu-ibu, tetapi menurut saya umurnya belum terlalu tua, barangkali baru 45 tahun begitu.
"Boleh Cik..." jawab saya spontan, lalu saya membukakan pintu pagar untuknya.
Kami berdua berjongkok di teras dan sambil saya memilih kue yang saya suka, saya mencoba bertanya padanya, "Kue buatan sendiri, Cik...?"
"Bukan, saya jual kue punya orang lain. Saya hanya mendapat 20 persen."
"Sehari dapat berapa, Cik?"
"Paling-paling juga 400 ribu..."
"Jadi... Encik dapatnya 80 ribu..."
"Iya..."
Iseng, saya bertanya rumahnya dimana.
"Di Perum..."
"Di Perum...? Jauh begitu Encik jalan kesini, Encik baru dapat 80 ribu...?" suara saya meninggi karena kasihan.
"Habis... bagaimana Koh, anak saya banyak... suami saya nggak kerja..." keluhnya.
"Encik anaknya berapa?"
"Empat... yang besar sudah 20 tahun sih, pengen kerja... tapi sampai hari ini belum dapet-dapet..."
Kue yang saya beli, rasanya tidak tertelan. Maka itu, sejak sore itu, setiap sore saya menunggu suara si encik ini berjualan kue.
Kadang saya membeli sampai 50 ribu rupiah, padahal kue-kue yang saya beli belum tentu saya makan. Saya hanya ingin membantu meringankan tentengannya.
Sore itu, sambil saya bekerja di depan laptop, saya menunggu suara si Encik penjual kue itu lagi, seolah-olah saya merindukannya. Ingin bertemu dengannya untuk melepaskan hasrat saya.
O... bukan itu...
Bukan, bukan itu....
Rupanya suara yang saya tunggu-tunggu itu datangnya bukan dari arah ia datang, melainkan dari arah ia balik.
Saya buru-buru keluar dari rumah berdiri di depan pasar. "E... Koh, tadi nggak ada di rumah, ya...?" sapanya duluan.
"Mmm... mmm... mmmm... ada di dalam..." jawab saya tergagap.
Sore ini si Encik penjual kue ini membuat darah saya berdesir. Bukan dandanannya, karena dandanannya tidak berubah. Rambutnya masih diikat ke belakang dengan gelang karet, lipstik di bibirnya juga masih rapi.
Celana yang dipakainya juga biasa-biasa saja. Celana longgar selutut berwarna hitam, tetapi di kaosnya yang ketat berwarna pink itu tampak menonjol 2 butir puting susunya yang lumayan besar!
"Kuenya tinggal sedikit, Koh... kue yang biasa Engkoh beli sudah nggak ada dibeli semua sama orang yang rumahnya di ujung gang sana itu..." katanya.
"Masih sisa kue apa saja, Cik... coba saya lihat..." kata saya membuka pintu pagar.
Si Encik pun melangkah masuk ke halaman rumah saya. Lalu ia menurunkan keranjang kuenya di lantai teras sambil berjongkok, ia membuka kertas coklat yang menutupi keranjang kuenya.
"Tinggal 10, Koh... diambil saja semua, saya kasih murah..." katanya.
Tujuannya ia kasih murah kuenya pada saya supaya ia bisa pulang dengan keranjang kosong.
"Ya deh Cik..." jawab saya. "Berapa...?"
"20 ribu, Koh..."
Saya memberikannya selembar uang 20 ribu rupiah, si Encik memasukkan kue-kuenya ke dalam kantong plastik kresek. Saya ambil kuenya itu.
"Koh, numpang ke kamar mandi, ya..." kata si Encik bangun dari jongkoknya.
"Ya, silahkan, Cik... masuk saja, sandal nggak usah dibuka..." balas saya sempat melihat kakinya.
Tumitnya tebal dan retak-retak. Kuku kakinya tidak rapi, malahan saya melihat jempol kakinya gundul tanpa kuku.
Si Encik bertelanjang kaki juga pergi ke kamar mandi. Hanya sebentar ia masuk ke kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi berjalan sampai di ruang tengah, ia bertanya pada saya, "Engkoh tinggal sendirian, ya?"
"Enggak, sama istri..." jawab saya.
"Saya sangka Engko belum punya istri..."
"He... he... saya sudah menikah hampir 5 tahun, tapi belum punya anak..."
"Tetangga saya juga ada tuh, Koh... menikah sudah 10 tahun kali ada... sudah berobat kemana-mana... memang nasib kali ya, Koh... ada yang pengen sekali punya anak, tapi gak dapet-dapet, saya... malah dikasih kebanyakan..."
Binor Penjual Kue
BEBERAPA sore ini saya mendengar suara seorang wanita berteriak menjajakan barang dagangannya melewati depan rumah saya.
"Ongol-ongol, pastel... perkedel... bihun goreng masih hangat... donat..." suaranya seperti wanita yang sudah berumur paruh baya.
Berhubung saya sibuk dengan pekerjaan saya di depan komputer, dan saya juga tidak lapar, saya abaikan saja suara itu.
Saya masih bekerja dari rumah sejak Covid melanda negeri ini beberapa tahun yang lalu dengan komputer tersambung secara online ke server di kantor pusat, kecuali kalau saya diminta survey ke kantor klien, saya baru keluar, biasanya keluar kota.
Saya sudah punya istri. Saya berumur 35 tahun, sedangkan istri saya berumur 32 tahun. Kami menikah sudah hampir 5 tahun, tetapi belum punya anak.
Sore itu mungkin penjual makanan ini lagi mujur. Baru saja saya mematikan mesin sepeda motor saya di halaman rumah, terdengar suaranya yang garing menjajakan barang dagangannya. Ia berhenti di depan pagar rumah saya.
"Kue Koh..." tawarnya.
Saya tidak ingin membelipun, jadi ingin karena ditangannya bukan satu keranjang yang ditentengnya, tetapi dua. Satu tangan menenteng satu keranjang.
Selain itu orangnya juga berpakaian rapi. Rambutnya diikat ke belakang dengan gelang karet, bibirnya diberi lipstik tipis. Memang tubuhnya sudah tubuh ibu-ibu, tetapi menurut saya umurnya belum terlalu tua, barangkali baru 45 tahun begitu.
"Boleh Cik..." jawab saya spontan, lalu saya membukakan pintu pagar untuknya.
Kami berdua berjongkok di teras dan sambil saya memilih kue yang saya suka, saya mencoba bertanya padanya, "Kue buatan sendiri, Cik...?"
"Bukan, saya jual kue punya orang lain. Saya hanya mendapat 20 persen."
"Sehari dapat berapa, Cik?"
"Paling-paling juga 400 ribu..."
"Jadi... Encik dapatnya 80 ribu..."
"Iya..."
Iseng, saya bertanya rumahnya dimana.
"Di Perum..."
"Di Perum...? Jauh begitu Encik jalan kesini, Encik baru dapat 80 ribu...?" suara saya meninggi karena kasihan.
"Habis... bagaimana Koh, anak saya banyak... suami saya nggak kerja..." keluhnya.
"Encik anaknya berapa?"
"Empat... yang besar sudah 20 tahun sih, pengen kerja... tapi sampai hari ini belum dapet-dapet..."
Kue yang saya beli, rasanya tidak tertelan. Maka itu, sejak sore itu, setiap sore saya menunggu suara si encik ini berjualan kue.
Kadang saya membeli sampai 50 ribu rupiah, padahal kue-kue yang saya beli belum tentu saya makan. Saya hanya ingin membantu meringankan tentengannya.
Sore itu, sambil saya bekerja di depan laptop, saya menunggu suara si Encik penjual kue itu lagi, seolah-olah saya merindukannya. Ingin bertemu dengannya untuk melepaskan hasrat saya.
O... bukan itu...
Bukan, bukan itu....
Rupanya suara yang saya tunggu-tunggu itu datangnya bukan dari arah ia datang, melainkan dari arah ia balik.
Saya buru-buru keluar dari rumah berdiri di depan pasar. "E... Koh, tadi nggak ada di rumah, ya...?" sapanya duluan.
"Mmm... mmm... mmmm... ada di dalam..." jawab saya tergagap.
Sore ini si Encik penjual kue ini membuat darah saya berdesir. Bukan dandanannya, karena dandanannya tidak berubah. Rambutnya masih diikat ke belakang dengan gelang karet, lipstik di bibirnya juga masih rapi.
Celana yang dipakainya juga biasa-biasa saja. Celana longgar selutut berwarna hitam, tetapi di kaosnya yang ketat berwarna pink itu tampak menonjol 2 butir puting susunya yang lumayan besar!
"Kuenya tinggal sedikit, Koh... kue yang biasa Engkoh beli sudah nggak ada dibeli semua sama orang yang rumahnya di ujung gang sana itu..." katanya.
"Masih sisa kue apa saja, Cik... coba saya lihat..." kata saya membuka pintu pagar.
Si Encik pun melangkah masuk ke halaman rumah saya. Lalu ia menurunkan keranjang kuenya di lantai teras sambil berjongkok, ia membuka kertas coklat yang menutupi keranjang kuenya.
"Tinggal 10, Koh... diambil saja semua, saya kasih murah..." katanya.
Tujuannya ia kasih murah kuenya pada saya supaya ia bisa pulang dengan keranjang kosong.
"Ya deh Cik..." jawab saya. "Berapa...?"
"20 ribu, Koh..."
Saya memberikannya selembar uang 20 ribu rupiah, si Encik memasukkan kue-kuenya ke dalam kantong plastik kresek. Saya ambil kuenya itu.
"Koh, numpang ke kamar mandi, ya..." kata si Encik bangun dari jongkoknya.
"Ya, silahkan, Cik... masuk saja, sandal nggak usah dibuka..." balas saya sempat melihat kakinya.
Tumitnya tebal dan retak-retak. Kuku kakinya tidak rapi, malahan saya melihat jempol kakinya gundul tanpa kuku.
Si Encik bertelanjang kaki juga pergi ke kamar mandi. Hanya sebentar ia masuk ke kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi berjalan sampai di ruang tengah, ia bertanya pada saya, "Engkoh tinggal sendirian, ya?"
"Enggak, sama istri..." jawab saya.
"Saya sangka Engko belum punya istri..."
"He... he... saya sudah menikah hampir 5 tahun, tapi belum punya anak..."
"Tetangga saya juga ada tuh, Koh... menikah sudah 10 tahun kali ada... sudah berobat kemana-mana... memang nasib kali ya, Koh... ada yang pengen sekali punya anak, tapi gak dapet-dapet, saya... malah dikasih kebanyakan..."