Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Birahi Binal - Part 17

Part 04





S
ehari menjelang hari wisudaku, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah tiba di Jogja. Bahkan mereka sudah cek in di sebuah hotel bintang lima. Setelah mereka berada di hotel itu, barulah Mbak Rina call ke ponselku.

”Kenapa Mbak gak ngasih tau dulu sebelumnya, supaya aku bisa jemput ke stasiun ?” tanyaku di dekat hapeku.

Mbak Rina menjawab, “Jogja kan gak asing lagi bagi kita. Semua anak Papa dan Mama lahir dan dibesarkan di Jogja kan ? Lagian kami gak mau ganggu kesibukan..mu yang sedang mempersiapkan wisuda-an. “

“Aaaah ... cuma mau diwisuda kan gak perlu nyiapin apa - apa Mbak. Jubah toga dan topi wisuda kan sudah siap. Kalau mau jadi pengantin, baru sibuk urus sana - sini. Ya udah nanti malam aku akan datang ke hotel. “

“Bukan cuma datang ke hotel. Kamu harus tidur nemenin kami di hotel. Kami kan takut juga tidur berdua sama - sama cewek. Sekalian ingin ngobrol banyak sama kamu Bon. “

“Iya Mbak iyaaa. Jadi besok pergi ke tempat wisuda, start dari hotel aja ya. “

“Iya, begitu lebih bagus Bon. “

Setelah hubungan seluler ditutup, aku bergegas menuju kamar mandi. Dan mandi sebersih mungkin.

Kemudian aku berdandan dengan agak tergesa - gesa.

Sambil menjinjing dua kantong plastik berisi pakaian wisuda dan pakaian resmiku, dengan stelan jas, kemeja putih dan dasi. Juga ada sepatu baru yang akan kupakai di hari wisuda besok.

Sebelum berangkat ke hotel, aku pamitan dulu kepada Mbak Artini. Kujelaskan bahwa aku akan nginap di hotel, tempat kedua kakakku menginap. Dan besok pagi akan langsung menuju gedung tempat diselenggarakannya wisuda angkatanku.

Mbak Artini tampak bersemangat, meski dia tak bisa hadir dalam wisudaku. Karena menurut peraturan, hanya dua orang keluarga yang dibolehkan menghadiri wisudaku. Jadi Mbak Artini harus mengalah, untuk tidak menghadiri wisudaku.

Yang membuatnya bersemangat, adalah bahwa sekitar tiga hari lagi dia akan mengantarkanku ke tempat kakaknya yang suka dipanggil Mbak Lies itu.

Setelah cipika cipiki dengan Mbak Artini, aku pun meninggalkan rumahnya dan berangkat menuju hotel dengan menggunakan taksi. Tidak menggunakan motor gede kesayanganku.

Tak lama kemudian aku pun sudah berada di lantai lima dalam hotel bintang lima itu. Langsung kuketuk pintu yang nomornya sesuai dengan keterangan Mbak Rina. Pintu itu pun dibuka. Mbak Lidya yang membukanya, dengan senyum ceria di bibirnya. Lalu kami berpelukan dan cipika - cipiki.

Tapi berbeda dengan biasanya. Kali ini Mbak Lidya tak sekadar mencium sepasang pipiku, tapi juga ... bibirku.

Mbak Rina juga sama. Dia menyambutku dengan pelukan hangat, lalu mencium sepasang pipiku dan juga bibirku ... !

Tentu saja perasaanku jadi lain. Tapi aku berusaha melupakannya. Dan menganggap bahwa hal itu hanya karena ingin menyatakan kegembiraan mereka atas akan diwisudanya aku besok.

Lalu kami ngobrol ke barat ke timur sebagaimana biasanya kalau kumpul dengan saudara - saudara seperti ini. Termasuk masalah Papa yang tak pulang - pulang ke rumah, juga kami bicarakan.

Aku prihatin juga mendengar cerita tentang Papa itu. Terutama merasa prihatin kepada Mama.

Kedua kakakku itu memang sama bentuknya. Tinggi langsing tapi tidak kurus. Perawakan mereka memang mirip. Tapi ada perbedaan yang menyolok di antara mereka berdua. Kulit Mbak Rina agak gelap, sementara Mbak Lidya putih bersih. Mbak Rina berambut panjang dan hitam warnanya. Sedangkan rambut Mbak Lidya hanya sebatas bahu, diwarnai kecoklatan pula.

Memang Mbak Rina biasa tampil seadanya. Sementara Mbak Lidya agak pesolek.

Tapi setelah makan malam bersama di luar hotel, Mbak Rina dan Mbak Lidya jadi kompak untuk mengutarakan sesuatu padaku, ketika kami sudah berada di dalam hotel lagi. Kami duduk di atas sofa. Aku duduk di tengah, Mbak Rina di sebelah kiriku, Mbak Lidya di sebelah kananku.

Pada saat itulah Mbak Rina tampak serius dan berkata, “Bon ... terus terang aja ada sesuatu yang ingin kami minta bantuanmu saat ini. “

“Bantuan masalah apa Mbak ?” tanyaku.

“Aku dan Mbak Rina ini masih sama - sama perawan Bon, “ Mbak Lidya yang menyahut.

“Lalu ?” aku memandang Mbak Lidya, lalu memandang Mbak Rina. Dengan benak penuh tanda tanya.

“Kita kan sesama saudara, “ kata Mbak Rina, “Jadi kita ngomong to the point aja ya Bon. “

“Iya ... iya ... “ sahutku.

Mbak Lidya memegang pergelangan tangan kananku sambil berkata, “Kami ingin merasakan seperti apa nikmatnya bersetubuh itu Bon. “

“Haaa ?! “ aku tersentak. Memandang wajah Mbak Lidya, lalu memandang wajah Mbak Rina di sebelah kiriku.

“Betul Bon, “ ucap Mbak Rina, “Kamu pasti mau memberikan apa yang kami inginkan. “

“Iya Bon, “ kata Mbak Lidya, “kami akan memasrahkan keperawanan kami kepadamu. “

“Ta ... tapi kita kan saudara Mbak, “ sahutku rikuh.

“Alaaaa ... jangan munafik lah Bon. Kami tau kok apa yang sering kamu lakukan dengan Mbak Weni dahulu. Kalau Mbak Weni sering kamu setubuhi, kenapa kami gak bisa diperlakukan secara adil ? “

“Mbak Weni ngomong begitu ?” tanyaku dengan perasaan serba salah.

“Kami sering ngintip kamu bersetubuh dengan Mbak Weni dahulu. Mbak Weni sih gak pernah ngomong apa - apa. “

Aku tertunduk dan berkata, “Sebelum bersetubuh denganku, Mbak Weni sudah gak perawan lagi. “

“Nah ... apalagi kalau begitu. Mbak Weni yang sudah gak perawan lagi, kamu setubuhi terus - terusan. Sedangkan kami ... dijamin masih perawan Bon. “

“Tapi kenapa justru aku yang harus mengambil keperawanan Mbak - Mbak ?” tanyaku dengan perasaan yang mulai terpengaruh.

Mbak Lidya yang menyahut, “Kami bukan cewek jelek kan ? Dengan gampang kami bisa mengajak cowok mana pun untuk begituan. Tapi kami pikirkan akibatnya kelak. Cowok itu pasti akan membocorkan rahasia kami kepada teman - temannya. “

“Betul, “ kata Mbak Rina, “Kalau dengan saudara, rahasia kami pasti terjamin. Kami yakin kamu takkan mau menceritakannya kepada orang lain. “

“Besok aku kan mau diwisuda, “ sahutku mengambang. Karena sebenarnya aku semakin terpengaruh oleh keinginan mereka.

“Diwisuda kan cuma duduk di antrian. Lalu naik ke atas podium setelah tiba giliranmu. Jangan bodoh Bon. Mau dikasih dua perawan malam ini kok malah seperti ogah - ogahan gitu. “

Aku terdiam. Lalu membulatkan tekadku dan berkata tegar, “Oke deh ... mau siapa dulu ? Mbak Rina dulu atau Mbak Lidya dulu ?”

“Siapa pun duluan sama aja. Jadi terserah kamu deh, “ sahut Mbak Rina sambil melepaskan gaunnya.

Mbak Lidya pun kompak. Melepaskan celana corduroy coklat tua dan baju kaus coklat mudanya. Sehingga kedua kakakku itu sudah sama - sama tinggal mengenakan celana dalam dan beha.

Beha mereka pun dilepaskan. Sehingga sepasang toket mereka yang berimbang mulai kelihatan. Sama - sama berukuran sedang. Tidak gede, tapi juga tidak kecil.

Dalam keadaan tinggal bercelana dalam begitu, perbedaan Mbak Rina dengan Mbak Lidya mulai kelihatan. Bahwa kulit Mbak Rina lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya yang putih bersih. Tapi ukuran badan mereka kelihatannya sama. Tinggi langsing dan serba proporsional ukurannya.

Namun setelah celana dalam mereka dilepaskan, tampak perbedaan yang mencolok. Kemaluan Mbak Rina ada jembutnya, tapi digunting dengan rapi, sehingga bentuk kemaluannya tetap kelihatan jelas. Sedangkan kemaluan Mbak Lidya tercukur bersih.



Entah kenapa aku tertarik untuk mendahulukan Mbak Rina yang kemaluannya berjembut dan kulitnya lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya.

Maka kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, kecuali celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku, aku pun memegang pergelangan tangan Mbak Rina sambil berkata, “Yang paling senior dulu ya. Tapi tentu harus ada foreplay dulu Mbak. “

“Terserah kamu mau pilih siapa, “ sahut Mbak Rina, “Tapi apakah kamu bisa dalam semalam mengambil keperawanan kami ?”

“Bagaimana nanti aja, “ ucapku, “Kalau tidak bisa malam ini, Mbak Lidya kan bisa besok ya ?”

“Iya, “ sahut Mbak Lidya, “Kami udah bayar hotel ini untuk empat hari kok. “

“Pada banyak duit ya. Sampai cek in di hotel bintang lima untuk selama empat hari. “

“Kami kan udah kerja. Kalau perlu sampai seminggu kami di sini, karena izinnya juga untuk seminggu. Iya kan Mbak ?” tanya Mbak Lidya kepada Mbak Rina.

“Iya. Santai aja. Kalau perlu, nginep sebulan juga gakpapa, “ sahut Mbak Rina sambil tersenyum.

“Kalau sebulan sih bisa dipecat kita Mbak. Izinnya kan cuma seminggu. “

Aku cuma tersenyum mendengar percakapan kedua kakakku itu. Sementara lenganku sudah melingkar di pinggang Mbak Rina.

Sebenarnya waktu masih kecil kami suka mandi bareng. Tapi saat itu aku tak pernah memperhatikan tubuh telanjang mereka. Lalu setelah aku di SMP, Mama melarang kami mandi bareng lagi. Dan sejak saat itulah aku tak pernah melihat mereka dalam keadaan telanjang lagi.

Dan kini, setelah kami sama - sama dewasa, baru melingkarkan lengan di pinggang Mbak Rina saja ... sudah ada getaran - getaran syur di dalam batinku.

Terlebih setelah aku meraih pergelangan tangan Mbak Rina dan sama - sama naik ke atas bed hotel yang cukup besar itu, diam - diam kontolku mulai ngaceng di balik celana dalam yang belum kutanggalkan.

Ketika aku sudah menghimpit Mbak Rina, kulihat sepasang matanya menatapku dengan sorot pasrah. “Kamu nafsu lihat aku telanjang gini ?”

“Kalau gak nafsu dari tadi juga aku sudah minggat Mbak, “ sahutku.

“Buka dong celana dalammu. Pengen liat kontolmu, udah ngaceng apa belum ?”

Aku pun menggulingkan badan ke samping Mbak Rina. Lalu kulepaskan celana dalamku, “Dari tadi juga udah ngaceng Mbak. Tuh liat ...“

“Wow ! Sekarang jadi gede dan panjang banget Bon. Waktu kita masih sering mandi bareng, kontolmu masih kecil ... !” seru Mbak Rina sambil duduk dan memegang kontolku yang memang sudah ngaceng ini.

“Dulu kan masih anak - anak Mbak. Kayak tempik Mbak aja, dulu kan gak ada jembutnya, “ sahutku sambil duduk juga sambil mengusap - usap memek Mbak Rina yang berjembut tapi pendek - pendek dan rapi itu.

“Tempikku ora ono jembute lho, “ sela Mbak Lidya sambil mengusap - usap memeknya.

“Hihihiii ... dicukur apa diwaxing tuh ?” tanyaku kepada Mbak Lidya.

“Gak diapa - apain, “ sahut Mbak Lidya sambil mendelik.

Aku cuma tersenyum. Lalu mendorong kedua toket Mbak Rina agar menelentang lagi. Aku menoleh ke arah Mbak Lidya sambil mencolek memek gundulnya “Jangan ganggu ya. Nanti setelah Mbak Rina selesai kan giliran Mbak Lidya juga, “ kataku.

“Iya ... aku cuma mau nonton aja, “ ucap Mbak Lidya sambil merebahkan diri, celentang di samping Mbak Rina. Aku menyempatkan diri menciumi memek Mbak Lidya, kemudian tengkurap di atas perut si item manis berambut panjang (Mbak Rina).

“Foreplay itu perlu, supaya memek Mbak siap untuk dipenetrasi, “ ucapku sambil mempermainkan pentil toket Mbak Rina.

“Iya ... lakukanlah apa pun yang menurutmu paling baik. “

“Tapi yang paling enak kalau Mbak nyiapin pil anti hamil. Supaya enak, aku bisa ejakulasi di dalam memek Mbak. “

“Sudah disiapin Bon. Aku dan Lidya sudah lama mempunyai rencana ini, tapi baru sekarang terlaksananya. “

Aku tersenyum. Lalu merayapkan mulutku dari pipi ke bibir Mbak Rina.

Mbak Rina pun memagut bibirku. Lalu melumatnya sambil memejamkan matanya. Ini membuatku semakin bergairah. Dan berusaha menganggap bahwa Mbak Rina itu bukan kakakku, melainkan seorang cewek yang baru kukenal dan siap untuk kuambil keperawanannya. Maka setelah melepaskan lumatan Mbak Rina, mulutku berpindah ke pentil toket kirinya. Untuk mengemutnya, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya.

Suhu badan Mbak Rina terasa menghangat. Pertanda bahwa dia sudah mulai horny.

Aku pun tak mau buang - buang waktu lagi. Aku melorot turun, sehingga wajahku berhadapan dengan memek Mbak Rina yang berjembut pendek - pendek dan rapi itu.

Bentuk memek kakakku yang item manis itu tampak jelas, karena jembutnya seolah cuma hiasan belaka. Tak ragu pula aku mendorong sepasang paha Mbak Rina agar merenggang jaraknya, lalu mengangakan mulut memeknya. Hmmm ... bagian dalam tempik kakakku yang item manis itu tampak jelas berwarna pink. Dan bagian yang berwarna pink itulah yang menjadi sasaran awal lidahku.

Kujilati bagian dalam tempik kakakku itu, dengan tekad harus membuat liang memeknya sebasah mungkin, agar mudah diterobos oleh kontolku nanti. Karena itu sambil menjilati bagian yang berwarna pink itu, aku pun berusaha untuk mengalirkan air liurku ke dalamnya.

Aku pun berusaha mencari itilnya. Dan setelah menemukan bagian seupil yang cuma sebesar kacang kedelai itu, aku pun mulai mengintensifkan jilatanku ke situ. Bahkan ketika aku sedang menjilati itilnya ini, kusertai dengan isapan - isapan kuat. Sehingga Mbak Rina mulai terkejang - kejang sambil meremas - remas kain seprai, diiringi oleh desahan dan rintihan perlahannya, “Aaaaaah .... aaaaaaa .... aaaaahhh .... Booon ... ini membuatku .... se ... serasa melayang - layang Booon .... enak sekali Booon .... aaaaah ... aaaa ... aaaaaah ... aaaa ... aaaaaaaaaah ... Booonaaa ... enak Booon ... enaaaaaak ... Booonaaaa .... aaaaa ... aaaaah ... “

Aku tahu bahwa memek Mbak Rina sudah basah kuyup oleh air liurku. Namun aku masih terus - terusan menjilati itilnya. Tujuanku adalah ingin agar Mbak Rina orgasme dalam permainan oralku. Karena kalau sudah orgasme, liang memeknya akan mengembang. Pada saat itu pula aku akan membenamkan kontolku ke dalam liang memek yang sudah “mekar” itu.

Dan ... detik - detik yang ditunggu itu pun datang. Mbak Rina menggeliat dan mengelojot. Lalu menjang tegang sekujur tubuhnya. Memeknya pun terasa bergerak - gerak sedikit. Berarti dia sudah orgasme ... !

Lalu dengan sigap kuletakkan moncong kontolku di mulut memek Mbak Rina.

Mbak Lidya pun tampak serius memperhatikan semua ini. Sehingga aku ingin iseng juga, untuk menjawil toketnya yang menggantung ke bawah, karena dia setengah tengkurap untuk memperhatikan semua ini.

Setelah merasa moncong kontolku berada di arah yang ngepas, kudorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan ... blesssss ... kontol ngacengku membenam sampai lehernya. Kudorong lagi sekuat tehnaga. Blessss ... melesak lagi sampai hampir separohnya.

“Udah masuk ya ? “ Mbak Rina menatapku dengan sorot pasrah.

“Sudah, “ sahutku, “Sakit nggak ?”

“Nggak. Cuma ada kayak disuntik ... tadi ... sekarang mah gak lagi ... “

Sambil mulai mengayun kontolku perlahan - lahan, kubisiki telinga Mbak Rina, ““Mbak sudah jadi milikku sekarang ... “

Dia menyahut terengah, “Bi .. biarin aja ... dimiliki oleh adikku sendiri ... gakpapa ... ooo ... ooooh ... Booon ... ini mulai enak lagiiiii .... “

“Sekarang kita mulai bersetubuh Mbak ... enak kan ?” ucapku sambil agak mempercepat entotanku.

“Eeee ... enak sekali Booon ... ooooh ... ini luar biasa enaknya Booon ... “

Sebagai jawaban, kupercepat entotanku sampai kecepatan normal. Memang liang memek Mbak Rina masih sangat sempit. Sehingga agar entotanku berada di dalam kecepatan standar, lumayan banyak energi yang harus kukerahkan.

Namun aku bukan hanya mengentot liang memek sempit Mbak Rina. Aku pun mulai menjilati lehernya yang sudah keringatan, sementara tangan kiriku meremas - remas toket kanannya.

Desahan dan rintihan Mbak Rina pun mulai tak terkendalikan lagi, “Boooon ... oooooohhhhh ... ini luar biasa enaknya Booon ... entot terus Booon ... entooot teruuuussss ... entoooot ... entoooottttt ... iyaaaa ... iyaaaa ... iyaaaa ... ooooh ... kontolmu enak sekali Boon ... entooottttttttttt .... entooooottttttttttt ... iyaaaaaaaa ... iyaaaaaaaa ... entoooootttttt .... entooooootttttttttt .... !”

Pada saat itu pula Mbak Lidya jadi duduk bersila, sambil memperhatikan peristiwa yang sedang terjadi antara aku dan Mbak Rina. Mbak Lidya memperhatikannya dengan serius, sambil mempermainkan pentil toketnya.

Terdorong oleh perasaan kasihan kepada kakak langsungku (tidak terhalang oleh kakak lain), aku pun menyempatkan diri menjulurkan tanganku ke arah memek Mbak Lidya ... lalu kuelus - elus memek yang bersih dari jembut itu. Aku seolah berkata, sabarlah ... nanti tiba giliran memekmu yang akan kuentot ... !



Demi Mbak Lidya yang tampak sudah gak sabaran menunggu, kuintensifkan entotanku di dalam liang memek Mbak Rina yang super sempit tapi sudah licin ini.

Mbak Rina pun semakin menggeliat - geliat sambil merintih - rintih histeris. Terlebih setelah aku menjilati ketiaknya yang harum deodorant, sambil meremas - remas toket kanannya ... semakin menggila pula rintihan dan desahan nafas Mbak Rina sibuatnya, “Aaaaa ... aaaaah ... Boooon .... ini luar biasa enaknya Booon ... aaaaaaah ... aaaaaah ... entot terus Booon ... entot teruuuussss ... makin lama makin enak Booon ... serasa sedang melayang - layang di langit .... aaaaah ... aaaa ... aaaaahhhh ... entot teruis Booon ... entot terussss ... entoooootttt ... entooooooooooooooottttttttttt ... ooooooohhhh ....enaaaak ... entoootttt ... enaaaaaak ... Booon .... “

Di tengah riuhnya raungan - raungan histeris Mbak Rina, diam - diam aku menyelidik. Ya ... aku akan berusaha bertahan, meski nanti Mbak Rina mencapai orgasmenya, aku tak mau ngecrot cepat - cepat. Karena masih ada Mbak Lidya yang belum kuapa - apain.

Maka aku pun mengentot Mbak Rina sambil mengatur nafas dan jalan pikiranku. Manakala aku mearasa terlalu enak dan bisa melesat ke arah puncak kenikmatanku, cepat kupelankan entotanku. Pelan sekali. Dan setelah pernafasanku teratur kembali, barulah aku mempercepat kembali entotanku.

Akhirnya Mbak Rina berkelojotan, dengan tubuh sudah bermandikan keringat.

Lalu ia memejamkan mata sambil menahan nafasnya, dengan tubuh mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.

Pada saat itulah kubenamkan kontolku sedalam mungkin, sampai moncongnya menyundul dan mendorong dasar liang memek Mbak Rina.

Lalu ... Mbak Rina mengelojot, dengan nafas terhembus kembali ... dengan liang memek berkedut - kedut erotis. Lalu ia terkapar dan terkulai lunglai, sementara kontolku terasa seperti berada di liang yang basah dan hangat.

Kudiamkan kontolku sejenak. Kemudian perlahan - lahan kutarik dari liang memek Mbak Rina. Kemudian menoleh ke arah Mbak Lidya yang sedang menatapku juga. Dengan sorot nafsu seorang cewek di kala horny.

Sebelum pindah ke atas perut Mbak Lidya, masih sempat kulihat genangan darah di bawah kemaluan Mbak Rina. Darah perawan kakakku yang item manis itu.

“Sama Mbak Rina udahan ?” tanya Mbak Lidya ketika aku sudah tengkurap di atas perutnya.

“Iya ... dia sudah orgasme, “ kataku sambil melirik ke arah Mbak Rina yang tampak seperti terlena tidur, “Mbak udah horny sejak tadi ya ?”

“Iya ... udah gak sabaran, pengen ngerasain enaknya dientot sama kontolmu, “sahut Mbak Lidya sambil melingkarkan lengannya di leherku. Kemudian mencium dan melumat bibirku dengan penuh kehangatan.

“Dahulu kita cuma bisa cipika - cipiki ya, “ ucap Mbak Lidya setengah berbisik, “ Sekarang bisa ciuman bibir dengan bibir. “

“Iya. Bahkan sebentar lagi bibirku dengan bibir memek Mbak juga bakal berciuman. “

“Iya Bon. AKu pengen sekali merasakan enaknya memek dijilatin. “

“Memangnya Mbak belum pernah merasakannya sama sekali ?”

“Ya belum lah. Kalau sudah dijilatin memek segala, pasti ujung - ujungnya ke ML. Makanya aku masih perawan sampai detik ini juga. Tapi kalau sama adek sendiri, aku rela menyerahkan keperawananku. “

“Gak punya niat mempertahankannya sampai kawin kelak ?”

“Alaaah .... Mbak Weni juga gak mempertahankan keperawanannya di masa masih gadis. Sekarang malah hidup senang, karena suaminya tajir walau pun usianya udah tua. “

Aku cuma tersenyum, sambil memainkan pentil toket Mbak Lidya.

Lalu berkata, “Siap - siap Mbak ... aku mau jilatin memek Mbak. Biar kontolku lebih mudah dimasukkannya ke dalam liang memek Mbak.”

“Iya. Jilatin deh sepuasmu. Pokoknya saat ini semua terserah kamu, karena kamu yang sudah pengalaman dalam soal sex, “ sahut Mbak Lidya.

Aku pun melorot turun. Sehingga wajahku langsung berhadapan dengan memek Mbak Lidya.

Kutepuk - tepuk memek yang agak tembem dan tanpa jembut sehelai pun itu. Lalu kuciumi memek itu, sekaligus ingin membuktikan apakah ada aroma yang kurang sedap atau tidak. Kalau ada aroma yang kurang sedap, akan kusuruh cebok dulu sebersih mungkin, agar nyaman menjilatinya.

Tapi ternyata aroma memek Mbak Lidya sangat natural. Tidak ada aroma yang kurang sedap dari memek plontosnya itu. Maka kurentangkan sepasang paha putih mulusnya, agar jaraknya serenggang mungkin. Kemudian dengan kedua tanganku pula kungangakan mulut memeknya selebar mungkin, sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lebar. Bahkan itilnya pun kelihatan jelas, lebih menonjol daripada itil Mbak Rina.

Lalu dengan penuh gairah ujung lidahku mulai “menari” di permukaan yang lembut, hangat, agak basah dan berwarna pink itu ... !

Mbak Lidya agak tersentak. Tapi lalu diam saja ketika aku mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahap sekali. Mulutku seolah terbenam di permukaan memek Mbak Lidya, sementara desahan - desahan erotisnya pun mulai terdengar, “Aaaa ... aaaaah ... Booon ... aaaaa ... aaaaaahhhhh ... aaaaa ... aaaaahhhh ... eeee ... enak Boooon ... aaaah .... Boooon ... enak Booon .... enak sekaliiii ... aaaaah ... jilatin terus Boooon ..... enaaaak ... aaaaa .... aaaaaaahhhh .... jilatin terus Booon ... rasanya seperti melayang - layang gini yaaaa .... aaaaaah .... “

Seperti yang kulakukan kepada Mbak Rina tadi, kali ini pun sama. Sambil menjilati bagian dalam mulut memek Mbak Lidya ini, kualirkan air liurku sebanyak mungkin ke dalamnya. Kemudian kufokuskan untuk menjilati itilnya yang tampak mengkilap sebesar kacang kedelai itu.

Semakin menggeliat - geliat pula Mbak Lidya dibuatnya. Bahkan kedua tangannya meremas - remas rambutku sambil merintih - rintih histeris,”Ini lebih enak lagi Booon ... ooooo .... oooooohhhhh .... enak sekali Booon ... enak sekaliii ... oooooohhhhh ... jilatin terus itilnya Boooon ... itilnyaaaa ... itiiiiilllll .... itiiiiillll .... oooooohhhhh ... itiiiilnyaaaa ... “

Dengan penuh semangat kujilati terus itilnya, terkadang disertai isapan - isapan kuat. Sehingga itil Mbak Lidya jadi kelihatan lebih menonjol, jadi agak “mancung”. Sementara air liurku pun semakin banyak kualirkan ke dalam celah memeknya.

Kali ini aku tak mau menunggu sampai Mbak Lidya orgasme. Karena aku pun tak kuat menahan nafsu lagi, ingin segera melakukan penetrasi.

Maka kujauhkan mulutku dari memek Mbak Lidya. Kemudian kuletakkan moncong kontolku tepat di bagian yang berwarna pink itu.

Aku masih sempat melirik ke arah Mbak Rina yang tampak masih tepar. Seperti ketiduran sambil membelakangi kami.

Lalu ... kudorong kontolku sekuat tenaga. Uuuuuggggggghhhhhh .... !

Kepala kontolku mulai masuk dengan sulitnya. Kudorong lagi, dengan mengerahkan segenap tenagaku. Berhasil ... ! Kontolku mulai membenam sampai lehernya. Kudorong lagi sekuat tenaga ... uuuughhhhh .... ! Masuk lagi sampai separohnya ... !

“Sudah masuk ya ? “ tanya Mbak Lidya dengan tatapan pasrah.

“Sudah, “ sahutku sambil merapatkan pipiku ke pipinya, “Sekarang Mbak sudah mulai jadi milikku. “

“Milikilah sepuasmu Bona Sayaaaang ... “ sahut Mbak Lidya sambil mendekap pinggangku erat - erat.

Dengan hati - hati aku mulai menggerakkan kontolku, maju mundur perlahan. Dan berusaha agar jangan sampai terlepas, karena takut sulit membenamkannya lagi.

Mbak Lidya belum orgasme. Sehingga liang memeknya terasa lebih sempit daripada memek Mbak Rina tadi.

Namun makin lama liang memek Mbak Lidya makin menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku. Sehingga aku makin lancar mengentotnya, sambil menyedot - nyedot pentil toketnya.

Sambil mengusap - usap rambutku, Mbak Lidya pun mulai merintih - rintih histeris, “Oooo ... oooo ... ooooohhhh ... Boooon ... rasanya seperti melayang - layang gini Booon ... lu ... luar biasa enaknya Booon ... kontolmu enak sekali Booon ... begini rasanya dientot yaaaaa ... oooooh ... Booonaaaa ... Booonaaaaa ... entot terus Booon ... luar biasaaaaa enaknyaaaaaa .... Booonaaaaaa ... Boooonaaaaaaa ... enaaak Booon ... entot terusssss ... entooooottttttt ... ooooohhhhhh .... “

Aku pun mulai melengkapi entotanku dengan jilatan - jilatan di leher Mbak Lidya yang sudah mulai keringatan. Sementara kontolku mulai bermaju - mundur dalam kecepatan normal.

Semakin menggila jugalah rintihan - rintihan histeris Mbak Lidya dibuatnya. “Booon ... kamu benar - benar mampu membuatku nik ... nikmaaaat ... ooooh ... Booonaaaaa ... ini luar biasa nikmatnya Booon ... entot teruuuussss ... entoooootttttttt ... “

Sementara itu kulihat Mbak Rina sudah duduk bersila di samping Mbak Lidya, sambil tersenyum - senyum padaku. Mungkin dia terbangun karena mendengar rintihan - rintihan Mbak Lidya yang terlalu keras.

Lalu Mbak Rina menepuk pantatku sambil berkata, “Kalau bisa, setelah dengan Lidya nanti entot aku lagi ya Bon. “

“Iiii ... iya Mbaaak ... “ sahutku dengan gerakan kontol yang semakin lancar mengentot liang memek Mbak Lidya. .



Permintaan Mbak Rina bahwa ia ingin kusetubuhi lagi setelah persetubuhanku dengan Mbak Lidya ini selesai, adalah permintaan yang harus kukabulkan. Dan itu berarti bahwa aku harus berusaha sekuat tenaga agar jangan ngecrot di dalam memek Mbak Lidya.

Tapi memek Mbak Lidya ini ... sangat aduhai ... terlalu enak buatku. Bahkan mungkin memek Mbak Lidya ini menempati peringkat pertama di antara perempuan - perempuan yang pernah kuentot ... ! Liang tempik Mbak Lidya ini paling enak di antara memek - memek yang pernah kuentot ... !

Ketika aku sedang gencar - gencarnya mengentot Mbak Lidya, aku tahu bahwa Mbak Lidya sudah orgasme beberapa saatg sebelumnya. Seharusnya cepat kucabut kontolku dari memek Mbak Lidya, lalu pindah ke memek Mbak Rina.

Tapi aku sudah telanjur menghayati betapa nikmatnya liang memek Mbak Lidya ini. Sehingga kontolku tetap gencar mengentot memek Mbak Lidya yang aduhai ini. Dan pura - pura tidak tahu bahwa Mbak Lidya sudah orgasme.

Justru setelagh orgasme, liang memek Mbak Lidya jadi semakin enak rasanya. Masih tetap sempit, tapi jadi licin dan hangat. Sementara Mbak Lidya pun tampak seperti kerasukan, mungkin saking enjoy merasakan nikmatnya entotan kontolku.

“Entot terussss Booon ... makin lama makin enak rasanyaaaa ... entottt yang lebih kencang Boon ... iyaaaa ... iyaaaa.... gila ... luar biasa enaknya Booon ... entooottttt ... entooooootttttttttt .... entoooooootttttt ... aaaaaaaa ... aaaaah ..... enaaaak Booon ... kontolmu memang luar biasa enaknyaaaa ... kamu memang adik kesayangan kami semuaaaa ... entooooot teruuuussssss ... “

Aku tak sekadar memainkan kontolku yang bermaju mundur terus di dalam liang memek Mbak Lidya. Bibir dan lidahku pun ikut beraksi. Terkadang mencium dan melumat bibir Mbak Lidya, terkadang menjilati lehernya yang sudah dibasahi keringat, disertai dengan gigitan - gigitan kecil.

“Sekalian cupangin leherku Booon ... ini nikmat sekali ... nikmaaat .... “ erang Mbak Lidya sambil mendekap pinggangku erat - erat.

Kuikuti saja permintaan kakakku itu. Kusedot - sedot lehernya sekuatku. Sehingga meninggalkan bekas merah kehitaman.

Takut kalau bekas cupanganku jadi masalah, karena besok Mbak Lidya akan menghadiri acara wisudaku, aku hanya berani meninggalkan bekas satu titik saja di leher Mbak Lidya. Kemudian aku mengalihkan aksi mulutku ke toket Mbak Lidya yang masih kencang padat ini. Di badan toket itulah aku mencupanginya. Sehingga meninggalkan bekas beberapa titik merah kehitaman di toket Mbak Lidya.

Namun semua ini terlalu indah bagiku dan juga bagi Mbak Lidya.

Pada suatu saat Mbak Lidya berkelojotan lagi. Kemudian mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.

Pada saat itu pula aku tak bisa menahan diri lagi. Kugencarkan entotanku secepat mungkin, kemudian kutancapkan kontolku di dalam liang memek Mbak Lidya, sampai menyundul dasar liang memek aduhai itu.

Lalu kami seperti sedang kerasukan. Saling jambak, saling remas seolah - olah ingin menghancurkan tulang di balik daging dan kulit yang kami remas ini.

Sepasang mata indah Mbak Lidya terbeliak. Nafasnya tertahan. Lalu liang memeknya terasa mengedut - ngedut kencang ... disusul dengan gerakan seperti spiral yang seolah tengah meremas kontolku yang sedang gawat juga ini.

Tak kuasa lagi aku menahannya. Moncong kontolku langsung menembak - nembakkan lendir kenikmatanku di dalam liang memek Mbak Lidya ... croooooooootttttttt ... crootttttt ..... crooooooooootttt ... crotttcrootttt ... crooooooooooooooooootttttttttttttt ..... !

Aku terkapar di atas perut Mbak Lidya. Lalu terkulai lunglai di puncak kepuasan birahi.

Mbak Lidya pun terkulai lunglai. Memejamkan sepasang mata indahnya, mungkin sedang meresapi nikmat yang baru saja dialaminya.

Meski lemas, kutarik kontolku dari liang memek Mbak Lidya. Lagi - lagi kusaksikan genangan darah yang sudah mulai mengering di bawah memek Mbak Lidya.

Dua orang perawan telah kurenggut kesuciannya. Atas kehendak mereka sendiri.

Aku pun turun dari bed menuju kamar mandi. Ternyata Mbak Rina mengikuti langkahku dan ikut masuk ke dalam kamar mandi.

“Kontolmu sudah lemas ya Bon, “ ucap Mbak Rina sambil memegang kontolku yang masih berlepotan air mani bercampur dengan lendir libido Mbak Lidya.

“Iya Mbak, “ sahutku dengan perasaan kasihan juga, karena mungkin dia pikir aku bisa langsung menyetubuhinya setelah selesai dengan Mbak Lidya barusan. Lalu kupeluk leher Mbak Rina sambil berkata, “Sabar ya Mbak. Nanti setelah ngaceng lagi, pasti Mbak yang bakal kuentot. “

“Barusan kontolmu ejakulasi di dalam memek Lidya ?”

“Iya. Gak kuat lagi menahannya. “

Mbak Rina mencium bibirku, lalu berkata setengah berbisik, “Aku juga pengen ngerasain disemprot oleh air manimu Bon. “

“Iya Mbak. “

“Bagaimana nih caranya supaya kontolmu bisa ngaceng lagi ?”

“Kalau Mbak mau, oral aja kontolku. “

“Bukan gak mau, tapi belum tau caranya. “

“Sebentar Mbak ... aku mau kencing dulu. “

“Aku pengen seperti di bokep yang pernah kutonton. Kencingin memekku nih, “ ucap Mbak Rina sambil meletakkan kedua telapak tangannya di bokong, sekaligus mengangsurkan memeknya ke dekat kontolku.

Ah, ada - ada aja kakakku yang satu ini. Tapi tanpa membantah kulakukan juga apa yang diminta olehnya itu. Kuarahkan moncong kontolku ke memek Mbak Rina. Lalu kupancarkan kencingku ke memek berbulu tipis dan pendek - pendek itu.

“Hihihiiii ... air kencingmu panas, “ kata Mbak Rina sambil menepuk - nepuk memeknya yang sudah basah oleh air kencingku, “Kita sekalian mandi aja yuk. Biar bisa saling menyabuni seperti waktu masih anak - anak dahulu. ““

“Boleh. Biar aku bisa nyabunin memek Mbak, sementara Mbak juga bisa nyabunin kontolku. “

Mbak Rina memegang kontolku yang masihlemas ini sambil berkata, “Waktu masih kecil aku sering nyabunin kontolmu ini. Tapi pada saat itu kontolmu hanya sebesar kelingking. Sekarang kontolmu jadi segede pergelangan tanganku ... hihihihiiii ... “

“Memek Mbak juga waktu itu belum ada jembutnya. Sekarang kan jadi berjembut. “

“Kamu gak suka kalau aku membiarkan jembutku meski sudah dirapikan gini ?”

“Aku sih yang berjembut suka, yang gundul juga suka. Sama aja. Punya kelebihan masing - masing, “ sahutku sambil memutar keran shower air hangat.

Air pun memancar dari shower yang berada di atas kepala kami. Memang aku pun merasa perlu mandi, karena badanku penuh dengan keringat bekas “perjuangan” belah duren dua kali tadi.

Lalu kami pun melakukan hal yang sering kami lakukan di masa kecil, yaitu saling mnyabuni. Tapi dengan bentuk fisik dan perasaan yang jauh berbeda. Ketika Mbak Rina sedang menyabuniku, ketika sedang menyabuni kontolku ia berjongkok. Lalu belajar tentang bagaimana caranya felatio (mengoral kontol). Sehingga kontolku mulai membesar ... memanjang dan menegang lagi ... ! Pada dasarnya Mbak Rina sudah mengerti apa yang harus dilakukannya pada saat melakukan felatio.

Ketika giliranku menyabuni sekujur tubuh Mbak Rina, maka setelah dibilas dengan air hangat shower, aku berjongkok di depannya, untuk menjilati memeknya yang sudah bersih dan harum sabun mandi.

“Duuuh Booon ... aku jadi horny berat nih, “ ucap Mbak Rina setelah cukup lama aku menjilati memek dan itilnya.

“Di sana aja yuk ... “ ucapku sambil menunjuk ke meja washtafel yang bisa diduduki pinggirnya. Meja washtafel yang ditutupi granit coklat itu.

Mbak Rina langsung setuju saja. Ia melangkah duluan ke meja washtafel itu. Kemudian kuatur agar ia duduk di meja washtafel itu, dengan sepasang kaki mengangkang di pinggirannya.

Lalu dengan perjuangan yang lumayan berat, akhirnya aku berhasil membenamkan kontolku, sambil berdiri menghadap kakakku yang sedang duduk mengangkang di pinggiran meja washtafel itu.

Ketika aku mulai mengentotnya, Mbak Rina memegang sepasang bahuku. Sambil berdesah - desah lagi.

Tiba - tiba terdengar suara Mbak Lidya di belakangku, “Pantesan hilang ... rupanya lagi begituan lagi di sini yaaa ?”

Mbak Rina yang menyahut, “Kalau mau joint, mandi dulu sana Lid. Biar bersih dan segar badanmu. “

“Iya Mbak ... badanku udah lengket - lengket sama keringat nih. Asyik juga dientot di dalam kamar mandi ya ? Bikin aku jadi horny lagi neh ... !”



Setelah Mbak Lidya selesai mandi, kami sepakat untuk melanjutkan semuanya ini di luar kamar mandi. Tepatnya di atas sebuah sofa putih.

Di situlah kami habis - habisan melakukannya. Melakukan persetubuhan threesome FFM, yang membuat keringat kami bercucuran kembali.

Namun kami sangat bergairah melakukannya, terutama diriku.

Ya, aku tak usah munafik, bahwa semuanya ini indah sekali. Sebagai pengalaman pertamaku berthreesome.

Nikmat sekali. Karena dengan seenaknya aku bisa mengentot Mbak Rina, lalu kupindahkan kontolku ke dalam liang memek Mbak Lidya. Benamkan lagi ke dalam liang memek Mbak Rina dan begitu seterusnya.

Lewat tengah malam barulah kami tertidur nyenyak.

Dan keesokan harinya aku bisa menghadiri wisudaku secara normal, meski badanku terasa lunglai.

Yang paling menyenangkan adalah, aku lulus dengan cumlaude. Membuat kedua kakakku ikut bangga.

Sepulangnya dari gedung yang digunakan untuk upacara wisuda itu, kutraktir kedua kakakku makan di sebuah restoran yang paling kusukai di Tugu Kidul.

Pada saat sedang makan itulah handphoneku berdering. Ketika kulihat di layar ponselku, ternyata Mbak Artini yang nelepon.

Agar leluasa, aku menerima call dari Mbak Artini itu di tempat yang sepi, agak jauh dari kedua kakakku. Lalu :

“Ya Mbak ... “

“Maaf kalau mengganggu ya. Acara wisudanya udah selesai belum ?”

“Sudah selesai Mbak. Ini lagi makan siang bersama kedua kakakku. “

“Aduh gimana ya ... jadi kurang enak nyampaikannya. “

“Ada apa Mbak ?”

“Barusan ada telepon dari Mbak Lies. Dia ingin Bona datang hari ini juga ke tempatnya. Karena dia sudah cukup lama menunggu. Jadi kalau serius, dia minta hari ini juga Bona datang ke rumahnya. “

“Diantar sama Mbak kan ?”

“Tentu aja. “

“Pakai motor aja ya Mbak. “

“Memang sebaiknya pakai motor. Kalau pakai mobil, jalannya jadi mutar jauh. “

“Oke Mbak. Selesai makan siang, aku akan secepatnya pulang. “

“Terus kedua kakakmu gimana tuh ?”

“Biarin aja. Mudah - mudahan mereka mengerti. Karena ini kan masalah pekerjaan yang menentukan masa depanku. “

“Ya syukurlah kalau gitu. Aku mau dandan dulu sambil menunggu Bona pulang. “

“Iya Mbak, silakan. “

Kemudian aku menghampiri kedua kakakku yang sudah selesai makan.

“Aku harus ke luar kota sekarang juga, “ laporku.

“Lho ada urusan apa ?” tanya Mbak Lidya.

“Urusan pekerjaan. Calon bossku minta ketemu hari ini juga. “

“Apa gak bisa besok lagi ? Kamu kan masih capek gitu Bon, “ kata Mbak Rina.

“Kalau hari ini aku tidak datang, aku bakal dicoret dari daftar pelamar. Calon bossku sudah menunggu sejak berbulan - bulan yang lalu. Dia akan menempatkanku di perusahaannya setelah diwisuda. Rupanya beliau gak sabar lagi, karena sudah lama menunggu, sejak aku belum bikin skripsi. “

“Ya udah, “ kata Mbak Rina, “Karena menyangkut masa depanmu, dahulukan aja urusan kerjamu. “

“Terus kamu mau langsung tinggal di luar kota ?” tanya Mbak Lidya.

“Belum tau Mbak. Siapa tau aku bakal ditempatkan di Jabar, bisa dekat nanti sama Mbak Rina dan Mbak Lidya. “

“Ya udah kalau gitu. Makanan ini biar aku yang bayar, “ kata Mbak Rina.

“Sudah dibayar sama aku tadi Mbak. Mmm ... Mbak Rina dan Mbak Lidya bisa pulang sendiri ke hotel kan ?”

“Bisa dong. Kita kan lahir besar di Jogja. Masa gak hafal jalan di sini ?”

Begitulah. Akhirnya aku berpisah dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya.

Aku pulang ke rumah kos dengan taksi, sementara Mbak Rina dan Mbak Lidya entah mau terus ke mana. Mungkin juga mereka pulang ke hotel, untuk beristirahat setelah kugauli habis - habisan tadi malam.

Mungkin di dunia ini tidak banyak yang merasakan hal seperti yang kualami. Mendapat kesempatan untuk menikmati 2 keperawanan dalam sehari. Terkecuali raja raja di zaman dahulu, mungkin banyak yang mengalaminya.
 
Terakhir diubah:
Part 05


M
bak Artini menyambutku dengan pelukan dan ciuman mesranya. “Selamat ya atas sudah diwisudanya kekasihku tersayang ... “ bisiknya.

“Terima kasih Mbak. Ternyata Mbak sudah dandan secantik ini ... “ sahutku sambil menepuk bokong Mbak Artini yang gede itu, yang selalu mengundang gairahku belakangan ini.

“Aku berdandan untukmu Sayang. Bukan untuk orang lain. “

“Tapi kalau aku ditempatkan di daerah yang jauh dari Jogja gimana ? Kita bisa sulit berjumpa dong. “

“Tapi kan ada hari - hari liburnya. Biarin aku yang datang nanti, setelah ditentukan di mana tempat untuk ketemuannya. Ayo kita langsung berangkat aja. Biar hati Mbak Lies tenang. “

“Tanah kakak Mbak itu luas ?”

“Bukan luas lagi. Di Jateng, Jabar dan Jatim juga ada. Almarhum suaminya kan tuan tanah. “

“Owh ... jadi dia itu janda ?”

“Iya. Sama seperti aku. Tapi nasibnya sangat baik. Menikah dengan duda tajir melintir yang sangat mencintainya, meski usianya sudah tua. Setelah suaminya meninggal, tanahnya yang di sana - sini itu jadi milik Mbak Lies. “

“Umur berapa Bu Lies itu ?”

“Sepuluh tahun lebih tua dariku. “

“Kok jauh gitu ya beda kakak sama adik ?”

“Dia kan kakak sulungku. Dari dia ke aku ada dua orang kakakku. “

“Dari Mbak ke bawah, ada adik ?”

“Ada, cuma seorang. Sekarang tinggal di Kalimantan, dengan suaminya. Saudara - saudaraku perempuan semua Bon. Ohya ... bawa sekalian pakaianmu Sayang. Siapa tau Mbak Lies nyuruh kamu langsung tinggal di tempatnya. “

“Iya Mbak. Kebetulan aku sudah menyimpan beberapa stel pakaian dalam ranselku. “



Beberapa saat kemudian Mbak Artini yang mengenakan celana jeans dan baju kaus ditutupi oleh mantel tebal, sudah duduk di belakangku, di atas motor gede kesayanganku yang sudah kupacu menuju ke luar kota. Di atas boncengan motor gedeku ini, Mbak Artini selalu mendekap pinggangku erat - erat, seolah takut jatuh, seolah tak mau berpisah lagi denganku.

Dengan petunjuk dari Mbak Artini, kukemudikan motorku melewati jalan alternatif yang belum diaspal. Tapi menurut Mbak Artini, lewat jalan tikus itulah kami akan cepat sampai. Karena kalau melewati jalan aspal, memutarnya jauh sekali.

Lewat jalan alternatif itu pun, setelah melewati hutan belantara dan pesawahan, tiga jam kami baru tiba di depan rumah calon bossku itu.

Di depan rumah calon bossku itu aku tertegun. Gila, rumah ini di daerah pedesaan. Tapi megahnya luar biasa. Terdiri dari tiga lantai, dengan gaya minimalis.

Memang di zaman sekarang segala hal bisa menyebar sampai ke daerah terpencil sekali pun. Baik budaya, mode, mau pun segala hal yang sedang ngetrend di kota, bisa dengan cepat mengalir ke daerah pinggiran. Terbukti dengan gadis - gadis yang tinggal di kampung ini, kelihatan sudah mengikuti mode zaman now. Rambutnya pun banyak yang dicat sesuai dengan selera masing - masing. Begitu juga dalam hal berpakaian, mereka tak lagi bisa disebut kampungan.

Dan rumah calon bossku itu, bukan sekadar besar dan megah, tapi modelnya pun sudah mengikuti perkembangan zaman now. Model minimalis yang tampak sangat kokoh. Dijaga oleh beberapa orang satpam pula.

Pada saat itu kebetulan pintu garasi sedang terbuka, sehingga aku bisa melihat beberapa mobil mahal tersimpan di dalam garasi itu. Bukan hanya satu mobil.

Mbak Artini langsung membawaku ke dalam rumah yang luar biasa megahnya itu.

Lalu memintaku untuk duduk menunggu di ruang tamu dengan furniture serba kekinian ini.

Tak lama kemudian, Mbak Artini muncul, bersama seorang wanita yang usianya kira - kira sebaya dengan Mama. Dan ... maaaak ... wanita itu tinggi montok ... lebih montok daripada Mbak Artini ... !

Tapi kuakui bahwa wanita itu berparas cantik, berkulit putih bersih pula. Sementara rambutnya ... inilah salah satu tanda bahwa segala jenis model sudah merambah ke pelosok tanah air. Ya, rambut Bu Lies itu dicat jadi kecoklatan (brunette). Tapi beliau tampak pantas saja kelihatannya. Mungkin pada suatu saat aku pun akan menyuruh Mama agar mengecat rambutnya seperti Bu Lies ini. Supaya Mama lebih seksi penampilannya ... hahahahahaa .... !

Wanita itu menatapku dengan sorot tajam, seperti sedang menilai diriku. Tapi aku bersikap biasa - biasa saja. Aku berdiri sambil mengangguk sopan.

“Ini Mbak Lies yang sering kuceritakan itu Bon. “

Dengan agak gugup aku berkata, “Iya ... perkenankan saya memperkenalkan diri ... nama ... “

Belum selesai aku bicara, calon bossku itu memotong, “Namamu Bona kan ?”

“Siap, betul Bu, “ sahutku sambil menjabat tangan wanita montok semok itu.

“Jadi gimana wisudanya tadi ? Tinggi nilainya ?” tanya wanita bernama Lies itu sambil duduk di sofa.

“Alhamdulillah, saya lulus dengan cumlaude Bu, “ sahutku.

“Syukurlah. Aku memang butuh insinyur pertanian yang cerdas. Bukan sekadar asal lulus, “ ucap Bu Lies.

“Iya Bu. “

Lalu Bu Lies menjelaskan tentang arah agro bisnisnya secara panjang lebar. Dia bukan sekadar tuan tanah biasa, tapi juga bergerak di bidang agro bisnis. Dia menampung sayur - sayuran dan buah - buahan untuk dikirim ke Jakarta.

Tapi tugas utamaku adalah mengelola lahan yang tidak produktif, agar jadi lahan yang menghasilkan.

“Besok pagi deh kita survey lahan - lahan yang tidak produktif itu. Sekarang sudah hampir malam. Ohya ... kamar paling depan itu bisa dijadikan kamarmu Bon, “ kata Bu Lies.

“Tapi aku mau langsung pulang ke Jogja lagi sekarang Mbak, “ ucap Mbak Artini menyela.

Bu Lies menoleh ke arah adiknya, “Minta anter aja sama Pak Karto tuh. Bona takkan bisa nganter kamu pulang kan ?”

“Iya, gakpapa. Minta anter sama Pak Karto aja, “ sahut Mbak Artini.

“Kemaren aku transfer ke rekening tabunganmu. Udah diterima kan ?”

“Sudah Mbak. Terima kasih ya mbakyuku yang cantik, “ sahut Mbak Artini sambil mengecup pipi Bu Lies.

Kemudian Mbak Artini berdiri dan melangkah ke pintu depan. Kulihat di luar ia berbicara dengan seorang lelaki tua. Mungkin itu sopirnya Bu Lies yang bernama Karto itu.

Sesaat berikutnya Mbak Artini kembali ke ruang tamu dan berkata padaku, “Gak apa - apa kan ditinggal sendirian di sini ? Aku mau pulang ke Jogja. “

“Iya Mbak. Silakan, “ sahutku.

Mbak Artini menghampiri Bu Lies sambil berkata, “Aku pulang dulu ya Mbak. “

“Iya. Terima kasih sudah nganterin Bona ke sini Ar. “

“Sama - sama Mbak, “ sahut Mbak Artini yang lalu cipika - cipiki dengan Bu Lies.

“Jaga diri baik - baik ya Ar, “ ucap Bu Lies sambil mengusap - usap rambut Mbak Artini.

Kemudian Mbak Artini melambaikan tangannya ke arahku, “Kalau lagi libur, main ke Jogja ya Bon. “

“Iya Mbak. “



Setelah Mbak Artini berlalu, diantarkan oleh mobil dan sopir Bu Lies, aku masih duduk di ruang tamu sambil menunggu Bu Lies yang masih berdiri di teras depan. Sebenarnya aku ingin mengantarkan Mbak Artini sampai di teras depan. Tapi aku takut kalau hubungan rahasiaku dengan Mbak Artini tercium oleh Bu Lies. Karena itu aku tetap duduk di ruang tamu.

Tak lama kemudian Bu Lies masuk lagi ke ruang tamu sambil berkata, “Ini kamar yang bisa dijadikan kamarmu Bon. Coba ikut sini. “

Spontan aku berdiri sambil menjinjing ranselku, mengikuti Bu Lies yang sudah membuka pintu yang paling depan di rumah megah ini.

Ternyata kamar yang disediakan untukku besar sekali. Ada ruang kerja yang dibatasi oleh partisi kaca blur, ada kamar mandi tersendiri pula.

Yang membuatku agak heran, ada pintu lift segala. Untuk apa lift menuju kamar ini ?

Sebelum aku bertanya, Bu Lies menjelaskan : “Nah inilah kamarmu Bon. Ada ruang kerjanya yang dilengkapi oleh komputer dan jaringan internet. Karena kita harus memantau kegiatan di lapangan, baik yang di Jateng, Jabar, Jatim dan juga kegiatan di Jakarta. “

“Iya Bu. “

“Ohya, itu ada pintu lift, langsung menuju kamarku di lantai tiga. Jadi kalau aku mau turun atau naik dan sedang malas pakai tangga, aku pakai lift itu. Nanti kalau kegiatanmu sudah banyak, kalau sekali - sekali ada sesuatu yang emergency, kamu boleh pakai lift itu dan langsung menuju kamarku. Kamu juga jangan kaget kalau tiba - tiba aku muncul di kamar ini. Itu berarti aku mau turun tapi lagi malas menggunakan tangga. “

“Siap Bu. “

“Masalah tugas - tugas dan gajimu, nanti aja kita bahas sambil makan malam ya. “

“Siap Bu. “

“Sekarang mandilah dulu. Peralatan mandi tersedia lengkap di kamar mandi itu. Nanti kalau sudah mandi, kutunggu di ruang makan ya Bon. “

“Iya Bu. Memang badan saya penuh debu bekas di perjalanan menuju ke sini tadi. Jadi perlu mandi dulu. Hehehee ... “

“Mandilah. Selesai mandi ditunggu di ruang makan ya Bon. “

“Siap Bu. “

Bu Lies keluar dari kamar yang sudah menjadi kamarku ini. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Aku memang lupa membawa peralatan mandi, handuk pun tidak bawa. Tapi untunglah semua peralatan mandi tersedia di kamar mandi, semuanya masih baru. Handuk, sabun cair, shampoo, odol dan sikat gigi masih baru semua.

Aku pun buru - buru mandi sebersih mungkin.

Setelah mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaian bersih yang kubekal dari rumah kos, aku pun keluar dari kamar. Agak celingukan, karena banyak lorong, sehingga aku tidak tahu harus ke mana untuk menuju ruang makan.

Untung ada pembantu menghampiriku. Langsung kutanya, “Ruang makan di sebelah mana Mbak ?”

“Oh ... ke sebelah sana Den, “ sahutnya sambikl menunjuk ke arah lorong yang di paling kanan.

Aku pun melangkah ke lorong yang ditunjukkan itu.

Sampai mentok di ruang makan yang besar ruangannya, serba modern pula furniture dan peralatannya.

Rupanya Bu Lies sengaja ingin ditemani makan malam di ruang makan yang super mewah itu.

Pada saat makan itu pula Bu Lies membahas tugas - tugasku dan juga besarnya gaji yang akan kuterima. Nominal gaji yang akan kuterima sangat mengejutkan. Karena menurutku besar sekali. Tapi dengan tenang Bu Lies berkata, “Pokoknya nanti jangan terlalu hitungan dengan tenaga dan pikiran. Karena aku pun tak menghitung - hitung gaji dan penghasilan tambahan untukmu nanti Bon. “

“Siap Bu. “

“Pokoknya kalau prestasi kerjamu bagus, aku akan mengangkatmu sebagai tangan kananku. “

“Siap Bu. “

“Jangan terlalu kaku lah. Gak usah manggil boss padaku, jangan pula bilang siap - siap. Karena kita bukan militer, polisi juga bukan. Kamu juga gak usah membahasakan diri saya - sayaan. Larena kata saya itu berasal dari sahaya alias budak. Hamba sahaya itu kan budak. Kamu bukan budak. Pakai kata aku saja, biar lebih akrab kedengarannya ya. “

“Siap ... eh ... iya Bu. “

“Nah sekarang istirahatlah sepuasnya. Karena besok pagi kita akan berjalan menaiki beberapa bukit kepunyaanku. “

“Iya Bu. Terima kasih, “ sahutku sambil berdiri, “Selamat malam. “

“Malam, “ sahut Bu Lies.



Keesokan paginya, ketika matahari baru saja terbit, Bu Lies sudah menungguku di luar kamarku. Sengaja aku mengenakan sweater biru tuaku, karena kuperkirakan udara di puncak bukit itu bakal dingin. Yang membuatku heran, Bu Lies menutupi seluruh badannya dengan selimut yang tidak tebal.

“Nah bagus kamu pakai sweater begitu. Di puncak bukit itu dingin hawanya. “

“Ibu pakai selimut begitu supaya gak kedinginan ?”

“Iya. Kalau udaranya gak dingin, selimutnya bisa dipakai buat duduk - duduk di puncak bukit nanti. “

“Kita mau jalan kaki ke bukit itu Bu ?”

“Iya. Itu bukitnya, dari sini juga kelihatan jelas, ” kata Bu Lies sambil menunjuk ke bukit yang menjulang tinggi di belakang rumahnya.

“Oh, iya ... iyaaa ... kirain jauh, “ sahutku sambil mengikuti Bu Lies yang sudah melangkah ke belakang rumah megahnya.

“Ini sekalian olahraga Bon, “ kata Bu Lies di depanku, “Apalagi badanku montok begini. Kalau malas olahraga bisa gendut dan obesitas nanti. “

“Iya Bu. “

Lewat jalan setapak kami mulai menuju bukit itu. Tampaknya luas dan tinggi sekali bukit itu. Tapi dengan senang hati aku mengikuti langkah Bu Lies dari belakangnya.

Setelah tiba di lereng bukit itu, jalan yang harus kami tempuh makin lama makin menanjak. Tapi Bu Lies tidak kelihatan capek. Bahkan pada suatu saat ia melemparkan selimutnya padaku sambil berkata, “Tolong pegangin aja selimutnya Bon. Kayaknya udara sedang tidak terlalu dingin. “

Kutangkap selimut itu. Kulipat dan lalu kugantungkan di bahuku, seperti sedang memakai selendang.

Tapi ketika perhatianku tertuju ke arah Bu Lies ... wow ... Bu Lies memang memakai sweater juga seperti aku. Tapi bawahannya itu ... rok mini yang benar - benar mini ... sementara aku berjalan di belakangnya di jalan setapak yang mendaki pula. Ini membuat pemandangan yang luar biasa. Karena terkadang rok mininya itu ditiup angin, sehingga bokong gedenya terbuka penuh, celana dalamnya pun kelihatan jelas.

“Bon ... kamu tau Artini pernah dijodohkan dengan seorang cowok, tapi ternyata cowok itu gay ?”

“Iiii ... iya Bu. Beliau pernah menceritakan soal itu. “

“Kasian adikku itu. Statusnya janda. Padahal masih perawan. “

“Begitu ya Bu ?”

“Kamu normal Bon ?”

“Maksud Ibu normal apanya ?”

“Suka sama cewek, bukan sama sejenis ?”

“Owh ... iya Bu. Saya ... eh ... aku normal seratus persen Bu. “

Tiba - tiba Bu Lies mengangkat rok mininya, sehingga bokong dan celana dalamnya terbuka sepenuhnya. “Ayo jawab yang jujur. Kalau melihat pantat begini, kamu nafsu gak ?”

“Iii ... Ibu sangat seksi ... tentu saja aku tergiur Bu ... tapi maaf, aku takut disebut lancang dan kurang ajar nanti. “

“Kamu punya pacar nggak ?”

“Nggak punya Bu. “

“Masa cowok seganteng kamu gak punya pacar ? Jangan - jangan kamu gay juga ya ?”

“Amit - amit, aku normal Bu. Hanya saja aku ingin menyelesaikan kuliah dulu, baru kemudian mikirin soal cewek. “

“Masa sih ? Terus kamu bisa tergiur melihat pantatku ... kok bisa ? AKu kan sudah tua. Sedangkan kamu baru duapuluhtiga menuju duapuluhempat tahun kan ?”

“Anu Bu ... boleh jujur gak ?”

“Iya. Harus jujur ngomongnya. “

“Aku ini pengagum wanita setengah baya. “

“Terus ... sekarang kontolmu ngaceng nggak ?” tanya Bu Lies sambil menghentikan langkahnya.

“Iiii ... iya Bu ... nga ... ngaceng. “

“Coba lihat ... sengaceng apa kontolmu. “

Meski ragu - ragu, kulaksanakan juga perintah Bu Lies itu. Kuturunkan ritsleting celana jeansku, lalu kupelorotkan celana jeans berikut celana dalamku, sehingga kontol ngacengku tersembul seperti sedang menunjuk ke arah Bu Lies.

“Woooow ! Kontolmu segede dan sepanjang ini Bon ?! “ seru Bu Lies sambil memegang kontolku yang memang sudah ngaceng ini.





Aku tak menyangka semuanya ini akan terjadi begini cepatnya. Tapi aku tetap menggunakan akal sehatku. Kalau bossku menginginkannya, tiada alasan bagiku untuk menolaknya. Lagipula Bu Lies memang seksi habis di mataku.

Selimut itu sudah dihamparkan di atas rerumputan liar di antara pepohonan yang mirip hutan tak terawat ini. Aku disuruh berlutut dengan dada agak rebah ke belakang. “Tak usah telanjang bulat. Dengan begini pun kita bisa melakukannya. Hitung - hitung test aja, apakah kamu lelaki sejati atau sebangsa mantan suami Artini ... “

Lalu Bu Lies berjongkok sambil menyeret celana dalamnya ke samping. Dia membelakangiku, sehingga kurang jelas seperti apa bentuk memeknya. Yang jelas, sambil berjongkok dia berhasil membenamkan kontolku ke dalam liang tempiknya. Lalu bokong gede itu naik turun dengan gesitnya, sehingga kontolku terasa dibesot - besot oleh liang licin yang empuk dan hangat.

“Tempikku kepenak ora ? ” tanyanya.

“ Saestu kepenak Buuu ... “ sahutku sambil memejamkan mata, karena memang terasa liang tempik Bu Lies itu luar biasa enaknya.

“ Ini sekadar tes aja Bon. Kalau kurang puas, nanti lanjutkan di rumah aja ya. “

“ Iii ... iya Bu. “

“ Uedaaan ... kontolmu ini gede tenan Bon. Sampai seret gini mainnya. “

“ Mungkin karena punya Ibu terlalu kecil, jadi sempit ... “

“ Hihihihiiii ... ini luar biasa enaknya Bon ... “ ucap Bu Lies ketika ayunan bokongnya mulai menggila. Terkadang kudengar suara desahannya yang aaah oooh ... aaah ... ooooh...

Sebenarnya ada yang kutakutkan. Takut ada orang lewat lalu memergoki kami sedang beginian.

Untungnya Bu Lies tak kuat lama - lama. Hanya belasan menit dia mengayun bokongnya. Lalu menggelepar dan ambruk.

“ Wah, duweku wes metu Bon. Sampeyan durung ? ”

“ Dereng Bu. “

“ Nanti lanjutin di rumah ya, “ ucap Bu Lies sambil mengangkat bokongnya tinggi - tinggi, sehingga kontolku pun terlepas dari liang memeknya yang seperti apa bentuknya. Belum jelas. Baru bentuk buah pantat gedenya saja yang jelas di mataku.

Bu Lies membetulkan celana dalamnya yang terseret ke samping. Kemudian duduk di atas selimut yang dihamparkan itu.

Aku pun membetulkan letak celana dalam dan celana jeansku, lalu duduk di samping Bu Lies. “Tau gak, kenapa aku gelis metu mauk ?”

“Kenapa Bu ?”

“Karena sejak suamiku meninggal, baru sekarang aku merasakan lagi enaknya kontol. Apalagi sekalinya ketemu kontol yang panjang gede gitu. Ya cepet keluarlah aku. “

“Iya Bu. “

Kemudian kami membicarakan masalah lahan di bukit dan sekitarnya itu. Memang tampak seperti hutan yang tidak terurus. Dan Bu Lies memasrahkan padaku untuk mengelola bukit itu menjadi lahan yang produktif. Jangan sekadar ditumbuhi oleh pohon kayu murahan dan rumput liar belaka.

Aku menyanggupinya. Untuk mengubah bukit dan lahan di sekitar lerengnya, tanpa mengganggu eko system agar tidak terjadi erosi.

Setelah membahas masalah pendayagunaan lahan tidak produktif itu, kami pun pulang lagi.

Di jalan menuju pulang, masih sempat Bu Lies berkata, “Nanti setelah makan malam, kuncikan dulu pintu kamarmu. Kemudian naik lift ke lantai tiga ya. “

“Iya Bu. “

“Kamu akan menjadi orang kesayanganku Bon. Kamu sudah siap kusayangi sebagai kekasih tercintaku ?”

“Siap Bu. “

“Apakah aku cukup memenuhi syarat untuk dijadikan kekasihmu ?”

“Sangat memenuhi syarat. Ibu bukan hanya cantik tapi juga seksi. Kebetulan aku memang pengagum wanita yang lebih tua Bu. Jadi ... heheheee ... kalau Ibu berkenan, dijadikan suami Ibu pun aku mau. “

“Gak usah jauh - jauh dulu mikirnya. Biar bagaimana aku juga tau diri. Usia kita terlalu jauh bedanya. Yang penting kamu bisa selalu memuasi hasrat birahiku, sudah cukup bagiku. “

“Jadi kita menjalin hubungan rahasia aja Bu ?”

“Iya. Kata orang hubungan gelap justru lebih nikmat daripada hubungan suami - istri. “

“Hehehee ... iya Bu. Hmmm ... gak nyangka bintangku bakal bersinar terang di kampung ini Bu. “

“Nanti malam kuat berapa set main sama aku ?”

“Mmm ... mungkin sampai lima atau enam kali juga bisa Bu. “

“Hihihihi ... kebayang tempikku bakal keenakan kalau sering dientot sama kontol panjang gedemu Bon. “

“Iya Bu. Aku juga bakal merem melek kalau sering maen sama Ibu. Heheheee ... “

“Tapi ingat Bon ... kita harus bermain rapi. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan di luaran. “

“Iya Bu. “

“Kamu tidak perlu terlalu fokus pada diriku. Kalau ada cewek yang cocok dengan seleramu, silakan aja mainkan. Yang penting aku tetap dapet jatah minimal tiga kali seminggu. “

“Heheheee ... iya Bu ... iyaaa ... “

“Ohya, kamu bisa nyetir mobil ?”

“Bisa Bu. “

“Punya SIM ?”

“Punya Bu. SIM C punya, SIM A juga punya. “

“Baguslah kalau begitu. Kapan - kapan kita tour ke daerah wisata yang indah - indah, kamu yang nyetir mobilku ya. “

“Iya Bu. Aku siap nyetir ke mana aja. Mau ke Jabar atau Jatim juga aku sanggup Bu. “

“Baguslah. Soalnya ... entah kenapa ya ... begitu ketemu sama kamu, aku langsung punya perasaan sayang padamu Bon. “

“Terima kasih Bu. Aku akan berusaha takkan pernah mengecewakan Ibu dalam hal apa pun. “

“Ingat ya ... nanti setelah makan malam masuk ke dalam kamarmu. Tutup dan kunci pintu kamarmu. Kemudian pakai lift naik ke lantai tiga, itu langsung ke dalam kamarku. “

“Iya Bu. “

Beberapa saat kemudian kami tiba di rumah megah itu. Bu Lies masuk lewat pintu belakang, sementara aku masuk lewat pintu depan, kemudian masuk ke dalam kamarku.

Memang agak letih juga sehabis jalan kaki naik dan turun dari bukit itu. Tapi aku menyempatkan diri untuk duduk di belakang meja kerjaku, menyalakan komputer dan meneliti line perusahaan Bu Lies. Tentu saja dengan password yang sudah diberikan oleh Bu Lies, sehingga aku bisa membuka situs punya perusahaan Bu Lies.

Dari lalu lintas keuangannya aku mulai bisa menilai betapa besarnya omzet agro bisnis punya Bu Lies itu. Kelak harus aku yang memeriksa dan mengatur semuanya ini.

Dengan kata lain, usaha Bu Lies itu bukan main - main. Meski beliau tinggal di pedesaan begini, omzet harian perusahaannya sudah milyaran. Bukan hitungan juta lagi.

Tiba - tiba terdengar bunyi ketukan di pintu kamarku. Lalu aku membuka pintu itu. Seorang pembantu membungkuk sopan sambil berkata, “Ibu sudah menunggu di ruang makan, untuk makan siang Den. “

“Oh iya. Terima kasih, “ sahutku sambil menutupkan pintu dan melangkah menuju ruang makan.

Di ruang makan Bu Lies sudah menungguku. Senyumnya tampak ceria ketika aku sudah menghampirinya di ruang makan yang segalanya serba mewah itu.

Kemudian aku duduk berhadapan dengan Bu Lies, terbatas oleh meja makan.

“Kepada semua pembantu di sini, aku sudah bilang bahwa Bona itu tangan kananku. Orang kepercayaanku. Makanya mereka pasti takut - takut kalau sudah berhadapan denganmu. “

“Iya Bu. Aku memang sudah siap untuk menjadi tangan kanan Ibu, “ sahutku.

“Nggak sia - sia aku menunggu kedatanganmu selama berbulan - bulan. Karena ternyata kamu adalah orang yang kuinginkan dalam segala hal, termasuk dalam masalah pribadiku. “

“Iya Bu. Terima kasih atas kepercayaan Ibu padaku. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan Ibu sampai kapan pun. “

“Ohya ... kamu harus bisa merencanakan gebrakan baru dalam agro bisnis kita Bon. Jangan sekadar mengandalkan yang sudah berjalan saja. “

“Iya Bu. Maaf ... apakah Ibu punya izin impor buah - buahan ?”

“Oh ... belum punya Bon. Kamju bisa mengurus izinnya kan ? Memang bagus tuh. Masayarakat perkotaan kan lebih suka makan buah impor. Boleh direncanakan dan dilaksanakan soal impor itu Bon. Senang aku mendengar idemu itu. “

“Iya Bu. Kita bisa sebar buah - buahan impor itu ke setiap kotabesar di Indonesia. “

“Iya, iya iyaaa ... kamu sudah mengobarkan semangat baru di hatiku Bon. “

Kemudian kami makan siang bersama. Sambil makan pun aku mengungkapkan beberapa rencana bisnis yang semuanya disetujui oleh Bu Lies. Namun aku tak bisa mengungkapkan jenis bisnisnya secara mendetail, karena termasuk rahasia perusahaan. Yang jelas, semuanya bisnis legal. Bukan bisnis abu - abu, apalagi bisnis hitam.



Menunggu datangnya malam terasa lama sekali. Padahal aku sudah ingin sekali menggemuli tubuh tinggi montok wanita setengah baya itu.

Namun akhirnya tiba juga saatnya selesai makan malam. Kemudian aku masuk ke dalam kamarku. Menutupkan dan mengunci pintu kamar. Mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama. Berkaca sebentar di depan cermin besar yang tergantung di dinding. Kemudian dengan hanya mengenakan sandal jepit, kupijat tombol lift dan masuk ke dalamnya.



Lift pun melesat ke lantai tiga. Ternyata benar. Pintu lift itu langsung menghubungkanku ke kamar Bu Lies.

Bu Lies yang sudah mengenakan kimono sutera putih, menyhambutku dengan senyum hangat. Memegang kedua pergelangan tanganku sambil berkata, “Kita turunkan dulu isi perut sehabis makan malam barusan ya. “

Aku mengangguk sambil tersenyum. Harum parfum mahal pun mulai tersiar ke penciumanku. Kemudian tanganku diraih, agar duduk berdampingan di atas sofa putih bersih. Ya ... kamar Bu Lies ini serba putih bersih. Lagi - lagi aku menemukan bukti, bahwa orang yang tinggal di pedesaan belum tentu suka warna - warni yang norak. Terbukti dengan penataan kamar Bu Lies ini, terasa nyaman dan serba bersih. Seperti kamarku, kamar Bu Lies juga dilengkapi AC, tentu saja.

Namun semuanya tidak kuperhatikan lagi setelah Bu Lies memegang tanganku sambil berkata, “Tadi di puncak bukit kamu ora iso ndelok tempikku toh ? Nah sekarang lihatlah sepuasmu. Mau diapain juga silakan. “

Bu Lies merentangkan kedua sisi kimono putihnya sehingga aku bisa menyaksikan dengan jelas. Bahwa Bu Lies tidak mengenakan apa - apa lagi di balik kimono putih itu. Sehingga sepasang toket gedenya terbuka penuh. Memeknya pun tampak jelas di mataku. Tembem dan bersih dari jembut, mirip memek Mbak Artini ... !

Nafsu birahiku langsung bergejolak. Dan langsung bersila di atas karpet, di antara kedua kaki Bu Lies yang putih mulus ... sambil mendekatkan wajahku ke memek tembem dan bersih dari jembut, yang tampak seperti sedang tersenyum malu - malu itu ... !

Tanpa ragu lagi kuciumi tempik alias memek alias heunceut alias pepek alias puki alias ketut Bu Lies itu ... !

Bu Lies malah mengusap - usap rambutku sambil berkata, “Mau dijilatin juga boleh. Jilatinlah tempikku sepuasmu Bon. “

Bicara begitu Bu Lies sambil memajukan letak bokongnya, sehingga tempik bersih dan tembem itu mendekati mulutku. Maka tanpa basa - basi lagi kungangakan mulut tempik Bu Lies dengan kedua tanganku. Sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lebar. Bagian itulah yang lalu kujilati dengan lahap. Harum parfum mahal pun semakin tersiar ke penciumanku.

Mungkin sekujur tubuh Bu Lies selalu diharumkan oleh parfum itu. Sehingga tempiknya pun menyiarkan harumnya parfum mahal itu. Ini membuatku semakin bergairah untuk menjilati bagian yang berwarna pink itu. Sementara jempol kiriku mulai menggesek - gesek itilnya yang tampak menonjol “mancung”.

“Booon ... oooo ... oooohhhh ... Booooon .... aku makin sayang sama kamu Boooon ... sayang sekali Booon ... ooooohhhhhh ... ooooohhhhh ... aku sayang kamu Booon ... sayaaaang kaaamuuuu .... oooo... oooooooohhhhh .... Booonaaaaa .... “ desahan dan rintihan Bu Lies mulai berhamburan dari mulutnya.

Bahkan beberapa saat kemudian Bu Lies seperti tak kuasa lagi menahan nafsunya. Ia mengusap - usap rambutku sambil berkata terengah, “Suuu ... suuudah Booon ... ayo kita lanjutkan di bed aja ... biar nyaman ... udah Booon ... aku udah horny berat niiih ... “

Kuikuti saja keinginan Bu Lies. Kujauhkan mulutku dari tempiknya, lalu bangkit berdiri dan mengikuti langkah Bu Lies menuju bednya yang serba putih bersih itu.

Di dekat bed itu Bu Lies menanggalkan kimononya. Aku pun cepat menanggalkan baju dan celana piyamakiu. Dan langsung telanjang, karena sengaja aku tidak mengenakan celana dalam sebelum naik ke lantai tiga ini.

Kemudian aku merayap ke atas perut Bu Lies sambil memegangi kontolku yang sudah ngaceng berat ini. Bu Lies pun ikut memegangi leher kontolku dan mencolek - colekkan moncongnya ke mulut tempiknya yang sudah basah oleh air liurku. Kemudian ia mengedipkan matanya sebagai isyarat agar aku mendorong kontol ngacengku.

Maka kudesakkan kontolku sekuat tenaga. Dan membenam sedikit demi sedikit ke dalam liang memek Bu Lies ... blessssssss .... hmmmm ... tadi di puncak bukit itu aku tidak begitu merasakan nikmatnya bersetubuh dengan majikanku yang bertubuh tinggi montok dengan bokong dan toket serba gede ini. Tapi sekarang aku benar - benar merasakan enaknya ketika kontolku sudah terbenam seluruhnya ke dalam liang tempik Bu Lies. Bahkan terasa sudah mentok di dasar liang memek Bu Lies.

Bu Lies pun mengerang histeris, “Sudah masuuuuk semuaaaaa Booon ... ooooh ... kontolmu memang gede dan panjang banget. Ini sampai mentok di dasar liang tempikku Booon ... “

Aku pun mulai mengayun kontolku perlahan - lahan. Dan terasa sekali legitnya liang memek Bu Lies ini. Sehingga aku pun berkata terengah, “Ta ... tadi waktu di bukit ... belum terasa enaknya tempik Ibu ini. Ta ... tapi sekarang terasa benar ... memek Ibu sangat legit ... pasti bakal bikin aku ketagihan kelak ... “

“Kapan pun kamu mau ngentoit aku, tinggal naik aja ke lantai tiga ini. Kecuali kalau aku lagi datang bulan, pasti harus istirahat dulu, “ sahut Bu Lies sambil merangkul leherku ke dalam pelukannya. Kemudian menciumi bibirku dengan lahapnya. Disusul dengan bisikan, “Ayoooo ... entotlah aku sepuasmu Bona Sayaaaang .... “

Tanpa banyak bicara lagi, kupercepat gerakan kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek yang terasa licin tapi legit ini.

Bu Lies pun mulai merintih - rintih histeris, “Aaaaa ... aaaaaaah ... Booonaaaa ... aaaaaah ... kontolmu memang luar biasa enaknya Booon .... iyaaaaa ... iyaaaaa ... entot teruuussss booon ... entoootttt teruuuusssss .... iyaaaa ... iyaaaaa... entooootttttttt ... entoooooooootttttt ... sambil emut pentil tetekku Booon ... kiyaaaaa... luar biasa enaknya kontolmu ini Booon ... aku sudah dua kali menikah ... tapi baru sekali ini merasakan enaknya dientooootttt ... aaaaa ... aaaaaaah ... Boooonaaaaa ... Booonnnaaaaaa ... enaaaak sekali Booon ... entoooottttt ... entooooooooooottttttt ... iyaaaaaaaaa ... entoooottttt .... entoooooooottttttt ... kontolmu luar biasa enaknya Boooon .... entoooot teruuuuusssss .... !”

Dalam keadaan seperti ini, aku mulai menyadari salah satu kelebihan perempuan berbokong gede. Ketika aku mulai gencar mengentot Bu Lies, biji pelerku sama sekali tidak menyentuh kain seprai. Hanya terombang - ambing di depan memek Bu Lies saja. Ini karena saking gedenya pantat Bu Lies, sehingga pada waktu menelentang, memeknya berada kurang lebih sejengkal dari kain seprai. Pantaslah banyak orang bilang, bokong gede itu “bagus kerjanya di ranjang”.

Sementara itu aku pun teringat ucapan para pakar seksuologi. Bahwa dalam hubungan sex itu harus ada “take and give” (menerima dan memberi). Jadi kaum lelaki pun jangan hanya ingin merasakan enaknya saja memek pasangannya, tapi juga harus berusaha memberi kenikmatan pada pasangannya itu.

Itulah sebabnya, ketika sedang gencar - gencarnya mengentot tempik Bu Lies, aku pun bukan hanya mengemut dan meremas toket gedenya. Aku pun berusaha “menyempurnakan”nya dengan jilatan - jilatan lahap di lehernya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil.

Karuan saja Bu Lies jadi merem melek dibuatnya. Bahkan pada suatu saat jilatanku beralih ke ketiaknya yang tercium harum parfum juga. Maka rintihan - rintihan Bu Lies pun semakin menjadi - jadi dibuatnya, “Booonnnaaaa .... oooo ... oooooh ... Boooon ... kamu sangat pandai membuatku keenakaaaaan ... iyaaaaaa ... iyaaaa ... entot terus Booon ... kontolmu luar biasa enaknya Booonaaaa ... entooot teruuuussss ... entoooott ... sambil jilatin dan gigit - gigit ketekku juga Booon ... aaaaaah ... ini luar biasa enaknyaaaaaa ... luar biaaasaaaaaa ... entooot teruuuussss ... entoooottttt ... entoooottttt ... Boooonaaaaaa ...enak Booon ... enaaaaaak sekaliiii ... ooooh ... oooh ... luar biasaaa enaknyaaaaa ... Booonaaaaa ... Booonaaaaaa.....”

Aku sengaja ingin memperlihatkan keperkasaanku, supaya Bu Lies ketagihan, ingin dientot terus olehku kelak.

Sudah dua kali Bu Lies orgasme. Tapi kontolku masih tangguh. Masih memompa liang memek legitnya Bu Lies.

padahal keringatku mulai membasahi tubuhku. Keringat Bu Lies juga sama, tampak membasahi tubuhnya di sana - sini.

Sampai pada suatu saat, Bu Lies berkelojotan sambil mengerang, “AKu mau lepas lagi Bon ... bisa dibarengin nggak ?”

“Mudah - mudahan bisa Bu, “ sahutku sambil mempercepat entotanku. Sambil menyedot - nyedot pentil toket gedenya.

Dan Bu Lies mulai berkelojotan ... kemudian mengejang tegang dengan perut agak terangkat ke atas.

Pada saat itulah aku pun menancapkan kontolku di dalam liang memek Bu Lies. Moncong kontolku sampai menabrak dan mentok di dasar liang tempik wanita setengah baya itu. Lalu liang sanggama Bu Lies terasa berkedut - kedut kencang, diikuti dengan gerakan spontan yang seperti spiral ... laksana meremas dan memilin kontolku yang tengah meletuskan lendir kenikmatanku.

Crooot ... coooooooooooooooooooooottttttttttttttttttttttttttt ... croooooottttttttttttttttttttttttttt ...

crooooootttttt .... crooooooooottttt ... croooooooooooooooooooooooooooooottttttttttttt ... !

Aku menggelepar, lalu terkulai di atas perut Bu Lies.

Bu Lies pun terkulai. Namun sesaat kemudian dia mencium bibirku dengan lahapnya, disusul dengan bisikannya di dekat telingaku, “Terima kasih ya Sayang. Kamu telah memberikan sesuatu yang sangat berarti bagiku. Ini takkan kulupakan sampai kapan pun. “

“Ibu juga telah memberikan sesuatu yang sangat berarti bagiku. Punya panjenengan luar biasa enaknya, “ sahutku.

Kemudian kucabut kontolku dari dalam liang tempik Bu Lies.

Bu Lies pun duduk, lalu turun dari bed, “Ayo kalau mau bersih - bersih di kamar mandi, “ ajaknya.

Aku pun mengikuti langkah Bu Lies masuk ke dalam kamar mandi pribadinya.

Begitu berada di dalam kamar mandi, Bu Lies langsung duduk di atas kloset. Dan aku berjongkok di depan kloset itu.

“Heh ... mau apa kamu malah jongkok di situ Bon ?” tanya Bu Lies.

“Pengen liat punya Ibu seperti apa kalau sedang kencing ... hehehee ... “

“Hihihiiii ... ada - ada aja. Iya liatin deh. Sekalian cebokin setelah aku kencing ntar ya. “

“Iya Bu. Mau kok aku nyebokin Ibu. “

“Mau nyebokin apa mau megang - megang tempikku ?”

“Hehehee ... mau dua - duanya Bu, “ sahutku sambil menarik shower dan siap - siap untuk menceboki Bu Lies.

Lalu terdengar bunyi kencing Bu Lies di dalam kloset. Sweerrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr ...... kecewesssss kecewessss ....

Aku pun langsung mendekatkan shower ke tempik Bu Lies, sementara tangan satunya lagi siap untuk menceboki memek bu boss.

“Baru sekali ini aku ngalami dicebokin sama orang lain. Bona ... Bona ... kamu mulai jadi tangan kananku luar dalam. “

“Iya. Ibu juga mulai jadi atasan luar dalam. “

Bu Lies bangkit dari kloset, sementara aku justru baru mulai kencing. Kemudian kubasuh kontolku yang masih berlepotan lendir. Pada saat itulah Bu Lies memelukku dari belakang. Sambil berbisik, “Masih kuat main berapa kali lagi ?”

“Mungkin tiga kali lagi juga masih kuat Bu. Soalnya p;unya Ibu luar biasa legitnya. “

“Hihihiiii ... begitu ya ?”

“Iya Bu. Luar biasa enaknya. “

Bu Lies menjawab dengan bisikan di dekat telingaku, “Kontolmu juga luar biasa enaknya Sayang. “

Kemudian kami keluar dari kamar mandi, menuju bed kembali. Di situlah Bu Lies meremas - remas kontolku dengan lembut sambil berkata, “Kalau anak muda sih dipegang dan diremas - remas begini juga pasti bisa tegang lagi. Naaaah ... sudah ngaceng lagi nih Bon. “

“Iya ... mau dilanjutkan Bu ?” tanyaku.

“Ayooo ... ganti posisi ya. Sekarang main posisi doggy. “ Bu Lies menungging di atas bed, sambil menepuk - nepuk bokong gedenya.

Dan ... begitulah. Kami bersetubuh lagi dalam posisi doggy.

Tak cuma itu. Setelah malam makin larut, kami bersetubuh lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini main posisi WOT. Bu Lies main di atas, aku main di bawah.

Dan aku seolah ingin memperlihatkan keperkasaanku, agar Bu Lies merasa sangat membutuhkanku untuk pemuas nafsu birahinya.

Menjelang subuh, aku menyetubuhi Bu Lies lagi untuk keempat kalinya. Kali ini kembali ke posisi missionary. Aku di atas, Bu Lies di bawah.



Hari demi hari kulalui dengan penuh gairah. Bukan sekadar gairah kerja, tapi juga gairah sex. Karena hari - hari yang kulewati selalu ditemani oleh sex.

Bu Lies pun semakin baik padaku. Transfer demi transfer mengalir ke buku rekening tabunganku. Kalau dihitung secara kasar, saldo rekening tabunganku sudah bisa dipakai untuk membeli mobil baru. Tapi untuk apa beli mobil ? Bukankah keenam mobil mahal Bu Lies yang tersimpan di garasi bisa kupakai kapan dan ke mana saja ?

Pada suatu hari .....

Ketika aku sedang berdiri di halaman rumah Bu Lies, sambil mengamati lucunya ikan - ikan koi berenang di kolam hias, seorang wanita setengah baya bergaun batik tampak menghampiriku, diantarkan oleh seorang satpam.

Setelah dekat dan jelas, aku terkejut karena wanita bergaun batik itu adalah Mama ... !

“Bona ... ! “ seru Mama sambil merentangkan kedua tangannya.

“Mama ... ! “ aku pun menghambur ke dalam pelukannya.

Kami cipika - cipiki sambil berpelukan.

Lalu Mama kubawa masuk, langsung ke dalam kamarku.

“Barusan pakai apa Mama ke sini ?” tanyaku setelah mengajak Mama duduk berdampingan di atas sofa yang tak jauh dari bedku.

“Pakai ojek. Dari Subang sih pakai Bus. Turun di Solo. Dari Solo pakai ojek ke sini. “

“Capek sekali dong Mama, “ ucapku sambil meremas - remas tangan Mama.

“Memang capek sekali Sayang. Tapi karena ada sesuatu yang sangat penting, mama lupain rasa capeknya. Mama ini sedang hamil Sayang. “

“Hamil ? Sudah berapa bulan hamilnya ?”

“Baru tiga bulan. Belum kelihatan gede ya perut mama ?”

“Belum”

“Kamu masih ingat kan waktu mama ke Jogja dan memadu birahi sama kamu itu tiga bulan yang lalu kan ?”

“Ja ... jadi ... yang di dalam perut Mama itu anakku ?”

“Ya iyalah. Anak siapa lagi ?”

“Terus kalau ketahuan sama Papa gimana ?”

“Mama sudah cerai sama Papa. Vonis di pengadilan baru diputuskan seminggu yang lalu. Jadi ... biarin aja Papa tau mama hamil juga gak apa - apa. Karena mama bukan istri dia lagi. Ohya ... rumah bossmu ini megah sekali Bon. Kayak istana ini sih. “

“Iya Mam. Kebetulan majikanku sangat baik padaku. Dan ... “

Belum selesai aku bicara, tiba - tiba terdengar suara Bu Lies di ambang pintu yang tidak kututupkan, “Ada tamu Bon ?”

Mama menoleh ke arah Bu Lies yang masih berdiri di ambang pintu. Lalu Mama berseru, “Ini Lies ?!”

Bu Lies menghampiri Mama. Dan terbelalak sambil berseru, “Maryani ?!”

“Iya Lies ... ya Tuhaaan ... kita bisa berjumpa lagi setelah lebih dari duapuluh tahun berpisah yaaa ?”

“Yani ... Yani ... gak nyangka kita bisa berjumpa lagi ... “ ucap Bu Lies sambil mengajak Mama duduk berdampingan di sofa, sementara aku cuma berdiri heran dan bingung. Karena tak mengira kalau Bu Lies kenal sama Mama.

“Syukurlah kamu sekarang sudah sukses begini Lies ... kamu majikannya Bona kan ?”

“Iya, “ sahut Bu Lies, “Panjang ceritanya Yan. Waktu itu aku nekad jadi TKW di Hongkong. Gak taunya aku ditaksir sama orang Indonesia yang sukses di Hongkong. Dia duda aku janda, ya kawinlah kami di Hongkong. Suamiku itu luar biasa tajirnya. Dia dianggap big boss di Hongkong juga. Tapi usianya sudah tua. Setelah sepuluh tahun kami hidup bersama di Hongkong, akhirnya suamiku mengajak pulang ke Indonesia. Maklum usianya mulai tergolong udzur. Gak taunya setelah berada di tanah air dia jadi sakit - sakitan. Dan akhirnya meninggal sekitar lima tahun yang lalu. Almarhum menitipkan surat wasiat pada penasehat hukumnya. Di surat wasiat itu tercantum bahwa aku satu - satunya orang yang berhak atas semua harta dan simpanannya di bank. Begitulah kisah singkatnya Yan. “

“Jadi sekarang kamu melanjutkan usaha yang sudah dirintis oleh almarhum suamimu ?” tanya Mama.

“Iya. Kalau gak ada peninggalan almarhum, bagaimana bisa aku seperti sekarang ini. “

“Punya anak berapa dari almarhum suamimu itu ?”

“Nggak punya. Dia yang mandul Yan. Ohya ... bagaimana dengan Fajar ? Apakah dia sehat - sehat aja ?”

Mama berdiri dan menghampiriku. Lalu memegang bahuku sambil berkata, “Ini Fajar Lies... “

“Haaa ? Bona ini Fajar ?!” Bu Lies tampak kaget sekali.

“Iya. Ini Fajar ... anak kandungmu Lies, “ kata Mama yang lalu menoleh padaku sambil berkata, “Bersujudlah di kaki ibu kandungmu Sayang ... “

“Ja ... jadi ?” cetusku bingung dan kaget.

“Bu Lies ini adalah ibu kandungmu Sayang. Waktu kamu masih kecil sekali, hidupnya sengsara sekali. Lalu dia nekad untuk menjadi TKW di Hongkong. Dan kamu diberikan pada mama dengan perjanjian bahwa dia takkan mengganggu gugat dirimu di kemudian hari. Tapi sekarang keadaan ibumu sudah berubah jadi orang sukses. Mama juga takkan mati - matian mempertahankanmu. Jadi ... sujudlah di kaki ibumu itu Sayang. “

Aku manut saja pada suruhan Mama. Lalu berlutut di depan Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu. Kemudian kuciumi kakinya sambil bercucuran air mata. Karena aku sangat sedih menghadapi kenyataan ini. Bagaimana tidak, wanita yang terus - terusan kusetubuhi itu ternyata ibu kandungku .... !
 
Kuharap itu bukan ending cerita. Bersujud dikaki ibu kandung sendiri yg beberapa hari ini dientotnya.

Semoga update selanjutnya tdk lama lagi.
Terimakasih
 
Part 06



S
ecara terperinci Bu Lies alias mamie kandungku itu menceritakan asal - usulku yang sebenarnya. Bahwa ayahku bukan lelaki yang bertanggung jawab. Ketika Bu Lies hamil tua, malah minggat dengan seorang cewek muda belia. Dahulu Bu Lies dan Mama tetangga dekat dan masih sama - sama tinggal di Jogja. Pada saat itu keadaan Mama sudah lumayan mapan, sementara Bu Lies hidup pas - pasan. Apalagi setelah ayahku minggat dengan cewek belia itu, Bu Lies harus mencari nafkah sendiri dalam keadaan hamil tua pula.

Karena itu Bu Lies menyandarkan hidup kepada Mama. Saat itu Mama memang bukan orang tajir, tapi kehidupannya jauh lebih baik daripada Bu Lies. Maka terjadilah perjanjian, bahwa kalau bayinya sudah lahir akan diberikan kepada Mama. Tapi biaya melahirkan dan makan sehari - hari Bu Lies ditanggung oleh Mama.

Lalu lahirlah bayi itu yang sudah diberi nama Fajar oleh Bu Lies. Mama senang sekali karena belum punya anak laki - laki, Mama meminta agar Fajar tetap disusui oleh Bu Lies. Sementara diam - diam Bu Lies mendaftarkan diri untuk menjadi TKW di Hongkong, yang kata orang - orang gede gajinya itu. Bu Lies pun terbang ke Hongkong yang dibiayai oleh yayasan yang biasa merekrut para TKW untuk bekerja di luar negeri.

Setelah setahun tinggal di Hongkong, Bu Lies berjumpa dengan seorang pengusaha asal Indonesia yang sudah sukses di Hongkong. Kebetulan pengusaha asal Indonesia itu baru ditinggal mati oleh istrinya.

Kebetulan pula Bu Lies di masa mudanya memang cantik. Pengusaha tajir melilit itu pun jatuh cinta kepada Bu Lies.

Tanpa memandang usia yang berbeda jauh, Bu Lies pun menerima lamaran pengusaha itu. Lalu mereka menikah di Hongkong. Dan tetap tinggal di sana dengan status yang berbeda. Bu Lies bukan TKW lagi, melainkan sudah jadi istri seorang pengusaha besar.

Sepuluh tahun kemudian, suami Bu Lies mengajak pulang ke Indonesia, karena usianya sudah tua sekali dan tidak sanggup mengembangkan usahanya lagi di Hongkong. Katakanlah dia sudah ingin pensiun dari dunia bisnis. Namun simpanannya di bank sangat banyak. Tanahnya pun di pulau Jawa banyak. Ada yang di Jabar, Jateng dan Jatim. Karena itu mereka pulang ke tanah air bukan sebagai panglima yang kalah perang. Karena depositonya di bank saja takkan habis dimakan oleh tujuh turunan.

Setelah berada di tanah air, suami Bu Lies yang sudah tua renta itu pun jadi sering sakit. Dan akhirnya meninggal dunia lima tahun yang lalu. Atas dasar surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum suami Bu Lies, semua harta dan simpanannya di bank diwariskan kepada Bu Lies semua.

“Begitulah ceritanya, “ kata Bu Lies di akhir penuturannya, “Memang setelah berada di tanah air, aku sering ingat pada anakku. Tapi aku ingin jadi orang yang teguh pada perjanjian. Karena pada saat aku memberikan dirimu kepada wanita baik yang jadi Mama angkatmu ini aku sudah menandatangani perjanjian. Di perjanjian itu tertulis bahwa aku takkan mengganggu gugat anakku di hari kemudian. “

Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu menbghela nafas panjang. Lalu melanjutkan, “Untungnya wanita yang kamu panggil Mama ini bijaksana orangnya. Kalau tadi dia tutup mulut, aku takkan menyangka kalau Fajar itu kamu Bon. Aku sangat menghargai kebijaksanaan mamamu ini. Sehingga aku bisa dipertemukan dengan satu - satunya anak kandungku, yakni kamu Bona. Untuk menghargai kebijaksanaan mamamu ini, aku tidak akan mengganti namamu menjadi Fajar lagi. Biarlah kamu tetap bernama Bona, agar tidak menyakiti hati beliau. Aku pasrahkan masalah Bona ini ke tanganmu Yan, “ kata Bu Lies kepada Mama yang nama lengkapnya Maryani itu.

Mama menjawab lirih, “Aku sangat menyayangi Bona laksana sayangnya ibu kepada anak kandungnya. Tapi hubungan darah di antara kalian berdua tak boleh diputuskan begitu saja. Jadi begini saja ... Bona tetap manggil Mama padaku, lalu kepada Lies mungkin bagusnya manggil Mamie, supaya tidak tertukar - tukar ya. “

“Iya ... iyaaa ... aku setuju itu, “ sahut Bu Lies yang mulai saat ini harus kupanggil Mamie itu.

“Jadi Bona tetap boleh menganggapku mamanya, tapi dia juga harus menerima bahwa Lies itu mamie kandungnya. Tentang di mana Bona mau tinggal, bebas sajalah. Mau ke rumahku di Subang ... pintu rumahku tetap terbuka sampai kapan pun buat Bona. Mau tinggal di sini apalagi, karena dia punya pekerjaan pula di sini kan ?”

Mamie memegang bahuku sambil bertanya lembut, “Keinginan Bona sendiri bagaimana ?”

Spontan kujawab, “Pokoknya aku sayang keduanya, baik kepada Mama mau pun kepada Mamie. Malah semakin menyenangkan karena mulai saat ini aku jadi punya ibu dua orang. Heheheee ... “

“Iya ... kami berdua sayang kamu Bon, “ kata Mamie alias Bu Lies, “Ohya ... sekarang Yani mau nginep di sini kan ?” Mamie menatap ke arah Mama.

“Sayang sekali ... sekarang sih aku gak bisa nginap Lies. Kapan - kapan deh aku sengaja nginap di sini, biar kita bisa ngobrol panjang lebar. “

“Memangnya ke Subang mau naek apa ?” tanya Mamie.

“Dari Solo ada bus yang lewat Subang Lies. “

“Mmmm ... begini aja, “ kata Mamie, “Sekarang anterin Mama ke Subang, ya Bon. “

“Iya Bu, eh Mamie, “ sahutku.

“Waduh ... dari sini ke Subang itu jauh sekali Lies, “ ucap Mama.

“Nggak apa - apa. Yang penting Bonanya sanggup kan ?” Mamie menoleh padaku.

“Sanggup Mamie, “ sahutku

“Sebentar ... aku mau ngomong dulu sama Bona ya Yan, “ kata Mamie.

“Silakan, “ sahut Mama.

Lalu Mamie memijat tombol lift sambil memegang pergelangan tanganku. Pintu lift terbuka, aku dan Mamie masuk ke dalamnya. Kemudian lift itu bergerak ke lantai tiga.

Di kamarnya Mamie memegang kedua tanganku sambil berkata, “Ternyata kita ini ibu dan anak kandung Sayang. “

“Iya Mam. Aku kaget sekali mendengar semuanya ini. Sedangkan kita sudah melangkah begitu jauh. Bagaimana ke depannya nanti ?”

Mamie malah mencium bibirku. Lalu berkata setengah berbisik, “Takdir juga yang membuat kita harus seperti ini. Biarin aja. Kita lanjutkan aja hubungan rahasia kita. Karena mamie udah telanjur mencintaimu Sayang. Tapi kamu gimana ? Masih mau melanjutkannya nggak ?”

“Mau Mam. Sudah telanjur jauh sih. “

“Bagus. Mamie juga udah telanjur jatuh cinta padamu Sayang. Biarlah kita lanjutkan aja. Tapi awas ... Mama jangan sampai tau ya. “

“Iya Mamie. “

“Sekarang antarkan dulu Mama pulang gih. Mumpung masih siang. Pilihlah mobil mana yang mau kamu pakai. Ingat ... sekarang semua yang kumiliki adalah milikmu juga, karena kamu satu - satunya anak kandungku. “

“Iya Mam. Tapi Mamie masih bisa hamil kan ?”

“Bisalah. Selama belum menopause, berarti perempuan itu masih bisa hamil.”

“Lalu kalau Mamie hamil olehku nanti gimana ?”

“Justru itu yang mau kubicarakan denganmu. Tapi besok aja setelah kamu pulang dari Subang, kita bicarakan lagi semuanya secara matang yaaa. Mmm ... Bona ... Bona ... ternyata kamu ini anak kandungku ... tapi aku telanjur jatuh cinta padamu mmmmmwuaaaaah.... “ Mamie mencium bibirku. Lalu mengeluarkan dua gepok uang seratusribuan dari brankas.

Diserahkannya uang itu padaku sambil berkata, “Yang seikat kasihkan sama Mama, yang seikat lagi untuk membeli pertamax dan makan di jalan. “

“Iya Mam. Terima kasih. Tapi Mam ... masih ada yang kuinginkan, “ kataku sambil menyingkapkan daster Mamie, “Pengen megang tempik Mamie dulu ah ... “

Mamie melotot, tapi lalu menahan tawanya. Dan dibiarkannya saja kurayapkan tanganku ke balik celana dalamnya, lalu mengelus - elus tempiknya sebentar.

Kemudian kukeluarkan lagi tanganku dari balik celana dalam Mamie. “Aku pamit dulu ya Mam, “ ucapku setelah mencium bibir Mamie dengan kehangatanku.

“Iya ... ati - ati di jalan ya Sayang. Gak usah ngebut. “

“Iya Mamie Sayang. “

Kemudian aku dan Mamie masuk ke dalam lift dan turun ke kamarku lagi, di mana Mama masih duduk di sofa kamarku.

“Ayo Mam ... sekarang aja pulangnya mumpung masih siang ?“ tanyaku sambil menyerahkan seikat uang pemberian Mamie, “Ini dari Mamie, “ kataku.

“Iiih banyak banget Lies ?!”

“Ah ala kadarnya aja Yan. Mohon maaf gak disuguhin makan. Tapi Bona udah dikasih duit tuh buat makan di jalan. “

“Iya, terima kasih ya Lies. Kapan mau maen ke Subang ? Aku udah bubar sama suamiku lho. “

“Ohya ?! Kenapa ?”

“Biasa penyakit laki - laki. Maen gila mulu sama cewek yang jauh lebih muda daripada aku. “

“Begitu ya ?! Gak ada mendingnya. Aku pilih yang jauh lebih tua, biar udah kenyang maen perempuan. Tapi ya gitu ... gak ditinggal maen gila sama cewek, tapi ditinggal mati Yan. “

“Gak apa - apa. Kita jalanin aja suratan takdir kita masing - masing. “

“Iya, iyaaaa ... semoga perjalanannya lancar ya Yan. “

“Iya Lies. Aku pamit ya, “ kata Mama sambil cipika - cipiki dengan Mamie.



Beberapa saat kemudian Mama sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan Mamie yang sudah kujalankan menuju Solo, kemudian memutar menuju Jogja.

“Bagaimana perasaanmu sekarang ? Bingung atau gimana ?” tanya Mama.

“Malah jadi plong. Karena Mama bukan ibu kandungku. Jadi aku bebas melakukan apa pun dengan Mama sekarang kan ?”

“Iya. Hihihiiii ... pikiranmu kok malah sama dengan pikiran mama. “

“Berarti Mama juga kangen entotanku lagi kan ?”

“Iyaaa ... lagi hamil gini mama malah pengen begituan mulu. “

“Kalau gitu kita cek in aja di Jogja ... di hotel yang kita pakai dahulu itu Mam. Hitung - hitung nostalgia. “

“Iya. Hotel itu sangat bersejarah bagi kita ya. “

“Mmm ... Mbak Weni, Mbak Rina dan Mbak Lidya pada tau gak kalau aku ini bukan anak kandung Mama ?”

“Nggak ada yang tau. Kan waktu kamu mama terima dari Mamie, mereka masih kecil - kecil. Weni juga baru berumur tiga tahun. Belum ngerti apa - apa. “

“Kalau sudah terbuka gini, apakah mereka bakal dikasihtau atau nggak ?”

“Kasihtau aja. Gak apa - apa. Toh hubunganmu dengan mereka bakal tetap baik. “

“Iya. Aku akan tetap menganggap mereka saudara - saudaraku, “ sahutku dengan pikiran melayang - layang. Teringat apa yang sudah kulakukan dengan Mbak Weni, dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya.

Sedan built Jerman yang kukemudikan ini pun meluncur terus ke arah Jogjakarta.



Setibanya di hotel yang bersejarah bagiku dan bagi Mama, kami mendapatkan kamar paling belakang. Dan gairahku tak terkendalikan lagi. Mungkin karena aku sudah tahu bahwa Mama itu bukan ibu kandungku. Selain daripada itu Mama sedang hamil, membuatku penuh kepenasaranan. Seperti apa memek wanita yang sedang hamil itu.

Mama pun tampaknya sudah kangen sekali padaku. Begitu masuk ke dalam kamar hotel, Mama merangkul leherku ke dalam pelukannya. Lalu mencium dan melumat bibirku dengan hangatnya.

Sambil menanggalkan gaun batiknya, Mama berkata, “Kamu mama urus sejak bayi dengan penuh kasihsayang Bon. Mama sayang sekali padamu, laksana sayangnya seorang ibu kepada anak kandungnya. Tapi sejak kita melakukan semuanya di dalam hotel ini, pandanganku padamu jadi berubah. Laksana memandang seorang pangeran yang datang untuk mengobati luka di hati mama. “

“Aku juga sama Mam. Dan sekarang, setelah aku tau Mama bukan ibu kandungku, aku jadi semakin bergairah lagi ... terlebih - lebih setelah mendengar Mama sedang hamil ... hihihiiiii ... jadi gemes ... ingin melihat dan merasakan memek wanita hamil ... “

“Jadi biarkan aja janin di perutku ini tetap tumbuh dan membesar nanti ?” tanya Mama sambil melepaskan beha dan celana dalamnya.

“Biarkan saja Mam. Biar nanti aku yang membiayai semuanya. Sekarang statusku kan sudah jelas, sebagai anak tunggal seorang wanita yang tajir melintir. “

“Nanti kalau Rina dan Lidya tau, gimana ya ?”

“Biarin aja. Kalau perlu, kuhamili juga mereka nanti. Supaya tidak ada yang complain pada kehamilan Mama. “

“Hihihiiii ... jadi rame dong rumah di Subang nanti. Ada tiga bayi lahir ke dunia. Memangnya kamu bisa memperlakukan mereka sekehendak hatimu ?”

Sambil mengusap - usap perut Mama yang belum kelihatan buncit, aku menyahut, “Bisa Mam. Tapi tentu saja aku takkan sewenang - wenang pada Mbak Rina dan Mbak Lidya. Yang jelas, pada waktu aku diwisuda itu kan mereka datang ke sini. “

“Iya, memang mama yang nyuruh mereka datang untuk menghadiri wisudamu. “

“Nah ... mereka ingin merasakan seperti apa rasanya bersetubuh itu. Lalu mereka menyerahkan keperawanan mereka padaku. Tapi jangan marahi mereka nanti ya Mam. Kalau Mama marahi mereka, bisa - bisa minggat mereka nanti dari rumah. “

“Owh ... begitu ? Mmmm ... mama mau pura - pura tidak tau aja soal itu sih. “

“Itu lebih baik Mam. Tapi pada saat itu mereka sudah menyiapkan pil anti hamil segala. Makanya kalau aku mau menghamili mereka, aku akan melarang mereka memakai pil anti hamil lagi.”

“Menurut mama sih, ide menghamili mereka itu kurang tepat Bon. Kalau masalah mama hamil nanti, mama akan berusaha membuat mereka bisa menerima kenyataan ini. Bahwa mereka akan punya adik baru ... anakmu ini, “ kata Mama sambil mengusap - usap perutnya.

“Iya ... makanya nanti Mama jelaskan saja, bahwa aku ini bukan anak Mama. Dan kita sengaja melakukan hubungan badan, sebagai balas dendam kepada Papa yang main gila terus, “ ucapku sambil menggerayangi memek Mama yang selalu membangkitkan kerinduanku.

Aku mengangguk sambil menjauhkan tanganku dari memek Mama. Kemudian kutanggalkan seluruh benda yang melekat di tubuhku, sampai telanjang bulat seperti Mama.

Lalu aku naik ke atas bed di mana Mama sudah celentang sambil merenggangkan kedua belah pahanya. Tadinya aku ingin mulai dengan menjilati memeknya yang selalu menggiurkan itu ... tembem dan agak ternganga, dengan jengger membuka ke luar pula.

Tapi Mama berkata, “Jangan pake jilat - jilatan memek segala. Ini udah basah sekali Sayang. Belakangan ini memek mama memang sering basah, sambil membayangkan dientot sama kamu lagi. Masukkan aja kontolmu langsung Bona Sayang ... “

Mendengar ucapan Mama seperti itu, aku pun mengikuti keinginannya. Langsung aku tengkurap sambil mengarahkan moncong kontolku ke mulut tempik Mama. Dan ... benar saja. Begitu kudorong kontolku, langsung masuk sekujurnya ke dalam liang memek Mama tercintaku.

“Tuh kan ... langsung ambles semua ... “ ucap Mama sambil merengkuh leherku ke dalam pelukannya.

“Gak apa - apa perutku menghimpit perut Mama begini ?”

“Nggak apa - apa. Masih kecil kok perutnya. Nanti kalau perut mama sudah buncit, tanganmu harus menahan agar perutmu tidak terlalu menghimpit perut mama. Ayo entotin kontolmu. Atau pipih posisi lain yang tidak menghimpit perut mama. “

Aku pun mulai mengentot seperti yang Mama inginkan. Memang becek liang memek Mama kali ini. Tapi hal ini justru membangkitkan gairahku untuk melampiaskan kekangenanku kepada Mama yang telah merawatku dari bayi hingga dewasa. Bahkan aku sendiri yang dikuliahkan sampai S1. Sementara anak - anak kandungnya sendiri (Mbak Rina dan Mbak Lidya) hanya memiliki ijazah D3. Sementara Mbak Weni Do sejak semester 3. Bukankah itu berarti betapa Mama menyayangiku dan selalu mengobarkan semangat belajarku agar berhasil mencapai gelar sarjana ?

Karena itu aku ingin sekali membalas kebaikan Mama itu dengan apa pun yang bisa kulakukan.

Mama pun tampak sangat enjoy dengan aksiku kali ini. Mulutku terus - terusan disumpal dengan lumatan hangatnya yang seolah ingin melekatklan bibirnya ke bibirku selama persetubuhan ini berlangsung.

“Bon ... kenapa ya kali ini mama merasa lebih enak disetubuhi olehmu ? Nih ... niiiih ... niiiih Booooon ... ini mama udah mau lepas Boon ... “ desis Mama yang sedang merapatkan pipinya ke pipiku.

Lalu Mama berkelojotan. Entotanku pun sengaja kupercepat, untuk menanggapi situasi seperti ini.

“Booonaaaa .... aaaaaa ... “ mulut Mama ternganga. Nafasnya tertahan. Sekujur tubuhnya mengejang. Perutnya agak terangkat. Dan kubiarkan kontolku menancap di dalam liang sanggama Mama. Liang yang lalu terasa berkedut - kedut kencang. Disusul dengan hembusan nafas Mama, “Aaaaaaaah ... luar biasa nikmatnya Boooon ... “

Kutatap wajah cantik Mama yang tampak memancarkan sinarnya yang begitu cemerlang.

“Kok cepat sekali lepasnya Mam ?” tanyaku sambil mengusap - usap dahi Mama yang keringatan.

Mama menyahut, “Karena Mama terlalu kangen padamu Sayang. Jadi ... entotanmu terasa nikmat sekali. Makanya mama gak bisa bertahan lama. Jangan digerakkan dulu kontolmu ya. Mama ingin menghayati keindahan yang barusan mama rasakan. “

“Iya ... santai aja Mam, “ sahutku sambil memperhatikan handphoneku di atas meja kecil di samping bed yang tengah kupakai menyetubuhi ibu angkatku ini. Aku berusaha menjangkaunya. Dan berhasil.

Ternyata ada WA dari ... Mbak Artini alias tanteku ... !

Kubuka WAnya. Isinya singkat sekali -Sayang ... aku kangen sekali padamu Yang ... -

Aku tercenung sesaat. Lalu meletakkan hapeku di bawah bantal. Tanpa kubalas.

Padahal aku sedang berada di Jogja. Kalau aku mau, dalam tempo 15 menit pun aku sudah bisa tiba di rumah Tante Artini. Memang aku harus memprioritaskan wanita yang satu itu. Karena biar bagaimana, akulah yang telah merenggut keperawanannya.

Tapi dia itu adik kandung Mamie. Berarti dia itu tanteku sendiri.

Lalu apa yang harus kulakukan ? Apakah aku harus menghentikan hubungan rahasiaku dengan ibu kos yang sudah begitu mencintaiku ?

Tidak.

Secara moral aku harus menghentikan hubunganku dengannya. Tapi secara kemanusiaan, aku tak boleh mencampakkannya begitu saja. Aku harus berusaha untuk tetap membahagiakannya. Tapi bagaimana kalau Mamie tahu bahwa aku punya hubungan dengan Mbak Artini ? Apakah Mamie takkan marah ?

Akhirnya aku mengayun kembali kontolku dengan gerakan yang lumayan cepat. Dan berusaha untuk membuat Mama orgasme lagi. Lalu aku akan berpura - pura ejakulasi pada saat dia orgasme nanti. Agar dia mengira telah terjadi pencapaian puncak kenikmatan secara berbarengan. Kemudian aku akan berpura – pura mau ke rumah temanku dulu karena ada urusan “penting”. Padahal aku akan menjumpai Mbak Artini di rumahnya ... lalu mengentotnya segila mungkin, agar perasaan kangennya reda. Dan sebenarnyalah aku sendiri pun sudah kangen sekali padanya ... !

Booon ... oooh ... Boooon ... ini sudah mulai enak lagi Saayaaaang ... iyaaaa ... iyaaaa . entot terus Booon ... entot teruuuuussssss ... ini luar biasa enaknyaaaaa ... aaaaaah .... aaaaa .... aaaaah ... “ Mama merintih - rintih sambil berusaha menggoyangkan bokongnya ... memutar - mutar dan meliuk - liuk. Sehingga batang kontolku terasa dibesot - besot oleh liang memeknya yang licin tapi tetap legit ini.

Belasan menit semuanya ini berlangsung. Sehingga wajah dan leher Mama mulai mengkilap oleh keringatnya sendiri.

Sampai pada suatu saat, Mama menatapku sambil berkata terengah, “Sayang ... ooooh ... mama mau lepas lagi Sayaaaang ... “

“Iya Mam ... barengin ya ... aku juga udah mau ngecrot ... “ ucapku berbohong. Padahal aku masih jauh dari ejakulasi.

Lalu kupercepat entotanku, sementara Mama sudah berkelojotan lagi. Dan akhirnya mengejang tegang. Pada saat yang sama kutancapkan kontolku sedalam mungkin.

Lalu ketika liang memek Mama berkedut - kedut kencang, aku pun mengejut - ngejutkan kontolku seolah sedang ejakulasi ... !

Lalu ... aku pura - pura terkulai lemas di atas perut Mama.

“Oooooh ... indah sekali ... “ ucap Mama sambil menciumi bibirku, “Terima kasih ya Sayang. “

Tampaknya Mama tidak menyadari bahwa aku belum ejakulasi.

Lalu kucabut kontolku dari liang memek Mama. Kemudian turun dari bed dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi sambil menjinjing pakaianku.

Di kamar mandi aku kencing. Lalu kucuci kontolku yang berlepotan lendir memek Mama.

Kemudian kukenakan semua pakaianku. Dan keluar dari kamar mandi.

Kulihat Mama masih terkapar celentang di atas bed. Aku pun mengambil hapku dari bawah bantal, sambil berkata, “Mama bisa ditinggal sebentar di sini ? Aku ada urusan penting yang harus kuselesaikan di Jogja ini. “

“Iya, selesaikanlah urusanmu dulu Sayang. Mama malah ingin tidur dulu, karena masih terasa capek sekali, “ sahut Mama sambil memeluk bantal guling. Dalam keadaan masih telanjang bulat.



Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam sedan punya Mamie, yang sudah kuluncurkan di jalan aspal. Menuju rumah Mbak Artini ... !

Mbak Artini yang mengenakan daster berwarna pink, tampak sedang menyiram pot - pot tanaman hias yang berderet di teras depan. Dan terkejut ketika melihatku turun dari mobil di dekat teras itu.

“Bona ?!” serunya dengan wajah ceria.

“Iya Tante. Sengaja WAnya tidak kubalas karena tadi aku sedang di jalan menuju ke sini. “

Lalu aku mengikuti Mbak Artini, melangkah masuk ke dalam rumahnya. Di ruang tamu, Mbak Artini sudah tak kuasa menahan diri. Ia memeluk dan menciumi bibirku. “Aku kangen sekali padamu, Sayang. “

“Sama ... aku juga kangen sekali. Hanya waktunya belum ada. Ini juga kebetulan sedang disuruh mengantarkan Mama ke Subang. Makanya kusuruh Mama istirahat dulu di hotel, karena aku ingin menjumpai kekasihku yang jelita dan seksi ini, “ sahutku sambil memegang kedua tangan Mbak Artini.

Lalu kami duduk berdampingan di sofa ruang keluarga.

“Mbak sudah mendengar berita dari Bu Lies ?”

“Berita apa ? Belum ada berita apa - apa Sayang. “

“Ternyata Mbak Ar ini tanteku. Karena aku ini anak kandung Bu Lies yang sekarang harus dipanggil Mamie olehku. “

“Haaaa ?! Yang bener Sayang ... “

“Betul Mbak. Tanyakan saja langsung pada beliau kalau gak percaya sih. Dahulu sebelum terbang ke Hongkong sebagai calon TKW, Mamie pernah memberikan bayi kepada Bu Maryani. Bayi itu sudah diberi nama Fajar. Nah ... Fajar itu aku Mbak. Tapi sama Bu Maryani namaku diganti jadi Bona Perdana. “

“Ooooh ... iyaaaa ... iyaaaa ... ! Saat itu Mbak Lies masih sengsara hidupnya. Suaminya menghilang pula entah ke mana. Iya, iya ... aku masih ingat benar masalah itu Bon. “

“Jadi Mbak ini sebenarnya tanteku. Tapi hal itu jangan dijadikan kendala hubungan di antara kita berdua. Hubungan kita harus jalan terus ya Mbak. “

“Iya sih ... oooh ... ini benar - benar mengejutkan Bon. Tapi aku sudah telanjur cinta berat padamu Sayang. Meski pun kita tidak boleh menikah, tapi hubungan kita harus tetap jalan ya Bonaku Sayang. “

“Iya Mbak. Nanti deh kalau sedang banyak waktu kita rundingkan lagi masalah hubungan kita ini, “ ucapku sambil merayapkan tanganku ke balik daster pink Mbak Artini. Sampai menemukan celana dalam. Dan kuselinapkan tanganku ke balik celana dalam itu. Sampai menemukan celah memek Mbak Artini yang seharusnya kupanggil tante Artini ini. “Jadi aku harus manggil apa nanti sama Mbak ya ? Manggil Tante atau Bulik ?”

“Aaaah ... soal panggilan sih jangan dipikirin. Apa aja ... mau manggil Mbok juga boleh. Hihihiii ... “

“Hush. Masa Mbok ? Emangnya Mbak bakul jamu ? Kalau kita sedang berdua aja, aku mau akan tetap manggil Mbak aja, tapi kalau ada orang lain mau manggil Tante ya. “

“Iya, iya. Terserah kamu aja Sayang. Yang penting cintaku jangan dicampakkan begitu saja. Bisa bunuh diri aku nanti kalau ditinggalkan olehmu. “

“Gak mungkin Mbak. Biar bagaimana Mbak ini sosok penting bagiku. Pertama, Mbak telah menyerahkan kesucian Mbak padaku. Kedua, aku takkan mungkin berjumpa dengan ibu kandungku kalau tidak ada Mbak. “

“Hmmm ... Mbak Lies pasti sayang sekali padamu setelah tau siapa dirimu ya ?”

“Iya, beliau sangat sayang padaku Mbak. Tapi nanti kalau ada telepon dari Mamie, jangan bilang Mbak sudah tau dariku. Jangan bilang juga kalau aku datang ke sini. Karena Mamie menyuruhku mengantarkan Mama pulang ke Subang. Bukan untuk menemui Mbak ... eh Tante ... “

“Hihihiii ... jadi aku jatuh cinta pada keponakanku sendiri ya ?” ucap Tante Artini sambil mencubit pipiku. Sementara jemariku mulai menyelundup ke dalam celah memek di balik celana dalam dan daster pinknya, “Ooooh ... Booon ... kalau sudah dicolok - colok gini aku langsung horny berat Boon .... “

“Ayo kita main. Kontolku juga udah ngaceng berat nih ... “ sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam dan daster pinknya.

Tante Artini bangkit berdiri sambil menarik pergelangan tanganku. Lalu mengajakku masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamarnya, Tante Artini melepaskan daster dan behanya. Celana dalamnya pun ditanggalkan. Sehingga tubuh tinggi montoknya menjadi telanjang bulat di depan mataku. Ketelanjangan yang senantiasa menggiurkan dan membangkitkan gairah birahiku.



Aku pun menelanjangi diriku sendiri. Lalu menerkam tubuh putih mulus yang menggiurkan itu, dengan segenap hasrat birahiku.

Untungnya tadi aku berjuang untuk menahan diri agar jangan ejakulasi di dalam memek Mama. Sehingga persetubuhan dengan Mama tadi bisa kuanggap sebagai foreplay belaka.

Kali ini aku benar - benar akan menyetubuhi Tante Artini dan akan dicrotkan di dalam liang memeknya yang tetap masih sempit menjepit ini.

Dengan segenap hasrat birahi kuemut pentil toket Tante Artini yang sebelah kiri, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya. Suhu badan Tante Artini pun mulai menghangat.

Terlebih setelah mulutku melorot turun ke arah pusar perutnya. Kujilati pusar perutnya sebentar, kemudian melorot turun lagi sampai mulutku berhadapan dengan memek tembemnya yang sangat indah dan tampak sedang tersenyum manis itu.

Sepasang paha putih mulus itu pun merenggang. Dan dengan lahap kujilati memek tembem yang bentuknya sangat indah itu.

Tante Aryati mulai menggelinjang ... menggeliat - geliat erotis, dengan desah - desah nafasnya yang sudah lama kurindukan, “Aaaaaah ... Boooon... aku tetap cinta kamu Sayaaaang ... berat sekali cintaku ini padamu Bonaaaa ... aaaaa ... aaaaaah ... jangan terlalu lama jilatinnya ... aku sudah merindukan kontolmu Sayang ... rindu sekali pada kontoool kamuuuuu .... “

Aku pun hanya sebentar menjilati memek dan itil tante Artini. Lalu kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut tempik tembemnya. Dan kudorong dengan sekuat tenaga.

Blesssssss .... kontolku melesak masuk sedikit demi sedikit ke dalam liang tempik yang luar biasa sempitnya ini.

Sesaat kemudian aku mulai mengentot tanteku yang usianya cuma beda enam tahun denganku ini.

Rintihan - rintihan histeris Tante Artini p;un mulai berkumandang di dalam kamar ini.

“Booonaaaa saayaaaang .... aaaaaaah .... aaaaaaa .... aaaaaah ... Boooonaaaaa ... aku makin cinta padamu Sayaaaang ... oooooohhhhh .... aku sudah sangat merindukan semuanya ini ... aaaa ... kontolmu selalu membuatku merinding dalam nikmaaaaat ... aaaaaaa ... aaaaah ... entotlah aku sepuasmu sayangkuuuuu ... aku cinta kamuuuu ... aku sayang kamuuuu ... entoooot terus sepuasmu Saaaayaaaaang ...iyaaaa... iyaaaa... iyaaaa... entooooot teruuuuusssssss ... “
 
Bimabet
ini kalau gak salah karya nya @Neena tapi lupa ane judul nyaa yang jelas sudah pernah baca dan memang mangkrak karena yg punya cerita udaah lama kagak on di forum
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd