Part 04
Sehari menjelang hari wisudaku, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah tiba di Jogja. Bahkan mereka sudah cek in di sebuah hotel bintang lima. Setelah mereka berada di hotel itu, barulah Mbak Rina call ke ponselku.
”Kenapa Mbak gak ngasih tau dulu sebelumnya, supaya aku bisa jemput ke stasiun ?” tanyaku di dekat hapeku.
Mbak Rina menjawab, “Jogja kan gak asing lagi bagi kita. Semua anak Papa dan Mama lahir dan dibesarkan di Jogja kan ? Lagian kami gak mau ganggu kesibukan..mu yang sedang mempersiapkan wisuda-an. “
“Aaaah ... cuma mau diwisuda kan gak perlu nyiapin apa - apa Mbak. Jubah toga dan topi wisuda kan sudah siap. Kalau mau jadi pengantin, baru sibuk urus sana - sini. Ya udah nanti malam aku akan datang ke hotel. “
“Bukan cuma datang ke hotel. Kamu harus tidur nemenin kami di hotel. Kami kan takut juga tidur berdua sama - sama cewek. Sekalian ingin ngobrol banyak sama kamu Bon. “
“Iya Mbak iyaaa. Jadi besok pergi ke tempat wisuda, start dari hotel aja ya. “
“Iya, begitu lebih bagus Bon. “
Setelah hubungan seluler ditutup, aku bergegas menuju kamar mandi. Dan mandi sebersih mungkin.
Kemudian aku berdandan dengan agak tergesa - gesa.
Sambil menjinjing dua kantong plastik berisi pakaian wisuda dan pakaian resmiku, dengan stelan jas, kemeja putih dan dasi. Juga ada sepatu baru yang akan kupakai di hari wisuda besok.
Sebelum berangkat ke hotel, aku pamitan dulu kepada Mbak Artini. Kujelaskan bahwa aku akan nginap di hotel, tempat kedua kakakku menginap. Dan besok pagi akan langsung menuju gedung tempat diselenggarakannya wisuda angkatanku.
Mbak Artini tampak bersemangat, meski dia tak bisa hadir dalam wisudaku. Karena menurut peraturan, hanya dua orang keluarga yang dibolehkan menghadiri wisudaku. Jadi Mbak Artini harus mengalah, untuk tidak menghadiri wisudaku.
Yang membuatnya bersemangat, adalah bahwa sekitar tiga hari lagi dia akan mengantarkanku ke tempat kakaknya yang suka dipanggil Mbak Lies itu.
Setelah cipika cipiki dengan Mbak Artini, aku pun meninggalkan rumahnya dan berangkat menuju hotel dengan menggunakan taksi. Tidak menggunakan motor gede kesayanganku.
Tak lama kemudian aku pun sudah berada di lantai lima dalam hotel bintang lima itu. Langsung kuketuk pintu yang nomornya sesuai dengan keterangan Mbak Rina. Pintu itu pun dibuka. Mbak Lidya yang membukanya, dengan senyum ceria di bibirnya. Lalu kami berpelukan dan cipika - cipiki.
Tapi berbeda dengan biasanya. Kali ini Mbak Lidya tak sekadar mencium sepasang pipiku, tapi juga ... bibirku.
Mbak Rina juga sama. Dia menyambutku dengan pelukan hangat, lalu mencium sepasang pipiku dan juga bibirku ... !
Tentu saja perasaanku jadi lain. Tapi aku berusaha melupakannya. Dan menganggap bahwa hal itu hanya karena ingin menyatakan kegembiraan mereka atas akan diwisudanya aku besok.
Lalu kami ngobrol ke barat ke timur sebagaimana biasanya kalau kumpul dengan saudara - saudara seperti ini. Termasuk masalah Papa yang tak pulang - pulang ke rumah, juga kami bicarakan.
Aku prihatin juga mendengar cerita tentang Papa itu. Terutama merasa prihatin kepada Mama.
Kedua kakakku itu memang sama bentuknya. Tinggi langsing tapi tidak kurus. Perawakan mereka memang mirip. Tapi ada perbedaan yang menyolok di antara mereka berdua. Kulit Mbak Rina agak gelap, sementara Mbak Lidya putih bersih. Mbak Rina berambut panjang dan hitam warnanya. Sedangkan rambut Mbak Lidya hanya sebatas bahu, diwarnai kecoklatan pula.
Memang Mbak Rina biasa tampil seadanya. Sementara Mbak Lidya agak pesolek.
Tapi setelah makan malam bersama di luar hotel, Mbak Rina dan Mbak Lidya jadi kompak untuk mengutarakan sesuatu padaku, ketika kami sudah berada di dalam hotel lagi. Kami duduk di atas sofa. Aku duduk di tengah, Mbak Rina di sebelah kiriku, Mbak Lidya di sebelah kananku.
Pada saat itulah Mbak Rina tampak serius dan berkata, “Bon ... terus terang aja ada sesuatu yang ingin kami minta bantuanmu saat ini. “
“Bantuan masalah apa Mbak ?” tanyaku.
“Aku dan Mbak Rina ini masih sama - sama perawan Bon, “ Mbak Lidya yang menyahut.
“Lalu ?” aku memandang Mbak Lidya, lalu memandang Mbak Rina. Dengan benak penuh tanda tanya.
“Kita kan sesama saudara, “ kata Mbak Rina, “Jadi kita ngomong to the point aja ya Bon. “
“Iya ... iya ... “ sahutku.
Mbak Lidya memegang pergelangan tangan kananku sambil berkata, “Kami ingin merasakan seperti apa nikmatnya bersetubuh itu Bon. “
“Haaa ?! “ aku tersentak. Memandang wajah Mbak Lidya, lalu memandang wajah Mbak Rina di sebelah kiriku.
“Betul Bon, “ ucap Mbak Rina, “Kamu pasti mau memberikan apa yang kami inginkan. “
“Iya Bon, “ kata Mbak Lidya, “kami akan memasrahkan keperawanan kami kepadamu. “
“Ta ... tapi kita kan saudara Mbak, “ sahutku rikuh.
“Alaaaa ... jangan munafik lah Bon. Kami tau kok apa yang sering kamu lakukan dengan Mbak Weni dahulu. Kalau Mbak Weni sering kamu setubuhi, kenapa kami gak bisa diperlakukan secara adil ? “
“Mbak Weni ngomong begitu ?” tanyaku dengan perasaan serba salah.
“Kami sering ngintip kamu bersetubuh dengan Mbak Weni dahulu. Mbak Weni sih gak pernah ngomong apa - apa. “
Aku tertunduk dan berkata, “Sebelum bersetubuh denganku, Mbak Weni sudah gak perawan lagi. “
“Nah ... apalagi kalau begitu. Mbak Weni yang sudah gak perawan lagi, kamu setubuhi terus - terusan. Sedangkan kami ... dijamin masih perawan Bon. “
“Tapi kenapa justru aku yang harus mengambil keperawanan Mbak - Mbak ?” tanyaku dengan perasaan yang mulai terpengaruh.
Mbak Lidya yang menyahut, “Kami bukan cewek jelek kan ? Dengan gampang kami bisa mengajak cowok mana pun untuk begituan. Tapi kami pikirkan akibatnya kelak. Cowok itu pasti akan membocorkan rahasia kami kepada teman - temannya. “
“Betul, “ kata Mbak Rina, “Kalau dengan saudara, rahasia kami pasti terjamin. Kami yakin kamu takkan mau menceritakannya kepada orang lain. “
“Besok aku kan mau diwisuda, “ sahutku mengambang. Karena sebenarnya aku semakin terpengaruh oleh keinginan mereka.
“Diwisuda kan cuma duduk di antrian. Lalu naik ke atas podium setelah tiba giliranmu. Jangan bodoh Bon. Mau dikasih dua perawan malam ini kok malah seperti ogah - ogahan gitu. “
Aku terdiam. Lalu membulatkan tekadku dan berkata tegar, “Oke deh ... mau siapa dulu ? Mbak Rina dulu atau Mbak Lidya dulu ?”
“Siapa pun duluan sama aja. Jadi terserah kamu deh, “ sahut Mbak Rina sambil melepaskan gaunnya.
Mbak Lidya pun kompak. Melepaskan celana corduroy coklat tua dan baju kaus coklat mudanya. Sehingga kedua kakakku itu sudah sama - sama tinggal mengenakan celana dalam dan beha.
Beha mereka pun dilepaskan. Sehingga sepasang toket mereka yang berimbang mulai kelihatan. Sama - sama berukuran sedang. Tidak gede, tapi juga tidak kecil.
Dalam keadaan tinggal bercelana dalam begitu, perbedaan Mbak Rina dengan Mbak Lidya mulai kelihatan. Bahwa kulit Mbak Rina lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya yang putih bersih. Tapi ukuran badan mereka kelihatannya sama. Tinggi langsing dan serba proporsional ukurannya.
Namun setelah celana dalam mereka dilepaskan, tampak perbedaan yang mencolok. Kemaluan Mbak Rina ada jembutnya, tapi digunting dengan rapi, sehingga bentuk kemaluannya tetap kelihatan jelas. Sedangkan kemaluan Mbak Lidya tercukur bersih.
Entah kenapa aku tertarik untuk mendahulukan Mbak Rina yang kemaluannya berjembut dan kulitnya lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya.
Maka kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, kecuali celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku, aku pun memegang pergelangan tangan Mbak Rina sambil berkata, “Yang paling senior dulu ya. Tapi tentu harus ada foreplay dulu Mbak. “
“Terserah kamu mau pilih siapa, “ sahut Mbak Rina, “Tapi apakah kamu bisa dalam semalam mengambil keperawanan kami ?”
“Bagaimana nanti aja, “ ucapku, “Kalau tidak bisa malam ini, Mbak Lidya kan bisa besok ya ?”
“Iya, “ sahut Mbak Lidya, “Kami udah bayar hotel ini untuk empat hari kok. “
“Pada banyak duit ya. Sampai cek in di hotel bintang lima untuk selama empat hari. “
“Kami kan udah kerja. Kalau perlu sampai seminggu kami di sini, karena izinnya juga untuk seminggu. Iya kan Mbak ?” tanya Mbak Lidya kepada Mbak Rina.
“Iya. Santai aja. Kalau perlu, nginep sebulan juga gakpapa, “ sahut Mbak Rina sambil tersenyum.
“Kalau sebulan sih bisa dipecat kita Mbak. Izinnya kan cuma seminggu. “
Aku cuma tersenyum mendengar percakapan kedua kakakku itu. Sementara lenganku sudah melingkar di pinggang Mbak Rina.
Sebenarnya waktu masih kecil kami suka mandi bareng. Tapi saat itu aku tak pernah memperhatikan tubuh telanjang mereka. Lalu setelah aku di SMP, Mama melarang kami mandi bareng lagi. Dan sejak saat itulah aku tak pernah melihat mereka dalam keadaan telanjang lagi.
Dan kini, setelah kami sama - sama dewasa, baru melingkarkan lengan di pinggang Mbak Rina saja ... sudah ada getaran - getaran syur di dalam batinku.
Terlebih setelah aku meraih pergelangan tangan Mbak Rina dan sama - sama naik ke atas bed hotel yang cukup besar itu, diam - diam kontolku mulai ngaceng di balik celana dalam yang belum kutanggalkan.
Ketika aku sudah menghimpit Mbak Rina, kulihat sepasang matanya menatapku dengan sorot pasrah. “Kamu nafsu lihat aku telanjang gini ?”
“Kalau gak nafsu dari tadi juga aku sudah minggat Mbak, “ sahutku.
“Buka dong celana dalammu. Pengen liat kontolmu, udah ngaceng apa belum ?”
Aku pun menggulingkan badan ke samping Mbak Rina. Lalu kulepaskan celana dalamku, “Dari tadi juga udah ngaceng Mbak. Tuh liat ...“
“Wow ! Sekarang jadi gede dan panjang banget Bon. Waktu kita masih sering mandi bareng, kontolmu masih kecil ... !” seru Mbak Rina sambil duduk dan memegang kontolku yang memang sudah ngaceng ini.
“Dulu kan masih anak - anak Mbak. Kayak tempik Mbak aja, dulu kan gak ada jembutnya, “ sahutku sambil duduk juga sambil mengusap - usap memek Mbak Rina yang berjembut tapi pendek - pendek dan rapi itu.
“Tempikku ora ono jembute lho, “ sela Mbak Lidya sambil mengusap - usap memeknya.
“Hihihiii ... dicukur apa diwaxing tuh ?” tanyaku kepada Mbak Lidya.
“Gak diapa - apain, “ sahut Mbak Lidya sambil mendelik.
Aku cuma tersenyum. Lalu mendorong kedua toket Mbak Rina agar menelentang lagi. Aku menoleh ke arah Mbak Lidya sambil mencolek memek gundulnya “Jangan ganggu ya. Nanti setelah Mbak Rina selesai kan giliran Mbak Lidya juga, “ kataku.
“Iya ... aku cuma mau nonton aja, “ ucap Mbak Lidya sambil merebahkan diri, celentang di samping Mbak Rina. Aku menyempatkan diri menciumi memek Mbak Lidya, kemudian tengkurap di atas perut si item manis berambut panjang (Mbak Rina).
“Foreplay itu perlu, supaya memek Mbak siap untuk dipenetrasi, “ ucapku sambil mempermainkan pentil toket Mbak Rina.
“Iya ... lakukanlah apa pun yang menurutmu paling baik. “
“Tapi yang paling enak kalau Mbak nyiapin pil anti hamil. Supaya enak, aku bisa ejakulasi di dalam memek Mbak. “
“Sudah disiapin Bon. Aku dan Lidya sudah lama mempunyai rencana ini, tapi baru sekarang terlaksananya. “
Aku tersenyum. Lalu merayapkan mulutku dari pipi ke bibir Mbak Rina.
Mbak Rina pun memagut bibirku. Lalu melumatnya sambil memejamkan matanya. Ini membuatku semakin bergairah. Dan berusaha menganggap bahwa Mbak Rina itu bukan kakakku, melainkan seorang cewek yang baru kukenal dan siap untuk kuambil keperawanannya. Maka setelah melepaskan lumatan Mbak Rina, mulutku berpindah ke pentil toket kirinya. Untuk mengemutnya, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya.
Suhu badan Mbak Rina terasa menghangat. Pertanda bahwa dia sudah mulai horny.
Aku pun tak mau buang - buang waktu lagi. Aku melorot turun, sehingga wajahku berhadapan dengan memek Mbak Rina yang berjembut pendek - pendek dan rapi itu.
Bentuk memek kakakku yang item manis itu tampak jelas, karena jembutnya seolah cuma hiasan belaka. Tak ragu pula aku mendorong sepasang paha Mbak Rina agar merenggang jaraknya, lalu mengangakan mulut memeknya. Hmmm ... bagian dalam tempik kakakku yang item manis itu tampak jelas berwarna pink. Dan bagian yang berwarna pink itulah yang menjadi sasaran awal lidahku.
Kujilati bagian dalam tempik kakakku itu, dengan tekad harus membuat liang memeknya sebasah mungkin, agar mudah diterobos oleh kontolku nanti. Karena itu sambil menjilati bagian yang berwarna pink itu, aku pun berusaha untuk mengalirkan air liurku ke dalamnya.
Aku pun berusaha mencari itilnya. Dan setelah menemukan bagian seupil yang cuma sebesar kacang kedelai itu, aku pun mulai mengintensifkan jilatanku ke situ. Bahkan ketika aku sedang menjilati itilnya ini, kusertai dengan isapan - isapan kuat. Sehingga Mbak Rina mulai terkejang - kejang sambil meremas - remas kain seprai, diiringi oleh desahan dan rintihan perlahannya, “Aaaaaah .... aaaaaaa .... aaaaahhh .... Booon ... ini membuatku .... se ... serasa melayang - layang Booon .... enak sekali Booon .... aaaaah ... aaaa ... aaaaaah ... aaaa ... aaaaaaaaaah ... Booonaaa ... enak Booon ... enaaaaaak ... Booonaaaa .... aaaaa ... aaaaah ... “
Aku tahu bahwa memek Mbak Rina sudah basah kuyup oleh air liurku. Namun aku masih terus - terusan menjilati itilnya. Tujuanku adalah ingin agar Mbak Rina orgasme dalam permainan oralku. Karena kalau sudah orgasme, liang memeknya akan mengembang. Pada saat itu pula aku akan membenamkan kontolku ke dalam liang memek yang sudah “mekar” itu.
Dan ... detik - detik yang ditunggu itu pun datang. Mbak Rina menggeliat dan mengelojot. Lalu menjang tegang sekujur tubuhnya. Memeknya pun terasa bergerak - gerak sedikit. Berarti dia sudah orgasme ... !
Lalu dengan sigap kuletakkan moncong kontolku di mulut memek Mbak Rina.
Mbak Lidya pun tampak serius memperhatikan semua ini. Sehingga aku ingin iseng juga, untuk menjawil toketnya yang menggantung ke bawah, karena dia setengah tengkurap untuk memperhatikan semua ini.
Setelah merasa moncong kontolku berada di arah yang ngepas, kudorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan ... blesssss ... kontol ngacengku membenam sampai lehernya. Kudorong lagi sekuat tehnaga. Blessss ... melesak lagi sampai hampir separohnya.
“Udah masuk ya ? “ Mbak Rina menatapku dengan sorot pasrah.
“Sudah, “ sahutku, “Sakit nggak ?”
“Nggak. Cuma ada kayak disuntik ... tadi ... sekarang mah gak lagi ... “
Sambil mulai mengayun kontolku perlahan - lahan, kubisiki telinga Mbak Rina, ““Mbak sudah jadi milikku sekarang ... “
Dia menyahut terengah, “Bi .. biarin aja ... dimiliki oleh adikku sendiri ... gakpapa ... ooo ... ooooh ... Booon ... ini mulai enak lagiiiii .... “
“Sekarang kita mulai bersetubuh Mbak ... enak kan ?” ucapku sambil agak mempercepat entotanku.
“Eeee ... enak sekali Booon ... ooooh ... ini luar biasa enaknya Booon ... “
Sebagai jawaban, kupercepat entotanku sampai kecepatan normal. Memang liang memek Mbak Rina masih sangat sempit. Sehingga agar entotanku berada di dalam kecepatan standar, lumayan banyak energi yang harus kukerahkan.
Namun aku bukan hanya mengentot liang memek sempit Mbak Rina. Aku pun mulai menjilati lehernya yang sudah keringatan, sementara tangan kiriku meremas - remas toket kanannya.
Desahan dan rintihan Mbak Rina pun mulai tak terkendalikan lagi, “Boooon ... oooooohhhhh ... ini luar biasa enaknya Booon ... entot terus Booon ... entooot teruuuussss ... entoooot ... entoooottttt ... iyaaaa ... iyaaaa ... iyaaaa ... ooooh ... kontolmu enak sekali Boon ... entooottttttttttt .... entooooottttttttttt ... iyaaaaaaaa ... iyaaaaaaaa ... entoooootttttt .... entooooootttttttttt .... !”
Pada saat itu pula Mbak Lidya jadi duduk bersila, sambil memperhatikan peristiwa yang sedang terjadi antara aku dan Mbak Rina. Mbak Lidya memperhatikannya dengan serius, sambil mempermainkan pentil toketnya.
Terdorong oleh perasaan kasihan kepada kakak langsungku (tidak terhalang oleh kakak lain), aku pun menyempatkan diri menjulurkan tanganku ke arah memek Mbak Lidya ... lalu kuelus - elus memek yang bersih dari jembut itu. Aku seolah berkata, sabarlah ... nanti tiba giliran memekmu yang akan kuentot ... !
Demi Mbak Lidya yang tampak sudah gak sabaran menunggu, kuintensifkan entotanku di dalam liang memek Mbak Rina yang super sempit tapi sudah licin ini.
Mbak Rina pun semakin menggeliat - geliat sambil merintih - rintih histeris. Terlebih setelah aku menjilati ketiaknya yang harum deodorant, sambil meremas - remas toket kanannya ... semakin menggila pula rintihan dan desahan nafas Mbak Rina sibuatnya, “Aaaaa ... aaaaah ... Boooon .... ini luar biasa enaknya Booon ... aaaaaaah ... aaaaaah ... entot terus Booon ... entot teruuuussss ... makin lama makin enak Booon ... serasa sedang melayang - layang di langit .... aaaaah ... aaaa ... aaaaahhhh ... entot teruis Booon ... entot terussss ... entoooootttt ... entooooooooooooooottttttttttt ... ooooooohhhh ....enaaaak ... entoootttt ... enaaaaaak ... Booon .... “
Di tengah riuhnya raungan - raungan histeris Mbak Rina, diam - diam aku menyelidik. Ya ... aku akan berusaha bertahan, meski nanti Mbak Rina mencapai orgasmenya, aku tak mau ngecrot cepat - cepat. Karena masih ada Mbak Lidya yang belum kuapa - apain.
Maka aku pun mengentot Mbak Rina sambil mengatur nafas dan jalan pikiranku. Manakala aku mearasa terlalu enak dan bisa melesat ke arah puncak kenikmatanku, cepat kupelankan entotanku. Pelan sekali. Dan setelah pernafasanku teratur kembali, barulah aku mempercepat kembali entotanku.
Akhirnya Mbak Rina berkelojotan, dengan tubuh sudah bermandikan keringat.
Lalu ia memejamkan mata sambil menahan nafasnya, dengan tubuh mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.
Pada saat itulah kubenamkan kontolku sedalam mungkin, sampai moncongnya menyundul dan mendorong dasar liang memek Mbak Rina.
Lalu ... Mbak Rina mengelojot, dengan nafas terhembus kembali ... dengan liang memek berkedut - kedut erotis. Lalu ia terkapar dan terkulai lunglai, sementara kontolku terasa seperti berada di liang yang basah dan hangat.
Kudiamkan kontolku sejenak. Kemudian perlahan - lahan kutarik dari liang memek Mbak Rina. Kemudian menoleh ke arah Mbak Lidya yang sedang menatapku juga. Dengan sorot nafsu seorang cewek di kala horny.
Sebelum pindah ke atas perut Mbak Lidya, masih sempat kulihat genangan darah di bawah kemaluan Mbak Rina. Darah perawan kakakku yang item manis itu.
“Sama Mbak Rina udahan ?” tanya Mbak Lidya ketika aku sudah tengkurap di atas perutnya.
“Iya ... dia sudah orgasme, “ kataku sambil melirik ke arah Mbak Rina yang tampak seperti terlena tidur, “Mbak udah horny sejak tadi ya ?”
“Iya ... udah gak sabaran, pengen ngerasain enaknya dientot sama kontolmu, “sahut Mbak Lidya sambil melingkarkan lengannya di leherku. Kemudian mencium dan melumat bibirku dengan penuh kehangatan.
“Dahulu kita cuma bisa cipika - cipiki ya, “ ucap Mbak Lidya setengah berbisik, “ Sekarang bisa ciuman bibir dengan bibir. “
“Iya. Bahkan sebentar lagi bibirku dengan bibir memek Mbak juga bakal berciuman. “
“Iya Bon. AKu pengen sekali merasakan enaknya memek dijilatin. “
“Memangnya Mbak belum pernah merasakannya sama sekali ?”
“Ya belum lah. Kalau sudah dijilatin memek segala, pasti ujung - ujungnya ke ML. Makanya aku masih perawan sampai detik ini juga. Tapi kalau sama adek sendiri, aku rela menyerahkan keperawananku. “
“Gak punya niat mempertahankannya sampai kawin kelak ?”
“Alaaah .... Mbak Weni juga gak mempertahankan keperawanannya di masa masih gadis. Sekarang malah hidup senang, karena suaminya tajir walau pun usianya udah tua. “
Aku cuma tersenyum, sambil memainkan pentil toket Mbak Lidya.
Lalu berkata, “Siap - siap Mbak ... aku mau jilatin memek Mbak. Biar kontolku lebih mudah dimasukkannya ke dalam liang memek Mbak.”
“Iya. Jilatin deh sepuasmu. Pokoknya saat ini semua terserah kamu, karena kamu yang sudah pengalaman dalam soal sex, “ sahut Mbak Lidya.
Aku pun melorot turun. Sehingga wajahku langsung berhadapan dengan memek Mbak Lidya.
Kutepuk - tepuk memek yang agak tembem dan tanpa jembut sehelai pun itu. Lalu kuciumi memek itu, sekaligus ingin membuktikan apakah ada aroma yang kurang sedap atau tidak. Kalau ada aroma yang kurang sedap, akan kusuruh cebok dulu sebersih mungkin, agar nyaman menjilatinya.
Tapi ternyata aroma memek Mbak Lidya sangat natural. Tidak ada aroma yang kurang sedap dari memek plontosnya itu. Maka kurentangkan sepasang paha putih mulusnya, agar jaraknya serenggang mungkin. Kemudian dengan kedua tanganku pula kungangakan mulut memeknya selebar mungkin, sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lebar. Bahkan itilnya pun kelihatan jelas, lebih menonjol daripada itil Mbak Rina.
Lalu dengan penuh gairah ujung lidahku mulai “menari” di permukaan yang lembut, hangat, agak basah dan berwarna pink itu ... !
Mbak Lidya agak tersentak. Tapi lalu diam saja ketika aku mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahap sekali. Mulutku seolah terbenam di permukaan memek Mbak Lidya, sementara desahan - desahan erotisnya pun mulai terdengar, “Aaaa ... aaaaah ... Booon ... aaaaa ... aaaaaahhhhh ... aaaaa ... aaaaahhhh ... eeee ... enak Boooon ... aaaah .... Boooon ... enak Booon .... enak sekaliiii ... aaaaah ... jilatin terus Boooon ..... enaaaak ... aaaaa .... aaaaaaahhhh .... jilatin terus Booon ... rasanya seperti melayang - layang gini yaaaa .... aaaaaah .... “
Seperti yang kulakukan kepada Mbak Rina tadi, kali ini pun sama. Sambil menjilati bagian dalam mulut memek Mbak Lidya ini, kualirkan air liurku sebanyak mungkin ke dalamnya. Kemudian kufokuskan untuk menjilati itilnya yang tampak mengkilap sebesar kacang kedelai itu.
Semakin menggeliat - geliat pula Mbak Lidya dibuatnya. Bahkan kedua tangannya meremas - remas rambutku sambil merintih - rintih histeris,”Ini lebih enak lagi Booon ... ooooo .... oooooohhhhh .... enak sekali Booon ... enak sekaliii ... oooooohhhhh ... jilatin terus itilnya Boooon ... itilnyaaaa ... itiiiiilllll .... itiiiiillll .... oooooohhhhh ... itiiiilnyaaaa ... “
Dengan penuh semangat kujilati terus itilnya, terkadang disertai isapan - isapan kuat. Sehingga itil Mbak Lidya jadi kelihatan lebih menonjol, jadi agak “mancung”. Sementara air liurku pun semakin banyak kualirkan ke dalam celah memeknya.
Kali ini aku tak mau menunggu sampai Mbak Lidya orgasme. Karena aku pun tak kuat menahan nafsu lagi, ingin segera melakukan penetrasi.
Maka kujauhkan mulutku dari memek Mbak Lidya. Kemudian kuletakkan moncong kontolku tepat di bagian yang berwarna pink itu.
Aku masih sempat melirik ke arah Mbak Rina yang tampak masih tepar. Seperti ketiduran sambil membelakangi kami.
Lalu ... kudorong kontolku sekuat tenaga. Uuuuuggggggghhhhhh .... !
Kepala kontolku mulai masuk dengan sulitnya. Kudorong lagi, dengan mengerahkan segenap tenagaku. Berhasil ... ! Kontolku mulai membenam sampai lehernya. Kudorong lagi sekuat tenaga ... uuuughhhhh .... ! Masuk lagi sampai separohnya ... !
“Sudah masuk ya ? “ tanya Mbak Lidya dengan tatapan pasrah.
“Sudah, “ sahutku sambil merapatkan pipiku ke pipinya, “Sekarang Mbak sudah mulai jadi milikku. “
“Milikilah sepuasmu Bona Sayaaaang ... “ sahut Mbak Lidya sambil mendekap pinggangku erat - erat.
Dengan hati - hati aku mulai menggerakkan kontolku, maju mundur perlahan. Dan berusaha agar jangan sampai terlepas, karena takut sulit membenamkannya lagi.
Mbak Lidya belum orgasme. Sehingga liang memeknya terasa lebih sempit daripada memek Mbak Rina tadi.
Namun makin lama liang memek Mbak Lidya makin menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku. Sehingga aku makin lancar mengentotnya, sambil menyedot - nyedot pentil toketnya.
Sambil mengusap - usap rambutku, Mbak Lidya pun mulai merintih - rintih histeris, “Oooo ... oooo ... ooooohhhh ... Boooon ... rasanya seperti melayang - layang gini Booon ... lu ... luar biasa enaknya Booon ... kontolmu enak sekali Booon ... begini rasanya dientot yaaaaa ... oooooh ... Booonaaaa ... Booonaaaaa ... entot terus Booon ... luar biasaaaaa enaknyaaaaaa .... Booonaaaaaa ... Boooonaaaaaaa ... enaaak Booon ... entot terusssss ... entooooottttttt ... ooooohhhhhh .... “
Aku pun mulai melengkapi entotanku dengan jilatan - jilatan di leher Mbak Lidya yang sudah mulai keringatan. Sementara kontolku mulai bermaju - mundur dalam kecepatan normal.
Semakin menggila jugalah rintihan - rintihan histeris Mbak Lidya dibuatnya. “Booon ... kamu benar - benar mampu membuatku nik ... nikmaaaat ... ooooh ... Booonaaaaa ... ini luar biasa nikmatnya Booon ... entot teruuuussss ... entoooootttttttt ... “
Sementara itu kulihat Mbak Rina sudah duduk bersila di samping Mbak Lidya, sambil tersenyum - senyum padaku. Mungkin dia terbangun karena mendengar rintihan - rintihan Mbak Lidya yang terlalu keras.
Lalu Mbak Rina menepuk pantatku sambil berkata, “Kalau bisa, setelah dengan Lidya nanti entot aku lagi ya Bon. “
“Iiii ... iya Mbaaak ... “ sahutku dengan gerakan kontol yang semakin lancar mengentot liang memek Mbak Lidya. .
Permintaan Mbak Rina bahwa ia ingin kusetubuhi lagi setelah persetubuhanku dengan Mbak Lidya ini selesai, adalah permintaan yang harus kukabulkan. Dan itu berarti bahwa aku harus berusaha sekuat tenaga agar jangan ngecrot di dalam memek Mbak Lidya.
Tapi memek Mbak Lidya ini ... sangat aduhai ... terlalu enak buatku. Bahkan mungkin memek Mbak Lidya ini menempati peringkat pertama di antara perempuan - perempuan yang pernah kuentot ... ! Liang tempik Mbak Lidya ini paling enak di antara memek - memek yang pernah kuentot ... !
Ketika aku sedang gencar - gencarnya mengentot Mbak Lidya, aku tahu bahwa Mbak Lidya sudah orgasme beberapa saatg sebelumnya. Seharusnya cepat kucabut kontolku dari memek Mbak Lidya, lalu pindah ke memek Mbak Rina.
Tapi aku sudah telanjur menghayati betapa nikmatnya liang memek Mbak Lidya ini. Sehingga kontolku tetap gencar mengentot memek Mbak Lidya yang aduhai ini. Dan pura - pura tidak tahu bahwa Mbak Lidya sudah orgasme.
Justru setelagh orgasme, liang memek Mbak Lidya jadi semakin enak rasanya. Masih tetap sempit, tapi jadi licin dan hangat. Sementara Mbak Lidya pun tampak seperti kerasukan, mungkin saking enjoy merasakan nikmatnya entotan kontolku.
“Entot terussss Booon ... makin lama makin enak rasanyaaaa ... entottt yang lebih kencang Boon ... iyaaaa ... iyaaaa.... gila ... luar biasa enaknya Booon ... entooottttt ... entooooootttttttttt .... entoooooootttttt ... aaaaaaaa ... aaaaah ..... enaaaak Booon ... kontolmu memang luar biasa enaknyaaaa ... kamu memang adik kesayangan kami semuaaaa ... entooooot teruuuussssss ... “
Aku tak sekadar memainkan kontolku yang bermaju mundur terus di dalam liang memek Mbak Lidya. Bibir dan lidahku pun ikut beraksi. Terkadang mencium dan melumat bibir Mbak Lidya, terkadang menjilati lehernya yang sudah dibasahi keringat, disertai dengan gigitan - gigitan kecil.
“Sekalian cupangin leherku Booon ... ini nikmat sekali ... nikmaaat .... “ erang Mbak Lidya sambil mendekap pinggangku erat - erat.
Kuikuti saja permintaan kakakku itu. Kusedot - sedot lehernya sekuatku. Sehingga meninggalkan bekas merah kehitaman.
Takut kalau bekas cupanganku jadi masalah, karena besok Mbak Lidya akan menghadiri acara wisudaku, aku hanya berani meninggalkan bekas satu titik saja di leher Mbak Lidya. Kemudian aku mengalihkan aksi mulutku ke toket Mbak Lidya yang masih kencang padat ini. Di badan toket itulah aku mencupanginya. Sehingga meninggalkan bekas beberapa titik merah kehitaman di toket Mbak Lidya.
Namun semua ini terlalu indah bagiku dan juga bagi Mbak Lidya.
Pada suatu saat Mbak Lidya berkelojotan lagi. Kemudian mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.
Pada saat itu pula aku tak bisa menahan diri lagi. Kugencarkan entotanku secepat mungkin, kemudian kutancapkan kontolku di dalam liang memek Mbak Lidya, sampai menyundul dasar liang memek aduhai itu.
Lalu kami seperti sedang kerasukan. Saling jambak, saling remas seolah - olah ingin menghancurkan tulang di balik daging dan kulit yang kami remas ini.
Sepasang mata indah Mbak Lidya terbeliak. Nafasnya tertahan. Lalu liang memeknya terasa mengedut - ngedut kencang ... disusul dengan gerakan seperti spiral yang seolah tengah meremas kontolku yang sedang gawat juga ini.
Tak kuasa lagi aku menahannya. Moncong kontolku langsung menembak - nembakkan lendir kenikmatanku di dalam liang memek Mbak Lidya ... croooooooootttttttt ... crootttttt ..... crooooooooootttt ... crotttcrootttt ... crooooooooooooooooootttttttttttttt ..... !
Aku terkapar di atas perut Mbak Lidya. Lalu terkulai lunglai di puncak kepuasan birahi.
Mbak Lidya pun terkulai lunglai. Memejamkan sepasang mata indahnya, mungkin sedang meresapi nikmat yang baru saja dialaminya.
Meski lemas, kutarik kontolku dari liang memek Mbak Lidya. Lagi - lagi kusaksikan genangan darah yang sudah mulai mengering di bawah memek Mbak Lidya.
Dua orang perawan telah kurenggut kesuciannya. Atas kehendak mereka sendiri.
Aku pun turun dari bed menuju kamar mandi. Ternyata Mbak Rina mengikuti langkahku dan ikut masuk ke dalam kamar mandi.
“Kontolmu sudah lemas ya Bon, “ ucap Mbak Rina sambil memegang kontolku yang masih berlepotan air mani bercampur dengan lendir libido Mbak Lidya.
“Iya Mbak, “ sahutku dengan perasaan kasihan juga, karena mungkin dia pikir aku bisa langsung menyetubuhinya setelah selesai dengan Mbak Lidya barusan. Lalu kupeluk leher Mbak Rina sambil berkata, “Sabar ya Mbak. Nanti setelah ngaceng lagi, pasti Mbak yang bakal kuentot. “
“Barusan kontolmu ejakulasi di dalam memek Lidya ?”
“Iya. Gak kuat lagi menahannya. “
Mbak Rina mencium bibirku, lalu berkata setengah berbisik, “Aku juga pengen ngerasain disemprot oleh air manimu Bon. “
“Iya Mbak. “
“Bagaimana nih caranya supaya kontolmu bisa ngaceng lagi ?”
“Kalau Mbak mau, oral aja kontolku. “
“Bukan gak mau, tapi belum tau caranya. “
“Sebentar Mbak ... aku mau kencing dulu. “
“Aku pengen seperti di bokep yang pernah kutonton. Kencingin memekku nih, “ ucap Mbak Rina sambil meletakkan kedua telapak tangannya di bokong, sekaligus mengangsurkan memeknya ke dekat kontolku.
Ah, ada - ada aja kakakku yang satu ini. Tapi tanpa membantah kulakukan juga apa yang diminta olehnya itu. Kuarahkan moncong kontolku ke memek Mbak Rina. Lalu kupancarkan kencingku ke memek berbulu tipis dan pendek - pendek itu.
“Hihihiiii ... air kencingmu panas, “ kata Mbak Rina sambil menepuk - nepuk memeknya yang sudah basah oleh air kencingku, “Kita sekalian mandi aja yuk. Biar bisa saling menyabuni seperti waktu masih anak - anak dahulu. ““
“Boleh. Biar aku bisa nyabunin memek Mbak, sementara Mbak juga bisa nyabunin kontolku. “
Mbak Rina memegang kontolku yang masihlemas ini sambil berkata, “Waktu masih kecil aku sering nyabunin kontolmu ini. Tapi pada saat itu kontolmu hanya sebesar kelingking. Sekarang kontolmu jadi segede pergelangan tanganku ... hihihihiiii ... “
“Memek Mbak juga waktu itu belum ada jembutnya. Sekarang kan jadi berjembut. “
“Kamu gak suka kalau aku membiarkan jembutku meski sudah dirapikan gini ?”
“Aku sih yang berjembut suka, yang gundul juga suka. Sama aja. Punya kelebihan masing - masing, “ sahutku sambil memutar keran shower air hangat.
Air pun memancar dari shower yang berada di atas kepala kami. Memang aku pun merasa perlu mandi, karena badanku penuh dengan keringat bekas “perjuangan” belah duren dua kali tadi.
Lalu kami pun melakukan hal yang sering kami lakukan di masa kecil, yaitu saling mnyabuni. Tapi dengan bentuk fisik dan perasaan yang jauh berbeda. Ketika Mbak Rina sedang menyabuniku, ketika sedang menyabuni kontolku ia berjongkok. Lalu belajar tentang bagaimana caranya felatio (mengoral kontol). Sehingga kontolku mulai membesar ... memanjang dan menegang lagi ... ! Pada dasarnya Mbak Rina sudah mengerti apa yang harus dilakukannya pada saat melakukan felatio.
Ketika giliranku menyabuni sekujur tubuh Mbak Rina, maka setelah dibilas dengan air hangat shower, aku berjongkok di depannya, untuk menjilati memeknya yang sudah bersih dan harum sabun mandi.
“Duuuh Booon ... aku jadi horny berat nih, “ ucap Mbak Rina setelah cukup lama aku menjilati memek dan itilnya.
“Di sana aja yuk ... “ ucapku sambil menunjuk ke meja washtafel yang bisa diduduki pinggirnya. Meja washtafel yang ditutupi granit coklat itu.
Mbak Rina langsung setuju saja. Ia melangkah duluan ke meja washtafel itu. Kemudian kuatur agar ia duduk di meja washtafel itu, dengan sepasang kaki mengangkang di pinggirannya.
Lalu dengan perjuangan yang lumayan berat, akhirnya aku berhasil membenamkan kontolku, sambil berdiri menghadap kakakku yang sedang duduk mengangkang di pinggiran meja washtafel itu.
Ketika aku mulai mengentotnya, Mbak Rina memegang sepasang bahuku. Sambil berdesah - desah lagi.
Tiba - tiba terdengar suara Mbak Lidya di belakangku, “Pantesan hilang ... rupanya lagi begituan lagi di sini yaaa ?”
Mbak Rina yang menyahut, “Kalau mau joint, mandi dulu sana Lid. Biar bersih dan segar badanmu. “
“Iya Mbak ... badanku udah lengket - lengket sama keringat nih. Asyik juga dientot di dalam kamar mandi ya ? Bikin aku jadi horny lagi neh ... !”
Setelah Mbak Lidya selesai mandi, kami sepakat untuk melanjutkan semuanya ini di luar kamar mandi. Tepatnya di atas sebuah sofa putih.
Di situlah kami habis - habisan melakukannya. Melakukan persetubuhan threesome FFM, yang membuat keringat kami bercucuran kembali.
Namun kami sangat bergairah melakukannya, terutama diriku.
Ya, aku tak usah munafik, bahwa semuanya ini indah sekali. Sebagai pengalaman pertamaku berthreesome.
Nikmat sekali. Karena dengan seenaknya aku bisa mengentot Mbak Rina, lalu kupindahkan kontolku ke dalam liang memek Mbak Lidya. Benamkan lagi ke dalam liang memek Mbak Rina dan begitu seterusnya.
Lewat tengah malam barulah kami tertidur nyenyak.
Dan keesokan harinya aku bisa menghadiri wisudaku secara normal, meski badanku terasa lunglai.
Yang paling menyenangkan adalah, aku lulus dengan cumlaude. Membuat kedua kakakku ikut bangga.
Sepulangnya dari gedung yang digunakan untuk upacara wisuda itu, kutraktir kedua kakakku makan di sebuah restoran yang paling kusukai di Tugu Kidul.
Pada saat sedang makan itulah handphoneku berdering. Ketika kulihat di layar ponselku, ternyata Mbak Artini yang nelepon.
Agar leluasa, aku menerima call dari Mbak Artini itu di tempat yang sepi, agak jauh dari kedua kakakku. Lalu :
“Ya Mbak ... “
“Maaf kalau mengganggu ya. Acara wisudanya udah selesai belum ?”
“Sudah selesai Mbak. Ini lagi makan siang bersama kedua kakakku. “
“Aduh gimana ya ... jadi kurang enak nyampaikannya. “
“Ada apa Mbak ?”
“Barusan ada telepon dari Mbak Lies. Dia ingin Bona datang hari ini juga ke tempatnya. Karena dia sudah cukup lama menunggu. Jadi kalau serius, dia minta hari ini juga Bona datang ke rumahnya. “
“Diantar sama Mbak kan ?”
“Tentu aja. “
“Pakai motor aja ya Mbak. “
“Memang sebaiknya pakai motor. Kalau pakai mobil, jalannya jadi mutar jauh. “
“Oke Mbak. Selesai makan siang, aku akan secepatnya pulang. “
“Terus kedua kakakmu gimana tuh ?”
“Biarin aja. Mudah - mudahan mereka mengerti. Karena ini kan masalah pekerjaan yang menentukan masa depanku. “
“Ya syukurlah kalau gitu. Aku mau dandan dulu sambil menunggu Bona pulang. “
“Iya Mbak, silakan. “
Kemudian aku menghampiri kedua kakakku yang sudah selesai makan.
“Aku harus ke luar kota sekarang juga, “ laporku.
“Lho ada urusan apa ?” tanya Mbak Lidya.
“Urusan pekerjaan. Calon bossku minta ketemu hari ini juga. “
“Apa gak bisa besok lagi ? Kamu kan masih capek gitu Bon, “ kata Mbak Rina.
“Kalau hari ini aku tidak datang, aku bakal dicoret dari daftar pelamar. Calon bossku sudah menunggu sejak berbulan - bulan yang lalu. Dia akan menempatkanku di perusahaannya setelah diwisuda. Rupanya beliau gak sabar lagi, karena sudah lama menunggu, sejak aku belum bikin skripsi. “
“Ya udah, “ kata Mbak Rina, “Karena menyangkut masa depanmu, dahulukan aja urusan kerjamu. “
“Terus kamu mau langsung tinggal di luar kota ?” tanya Mbak Lidya.
“Belum tau Mbak. Siapa tau aku bakal ditempatkan di Jabar, bisa dekat nanti sama Mbak Rina dan Mbak Lidya. “
“Ya udah kalau gitu. Makanan ini biar aku yang bayar, “ kata Mbak Rina.
“Sudah dibayar sama aku tadi Mbak. Mmm ... Mbak Rina dan Mbak Lidya bisa pulang sendiri ke hotel kan ?”
“Bisa dong. Kita kan lahir besar di Jogja. Masa gak hafal jalan di sini ?”
Begitulah. Akhirnya aku berpisah dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya.
Aku pulang ke rumah kos dengan taksi, sementara Mbak Rina dan Mbak Lidya entah mau terus ke mana. Mungkin juga mereka pulang ke hotel, untuk beristirahat setelah kugauli habis - habisan tadi malam.
Mungkin di dunia ini tidak banyak yang merasakan hal seperti yang kualami. Mendapat kesempatan untuk menikmati 2 keperawanan dalam sehari. Terkecuali raja raja di zaman dahulu, mungkin banyak yang mengalaminya.