Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Buah Yang Sama

BrownBunny1998

Adik Semprot
Daftar
23 Oct 2017
Post
103
Like diterima
717
Lokasi
Surabaya
Bimabet
Bunga namaku, baru menikah tiga tahun di usia sembilan belas tahun. Dahulu aku seorang fotomodel, sekarang hanya Ibu rumah tangga yang mengharap momongan.

Suamiku Heru mandul. Aku membawa sample-nya ke dokter dan dokter bilang begitu. Hatiku remuk seketika mendengar hal itu. Heru suami baik, dia pekerja keras, tidak ada alasanku untuk membencinya, tidak. Karena itu pula aku tak sanggup memberitahunya tentang kebenaran. Biarlah seorang wanita menyimpan semuanya.

Semua berubah sore itu.

"Bunga, hari ini Angga akan menumpang disini, bersama kita. Dia sedang ikut test menjadi Abri."

Angga, cepak, tinggi, dan ketika menjabat tanganku jempolnya besar. Membuat dadaku berdebar. Angin hangat apa yang membuat jiwaku berdesir? Sorot matanya? Atau aroma maskulin itu?

Tiada yang berarti beberapa hari setelah kedatangan Angga. Dia rajin jogging, berolahraga, dan aku sebagai ibu rumah tangga memperlakukannya dengan baik. Memberi makan dan menyiapkan segala kebutuhannya.

Pagi itu setelah Mas Heru pergi, semua berubah. Angga sedang memakai barble di belakang rumah. Tidak seperti biasa dia telanjang dada.

Bidang dadanya, kotak-kotak perutnya. Aku yang sedang memasak gagal fokus hingga pisau mengiris secuil daging telunjuk. Seoertinya jeritku membuat Angga khawatir. Dia mendekatiku dengan wajah cemas.

"Kenapa, Mbak?"

"Gak apa." Aku langsung kabur mengambil P3K di kamar mandi. Aku tak tahu jika dia mengikuti dan masih khawatir dengan jariku.

Dia memaksa mengobati jari itu. Seketika mata kami bertemu dan semua terjadi.

"Mbak, sebenarnya Aku menyukai Mbak semenjak kali bertemu."

Aku ... aku harus apa? Dia adik suamiku, tapi--

Angga lanjut bicara, "Maaf, aku gak sengaja baca hasil test yang Mbak sembunyikan di atas lemari gudang. Mas Heru mandul dan Ibuku menginginkan cucu."

Deg. Jantungku berhenti berdetak. "Terus?"

Dia tidak menjawab, tapi perlahan jempolnya menyentuh bibirku, mengusap pelan di sana. Jemlol asin yang besar.

Aku membuang muka, tapi dia membimbing daguku untuk mendongak meratapnya.

"Aku bisa membantu Mbak punya anak."
 
"Apa maksudmu?" Aku mendorong dada bidang basah itu menjauh, tapi gagal.

Lirikan matanya tajam. Badan kurusnya kencang. Melihat ke boxer hitam, nampak belalai gajah itu mengecap dari dalam. Ukurannya melebihi punya mas Heru.

"Mbak, buah sama saja. Yang penting Mbak punya anak dan Ibuku punya cucu. Mas Heru juga pasti senang. Apa Mbak gak kasihan sama mereka yang menanti?"

Anak ini bermain kata-kata. Aku ... serius aku bingung. Dia mendekat, bibirnya mengecup punyaku. Passion yang menggelora. Aku tak membuka bibir, tapi lidahnya seperti ular yang menyusup.

Ketika lengan kekarnya melingkar ke pinggangku, saat itu pula lidahnya menyerobot masuk.

Lidahku ditaklukkan, dililit dan pada akhirnya membalas. Aku tak kuasa. Ya, demi anak. Aku melakukan ini demi anak, bukan karena nafsu.

Kami berpagut cukup lama. Tangannya mulai menyusup dari bawah kaos. Setiap sentuhan nikmat di perut membuatku mabuk kepayang.

Menyibak kaosku ke atas, dia menarik mangkuk braku ke bawah.

Buah dadaku tak besar, juga tidak kecil, seperti mangkok mie ayam terbalik. Melihat mata Angga mengamati pentil pink mencuatku, aku semakin terangsang.

Pertama lidahnya menjilat, lalu dihisap pentilku. Lidah basahnya berputar-putar di sana, membuatku mendongak sambil meremas rambut cepaknya.

Suara sruput menemani erangan kecilku. "Ah." Malu aku ketika dia tersenyum penuh kemenangan.

Jarinya tidak tinggal diam. Menyusup melalui bawah rok, dia menggeser celana dalamku. Jari tengah panjang itu menyusup ke vaginaku. Sedikit jembut di sana tertarik, menebar sensasi nikmat ketika jari itu keluar masuk ke vaginaku. Semakin cepat dia mempermainkan bagian itu, hingga aku merangkulnya.

"Angga!"

Basah. Aku klimaks dalam terengah. Angga tersenyum. Hidung kami menempel. Dia perlahan mengecupku, sambil membimbing tanganku untuk merabanya pentunganya.

"Di sana Bunga, ya, elus."

Bunga? Berani dia memanggil nama sekarang?

Tiba-tiba bel rumah berbunyi.
 
Terakhir diubah:
Siapa? Aku gugup merapikan pakaian. Angga memilih keluar duluan. Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Angga lanjut olahraga.

Ternyata tamu itu Dik Dini, tetangga sebelah. Bocah berusia delapan belas tahun, keturunan Chinese, membawa mangkuk berisi sup. "Dari Ibu, Tante."

"Oh terima kasih."

Dia celingukan ke dalam rumah, entah mau apa. Hingga tercetus dari bibirnya pertanyaan, "Mas Angganya lagi apa, Tan?"

"Tuh latihan di belakang." Biasanya pasti aku suruh masuk, tapi tidak kali ini. "Dia sedang sibuk latihan. Ada yang bisa Tante sampaikan?"

Dini mungkin sungkan. Raut wajahnya kecewa ketika menggeleng. "Yasudah Tante, nanti aja abis latihan. Permisi." Dia pergi begitu saja.

Memejam aku menghela napas berat. Maaf Din, Tante tidak bisa menyuruhmu masuk. Menutup pintu aku merasa heran. Apa yang aku inginkan dengan melarangnya masuk?

Aku melangkah ke dapur, menaruh mangkuk ke meja. Angga menghampiriku, melihat sop itu dia nampak lapar.

"Dari siapa, Mbak?"

"Tetangga."

Angga meneguk kuah sop langsung dari mangkuk, benar-benar lelaki sangar. Kuah itu menetes, mengalir ke badannya, melihat itu dadaku berdeguk kencang. Dia melihat mataku menelanjangi badanya. Sepertinya dia sengaja menuang kuah itu ke badannya.

"Ayo, Mbak juga makan." Dia mengambil daging, memasukkan ke mulutku.

Enak, aku mengunyah, sambil memejam.

Telunjuknya mengelus rongga mulutku. Entah kenapa aku mengulum jari itu. Angga puas melihatku seperti ini.

Ya, aku .... aku tak kuasa.

Dengan lihai dia menarik kaosku ke atas, lalu tali bagian depan nra di putus. Dia menggendongku, mendudukkan ke meja makan. Kami berpagutan dan dia mendorongku terlentang di sana.

Mengambil daging, dia berjongkok, menarik putus celana dalamku, lalu mengoles daging ke klitorisku.

"Angga!" Sensasinya sungguh nikmat. Aku mengulum jari telunjukku ketika lidahnya menyeruput belahan vaginaku. Aku tak kuasa, ya, ini nikmat.

Aku mengambil daging sup, memakannya. Lalu Angga menjilati perutku, semakin naik lidahnya, hingga menteror mulutku. Lidah kami berebut daging sop, lalu dia menghisap lidahku.

Aku tak pernah merasakan permainan seliar ini, tidak.

Sekarang dia berhenti menteror. Dia merubah posisi berdiri di sebelah meja makan, mengeluarkan selangnya yang berurat tegang. Melumuri dengan sisa kuah lengket, dia menyodorkan benda itu ke mulutku.

"Ayo, Mbak."

Aku mulai mengoralnya dengan mulut. Asin, kuah sop asin. Lidahku menyapu bersih bagian belalai itu, sambil meremas-remas lembut dua bola zakarnya. Pinggangnya mulai maju mundur dan tangannya bermain di clitorisku.

Ah mas Heru, tiga tahun kita menikah, aku tak pernah merasa seliar ini.

Tiba-tiba dia menjanbakku, menekan semakin masuk supaya belalainya tak keluar dari mulutku.

"Aargh Bunga!" Dia mengeram ketika lahar panas itu menerjang kerongkonganku.

Dia menarik lepas benda itu. Memperhatikan pejunya keluar dari sela bibirku, dia mengecup keningku.

"Angga, kenapa kamu keluar di situ. Harusnya ke rahimku."

"Masih banyak waktu, Mbak."

Aku tak tahu, apa waktu berpihak pada kami kelak.

Suara langkah kaki menjauh membuatku sadar, seseorang di teras tadi.
 
Terakhir diubah:
Makan malam bersama keluarga. Aku menyajikan sayur asem dan tempe goreng untuk Mas Heru dan Angga. Walau duduk berhadapan, aku tak berani memandangnya, apalagi mengingat kejadian tadi pagi.

"Bagaimana Ang, kapan testmu dimulai?" tanya Mas Heru.

"Minggu depan Mas. Doakan saja lancar, ya Mas."

"Iya, Mas doakan."

Mereka mengobrol banyak hal. Angga meladeni Mas Heru dengan sopan, tapi di balik meja makan ujung jari kakinya mengelus kakiku. Aku menghindar, nenarik kaki menjauh. Namun, kakinya malah menyenggol celana dalamku. Bagaimana mungkin dia bicara dengan Mas Heru sambil melakukan semua ini? Gila kau Angga.

Setelah makan, aku mencuci piring di wastafel dapur, sementara Mas Heru dan Angga asik di ruang tengah menonton bola. Tiba-tiba Angga menghampiri.

"Biar aku bantu."

Deg. Jantungku berdesir ketika lengannya menyentuh lenganku. Sedikit menjauh aku darinya. Dia tersenyum nakal.

"Masih ingin?" bisiknya.

Melihat cincin perbikahan, berat untuk mengangguk. Aku menggeleng. "Tadi pagi kesalahan."

"Masak? Bagaimana dengan anak yang Mbak idamkan?"

"Aku istri Masmu."

"Gak masalah. Malah lebih asik." Angga menaruh mangkok kotor di sebelahku, mangkok tetangga. "Aku tunggu di kamar." Dia pergi begitu saja. Ketika menaiki anak tangga, dia meremas selangkangan sambil memandang sinis padaku.

Seketika jantungku berdebar. Benda itu begitu terngiang. Rongga mulutku mendamba, hingga memaksa bagian bawahku basah. Tuhan, dosakah hambamu ini?

Malam aku menemani Mas Heru bercinta. Gaya missionary kesukaannya malam ini menjadi pilihan. Setiap rongga kewanitaanku terisi. Jilatannya pada pentil dadaku menambah gairah sensual yang menggebu.

Aku mengulum jariku, memejam, membayangkan kontol Angga. Perbedaanya jauh. Bagaimana rasanya benda itu mengobok ruang senggamaku? Pasti beda.

"Bunga!" Mas Heru klimaks. Aku pura-lura teriak. Ya, aku bahkan tidak bisa klimaks seperti biasa bersamanya.

Mas Heru mengecup keningku ketika burungnya mengecil. "Dik, aku sayang kamu."

"Aku juga Mas, aku mencintaimu." Kami berpagut. Namun, hatiku tak bisa bohong. Maafkan aku Mas karena menjadi istri ternoda.

Tidak, aku harus membuang jauh bayang Angga. Seminggu, ya, setelah seminggu dia akan pergi. Aku tidak boleh berkhianat pada Mas Heru. Tadi pagi hanya kesalahan.

Setelah Mas Heru tidur, aku pergi ke toilet, mengubel vaginaku karena belum tuntas. Aku tidak mendapat klimaks. Duduk di wastafel, aku mengulum jari, memejam, mengobok liangku sendiri. Angga ... badan itu, wajahnya, kontolnya yang terbayang.

"Angga .... shhh."
 
Terakhir diubah:
Mas Heru pergi ke kantor. Seperti biasa, kami melakukan ritual cipika-cipiki. Setelah mobil pergi, perasaanku bercamlur aduk,terlebih Angga duduk di kursi teras depan. Berkaos kutang dan boxer, dia membaca koran milik Mas Heru.

Tiada tegur dari bibir tebalnya. Mata tajam itu pun cuek padaku.

Melangkah masuk rumah, sesekali aku mengintip Angga. Ya, dia cuek seperti patung. Mungkin marah karena tadi malam aku tidak memenuhi panggilannya?

Bukan salahku. Aku suami Masnya, harusnya dia mencari wanita lain, kan? Di dalam kamar aku mengambil dokumen tentang kemandulan Mas Heru. Semua karena ini, semua karena benda terkutuk ini! Aku robek-robek dokumen, membuangnya ke toilet kamar. Aku terduduk di toilet, membungkuk memijat kening.

Kejadian kemarin harus aku kubur jauh-jauh. Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Beruntung Angga marah. Satu minggu, semoga dia diam selama satu Minggu. Setelah itu semua akan normal ketika dia pergi.

Aku kedapur membuatkan kopi untuk Angga. Masih belum ada tanda dia berolahraga. Ketika aku menuju teras depan, langkahku melambat melihat Dini mengobrol dengan Angga. Mereka tertawa-tawa entah membahas apa. Kehadiranku membuat keduanya diam.

Kenapa?

Menaruh gelas, aku mengumpan senyum pada Dini dan Angga. "Din, gak sekolah?"

"Gak, lagi libur Tan. Tante gak lanjut yang kemarin?"

Bukan hanya aku, tapi Angga juga kaget sampai menyemburkan kopi.
 
Aku melihat wajah Angga dirundung teror, pucat pasi. Aku lun demikian. Dengkulku nyaris tak bertenaga gegara ucapan tadi.

Dini tersenyum nakal, bangkit membimbing daguku untuk memandang langsung wajahnya. "Gak nyangka, lo binal. Bagaimana ya, jika ada yang tahu?"

Kerongkonganku mengering. "Tahu apa?" Menepis tangannya aku mencoba menyerang balik. "Tahu apa, hmm?"

"Di atas meja dapur." Mengeluarkan handphone dia menyetel rekaman itu. Rekaman ketika aku dan Angga sedang saling memuaskan.

Angga merebut handphone, dengan kekuatannya meremukkan benda itu. Namun Dini hanya mesem.

"Ganti ya Bang, yang terbaru. Santai saja, rekaman itu ada di google drive." Dia beralih padaku. "Dan untuk sundal macam kamu, bisa dong, beliin motor? Aku pingin Scoopy." Menampar lembut pipiku, dia pergi pulang ke rumahnya di sebelah.

Aku dan Angga terdiam kaku. Perlahan aku duduk di kursi hangat, meratapi nasib memandang taman bunga di depan rumah. Sekarang bagaimana?

Kalau Mas Heru tahu ... kalau tetangga tahu?

"Mbak, aku ada ide," ucap Angga.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd