Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BUDHE ANAH JANDA DESA BERTUBUH IBU KOTA. BUDI HARTAWAN (The Series 3)

Masih ada kah file cerita yg d sebutkan itu suhu?? Atau d forum ini masih ada?? Ane juga pengemar stw suhu... Kalo suhu berkenan audi kiranya berbagi file cerita nya suhu.. Dan ane tidak bermaksud posting atau repost di forum tercinta ini atau forum lain karna itu melanggar hak cipta penulis
Sudilah berbagi file nya suhu
Sudah banyak yg dicopas tanpa menyertakan ID penulis gan, ay sebenarnya kesel juga. Tapi wassuuudahlah
 
Maaf agan2, karena kesibukan kerja di RL ay jadi lama apdetnya.

TRAGEDI KELUARGA BU HESTI DAN MASALAH RINA
BUDI HARTAWAN (THE SERIES 2)


Genap sebulan sudah sejak kami (aku, Bu Siska dan Bu Hesti) pertama kali melakukan pesta seks 3some di villa milik ibu. Sejak saat itu kami ketagihan main bertiga, setiap ada kesempatan dan waktu luang kami bersamaan, pasti salah satu dari kami akan saling mengajak bertemu, entah di rumah, di ruang kerja kantor ibu atau bahkan di hotel untuk mencari suasana dan tempat baru.

Sabtu dan minggu biasanya adalah waktu luang yang sering tersedia bagi kami bertiga, ibu menerapkan 5 hari kerja di perusahaannya, Bu Hesti juga biasanya memberi kuliah setengah hari saja pada hari sabtu, otomatis satu setengah hari kami punya kesempatan berlibur. Kadang sering juga kalau ibu tak tahan ingin ngewek bertiga, ia menelpon Bu Hesti dan aku untuk datang ke kantor, lalu kami melakukannya di ruang kerja ibu yang memiliki kamar istirahat berisi tempat tidur luas dan bathtube besar di kamar mandi persis di belakang ruang kerjanya.

Kalau sudah 3some, tak pernah sebentar, minimal 2 jam kami habiskan untuk satu ronde permainan yang biasanya membuat kedua perempuan paruhbaya itu mengalami orgasme belasan kali!

Uniknya, setiap kali habis bersenggama, wajah Bu Hesti dan ibuku pasti tambah cerah dan ceria, lebih bersinar dari sebelum ngentot! Kami benar-benar jadi mahluk maniak seks yang tak jemu-jemunya saling memuaskan.



Hingga suatu ketika, setelah baru saja habis main bertiga di rumah, seingatku itu hari minggu. Siang jam 13.30, Hp Bu Hesti berdering, awalnya ia malas menjawab, bahkan menengok kearah Hp itupun tidak. Aku yang saat itu kebetulan berjalan di dekat tempat ia meletakkan hp nya melirik dan membaca layar kecil hp itu, tertulis caller ID “Susi Anakku”... Rupanya dari mbak Susi, anak pertama Bu Hesti yang tinggal di Bandung.

“Telpon dari rumah tante...” Kataku memberitahu Bu Hesti yang tengah beradu bibir dengan ibu di atas tempat tidur.

“Siapa Bud?”

“Mbak Susi, Tante”

“Ooohhh.... sini bawa Hpnya...” kata Bu Hesti sembari menjulurkan tangan kearahku, segera kuberikan Hp itu padanya.

“Hallooo Sus, ada apa? Haaaahhhhh???? Masa??? Kapan??? Kok Bisa???” Ekspresi wajah Bu Hesti berubah 180 derajat dari yang tadinya ceria jadi seperti orang tersambar petir, pucat!

“Iya iya iya.... mama ke Bandung sekarang juga, ini lagi sama Tante Siska di rumahnya... iya sayang mama sekarang kesana....” Nadanya seperti ingin menangis... Ibuku sampai melongo penasaran

“Ada apa Hes?” Tanya ibu sesaat setelah telpon ditutup.

Bu Hesti seketika menghambur memeluk dan langsung menangis histeris diatas bahu ibuku...

“Suamiku Siiiiisssss..... suamikuuuuu.... suamiku meninggal....” Katanya terisak dan terbata-bata.

Mendengar itu aku jadi ikut terkejut dan ikut memeluk tubuh kedua perempuan yang kusayangi itu.

“Sabar ya tante... ayo segera berpakaian, Budi yang nyetir, kita ke Bandung sekarang...” Ujarku berusaha menenangkan Bu Hesti.

Dosen yang biasanya ceria itu terus menangis, kali ini di pundakku. Ibu segera memasangkan semua pakaiannya, merapikan rambut Bu Hesti yang awut-awutan, lalu ia beranjak mengambil pakaian di lemari untuk dirinya.

Beberapa saat setelah itu kami sudah berada dalam kendaraan dan meluncur kearah jalan tol. Waktu tempuh paling cepat ke Bandung saat itu sekitar 6 jam. Jadi aku minta mang Darja, sopir ibu juga ikut, dan kami memakai SUV yang cukup besar agar ibu dan Bu Hesti bisa tidur beristirahat menenangkan dirinya yang tengah shock berat.



Pukul 21.30 malam kami sampai di rumah mbak Susi, anak tertua Bu Hesti yang tinggal di Bandung. Sebelum meninggal, suami Bu Hesti memang ada disana, menengok cucunya yang baru 3 hari lahir. Mbak Susi menuturkan bahwa ia tak melihat gejala mencurigakan sehingga tak menyangka sama sekali kalau bapaknya yang memang telah menderita diabetes akut itu tiba-tiba meninggal saat menonton tv di kamar.

Isak tangis kelima anak Bu Hesti masih terdengar saat aku dan ibu menengok jenazah suaminya yang sudah terbujur kaku.

Minggu yang kelabu, tak hanya bagi Bu Hesti dan keluarganya, tapi juga bagi Bu Siska yang merupakan sahabat terdekatnya itu. Akupun turut terbawa suasana sedih, aku terus berada di dekat ibuku dan memeluknya, mata ibu sembab memerah karena air matanya terus mengucur merasakan kesedihan hati sahabat terbaiknya. Lama-lama aku tak tahan, kucoba keluar rumah duka untuk menghirup udara segar dan mencoba berdamai dengan suasana duka keluarga Bu Hesti.



Malam kian larut, menjelang jam 1 dini hari, dengan pertimbangan menjaga kesehatan, aku mengajak ibu untuk pamit dari sana dan menginap di hotel terdekat.

Setelah berpamitan dan berjanji akan datang lagi pada keesokan harinya, kami meninggalkan rumah mbak Susi untuk cek in di Hotel Horison Bandung. Sampai di kamar, ibu masih tak kunjung reda sedihnya, kupeluk dia dan berusaha menenangkan.

“Permisi Bu, Budi buka pakaiannya, mau dilap dengan handuk hangat biar segar... ibu belum mandi sejak tadi pagi...” Kataku.

“Iya sayang...” Jawabnya pendek, kucium keningnya sejenak lalu beranjak ke kamar mandi. Mengambil handuk kecil dan membasahinya dengan air panas dari kran wastafel lalu kembali kearah ibu dan mulai melap tubuhnya, kuawali dari wajah, leher, bahu, punggung, lengan, dada dan terakhir kakinya. Dengan telaten dan lembut kulakukan semua itu pada orang yang telah sangat berjasa membesarkanku ini. Selesai mengelap, kubantu ibu mengenakan baju tidur yang kami bawa dari rumah sebelum berangkat. Lalu kuminta ia memejamkan mata dan beristirahat. Beberapa saat kemudian ibupun tampak tertidur. Lelah sekali rupanya, wajahnya menunjukkan ekspresi keletihan, mungkin karena ikut berduka dan bersedih dengan peristiwa hari ini. Kucium wajah ibu lalu beranjak ke kamar mandi, kuisi bathtue dengan air panas dan berendam selama 15 menit disitu. Setelahnya badanku terasa agak segar kembali. Penat dari perjalanan panjang jakarta bandung jadi agak berkurang karena kehangatan air dalam bathtube.

Akupun naik ke tempat tidur dan berbaring sambil memeluk ibu, orang yang sangat kucintai ini. Malam itu kami sama sekali tak melakukan aktivitas seks, karena tak tepat suasana tentunya. Beberapa saat kemudian akupun tertidur.



Jam menunjukkan pukul 8 pagi, kami sudah berada di rumah duka lagi. Aku tetap mendampingi ibu, tak mau jauh dari perempuan yang harus kujaga ini. Ibu berkerudung hitam hari itu, untuk menghormati keluarga Bu Hesti yang beragama Islam, akupun berkopiah.

Oh iya, aku lupa menjelaskan bahwa Bu Siska beragama Kristen sementara aku beragama Islam, namun meski aku telah diangkat anak oleh nya, tapi Bu Siska dan anak-anaknya adalah keluarga yang sangat demokratis dan menjunjung tinggi kebebasan beragama. Ia tak pernah sedetikpun memaksa atau meminta aku untuk mengganti agama, ibu paham itu sangat sensitif dan pribadi. Begitu pula terhadap anak-anaknya, aku tahu ibu pernah berpesan kepada Rani kalau kelak ia resmi menjadi istriku maka ia harus menuruti agamaku, karena bagi Bu Siska, meski ia sendiri adalah seorang Kristen, ia mengerti kalau suami adalah pemimpin atau imam dalam keluarga. Hal inilah yang membuatku sangat hormat dan kagum pada prinsip yang dianut ibu angkatku itu.

Pemakaman dilakukan tak jauh dari rumah mbak Susi, Bandung dipilih karena almarhum suami Bu Hesti memang pernah meminta agar dimakamkan dekat makam kedua orangtuanya jika kelak ia meninggal dunia. Mertua Bu Hesti orang asli Sunda. Tadinya aku tak tahu apa agama Bu Hesti, tapi hari ini baru kutahu ia beragama Islam, ikut suami rupanya...

Samar-samar ketika di pemakaman, kudengar dosenku itu berdoa menggunakan doa Islam. Demikian juga dengan kelima anaknya.

Sudah 5 hari sejak meninggalnya suami Bu Hesti, dosenku itu masih tampak menyisakan kesedihan di wajahnya. Ia mengambil cuti panjang selama seminggu untuk mengurus acara tahlil dan yasinan di rumahnya dan rumah anaknya. Karenanya seminggu pula aku tak bertemu Bu Hesti di kampus, rasanya kangen sekali, tapi mau gimana lagi, aku harus kuliah dan saat di rumah aku juga sibuk belajar. Tentu juga menjalani aktifitas rutinku bersama ibu.... apalagi kalau bukan bercinta, melakukan hubungan suami istri tiap hari, tiap malam, tiap kami ada waktu atau tiap kali ibu merasa horny dan menelponku...

Tepat seminggu kemudian, aku dan ibu mengunjungi Bu Hesti di rumahnya yang tampak sudah sepi. Kulihat hanya 2 orang pembantu yang menyambut kami di gerbang. Mereka bilang Bu Hesti masih mengurung diri di kamar, jarang makan dan masih berduka.

Aku dan ibu memang sengaja datang kesana hari itu untuk mencoba menghibur Bu Hesti, siapa tahu dengan kehadiran kami, kesedihannya bisa berkurang, demikian kata ibu semalam sebelumnya.

Aku menunggu di ruang tamu, salahsatu pembantu rumah tangga disana membuatkan minuman hangat untukku. Sambil menonton tv aku menunggu ibu yang masuk ke kamar sahabat baiknya itu. Pastilah ibu sedang berusaha mengurangi kesedihan Bu Hesti, aku tak berani ikut-ikutan masuk kamarnya dan memilih duduk di ruang tamu ini.

Sejam kemudian, saat aku mulai merasa ngantuk, tiba-tiba pintu kamar Bu Hesti terbuka, aku menoleh kearah sana, tampak ibu yang masih berpelukan dengan sahabatnya itu berjalan beriringan keluar kamar menuju teras depan. Saat lewat disampingku, ibu melirik sambil mengedipkan kedua matanya dan memberiku tanda untuk mengikutinya. Wajah Bu Hesti masih sembab, ibu mendudukkannya di sebuah korsi panjang di teras itu, akupun diberi kode oleh ibu untuk duduk mengapitnya, jadi sekarang Bu Hesti duduk di tengah, Bu Siska di kirinya, aku di sebelah kanannya. Ibu masih memeluk bagian atas tubuh sahabatnya itu, Bu Hesti menyandarkan kepalanya pada celah antara leher dan bahu ibu. Kutatap wajah cantik dosenku itu lalu kugenggam tangannya dengan lembut.

“Tante... yang sabar ya... aku dan ibu selalu mikirin tante, kami ikut sedih kalau tante terus-terusan begini...” ujarku pada Bu Hesti yang dengan lemah menatapku... Lalu kuberanikan diri mengecup pipinya dengan sangat lembut. Ibu tersenyum dan mengangguk memberi persetujuan pada kata-kataku tadi. Tangannya membelai rambut Bu Hesti.

“Sis...” panggilnya tiba-tiba, pelan sekali suara itu, terdengar serak pula, mungkin sudah seminggu ia tak pernah bicara.

“Apa sayang....” Jawab ibuku tak kalah lembutnya.

“Gue boleh nginap di rumah Lu? Buuudd.... tante boleh ikut pulang sama kalian kan?”

“Ya ampun Hesti sayangkuuuuuuu.... rumah gue ya rumah elu juga sayaaaang....” sahut ibu sambil kembali mencium rambut Bu Hesti.

“Tante.... Budi adalah orang yang akan paling bahagia kalau tante mau tinggal bersama kami di rumah... bukan sekedar nginap....” Bisikku mendekatkan wajah ke telinganya....

Berhasiiilll!!!

Bu hesti tersenyum tipis...

“Makasih Sis, elu memang sahabat sejati gue...., makasih Bud, tante terharu sama kasih sayang kalian....” lanjutnya

Aku memberinya sebuah ciuman di bibir... lalu membisikinya lagi.

“I Love You Tante....” kataku pelan dan mesra setelah mencium, Bu Hesti tersenyum lagi, kali ini menampakkan gigi-giginya yang putih dan rapi.

“I love you too sayang....” balasnya lalu juga mencium bibirku, aku mencoba sedikit melumat bibir bagian bawah Bu Hesti, dan ia tersenyum bahagia...

Hari itu kami berhasil “membawa pulang” Bu Hesti ke rumah ibuku. Malam itu juga, kami tidur bertiga di kamarku. Dan meski tak melakukan aktiffitas seksual bertiga dengan pertimbangan Bu Hesti yang masih menyisakan perasaan duka, diam-diam, setelah perempuan itu terlelap, aku dan ibu menyelinap keluar menuju kamar ibu, dan kami melakukannya disana!

Kugenjoti tubuh ibu yang sudah seminggu sejak hari duka keluarga Bu Hesti tak pernah kusentuh akibat ibu yang ikut terbawa suasana duka. Semalam itu aku sampai 3 kali klimaks menyemprotkan spermaku banyak sekali dalam vaginanya. Tak terhitung berapa kali ibu berkontraksi mencapai puncak orgasme! Yang jelas, baru jam 5 subuh kami selesai mengadu kelamin sampai puas. Kemudian dengan tergesa setelah itu kami kembali ke kamarku dan tidur dengan mengapit Bu Hesti di tengah. Agar ia tak curiga, kuminta ibu memakai lagi gaun yang ia kenakan semalam, meski ada sedikit tumpahan spermaku di ujung bagian bawah lingerie panjang itu.

Keesokan harinya kami bertiga bangun hampir bersamaan. Sama-sama bangun jam 11.30 siang! Aku dan ibu heran juga, padahal Bu Hesti semalam sudah tertidur sejak pukul 21.00, lama sekali, hampir 14 jam!

Setelah 2 hari disana dan Bu Hesti terlihat agak tenang, barulah aku menanyakan kenapa ia selalu tidur lama sekali dua malam ini. Ternyata kata Bu Dosenku itu karena selama seminggu ia tak pernah bisa memejamkan mata lebih dari 10 menit saja dalam semalam! Ah kasihan sekali guru seksku yang cantik ini, begitu berdukanya ia hingga tak bisa tidur selama seminggu!

4 Hari sudah Bu Hesti menginap bersama kami di rumah, kini aku dan ibu tak lagi canggung bermain seks disampingnya yang sedang tidur. Karena sejak hari ketiga disini ia sudah mulai bisa tertawa tiap kali aku membuat joke-joke konyol untuk mencandainya. Ibu juga selalu berusaha menghibur, tak kenal lelah. Bu Hesti minta apa saja, ibu pasti menyuruh salah satu pembantunya untuk pergi membelikan.

Hingga di hari keenam, Bu Hesti dengan polos memintaku untuk menyetubuhinya. Saat itu ibu sedang di kantor dan aku baru pulang dari kampus.

“Bud, tante pengeeennnn....,” rengeknya manja saat aku baru saja memasuki pintu gerbang samping. Tangannya menggayut lenganku dan kami berjalan beriringan memasuki rumah.

“bener tante?” kataku setengah tak percaya

“Ayoo ahh tante malu....” ujarnya sambil menggamit manja di lenganku dan mengajak ke kamar ibu.

Pukul 18.00 seingatku hari itu pertama kali kusetubuhi lagi Bu Hesti setalah ‘libur’ 10 hari lebih! Aku sangat rindu memeknya, dan iapun begitu kangen kontolku! Maka dengan antusias kulayani perempuan berlibido sangat tinggi itu sampai ia tak mampu lagi bangun dari tempat tidur! Tak hanya lendir yang keluar dari memeknya, sperma ku pun tercecer sana sini di permukaan kain sprei. Kubuat memeknya benar-benar banjir lendir akibat belasan kali orgasme yang ia raih, sampai-sampai ketika aku pada akhirnya berejakulasi, spermaku tak tertampung di memeknya dan meluber keluar seperti aliran lahar dingin yang berwarna putih kental!



Suara tepuk tangan tiba-tiba terdengar ketika kami sama-sama mengambil nafas panjang setelah pergumulan berdurasi 45 menit itu.

Bu Siska muncul dari balik pintu kamar mengagetkan kami yang baru saja melewati puncak kenikmatan.

“Wooowwwww!!!” Teriak ibu kegirangan melihat wajah sahabatnya tampak ceria dan sudah bisa menikmati aktivitas seks denganku.

“Haahhh ibu kapan datangnya?” tanyaku, aku segera bangkit dan duduk di pinggiran tempat tidur.

“Sudah sejak 30 menit yang lalu sayang.... sejak orgasme ke 6 Hesti! Hihihihiiiiii” ia cekikikan merasa menang karena tak ketahuan mengintip permainan kami.

Sementara Bu Hesti yang masih lemas cuma bisa tersenyum malu.

“Ada sisa buat ibu?” lanjut Bu Siska, dengan sedikit tergesa melepas satu persatu kancing depan pakaian kerjanya. Namun begitu akan melepas bagian lengan jas berwarna biru tua itu, aku berdiri menghentikan gerakannya.

Mataku langsung melotot seketika bagian depan jas kerja itu terbuka, menunjukkan susu besar ibu mengintip dibalik BH berukuran 40 yang nyaris tak cukup menutupi ukuran buah dadanya!! Secepat itu aku kembali terangsang menyaksikan pemandangan yang berjarak tak sampai 20 centimeter dari wajahku. Kontolku pun segera bangun dan mengeras lagi. Dengan tak sabar aku menerkam tubuh ibu yang masih belum sempat melepas satupun pakaian kerjanya.

Kupaksa ia berbaring di samping Bu Hesti yang cuma senyum-senyum menyaksikan ulahku. Kutarik BH itu ke arah atas dengan cara menggigit, seketika penyangga susu itu tersingkap dan mempertontonkan payudara Bu Siska yang sudah masuk dalam katagori berukuran brutal! Hehehe ibuku TOBRUT!!!

Setelah menyingkap rok kerja berwarna sama dengan jasnya hingga ke bawah pinggul, lanjut kuangkat dan mengangkangkan kedua kakinya. Masih menggunakan mulut, kugigit pinggiran celana dalam yang ia pakai dan menariknya kearah paha, melewati betis dan meloloskannya melalui kedua kaki seksi ibu angkatku itu. Jadi dari semua pakaian yang ibu kenakan, hanya celana dalamnya yang kulepaskan. Aku memang paling suka menyetubuhi ibu yang masih mengenakan jas kerja lengkap dengan rok tersingkap!

Segera kuserbu memeknya yang berjembut lebat dengan lidah dan mulutku. Tak puas begitu, hidungku pun kujejalkan di celah paha itu dan kupakai menyodok-nyodok lubang memek perempuan yang sebentar lagi akan mengandung bayi hasil semprotan spermaku di dalam rahimnya!

Ibu berteriak kegelian, aku tak peduli, malah semakin sadis menyedot-nyedot bibir memeknya dan menariknya mirip seperti anak kecil makan jajanan ketan yang elastis! Ibu berteriak kegirangan merasakan geli dan nikmat di selangkangan, dan akibat terlalu lama diperlakukan begitu, ia orgasme setelah kira-kira 7 menit saja aku menservice alat kelaminnya. Maka kusedot semua cairan yang keluar dari memek nikmat yang sangat tembem tempat dimana dulu 23 dan 17 tahun lalu, calon istriku Rani dan kak Rina keluar dan melihat dunia untuk pertama kalinya! Inilah memek alias tempek alias pepek alias vagina terindah dan ternikmat diantara ‘barang sejenis’ yang pernah aku entot dengan kontolku! Yah! Memek Bu Siska memang the best!

Sesudah memberinya sedikit jeda untuk mengambil nafas, kuentot ibu habis-habisan disamping Bu Hesti yang cuma bisa menonton karena sudah terlalu lelah kubantai. Ku jejalkan kontol besarku sejadi jadinya di memek ibu, kubentangkan kakinya kiri kanan dan kutusuk memeknya dari segala arah. Bu Hesti sampai berdecak heran, karena ini pertama kali ia melihat aku “ngentot” atau bahkan “memperkosa” ibu yang masih berpakaian lengkap, dengan sangat keras dan seperti barbar tak beradab!!!! Emang ada gak sih adab-adab mengentot? Hehehe

Demikian pula sebaliknya, saat ibu berada diatas tubuhku, ia menghempas sejadi jadinya sambil menempeleng wajahku dengan keras, ia berteriak kegirangan seperti orang gila dan lupa ingatan. Kamar yang sudah penuh bau mesum itu kini dipenuhi lagi oleh bebunyian tanpa arti yang bercampur teriakan nama-nama binatang seperti anjing, bangsat, pelacur, setan, lonte, gigolo, pecun, sundal. Juga kelamin dan aktivitas mengadu alat vital seperti memek, pepek, tempek, vagina, kontol, penis, ngentot, ewek dan sejenisnya!

Sangat riuh seperti dua orang mabuk yang berkelahi sambil saling sumpah serapah! Itulah seni ngentot antara aku dan Bu Siska yang kemudian hari ditiru pula oleh Bu Hesti.

Disela-sela beberapa kali orgasme yang dialami ibu, kusempatkan sejenak berpindah mencolok memek Bu Hesti dengan kontolku, ia memang masih lemas tak bertenaga dan hanya pasrah ketika kugenjot. Tapi perempuan yang baru saja lepas dari rasa duka itu tetap tersenyum menikmati. Baru setelah melihat Bu Siska bangkit lagi semangatnya, aku kembali ke memek tembem ibu. Tentu dengan gaya yang terus bergonta ganti.

Panjang juga pertarungan kami, sampai lupa menghitung sudah kocokan keberapa ribuan akhirnya aku klimaks dan menumpahkan cairan sperma di dalam memek calon mertuaku itu.

Imbang sudah pelayanan seksualku pada kedua istri gelapku ini. Puas sudah keduanya menikmati birahi dari kontol besarku. Demikian pula aku, sangat puas sudah menumpahkan sperma masing-masing 1 kali ke dalam memek mereka berdua.

Aku ambruk menggelosor dan berbaring diantara dua tubuh bahenol perempuan paruhbaya bersusu besar ini. Tanganku menjulur kebawah kiri kanan, merabai memek mereka yang terasa masih basah, memek ibu malah becek bajir! Sementara kedua perempuan yang berusia dua kali lipat umurku itu memeluk dari samping, bergiliran kukecup wajah, bibir dan susu besar mereka. Lalu serempak kami saling cium, seperti mau bertukar lidah dan ludah. Saat aku berciuman bibir dengan Bu Siska, Bu Hesti masuk menyela ditengah dengan menjulurkan lidah, aku dan ibu berebutan menyedot lidah Bu Hesti. Saat mereka mengadu bibir, aku menyela, demikian pula saat Bu Hesti memadu bibir denganku, ibu menyela ditengah. Seru sekali sampai kami bertiga benar-benar puas dan tak sanggup lagi....

Beberapa saat setelah kami cukup lama berdiam, aku membuka pembicaraan... kami bertiga masih berpelukan diatas tempat tidur.

“Bu.... gimana masalah kehamilan ibu, gimana kalau Rani tau?” tanyaku tiba-tiba ingat dengan calon istriku itu...

Ohya, menstruasi ibu sudah 3 hari molor dari biasanya, pertanda awal bahwa ia kemungkinan positif hamil. Kemarin kulihat ibu membeli alat tester kehamilan tapi aku lupa menanyakan gimana hasilnya. Karena aku sudah yakin ibu pasti hamil oleh banyaknya tumpahan spermaku dalam memeknya saat sama-sama meraih puncak kepuasan bercinta dalam sebulan ini.
 
Seingatku juga waktu bilahari di villa aku sempat mau membicarakan bagaimana cara mengkomunikasikan kehamilan ibu pada Rani, calon istriku. Ibu memang mengatakan siap mengatur segalanya. Saat itu sebenarnya aku kurang mengerti apa maksud kalimat tersebut.

“Begini sayang....,” ibu memelukku dari arah kiri, Bu Hesti juga ikut memeluk dari kanan.
“Ibu minta maaf baru kali ini bicara ke kamu tentang masalah kesehatan Rani, apakah kamu gak pernah memikirkan kalau selama kalian berhubungan badan kenapa Rani gak pernah hamil?” kata ibu dengan tenang.

“Nggak Bu... budi gak ngerti yang begitu, tapi........
ya juga sih, budi baru mikir kok bisa Rani selama ini gak hamil padahal kami berhubungan tiap hari rata-rata 6-7 kali....” kataku heran.

“Itulah Bud, sejak mengetahui kamu dan Rani sudah berhubungan sampai jauh begitu, ibu berinisiatif untuk memeriksakan kesehatan kandungan Rani ke laboratorium, dan ternyata hasilnya adalah ada kelainan sel yang menyebabkan Rani mandul.....,” kalimatnya terhenti, ibu mencium pipiku....

“Haaahhhh??? Gak bisa diobatin kah Bu?”
“Maaf sayang... ibu dan tante Hesti sudah coba ke hampir semua dokter dan ahli kesehatan kandungan di dalam maupun luar negeri, tapi hasilnya memang belum ada karena itu bawaan sejak lahir....”
“Rani tahu ini Bu?” tanyaku...
“Iya sayang, tahu.... dan Rani gak mau bicarakan ini ke kamu, dia takut kamu akan cari perempuan lain....” kata ibu masih dengan nada yang datar dan begitu tenang.
“Haaahhh??? Trus gimana dong Bu?” aku makin bingung.

“Begini, Sis... boleh gue bantu jelasin?” Bu Hesti menyela pembicaraan kami.

Bu Siska mengangguk tanda setuju.

“Rani sebenarnya minder berat karena masalah cacat kandungan ini, kamu harus maklumi, perempuan itu ditakdirkan untuk melahirkan anak, tidak ada perempuan yang mau hidup tanpa anak, dan tak bisa melahirkan. Tapi apa daya kalau faktanya memang sudah seperti yang dijelaskan ibumu tadi, yaa sebagai orang beragama sih kita cuma bisa berdoa semoga Tuhan beri kesembuhan pada calon istrimu itu. Dan kalau sudah berusaha maksimal namun tetap gagal, maka pasrahkanlah, berserahlah pada-Nya...” terang Bu Hesti panjang lebar.

Aku terdiam, perasaanku seketika berubah jadi sedih, bagaimana tidak, calon istriku mandul, aku jadi tak bisa punya anak dari istriku sendiri nantinya...

“Karena itu jugalah ibu mau kamu hamili sekarang Bud, mumpung umur ibu masih memungkinkan untuk mengandung bayimu.

“Mendengar itu aku agak tenang...hmm kupikir ibu bijak juga, demi mengganti peran anaknya yang cacat kandungan ibu rela menjadi penampung bayi yang terbentuk dari spermaku, calon menantunya. Ini artinya hubungan seksku dengan ibu bukanlah sekedar untuk kenikmatan semata, tapi ini untuk masa depan kami.

“Apa Rani sudah tahu hubungan kita Bu?”
“Belum sayang... tapi ibu janji sama kamu, segera setelah ibu positif hamil, kita bertiga akan berangkat ke London untuk sama-sama membicarakan hal ini dengannya...” Jawab ibu sambil memberi kecupan lagi di pipiku.

“Ibu yakin Rani akan mau menerima kenyataan kalau Budi ternyata punya hubungan spesial dengan ibunya sendiri?”

“Kita tak bisa memastikan jawaban itu sebelum berusaha melakukannya sayang, sabarlah, tunggu saat yang tepat waktu kamu libur nanti... kalau Rani liburnya gak bisa di semester 1, harus tahun depan, jadi kita lah yang datang ke sana...” Lanjut ibu.

“Baiklah Bu, tapi Budi berharap semoga Rani mau menerima kenyataan ini, karena Budi sudah telanjur mencintai ibu.... dan juga Bu Hesti...”

“Iya sayang, sekarang lebih baik kita jalani apa yang ada, nikmati saja, jangan berpikir yang tidak-tidak...” Kata ibu lagi.

“Benar kata ibumu Bud, kalau tante aja bisa melewati masa kritis seminggu ini, masa sih kalian yang masih sangat muda gak mampu... semangat ya sayang?” ujar Bu Hesti. Aku membalas dengan mencium kedua perempuan yang kusayangi itu. Memeluk mereka dengan lebih erat.

Entah siapa yang memulai, kami kembali berpacu dalam nafsu, awalnya saling menjilat, ibu dan Bu Hesti saling meremas susu, lalu aku ikut melumat puting payudara mereka bergiliran, sampai ibu tak tahan ingin segera disodok dari belakang. Jadilah kami ngentot lagi, lama sekali, 2 jam!!! Hingga setelahnya kami lapar sangat!!!



Catatan Budi

Kelanjutan sesi cerita ini akan kutulis dalam seri lain berjudul “Rumah Tanggaku (Rani)”, karena aku membuat cerita ini berdasarkan waktu kejadian, agar urutan waktunya jadi tepat tanpa melewatkan kejadian penting lain dalam kehidupan seksualku.

Pada bulan yang sama kisahku dengan Budhe Anah terjadi, maka pada sesi berikutnya cerita akan disambung dengan judul
“Budhe Anah, Janda Desa Bertubuh Ibu Kota”.

Selamat Melancrotken
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd