Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CERSIL] Asmara Dibalik Dendam Membara - Kho Ping Hoo

Bimabet
:adek:Terima kasih atas updatenya suhu.......
Moga-moga suhu berkesempatan untuk update berikutnya...
ditungguu suhu salam semproter.....dari nubi

:semangat::baca:
 
Bagian - 8


“Celaka! Kalau begitu, kita harus cepat turun tangan, kakang Klabangkoro sebelum terlambat! ” kata Mayangmurko ketika mendengar bahwa Niken Sasi akan diangkat menjadi ketua menggantikan Ki Sudibyo.

“Tenang dan sabarlah, adi. Kita harus mengatur rencana serapi mungkin agar siasat kita jangan sampai gagal. Kebetulan sekali bocah itu mendapat tugas mencari Keris Pusaka Tilam Upih. Bapa Guru tentu mempunyai alasan kuat mengapa dia mempercaya bocah itu untuk mencari pusaka yang diperebutkan semua orang gagah itu. Dan karena itu amat amapuh, sungguh menguntungkan sekali kita bisa mendapatkannya, maka kita pergunakan kesempatan ini untuk keuntungan kita.”

“Wah, memiliki pusaka Tilam Upih sungguh berbahaya, kakang. Pusaka itu milik kerajaan Daha dan kalau kita mendapatkannya, tentu kita akan berhadapan dengan kerajaan Daha. Berbahaya sekali! ”

“Ha-ha-ha, kalau pusaka itu sudah berada di tangan kita, mudah saja nanti mencari jalan terbaik. Kalau mungkin kita miliki, kalau tidak mungkin, kita dapat mengembalikan kepada kerajaan dan memperoleh imbalan jasa besar. Dan semua itu akan kita dapatkan tanpa susah payah. Biarlah Niken Sasi mencarikan dan mendapatkan untuk kita. Ha-ha-ha! ”

“Wah, kakang Klabangkoro. Itu siasat yang bagus sekali! Jadi kita tidak langsung turun tangan, akan tetapi menanti sampai bocah itu mendapatkan pusaka Tilam Upih?”

Untuk itu kita mesti minta bantuan gerombolan Jambuka Sakti. Karena tanpa bantuan mereka, bagaimana mungkin kita dapat membayangi perjalanan Niken Sasi? ”

“Dan bagaimana dengan Bapa Guru? ”

“Kebetulan sekali Niken Sasi akan pergi. Siapa tahu ia memiliki kepandaian tangguh dan ia tentu akan membela gurunya. Nah, kita tunggu sampai ia pergi, lalu kita paksa Bapa Guru untuk menuliskan ilmu Hasta Bajra.”

“Kalau dia menolak? ”

“Hemm, untuk melawanpun dia tidak mampu.”

“Tapi, kakang. Baru siang tadi dia berlatih Hasta Bajra dengan hebatnya di ruangan itu! ” kata Mayangmurko gentar.

“Jangan percaya! Mungkin dia dan Niken Sasi berlatih. Kalu Bapa Guru sudah menyuruh bocah itu mencari pusaka, hal itu dapat dipastiakn berarti bahwa Niken Sasi telah memiliki kepandaian yang tinggi. Bpa Guru sendiri masih lemah, apakah yang dapat dia lakukan terhadap tekanan kita? ”

“Akan tetapi pekerjaan ini berat dan berbahaya. Sebaiknya kalu kita pergi menemui Ki Brotokeling dan membicarakannya dengan dia. Tanpa bantuan Jambuka Sakti, aku khawatir kita gagal.”kata Mayangmurko.

“Baik, marilah malam ini juga kita berkunjung ke sana.” kata Ki Klabangkoro dan kedua orang itu lalu menyusup dalam kegelapan malam.

Mereka tidak perlu pergi ke lereng Gunung Bromo tempat asal Jambuka Sakti, karena pada waktu itu, ketuanya, Brotokeling sedang berada di sebuah hutan di kaki gunung Anjasmoro. Ki Brotokeling mempunyai cita-cita yang besar, yaitu dia ingin menjadi datuk atau penguasa dari Panca-Giri ( lima Gunung ). Kalau cita-citanya berhasil, dengan menundukkan gerombolan-gerombolan yang berkuasa di lima gunung itu, maka dia akan menjadi kepala dari para gerombolan di Gunung Semeru, Bromo, Kelud, Arjuna, dan Anjasmoro! Dan kini dia sedang melakukan penjajagan, maka dia turun dari Bromo dan sementara berada di kaki gunung Anjasmoro. Di sini dia mengadakan sekutu dengan Ki Klabangkoro dan Mayangmurko yang berkeinginan menguasai Gagak Seto.

Demikianlah, Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko hanya memerlukan waktu setengah malam saja untuk sampai di tempat kediaman sementara Ki Brotokeling, di kaki gunung Anjasmoro, dalam sebuah hutan lebat.

Hutan di kaki gunung Anjasmoro yang dijadikan tempat tinggal sementara gerombolan Jembuka Sakti itu kelihatan sepi saja, seolah tidak ada penghuninya. Akan tetapi sesungguhnya di jantung hutan itu terdapat bangunan-bangunan pondok darurat yang merupakan perkampungan kecil. Gerombolan itu terdiri kurang lebih seratus orang, dipimpin sendiri oleh Jambuka Sakti setelah selama beberapa tahun dia menyebar para pembantunya untuk menyelidiki keadaan lima buah gunung yang akan ditaklukannya itu.

Andaikata Ki Sudibyo masih kuat dan sehat seperti dahulu dan masih memegang sendiri kendali perkumpulannya, jangan harap bagi Jembuka Sakti untuk bermukim di hutan itu. Seluruh daerah pegunungan Anjasmoro sudah berada di bawah pengawasan dan kekuasaan perkumpualan Gagak Seto. Akan tetapi, kini yang berkuasa adalah Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko, dan mereka inilah yang memperkenankan gerombolan Jembuka Sakti tinggal di situ karena memang mereka bersekutu dengan perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat itu.

Ki Brotokeling, ketua Jembuka Sakti, menjanjikan kepada Ki Klabangkoro untuk membantu sehingga Klabangkoro dapat merebut kedudukan ketua Gagak Seto sedangkan sebaliknya Klabangkoro menyatakan dukungannya kepada Jambuka Sakti untuk menjagoi Panca-giri.

Setelah tiba di dalam hutan, kedua orang pimpinan Gagak Seto itu, tidak berani lancang melanjutkan perjalanan karena mereka tahu bahwa mereka telah tiba di wilayah tempat persembunyian perkumpulan Jambuka Sakti. Ki Klabangkoro lalu membuka mulutnya dan dari kerongkongannya terdengarlah suara parau seperti suara seekor burung gagak.

“Kraaaaakkk.........kraaaaakkkk......kraaakkk......! ”

Hening sekali mengikuti bunyi suara burung gagak itu. Bahkan kicau burungpun berhenti, seolah semua binatang merasa takut mendengar bunyi parau yang aneh itu. Akan tetapi tidak lama kemudian terdengar suara gonggongan anjing atau srigala.

“Haunggg.....haunnnnggg..........! ”

“Hemm, kita telah disambut.” kata Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko juga mengangguk. Mereka sudah mengenal pula bunyi srigala itu yang merupakan tanda rahasia para anggota Jambuka Sakti.

Tak lama kemudian dari balik semak-semak bermunculan empat orang pria tinggi besar berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan mereka berempat memegang sebatang golok yang gagangnya berbentuk kepala srigala dengan ronce merah.

Agaknya empat orang ini mengenal Ki Klabangkoro dengan baik karena begitu melihat dua orang pimpinan Gagak-seto itu, mereka berempat lalu menyimpan golok mereka di sarung golok yang tergantung di pinggang kiri.

“Kiranya sampeyan berdua yang datang berkunjung, Ki Klabangkoro! ” mereka berkata sambil tertawa.

“Benar, kawan. Kami ingin bertemu dengan Kakang Brotokeling.” Jawab Klabangkoro sambil tertawa.

“Kalian berdua memang sedang dinanti-nanti. Mari, silakan! Empat orang itu menjadi petunjuk jalan dan dua orang pimpinan Gagak Seto itu lalu mengikuti mereka dari belakang, melalui semak-semak belukar dan pohon-pohon besar.

Akhirnya tibalah mereka diperkampungan Jambuka-sakti yang berada di tengah-tengah hutan, di antara pohon-pohon raksasa. Di situ dibangun pondok-pondok darurat.

Karena ketua Jambuka-sakti memang sedang menanti-nanti kunjungan kedua orang pimpinan Gagak-seto ini, maka mereka berdua segera disambut dan dipersilakan memasuki pondok induk di mana sang ketua telah menanti mereka.

Tak lama kemudian. Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko sudah duduk bersila di atas tiakar tebal, berhadapan dengan Ki Brotokeling. ketua Jambuka Sakti ini seorang yang bertubuh jangkung kurus, berusia limapuluh delapan tahun. Biarpun tubuhnya jangkung kurus akan tetapi penampilannya penuh wibawa. Kumis dan jenggot tebal dan membuat dia kelihatan gagah dan menyeramkan. Sebagian mukanya yang kemerahan itu tertutup kumis, jenggot dan cambang sehingga yang nampak hanya hidungnya yang besar dan matanya yang tajam seperti mata burung elang.

“Bagus kalian datang! ” kata Brotokeling. “Bagaimana perkembangan di Gagak-seto? Dan bagaimana keadaan Ki Sudibyo sekarang? ” tanya ketua Jambuka-sakti itu.

“Kabar penting yang kami bawa, kakang Brotokeling. Kami telah melaksanakan semua pesan andika. Perkumpulan Gagak-seto praktis sudah berada di tangan kami. Seluruh anak buah juga sudah tunduk kepada kami. Mereka semua telah ikut makan hasil sepak-terjang dan ikut terlibat sehingga mau tidak mau mereka semua akan setia kepada kami.”

“Bagus! Dan Ki Sudibyo tidak mengetahui semua itu? ” tanya Brotokeling, “Apakah dia sudah tidak lagi merasa penasaran dengan penyerangan yang dilakukan anak buah kami sepuluh tahun yang lalu ? ”

“Ah, urusan itu sudah dia lupakan Brotokeling. Kami sudah melaporkan kepadanya bahwa andika tidak tahu-menahu dengan serangan itu, bahwa penyerangan itu mungkin dilakukan oleh anak buah Jambuka-sakti yang sudah keluar dari perkumpulan dan bertindak liar. Diapun menghabiskan saja urusan sampai di situ. Dan selama ini, dia hanya mengurung diri dalam sanggar pamujan.”

“Ha-ha-ha, tidak kusangka Ki Sudibyo mempunyai hati selemah itu. Kalau dia demikian cinta kepada isterinya, kenapa dia mengutus engkau untuk membunuhnya bersama pacar isterinya itu?”

“Kami juga merasa heran sekali kakang. Dia sendiri yang menyuruh membunuh isterinya yang menyeleweng, sekarang dia membenamkan dirinya dalam duka. Akan tetapi hal itu malah kebetulan karena melemahkan semangatnya.”

“Kalau begitu, kenapa kalian belum turun tangan? Sebaiknya menguasai Gagak-seto secara sah, dengan membunuh Ki Sudibyo dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua. Kalau terjadi keributan kami akan membantu kalian menumpas semua penghalang.”

“Itulah kesulitannya, kakang Brotokeling. Selama sepuluh tahun ini, Bapa Guru hanya sibuk dengan muridnya yang baru, yaitu Niken Sasi. Dan baru kemarin kami mendapat kenyataan yang amat mengejutkan. Di dalam ruangan tertutup yang hanya ditempati Ki Sudibyo dan Niken Sasi, Bapa Guru telah berlatih aji Hasta-bajra dengan hebat sekali! ”

“Ahh! Dan kaukatakan dia telah menjadi lemah, baik badan maupun semangatnya? ” teriak Brotokeling penasaran.

“Memang sesungguhnya demikian, kakang. Bapa Guru makin hari makin lemah dan setiap hari dia minum jamu. Akan tetapi di ruangan tertutup itu ada yang latihan ilmu pukulan ampuh itu sampai terdengar suara gaduh dan dinding-dinding tergetar.”

“Hemm, benarkah itu, adi Mayangmurko? ”

“Benar, kakang Brotokeling. Aku juga mendengarnya sendiri dan menurut keterangan Niken Sasi, yang menimbulkan suara gaduh itu adalah Bapa Guru yang berlatih Hasta Bajra.”

“Eh, Ladahlah! Jangan-jangan murid barunya, gadis bernama Niken Sasi itu yang berlatih Hasta Bajra ! ” kata Brotokeling dengan alis berkerut.

Klabangkoro dan Mayangmurko tertawa. “Ha-ha-ha, harap jangan khawatir, kakang Brotokeling. Tadinya kami juga mempunyai dugaan seperti itu. Akan tetapi mana mungkin bocah perempuan berusia delapanbelas tahun itu dapat menguasai Hasta Bajra yang membutuhkan tenaga sakti yang besar? ” kata Klabangkoro.

“Pula, andaikata benar demikian, kami sudah merencanakan siasat untuk menaklukannya. Akan tetapi semua rencana kami membutuhkan bantuan kakang Brotokeling.” kata Mayangmurko.

“Tentu saja, kami akan membantu. Bukankah selama ini kita sudah saling membantu? Nah, sekarang ceritakan, apa rencana siasat kalian itu agar aku dapat melaporkannya kepada Kanjeng Gusti! ”

Ki Klabangkoro mengamati wajah tuan rumah dengan penuh selidik.

“Kakang Brotokeling, sebelum kami menceritakan rencana kami, lebih dahulu kami mohon sukalah kiranya andika memberitahukan kepada kami, siapa sesungguhnya Kanjeng Gusti itu. Kami sepantasnya mengetahui untuk siapa kami bekerja dan menghambakan diri.”

“Benar sekali, kakang Brotokeling kami harus tahu kepada siapa kami mengabdi.” sambung Mayangmurko.

Ki Brotokeling membelalakkan matanya dengan marah. “Andika berdua sungguh lancang mulut! Apakah kalian sudah tidak sayang lagi kepada nyawa kalian? Merupakan pantangan besar untuk mencoba mengetahui siapa Kanjeng Gusti. Aku sendiripun belum pernah melihat wajahnya yang sesungguhnya. Sudah kukatakan dahulu bahwa kalau dikehendaki Kanjeng Gusti, beliau akan memperkenalkan diri sendiri kepada kita. Sekarang yang penting, kita tahu bahwa kita menghambakan diri kepada Kanjeng Gusti, menerima upah yang besar, bahkan kelak akan diberi kedudukan tinggi. Akan tetapi siapa mengkhianatinya, biarlah akan lari ke neraka sekalipun tentu akan dapat ditangkap dan dihukum. Cukup kukatakan bahwa kekuasaan Kanjeng Gusti tidak terbatas. Jangan ulangi lagi pertanyaan ****** itu.”

Kalbangkoro dan Mayangmurko beruabh agak pucat wajah mereka mendengar ini.

“Maafkan kami. Sebetulnya kami bertanya bukan karena curiga ataun tidak percaya, melainkan agar yakin dan menambah besarnya kesetiaan kami. Akan tetapi kalau itu merupakan pantangan besar, biarlah kami mencabut kembali pertanyaan itu. Sekali lagi harap maafkan kami, kakang Brotokeling.”

“Sudahlah, adi Klabangkoro, jangan singgung lagi persoalan itu. Sekarang lebih baik ceritakan segala yang terjadi dan apa yang kalian rencanakan”.

Klabangkoro dan Mayangmurko lalu menceritakan semua yang mereka ketahui tentang Ki Sudibyo dan Niken Sasi. Betapa gadis itu diberi tugas oleh Ki Sudibyo untuk mencari pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya. Kemudian menceritakan pula betapa Niken Sasi akan diangkat menjadi ketua Gagak Seto menggantikan Ki Sudibyo.

“Walah-walah........! Itu gawat sekali! ” kata Ki Brotokeling sambil mengepal tinju. “Soal mencari pusaka Tolam Upih, kami sudah mendengar karena Kanjeng Gusti juga memberi perintah kepada kami untuk membantu dan memperebutkannya. Akan tetapi, kalau gadis itu hendak diangkat menjadi ketua Gagak Seto, hal ini berbahaya sekali. Kalian tentu akan kehilangan kekuasaan atas anak buah Gagak Seto. Lalu apa rencana kalian untuk menghadapi semua itu? Memang mencurigakan sekali. Kalu gadis itu hendak dijadikan ketua, bukan mustahil ia sudah menguasai Hasta-bajra.”

Harap jangan khawatir, kakang Brotokeling. “Kami sudah mengatur rencana siasat begitu. Kalau gadis itu sudah menguasai Hasta Bajra, kami akan berusaha agar ia dapat menjadi jodoh puteraku sehingga aji itu akan dengan mudah kita kuasai kalau ia sudah menjadi mantuku. Kami akan menggunakan siasat agar puteraku berjasa dan ia berhutang budi kepada Gajahpuro, anakku. Andaikata siasat ini gagal, kami masih dapat menggunakan saisat lain, yaitu menodainya agar ia terpaksa mau menjadi isteri Gajahpuro untuk mencuci aib. Langkah kami yang kedua, kami akan membayangi Niken Sasi membiarkan ia mendapatkan Tilam Upih. Baru setelah itu kami merampas dari tangannya, Akan tetapi untuk menjamin keberhasilan rencana ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan kakang Brotokeling, karena untuk membayangi gadis itu, apalagi kalau benar-benar ia menguasai aji Hasta Bajra, tidaklah mudah dan membutuhkan anak buah yang kuat.”

“Hemm, jangan khawatir. Untuk mengatasi gadis itu, serahkan kepada kami. Akan tetapi, bagimana rencana kalian terhadap Ki Sudibyo? Kenapa sampai sekarang dia dibiarkan hidup dan belum juga kalian usahakan agar aji itu jatuh ke tangan kalian?

“Untuk menghadapi Ki Sudibyo kamipun sudah mempunyai rencana siasat yang matang, kakang. Kalau benar seperti yang kami lihat dan duga bahwa Ki Sudibyo itu sudah menjadi seorang kakek yang lemah, tentu saja hal itu amat mudah. Kami akan memaksanya untuk mengajarkan Hasta Bajra kepada kami dengan membuatkan kitabnya.”

“Hemm, aku sudah lama mengenal Ki Sudibyo dan dia adalah seorang laki-laki yang berhati sekeras baja. Bagaimana mungkin kalian akan dapat memaksanya? Orang macam dia tidak takut mati, dan kalau tidak mau menyerahkan, biar dia sudah menjadi lemah dan kalian ancam, akan sukarlah untuk dapat memaksanya manyerah.”

“Untuk itupun kami sudah merencanakan siasat yang pasti akan berhasil.” Kata Klabangkoro gembira. “Pendeknya, serahkan urusan meminta Ki Sudibyo membuatkan kitab pelajaran aji Hasta Braja itu kepada kami. Adapun mengenai pekerjaan membayangi Niken Sasi, kemudian kelak menguasainya kalau kami gagal dengan pengerahan tenaga, kami harap kakang Brotokeling membantu kami.”

“Baik, sekarang membagi tugas. Ingat, kalau aji Hasta Braja sudah berhasil dibuatkan kitabnya, kalian harus memberi kesempatan kepadaku untuk mempelajarinya.”

“Wah, kakang Brotokeling sudah sakti mandraguna, untuk apa lagi mempelajari Hasta Bajra? ” Klabangkoro mencela.

Ki Brotokeling mengelus jenggotnya. “Pernah aku mengadu ilmu dengan Ki Sudibyo. Kami setanding dan aku pasti tidak akan kalah olehnya kalau saja dia tidak mempergunakan Hasta-bajra. Karena itu, setelah kalian berhasil memperoleh kitab pelajaran aji itu, aku harus ikut mempelajarinya. Dan kalian tidak boleh menolaknya, atau mungkin andika berdua tidak suka bekerja di bawah kekuasaan Kanjeng Gusti. Dan tidak suka bekerja sama itu berarti menetang! ”

Demikianlah, setelah berbincang-bincang dan mengatur siasat, dua orang pimpinan Gagak Seto itu meninggalkan hutan dan kembali ke lereng Anjasmoro.

Perbuatan jahat yang bagaimanapun juga tidak akan terasa jahat bagi pelakunya. Seperti yang dilakukan oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga Brotokeling itu, yang mengadakan persekutuan untuk mencelakakan Ki Sudibyo. Bagi mereka, perbuatan mereka itu sama sekali tidak jahat! Demikian pula bagi semua manusia di dunia ini.

Mereka semua menganggap bahwa apapun yang mereka lakukan itu adalah benar dan tidak jahat. Mengapa demikian? Karena semua perbuatan itu mereka lakukan dengan pamrih demi kebaikan dan kesenangan diri pribadi! Dan melakukan perbuatan untuk menyenangkan diri ini mereka anggap tidak jahat! Mereka anggap sebagai “ perbaikan nasib”! Nafsu daya rendah yang sudah bergelimang dalam hati akal pikiran siap untuk menjadi pokral membela semua perbuatan kita. Ada saja alasan yang mereka kemukakan untuk menutupi kesalahan perbuatan kita, atau setidaknya untuk mengurangai kadar kejahatanya. Seorang maliang dibela hati pikirannya sendiri
bahwa dia melakukan pencurian demi membela perut keluarga, demi membiayai hidup mereka, dan sebagainya.

Seorang pembunuh dibela hati akal pikirannya bahwa dia membunuh karena yang dibunuh itu jahat sekali sehingga pembunuhan yang dilakukannya itu malah baik! Seorang koruptor dibela hati pikirannya sendiri bahwa korupsi yang dilakukan itu adalah hal yang wajar dan umum, bahwa semua karyawan juga melakukannya, demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, membayar uang sekolah anak-anak mereka yang mahal dan sebagainya. Pendeknya, semua perbuatan akan dibela oleh hati pikirannya sendiri, karena hati akal pikan itu, seperti juga perbuatan, telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah yang merebut tahta kerajaan dalam diri dan
menyebut diri sendiri sebagai aku yang penting! Nafsu daya rendah sedemikian kuatnya mencengkeram diri lahir batin, dan nafsu itu amatlah julingnya, amat pandai dan bersalin rupa. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain yang akan mampu mengalahkannya dan menaklukannya kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa! Hanya dengan menyerah kepada kekuasan tuhan sajalah yang akan dapat membersihkan batin sedikit demi sedikit dari cengkeraman nafsu daya rendah..


Bersambung.........
 
Wuihhh tiap chapternya ada siratan makna" kehidupan..:jempol:

makin kesini makin addict baca nie cerita..matur tengkyu ganRang dah sudi berbagi cerita yg :mantap: surantap :jempol:
 
Ada review profil Suhu Kho Ping Hoo ane share gan di Thread "Review/Resensi Buku" sekalian daftar cerita karya Suhu Kho Ping Hoo
:beer:
 
Ayo d tmbh lg ganRang karya" Ko ping ho nya. Tapi yg silat jawanya ya. Cos ane seneng baca ceritanya, smbil ngebyangin lokasi2 yg d gambarkan d cerita. Semangat brada.. :beer:
 
Bagian - 9




Lautan Kidul merupakan samudera yang teramat luas. Dari pantai Jawa dwipa (Pulau Jawa) orang dapat menyaksikan dan mengagumi kebesaran samudar itu yang tidak nampak batasnya ke arah selatan. Dari pantai itu, kalau orang memandang keselatan, dia seolah akan merasa bahwa selebihnya ke arah selatan, dunia itu nampak air belaka.Air laut yang membiru dengan gelombang yang dahsyat memecah di pantai.

Gunungkarang yang merupakan tanggul di pantai selatan itu dengan kokohnya menyambut hantaman ombak dahsyat, mengeluarkan suara menggelegar seperti halilintar mengamuk, disusul suara ngese seperti air mendidih. Setiap orang yang berdiri seorang diri di pantai, menyaksikan kebesaran dan kekuasaan alam ini, orang itu akan merasa betapa dirinya kecil tak berarti, sama kecilnya dengan butir-butir pasir di pantai. Dia akan merasa betapa dirinya itu kecil tanpa arti, bahwa dunia tidak akan berubah dan tidak akan kehilangan andaikata saat itu dia melempar diri di antara gelombang dan ditelan air. Dunia akan tetap bekerja seperti biasa, dan diapun akan lenyap dilupakan orang! Alangkah bedanya perasaan seseorang setelah berada seorang diri di antara kebesaran alam dengan ketika dia berada di antara orang-orang lain. Dia akan merasa dirinya besar, penting, dan harus diperhatikan orang lain. Dia akan merasa dirinya paling besar dan paling berarti.

Wanita itu duduk di atas batu karang di tepi pantai yang sunyi itu. Pantai itu tidak pernah dikunjungi orang karena memang sukar didatangi, penuh dengan batu karang yang runcing tajam, dan gelombang lautan kadang menutupi semua batu karang dengan dasyatnya. Akan tetapi wanita itu sudah mengenal tanda-tanda gerakan gelombang dan tahu benar bahwa saat matahari mengurangi cahayanya dan condong ke barat, gelombang lautan tidak akan mencapai batu karang yang didudukinya.

Ia duduk melamun, tidak bergerak seperti sebuah arca. Arca yang indah sekali. Tubuhnya yang hanya mengenakan kain yang menutupi dari dada ke bawah, ramping padat, tubuh seorang wanita yang sudah matang sepenuhnya. Kulit pundak, leher dan lengannya sebetulnya putih kuning mulus, akan tetapi agaknya terik matahari membakar kulit itu sehingga menjadi agak coklat kemerahan. Rambutnya hitam panjang ngandan-andan dibiarkan terurai tidak digelung atau diikat karena rambut itu masih basah setelah mandi keramas tadi. Rambut itu menutupi punggung dan sebagian lagi terurai di depan menutupi bukit dadanya yang nampak di balik kainnya.

Ia tidak mengenakan perhiasan apapun, akan tetapi kesederhanaan ini tidak mengurangi kejelitaannya, bahkan tidak mengurangi keanggungannya. Ia cantik dan anggun dan orang akan mudah menyangka ia penjelmaan Sang Ratu Kidul sendiri!

Helaan napas halus keluar dari sepasang cuping hidung yang tipis itu, dan sepasang mata bintang itu menjadi redup seperti tertutup mendung. Kalau sudah begini, nampaklah bahwa ia bukan lagi wanita remaja, melainkan sudah dewasa sekali. Biarpun demikian, karena ia cantik jelita, maka ia nampak jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh enam tahun, akan tetapi ia kelihatan seperti baru tigapuluh tahun saja.

Tiba-tiba ia mengepal tinju kanannya mengacungkannya ke arah gelombang lautan yang mengganas, seolah ia melihat ada orang yang berada di atas gelombang itu.

“Pangeran Panjiluwih tunggu saja andika akan menerima pembalasanku! ”

Wanita itu adalah Dewi, atau dahulu, delapan tahun yang lalu ia masih bernama Dewi Muntari. Bukan seorang wanita biasa saja, melainkan seorang puteri istana. Puteri Sang Maha Prabu Jayabaya. Hidup berbahagia bersama suaminya yang tercinta, Raden Mas Rangsang, dan puterinya yang tunggal, Niken Sasi. Akan tetapi, ketika ia sedang melakukan wisata bersama suami dan puterinya di lereng gunung Anjasmoro, keluarga ini diserang gerombolan penjahat.

Pasuakn pengawal mereka melarikan diri, Raden Mas Rangsang tewas. Ia berhasil menyuruh puterinya melarikan diri, sedangkan ia sendiri ditawan oleh kepala gerombolan. Gerombolan itu bertemu dengan Ki Kolokrendo si tengkorak hidup yang mirip Danyang Durno, yang bahkan lebih keji dan mengerikan dibandingkan para anak buah gerombolan itu.

Akhirnya, Ki Kolokrendo yang berniat jahat terhadap dirinya, tewas oleh Ni Durgogini yang sakti mandraguna dan iapun diambil murid oleh nenek tua-renta yang gendut itu. Oleh Ni Durgogini yang menjadi gurunya, ia diajak pergi ke pantai Lautan Kidul, di sebuah bukit kapur yang menjadi tempat tinggal nenek itu. Ternyata Ni Durgogini amat segan dan hormat kepada Sang Prabu Jayabaya, oleh karena itu ketika mendengar bahwa Dewi adalah puteri raja besar itu, ia bersikap baik sekali, bahkan menurunkan semua aji kesaktiannya kepada murid ini.

Didorong dendam sakit hati, Dewi mendapatkan semangat yang bernyala-nyala dan ia belajar dengan tekun sekali tanpa mengenal lelah. Dan ternyata sebagai keturunan Sang Prabu Jayabaya darah satria mengalir di dalam tubuhnya dan bakatnya unggul sekali. Hal ini membuat Ni Durgogini menjadi semakin gembira mengajarkan ilmu-ilmunya.

Tak terasa waktu berjalan dengan amat cepatnya. Delapan tahun telah lewat sejak Dewi mempelajari ajijaya-kawijayan di bawah bimbingan Ni Durgogini. Dan selama waktu delapan tahun itu, Dewi telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Kalau sedang mencurahkan perhatiannya terhadap satu hal, wanita lebih tekun dari pada pria. Dewi mempelajari kanuragan dengan luar biasa tekunnya karena untuk itu ia mempunyai satu cita-cita, yaitu membalas atas kematian suaminya dan lenyapnya puterinya. Memang, gerombolan yang melakukan kejahatan itu terhadap keluarganya sudah tertumpas dan mati semua. Akan tetapi dalangnya, yang mengatur semua itu, masih belum terbalas. Dan dalangnya adalah Pangeran Panjiluwih, seperti pengakuan Ki Blendu yang memimpin gerombolan itu.

Pada sore hari itu, ketika Dewi duduk di atas batu karang mengamati gelombang dahsyat yang bergulung-gulung, ingin rasanya ia menumpahkan dendamnya kepada ombak samudera itu. Ia melihat seolah ombak yang bergulung-gulung itu merupakan musuh yang mengancamnya. Ia merasa sudah kuat sekarang untuk menghadapi musuh yang manapun. Baru tadi pagi Ni Durgogini menyatakan kepadanya bahwa kini semua ilmu yang dikuasai nenek sakti itu telah diajarkan semuanya kepadanya.

Bukan hanya ilmu bela diri silat tangan kosong maupun menggunakan senjata keris telah dipelajarinya dengan tuntas, bahkan juga aji-aji kesaktian telah dikuasainya. Di antaranya yang paling dasyat adalah Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuhnya menjadi kebal, tak dapat terluka oleh senjata lawan. Kemudian Aji Jaladi Geni [Ilmu Lautan Api] yang mendatangkan hawa panas seperti api keluar dari kedua telapak tanganya sehingga jarang ada lawan yang mampu bertahan menghadapi aji kesaktian ini. Masih ada lagi aji Jerit Sardulo Krodo [Teriakan Harimau Marah] yang dapat melumpuhkan lawannya seolah-olah lawan itu menghadapi seekor harimau yang sedang mengaum-aum!

Setelah udara di barat terbakar cahaya kemerahan, Dewi lalu bangkit berdiri di atas karang, memandang lepas ke laut yang tak terbatas itu, lalu berloncatan dari batu ke batu yang tajam itu. Biarpun telapak kakinya kelihatan putih mulus kemerahan dan halus, namun ternyata telapak kaki itu menginjak batu karang yang runcing tajam itu tanpa mengalami luka atau nyeri sedikitpun. Sungguh, kalau ada yang melihatnya di saat itu, tentu tidak akan ada yang percaya bahwa ia adalah seorang manusia biasa. Cantik jelita, dengan rambut panjang terurai berloncatan seperti itu! Agaknya hanya peri penjaga lautan yang mampu berlompatan seperti itu.

Sementara itu, sekitar dua kilometer dari situ, Ni Durgogini sedang duduk di depan guanya yang berada di antara batu-batu karang. Sebuah gua di dinding karang yang tersembunyi di tempat yang sunyi itu. Tiba-tiba telinga nenek tua renta yang masih berpendengaran tajam itu menangkap suara orang bercakap-cakap dan juga langkah kaki mereka menuju ke tempat itu. Ia merasa heran sekali dan juga marah. Siapa orang-orang yang berani lancang mendatangi tempat tinggalnya yang keramat itu?

Karena merasa penasaran, Ni Durgogini lalu menyambar sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular kering, dan iapun berloncatan dari tempat duduknya tadi ke atas batu-batu karang menuju ke arah datangnya suara orang-orang itu.

“Hi-hi-hi-hik! ”

Suara tawa yang nyaring dan bergema aneh ini mengejutkan enam orang pria yang sedang melangkah perlahan-lahan di antara batu-batu karang sambil bercakap-cakap.

Mereka adalah enam orang pria yang nampaknya gagah perkasa, berusia antara tigapuluh sampai limapuluh tahun dan dari bentuk pakaian dan terutama kain kepala dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang dari daerah timur. Mendengar suara tawa yang mengerikan itu, enam orang tadi sudah berloncatan dengan sigapnya, lalu memperhatikan ke arah datangnya suara tawa yang seperti tawa kuntilanak itu. Dan ketika mereka melihat Ni Durgogini mereka segera berhenti melangkah dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, seorang di antara mereka berseru,

“Ia adalah Ni Durgogini! ”

Enam orang itu nampak terkejut. Akan tetapi pemimpin mereka, seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, tidak nampak gentar ketika dia maju menghampiri Ni Durgogini, diikuti oleh lima orang kawannya. Laki-laki yang berkumis sekepal sebelah itu memandang dengan sinar mata penuh selidik.

“Hi-hi-hi-hik! Kalian pasti orang-orang dari Blambangan! Mau apa datang melanggar wilayah tempat tinggalku ini? Apakah kalian berenam sudah bosan hidup dan arwah kalian ingin menjadi abdi Gunung Kidul? Hi-hi-hi-hik! ”

Laki-laki berkumis tebal itu tanpa rasa takut menghadapi Ni Durgogini, bertolak pinggang lalu berkata dengan sikap angkuh.

“Ni Durgogini, orang-orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku, datuk dari Teluk Banyubiru, sama sekali tidak gentar menghadapimu.Aku adalah Menak Koncar, bersama teman-teman mengemban perintah Gusti Adipati Blambangan untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Nah, kalau engkau mengetahui di mana adanya keris pusaka itu, katakan kepada kami, Ni Durgogini dan kami akan memberi imbalan berharga kepadamu. Akan tetapi jangan sekali-kali mengaku membohongiku karena tidak ada orang yang berani berbohong kepadaku tetap hidup! ”

“Hi-hi-hi-hik! Menak Koncar, andika anjing-anjing Blambangan berani bersuara besar di sini? Biarpun aku sudah tua, akan tetapi belum terlalu berat bagiku untuk membasmi kalian berenam! Andaikata aku mengetahui tentang Tilam Upih pun tidak akan kuberitahukan kepada kalian. Nah, kalian mau apa? ”

“Kakang Menak Koncar, nenek tua renta ini mencurigakan sekali. Ia tinggal di pantai Laut Kidul, dan orang macam ia inilah yang sepantasnya mengetahui di mana adanya keris pusaka Tilam Upih! Kita tangkap dan siksa ia agar mengaku di mana adanya keris pusaka itu! ” kata seorang di antara mereka yang bertubuh seperti raksasa kepada Menak Koncar, pemimpin mereka.

Menak Koncar memang sudah mencurigai nenek yang mengerikan itu, maka mendengar ucapan pembantunya, dia lalu menudingkan telunjuknya kepada Ni Durgogini sambil membentak memberi aba-aba kepada anak buahnya.

“Tangkap nenek ini! ”

Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan melengking nyaring dan terbawa angin dari samudera, terdengar seperti auman seekor harimau yang marah! Enam orang Blambangan itu terkejut dan menoleh ke arah lautan dari mana terdengar auman mengerikan itu. Dan mereka semua terbelalak melihat sosok tubuh wanita yang ramping itu, dengan rambut panjang hitam terurai, berlompatan dari batu ke batu seperti seekor kera saja. Semua orang tertegun mengikuti gerakan wanita itu sehingga mereka sejenak melupakan Ni Durgogini.

Perjalanan dari tepi lautan mendaki ke tebing di mana terdapat goa tempat tinggal Ni Durgogini itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Selain tebing itu terjal sekali, juga mendaki ke situ harus melallui batu-batu karang yang kasar, runcing tajam. Akan tetapi tubuh wanita itu dengan cepatnya berloncatan dan sebentar saja ia sudah tiba di depan enam orang laki-laki yang kini menjadi semakin terpesona. Kalau tadi mereka kagum melihat seorang wanita dapat bergerak selincah itu, kini mereka terpesona melihat wanita itu ternyata cantik jelita bukan main, kecantikan alami yang membuat mereka merasa dalam mimpi bertemu seorang dewi kahyangan!

Bahkan orang yang delapan tahun yang lalu sudah mengenal baik Dewi Muntari pun kalau sekarang berhadapan dengan dewi, tentu akan pangling dan tidak menduga sama sekali bahwa wanita berurai rambut ini adalah puteri Raja Daha. Dewi kini tidak pernah merias diri, wajahnya tidak pernah bertemu bedak dan gicu, juga di tubuhnya tidak ada sepotong barang perhiasan yang menempel. Kecantikannya yang sekarang adalah kecantikan yang alami, yang khas, bagaikan kecantikan setangkai mawar hutan liar bermandikan embun.

“Kanjeng bibi, siapakah mereka ini dan apa kehendak mereka? ” tanya Dewi kepada gurunya.

Ia memang selalu menyebut bibi kepada gurunya karena Ni Durgogini tidak pernah mau disebut guru. Nenek ini ternyata merasa sungkan dan takut kepada Sang Prabu Jayabaya, maka tidak mau disebut guru oleh puteri raja itu, takut kalau mendapat marah!

“Hi-hi-hi-hik! Mereka itu adalah anjing-anjing Blambangan yang hendak memaksaku menunjukan kepada mereka di mana adanya keris pusaka Tilam Upih.”

Sebagai puteri raja, tentu saja Dewi pernah mendengar tentang keris pusaka yang pernah dimiliki mendiang Sang Prabu Airlangga itu karena keris pusaka Tilam Upih itu menjadi semacam kisah atau dongeng bagi keluarga istana. Pusaka itu lenyap dan ayah handanya memang berusaha untuk menumukannya kembali. Sekarang, orang-orang Blambangan mencari keris pusaka itu, bahkan hendak memaksa gurunya menunjukkan di mana adanya. Tentu saja ia menjadi marah sekali.

“Dan kanjeng bibi hendak memberi tahu mereka? ”tanyanya.

“Hi-hi-hi-hik, mana mungkin? Andaikata aku mengetahuinya pun, tidak akan kuberitahukan kepada mereka. Akan tetapi mereka hendak memaksa, hendak menangkap aku dan menyiksaku!”

“Babo-babo, keparat! Lagaknya seperti dapat melangkahi Gunung Semeru! Kanjeng bibi harap menonton saja, biar aku yang akan membasmi gerombolan anjing ini! ”

Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya bergerak, ia telah melayang ke atas dan berjungkir balik beberapa kali. Ketika ia turun, ia sudah berdiri di atas batu karang, berhadapan dengan enam orang itu.

Menak Koncar yang memimpin rombongan orang itu dan yang mengaku sebagai datuk Teluk Banyubiru, agaknya baru sadar dari keadaan terpesona tadi. Dia mengelus jenggotnya dengan tangan kiri, menghela napas beberapa kali lalu berkata,

“Tobat-tobat, ada wanita begini jelitanya, seperti seorang dewi kahyangan. Eh, wong ayu, kami tidak ingin bermusuhan dengan seorang wanita jelita seperti andika. Aku ini Menak Koncar sudah terkenal paling lunak dan menyayang wanita jelita. Aku kaya raya berkedudukan tinggi, menjadi orang kepercayaan Sang Adipati Blambangan. Karena itu marilah kita bersahabat saja, wong ayu dan kalau andika mau ikut berasamaku, andika akan kujadikan isteri mudaku yang tersayang.”

Mendengar ucapan ini, lima orang pemgikutnya tertawa-tawa gembira. Akan tetapi wajah Dewi menjadi merah sekali, sepasang mata yang bening itu tiba-tiba mencorong dengan cahaya berapi, bibirnya gemetar saking marahnya.

Tanpa dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya, tubuh Dewi menerjang maju dan tangan kirinya menampar. Saking marahnya, tangan kiri itu mengandung aji pukulan Jaladi Geni. Nampak cahaya kemerahan ketika telapak tangan itu menyambar dan terasa hawa yang amat panas. Orang terdekat yang menghadapi serangan itu maklum bahwa dia menghadapi pukulan ampuh. Ternyata enam orang jagoan Blambangan itu bukanlah orang-orang sembarangan saja. Orang tinggi kurus yang menerima tamparan tangan kiri Dewi, dapat cepat mengelak dan melompat dari batu karang di mana tadi berdiri.

“Wuuuuttt................pyaarrrr............! ”

Batukarang itu pecah berhamburan terkena hantaman telapak tangan kiri Dewi. Bukan main kagetnya hati enam orang jagoan Balmbangan itu. Terutama sekali Menak Koncar. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita jelita itu memiliki aji pukulan sedemikian ampuhnya. Menak Koncar sendiri, seorang jagoan yang sakti, mengenal pukulan ampuh dan dia tidak berani memandang rendah, tidak berani main-main lagi.

“Bunuh wanita berbahaya ini!” Bentaknya memberi komando dan dia sendiri sudah menghunus kerisnya yang panjang berlekuk tigabelas. Keris itu terkenal dengan dapur Naga Siluman, selain terbuat dari besi aji yang mat kuat, juga keris itu dilumuri racun yang ampuh sekali. Dengan keris di tangan, Menak Moncar melompat dan menyerang Dewi dari arah kiri. Kerisnya menyambar dengan tusukan yang dahsyat.

“Singggg........wuuuutt......! ”

Bagaikan seekor burung walet, tubuh yang diserang keris itu sudah lenyap dari atas batu karang tadi, membuat Menak Moncar tertegun. Kiranya wanita itu telah meloncat dengan cepatnya ke kanan dan sudah menerjang ke arah seorang pengeroyok. Orang itu menusukkan kerisnya, akan tetapi dengan cekatan Dewi menangkis lengan yang menusukkan keris, kemudian tangan kanannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.

“Desss..........! ” Tubuh itu terlempar jauh ke belakang dan tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh itu terlempar ke bawah tebing! Orang yang terkena hantaman di dada itu masih belum tewas dan terdengar jeritnya mengerikan ketika tubuhnya melayang ke bawah tebing, di mana batu-batu karang yang keras, tajam dan runcing sudah menanti untuk melumatkan tubuhnya.

Melihat ini, dua orang yang memegang golok membacokkan senjata mereka ke arah punggung dan lambung Dewi darI sebelah kanan dan belakang. Dewi dapat mendengar gerakan penyarangan itu, ia memutar tubuhnya dan melompat ke belakang sehingga serangan itu luput. KetiKa dua orang itu maju lagi, Dewi menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang hitam, panjang dan harum itu menyambar bagaikan pecut ke depan.

“Prat-prattt!” Dua kali ujung rambut itu melecut muka dua orang itu, hampir mengenai mata mereka sehingga mereka terhuyung ke belakang sambil memejamkan mata. Akan tetapi pada saat itu, Dewi menerjangnya dengan dua kali tendangan.

“Dukk......dukkk........!” dua tubuh lawan itu terpental dan kembali terdengar lengking panjang mengerikan dua orang itu terlempar ke bawah tebing.

Tentu saja Menak Koncar dan dua orang kawannya menjadi terkejut bukan main. Terkejut akan tetapi juga marah dan penasaran. Sama sekali tidak pernah tersangka oleh Menak Koncar bahwa tiga orang kawannya dalam waktu singkat telah tewas di tangan wanita jelita itu.

Dewi tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya sudah menerjang lagi ke depan, sekali ini ia menyerang Menak Koncar dengan loncatan yang disambung dengan tendangan di udara. Tendangan terbang ini berbahaya sekali, selain tidak terduga dan cepat, juga tenaga tendangan ditambah dengan tenaga loncatan tubuhnya sehingga merupakan tendangan maut yang berbahaya. Akan tetapi Menak Koncar sudah memasang kuda-kuda di atas batu karang dan begitu tendangan datang, dia menggunakan tangan kirinya untuk menangkis dari samping. Sambil menangkis dia mengerahkan tenaganya dan tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Dewi menyeleweng kesamping. Akan tetapi gerkan Dewi benar-benar tangkas seperti burung. Ia sudah dapat turun pula ke atas batu karang pada saat Menak Koncar mengejarnya dengan tusukan keris Naga Silumannya.

Keris itu menyambar dahsyat ke arah dada yang padat membusung itu dan kalau mengenai sasaran, sudah pasti dada itu akan ditembusi keris berlekuk tigabelas itu! Namun, tidak percuma Dewi sudah mewarisi seluruh aji yang diajarkan Ni Durgogini. Ia sudah menjadi seorang wanita yang digdaya dan sakti mandraguna. Karena sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak dari tusukan keris selagi tubuhnya baru saja turun, ia nekat dan mengerahkan Aji Trenggiling Wesi, yang seolah-olah menyelimuti seluruh tubuhnya dengan aji kekebalan.

“Syuuuuuttt......tukkk!” Keris Naga Siluman itu mengenai dada di atas kemben dan.....mental kembali, tidak mampu menembus atau melukai kulit yang lunak dan putih mulus dari dada itu. Dan selagi Menak Koncar terbelalak, tangan kiri Dewi sudak menampar ke arah kepalanya. Biarpun dalam keadaan terkejut, Menak Koncar masih sempat menundukkan kepala untuk mengelak.

“Plakkk........!” Tangan itu masih saja mengenai pundaknya, membuat tubuh Menak Koncar terpelanting. Akan tetapi jagoan dari Banyubiru ini ternyata hebat juga. Dia terpelanting, namun dapat mematahkan dorongan itu dengan berjungkir balik tiga kali. Sementara dua orang kawannya sudah cepat maju menggerakkan golok mereka untuk menyerang Dewi. Seorang menyabetkan goloknya untuk memenggal leher yang indah dan putih mulus itu, sedangkan orang kedua membabatkan goloknya menyerampang ke arah kaki wanita jelita itu.

Dewi melihat bahwa gerakan kedua orang penyerangnya ini tidak secepat dan sekuat Menak Koncar, maka iapun bersikap tenang saja. Golok yang membabat lehernya ia elakkan dengan merendahkan tubuh dan menundukkan kepala sehingga golok itu menyambar lewat di atas kepalanya. Sedangkan golok yang menyerampang kakinya, ia sambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai tangan yang memegang golok sehingga senjata itu terlepas. Dewi cepat menyusulkan tendangan kepada orang yang menyerang kakinya, dan tangan kanannya menyambar dari samping ke arah kepala penyerang pertama.

“Wuut-wuuuut ........plak-desss........!”

Dua orang itu menjerit dan tubuh mereka terpelanting. Dewi menyusulkan tendangan keras dua kali dan tubuh kedua orang itupun terlempar ke bawah tebing menyusul tiga orang kawan mereka yang sudah lebih dulu terjungkal dan tewas di bawah tebing, disambut batu-batu karang dan gelombang mengganas.

“Jahanam keparat! Kubunuh kau! Bukan Menak Koncar namaku kalau aku tidak dapat membalas kematian lima orang kawanku!” Menak Koncar membentak marah sekali dan diapun mengeluarkan teriakan melengking. Itu adalah aji Petak Gelap Saketi, yaitu teriakan yang dikeluarkan untuk melumpuhkan semangat lawan-lawan yang kurang kuat batinnya, mendengar teriakan ini, akan tergetar seluruh tubuhnya, terguncang batinnya dan lumpuh seluruh syarafnya sehingga mudah ditundukkan.

Gemetar juga tubuh Dewi menghadapi aji ini, akan tetapi ia sendiri juga memiliki aji yang sama sifatnya, yaitu jerit Sardulo Kroda. Maka, iapun mengeluarkan jerit melengking itu untuk melawan aji lawan. Terdengar dua macam pekik yang berlawanan, dan akibtanya, tubuh Menak Koncar terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat sekali. Melihat keadaan lawan ini, Dewi lalu menerjang dengan kedua tangan terbuka, mengirim serangan. Kedua tangannya bergantian melakukan serangan tamparan atau cengkeraman bertubi-tubi, dan Menak Koncar juga berusaha melindungi dirinya dengan mengelebatkan kerisnya. Akan tetapi dia kalah cepat dan ketika tangan kiri Dewi mencuat, sebuah tendangan mengenai tangan yang memegang keris.

“Plakk! Ahhh.....!”Keris itu terlepas dari pegangan dan sebelum jatuh di antara batu-batu karang, Dewi menangkapnya dengan tangan kanan. Melihat kerisnya sudah terampas lawan dan tangan kanannya seperti lumpuh terkena tendangan tangan kanan yang amat keras tadi.

Menak Koncar kehilangan semangatnya bertanding. Dia yakin bahwa dia tidak akan menang melawan wanita itu dan kalau pertandingan dilanjutkan, sama halnya dengan membunuh diri saja. Maka, dia lalu berusaha melarikan diri. Sekali meloncat dia telah berada di atas batu karang di depan. Selagi dia hendak meloncat lagi ke batu karang yang lebih jauh, tiba-tiba dia merasa punggungnya nyeri seprti digigit ular. Rasa nyeri itu makin menghebat menyerang dadanya dan iapun tidak dapat menahan lagi, terhuyung dan terjungkal ke bawah tebing dengan keris Naga Siluman menancap di punggungnya. Kiranya keris itu tadi dilontarkan oleh Dewi dan tepat sekali mengenai punggungnya.

Melihat enam orang lawanya semua terjungkal di tebing dan tewas, Dewi tertawa.Suara tawanya merdu dan nyaring melengking, bergema disambut ombak. Mengerikan sekali melihat wanita cantik itu tertawa, seperti seorang iblis betina!

“Hi-hi-hi-hik! Bagus sekali, Dewi! Andika membuatku merasa puas dan bangga. Kiranya tidak sia-sia selama bertahun-tahun ini andika belajar ilmu dariku. Andika murid yang baik sekali. Enam orang tadi memang sudah sepatutnya mampus. Mereka kurang ajar dan memandang rendah kepada kita.”

Dengan beberapa loncatan Dewi sudah tiba di depan Ni Durgogini dan berkata,

“Semua ini berkat budi Bibi dan aku berterima kasih sekali.”

Mendengar ucapan Dewi itu, tiba-tiba saja Ni Durgogini terhuyung ke depan, lalu merangkul leher Dewi dan dari kerongkongannya terdengar suara yang menyayat hati itu, setengah menangis dan setengah tertawa.

“Hi-hi-hi-hi-hi-hih..........!”

Dewi terkejut. Ia sudah mengenal benar suara gurunya ini dan dapat membedakan mana suara gembira dan mana suara bersedih. Sekali ini suara gurunya adalah suara bersedih, menangis!

“Eh,bibi! Apa yang terjadi? Apakah bibi terluka......?”

Ni Durgogini tidak menjawab, melainkan menangis terus, berha-ha-hi-hi-hi di atas pundak Dewi. Dewi membiarkannya saja, menuntun gurunya memasuki goa dan mereka berdua lalu duduk bersila berhadapan di lantai goa yang ditilami jerami kering dan hangat.

“Nah, bibi. Sekarang ceritakan, kenapa bibi berduka?”

Ni Durgogini memandang muridnya. Kedua matanya tidak basah, akan tetapi kini kedua matanya menjadi sipit hampir terpejam dan dari balik pelupuk mata itu nampak pandang mata yang redup bagaikan dian kehabisan minyak.

“Dewi, aku meratapi nasib diriku sendiri. Aku menyesal sekali memakai nama eyang-buyut- guruku yang dahulu juga berjuluk Ni Durgogini. Akan tetapi ia memang seorang petualang dan selalu mengejar kesenangan duniawi. Ia memang menderita, akan tetapi juga sudah menikmati segala penderitaannya. Kalau aku? Ahh, aku tidak terlalu mengejar kesenangan. Aku tidak mencampuri urusan kenegaraan, akan tetapi hidupku selalu merana. Sejak muda aku selalu dikecewakan pria, dan hanya seorang pria saja yang kusembah, kuhornati dan kujunjung tinggi di dunia ini. Pria itu adalah kanjeng ramamu, Sang Prabu Jayabaya. Beliau seorang pria yang bijaksana dan aku pernah berhutang nyawa kepadanya. Namun sayang, aku seorang petualang, beliau seorang Maharaja, dan beliau jauh lebih muda dariku, dua tiga puluh tahun lebih muda. Aku selalu dipermainkan pria sehingga selama hidupku, tujuh orang pria yang pernah mendampingiku,akhirnya semua terpaksa kubunuh, yang terakhir adalah Ki Kolokrendo yang selain menjadi suamiku, juga menjadi muridku sendiri. Aahh, hidupku tak pernah berbahagia. Aku tidak pernah melakukan kejahatan, tidak pernah menggangu orang. Aku membunuh orang hanya kalau dia mengganguku. Akhirnya aku bertemu engkau, Dewi. Dan selama delapan tahun ini hidupku ada artinya. Akan tetapi sekarang........aahh, hi-hi-hi-hih, sekarang terpaksa pula kita harus berpisah.”

“Ehh? Mengapa, bibi? Kita tidak harus saling berpisah. Aku akan tetap tinggal di sini bersamamu.”

“Hi-hi-hi-hih, sama sekali tidak mungkin, Dewi. Lupakah andika bahwa andika masih mempunyai banyak sekali tugas dalam hidupmu? Ingat, andika harus menyelidiki siapa yang melakukan pembunuhan terhadap suamimu, siapa menjadi dalangnya? Dan andika juga harus mencari anakmu yang hilang.”

“Akan tetapi aku tidak ingin meninggalkan bibi seorang diri di sini. Marilah ikut bersamaku, bibi. Kita pergi berdua!”

“Tidak, aku sudah lemah sekali, Dewi. Lelah luar dalam, lelah lahir batin mengarungi hidup ini, Ahhh, terkutuklah aku. Mengapa aku dulu menguasai Aji Penyu Dheles itu? Terkutuklah aku........hi-hi-hi-hih!”

“Aji Penyu Dheles? Apakah itu, bibi? Kenapa bibi belum pernah menceritakan kepadaku, juga tidak mengajarkan?”

“Ah, jangan andika mempelajari itu, Dewi. Aji itu merupakan kutukan bagiku dan sekarang aku menyesal sekali telah menguasai aji itu. Aji itu membuat usiaku menjadi panjang sekali, seperti usia seekor penyu (kura-kura). Kautahu? Kura-kura itu dapat hidup sampai ratusan tahun! Dan aku....ah, celaka, apa artinya hidup terlalu lama? Hanya untuk memperpanjang derita siksaan hidup! Mata makin lamur, telinga semkin tuli, lidah dan hidung mulai melemah, kesehatan mundur, tenaga makin habis, tubuh digerogoti usia tua akan tetapi nyawa tidak juga mau loncat! Semua ini gara-gara Aji Penyu Dheles! Dan dalam keadaan semakin lemah, ada saja orang orang-orang datang memusuhiku. Apa ini bukan siksaan namanya? Aduh Gusti, mengapa tidak segera diakhiri saja kehidupan seperti ini?” Nenek itu lalu menangis dengan suara yang khas.

Dewi memandang gurunya dengan mata terbelalak. Nampak jelas sekali olehnya hikmah pelajaran dari pengalaman gurunya itu. Memang aneh mendengar orang berkeluh kesah karena panjang usia! Semua orang hidup di dunia ini menghendaki umur panjang. Dan gurunya sudah memiliki Aji Penyu Dheles yang membuat usianya dapat panjang sampai seratus tahun lebih, dan apa jadinya? Gurunya itu tidak merasa bahagia, malah merasa tersiksa dan kini menangis mohon kepada dewata agar dicabut saja nyawanya! Di sini jelas nampak betapa jauh bedanya antara apa yang diharapkan dengan kenyataannya.

Kenyataan tidak selalu seindah yang diharapkan,bahkan apa yang diharap-harapkan itu mungkin saja setelah terdapat menjadi sesuatu yang menyengsarakan. Demikian pula dengan apa saja di dunia ini, bukan hanya usia panjang. Orang mengejar dan memperebutkan kedudukan dan akhirnya setelah memperoleh kedudukan dai menjadi sengsara karena kedudukannya itu, yang ternyata tiodak senikmat ketika masih dalam pengejaran. Harta benda juga demikian. Jarang di antara mereka yang berharta dapat benar-benar menikmatai harta bendanya, bahkan lebih banyak mendatangkan kejengkelan dan kesusahan. Hanya mereka yang belum memiliki emas dapat mengagumi kemilau emas.



Bersambung........
 
Bagian - 10




"Bibi, kalau bibi tidak mau ikut pergi bersamaku, lebih baik aku berada saja di sini menemanimu." akhirnya Dewi menghibur.

"Ah, tidak, tidak! Hi-hi-hi-hik, tidak!" Nenek itu mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya keatas batu karang. "Untuk apa aku dengan susah payah mengajarkan semua aji itu kepadamu kalau engkau hanya tinggal di sini?. Ingat, aku menghendaki agar engkau melanjutkan apa yang selama ini telah kulakukan. Merantau, kalau bertemu dengan orang jahat, bunuh jangan beri ampun! Dan engkau harus berdarma bakti kepada kerajaan Daha, membersihkan kerajaanaan ayahandamu dari orang-orang jahat yang menodai nama harum ramandamu! Andika tahu apa yang dicari oleh anjing-anjing Blambangan tadi? Keris pusaka Tilam Upih! Hi-hi-hik, kiranya keris pusaka itu telah muncul kembali dan menjadi perebutan. Dewi, pusaka itu adalah pusaka milik kerajaan Daha, menjadi lambang kerajaan Daha. Karena itu, sudah menjadi tugasmu pula untuk menemukannya. Kau wakililah aku untuk mencari keris pusaka itu dan mengembalikannya kepada ayahmu.

"Baiklah, bibi. Akan kutaati perintah bibi. Akan tetapi, biarpun aku tahu bahwa keris pusaka itu oleh kanjeng rama telah diramalkan akan muncul ke mana aku harus mencarinya? Akupun sudah pernah mendengar bahwa keris itu berasal dari Lautan Kidul dan akan muncul di Lautan Kidul pula, akan tetapi pesisir kidul merupakan pesisir yang panjang sekali, sepanjang Nusa Jawa. Ke manakah aku harus mencari, bibi?"

"Hi-hi-hik,orang lain tentu tidak akan tahu di mana adanya pusaka Tilam Upih itu, akan tetapi aku tahu. Mendiang suamiku, Ki Kolokrendo, mempunyai adik seorang laki-laki bernama Ki Koloyitmo. Akhir-akhir ini terjadi hal yang aneh kepadanya. Orang kasar dahulunya hanya hidup sebagai begal itu kabarnya kini menjadi orang besar. Mula-mula dia menguasai Nusa Kambangan, bahkan kemudian terdengar berita bahwa dia telah berhasil mendirikan sebuah kerajaan kecil di sana dan dia yang menjadi rajanya! Hi-hi-hi-hik, tidak mungkin seorang kasar seperti dia dapat menjadi raja kalau saja dia tidak mendapatkan wahyu kerajaan. Dan siapa tahu, wahyu itu berujut keris pusaka Tilam Upih. Kalau dia menemukan Tilam Upih, bukan tidak mungkin dia dapat menjadi raja. Nah, karena itu, pergilah engkau ke Nusa Kambangan, Dewi. Selidikilah, dan kalau kemudian engkau mendapatkan bahwa benar-benar dia memiliki Tilam Upih, rampaslah keris pusaka itu dan kalau perlu bunuhlah dia."

Dewi menjadi girang sekali mendengar ini. "Kalau begitu, aku akan segera pergi menyelidiki ke Nusa Kambangan, bibi!"

"Akan tetapi berhati-hatilah engkau, Dewi. Soal aji jaya-kawijayan, aku tidak percaya bahwa engkau akan kalah olehnya. Akan tetapi, keris pusaka Tilam Upih itu ampuh sekali, gawat keliwat-liwat. Kita tidak akan mampu bertahan menerima serangan keris pusaka ampuh itu. Karena itu berhati-hatilah dan lebih baik menghindar kalau dia menggunakan keris pusaka itu. Jangan sekali-kali berani mencoba kekuatan Aji Trenggilin Wesi terhadap keris itu."

Dewi menganguk. "Aku mengerti, bibi. Aku akan mempergunakan kecepatan gerakan untuk menghindar kemudian merampas keris pusaka itu."

"Bagus, akan tetapi ada lagi yang mengkhawatirkan. Aku pernah mendengar bahwa Ki Koloyitmo kabarnya juga telah mendapatkan pusaka ampuh Wijoyokusumo yang hanya tumbuh seabad sekali di Nusa Kambangan."

"Hemm,apakah keampuhan setangkai kembang saja, bibi?"

"Hi-hi-hi-hik,apakah engkau sudah lupa akan kisah lama, Dewi? Kembang Wijoyokusumo adalah milik Sang Hyang Wishnu, bukan sembarang kembang melainkan pusaka yang dapat menghidupkan orang dari kematian yang tidak wajar. Nah, dengan pusaka itu, di tangannya, seolah Ki Koloyitmo memiliki nyawa rangkap dan tidak mudah membunuhnya!"

"Akan ku perhatikan baik-baik, bibi. Aku tidak bermaksud membunuhnya kalau saja dia mau menyerahkan Tilam Upih kepadaku."

"Hi-hi-hi-hik,aku yakin bahwa engkaulah yang akan berhasil merampas keris pusaka itu. Nah, sekarang berangkatlah, Dewi. Keberangkatanmu merupakan hiburan besar bagiku karena aku akan dapat mengenangmu dengan puas hati bahwa engkau sedang mewakili aku mendapatkan keris itu. Mudah-mudahan saja kita masih akan dapat saling bertemu lagi. Aku akan selalu berada di goa ini, karena aku sudah mengambil keputusan uantuk tidak lagi mencampuri urusan dunia ramai dan akan menanti sampai Sang Yamadipati datang mengambil nyawaku."

Dewi lalu berkemas, Tegang juga rsa hatinya. Setelah delapan tahun mengasingkan diri bersama Ni Durgogini, ia merasa aneh dan asing sekali membayangkan bahwa ia akan terjun ke dunia ramai, bahkan memperebutkan Tilam Upih dan menyelidiki dalang pembunuhan suaminya, lalu mencari puterinya, Niken Sasi! Tugas pekerjaan yang bertumpuk itu menyalakan semangatnya dan setelah berkemas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Dewi sudah berpamit dari gurunya dan meninggalkan goa tempat tinggal Ni Durgogini.



Bersambung .....
 
Bagian - 11



Sang Maha Prabu Jayabaya{1135-1157} adalah raja Daha atau Kediri dan dijamannya inilah Jenggala menjadi satu kembali dengan Kediri seperti di jaman Sang Prabu Airlangga, sebelum kerajaan itu dipecah menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu atau Kediri{Daha}. Sang Prabu Jayabaya memiliki gelar yang panjang, yaitu lengkapnya : Sang Maha Panji Jayabhaya Sri Dareswa ra Madhusudanawataraninidita Suhertsingha! Akan tetapi nama besar Sang Prabu Jayabaya amat terkenal karena beliau amat pandai mempergunakan tenaga orang-orang bijaksana dan para ahli diundang dan diberi kedudukan penting. Tidaklah mengherankan kalau negara berada dalam keadaan tenteram dan rakyatpun hidup penuh kebahagiaan dalam suasana tenteram dan damai.

Sang Prabu Jayabaya sediri seorang ahli sastra yang amat bijaksana dan sakti mandraguna. Namun tiada henti-hentinya dia memperdalam pengetahuan dalam berbagai ilmu dan dikabarkan orang bahwa beliau adalah seorang pujangga yang sidik paningal dan tahu sebelum terjadi. Namun, tentu saja sebagai seorang yang sidikpaningal, yang dikabarkan sebagai titisan Sang Hyang Wishnu, Sang Prabu Jayabaya tidak mau mendahului kebendak para dewata dan tidak berani pula membuka rahasia alam dengan menceritakan apa yang akan terjadi secara terang-terangan. Diapun cukup bijaksana untuk menerima apapun yang terjadi, baik maupun buruk, memang sudah digariskan oleh dewata, karenanya, mengubah atau menghalanginya akan merupakan dosa besar sekali.

Pada suatu hari, Sang Prabu Jayabaya mengundang semua nayaka praja, para senopati dan para penasehat. Di antara mereka terdapat Empu Sedah dan Empu Panuluh, dua orang empu yang amat terkenal karena mereka telah membuahkan hasil karya besar. Cerita terkenal "Bharatayudha" adalah hasil tulisan kedua orang empu ini. Memang, kisah wayang purwo Mahabarata berasal dari India dan penulisan kedua orang empu itu bersumber dari cerita dari India itu, akan tetapi hasil tulisan mereka bukan hanya sekedar menyadur cerita India melainkan disesuaikan dengan keadaan dan kebudayaan rakyat sehingga tidak berbau asing.

Penulisan Bharatayudha terpengaruh oleh keadaan di dalam negeri. Telah terjadi perang saudara antara Daha dan Jenggala yang berakhir dengan menyatunya kedua negara bersaudara ini dan demikian pula cerita Bharatayudha. Terjadi perang saudara antara kaum Kurawa dan Pendawa yang berakhir dengan kemenangan pihak Pendawa. Persidangan yang diadakan Sang Prabu Jayabaya ini ada kaitannya dengan hasil karya besar itu, yiitu untuk merayakannya. Di samping itu juga membicarakan keadaan dalam negeri, terutama di bidang keamanan dan juga tentang keris pusaka Tilam Upih yang sedang dicari, bukan saja oleh pihak kerajaan, melainkan oleh semua orang gagah yang seolah hendak memperebutkannya.

Sang Prabu Jayabaya menugaskan seorang senopati yang terkenal gagah perkasa, yaitu Lembudigdo, untuk mencari keris pusaka Tilam Upih.

"Senopati Lembudigdo, engkau kami beri tugas ganda. Ada berita bahwa di pulau-pulau selatan ada gerakan-gerakan yang sifatnya menntang kerajaan Daha. Terutama sekali kerajaan baru di Nusa Kamabangan. Nah, menjadi tugasmu untuk melakukan penyelidikan dan kalau memang benar demikian, jangan ragu lagi, perintahkan mereka untuk tunduk dan kalau mereka membangkang, terpaksa harus dipergunakan kekerasan. Akan tetapi, jaga sedemikian rupa agar jangan sampai jatuh banyak korban. Cukup untuk memberi pelajaran agar mereka menaluk sebelum banyak yang tewas."

"Hamba siap,"

"ada sebuah tugas lagi yang tidak kalah pentingnya, Lembudigdo. Selain menyelidiki keadaan para gerombolan di pulau-pulau selatan itu, juga selidikilah kalau-kalau keris pusaka Tilam Upih sudah muncul. Andika harus dapat merampas keris pusaka itu dari tangan siapapun, karena keris pusaka itu adalah keris kerajaan dan akan menimbulkan malapetaka kalau terjatuh ke tangan orang jahat yang tidak berhak."

"Hamba siap melaksanakan perintah!" kata senopati itu dengan suara tegas dan sikap yang tegap gagah.

Sang Prabu Jayabaya tersenyum menyaksikan sikap panglimanya.

"Lembudigdo, apakah andika telah mengetahui bagaimana bentuk dan macamnya Tilam Upih?"

Ditanya demikian, senopati itu gelagapan. Memang, bermimpipun belum pernah dia melihat keris pusaka itu. Dia menyembah dan menjawab gugup,

Hamba.......ini.....ini.....hamba belum mengetahuinya. Mohon beribu ampun, gusti........"

"Ha-ha-ha, belum pernah melihatnya bukan merupakan kesalahan yang perlu diampuni, Lembudigdo. Kami sendiripun belum pernah melihatnya karena keris pusaka itu lenyap pada jaman eyang Prabu Rake Halu Shri Lokeshwara Dharmawangsha Airlangga Anantawikrama Tunggadewa. Akan tetapi, kami kira para pinisepuh yang hadir dalam persidangan ini tentu ada yang mengetahuinya. Kami kira Kakang Empu Sedah dapat menerangkannya." Sang Prabu Jayabaya menoleh kepada Empu Sedah dengan sinar mata bertanya.

Empu Sedah memang lebih tua dari pada Sang Prabu Jayabaya. Usianya sudah empatpuluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dibandingkan junjungannya itu. Dan sebagai seorang empu dan pujangga, pengetahuannya luas. Dia menghaturkan sembah lalu berkata.

"Sesungguhnya, Kanjeng Gusti.Hamba pernah mendengar penggambaran tentang Kyai Tilam Upih. Ciri-cirinya pusaka itui berlekuk tiga, kembang kacang, sogokan Srawean, Heri pandan, Greneng Pada gigir pusaka bagian atas berpamao perak mencorong dan itulah bagian yang baik dari pusaka itu. Akan tetapi bagian bawahnya berpamor hitam dan bagian ini ganas bukan main, lagi ampuh."

"Nah, andika telah mendengar jelas. Senopati Lembudigdo? Keris bentuk dan macam itulah yang harus kau temukan."

Senopati itu menyembah. "Hamba telah mengetahuinya dengan jelas, Kanjeng Gusti. Semoga dengan restu paduka hamba akan berhasil menemukan pusaka itu."

Tiba-tiba Empu Panuluh yang berusia limapuluh tahun itu menghaturkan sembah.

"Beribu ampun hamba berani menghaturkan suatu peringatan, Gusti."

"Empu Pnuluh, setiap peringatan merupakan sesuatu yang amat berharga dan patut dibalas dengan ucapan syukur dan terima kasih. Katakanlah, peringatan apa yang ingin andika sampaikan kepada kami?"

"Ampun, Gusti. Sejak jaman dahulu setiap pusaka yang ampuh dan baik selalu mendatangkan berkah dan anugerah kepada siapa yang memilikinya, sebaliknya, setiap pusaka yang ampuh dan mengandung hawa yang jahat akan mendatangkan malapetaka bagi pemiliknya. Kyai Tilam Upih memang pusaka ampuh dan juga telah ditangani oleh mendiang Gusti Prabu Airlangga sendiri sehingga mengandung kebaikan, namun sayang pusaka itu memang pada awalnya sudah memiliki kandungan hawa yang tidak baik. Oleh karena itu, tentu akan mendatangkan malapetaka yang tidak diinginkan kepada pemiliknya."

Sang Prabu Jayabaya mengangguk-angguk. "Benar ucapanmu, Empu Panuluh. Dan kalau menurut perhitunganmu, malapetaka apakah yang dapat didatangkan Tilam Upih kalau berada di tangan kami?"

"Ampun hamba, Gusti. Hamba tidak berani mendahului kehendak Hyang Widhi, akan tetapi biasanya, keris pusaka yang berhawa hitam itu pasti akan membawa korban di antara keluarga pemiliknya."

Kembali Sang Prabu Jayabaya mengangguk-angguk. "Jagat Dewa Bathara! Segala kehendak Hyang Widhi Wasa pasti akan terlaksana tanpa ada kekuasaan apapun yang sanggup mengubahnya. Empu Panuluh, andika pasti memaklumi pula bahwa siapapun orangnya, kalau dia sudah dipilih untuk menjadi korban Sang Hyang Syiwa, maka orang itu memang sudah digariskan sesuai dengan karmanya sendiri. Oleh karena itu, tidak ada penyesalan apapun."

"Hamba tidak dapat lain kecuali menyetujui sabda paduka yang bijaksana dan mulia." Empu Panuluh menghaturkan sembah.

Pada saat itu, seorang pria muda berusia tigapuluh tahun, berwajah tampan, menghaturkan sembah.

"Kanjeng Rama, hamba menghaturkan sembah dan perkenankan hamba mengajukan usul hamba."

Sang Prabu Jayabaya memandang dan tersenyum. Yang bicara ini adalah Pangeran Arya Iswara, yaitu pangeran mahkota atau calon pengganti kedudukan raja Kediri kalau Sang Prabu Jayabaya sudah mengundurkan diri.

"Puterada pangeran, di dalam persidangan, hak bicara menyatakan pendapat adalah hak setiap orang yang hadir. Kalau andika memiliki pendapat dan usul, cepat katakan karena setiap pendapat tentu ada manfaatnya bagi sidang." kata Sang Prabu sambil tersenyum memberi semangat.

Kembali pangeran yang tampan itu menghaturkan sembah, lalu berkata, "Kanjeng Rama, pusaka Tilam Upih adalah pusaka keraton, berarti ada hubungan erat dengan keluarga kerajaan sehingga sudah semestinyalah kalau keluarga kerajaan sendiri turun tangan dalam usaha menemukan karena menjadi kebutuhan pribadi keluarga. Tentu saja paduka tidak mungkin dapat meninggalkan tahta hanya untuk mencari pusaka itu, akan tetapi hamba dapat mewakili paduka untuk mencari dan menemukannya. Sudah menjadi kewajiban hamba pribadi kiranya untuk menemukan pusaka keluarga kita itu, Kanjeng Rama. Hamba akan menemani Paman Lembudigdo mencari pusaka Tilam Upih, yaitu apabila paduka mengijinkan."

Semua orang yang hadir menganguk-angguk setuju dan kagum kepada pangeran ini. Tidak seperti pangeran kerajaan kebanyakan yang hanya suka pergi berburu dan bersenang-senang saja, pangeran Arya Iswara ini terkenal sebagai seorang pemuda yang rajin dan gemar belajar bukan hanya mempelajari kesusasteraan dan kesenian, akan tetapi juga ulah keperajuritan sehingga dia terkenal sebagai seorang muda yang digdaya dan sakti mandraguna seperti ayahnya.

Akan tetapi sebelum Sang Parabu Jayabaya menaggapi usul ini, tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk. Orang itu adalah seorang pria yang usianya sekitar enampuluh tahun, wajahnya mirip wajah Sang Prabu Jayabaya, tubuhnya sedang namun tegap dan sinar matanya mencorong. Dia ini memang seorang pangeran, kakak tiri Sang Prabu Jayabaya, yaitu seorang pangeran dari selir. Namanya adalah Pangeran Wijayanto atau lebih terkenal dengan sebutan Pangeran Sepuh, karena hanya dia seoranglah pangeran Kakak Sang Prabu yang masih hidup.

Sang Prabu Jayabaya menoleh kepadanya dan bertanya ramah. "Andika kenapakah, kanda pangeran?"

"Uugh-ugh-ugh.......maafkan hamba, yayi prabu. Mendengar ucapan angger Pangeran Arya Iswara tadi, hamba merasa amat bangga dan juga terharu sekali sehingga hamba terbatuk-batuk. Akan tetapi sebelum paduka menjatuhkan keputusan, hamba kira ada baiknya kalau hamba mohon paduka mempertimbangkannya masak-masak lebih dulu. Angger Pangeran Arya Iswara adalah seorang pangeran pati seorang putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan paduka sebagai raja Kediri. Dia adalah seorang yang teramat penting. Oleh karena itu, sungguh berbahaya sekali kalau paduka memperkenankannya pergi mencari Tilam Upih. Kita semua tahu bahwa keris pusaka itu kini dikejar dan diperebutkan orang-orang gagah senusantara, sehingga bahaya besar akan mengancam diri Angger Pangeran Arya Iswara. Masih kurangkah para senopati dan juga pangeran lain di kerajaan Kediri maka menugaskan pekerjaan berbahaya itu kepada seorang pangeran pati? Hamba kira Pangeran Panjiluwih cukup pantas untuk mewakili kakaknya sang pangeran pati untuk pergi mencari keris pusaka itu bersama para senopati. Demikianlah pendapat hamba, adinda prabu!"

"Hamba siap melaksanakan perintah paduka. Kanjeng Rama. Tidak perlu Kakanda Pangeran Mahkota yang pergi, hamba sanggup mencari pusaka itu sampai dapat!" kata Pangeran Panjiluwih, seorang pangeran berusia duapuluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa, dengan kumis yang tebal melingkap di kanan kiri hidungnya, bagaikan Sang Arya Gatutkaca!

Sang Parabu Jayabaya menganguk-angguk sambil tersenyum tenang.

"Sungguh bijaksana sekali pendapat kanda Pangeran Sepuh, dan agaknya sudah bulat tekadmu untuk mewakili ramandamu, Panjiluwih. Baiklah, kami perkenankan Pangeran Panjiluwih untuk menemani Senopati Lembudigdo mencari keris pusaka Tilam Upih. Dan andika, Arya Iswara, andika jangan pergi, biarkan andindamu yang mewakilimu."

"Hamba menaati perintah paduka kanjeng rama." kata Pangeran Arya Iswara dengan senyum tenang, lalu menoleh kepada adiknya dan berkata lirih. "Andika harus berhati-hati melaksanakan tugas berat itu, adinda pangeran."

Pangeran Panjiluwih tidak menjawab, hanya melirik ke arah pangeran pati itu sambil mengangguk sedikit, akan tetapi senyum licik tersembunyi di balik kumisnya yang tebal.

Pangeran Panjiluwih menghaturkan sembah kepada sang prabu sambil berkata,

"Ampun Kanjeng Rama. Biarpun hamba maklum bahwa tugas mencari keris pusaka itu merupakan tugas yang tidak mudah dan berbahaya, namun hamba bersumpah akan mencari sekuat kemampuan hamba. Dan untuk mempertebal keyakinan hamba akan keberhasilan hamba, maka hamba mohon sudilah kiranya Kanjeng Rama memberikan sebuah pusaka kepada hamba untuk bekal dan pelindung diri dalam perjalanan."

Sang Prabu Jayabaya tersenyum. "Jagat Dewa Bathara! Ternyata andika seorang yang cukup cerdik, angger. Baiklah. Kami memiliki sebuah pusaka, sebatang keris pusaka bernama Kyai Gliyeng. Berkat keampuhan keris ini, andika dapat mengharapkan ditemukannya kembali keris pusaka Tilam Upih itu. Biasanya, kalau para dewata menghendaki Kyai Gliyeng dapat menunjukkan arah hilangnya sebuah benda yang dicari. Nah, inilah Kyai Gliyeng, kuserahkan kepada andika untuk membantu pencarian Tilam Upih!"

"Terima kasih, Kanjeng Rama!" kata Pangeran Panjiluwih girang sambil menghaturkan sembah dan menerima keris Kyai Gliyeng itu.

Persidangan lalu dibubarkan dan Pangeran Panjiluwih mengadakan perundingan dengan Senopati Lembudigdo untuk melaksanakan perintah Sribaginda mencari pusaka yang hilang seabad yang lalu. Mereka membentuk sebuah pasukan khusus terdiri dari limapuluh orang dan mulailah mereka berangkat menuju ke selatan. Di samping itu, merekapun menyebar para penyelidik ke seluruh bagian pantai dari timur ke barat.



Bersambung......
 
Bagian - 12





Niken Sasi menuruni lereng terakhir dari Gunung Anjasmoro. Ia meninggalkan gurunya dan melakukan perjalanan dengan santai sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepnjang perjalanan menuruni gunung itu. Ia merasa seperti hidup baru, memulai lembaran baru dalam hidupnnya. Karena ia sendiri tidak tahu kapan ia akan kembali ke gunung Anjasmoro, maka ia ingin menikmati keindahan tempat itu untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi melaksanakan tugas yang berat.

Kini ia tiba di tempat di mana dahulu ayah ibunya diserang gerombolan penjahat. Gurunya sudah memberitahu bahwa gurunya telah mengubur janazah ayahnya di tempat itu, di bawah pohon kenanga dan makam itu ditandai dengan batu besar. Sebelum meninggalkan kaki gunung, ia ingin lebih dulu menemukan makam ayahnya. Akhirnya, ia dapat menemukan makam itu, di bawah pohon kenanga, dan batu besar sebagi nisannya.

"Kanjeng rama..........!" Niken Sasi berlari menghampiri makam itu dan iapun menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Hatinya terasa perih, akan tetapi ia tidak menangis. Tidak, ia adalah seorang dara perkasa yang pantang untuk menangis. Ia membayangkan wajah ayahnya yang tampan dan gagah. Kemudian ia teringat pula kepada ibunya dan hatinya menjadi semakin perih kalau ia membayangkan ibunya.

Apa yang telah terjadi dengan ibunya? Masih hidupkah ibunya, ataukah sudah tewas pula seperti ayahnya?Ia pasti akan menyelidiki hal ini, menyelidiki siapa yang telah membunuh ayahnya dan mengapa pula orang tuanya dibunuh. Akan tetapi hal itu akan dilakukannya setelah ia berhasil dengan tugas pertama, yaitu mencari keris pusaka Tilam Upih.

Setelah merasa cukup puas dan lama berada di makam ayahnya, Niken Sasi lalu bangkit berdiri dan siap hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba ia terkejut melihat munculnya belasan orang dari balik semak belukar dan pohon. Tujubelas orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar itu mengepungnya dan yang mengejutkan dan mengherankan Niken Sasi adalah melihat betapa belasan orang itu semua mengenakan saputangan hitam yang menutupi muka mereka dari mata kebawah. Karena kepala merekapun mengenakan pengikat kepala dari kain hitam, maka yang nampak hanya sepasang mata mereka saja yang memandang dengan liar dan ganas.

Niken Sasi memang terkejut dan heran. Akan tetapi sama sekali ia tidak merasa takut dan dengan tenang ia menghadapi para pengepungnya.

"Siapakah kalian dan apa maksud kalian mengepungku?" tanyanya dengan suara yang merdu, lembut namun berwibawa. Akan tetapi belasan orang itu tidak memperdulikan pertanyaannya dan serentak lalu mereka menerjang, dengan tendangan kaki, pukulan tangan dan mencengkeram jari-jari tangan yang penuh semangat. Marahlah Niken Sasi.

"Manusia-manusia busuk!" bentaknya dan tubuhnya sudah bergerak cepat sekali, berkelebatan di antara belasan orang pengeroyoknya. Terdengar suara lengkingan berkali-kali disusul robohnya beberapa orang pengeroyok. Niken Sasi berkelebat menjauhkan diri dari serangan banyak orang itu, dan ketika mereka mengejar, ia membalik dan balas menyerang.

"Haiiiiiiittt.......yahhhh......!" bentaknya dan setiap kali kakinya mencuat dalam tendangan atau tangannya menyambar dalam tamparan tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting roboh dan baru setelah agak lama dapat bangkit kembali.

Belasan orang itu mempercepat pengeroyokan mereka, dan serangan mereka semakin gencar. Namun sungguh aneh belasan orang pria yang kuat mengeroyok seorang dara dengan hujan serangan tak sekalipun dari semua serangan pukulan dan tendangan itu dapat mengenai tubuh Niken Sasi. Jangankan mengenai kulit tubuhnya. Menyerempet pakaiannyapun tidak. Demikian cepatnya gerakan Niken Sasi. Inilah Aji Tapak Srikatan yang membuat tubuh dara itu dapat berkelebatan bagaikan burung srikatan lincahnya.

"Hiaaaaaatttt........!"

Kembali beberapa orang berpelantingan sehingga belasan orang itu hampir semua sudah merasa akan roboh terpelanting. Agaknya belasan orang itu menjadi marah dan begitu terdengar seruan "Bunuh.........!" sebagai isyarat, mereka semua telah mencabut senjata mereka!

Tujuh belas orang itu kini memegang senjata tajam, ada yang memegang golok yang besar dan panjang, ada pula yang memegang pedang dan ada juga yang memegang keris. Berkilauan senjata-senjata itu terkena sinar matahari dan keadaan mereka menyeramkan sekali. Akan tetapi Niken Sasi tidak menjadi gentar malah tertawa. Suara tawanya merdu dan hanya sebentar mulutnya terbuka, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap.

Hatinya merasa gembira karena baru sekarang ia membuktikan sendiri bahwa segala macam aji yang dipelajarinya dari gurunya, ternyata dapat membuat ia pandai membela diri dengan baiknya sehingga para pengeroyokan belasan orang itu dirasakannya ringan sekali. Baru sekarang ia membuktikan sendiri bahwa ia telah menjadi seorang dara yang digdaya dan sakti mandraguna. Kebanggan dan kegembiraan tanpa rasa sombong memenuhi hatinya dan kepercayaan terhadap dirinya sendiri menjadi menggunung.

"Kalian ini mengapakah mengeroyok aku? Katakan siapa kalian, dan apa artinya pengeroyokan ini, mungkin aku masih dapat mengampunimu!"

Akan tetapi, ucapan ini disambut serangan serentak dari berbagai penjuru. Keris, pedang dan golok menyambar-nyambar, mengancam keselamatan Niken Sasi. Akan tetapi gadis itu memang sudah siap siaga. Ketika dari semua penjuru para pngeroyoknya menyerbu, tiba-tiba saja pengeroyoknya menyerbu, Tiba-tiba saja orang yang mereka serang itu telah lenyap. Hanya nampak bayangan berkelebat keatas dibarengai suara tawa dan ketika mereka mencari sambil memutar tubuh, ternyata Niken Sasi telah berada di luar kepungan mereka. Setelah melihat para pengeroyok membalikan tubuh hendak mengejarnya, mulailah Niken Sasi menggerakkan kaki tangnya dengan cepat. Mereka yang berada di depan berusaha menggerkkan senjata mereka, akan tetapi mereka kalah cepat. Sebelum senjata mereka mampu menyerang, tamparan dan tendangan telah membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan sekali ini tendangan dan tamparan itu lebih keras lagi sehingga mereka yang roboh itu mengaduh-aduh dan berusaha bangkit. Pedang, golok dan keris beterbangan dari tangan meraka yang roboh.

Akan tetapi, orang-orang bertopeng itu masih nekat mengeroyok dengan lebih ganas. Karena jumlah lawan yang banyak, Niken khawatir kalau-kalau ada senjata nyasar mengenai dirinya, maka iapun melompat jauh ke belakang, lalu menggosok-gosok kedua tangannya mengerahkan Aji Hasta Bajra. Ia tidak menanti sampai kedua telapak tangannya panas sekali karena ia ingin membatasi tenaganya dan setelah kedua telapak tangan itu agak panas, dan melihat mereka sudah mengejarnya lagi, ia lalu memasang kuda-kuda dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan telapak tangan terbuka.

"Blaarrrrrr........!" Empat orang yang berada paling depan tiba-tiba terjengkang ke balakang menabrak teman-temannya seperti disambar petir dan mereka pingsan seketika, kawan-kawannya yang ditabrak berpelantingan.

Pada saat itu, muncul seorang pemuda tanpa banyak cakap lagi mengamuk, menampar dan menendangi para pengeroyok itu sehingga mereka menjadi semakin mawut dan kacau. Akhirnya, mereka yang belum terluka parah menyambar tubuh temannya yang terluka dan segera melarikan diri. Niken Sasi merasa heran melihat munculnya pemuda itu, akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul membantunya adalah Gajahpuro, iapun merasa senang dan tersenyum. Gajahpuro juga tidak mengejar orang-orang yang melarikan diri itu, melainkan cepat menghampiri Niken Sasi.

"Niken.......! Engkau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu yang kelihatan khawatir sekali.

Niken Sasi tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Gerombolan penjahat itu tidak melukai aku, Kakang Gajahpuro. Sukur engkau datang membantuku."

"Siapakah mereka itu, Niken? Dan mengapa pula mereka mengeroyokmu?"

Niken Sasi menggeleng kepalanya dan iapun mengambil buntalan bekal pakaiannya yang tadi ia lepaskan dan sampirkan di semak-semak.

"Aku tidak tahu mereka siapa dan mengapa mereka mengeroyokku. Mereka tidak ada yang mengaku."

Gajahpuro mengepal tinjunya, dan memukul telapak tangan kiri dengan gemas. "Ah, kalau tahu begitu, tentu kutangkap seorang di antara mereka untuk ditanya. Kurang ajar sekali mereka!"

"Sudahlah, kakang. Aku kan tidak terluka dan mereka itu sudah melarikan diri. Akan tetapi bagaimana engkau mendadak dapat muncul membantuku? Kenapa engkau berada di sini,kakang Gajahpuro?"

"Aku memang pergi menyusulmu, Niken. Engkau pergi tidak berpamit padaku dan ketika tadi aku mendengar bahwa engkau sudah pergi, aku segera mengejarmu dan melihat engkau dikeroyok di sini aku lalu membantumu."

"Ah, kakang Gajahpuro. Kemarin aku sudah menceritakan kepada semua murid bahwa aku pergi untuk melaksanakan perintah Bapa Guru mencari Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Kerajaan Daha, dan juga untuk mencari para pembunuh orang tuaku."

"Karena itulah aku merasa khawatir. Engkau seorang gadis remaja pergi sorang diri menempuh bahaya! Bagaimana hatiku tidak merasa khawatir?Maka aku lalu menyusulmu karena aku hendak menemanimu dalam melaksanakan perintah Bapa Guru."

Niken Sasi tersenyum memandang wajah pemuda ganteng itu. Gajahpuro memang selalu bersikap manis kepadanya dan ia menganggapnya sebagai teman sejak kecil yang baik sekali.

"Terima kasih, kakang Gajahpuro. Akan tetapi aku tidak ingin ditemani karena Bapa Guru memerintahkan aku pergi sendiri. Aku tidak ingin melawan perintah Bapa Guru."

"Ah, Niken! Bapa Guru tidak akan mengetahui bahwa aku menemani dan membantumu!"

"Tidak,Kakang. Urusan mencari para pembunuh orang tuaku merupakan urusan pribadi yang harus kupertanggung-jawabkan sendiri. Orang lain tidak boleh mencampuri."

"Akan tetapi, aku dapat membantumu mencari Tilam Upih."

"Kalau engkau hendak membantuku, mencari keris pusaka itu, silakan. Akan tetapi jalan kita bersimpang. Aku ingin merantau dan melakukan perjalanan seorang diiri."

Gajahpuro tidak membujuk-bujuk lagi, memandang gadis yang dicintainya sampai lama, kemudian dia menghela napas dan berkata.

"Aku tahu, Niken. Engkau tidak mau aku temani karena engkau merasa sudah cukup kuat. Engkau bahkan lebih sakti daripada murid-murid Bapa Guru yang lain. Kulihat tadi engkau telah menguasai Hasta Bajara!"

Niken Sasi terkejut. "Engkau melihatnya , kakang? Harap engkau berbaik hati untuk tidak bercerita kepada siapapun, apa lagi kepada Bapa Guru yang tentu akan marah mendengar aku mempergunakan aji itu walaupun keadaan tidak terpaksa sekali."

"Tenanglah, aku tidak akan bercerita. Akan tetapi kita akan bertemu kembali, Niken. Aku akan membantumu mencari Tilam Upih yang besar kemungkinan kita akan saling bertemu dalam usaha mencari keris pusaka itu."

"Baiklah, kakang. Sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, kakang Gajahpuro."

Pandang mata pemuda itu nampak kecewa sekali. Menurut perhitungannya, gadis itu tentu akan girang ditemani melakukan perjalanan, ada kawan yang membantunya. Siapa kira, gadis itu menolaknya dan tidak mempunyai alasan lain untuk mendesak.

"Baiklah, Niken. Semoga para dewa melindungimu dan engkau akan berhasil."

"Terima kasih Kakang. Engkau memang baik sekali!"

Mereka berpisah dan ucapan terakhir Niken Sasi itu setidaknya merupakan hiburan bagi Gajahpuro.

Mereka berpisah mengambil jalan masing-masing. Setelah tiba di luar dusun pertama di kaki Gunung Anjasmoro. Niken Sasi melihat seorang kakek berjalan datang dari arah depan . Ia segara mengenal kakek itu.

"Paman Joyosentiko", serunya. "Paman datang dari manakah?"

Kakek itu adalah Ki Joyosentiko, seorang anggota tua dari Gagak Seto. Sebetulnya dia masih kakak seperguruan dari Ki Sudibyo, akan tetapi tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan adik seperguruan yang menjadi ketua Gagak Seto itu. Di pergurun Gagak Seto, Ki Joyosentiko ini bertugas mengajarkan kesussastraan kepada para murid. Menurut peraturan yang diadakan Ki Sudibyo, semua murid Gagak Seto harus mempelajari kebudayaan, karena dia berpendapat bahwa ilmu kedigdayaan tanpa disertai ilmu kebudayaan, dapat membuat murid menjadi seorang yang hanya menurutkan nafsu sendiri mengandalkan kesaktiannya.

Ki Joyosentiko mengangkat tangan ke atas." Aku memang sengaja menantimu di sini, Niken. Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu sebelum engkau melanjutkan perjalananmu. Mari kita pergi ke gubuk di tengah Ladang itu agar dapat bicara dengan leluasa."

"Baik, paman." Niken Sasi menghormati orang tua ini karena segala macam kesenian ia pelajari darinya, juga tentang adat istiadat dan kesusilaan.

Setelah mereka duduk berhadapan, Ki Joyosentiko berkata dengan suaranya yang lembut dan tenang. "Angger, Niken Sasi. Aku mendengar bahwa engkau mendapat tugas dari gurumu untuk mencari Tilam Upih, dan juga untuk mencari para pembunuh ayah bundamu."

"Benar, paman."

"Dan aku mendengar pula bahwa engkau kelak akan diangkat menjadi ketua Gagak Seto menggantikan adi Sudibyo, benarkah?"

Niken Sasi memandang tajam wajah pamannya! Ia menganggap bahwa hal itu tidak perlu dirahasiakan lagi.

"Memang demikianlah kehendak Bapa Guru, paman.

"Aku melihat bahwa pilihan Bapa Gurumu tidak keliru. Walupun andika murid wanita, namun andika lebih maju daripada yang lain, baik kemajuan lahir maupun batin. Bahkan lebih lagi tadi akupun sempat menyaksikan engkau menguasai Hasta Bajra."

Niken Sasi membelalakan matanya. "Paman melihatnya? Paman tahu siapa gerombolan jahat yang tadi mengeroyokku?"

Kakek itu menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak mengenal mereka karena mereka bertopeng. Akan tetapi peristiwa itu menunjukkan betapa berat tugasmu dan engkau haruslah berhati-hati dan waspada. Ingat, jangan sembarangan mempercayai orang karena di dunia ini lebih banyak terdapat orang yang berwatak palsu daripada orang yang tulus benar. Akan tetapi yang hendak kuberitakan ini adalah soal yang lain lagi, yaitu mengenai diri bapa gurumu."

Pandang sepasang mata yang jeli itu penuh selidik menatap wajah Ki Joyosentiko yang sudah terbiasa keriput.

"Ada apakah dengan Bapa Guru, paman?"

"Tahukah andika, Niken, bahwa bapa guru selalu sakit-sakitan, tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga saktinya, juga selalu terbenam kedalam kesedian?"

Niken Sasi mengerutkan alisnya, akan tetapi ia harus membenarkan pendapat pamannya dan ia mengangguk-angguk.

"Memang demikian, paman. Akan tetapi, saya tidak tahu mengapa demikian. Mengapa Bapa Guru kelihatan seperti lemah berpenyakitan dan wajahnya selalu diliputi awan kedukaan. Tahukah paman mengapa Bapa Guru bersedih seperti itu?"

Ki Joyosentiko menghela napas panjang beberapa kali, lalu berkata, "Aku merasa iba sekali kepada Adi Sudibyo, walaupun semua ini terjadi karena kesalahannya sendiri pula. Hatinya terlampau keras, dan sudah menjadi wataknya, sejak muda bahwa dia tidak mau kalah oleh siapapun. Nah, dengarkan ceritaku Niken. Hal ini perlu kau ketahui agar engkau mengerti benar persoalannya yang terjadi dalam keluarga Bapa Gurumu yang akan kau gantikan kedudukannya di Gagak Seto."

Niken Sasi mendengarkan dengan penuh perhatian. Kembali Ki Joyosentiko menghela napas lalu mulai dengan ceritanya.

"Kurang lebih duapuluh tahunyang lalu, di perguruan Gagak Seto ini terdapat seorang murid wanita bernama Ni Sawitri. Ia seorang yatim piatu dan setelah menjadi murid di Gagak Seto, ia amat dekat dngan aku sehingga menganggap aku sebagai ayah angkatnya sendiri. Dalam perguruan terdapat pula seorang murid pria bernama Margono dan di antar kedua orang muda ini
terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam."

Karena kakek itu berhenti bercerita, Niken lalu mengomentari, "Mereka berdua tentu berbahagia sekali, paman."

Akan tetapi kakek itu menggeleng kapala dan menghela napas panjang. "Mestinya begitu. Akan tetapi sudah di tentukan oleh dewata agaknya bahwa nasib mereka tidaklah demikian gemilang.Ternyata Adi Sudibyo yang ketika itu berusia empatpuluh tahun dan masih membujang, jatuh cinta pula kepada Ni Sawitri. Inilah awal malapetaka itu. Ki sudibyo meminang muridnya sendiri dan Ni Sawiitri tidak berani menolaknya. Sejak kecil ia yang sudah yatim piatu diterima menjadi murid Gagak Seto, berarti ia berhuatang budi besar sekali kepada Ki Sudibyo. Biarpun perasaanya hancur lebur, ia tidak berani menolak pinangan gurunya. Aku yang mengetahui persoalan ini sudah memberi ingat kepada Adi Sudibyo bahwa Ni Sawitri sudah mempunyai pilhan hati, akan tetapi Ki Sudibyo malah marah-marah dan menuduhku menghalangai kehendaknya. Nah, pernikahan itupun dilangsungkan. Hanya aku yang mengetahui betapa hancur rasa hati Ni Sawitri dan juga kekasihnya, Margono. Kurang lebih tiga bulan kemudian Margono jatuh sakit dan penyakitnya sedemikain beratnya sehingga orang sudah putus harapan untuk dapat menyembuhkannya. Ni Sawitri yang sudah tiga bulan menikah, memperoleh kesempatan untuk menjenguk dan terjadilah pertemuan antara kedua kekasih ini yang membangkitkan kenangan lama dan sekligus menjadi obat yang amat mujarab bagi Margono. Dia sembuh dan pertemuan itu menjadi semacam tekad mereka berdua. Tanpa diketahui siapapun, pada suatu malam, kedua orang itu minggat meninggalkan perkampungan Gagak Seto!"

Kembali kakek itu menghela napas panjang dan Niken Sasi merasa tertarik sekali. Sungguh sukar ia dapat membayangkan gurunya yang demikian berwibawa dan halus budi, dapat memaksa seorang wanita berpisah dari kekasihnya dan menjadi isterinya!

"Cinta memang dapat menimbulkan perbuatan yang aneh-aneh dan sukar dipercaya akal sekat," kata Ki Joyosentiko, seolah dapat membaca pikiran Niken Sasi.

"Lalu bagaimana tanggapan Bapa Guru setelah melihat mereka berdua itu melarikan diri, paman?"

"Nanti dulu, sebelum aku melanjutkan ceritaku, aku ingin lebih dulu mendengar pendapatmu tentang perbuatan mereka itu. Hal imi penting sekali untuk menentukan sikapmu kelak setelah engkau menjadi ketua Gagak Seto."

Tanpa ragu lagi, dengan suara yang pasti, Niken Sasi menjawab. "Saya tidak dapat menyalahkan mereka berdua itu, paman. Walaupun hal ini merupakan pengkhianatan terhadap Bapa Guru dan membuat Bapa Guru tentu saja merasa terhina dan duka, akan tetapi hal itu adalah kesalahan Bapa Guru sendiri. Tidak semestinya dia memaksa Ni Sawitri untuk menjadi isterinya, apa lagi Ni Sawitri telah memiliki seorang kekasih. Bapa Guru sudah mengetahui karena paman telah memberi tahu, akan tetapi Bapa Guru nekat."

"Bagus! Kalau begitu pendapatmu, aku berani melanjutkan ceritaku karena sikapmu kelak sudah kuketahui. Nah, ketika gurumu mendengar tentang minggatnya isterinya bersama Margono, dia menjadi marah bukan main dan segera melakukan pengejaran. Akan tetapi semua usahanya gagal dan dia mencari terlalu jauh."

"Hemm, agaknya paman mengetahui tempat persembunyian mereka akan tetapi tidak mau memberitahu kepada Bapa Guru."

Kakek itu menganguk-angguk. "Bukan hanya mengerti, bahkan aku membantu mereka dan menyembunyikan mereka di dalam goa tidak jauh dari puncak Gunung Anjasmo. Baru setelah keadaan aman dan gurumu tidak mencari sendiri lagi, aku melepaskan mereka. Mereka melarikan diri jauh sekali, akan tetapi karena gurumu masih terus mengirim murid-murid untuk melakukan pencarian, mereka harus selalu berpindah-pindah dan aku sendiri tidak tahu di mana anak angkatku dan suaminya itu berada." Kembali dia berhenti.

"Lalu bagaimana, paman?"

"Ki Sudibyo sungguh keras hati. Dia diracuni dendam. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu setelah sepuluh tahun lamanya Ni Sawitri melarikan diri, dia masih saja menyuruh murid-muridnya melakukan pencarian. Yang diutus adalah Klabangkoro. Padahal aku sendiri mengetahui dengan jelas bahwa dahulu, si Klabangkoro itu juga jatuh hati kepada Ni Sawitri, akan tetapi tidak pernah ditanggapi oleh wanita itu. Jadi, ketika disuruh oleh gurumu, Klabangkoro juga mempunyai dendam pribadi, Dan sekali ini, usahanya berhasil. Dia dan teman-temannya dapat menemukan Ni Sawitri dan Margono di Bukit Bathok dan berhasil membunuh Ni Sawitri dan Margono."

Niken Sasi bangkit berdiri dengan mata terbelalak.

"Alanglah kejamnya!" bentaknya

"Tenanglah, Niken. Demikianlah kalau orang sudah dibuat gila oleh cinta asmara yang bukan lain hanya nafsu yang sudah memuncak, dan kematian setiap orang sudah ditentukan oleh para dewata sesuai dengan karma masing-masing. Dan sejak menerima berita bahwa Margono suda terbunuh, akan tetapi bahwa Ni Sawitri juga tewas, KI Sudibyo menjadi semakin rusak hatinya sehingga mempengaruhi kesehatannya. Bertahun-tahun dia tenggelam dalam kedukaan. Mungkin juga timbul penyesalan dalam hatinya."

"Kalau begitu, hal itu adalah salahnya sendiri. Setiap orang sudah pasti akan angunduh wehing pakaryaan{ memetik buah perbuatannya}."

"Memang benar, angger. Akan tetapi patut dikasihani Ki Sudibyo. Semua itu dilakukan demi cintanya kepada Ni Sawitri. Dan dia hanya dapat menikmati kebahagian hidup sebagai suami isteri bersama Ni Sawitri selama tiga bulan saja. Karena itulah maka aku merasa iba kepadanya. Yang kukhawatirkan adalah putera dari Ni Sawitri."

Niken Sasi terbelalak memandang kakek itu. "Mereka mempunyai putera? Bagaimana dapat lolos dari pembunuhan itu?"

"Mereka mempunyai seorang anak laki-laki. Menurut cerita para murid, ketika mereka sudah membunuh Margono dan Ni Sawitri juga tewas membunuh diri, anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun itu mengamuk. Anak itu tentu sudah dapat dibunuh pula kalau tidak muncul seorang kakek tua renta yang menyelamatkannya. Kakek itu amat sakti dan mengusir Klabangkoro dan kawan-kawannya."

"Bapa Guru juga mendengar tentang anak itu?"

"Tentu saja. Akan tetapi agaknya hatinya sudah luluh dan hancur mendengar kematian Ni Sawitri sehingga dia tidak memperdulikannya lagi. Padahal dia tahu benar bahwa kelak besar kemungkinan anak itu akan membalas dendam kematian orang tuanya."

"Hemm, tentu saja. Dan anak itu kini sudah dewasa, paman? Sepuluh tahun yang lalu dia berusia sepuluh, tentu sekarang sudah berusia duapuluh tahun.

"Benar, karena itulah aku bercerita kepadamu. Aku khawatir anak itu datang membalas dendam dan agaknya engkau yang harus menghadapinya karena engkau akan menjadi ketua."

"Paman kau tidak menyalahkan anak laki-laki itu kalau dia hendak membalas dendam. Akan tetapi karena aku adalah murid Bapa Guru, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Bapa Guru. Kalau bocah itu datang dengan niat membunuh Bapa Guru, saya akan menasihatinya agar dia tidak melakukan hal itu, dengan mengingatkan kesalahan yang telah diperbuat orang tuanya terhadap Bapa Guru. Kalau dia nekat, terpaksa akan saya lawan!"

"Memang seharusnya demikian. Akan tetapi ada satu rahasia yang sampai saat ini hanya diketahui olehku seorang dan sekarang rahasia itu akan akan kubuka kepadamu. Ketahuilah, pemuda itu sama sekali tidak boleh membalas dendam, tidak boleh membunuh Ki Sudibyo karena Ki Sudibyo adalah bapak kandungnya."

Niken Sasi yang tadi sudah duduk kembali, kini meloncat lagi dan matanya terbelalak bundar.

"Apa.......? Apa maksud paman?" katanya bingung.

"Ketika Margono dan Sawitri bersembunyi, Sawitri yang sudah seperti anakku sendiri, membuat pengakuan kepadaku bahwa ia sudah mengandung selama dua bulan. Jadi, anak itu adalah anak kandung Sudibyo, bukan anak kandung Margono."

"Dan Bapa Guru tahu pula akan hal itu?"

Ki Joyosentiko menggeleng kepala. "Tidak, tidak kuberitahu karena kenyataan itu tentu akan semakin menghancurkan hatinya. Aku tidak tega Niken."

"Ampun, Gusti.........! Kenapa mereka melakukan perbuatan seperti itu? Bapa Guru sudah jelas bersalah karena memperisteri wanita yang sudah mempunyai kekasih, kemudian keasalahannya menjadi semakin berlarut ketika dia menyuruh bunuh Margono sehingga Ni Sawitri ikut pula tewas. Ni Sawitri juga bersalah karena setelah ia menikah dengan Bapa Guru, apalagi sudah mengandung, mengapa ia mengkhianatinya dan minggat bersama kekasihnya? Juga Margono bersalah. Dia merampas isteri orang lain yang sudah mengandung, merusak pagar ayu namanya. Wah, tiga orang berbuat kesalahan dan akibatnya mengerikan.!"

"Akan lebih mengerikan lagi kalau kelak anaknya membalas dendam kepada bapak kandung sendiri!"

Niken Sasi mengangguk-angguk. "Sekarang saya mengerti mengapa paman menceritakan semua ini kepada saya. Baiklah, paman. Saya berjanji akan menghalangi pembunuhan antara ayah dan anak kandung ini. Kalau sudah tiba saatnya bertemu dengan anak itu, akan saya beritahu kepadanya perkara yang sebenarnya dan saya akan mencegah dia melakukan pembalasan terhadap Bapa Guru. Juga saya yang akan memberitahu Bapa Guru kelak bahwa pemuda itu adalah putera kandungnya."

"Terima kasih kepada Gusti Yang Maha Agung!" Ki Joyosentiko memanjatkan puji. "Hanya andika seorang yang akan mampu menyelamatkan mereka, Niken Sasi. Sekarang legalah hatiku setelah aku menceritakan segalanya kepadamu. Nah, andika boleh melanjutkan perjalanan sekarang."

"Baik, paman dan selamat tinggal."

"Selamat jalan dan semoga para dewata akan melindungimu, angger!"

Niken Sasi meninggalkan gubuk itu dan mengerahkan aji Tapak Srikatan yang membuat larinya seperti seekor burung sedang terbang cepatnya, diikuti pandang mata Ki Joyosentiko yang mengangguk-angguk sambil tersenyum puas.

Niken Sasi sama sekali tidak mengetahui bahwa semua gerak-geriknya semenjak meninggalkan perkampungan Gagak Seto selalu diawasi orang. Ke manapun ia pergi, selalu saja ada orang yang membayanginya. Ketika ia mengadakan pertemuan dengan Ki Joyosentiko, juga tidak terlepas dari pengamatan orang-orang itu. Akan tetapi Ki Joyosentiko bertindak cerdik, mengajak ia bercakap-cakap disebuah gubuk di tengan sawah sehingga tidak mungkin ada orang dapat mendekati gubuk itu tanpa diketahui. Orang yang membayangi Niken hanya mampu mengintai saja dari jauh, tahu bahwa ia bercakap-cakap dengan Ki Joyosentiko, akan tetapi tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dan pertemuan itupun tidak menimbulkan kecurigaan, karena Ki Joyosentiko adalah paman guru Niken Sasi sendiri.

Perjalanan Niken Sasi tidak menemui kesulitan. Karena ia bersikap ramah dan juga membawa bekal uang, maka di mana saja ia diterima penduduk dusun untuk melewatkan malam.

Pada suatu hari tibalah ia ditepi Sungai Lesti, di kaki Gunung Kelud. Tempat itu sunyi, jauh dari dusun dan selagi ia melihat-lihat ke kanan kiri untuk mencari perahu penyeberangan, tiba-tiba bermunculan dua belas orang laki-laki yang segera mengepungnya. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dada telanjang dan sikap mereka yang kasar, Niken Sasi waspada. Mereka itu jelas bukan petani biasa, lebih pantas menjadi orang-orang yang biasa memaksa kehendak mereka dan tidak pantang melakukan kejahatan.

"Bojleng-bojleng belis laknat!" seorang di antara mereka yang mata kirinya terpejam dan hanya mempunyai sebuah mata kanan yang melotot menyeramkan berseru sambil menyeringai sehingga nampak giginya yang besar-besar menguning. "Ada bidadari dari kahyangan berjalan seorang diri. Siapakah andika, cah ayu, dan hendak pergi kemanakah?"




Bersambung
 
pertamax.. :haha: bang rangga ada yang janggal ya, Dikatan anak2 dari prabu jayabaya umurnya 30an lebih dewi muntari skitar 38 putra mahkota juga 30 lbih ada prnyataan empu sedah brumur 45 th dan lebih tua 10 thn dri junjunganya itu. brrti prabu jayabaya baru brumur 35 th. ini yg bnr yg mn ya? :ampun:
 
pertamax.. :haha: bang rangga ada yang janggal ya, Dikatan anak2 dari prabu jayabaya umurnya 30an lebih dewi muntari skitar 38 putra mahkota juga 30 lbih ada prnyataan empu sedah brumur 45 th dan lebih tua 10 thn dri junjunganya itu. brrti prabu jayabaya baru brumur 35 th. ini yg bnr yg mn ya? :ampun:

Wah, memang luarbiasa agan satu ini, bukan hanya sekedar membaca saja, tapi benar-benar teliti... :D

Mungkin maksudnya yang ini :

Empu Sedah memang lebih tua dari pada Sang Prabu Jayabaya. Usianya sudah empatpuluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dibandingkan junjungannya itu.

Ya, seperti pada buku aslinya tertulis :
mpu Sedah memang lebih tua dari pada Sang Prabu Jayabaya. Usianya sudah enam puluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dibandingkan junjungannya itu

Ini murni kesalahan pengetikan saat editing :D

:beer:
 
Bimabet
Wah, memang luarbiasa agan satu ini, bukan hanya sekedar membaca saja, tapi benar-benar teliti... :D

Mungkin maksudnya yang ini :

Empu Sedah memang lebih tua dari pada Sang Prabu Jayabaya. Usianya sudah empatpuluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dibandingkan junjungannya itu.

Ya, seperti pada buku aslinya tertulis :
mpu Sedah memang lebih tua dari pada Sang Prabu Jayabaya. Usianya sudah enam puluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dibandingkan junjungannya itu

Ini murni kesalahan pengetikan saat editing :D

:beer:

owh, gitu ya bang, oke dech lanjut bang :haha:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd