Frontieres
Semprot Baru
- Daftar
- 22 Jun 2016
- Post
- 41
- Like diterima
- 25
“kau lihat itu…”
“kau tahu, sesuatu apa yang membuat bintang-gemintang tampak oleh mata kita?”
Ia menggeleng, sepasang matanya tak lepas memandang takjub ribuan bintang yang tumpah di langit. Malam itu.
“Cahaya-lah yang membuat bintang-bintang di sana tampak dan terlihat.”
Lelaki muda itu mengangguk paham. Kata-kata yang terucap dari bibir Jeanice bagai air yang mengaliri hingga celah terdalam palung hatinya.
“Raihlah cahaya.. Dapatkanlah cahaya. Dengan cahaya, kau akan bersinar dan terlihat tanpa harus menampakan diri. ”
++++
Satu bulan berlalu pasca tragedi mengerikan yang menimpa Jeanice. Kini public dikejutkan dengan penemuan tiga potongan kepala manusia di atas makam gadis itu. Tiga potong kepala tanpa wajah yang saling terhubung dengan seutas kawat bersama 7 butir manik-manik warna-warni. Sementara itu di tempat berbeda, satu koper besar berisi potongan tubuh manusia korban mutilasi baru saja ditemukan tak jauh dari tepi dermaga. Pihak kepolisian segera meluncur dan mensterilkan lokasi, garis-garis polisi segera dibentangkan guna olah TKP. Awak media segera menyerbu, di dua lokasi berbeda. Massa menyemut, semua element-element terkait sigap berkoordinasi. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kasus tersebut sontak memenuhi wajah-wajah media pemberitaan. Koran, majalah, televise, radio hingga media-media pemberitaan daring seakan berlomba mendapatkan informasi yang ter-update. Teraktual.
“KEPALA MANUSIA TAK BERWAJAH, DITEMUKAN DI LOKASI PEMAKAMAN KORBAN PEMERKOSAAN!!!”
“3 JAM MENGAPUNG, KOPOR MERAH DI DERMAGA TERNYATA BERISI POTONGAN TUBUH MANUSIA”
“KASUS PEMBUNUHAN DISERTAI MUTILASI KEMBALI MENCUAT,”
“apakah pembunuhan ini ada kaitannya dengan hilangnya tiga mahasiswi seminggu yang lalu, Pak?”
“Kami masih menunggu hasil dari tim forensic, pihak kepolisian akan terus mendalaminya. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan ada tidaknya keterkaitan antara penemuan hari ini dengan hilangnya ketiga mahasiswi minggu lalu.”
“Pihak kami masih melakukan penyisiran di sekitar TKP, karena potongan tubuh dalam koper tidak lah lengkap”
“Bisa bapak gambarkan sedikit kondisi-kondisi mayat dalam kopor tersebut, Pak?”
“Ada terdapat bagian dada hingga pangkal paha, berjumlah tiga potong yang bisa kami simpulkan bahwa korban berjumlah 3 orang. Lalu kemudian, 2 pasang kaki, 3 kanan dan 1 kiri. Kemudian, 3 potong lengan yang kesemuanya…. Maksud saya dari tiga lengan tersebut, 2 kanan dan 1 kiri. Semuanya dalam kondisi menghitam, busuk, dipenuhi luka bakar. Banyak kulit-kulitnya yang mengelupas.”
“Lalu, apakah kepala-kepala yang ditemukan di tempat pemakaman merupakan bagian dari potongan tubuh dalam kopor ini? ”
“Kamipun beranggapan kesana, tapi untuk itu tim forensic masih akan menyelidikinya secara intensif.”
“…dan kami juga sudah mengundang keluarga dari ketiga mahasiswi yang dinyatakan hilang tersebut.”
“Jenis kelamin mayat dalam kopor itu, Pak?”
“kesemuanya berjenis kelamin perempuan.”
::::
Di meja dingin autopsy telah berserakan potongan-potongan tubuh manusia, dikawal anggota kepolisian, team forensic sendiri tengah menyocokan antara kepala dengan tubuh-tubuh malang tersebut.
“Ini pasti ada hubungannya dengan laporan hilangnya tiga mahasiswi seminggu lalu,” seorang anggota forensic mencoba berpendapat.
“Ya, akupun berfikir demikian, tapi potongan potongan tubuh ini tak lengkap, Pak!’’
“Lihat.. ia justru berbeda. Pelaku sengaja membakarnya..”
“Ya, ia membakar hangus jari-jemari korban untuk menghilangkan sidik jari..”
“ia bermaksud menghalangi proses identifikasi…”
“Entah sengaja atau tak sengaja, yang pasti ia sudah memberitahu kita tentang siapa dirinya.” Salah seorang penyidik berujar.
“Tiga nama mahasiswi yang hilang seminggu lalu itu tak lain merupakan istri dan pacar dari ketiga pelaku pemerkosaan Jeanice.”
“Tapi tak sesedehana itu, Bung”
“Masih ada banyak kemungkinan”
“Jadi, siapa nama yang kini terlintas di benakmu?” Tanyanya.
“Tapi Ibra punya alibi yang kuat, 3 bulan terakhir ia mengisi penuh absensi di asrama. Ia tak pernah keluar asrama lebih dari satu jam. Memang, sejak tragedi yang menimpa Janice, para pegawai dan staff di asrama mengetatkan penjagaannya terhadap Ibra.”
“Yang pasti, kita harus memulainya dari orang-orang terdekat di sekeliling Jeanice.”
“…juga keluarga ketiga mahasiswi yang hilang. Coba bawakan aku berkas laporannya…”
Knock! Knock! Knock!
“Yeap, masuk!!”
“Seorang warga baru saja menemukan tiga kulit yang diidentifikasi adalah wajah manusia dan…”
“dan apa?”
“Dan sebuah handy cam di kantung kertas.”
“Kantung kertas?”
“kau tahu, sesuatu apa yang membuat bintang-gemintang tampak oleh mata kita?”
Ia menggeleng, sepasang matanya tak lepas memandang takjub ribuan bintang yang tumpah di langit. Malam itu.
“Cahaya-lah yang membuat bintang-bintang di sana tampak dan terlihat.”
Lelaki muda itu mengangguk paham. Kata-kata yang terucap dari bibir Jeanice bagai air yang mengaliri hingga celah terdalam palung hatinya.
“Raihlah cahaya.. Dapatkanlah cahaya. Dengan cahaya, kau akan bersinar dan terlihat tanpa harus menampakan diri. ”
++++
Ibrahiem tersudut di bangku taman, air matanya kembali mengalir dan jatuh, menitik menjadi serpihan terkecil di atas biola, di atas pangkuannya. Ia mencoba untuk memainkannya lagi, alunan sendu tembang perpisahan itu. Perih.. Pilu... Setiap melodinya adalah duka, lara yang menetes. Sore itu, sang surya seperti enggan menampakan dirinya, remuk dan redam dalam kemarahan dan kesedihan yang berkecamuk dalam dada yang mungil. Angin-angin mengirimkan bau basah, berhembus dalam hening-hening duka, menjatuhkan beberapa dedaun kering. Burung-burung tak lagi ceria, tak ada semarak untuk hari ini, berduyun mereka kembali ke sarang, menyimpan kicauan di balik sayap-sayap. Tak ada semarak untuk hari ini dan beberapa hari kedepan.
Lebih dari seorang kakak, Jeanice adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Ibra, kedua orang tua mereka turut menjadi korban tewas jatuhnya pesawat. Bersama Jeanice ia tumbuh, bersama Jeanice ia banyak belajar. Lebih dari seorang kakak, Jeanice adalah kawan berbagi cita-cita dan harapan.
:::
Jari jarinya yang kecil tampak gemetar memunguti manik-manik yang berserakan di lorong yang gelap. Tiga dari sepuluh biji manik-manik telah hilang. Manik-manik itu milik Jeanice, gadis periang yang baru saja direnggut kehidupannya. Kini Jeanice terbujur kaku sebagai korban pemerkosaan disertai pembunuhan oleh sekelompok pemuda. Jasadnya ditemukan dalam plastic sampah di pojok tempat pembuangan apartment mewah. Sebuah pahat masih tertancap di dagu dan dada sebelah kiri di antara puluhan luka dan memar lainnya. Bagian anal dan vagina hingga rahimnya sudah rusak, meninggalkan luka menganga yang mengerikan. Bekas-bekas ikatan dan jeratan tali temali masih terlihat jelas di beberapa bagian tubuhnya, terutama pada pergelangan tangan juga kaki. Kedua putting dan clitorisnya telah hilang digunting. Kulitnya yang cerah tampak kotor dan menghitam oleh bercak darah yang mengering dari sayatan luka. “Oh Tuhan, di air mata yang mana lagi aku harus bersembunyi” pekik Ibra dalam hati. Hati kecilnya remuk dan redam. Sungguh tak terperi apa yang dirasakan Jeanice malam itu. Pukul 21.00, seharusnya Jeanice sudah sampai di asrama, tapi tidak di malam itu, malam yang pekat itu telah membawanya pergi jauh, membawanya pergi tanpa pernah mengantarkannya kembali.
“Aku telah menjemputnya, Sayang. Jeanice-mu kini sudah tenang, ia tak perlu lagi merasakan kejamnya dunia. Tuhan telah menentukan tempat terbaik bagi insan-insan terbaik,” bisik seseorang di telinga Ibra. Suaranya berat dan parau, sosok tak berwajah dalam jubbah tersebut datang dalam mimpi dengan Jeanice berdiri di sampingnya. Wajah cantik gadis tersebut memendar dihujani cahaya, dari balik tangannya, ia mengeluarkan sebilah pisau dan meletakannya di atas sebuah altar. “Balaskan untukku”. Pintanya seraya berlalu.
Meski pada akhirnya kinerja prima pihak kepolisian berhasil meringkus pelaku dalam waktu yang relative singkat, tak lantas hal itu membuat hati Ibra merasa impas, ada hutang yang mesti dibalas. Hatinya justru bertambah panas, melihat para pelaku masih sempat melempar senyum di hadapan kamera dengan tak pantas. Dorongan dendam kian mengganas, apa yang ada di balik dada rasanya telah habis terkuras. Bermodalkan informasi mengenai keluarga maupun orang-orang terdekat para pelaku, Ibra bangkit dan menyambar jaket hoodie milik Jeanice yang masih tergantung di kapstok belakang pintu. Malam itu juga, ia kayuh sekuat tenaga BMX pemberian sang kakak menuju suatu tempat. Menerobos hujan, menerjang pekatnya malam. Menuju rekahan bumi terdalam, menyeret ribuan iblis untuk datang merasuki diri.
Lebih dari seorang kakak, Jeanice adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Ibra, kedua orang tua mereka turut menjadi korban tewas jatuhnya pesawat. Bersama Jeanice ia tumbuh, bersama Jeanice ia banyak belajar. Lebih dari seorang kakak, Jeanice adalah kawan berbagi cita-cita dan harapan.
:::
Jari jarinya yang kecil tampak gemetar memunguti manik-manik yang berserakan di lorong yang gelap. Tiga dari sepuluh biji manik-manik telah hilang. Manik-manik itu milik Jeanice, gadis periang yang baru saja direnggut kehidupannya. Kini Jeanice terbujur kaku sebagai korban pemerkosaan disertai pembunuhan oleh sekelompok pemuda. Jasadnya ditemukan dalam plastic sampah di pojok tempat pembuangan apartment mewah. Sebuah pahat masih tertancap di dagu dan dada sebelah kiri di antara puluhan luka dan memar lainnya. Bagian anal dan vagina hingga rahimnya sudah rusak, meninggalkan luka menganga yang mengerikan. Bekas-bekas ikatan dan jeratan tali temali masih terlihat jelas di beberapa bagian tubuhnya, terutama pada pergelangan tangan juga kaki. Kedua putting dan clitorisnya telah hilang digunting. Kulitnya yang cerah tampak kotor dan menghitam oleh bercak darah yang mengering dari sayatan luka. “Oh Tuhan, di air mata yang mana lagi aku harus bersembunyi” pekik Ibra dalam hati. Hati kecilnya remuk dan redam. Sungguh tak terperi apa yang dirasakan Jeanice malam itu. Pukul 21.00, seharusnya Jeanice sudah sampai di asrama, tapi tidak di malam itu, malam yang pekat itu telah membawanya pergi jauh, membawanya pergi tanpa pernah mengantarkannya kembali.
“Aku telah menjemputnya, Sayang. Jeanice-mu kini sudah tenang, ia tak perlu lagi merasakan kejamnya dunia. Tuhan telah menentukan tempat terbaik bagi insan-insan terbaik,” bisik seseorang di telinga Ibra. Suaranya berat dan parau, sosok tak berwajah dalam jubbah tersebut datang dalam mimpi dengan Jeanice berdiri di sampingnya. Wajah cantik gadis tersebut memendar dihujani cahaya, dari balik tangannya, ia mengeluarkan sebilah pisau dan meletakannya di atas sebuah altar. “Balaskan untukku”. Pintanya seraya berlalu.
Meski pada akhirnya kinerja prima pihak kepolisian berhasil meringkus pelaku dalam waktu yang relative singkat, tak lantas hal itu membuat hati Ibra merasa impas, ada hutang yang mesti dibalas. Hatinya justru bertambah panas, melihat para pelaku masih sempat melempar senyum di hadapan kamera dengan tak pantas. Dorongan dendam kian mengganas, apa yang ada di balik dada rasanya telah habis terkuras. Bermodalkan informasi mengenai keluarga maupun orang-orang terdekat para pelaku, Ibra bangkit dan menyambar jaket hoodie milik Jeanice yang masih tergantung di kapstok belakang pintu. Malam itu juga, ia kayuh sekuat tenaga BMX pemberian sang kakak menuju suatu tempat. Menerobos hujan, menerjang pekatnya malam. Menuju rekahan bumi terdalam, menyeret ribuan iblis untuk datang merasuki diri.
[This story is dedicated to all victims of rape and sexual violence]
Cinderella from Hell (Vol. 1)
Original story by : Frontieres
Cinderella from Hell (Vol. 1)
Original story by : Frontieres
Satu bulan berlalu pasca tragedi mengerikan yang menimpa Jeanice. Kini public dikejutkan dengan penemuan tiga potongan kepala manusia di atas makam gadis itu. Tiga potong kepala tanpa wajah yang saling terhubung dengan seutas kawat bersama 7 butir manik-manik warna-warni. Sementara itu di tempat berbeda, satu koper besar berisi potongan tubuh manusia korban mutilasi baru saja ditemukan tak jauh dari tepi dermaga. Pihak kepolisian segera meluncur dan mensterilkan lokasi, garis-garis polisi segera dibentangkan guna olah TKP. Awak media segera menyerbu, di dua lokasi berbeda. Massa menyemut, semua element-element terkait sigap berkoordinasi. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kasus tersebut sontak memenuhi wajah-wajah media pemberitaan. Koran, majalah, televise, radio hingga media-media pemberitaan daring seakan berlomba mendapatkan informasi yang ter-update. Teraktual.
“KEPALA MANUSIA TAK BERWAJAH, DITEMUKAN DI LOKASI PEMAKAMAN KORBAN PEMERKOSAAN!!!”
“3 JAM MENGAPUNG, KOPOR MERAH DI DERMAGA TERNYATA BERISI POTONGAN TUBUH MANUSIA”
“KASUS PEMBUNUHAN DISERTAI MUTILASI KEMBALI MENCUAT,”
“apakah pembunuhan ini ada kaitannya dengan hilangnya tiga mahasiswi seminggu yang lalu, Pak?”
“Kami masih menunggu hasil dari tim forensic, pihak kepolisian akan terus mendalaminya. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan ada tidaknya keterkaitan antara penemuan hari ini dengan hilangnya ketiga mahasiswi minggu lalu.”
“Pihak kami masih melakukan penyisiran di sekitar TKP, karena potongan tubuh dalam koper tidak lah lengkap”
“Bisa bapak gambarkan sedikit kondisi-kondisi mayat dalam kopor tersebut, Pak?”
“Ada terdapat bagian dada hingga pangkal paha, berjumlah tiga potong yang bisa kami simpulkan bahwa korban berjumlah 3 orang. Lalu kemudian, 2 pasang kaki, 3 kanan dan 1 kiri. Kemudian, 3 potong lengan yang kesemuanya…. Maksud saya dari tiga lengan tersebut, 2 kanan dan 1 kiri. Semuanya dalam kondisi menghitam, busuk, dipenuhi luka bakar. Banyak kulit-kulitnya yang mengelupas.”
“Lalu, apakah kepala-kepala yang ditemukan di tempat pemakaman merupakan bagian dari potongan tubuh dalam kopor ini? ”
“Kamipun beranggapan kesana, tapi untuk itu tim forensic masih akan menyelidikinya secara intensif.”
“…dan kami juga sudah mengundang keluarga dari ketiga mahasiswi yang dinyatakan hilang tersebut.”
“Jenis kelamin mayat dalam kopor itu, Pak?”
“kesemuanya berjenis kelamin perempuan.”
::::
Di meja dingin autopsy telah berserakan potongan-potongan tubuh manusia, dikawal anggota kepolisian, team forensic sendiri tengah menyocokan antara kepala dengan tubuh-tubuh malang tersebut.
“Ini pasti ada hubungannya dengan laporan hilangnya tiga mahasiswi seminggu lalu,” seorang anggota forensic mencoba berpendapat.
“Ya, akupun berfikir demikian, tapi potongan potongan tubuh ini tak lengkap, Pak!’’
“Lihat.. ia justru berbeda. Pelaku sengaja membakarnya..”
“Ya, ia membakar hangus jari-jemari korban untuk menghilangkan sidik jari..”
“ia bermaksud menghalangi proses identifikasi…”
“Entah sengaja atau tak sengaja, yang pasti ia sudah memberitahu kita tentang siapa dirinya.” Salah seorang penyidik berujar.
“Tiga nama mahasiswi yang hilang seminggu lalu itu tak lain merupakan istri dan pacar dari ketiga pelaku pemerkosaan Jeanice.”
“Tapi tak sesedehana itu, Bung”
“Masih ada banyak kemungkinan”
“Jadi, siapa nama yang kini terlintas di benakmu?” Tanyanya.
“Tapi Ibra punya alibi yang kuat, 3 bulan terakhir ia mengisi penuh absensi di asrama. Ia tak pernah keluar asrama lebih dari satu jam. Memang, sejak tragedi yang menimpa Janice, para pegawai dan staff di asrama mengetatkan penjagaannya terhadap Ibra.”
“Yang pasti, kita harus memulainya dari orang-orang terdekat di sekeliling Jeanice.”
“…juga keluarga ketiga mahasiswi yang hilang. Coba bawakan aku berkas laporannya…”
Knock! Knock! Knock!
“Yeap, masuk!!”
“Seorang warga baru saja menemukan tiga kulit yang diidentifikasi adalah wajah manusia dan…”
“dan apa?”
“Dan sebuah handy cam di kantung kertas.”
“Kantung kertas?”
20 hours ago.
Dengan seutas kawat yang baru saja ia temukan, Ibra bergegas menghubungkan antara kepala satu dan lainnya melalui lubang hidung, hingga kepala wanita-wanita malang tersebut terikat menjadi satu. Ketiga kepala tersebut akan menggantikan posisi tiga biji manik-manik milik Janice yang hilang. Ujung-ujung kawat tersebut kemudian ia kaitkan pada swing arm sepeda, lantas memacunya pelan demi pelan, ia ingin menikmati setiap bebunyian dari kepala-kepala tanpa wajah itu saling berbenturan dan terseret di atas permukaan aspal. Hingga sampai di tempat bersemayamnya jenazah Jeanice.
“Hai Kak?! Apa kabar?”
“Aku telah mendapatkan pengganti biji manik-manikmu yang hilang,” ujarnya seraya melemparkan ketiga kepala tersebut di atas makam sang kakak, tak jauh dari nisan.
Untuk sesaat ia terduduk dan membisu, pandangannya kosong melompong, menjadi tubuh tanpa jiwa. Tak lama ia meringsut dan memeluk batu nisan bertuliskan nama seseorang yang sangat dicintainya, dipeluknya erat-erat. Air mata kembali mengalir. “sekalipun ku bunuh seluruh manusia yang berada di bumi ini, tak’an pernah membuatmu kembali, Kak”
“Ayo kak, kapan kita ke pantai lagi????” isakannya begitu lirih.
“Ayooo kaaakkk… aku ga punya siapa-siapa lagi di sini. Aku sendirian.”
“Aku ga punya siapaa-siaapaa….” Di makam sang kakak, bocah lelaki itu menangis tersedu. Ingin sekali rasanya mengadu.
Dari kejauhan, Merry tak kuasa menahan air matanya. Ia belum menuju dermaga, ia masih menyempatkan diri untuk mengekor Ibra hingga ke pemakaman. Sekedar memastikan tak terjadi sesuatu dengan bocah malang tersebut. Sementara kopor merah, kantung kertas dan handy cam miliknya telah berada di balik bagasi. Merry atau Merridith sendiri adalah putri seorang miliarder yang diam-diam menjalin cintanya dengan Jeanice. Kecuali Ibra, tak ada satu pun orang di kota ini yang mengetahui jika si pewaris kerajaan bisnis Saint.Corp itu menjalin hubungan terlarang dengan penghuni asrama yatim piatu. Hubungan cinta sesama jenis dan tingkat kasta yang berbeda jauh, jelas bukan sebuah jalan menuju cinta yang bisa terima oleh nalar dunia. Jeanice dan Merry hanyalah sepenggal risalah tentang kasih yang tak pernah sampai.
::::
1 years ago
“Hai!” Sapanya ramah.
Tapi aku tak lekas menjawab, ada sesuatu dalam senyumnya yang seolah menahanku. Ia manis sekali. Cantik. Lewat senyumnya, ia memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih dan rapi, di antara garis bibir yang manis berpulas warna merah kemayu. Hidungnya mancung meruncing, pipinya tirus merona bercahaya, rambutnya panjang berkilau keemasan diterpa sinar matahari yang menembus dari jendela kelas. Betapa beruntungnya aku, betapa beruntungnya bisa duduk di dekat orang secantikmu. Wangimu harum, membuatku ingin tenggelam dan karam di dalamnya.
Ya, bisa bertemu dan duduk satu kelas dengannya adalah keberutungan awal saat aku pindah ke sekolah baru ini.
“Hai juga!” Akhirnya aku bisa membalas. Huft…
“Merry, Merridith…” aku menyodorkan tanganku padanya di sela-sela repotnya mengeluarkan pena dan buku di hari pertama masuk sekolah.
Ia pun menoleh dan menyebutkan namanya, “Jeanice.”
Ah, senyum itu lagi.
Beberapa saat kami saling memandang, cukup dalam dan lekat, sebelum kusadari bahwa pena-ku terjatuh dan guru tua Bangka di kelas kami membentur-benturkan ujung penggaris pada blackboard. Tapi dari sepersekian detik aku memandang biru matanya itu sudah berarti banyak bagiku. Tatapannya bukan sekedar pandangan, aku berharap, apa yang bergema dalam hatiku sama dengan apa yang tengah bergaung dalam hatinya. Sesingkat itukah? Ya, aku baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama… padamu… Jeanice.
Setelah hari pertama itu, tak perlu waktu lama untuk kami menjadi teman yang begiiiiitu akrab. Disamping tempat duduk kami yang saling berdekatan, keberuntungan lainnya yang ku miliki untuk terus bisa berdekatan dengan Jeanice adalah, kami juga memiliki banyak hobi dan kesamaan. Kami sama-sama hobi membaca, itu sudah tentu. Sama-sama menyukai film berbau horror, psychology dan dokumenter, sepulang sekolah biasanya aku sering mengajaknya main ke rumah untuk menonton bersama. Tapi Jeanice, kerap kali menolak, apalagi jika ia telah berjanji pada adiknya untuk pulang cepat. Biasanya mereka akan membuat gelang manik-manik yang nantinya akan mereka jajakan di sepanjang pantai. Kalau sudah begitu, biasanya aku akan ikut mereka, menjajakan hasil karya kerajinan tangan anak-anak asrama pada para pengunjung pantai.
Dari hari ke hari, waktu yang terlewati, persahabatan kami makin akrab dan ku akui, aku banyak belajar dari sosoknya, Jeanice, bagiku ia mempunyai jalan pemikiran yang lebih dewasa dari umurnya sendiri. Sosok pengayom, dia sosok yang luar biasa, namun saat itu aku belum memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan apa yang kurasakan selama ini padanya. Saat ia berlari, aku melihat cahaya itu berjatuhan dari rambutnya. Cahaya-cahaya keperakan yang kemudian jatuh menjelma menjadi aneka ragam bunga di atas kemilau pasir-pasir putih. Ternyata Tuhan tak hanya menganugerahkan kecantikan fisik baginya, ada inner beauty yang selalu terpancar, yang dari sudut manapun kau memandang, kau hanya akan menemukan sosok yang humble, asyik dan bersahabat dalam lekuk mahakarya jelita bernama Jeanice. Laksana Everest, ia putih; menjulang, indah sekaligus kokoh di waktu bersamaan.
Dan tentang satu moment yang tak mungkin hilang dari ingatanku adalah, tatkala ia membiarkan telunjukku menyentuh halus kedua pipinya, mengelus lembut dagunya dan garis bibir yang selalu tampak basah. Saat itu, aku bahkan tak menyadari apa yang telah kukatakan padanya. Tapi sejak itu, ia seakan tak pernah ragu lagi untuk membenamkan kepalanya dalam dadaku. Keningnya adalah bagian favourite untuk ku ciumi.
Sialnya, ibu tiriku dan anak lelakinya, tak menyukai kedatangan Jeanice. Wajah mereka selalu kecut dan muram melihat aku membawa Jeanice ke rumah. Kurang ajarnya lagi, mereka berdua menghasut ayahku sehingga ia turut membenci Jeanice, mereka punya ribuan alasan agar aku tak berkawan dengan gadis miskin seperti Jeanice.
“Kamu orang berada! Carilah kawan yang setingkat dengan kasta kita. Mulai besok ayah ga mau denger kabar kamu bawa-bawa Jeanice ke sini. Kalo aku masih mendengarnya, ayah kan kirim kamu tinggal bersama bibimu di Bali!”
You see that? Ingin sekali-kali rasanya menusukan garpu ke pucuk ubun-ubun wanita gila itu dan melemparkan otaknya ke tempat sampah. Ibu tiri sialan! Anak lelakinya bahkan tak lebih bodoh darinya, fatboy, pendek, sosok yang mengingatkanku pada tokoh psikopat dalam film human centipede.
Wait!! Human Centipede? Itu termasuk salah satu film kontroversi dan dilarang penayangannya di banyak Negara. Hmm..
Sore itu, tanpa menghiraukan siapa pun bahkan ayahku sekalipun, aku kembali mengajak Jeanice menonton di kamar. Kami, memang menyukai film-film aneh, bukan drama, romance, atau teenlite atau apapun. Kami menonton human centipede, sebuah film body-horror yang tak kusadari akan menginspirasiku kelak. Membuat sebuah creature langka dari tubuh manusia. Di bawah cahaya lampu yang redup dan pendar sinar televise, wajah manis Jeanice tampak timbul tenggelam diterpa sinar.
Usai menontonnya, kami berdua memparodikan film tersebut dengan keadaan sama-sama membugil. Jeanice berada di depan sementara aku menempelkan mulut dan lidahku tepat pada anusnya. Lantas ia mulai berjalan pelan-pelan sambil tertawa.
“ga boleh lepas yaa!!” ujar jeanice sembari terus merangkak pelan-pelan.
Hingga di belakang pintu ia terhenti karena rasa kegelian, dan aku merasakan juga permukaan anusnya yang berkedut sejak tadi. Jadi, ku “santap” saja sekalian hingga lubang vagina dan klitoris. Si cantik makin tak berdaya. Ia membalik badannya, lantas membuka pahanya lebar-lebar. Vaginanya bersih, menggemaskan tanpa bulu pubik. Semakin aku kuaskan lidah ku, semakin menyembul pula biji kelentitnya yang mungil tersebut dari kerudungnya.
Dengan seutas kawat yang baru saja ia temukan, Ibra bergegas menghubungkan antara kepala satu dan lainnya melalui lubang hidung, hingga kepala wanita-wanita malang tersebut terikat menjadi satu. Ketiga kepala tersebut akan menggantikan posisi tiga biji manik-manik milik Janice yang hilang. Ujung-ujung kawat tersebut kemudian ia kaitkan pada swing arm sepeda, lantas memacunya pelan demi pelan, ia ingin menikmati setiap bebunyian dari kepala-kepala tanpa wajah itu saling berbenturan dan terseret di atas permukaan aspal. Hingga sampai di tempat bersemayamnya jenazah Jeanice.
“Hai Kak?! Apa kabar?”
“Aku telah mendapatkan pengganti biji manik-manikmu yang hilang,” ujarnya seraya melemparkan ketiga kepala tersebut di atas makam sang kakak, tak jauh dari nisan.
Untuk sesaat ia terduduk dan membisu, pandangannya kosong melompong, menjadi tubuh tanpa jiwa. Tak lama ia meringsut dan memeluk batu nisan bertuliskan nama seseorang yang sangat dicintainya, dipeluknya erat-erat. Air mata kembali mengalir. “sekalipun ku bunuh seluruh manusia yang berada di bumi ini, tak’an pernah membuatmu kembali, Kak”
“Ayo kak, kapan kita ke pantai lagi????” isakannya begitu lirih.
“Ayooo kaaakkk… aku ga punya siapa-siapa lagi di sini. Aku sendirian.”
“Aku ga punya siapaa-siaapaa….” Di makam sang kakak, bocah lelaki itu menangis tersedu. Ingin sekali rasanya mengadu.
Dari kejauhan, Merry tak kuasa menahan air matanya. Ia belum menuju dermaga, ia masih menyempatkan diri untuk mengekor Ibra hingga ke pemakaman. Sekedar memastikan tak terjadi sesuatu dengan bocah malang tersebut. Sementara kopor merah, kantung kertas dan handy cam miliknya telah berada di balik bagasi. Merry atau Merridith sendiri adalah putri seorang miliarder yang diam-diam menjalin cintanya dengan Jeanice. Kecuali Ibra, tak ada satu pun orang di kota ini yang mengetahui jika si pewaris kerajaan bisnis Saint.Corp itu menjalin hubungan terlarang dengan penghuni asrama yatim piatu. Hubungan cinta sesama jenis dan tingkat kasta yang berbeda jauh, jelas bukan sebuah jalan menuju cinta yang bisa terima oleh nalar dunia. Jeanice dan Merry hanyalah sepenggal risalah tentang kasih yang tak pernah sampai.
::::
1 years ago
“Hai!” Sapanya ramah.
Tapi aku tak lekas menjawab, ada sesuatu dalam senyumnya yang seolah menahanku. Ia manis sekali. Cantik. Lewat senyumnya, ia memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih dan rapi, di antara garis bibir yang manis berpulas warna merah kemayu. Hidungnya mancung meruncing, pipinya tirus merona bercahaya, rambutnya panjang berkilau keemasan diterpa sinar matahari yang menembus dari jendela kelas. Betapa beruntungnya aku, betapa beruntungnya bisa duduk di dekat orang secantikmu. Wangimu harum, membuatku ingin tenggelam dan karam di dalamnya.
Ya, bisa bertemu dan duduk satu kelas dengannya adalah keberutungan awal saat aku pindah ke sekolah baru ini.
“Hai juga!” Akhirnya aku bisa membalas. Huft…
“Merry, Merridith…” aku menyodorkan tanganku padanya di sela-sela repotnya mengeluarkan pena dan buku di hari pertama masuk sekolah.
Ia pun menoleh dan menyebutkan namanya, “Jeanice.”
Ah, senyum itu lagi.
Beberapa saat kami saling memandang, cukup dalam dan lekat, sebelum kusadari bahwa pena-ku terjatuh dan guru tua Bangka di kelas kami membentur-benturkan ujung penggaris pada blackboard. Tapi dari sepersekian detik aku memandang biru matanya itu sudah berarti banyak bagiku. Tatapannya bukan sekedar pandangan, aku berharap, apa yang bergema dalam hatiku sama dengan apa yang tengah bergaung dalam hatinya. Sesingkat itukah? Ya, aku baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama… padamu… Jeanice.
Setelah hari pertama itu, tak perlu waktu lama untuk kami menjadi teman yang begiiiiitu akrab. Disamping tempat duduk kami yang saling berdekatan, keberuntungan lainnya yang ku miliki untuk terus bisa berdekatan dengan Jeanice adalah, kami juga memiliki banyak hobi dan kesamaan. Kami sama-sama hobi membaca, itu sudah tentu. Sama-sama menyukai film berbau horror, psychology dan dokumenter, sepulang sekolah biasanya aku sering mengajaknya main ke rumah untuk menonton bersama. Tapi Jeanice, kerap kali menolak, apalagi jika ia telah berjanji pada adiknya untuk pulang cepat. Biasanya mereka akan membuat gelang manik-manik yang nantinya akan mereka jajakan di sepanjang pantai. Kalau sudah begitu, biasanya aku akan ikut mereka, menjajakan hasil karya kerajinan tangan anak-anak asrama pada para pengunjung pantai.
Dari hari ke hari, waktu yang terlewati, persahabatan kami makin akrab dan ku akui, aku banyak belajar dari sosoknya, Jeanice, bagiku ia mempunyai jalan pemikiran yang lebih dewasa dari umurnya sendiri. Sosok pengayom, dia sosok yang luar biasa, namun saat itu aku belum memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan apa yang kurasakan selama ini padanya. Saat ia berlari, aku melihat cahaya itu berjatuhan dari rambutnya. Cahaya-cahaya keperakan yang kemudian jatuh menjelma menjadi aneka ragam bunga di atas kemilau pasir-pasir putih. Ternyata Tuhan tak hanya menganugerahkan kecantikan fisik baginya, ada inner beauty yang selalu terpancar, yang dari sudut manapun kau memandang, kau hanya akan menemukan sosok yang humble, asyik dan bersahabat dalam lekuk mahakarya jelita bernama Jeanice. Laksana Everest, ia putih; menjulang, indah sekaligus kokoh di waktu bersamaan.
Dan tentang satu moment yang tak mungkin hilang dari ingatanku adalah, tatkala ia membiarkan telunjukku menyentuh halus kedua pipinya, mengelus lembut dagunya dan garis bibir yang selalu tampak basah. Saat itu, aku bahkan tak menyadari apa yang telah kukatakan padanya. Tapi sejak itu, ia seakan tak pernah ragu lagi untuk membenamkan kepalanya dalam dadaku. Keningnya adalah bagian favourite untuk ku ciumi.
Sialnya, ibu tiriku dan anak lelakinya, tak menyukai kedatangan Jeanice. Wajah mereka selalu kecut dan muram melihat aku membawa Jeanice ke rumah. Kurang ajarnya lagi, mereka berdua menghasut ayahku sehingga ia turut membenci Jeanice, mereka punya ribuan alasan agar aku tak berkawan dengan gadis miskin seperti Jeanice.
“Kamu orang berada! Carilah kawan yang setingkat dengan kasta kita. Mulai besok ayah ga mau denger kabar kamu bawa-bawa Jeanice ke sini. Kalo aku masih mendengarnya, ayah kan kirim kamu tinggal bersama bibimu di Bali!”
You see that? Ingin sekali-kali rasanya menusukan garpu ke pucuk ubun-ubun wanita gila itu dan melemparkan otaknya ke tempat sampah. Ibu tiri sialan! Anak lelakinya bahkan tak lebih bodoh darinya, fatboy, pendek, sosok yang mengingatkanku pada tokoh psikopat dalam film human centipede.
Wait!! Human Centipede? Itu termasuk salah satu film kontroversi dan dilarang penayangannya di banyak Negara. Hmm..
Sore itu, tanpa menghiraukan siapa pun bahkan ayahku sekalipun, aku kembali mengajak Jeanice menonton di kamar. Kami, memang menyukai film-film aneh, bukan drama, romance, atau teenlite atau apapun. Kami menonton human centipede, sebuah film body-horror yang tak kusadari akan menginspirasiku kelak. Membuat sebuah creature langka dari tubuh manusia. Di bawah cahaya lampu yang redup dan pendar sinar televise, wajah manis Jeanice tampak timbul tenggelam diterpa sinar.
Usai menontonnya, kami berdua memparodikan film tersebut dengan keadaan sama-sama membugil. Jeanice berada di depan sementara aku menempelkan mulut dan lidahku tepat pada anusnya. Lantas ia mulai berjalan pelan-pelan sambil tertawa.
“ga boleh lepas yaa!!” ujar jeanice sembari terus merangkak pelan-pelan.
Hingga di belakang pintu ia terhenti karena rasa kegelian, dan aku merasakan juga permukaan anusnya yang berkedut sejak tadi. Jadi, ku “santap” saja sekalian hingga lubang vagina dan klitoris. Si cantik makin tak berdaya. Ia membalik badannya, lantas membuka pahanya lebar-lebar. Vaginanya bersih, menggemaskan tanpa bulu pubik. Semakin aku kuaskan lidah ku, semakin menyembul pula biji kelentitnya yang mungil tersebut dari kerudungnya.
to be continue