12. Begitulah cinta ... deritanya tiada akhir (pov Rahayu)
Tring ... tring... tring... suara bel istirahat berbunyi, membuat aktivitas belajar-mengajar terhenti sementara dan hampir seluruh murid keluar dari kelasnya. Seperti biasa aku menghabiskan waktu istirahatku di bangku koridor depan kelasku dengan membaca materi biologi yang akan diujikan saat ulangan di jam keempat nanti. Suasana taman kecil di depan kelasku yang asri dan koridor yang tidak terlalu ramai membantuku fokus pada buku catatan yang berisi ringkasan materi yang akan diujikan. Tiba-tiba sebuah bola kertas terlempar dari atas dan terjatuh di atas kepalaku. Mataku langsung mengarah ke koridor lantai 2 yang tepat berada di atas kepalaku. Aku terkejut melihat Surya menatap ke arahku sambil tersenyum dan melambaikan tangannya. Ia memberiku kode untuk membuka isi bola ketas yang dilemparnya sebelum menghilangkan wajahnya dari pandanganku. Kuambil dan kubuka bola kertas yang terjatuh di dekat kaki kananku.
“
Aku akan menunggumu di depan gerbang setelah pulang sekolah. Aku ingin mengantarmu pulang dan meminta izin kepada ibumu untuk mengajak anaknya jalan-jalan nanti sore.”
Astaga ...aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Surya. Mengapa ia semakin gencar mendekatiku sejak ia mengungkapkan perasaannya padaku? Apakah dia tidak mengerti jika aku sangat menjaga jarak ketika bergaul dengan lawan jenisku? Atau jangan-jangan dia tidak puas dengan status sahabat yang saat ini kita berdua jalani? Astaga Surya... dengan sikapmu yang terus mendekatiku membuatku semakin sulit menghilangkan rasa ini dari hatiku. Apa kau sadar jika kita ini berbeda dan tidak dapat disatukan? Aku masih menatap tulisan yang tercetak pada kertas lusuh itu sebelum sebuah tangan mungil merebut kertas itu dari tanganku. Kulihat Yunita berdiri di depanku dan membaca kertas yang diberikan Surya padaku. Entah sejak kapan ia berada di dekatku.
“Surya yang menulis surat ini?” tanya Yunita setelah ia selesai membaca isi surat. Aku hanya menghela napas dan menganggukkan kepalaku. Kemudian Yunita duduk disampingku dan mengelus pundak kananku.
“Kamu tenang saja. Aku akan membantumu menghadapi persoalan hatimu ini. Oh iya ... apakah kamu bisa meluangkan sedikit waktu saat istirahat dzuhur nanti, Yu?” tanya Yunita.
“Bisa ... ada apa, Nit?,” ujarku.
“Sebenarnya aku ingin mempertemukanmu dengan Nadea, Yu. Kupikir ia punya solusi untuk masalahmu,” gumam Yunita sambil menyerahkan sebungkus batagor padaku.
“Aku tahu, kamu tidak membawa bekal ‘kan hari ini.” Aku hanya tersenyum menerima bungkusan batagor dari Yunita. Ibuku memang tidak sempat menyiapkan bekalku ketika hari ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya agar kejadian kemarin tidak terulang lagi.
“Apa maksudmu, Nit? Apa hubungannya Nadea dengan masalahku?” tanyaku sambil menyobek salah satu sisi plastik dan mulai memakan batagor pemberian sahabatku.
“Kalian berdua mempunyai masalah yang sama. Kupikir masalah kalian akan lebih mudah diselesaikan jika kalian berdua saling membantu,” gumam Yunita. Ia terdiam sejenak sambil menatap mataku.
“Nadea juga jatuh cinta pada Surya, Yu,” lanjut Yunita. Aku hanya terdiam mendengar kabar yang sangat mengejutkanku ini. Aku tidak menyangka ada cinta terpendam diantara persahabatan mereka berdua. Pantas saja Nadea memandang kami berdua dengan sinis ketika Surya mengantarku setelah acara pentas seni kemarin. Ia mengira aku telah merebut Surya darinya. Astaga ... apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tega melihat gadis cantik dan baik seperti Nadea harus tersakiti karena rasa yang salah dari kami berdua.
“Yu,” ujar Yunita sambil menggenggam erat tangan kananku dan menyadarkanku dari lamunanku. Aku hanya mendesah pelan dan menatap Yunita yang tengah tersenyum ke arahku.
“Aku tahu saat ini hatimu sedang bingung ‘kan. Aku sarankan kamu bertemu dulu dengannya. Berbagilah dengannya ... aku yakin kalian berdua akan saling mengerti karena kalian menyukai lelaki yang sama,” ujar Yunita. Tidak lama kemudian bel masuk kembali berbunyi dan Yunita menggandeng tanganku sampai ke kelas.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12:30 saat bel kedua istirahat berbunyi. Beberapa menit kemudian tampak beberapa
spot di sekolah menjadi tempat berkumpul para murid untuk merehatkan pikiran sejenak. Area mushola sekolah yang awalnya sepi menjadi sangat ramai dengan siswa yang ingin beribadah. Aku dan Yunita datang terlambat dari biasanya sehingga kami harus mengantri untuk mngambil air wudhu. Sebenarnya kami tidak terlambat jika Yunita tidak mengajakku untuk melewati jalan memutar setelah melihat Surya tengan berbincang dengan temannya di lorong yang biasanya kami lewati. Aku dan Surya sempat beradu pandang dan ia memberikan senyum dan lambaian tangannya ke arahku sebelum Yunita menarik tanganku untuk memutar arah. Ketika aku menengok kulihat Surya masih melihatku dengan tatapan yang tidak bisa kumengerti. Yunita sedikit menyentak tanganku yang tengah ia genggam seolah melarangku untuk melakukan kontak dengan Surya. Setelah aku membuka alas kaki, Yunita langsung menarikku yang ingin masuk antriaan wudhu.
“Aku ingin kamu berkenalan dulu dengan Nadea,” ujar Yunita sambil menarikku menuju ruang IRMA yang terletak di salah satu sudut mushola. Kulihat seorang gadis cantik berambut panjang sepunggung tengah asyik duduk bersandar sambil membaca buku kumpulan hadist yang selalu dibahas oleh anggota IRMA setiap berkumpul ketika Yunita membuka pintu ruangan. Gadis itu langsung mengarahkan pandangannya ke arah kami ketika pintu terbuka.
“De, kenalkan ini Rahayu, sahabatku yang aku ceritakan kemarin. Yu, kenalkan ini Nadea, teman pertamaku di SMA ini,” ujar Yunita. Nadea langsung menutup bukunya dan berdiri tersenyum mengulurkan tangan kanannya padaku.
“Nadea,” gumamnya setelah tangan kanannya kusambut.
“Rahayu,” ujarku sambil membalas senyumnya.
“De, aku dan Rahayu sholat dulu ya. Biar nanti kalian enak ngobrolnya. Silahkan lanjut lagi bacanya cantik. Siapa tahu kamu berminat jadi mualaf,” ujar Yunita sambil tersenyum dan membawaku kembali ke antrian wudhu. Aku sedikit aneh melihat gadis kristiani seperti Nadea membaca buku yang bersebrangan dengan ajaran yang dianutnya. Peristiwa itu sangat jarang terjadi. Biasanya`manusia sangat menghindari pendapat atau ilmu yang bersebrangan dengan pemikirannya. Tidak jarang timbul permusahan hanya karena perbedaan pendapat dan pola pikir. Padahal mereka mempunyai tujuan yang sama walaupun berbeda cara.
“Nadea itu mirip sama kamu. Sama – sama hobby membaca. Buku bertema apapun pasti ia baca. Menurutnya buku membuka wawasan dan pola pikir manusia. Tidak heran dia selalu mendapat juara 3 besar pararel di kelas IPA,” ujar Yunita yang melihatku sedikit bingung saat melihat Nadea membaca kumpulan hadist.
“Aku suka dengan orang berpikiran luas dan terbuka. Setelah berkenalan dengan Nadea, aku jadi tidak mengerti mengapa Surya berusaha mendekatiku. Padahal dia suadh mempunyai gadis yang terlihat sempurna disisinya,” gumamku.
“Cinta itu bukan dlihat, Yu. Tapi dirasakan ... kita bisa saja memilih ingin suka dan dekat dengan siapa saja, tetapi kita tidak bisa memilih jatuh cinta dengan siapa.” Aku sedikit tertegun mendengar ucapan Yunita. Cinta itu memang buta. Jika kita mencintai tanpa diiringi dengan akal sehat, cinta bisa membuat kita menjadi orang gila dan paling bodoh di dunia. Aku sangat menikmati saat air menyentuh kulit dan rambutku saat berwudhu. Sensasi dingin yang berasal dari sumber mata air seakan me
refresh tenaga dan pikiranku agar khusyuk ketika menghadap kepada-nya. Saat aku berdoa aku berpikir sejenak, mungkin Surya akan lebih bahagia bersama Nadea. Kecantikan dan kepintaranku jauh berada dibawahnya. Terlebih mereka sudah bersahabat sejak kelas 10. Apalagi kita berdua memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Setelah shalat aku dan Yunita bergegas menghampiri Nadea di ruang IRMA. Ia menyambut kami dengan senyuman ketika tiba di ruang IRMA.
“Baiklah, sebaiknya aku menunggu di luar agar kalian lebih bebas berbicara dari hati ke hati. Waktu istirahat tinggal 15 menit lagi. Jadi manfaatkan waktu yang tersisa untuk memikirkan solusi permasalahan hati kalian, ya,” ujar Yunita sambil berdiri keluar danmenutup pintu ruangan. Aku mengambil posisi duduk di depan Nadea sambil bersandar di dinding belakangku. Kami berdua terdiam sejenak saling menatap dan menunggu inisiatif untuk membuka pembicaraan.
“Yu, apakah benar kamu jatuh cinta dengan Surya, sahabatku?” tanya Nadea membuka pembicaraan. Aku menunduk sambil menganggukkan kepalaku. Terdengar Nadea menghela napas sebelum melanjutkan pembicaraan.
“Yu, kamu tahu ‘kan jika kalian berdua itu berbeda, mengapa bisa jadi seperti ini?” gumamnya.
“Entahlah, De. Aku sendiri juga bingung. Rasa ini hadir begitu saja. Kami tidak pernah saling bertegur sapa sebelumnya. Aku sadar kalau dia berbeda denganku dan aku memilih memandangnya dari kejauhan. Namun semua berubah ketika kami mengetahui perasaan kami masing-masing. Ia semakin berusaha mendekatiku dan itu membuatku dilema,” gumamku sambil tertunduk.
“Yu, aku dan Surya sudah bersahabat selama 2 tahun dan selama itu pula aku memendam rasa padanya. Selama kami bersahabat baru kali ini aku melihatnya jatuh cinta. Meskipun ia tidak pernah bercerita padaku, aku sering melihatnya mencuri pandang padamu. Tatapan matanya yang teduh saat melihatmu membuatku iri. Awalnya kukira ia hanya kagum padamu mengingat adanya batas diantara kalian. Sehingga kupikir aku masih punya kesempatan untuk mengisi relung hatinya. Namun ternyata dugaanku salah. Aku tahu kalian saling mengungkapkan perasaan saat tampil di pensi kemarin. Ketika aku bertanya tentang dirimu padanya, ia berkata bahwa ia jatuh cinta padamu. Itu membuatku sakit, Yu. Aku tidak menyangka kalian akan semakin dekat setelah pensi. Meskipun Surya berkata padakyjika kalian hanya bersahabat, aku takut kalian melanggar batas diantara kalian,” ujar Nadea. Kami terdiam saling menatap. Kulihat bola matanya yang hitam mulai berair seperti awan mendung di musim hujan.
“Yu, aku memang sering berpacaran dan berganti pasangan. Aku bahkan dijuluki
playgirl yang menjadi primadona seluruh siswa saat SMP. Tapi aku belum pernah merasakan jatuh cinta sedalam ini, Yu. Kumohon berikan aku cinta yang Surya berikan padamu, Yu. Demi kebaikan kita bertiga. Tolong bantu aku agar Surya melihat besarnya cintaku padanya. Tolong sadarkan dirinya jika ada cinta yang lebih baik,” ujar Nadea sambil mengenngam erat kedua tanganku. Kulihat tetesan air mulai mengalir dari matanya yang sipit. Kubalas genggamannya dengan meremas pelan telapak tangannya. Aku rasakan mataku ikut berair setelah mendengar ketulusan hati Nadea. Betapa sangat berdosanya kami jika dengan egois memilih melanjutkan kisah cinta ini. Melihat tulusnya rasa yang dimiliki Nadea membuat hatiku terenyuh. Aku ingin sekali membantunya, tapi apakah aku bisa menahan rasa sakit hatiku ketika aku membantunya ?aku memeluk Nadea yang langsung disambut tangisan yang membasahi pundakku. Perlahan kuelus rambut dan pungungnya.
“Maafkan aku, De ... aku tidak bisa membantumu untuk mendapatkan cinta dari Surya.” Nadea langsung menarik diri dari pelukanku dan menatap wajahku. Kulihat matanya sedikit sembab dan sisa air mata masih mengalir mulus di pipi putihnya.
“Apa maksudmu, Yu? Apakah kamu belum sadar jika kalian tidak mungkin bersatu?” ujar Nadea sedikit ketus. Ekspresi wajahnya ketika marah tampak sangat menggemaskan.
“De, Aku tidak sanggup jika kamu memintaku untuk menjadi jembatan penghubung cintamu kepada Surya. Melihat kedekatan kalian saja sudah membuat hatiku sakit. Kuharap kamu mengerti. Aku akan mundur perlahan, De. Aku akan berusaha menjauhi Surya. Berusahalah menggapai cinta dengan tanganmu sendiri, De. Tolong bantu aku untuk memadamkan perasaan ini.” Nadea langsung kembali memelukku setelah mendengar perkataanku.
“Terima kasih, Yu. Kebaikanmu tidak akan pernah kulupakan. Aku berjanji akan membuat Surya berpaling darimu.”
***
Kring ... kring ... kring ... suara bel pulang sekolah berbunyi. Para guru langsung menutup pertemuan hari ini dan merapihkankan peralatan mengajarnya dibantu oleh ketua kelas. Sementara murid yang lain juga sibuk menata buku dan alat tulis di dalam tas mereka sebelum keluar kelas. Sementara aku dan Yunita langsung mengambil peralatan kebersihan karena hari ini jadwal kami untuk piket harian. Aku sengaja berlama-lama menyelesaikan tugasku dengan harapan Surya tidak menungguku di depan gerbang. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16:30. Sudah hampir 2 jam aku dan Yunita membersihkan kelas. Anggota piket yang lain sudah pulang sejak 1 jam yang lalu.
”Ayo pulang, Yu. Sudah kesorean kita,” gumam Yunita sambil menggendong tasnya. Aku masih duduk terdiam sambil memandang awan dari jendela kelas. Aku masih ragu untuk pulang. Perasaanku mengatakan jika Surya masih disana.
“Kita shalat ashar dulu yuk sebelum pulang. Kita hadapi bersama jika dia masih disana,” ujar Yunita tersenyum sambil menarik tanganku untuk berdiri. Ketika aku dan Yunita berjalan di lorong masuk menuju gerbang sekolah, kulihat seorang siswa ber
sweater abu-abu tengah duduk diatas sepeda motor
matic yang terparkir di depan gerbang sekolah.
“Astaga ... itu Surya, Yu ... dia pasti lagi nungguin kamu,” ujar Yunita. Aku masih menatap Surya dari kejauhan. Wajahnya tampak gusar dan sesekali melihat layar
handphone miliknya.
“Ayo, Yu. Kita lewat belakang saja. Aku tahu celah tembok yang biasa digunakan anak-anak untuk kabur,” ujar Yunita sambil menarik tangan kananku. Namun aku masih tetap terdiam dan mengedarkan pandanganku ke halaman parkir di dekat gerbang sekolah. Kulihat disana seorang siswi tengah berdiri tegak di tengah hangatnya sinar matahari sore. Ia terus berdiri menatap ke arah Surya walau peluhnya terus berjatuhan membasahi baju seragamnya. Aku sangat terkejut ketika aku memperjelas pandanganku ke arah siswi tersebut.
“I ... itu bukannya Nadea, Nit?” tanyaku sambil mengarahkan jari telunjukku ke arah siswi tersebut.
“Iya, Yu ... itu memang Nadea. Sedang apa dia disana?” tanya Yunita penasaran.
“Sebelum kita berpisah di mushola saat istirahat tadi, aku sempat menceritakan surat yang diberikan Surya pada Nadea, Nit. Dia bilang dia akan emngajak Surya pulang bersama sehingga tidak sempat bertemu denganku,” ujarku tertunduk.
“Astaga ... ternyata ini bagian dari drama percintaan kalian,” gumam Yunita dengan mata terus menatap ke arah Surya dan Nadea. Sudah 15 menit aku dan Yunita melihat dan menunggu apa yang taerjadi antara Surya dan Nadea. Langit sore yang berwarna jingga sudah mulai berubah menjadi kehitaman pertanda malam akan segera tiba. Kulihat Surya menyalakan motornya dan mengemudikannya ke arah parkiran. Ketika sampai di depan Nadea, ia berhenti dan turun dari motornya. Mereka tampak saling menatap dan berbicara. Ketika Surya memberikan sebuah minuman botol kepada sang gadis, Nadea langsung menyambutnya dengan memeluk Surya. Aku hanya mengeratkan genggamanku di tangan Yunita saat melihat kejadian yang sangat menyayat hatiku. Yunita tampaknya tahu isi hatiku hanya mengelus pundak kiriku. Setelah mereka selesai berpelukan, kulihat Surya melepas
sweater miliknya dan memakaikannya ke Nadea persis seperti apa yang kualami saat malam pensi. Aku hanya bisa menatap kemesraan mereka dengan mata berlinag dan hati terluka. Surya lalu membonceng Nadea yang duduk dengan posisi merapat memeluk pinggang Surya sebelum mereka pergi dan menghilang di jalan raya. Perlahan air mataku mulai menetes membasahi pipiku. Hatiku terasa lebih sakit dibandingkan rasa sesak yang kualami saat pertemuan pertamaku dengan Surya. Yunita kemudian mengambil sapu tangannya di dalam tas dan mengusap lembut air mataku.
“Tabahkanlah hatimu, Yu. Ini baru awal ... masih banyak kejadian yang akan melukai hatimu nanti. Inilah resiko dari pilihan yang kamu ambil. Begitulah cinta. Deritanya tiada akhir. Jadi biasakanlah dirimu,” ujar Yunita sambil mendekap kepalaku.
“Malam ini aku akan menemanimu. Aku akan meminta izin ibuku untuk menginap di rumahmu. Kebetulan aku punya stok drama komedi yang cukup banyak di laptopku. Ayu kita nonton sampai rasa sedih dihatimu menghilang,” hibur Ayu sambil mengelus kepalaku.
“Terima kasih, Nit ... kamu memang sahabatku yang terbaik ... hu .. hu...” tangisku yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah saat aku memeluk Yunita dengan erat.