Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Credit Marketing Oficcer (CMO) Remake

Status
Please reply by conversation.
Baru kali ini aku melihat Bunda menangis, terakhir kali aku melihat Bunda menangis, ketika Bapak meninggal beberapa tahun yang lalu, dan semenjak itu, aku tak perna lagi melihat Bunda menitikan air matanya, dia adalah wanita yang kuat.

Tapi malam ini, aku kembali melihat Bunda menangis, membuatku ikut terbawa suasana sedih.

Aku memberanikan diri masuk kedalam kamarnya, melangkahkan kakiku dengan perlahan agar tak mengagetkannya, Bunda buru-buru mengusap air matanya saat ia melihat kedatanganku, seakan ia tak ingin terlihat lemah di hadapanku, padahal aku ingin Bunda berbagi tentang apa yang membuatnya bersedih, dan aku berharap bisa menjadi pelipur hatinya.

Aku duduk di sampingnya, yang malam ini tidak biasanya ia mengenakan piyama tidur, karena biasanya ia lebih suka mengenakan gaun tidur yang seksi.

Bunda memiringkan wajahnya, seakan tak ingin melihatku. Entah kenapa aku menjadi takut, aku merasa Bunda sangat marah kepadaku, sampai-sampai dia tak ingin melihatku.

"Bunda kenapa?" Tanyaku memberanikan diri.

Dia menepis tanganku, ketika aku hendak memegang pundaknya yang terguncang akibat menahan tangisannya, membuatku makin merasa bersalah.

"Raka minta maaf, kalau Raka ada salah." Kataku.

"........"

"Bun... maafin Raka ya!"

"........." Bunda tetap diam.

"Bunda... Raka janji, gak akan mengulangi kesalahan Raka lagi." Kataku, berusaha membujuknya agar tak marah lagi kepadaku.

Bunda melihat kearahku. "Kamu tau, salahnya kamu di mana?" Tanyanya, aku tak tau harus menjawab apa, karena sejujurnya aku tidak tau di mana letak kesalahanku kepadanya.

Tapi aku tak perduli, walaupun aku tak merasa melakukan kesalahan, aku akan tetap meminta maaf.

"Tau gak?" Ulang Bunda.

"......" Aku tetap diam.

"Sudah Bunda duga!" Katanya kecewa.

Bunda beridiri dari duduknya, dan aku buru-buru bersujud di hadapannya, dan langsung menciumi kakinya, berharap ia tak pergi meninggalkanku.

"Raka tidak tau salahnya Raka di mana, tapi Raka benar-benar minta maaf kalau perna menyinggung perasaan Bunda, kalau Bunda marah, Raka haru sama siapa lagi kalau bukan sama Bunda." Aku memelas, berharap ia mau memaafkanku.

"......."

"Bunda..." Panggilku.

Bunda kembali duduk, tanpa mau memandangku "Dari mana kamu?" Ujar Bunda tegas.

Aku mengangkat wajahku, berlutut di hadapannya. "Raka dari rumahnya Kak Mutiara Bun!" Jawabku jujur, tak ingin dia marahi lagi.

"Ngapain? Ngentot?" Deg... Deg... Deg...

"Bu... Bunda kok ngomong gitu?" Tanyaku agak takut, sepertinya Bunda sangat marah.

"Makanya jawab! Kamu ngapain kesana sampe semalam ini." Oh Tuhan... aku tak mungkin berkata jujur kepadanya, bisa-bisa ia akan semakin marah kepadaku.

"Ta... tadi aku bantuin Kak Mutiara!" Jawabku terbata.

Sorot matanya tajam memandangku. "Bantu apa? Bantu puasin memeknya gitu?" Aku sangat kaget mendengar Bunda berkata begitu kasar.

Baru kali ini Bunda berkata sangat kasar kepadaku, padahal selama ini dia selalu menjaga ucapannya di depanku dan dia juga sangat baik kepadaku, tak perna sekalipun membentakku seperti ini.

Tapi malam ini dia sangat marah kepadaku, aku sendiri tak tau apa yang membuatnya begitu marah.

Bunda kembali melengoskan wajahnya, kedua tangannya mencengkram erat tepian tempat tidurnya. Kulihat payudarahnya bergerak naik turun mengikuti nafasnya yang memburu akibat menahan emosinya.

"Jawab Raka!" Lirih Bunda.

"Aku gak ngelakuin itu Bunda, sumpah." Jawabku berbohong kepadanya. "Tadi dia memintaku untuk mengangkut barang, soalnya di rumahnya lagi gak ada orang!" Jawabku beralasan.

"Masak sampe berjam-jam, hingga larut malam!"

"Ya Tuhan... ini masih jam 8 malam Bunda!" Kataku agak kesal melihat tingkah Bunda.

Bunda kembali berdiri, dari sorot matanya ia sangat marah kepadaku. Kemudian tanpa berkata lagi, ia langsung pergi menuju pintu kamar, hendak keluar meninggalkanku sendiri.

Oh Tuhan...
Aku ikut berdiri dan mengejarnya, lalu dengan satu gerakan lembut aku memeluknya dari belakang.

"Kapan Raka bohong?" Bisikku lirih.

Ternyata pelukanku membuat Bunda menghentikan langkahnya.

".........."

Aku membenamkan wajahku di lehernya, menghirup aroma tubuhnya yang wangi. "Bunda... jangan marah lagi, Raka benar-benar minta maaf, kalau Bunda marah, Raka harus sama siapa lagi? Raka cuman punya Bunda seorang." Kataku, sembari mempererat pelukan kedua tanganku di perutnya.

"Kan ada dia!"

"Beda Bunda, Raka sayangnya sama Bunda! Jangan tinggalin Raka ya Bun!" Ujarku membujuknya.

"Bener kamu gak ngapa-ngapain di rumahnya?"

"Sumpah Bun!" Jawabku cepat.

Kurasakan Bunda menggenggam tanganku, lalu dia melepas pelukannku, berbalik menghadapku, sembari menatap mataku.

Kubelai rambut Bunda, kuselipkan anak rambutnya di belakang telinganya. Bunda memasang wajah cemberut, tapi aku tau, ia sudah tak marah lagi seperti sebelumnya. Kuberanikan diri mengecup keningnya.

"Awas kalau kamu bohong!" Ancamnya.

Lalu dia memelukku, dan aku membalas memeluknya. Kubelai punggungnya lalu turun hingga kepinggulnya. "Raka sayang Bunda, jangan marah lagi ya Bun!" Bisikku di telinganya.

"Maafkan Bunda ya!" Ujarnya.

"Iya Bunda!" Jawabku.

Kruyuuukk... Kruuuuyuukk... Kruuuyuukk...
Bunda melepaskan pelukanku, lalu tersenyum geli mendengar suara perutku yang nyaring.

"Ada yang lagi kelaperan ni?" Goda Bunda.

Aku cengengesan sembari menggaruk-garuk bagian belakang kepalaku.

"Nanti Bunda masakin, kamu keluar dulu sebentar!" Ujar Bunda, mendorongku keluar seakan mengusirku, membuatku jengkel.

Tapi aku mengalah dan menuruti kemauannya, dari pada nanti dia marah lagi.

"Raka..." Aku menoleh kebelakang. "Bunda cinta Raka!" Lanjut Bunda dengan wajah bersemu merah, lalu dia menutup pintu kamarnya.

-------------

Selagi menunggu Bunda memasak, aku memutuskan untuk bersih-bersih sejenak, karena sehabis pertempuranku dengan terakhir bersama si janda Mutiara, aku belum sempat mandi, apa lagi tadi ada kejadian Bunda yang lagi marah.

Aku sendiri tak mengerti, kenapa Bunda seperti anak kecil. Cuman gara-gara aku main kerumah Kak Mutiara hingga pulang malam, ia jadi marah.

Dan parahnya dia sampe gak mau masak, bikin susah orang serumah.

Tapi untunglah, sepertimya sekarang Bunda sudah baikan, ia tidak marah lagi setelah di bujuk. Tapi aku sedikit khawatir, bagaimana kalau seandainya Bunda tau kalau ternyata aku membohonginya?.

Aku sendiri tak menyangkah, kalau Bunda bisa menebak dengan benar, apa yang sedang kulakukan di rumah Kak Mutiara, beruntung aku berhasil meyakinkannya.

Ah sudalah....

Selesai mandi, aku segera kekamarku berganti pakaian dengan pakaian santai, kaos oblong dan celana boxer. Lalu aku segera keluar kamar, menuju dapur rumahku.

Kulihat Bunda sedang memasak sesuatu di dapur, tapi kali ini ada yang beda dari sebelumnya.

Beberapa saat yang lalu aku melihat Bunda masih mengenakan piyama tidur biasa, tapi kali ini ia sudah berganti pakaian dengan gaun tidur yang seksi berwarna merah muda. Wooooww... Aku terperangah melihat tampilan Bunda saat ini.

"Eh sayang... udah mandinya?" Tanyanya sembari tersenyum dengan suara yang mendayu-dayu, beda dengan sebelumnya ketika ia sedang marah.

Aku menggaruk kepalaku. "Udah Bun, Eehmm.. masaknya udah selesai?" Tanyaku.

"Bentar lagi sayang." Jawabnya.

Aku berjalan menghampirinya, setiba di sampingnya seperti biasanya aku melingkarkan tanganku di pinggangnya yang ramping, sembari melihat apa yang sedang Bunda masak.

Sejenak mata kami berdua bertemu, entah kenapa sekarang wajah sedih itu berganti dengan wajah yang berseri-seri, seakan hati Bunda sedang berbunga-bunga.

"Udah sana... jangan ganggu Bunda masak!" Usir Bunda.

Aku berpindah kebelakang Bunda, lalu memeluknya dari belakang. "Gak ganggu kok Bun, cuman Raka mau nemenin aja." Jawabku cuek.

"Nemenin tapi meluk! Yang ada bunda malah keganggu masaknya." Protesnya.

Tapi seperti biasanya, ia tak perna berusaha menyingkirkan tanganku dari perutnya, malahan kulihat Bunda tampak begitu nyaman berada di dalam pelukanku, bahkan beberapa kali ia menyempatkan diri mengelus punggung tanganku, di sela-sela kesibukannya memasak, membuatku semakin erat memeluknya, sembari memperhatikan dirinya yang sedang memasak.

Melihat perubahan dirinya saat ini, membuatku tak mengerti, terkadang Bunda begitu dewasa, tapi tak jarang ia terlihat begitu manja kepadaku.

"Kok bajunya ganti Bun?" Tanyaku.

Dia tersenyum ringan. "Emangnya kenapa? Gak boleh? Kamu gak suka liat Bunda pake baju ini?" Katanya sembari memasang wajah ngambek.

"Suka kok Bun! Bunda jadi terlihat cantik." Bisikku.

"Cuman itu?" Dari nadanya, sepertinya dia tidak puas dengan jawabanku barusan.

Kuberanikan diri mengecup pipinya dari belakang. "Bunda juga seksi kok!" Pujiku, menggoda dirinya, kulihat Bunda mulai tak tenang.

Jangan-jangan Bunda terangsang? Ah... mana mungkin, Bunda bukan wanita seperti mereka.

"Tapi masih seksian janda sebelahkan!" Katanya sinis, membuatku serba salah. Sebenarnya ada apa dengan Bunda, apa dia cemburu? Masak cemburu sama anaknya sendiri, kalau aku kekasihnya, mungkin cemburu adalah jawaban yang tepat.

Tapi dia Ibuku, mana mungkin dia cemburu terhadap anaknya sendiri. Tapi kalau Bunda tidak cemburu, kenapa Bunda terlihat sangat sinis terhadap Mutiara.

Ah... sudalah, semakin di pikirkan, semakin membuatku tak mengerti dengan sikap Bunda malam ini.

"Siapa bilang?"

"Kamukan lebih suka ngeliatin janda sebelah di bandingkan Bunda." Omelnya, membuatku makin serba salah menjawabnya.

Aku menghela nafas. "Bagi Raka, Bunda wanita tercantik dan paling seksi di dunia ini, jadi Bunda jangan mikir yang aneh-aneh lagi tentang Raka. Karena Bunda sangat special di hati Raka." Jelasku, sambil berulang kali mencium pipinya.

"Bohong, Tiarakan juga cantik."

"Bun... Kak Tiara memang cantik, tapi Bunda jauh lebih cantik dan seksi dari dia! Raka aja mau kok jadi pacarnya Bunda." Kataku jujur apa adanya, karena Bunda memang tipe wanita yang aku suka.

"Kamu serius?" Ujar Bunda sumringah.

"........" Aku mengangguk.

"Gombaaaal.... udah sana, Bunda mau masak dulu! Kamu tunggu dulu di meja makan!" Suruhnya, dan akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkannya, agar Bunda tak berfikir yang aneh-aneh lagi.

Aku segera berjalan menuju meja makan, lalu duduk dengan tenang sembari memperhatikan Bunda yang sedang memasak.

Harus kuakui, memandangi Bunda memang tak perna membosankan. Selain wajahnya yang cantik, tubuh Bunda juga sangat menggairahkan, teteknya yang besar sangat menantang untuk di remas, membuatku ingin sekali merasakan tubuhnya.

"AAAUUWW..." Suara pekikan.

Aku terperanjak dari tempat dudukku, dan segera menghampiri Bunda yang sedang memegangi lututnya yang tampak sedikit memerah.

Aku segera berlutut di hadapan Bunda, kulihat betis dan lututnya tampak agak memerah, sepertinya ia terkena percikan minyak di dalam panci. Buru-buru aku meludahi tanganku, lalu mengusapkan di bagian betis dan lututnya yang sedikit terbakar.

"Masi sakit Bun?" Aku mengangkat wajahku, melihat wajahnya yang tampak malu-malu.

Deg.... deg... deg...
Oh Tuhan... kenapa aku jadi deg degkan seperti ini, ingat Raka dia Ibumu, dia tidak sama dengan wanita lain yang perna kamu goda. Hormati dia Raka, jangan sampai kamu melupakan status kalian.

Gleek...[/b] Aku menelan air liurku yang terasa hambar, ketika jemariku naik melewati lututnya, merasakan kehalusan kulitnya yang mulus.

Perlahan kulihat gaun tidur Bunda yang pendek, makin terangkat, memperlihat paha mulusnya, dan terus naik hingga celana dalam Bunda berbentuk g-string berwarna putih mengintip malu-malu dari balik gaun tidur Bunda yang begitu seksi.

Oh Tuhan... Celana dalam putih itu tampak sudah lecek dan berwarna kecoklatan.

"Di sini sakit gak Bun?" Ujarku lirih.

Tanganku mengusap-usap paha mulusnya, naik turun merasakan kelembutan kulitnya.

"Iya sayang, di situ agak perih!" Bisik Bunda.

"Aku sembuhin ya Bun?" Kataku meminta izin.

Bunda mengangguk, memberi lampu hijau bagiku untuk merasakan lebih lama paha mulusnya. Segera aku menjauhkan telapak tanganku untuk sesaat, lalu kembali meludahi telapak tanganku, dan kembali mengelus-elus paha mulusnya.

Semakin lama tanganku bergerak semakin jauh hingga menuju pangkal pahanya, sementara mataku tetap menatap nanar kearah vaginanya yang tersembunyi di balik kain segitiga mungil yang menutupinya.

"Aaghkk..." Lirih Bunda.

Tangannya yang masih memegang ujung gaun tidurnya tampak gemetar.

Jangan menghakimiku, aku tau kalau aku salah saat ini, merangsang Ibuku sendiri, walaupun dia bukan Ibu kandungku, seharusnya aku menghormatinya layaknya aku hormat kepada Ibu kandungku.

Tapi ketika nafsu sudah berbicara, norma-norma yang selama ini kepelajari sedari kecil, mendadak hilang entah kemana, aku sendiripun tak mengerti, kenapa aku bisa berbuat senekat ini dan sangat kurang ajar terhadap Istri dari mendiang Ayahku.

Andai dia melihat apa yang telah ku perbuat terhadap Istrinya dari surga, tentu ia akan sangat marah dan mengutuk perbuatanku saat ini.

Bunda membuka kedua kakinya, ketika jemariku semakin dalam membelai paha mulusnya, hingga kesela-sela selangkangannya yang tampak basah akibat terlalu banyak Bunda mengeluarkan ciaran precum dari dalam vaginanya.

Sembari membelai pahanya, kubuka jari kelingkingku hingga bisa menyentuh bibir vagina Bunda.

"OOOUGHKK..." Kepala Bunda mendongak keatas.

Aku tersenyum girang, dan elusanku semkin intens di pahanya, sementara jari kelingkingku bertugas menggesek-gesek bibir kemaluannya.

Hingga akhirnya pinggul Bunda bergetar, dan suara erangan dari bibirnya semakin sering terdengar, hingga akhirnya aku mendapatkan pemandangan yang luar biasa sangat menakjubkan.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrrrrrrrr.....
Seeeeeeeeeeerrrrrrrrrr.........
Seeeeeeeeeeeeeerrrrrrr........

Tubuh Bunda lunglai dan hampir saja terlentang, andai aku tak buru-buru menahan tubuhnya.

Mata kami bertemu, dengan jarak wajah yang begitu dekat, aku dapat merasakan hembusan nafas Bunda dari hidungnya, ah... bahkan Bunda harus bernafas dari mulutnya yang terbuka sedikit.

"Sayaaang!" Panggil Bunda.

Dia meletakan telapak tangannya di wajahku, dan kemudian aku semakin mendekatkan wajahku, hingga tinggal beberapa inci lagi aku berhasil melumat bibirnya yang merekah seksi kemerah-merahan, rasanya aku tak sabar ingin segera menikmatinya.

Bunda memejamkan matanya, seakan ia sudah pasrah menerima ciuman bibir dariku.

"Kakak...."

Deg...
Deg...
Deg...

Buru-buru kami tersadar dan saling menjauh, ketika mendengar panggilan Adikku.

"Bunda udah gak marah lagi ya?" Tanyanya.

Kugaruk kepala bagian belakangku, untuk menghilangkan ketegangan yang terjadi. "Eh... iya... Ehmm... kamu belum tidur Cindy?" Aku sempat melupakan keberadaan Cindy di rumah ini.

"Baru jam sembilan." Jawabnya.

Dia duduk di kursi sembari mengangkat kakinya hingga roknya tersibak dan aku dapat melihat celana dalamnya yang berwarna biru langit.

Sementara Bunda sudah mematikan kompornya. "Saatnya makan..." Ujar Bunda girang.

Aku segera duduk di meja makan, ketika Bunda menyiapkan makan malam kami. Walaupun sudah sangat terlambat, tapi aku senang, akhirnya aku bisa mengisi kekosongan di perutku.

---------------
 
Cemburu rupanya si bunda.. Dan si cindy sange ngelihat foreplay raka dan bunda..
 
:mantap: Udah update, wah Raka ga peka nih Bunda udah ngasih tanda2 .:coli: Apa Cindy juga mau digarap nih..:nenen: Tinggal nunggu eksekusinya aja nih.:konak: Kalo dapat SS jangan sampe mereka disia2kan kalo nanti Raka nikah dg cewe2 lain . Kasihan hidupnya mereka tergantung Raka. Apalagi Cindy masa depan masih panjang..:galau:
 
Nanti gan klu udah nyampe target, ane pasti update.
klu ad yg nanya knpa harus pake target? krna ane orang marketing, segalanya harus ad target.
Jadi maaf ya, gak ad mksud trtentu, cman untuk diri sndiri aja.
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd