7. Maharani Prameswari: The Wildest Side of an Introvert
Jujur saja, aku sempat ingin berhenti, rasa bersalah yang tak henti menghantuiku membuatku ingin mengakhiri petualangan ini. Aku mencoba lebih behave dan kalem seperti biasanya.
Di rumah pun, aku selalu berusaha untuk selalu melampiaskan hasrat seksualku kepada istriku. Istriku senang-senang saja ku setubuhi setiap hari, membuatnya semakin cinta dan mengganggapku lelaki setia.
Namun, kembali lagi, entah setan apa yang merasukiku. Selalu ada niat untuk mengakhiri, tapi banyaknya kesempatan di depan mataku membuat niatku buyar begitu saja, ya, aku melakukannya lagi.
Kali ini, Maharani Prameswari, si bungsu yang pernah gagal membina rumah tangga karena terjebak dalam toxic marriage. Kegagalan itu membuatnya trauma untuk menikah, sampai sekarang, ia sudah 4 tahun menjanda, tapi percayalah, ia tak terlihat seperti janda sama sekali!
Setelah Rani, panggilannya, tak sengaja melihatku menyetubuhi Tania di pantry, jauh di dalam lubuk hatinya, ia pun begitu rindu dicumbui dan digagahi seperti yang kulakukan kepada Tania tepatnya seminggu yang lalu. Aku sendiri yang tak menyadari bahwa Rani melihat kejadian di Pantry, melihat perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh Rani. Ia menjadi lebih terbuka denganku, terutama masalah seks, sebelumnya Rani memang cenderung tertutup, ketika misal rekan-rekan yang lain sedang membahas dan bercanda masalah seks, Rani hanya diam saja, sesekali ia ikut tertawa menghargai candaan rekanku yang lain. Dia sangat kikuk, mungkin memang orangnya cenderung introvert.
Pagi itu, seperti biasa kuawali hari dengan nongkrong di Pantry, karena di sanalah area bebas merokok yang tersedia di lantai atas.
"Dem, pinjem korek" Norman yang baru tiba di pantry menyalakan rokoknya
"Hari ini lu jalan apa di kantor bro?" tanyaku
"Gue mau ketemu bu Cindy bro, mau DO mobil"
"Oh Radio Dalam yak?"
"Hooh" jawabnya singkat
Selama kurang lebih 10 menit aku menghabiskan waktuku mengobrol dengan Norman, lalu Rani pun masuk ke pantry untuk membuat kopi.
Ia terlihat cantik dengan blouse tipis berwarna peach dengan belahan dada yang tak terlalu mencolok tapi entah mengapa terasa sangat sensual di mataku. Di antara rekan sales wanitaku, Rani memang berpenampilan paling "tertutup", tak seperti rekan salesku yang lain yang lebih terbuka. Selain itu, ia wanita yang kalem dan tak banyak bicara, dan pribadinya yang murah senyum membuat semua rekan sales menganggapnya sebagai adek kecil yang harus dilindungi.
"Hai Ran, baru dateng ya?" ucap Norman
"Iya mas, macet banget ya jalanan sekarang," balas Rani
"Hai Ran" sapaku
"Hai mas Dem" dengan senyum penuh arti ia menoleh ke arahku sambil berlalu menuju dispenser untuk membuat kopi. Ia wangi sekali.
Norman lalu berjalan keluar pantry karena harus menerima telepon, sekarang di pantry tinggal aku berdua dengan Rani.
"Tadi macet di mananya Ran?" ucapku membuka obrolan
"Itu mas, sepanjang blok A situ, gak bisa gerak tadi" ucapnya sambil menaruh kopinya yang sudah jadi
Aku pun mematikan rokokku yang masih setengah, menghormati Rani yang memang tidak merokok. Gestur-gestur kecil inilah yang kadang membuat Rani kagum padaku.
"Itu rokoknya masih setengah mas, gapapa gak usah dimatiin, santai aja" ucapnya sambil kemudian duduk di sofa Pantry
Di pantry sendiri hanya ada single sofa, Rani pun duduk di sofa, sedangkan aku duduk di atas meja pantry.
"Mas..."
"Iya Ran?"
"Eeee eh apa ya aku lupa mau ngomong apa tadi" ia tertawa kecil, seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan.
Aku sendiri belum ngeuh kalo Rani sudah tahu perihal kejadian di Pantry minggu kemarin.
"Hehe kenapa deh kamu" kutanggapi dengan sedikit menyunggingkan senyuman
"Oiya mas aku minta tolong sama mas boleh?" ia sudah mengingat ingin ngomong apa
"Sure, Ran, aku bisa bantu apa?"
"Aku mau minta temenin nanti DO mobil ke Pondok Indah, soalnya customernya rada rada nih, dari kemaren nanya detail banget masalah teknis, takut nanti nanyanya aneh-aneh" ucapnya agak panjang
"Oh boleh kok Ran, jam berapa?"
"Jam 10 mas"
"Ok then"
Ketika sedang asyik mengobrol dengan Rani, Tania masuk ke Pantry, membuat suasana agak sedikit awkward.
"Hai kalian, lagi ngapain nih di pantry berduaan? Mau berbuat yang nggak-nggak ya?" ucap Tania dengan santai
Rani yang mendengar ucapan Tania, tertawa ngakak sengakak-ngakaknya, ia sambil memegang perutnya saking puasnya tertawa.
Aku yang baru melihat Rani tertawa sepuas ini hanya bisa mendelik, sesekali mataku melirik ke kiri atas memikirkan makna tawaan lepas dari Rani.
"Apa dia lihat kejadian minggu kemarin ya?" batinku mencoba menerka
"Ran yaampun ketawanya ngakak banget, lagian kalo mau ena ena gapapa atuh, kan kamu udah lama tuh pasti gak dibelai lelaki, iya gak Dem?" Tania malah menggodaku yang pagi ini terlihat bingung. Memikirkan makna tawaan lepas Rani dan lirikan matanya terhadapku pas dia tertawa, seakan mengisyaratkan bahwa "AKU SUDAH LIHAT SEMUANYA DEMA," matanya seakan mengintimidasi dan berkata seperti itu.
"Hehe bisa aja mbak Tan" ucapku
Rani akhirnya berhenti tertawa, kembali ia melirik ke arahku, dan menahan tawanya sambil menutup mulut.
"Ini kenapa ya kok jadi awkward gini? Rani ketawanya ampe mau meninggoy gitu" lanjut Tania sambil terkekeh
"Haha gapapa mbak Tan, aku ngakak aja pas mbak Tan ngomong itu, gak tau kenapa" ucap Rani, lagi-lagi sambil melirik padaku.
"Hehe Rani lagi aneh nih hari ini" aku yang masih menatap penuh kebingungan mencoba mencairkan suasana.
"Sudah ah aku balik ke meja ya, dah guys" Tania meninggalkan kami berdua sambil menenteng kopi bikinannya yang sudah jadi.
"Ran, kenapa?" aku menatap matanya dengan penuh kebingungan
"Hahaha gapapa mas gapapa, sumpah gapapa," Rani masih menahan tawanya.
"Kamu aneh deh hari ini" aku tersenyum padanya
Rani mulai bisa mengontrol dirinya.
"Hehe nggak mas, kebetulan random aja ya mbak Tan bilang gitu, aku langsung kebayang aja gitu ada orang yang ML di sini, kan lucu ya kalo sampe kejadian, makanya aku ketawa tadi" ucapnya
"Hehe iya sih ya, lagian kayak gak ada tempat lain aja," ucapku dengan kagok
Rani malah kembali menahan tawanya.
"Ran" kali ini aku menatapnya serius meskipun masih tersenyum
Rani tak berhasil menahan tawanya, kali ini ia tertawa ngakak kembali, namun tiba-tiba ia memelukku, sambil meneruskan tawanya.
"Hahaha udah mas aku gak kuat lucu banget kamu" ia memelukku semakin erat
"Heh Ran, ada gila-gilanya kamu ya" ucapku sambil tertawa dan memeluknya balik.
Rani melepaskan tawanya, lalu dia menatapku, aku pun balik menatapnya. Dalam diam, jarak bibirku ke bibirnya kini hanya tinggal 5 cm. Darahku berdesir, jantungku berdegup kencang. Kurasakan juga jantungnya berdegup kencang, karena gundukan kembarnya yang indah, menempel di dadaku.
Kami hanya terdiam, dengan jarak bibir hanya 5cm, namun tiba-tiba...
"Assalamualaikum hai kalian" Jihan memasuki pantry, aku langsung agak menjauh dari Rani, begitu pun ia, namun Jihan terlanjur melihatnya.
"Hayooo lagi ngapain hayo. Emang sih pagi-pagi ujan gini ewita manjalita endolita lah ya, ya kan Dem?" Jihan menggodaku
"Hahaha ngomong apa sih kamu han," ucapku
"Rani kan jendes high quality ya gak Ran? Cucok lah Dem hihiw" ucap Jihan
"Hehe Kak Jihan ngarang aja deh" ucap Rani
Aku hanya tersenyum menatap Rani, lalu keluar dari Pantry.
Rani tersenyum tersipu.
*****
Waktu sudah menunjukkan jam 10, Rani menghampiriku yang sedang duduk di meja kerja.
"Mas, yuk?" ucapnya singkat
"Yuk"
Aku pun berdiri lalu berjalan ke arah showroom, diikuti Rani
Aku dengan Rani pun menuju Pondok Indah untuk serah terima mobil.
Di luar, hujan gerimis membasahi pagi Jakarta. Jakarta di akhir tahun memang selalu basah, namun tak kehilangan sedikit pun kisah di dalamnya.
"Ran, rumahnya nomor berapa?"
"Blok D1 nomor 36 mas" ucapnya singkat
Perjalanan kami terhalang macet, meskipun tempat tujuannya cukup dekat dengan kantor.
"Ran, aku penasaran deh, kenapa kamu tadi ketawa ngakak banget? Aku baru pertama kali lihat kamu ketawa kayak gitu" ucapku yang masih penasaran
"Hahaha mas ih malah diinget-inget lagi, lagian random banget ya mbak Tan ngomong begitu" ucap Rani
"Iya sih ya, hahaha" aku tertawa sekenanya meskipun belum puas dengan jawaban yang diberikan
Kami pun tiba di rumah customer. Setelah agak panjang menjelaskan hal teknis mengenai mobil yang dibelinya, akhirnya selesai sudah, customer yang bernama Pak Hardian itu pun memberi tip yang cukup besar untuk kami berdua.
"Makan dulu yuk, mas?" ajak Rani
"Yuk, makan apa kamu?"
"Terserah mas deh, aku ikut"
"Hmmm..all you can eat aja yuk?"
"yuk"
Aku pun mengarahkan tujuanku ke salah satu kedai all you can eat terkenal di Jakarta
Alunan lagu The Adams - Timur menemani perjalananku dan Rani, di tengah basahnya Jakarta..
Namun tiap kudengar namamu..
Makin terbayang masa depanku
Semakin jelas tujuan
Dan yang ku harus lakukan
....
Di lirik selanjutnya, aku bernyanyi mengikuti alunan lagu, dan pas di lirik..
Semua yang kita damba
Akan terasa seperti
Amat nyata...
Rani ikut bernyanyi dengan suara malu-malunya yang terdengar manis di tengah gerimis, lalu, tak sengaja matanya bertemu dengan mataku, ia tersenyum lalu memalingkan wajahnya ke depan.
"Ran, tau lagu ini juga?"
"Mas, favorit aku banget sih The Adams, hehe."
"Wah selera musik kita lumayan sama juga ya Ran"
"Iya mas, kapan-kapan nonton konser The Adams yuk?" ucapnya
Bibirnya agak tercekat, sebelum aku menjawab ajakannya, ia lebih dulu berucap..
"Bareng mbak Fina juga maksudnya hehe,"
"Oh emmm sure hahaha"
Aku mencoba mencairkan kecanggungan dengan tertawa.
Rani pun tertawa kecil
Kami pun akhirnya sampai di tempat tujuan, segera kuparkirkan mobilku dan kami pun menuju meja makan.
"Di luar apa di dalem?" ucapku
"Menurut mas enakkan di mana?" sambil mengerling genit ia menyadarkanku bahwa pertanyaanku sedikit ambigu
Kami berdua pun tertawa.
Kami pun memilih spot di luar karena ingin sambil menikmati gerimis.
"Mas"
"Ya Ran"
"Gimana kabar mbak Fina?"
"Baik kok, Ran. Keluarga kamu di rumah gimana kabar?"
"Sehat kok mas"
Waitress pun datang membawa perlengkapan untuk kami memasak.
"Mas mau apa aja? biar ku ambilin"
"Samain aja Ran, biar cepet"
"Yaudah tunggu ya"
Aku pun menunggu Rani menyiapkan bahan makanan sambil melihat handphone, 10 menit berlalu Rani pun datang dengan membawa beberapa jenis makanan yang siap diolah.
Bawaannya yang agak banyak membuat ia tak sengaja menyenggol kecap yang berada di mangkok kecil, blousenya pun terkena tumpahan.
"Yaaaah tumpah" ucap Rani saat menyadari kecap tumpah
Aku pun bergegas mengambil tisu lalu membersihkan tumpahan kecap di blousenya.
"Kamu ada tisu basah gak Ran?"
"Ini mas" Rani pun mengeluarkan tisu basah dari tasnya
Aku lalu membersihkan tumpahan kecap di blousenya, kulit perutnya pun menjadi lengket imbas dari tumpahan.
"Ran sorry ya kubuka blousenya"
"Iya mas"
Aku pun mengusap perutnya dengan tisu basah
"Better?"
"Yes mas, it's ok now"
Rani pun lalu duduk kembali, kali ini aku yang ke dalam untuk meminta beberapa bahan untuk diolah.
Tak berselang lama, makanan olahan kami pun sudah jadi, perut yang sudah sedari tadi kosong akhirnya terisi kembali.
"Mas"
"Iya Ran"
"Aku boleh minta tolong lagi?" ia sambil tersenyum menampakkan deretan giginya yang rapi dan putih
"Sure, Ran, just lemme know"
"Kayaknya aku harus ganti bajuku deh, lengket banget soalnya, nanti boleh mampir dulu ya ke apartku?"
"Oh, sure Ran. Kirain apa"
Setelah selesai makan siang, aku pun melaju mengantar Rani ke apartemennya.
Ah, here we go again. Pertanda apa ini? Apakah ini akan terjadi lagi? Aku tidak tau, apakah harus menamai ini kesempatan, atau ujian?? yang jelas, pertentangan hati ini terus saja terjadi sepanjang perjalananku bersama Rani kali ini.
"Mas depan belok kanan ya" ucap Rani mengaburkan lamunanku
"Oh, iya Ran"
Akhirnya aku pun sampai di apartemennya Rani.
"Hold on" aku menahannya untuk tidak turun terlebih dahulu. Kuambil pocket umbrella yang berada di sela door trim driver, lalu aku keluar dan berpindah ke kiri, membukakan pintu untuk Rani.
Gestur kecil dan ramah yang sering kutunjukkan untuk siapa pun (bukan untuk Rani saja) membuatku banyak disukai dan mudah mencari teman. Namun seringkali, banyak wanita yang terlalu jauh membaca pertanda.
Rani pun sebenarnya menaruh hati padaku, namun ia menaruh hormat pada istriku dan tak menginginkan kalo sampai mengganggu rumah tangga orang lain. Namun, semenjak kejadian di pantry itu, penilaian Rani berubah terhadapku, dari yang menilaiku lelaki setia, sampai timbul keinginan yang besar, yang muncul dari rasa kangen akan jamahan kehangatan pria yang disukainya, dan sialnya orangnya adalah aku.
Kami berdua pun memasuki lobby apartemen.
"Lantai berapa Ran?"
"Lantai 8 mas"
"Sejak kapan kamu tinggal di sini?"
"Udah mau setahun sih"
Semenjak bercerai, Rani kembali ke rumah orang tuanya di daerah Kemang, namun setahun terakhir ia memutuskan untuk tinggal di apartemen untuk menghemat waktu.
"Silakan masuk mas, maaf ya kalo berantakan"
Aku pun masuk ke apartemennya. Interiornya simple dan minimalis dengan konsep studio.
"Minum apa?"
"Teh tawar aja Ran, anget,"
"Ok"
Tak lama berselang, teh yang kupesan sudah di meja.
"Mas, aku mandi sekalian ya, badanku lengket, gapapa kan?"
"Sure, Ran. Take your time."
Aku terus memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Ku cek arloji, masih berputar dengan semestinya. Entah kenapa, aku merasakan ini dengan Rani. Setegang ini, padahal ngapa-ngapain pun belum. Kucoba menerka makna guratan dari kejadian yang terjadi hari ini, aku pun telah sampai pada suatu kesimpulan, bahwa, apa pun yang akan terjadi, maka terjadilah, dengan segala risiko yang tentunya kutanggung belakangan. Biasanya sih, penyesalan.
"Mas" panggilan Rani menyadarkanku
Aku pun menoleh dan seketika itu pula, aku merasakan percikan napsu berahi yang janggal, yang biasanya hanya kurasakan ketika bersama istriku. Rani, dengan tanktop putih tanpa behanya, keluar kamar mandi dengan mengikatkan handuk di pinggangnya. Rambutnya dibiarkan tergerai kering bekas hair dryer-an.
"Iya Ran?" ada jeda yang cukup lama dari panggilan Rani tadi
"Mas kok liatin akunya kaya gitu, jadi malu ih" ucapnya malu malu. Ia pun menuju kamarnya untuk berganti baju.
"Mas kalo mau nonton TV tinggal nyalain aja ya," Ucapnya dari dalam kamar
"Iya Ran"
Aku pun menyalakan TV, aku merasa aneh kali ini, napsuku tetap terjaga, tapi ada rasa lain yang sulit untuk diterjemahkan, tak seperti persetubuhanku dengan rekan salesku sebelumnya.
Tak lama kemudian, Rani sudah keluar kamar, tanktop hitamnya dipadukan dengan blazer navy dan rok mini di atas paha, membuatku terlena dan menatapnya cukup lama.
Udara yang dingin membuat putingnya tercetak jelas di balik tanktopnya. Tak seperti biasanya, kali ini ia tak memakai beha. Pikiranku kembali memerjemahkan pertanda-pertanda.
"Apakah dia sengaja memancing?
Atau,
Memang hanya sedang tak ingin memakai beha saja?"
Rani lalu duduk di sebelahku sambil membawa beberapa cemilan.
"Mas, nih ada cemilan"
"Iya Ran, makasi ya"
Aku benar-benar tak bisa mengendalikan situasi saat ini. Aku pasrah. Yang akan terjadi, terjadilah, meski pun pertentangan hati ini terus saja terjadi.
Aku hanya fokus saja melihat tayangan TV di depanku, namun ekor mataku menangkap sepasang mata yang sedang lekat menatap mataku. Aku menyadari, namun seperti belum siap untuk melirik ke arah di mana ia duduk.
"Mas"
"Iya Ran" aku menyahut panggilannya tanpa melirik ke arahnya
"Mas"
Panggilan keduanya membuatku melirik ke arahnya,
Lalu...
Rani mendekat ke arahku,lalu melipatkan kaki kanannya di atas pahaku, jarak kami begitu dekat, sedekat desah napas yang memburu di antara kami berdua, menerka yang akan terjadi selanjutnya, meski pun aku dan Rani sudah tahu, yang akan terjadi.
"I saw it all," desahnya persis di depan bibirku. Deru napasnya yang wangi dan hangat membuat adrenalinku benar-benar terpacu untuk melahap bibir tipis berwarna merah muda yang hanya 3cm di depanku.
"What are you talkin about?" ucapku memastikan. Aku sudah menduga bahwa apa yang ia maksud adalah kejadian di Pantry minggu lalu.
"Pantry." ucapnya singkat namun intimidatif.
"So?"
"If only I'd known you earlier"
Setelah Rani mengucapkan itu, bibirnya mendarat di bibirku, kurang lebih selama 10 detik bibir kami hanya menyentuh tanpa gerakan, seolah masing-masing sedang menerka atau pun tak percaya, bisa berada di situasi seperti ini.
Aku benar-benar tak berdaya kali ini. Sentuhan, ucapan, dan tatapan Rani begitu intimidatif. Seolah-olah berbicara "Biarkan aku yang memegang kendali"
Perlahan Rani mulai menggerakkan bibirnya. Aku mencoba meladeni gerakan bibirnya dengan perasaan yang masih terasa janggal.
"Mas sayang"
"Iya, Ran"
"Sampaikan maafku untuk mbak Fina ya"
"Maaf untuk apa?"
"Aku meminjam tubuh suaminya, seseorang yang sangat aku dambakan."
Aku seperti terhujam mendengar ucapan Rani. Baru kali ini aku dihinggapi perasaan seperti ini, perasaan yang entah perasaan apa, getarannya sama seperti pertama kali aku berhubungan badan dengan Fina.
"Damn, no no no, aku sudah punya Fina, aku mencintai istriku dan akan selalu" perlahan kucoba melawan ketidakberdayaan logikaku di hadapan Rani, kali ini kulumat bibirnya dengan ganas, tanganku mulai bergerilnya menyingkap tanktop putihnya, kini susunya nampak indah dan menggiurkan di mataku.
Aku mulai mengendalikan permainan, kulepas blazernya yang tadi sudah dipakai, setelah itu Rani melepas tanktop putihnya.
Rani melepas kancing kemejaku satu per satu, sambil terus berciuman, semua kancing kemejaku pun sudah tanggal, aku pun melepas kemeja dan kaos dalamku. Aku dan Rani sudah sama-sama topless.
"Mas" panggilnya dengan napas menderu
"Iya Ran"
"I've been waiting for this"
"Why me?"
Bibirnya tercekat, tanpa menjawab pertanyaannku, kini tangannya sudah meraba celanaku, dibukanya resleting celanaku dan sabuk tanpa gesper.
Ia meraba lembut kontolku, aku membalasnya dengan pilinan tanganku di puting susu sebelah kirinya, terdengar lenguhan yang begitu menggoda berahi.
Remasanku turun ke bagian pantatnya. Kuremas pantat sekalnya dan kubuka resleting celananya.
Rani sudah berhasil menanggalkan celanaku, sehingga hanya tersisa celana boxer dan gundukan alat pejantan yang siap untuk dihunuskan. Ia lalu bersimpuh dan perlahan menurunkan boxer dan celana dalamku.
Rani hanya bisa berdecak kagum melihat ukuran alat kejantananku yang mungkin baru pertama kali ia lihat. Ia tak mengatakan apa pun, namun dari sorot matanya kulihat ia mengagumi ukuran alat kejantananku.
Mulutnya pun sudah siap mengulum kontolku, kurasakan hangat mulutnya sangat terasa, batang beruratku seluruhnya telah dilahap "si anak bungsu yang introvert" ini
Setelah kurang lebih 3 menit, ia pun kembali berdiri, kami berciuman kembali, kali ini kubuka rokok pendeknya, celana dalam putihnya basah oleh cairan cintanya.
Kubaringkan tubuhnya di sofa.
"Mas, di kamar aja yuk"
Tanpa menjawab aku langsung membopongnya ke kamarnya. Kamar bernuansa peach yang sangat manis. Aku membaringkannya, lalu mendekatkan kepalaku ke liang kenikmatannya. Kusapu labia mayoranya dengan sapuan lidahku. Desahan dan lenguhannya terasa liar, tak seperti Rani yang kukenal selama ini. Aku memaklumi, sudah begitu lamanya ia merindukan badan kekar yang bisa menggagahinya dengan penuh cinta.
"Aaaaah mas...enak banget kamu"
Tak kupedulikan jambakannya di rambutku yang memintaku untuk menghentikan jilatan, malahan aku semakin liar dan tak terhentikan, akhirnya cairan cintanya yang mungkin sudah bertahun-tahun tak keluar, menampakkan dirinya. Kasur pun basah dibuatnya, kulihatnya tubuhnya melemas, aku lalu menghentikan jilatanku, kuelus batang kontolku dan bersiap untuk sesuatu yang mungkin akan membuatnya semakin tak berdaya.
"Bleeees!"
"aaaaah mas ssshhh emmmm"
Kumainkan tempo sepelan mungkin, entah kenapa aku ingin menyetubuhinya lebih lama sambil menatap matanya.
"Mas"
"Hmmm"
"Kenapa gak bilang sama aku dari dulu sih kalo kamu nakal kayak gini?" ucapannya diakhiri dengan menggigit bibir bawahnya
Kusunggingkan sebuah senyuman kepadanya, lalu kupercepat tempo sodokanku dalam posisi missionary
"Sssshhh aaah maas aku gak kuat, enak banget kamu sayaaaang aaah" "Cuuurr...seeeer"
Rani orgasme untuk kedua kalinya, sempat hanya putih matanya saja yang terlihat, badannya agak mengejang, lalu tak lama kemudian melemas.
"Kamu juga nakal ternyata ya anak bungsu"
Ucapku sambil kupercepat lagi sodokanku
Mendapat sodokan dengan tempo yang sama seperti sebelumnya, membuatnya kembali mengeluarkan cairan cintanya
"Maaaas gak kuat enak banget...aku keluar lagi mas aaaaah"
"Aaaaah yes maaaas"
Ketiga kalinya ia orgasme, badannya bergetar hebat. Rani menarik kepalaku dan kami berciuman.
Aku bangkit dan mencabut kontolku, kemudian aku berbaring, dan Rani berpindah posisi ke atasku.
Alat kejantananku kembali menghangat seiring ia yang memasukkan memeknya. Kini ia memegang kendali, badannya naik turun dan menghasilkan bunyi yang semakin menambah panas persetubuhan ini.
"Plok...plok...plok..plok.." "Aaaah yes masss"
Setelah 5 menit, Rani kelelahan akhirnya menghentikan gerakannya. Aku bangkit lalu memintanya berbalik badan. Kini, ia sudah menungging dan sudah pasrah untuk aku apa-apakan.
"Ran"
"Iya mas"
"Have you try anal?"
"Mas, belum, aku takut"
Aku sedikit kecewa namun mengerti dan menghargai.
"Mas"
"Iya Ran"
"Next time ya kalo aku sudah siap, pasti harus mas dan aku cuma mau mas yang anal aku"
"i...iya Ran, it's ok"
Aku agak terhenyak ketika ia bilang kalo pun ia mau dianal, ia hanya mau denganku.
Aku merasa tersanjung, di satu sisi pun juga merasa takut jika Rani beneran baper dan tak bisa lepas dariku.
Masih dalam posisi doggy, kumasukkan kontolku ke memeknya.
Kudengar erangan dan desahan Rani memang seperti sudah lama ia tak mendapat sentuhan lelaki. Kupercepat sodokanku, kurasakan batang kejantananku sudah mulai berkedut dan kurasakan semburan spermaku akan datang sebentar lagi. Kutepok pantatnya, aku pun turun dari kasur, begitu pun Rani, lalu aku berdiri dan mengocok kontolku, sementara Rani bersimpuh di hadapanku, menjulurkan lidah sambil menatap mataku dengan haus.
"I wanna cum baby"
"Cum all over my face baby"
"Aaaaaaah shhhiiiiit fuck" "crooot...crooot...crot"
Semburan spermaku membasahi wajah dan lidahnya, lalu ia langsung membersihkan sisa sperma di kontolku.
Rani mengambil tisu lalu mengelap wajahnya. Aku lemas dan terkulai di sofa.
"Mas"
"Iya Ran"
"Makasih banyak ya"
"Aku juga makasih, Ran"
"Jangan lupa sampaikan salam dan maafku"
"Iya, Ran"
Rani duduk di sebelahku, kemudian kami sempat berpelukan dan berciuman kembali.
"Mas"
"Iya Ran"
"Jangan kapok main ke sini ya" ucapnya manja sambil membelai dadaku
Aku hanya tersenyum lalu kuakhiri dengan mencium keningnya.
"Mas mandi yuk"
"Yuk"
Di kamar mandi, romansa itu bergetar lagi, aku menyetubuhinya sekali lagi.
Rani, si anak bungsu yang introvert pun akhirnya sudah berhasil kugagahi. Perasaan ini mungkin janggal, tapi aku menikmati detik demi detik kebersamaan kami berdua.
Setelah ini, ke mana akan ku labuhkan tubuhku?