Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Diam Diam Diam

Bimabet
Mantap Hu, tadinya di tengah² cerita ane ada rasa sedih sumpah dah, tp di ujung cerita malah ngaceng😅😅, kalau bisa Hu kasih sdkit mulustruasi biar tambah ngaceng pembacanya
 
PART 2


Mama terengah-engah di atas tubuhku. Tubuhnya lemas seperti orang lepas kerja rodi. Kuperhatikan lekat pada wajahnya, matanya terpejam, apa yang tengah terjadi di baliknya… aku tak pasti.


Penisku, sedikit berkurang tegangnya, masih menancap di dalam vagina Mama. Aku tak tahu harus bagaimana. Bingung ini luar biasa. Jadi aku diam saja.


Tak lama, setelah napasnya sedikit tenang, Mama beranjak dari atasku. Penisku terlepas dari kemaluannya. Dia lalu tidur telungkup di sampingku. Masih terpejam matanya. Aku agak curiga Mama tak tahu bagaimana harus memandangku jika membuka mata.


Aku menatap langit-langit kamar. Apa yang barusan terjadi? Apa maksudnya semua ini? Apa artinya semua luapan emosi yang tiba-tiba tumpah ruah ini?


Aku ingin menangis. Ingin tertawa. Ingin bertanya. Tapi seakan mulutku tak ada pada tempatnya. Semua pergolakan hanya mampu tersangkut di pangkal tenggorokanku.


Aku bahkan tak tahu jam berapa sekarang.


Ketika aku hampir menyerah atas semuanya dan pasrah pada godaan rasa kantuk, jantungku kembali tersentak, saat kudapati penisku yang sudah kendur sedang diurut pelan. Aku refleks menoleh ke arah Mama, matanya masih terpejam.


“Keluarin di pantat Mama, Van.” Ucap Mama.


Kata-kata itu. Kata-kata pertama yang keluar sejak aku mendapati Mama menangis di dadaku.


Aku bergeming. Seperti ada yang macet dalam otakku.


Mama terus mengurut penisku. Tak juga dia ereksi. Mungkin sebab masih konslet otakku.


Lalu dengan sigap Mama mencium bibirku. Kami bercipokan lagi. Otakku segera menyala lagi. Seperti mesin yang distarter. Seluruh tubuhku merespon lagi.


Kurang sepuluh detik penisku langsung mengacung.


Mama terus menciumiku, napasnya mulai sedikit naik lagi.


“Kalau udah mau, gesek-gesek di belahan pantat Mama.” Ucap Mama di sela-sela ciuman.


Aku mengangguk—di sela-sela ciuman.


Napasku mulai naik lagi. Mulai kurasakan semacam dorongan untuk menggesek-gesek alat kemaluanku.


Aku memberi isyarat, Mama melepas ciuman kami, lalu tidur telungkup. Aku bangkit, lalu bergulir ke kiri, posisiku kini bersimpuh dengan penis tegang tepat di atas belahan pantat Mama. Kuturunkan pinggulku, saat kulit kami saling bersentuhan di bawah sana, secara naluriah otot-otot pahaku segera membuat gerakan maju-mundur. Penisku pun bergesekan di atas belahan pantat Mama. Agak kesat, tapi aku tak terlalu ambil pusing.


Di atas meja belajar ada sebuah cermin. Dari situ bisa terlihat jelas sebagian hal yang tengah terjadi di atas ranjang. Gila. Betapa tidak senonohnya. Tampak selangkanganku beradu, bergesekan, menempel lekat di atas pantat Mama. Meski sesungguhnya tidak ada penetrasi, melihat dari cermin tampak seperti aku sedang benar menyenggamai ibuku sendiri.


Pemandangan itu meningkatkan rasa konakku. Lalu, aku baru menyadari betapa seksi leher Mama yang sebagian tertutupi rambutnya yang diikat sembarang. Tak tahan, aku pun menyosor leher itu dari belakang. Mama sedikit melenguh tapi tidak melarang. Mungkin hanya kaget.


Mama pasti merasakan genjotanku semakin cepat. Mama juga pasti mendengar suara eranganku.


Saat hampir puncak, kudekap Mama dengan melingkarkan lenganku di pundaknya. Mulutku meracau tak bisa kutahan.


“Ma… Mama!! Mama!!! Aahhhhh!!! Ma… Mama!!”


Batang penisku semakin kuat menekan buah belahan pantat Mama.


Mama pasti tahu aku sudah di ujung tanduk, maka dia naikkan sedikit pantatnya untuk semakin dalam menerima hentakan pinggulku.


Aku masih belum mengerti yang sebenarnya terjadi, tapi pada momen itu satu hal yang kuyakini, bahwa tak ada hal lain yang lebih kuinginkan selain segera menumpahkan cairan pejuku di atas tubuh perempuan yang sedang kugenjot di bawahku ini.


Hentakanku semakin tak karuan. Sekejap di luar batas waktu, sejenak beranjak dari dunia yang sementara, aku pun tiba di ujung nirwana. Kutumpahkan begitu banyak cairan peju, berlelehan di punggung dan pantat Mama-ku sayang.


Ahhhhhh…. lega luar biasa. Perasaanku mengalir deras, sumbatannya musnah terhempas.


“Udah?” Tanya Mama.


Aku mengangguk.


Kurebahkan tubuhku terlentang. Tiba-tiba aku jadi tersenyum seperti tanpa alasan. Benar-benar di luar kendali, otot-otot pipiku seperti punya mau sendiri. Dan aku tak peduli lagi harus menyembunyikan atau menahannya. Aku merasa jadi orang paling bebas di dunia.


Aku menengkok ke arah Mama dan memergoki Mama sedang melihat ke arahku. Dia langsung memalingkan wajahnya. Aku semakin tersenyum. Bahkan sedikit tertawa. Jika betul ini mimpi, rasanya ingin aku tertawa selepas-lepasnya.


Tapi bukan mimpi.


SIAL!!!!


INI SAMA SEKALI BUKAN MIMPI!!!


Sebab terdengar gedoran keras dari pintu kamarku. Lalu seseorang berusaha membuka paksa dari luar. Dia memanggil-manggil namaku. Bertanya apakah aku melihat Mama.


Aku lompat, hampir lari menerjang gagang pintu. Jantungku rasanya sudah nongol di kerongkongan.


Mama langsung terduduk. Tegang wajahnya menatapku. Mama membuka mulut tanpa bersuara. BAJU! Kami langsung belingsatan. Aku sih tinggal memakai lagi celanaku. Aku bahkan tak sempat mengenakan celana dalam.


Mama hampir merobek celananya ketika mau dipakai lagi. Saking paniknya, dia tidak bisa mengaitkan BH. Aku sigap membantunya.


Setelah berbaju lagi, kami saling pandang. Meski kondisinya sangat menegangkan, tak ayal, kurasa seperti ada bom tawa mau meledak dalam diriku. Juga di dalam Mama. Aku yakin itu.


Mama memberi isyarat untuk merapikan ranjang. Matanya mengerling.


Ini sinting. Gila! Apa-apaan semua ini?!


Mama mengatur napas beberapa saat.


Beberapa menit setelah si penggedor pergi, Mama membuka kunci perlahan, lalu menyelinap keluar.


Aku ditinggal di dalam kamar dengan perasaan yang sulit dilukiskan.


***


Seminggu setelah pemakaman aku kembali ke perantauan. Selama seminggu selepas kejadian itu, hubunganku dengan Mama…


Sial. Bagaimana menggambarkannya?


Kami masih jarang bicara. Sebatas dia menyuruhku makan—lazimnya semua ibu. Mama tak pernah masuk ke kamarku lagi—sebagaimana sebelumnya. Aku lebih banyak mengobrol dengan paman atau sepupu. Juga banyak waktu kuhabiskan mengasuh adik bungsu ketika Mama harus mengurus ini-itu soal administrasi.


Selama satu minggu selalu ada saja tamu yang datang. Kenalan Mama atau kenalan Bapak. Aku sungguh tidak menduga begitu banyak orang yang mengenal orang tuaku. Pada momen itu baru kusadari betul-betul betapa hebatnya Mama.


Sebelum melepasku berangkat, Mama menyeretku ke kamarnya. Jantungku langsung bergemuruh. (Ngerti lah ya…)


“Masih ada uang kamu? Kemaren kepake buat beli tiket bus kan?”


Jantungku kembali tenang.


Kujelaskan bahwa aku masih ada uang. Tapi aku belum bisa menjelaskan bahwa uangku ada yang berasal dari kerja paruh waktu. Aku belum bilang.


“Ini bawa.” Mama melesakkan lima lembar uang seratus ribu ke telapak tanganku. “Nanti Mama transfer kalo kurang.”


Aku ingin menolak uang itu. Tapi aku mengerti bahwa ketimbang aku yang butuh menerima uang, Mama sedang butuh memberiku uang. Dengan begitu, Mama sedang menguatkan dirinya sendiri.


Meskipun penghasilan Mama memang di atas penghasilan Bapak, tapi uang Bapak lah yang selama ini menjadi sumber belanja makan bulanan, uang jajan adik-adikku, dan tagihan seperti listrik dan sebagainya. Sementara Mama, hampir setiap bulan, Mama membeli atau mengganti perabotan rumah. Semuanya dalam cash.


Kini, Mama harus mengatur ulang perhitungan keuangan keluarga. Memberiku uang adalah caranya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa dia akan mampu menafkahi keluarga ini.


Ingin aku memeluk Mama seketika itu juga. Ingin kukatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa aku akan selalu siap apapun yang terjadi. Bahwa keluarga akan menjadi prioritasku nomor satu. Bahwa, bila perlu, aku akan berhenti kuliah dan segera mencari kerja untuk membantu beban keuangan keluarga (meski kutahu Mama pasti akan menolaknya mentah-mentah).


Semua pikiran dan perasaan itu, kembali macet, kali ini tersangkut di pangkal lidah. Namun, alih-alih, bibirku menyunggingkan senyum.


Lalu Mama otomatis membalas senyum itu.


Itulah—kalau ada—yang berubah.


Sepanjang perjalanan menuju kota perantauan, pikiranku tak henti mengangankan kemungkinan-kemungkinan. Sesekali aku nyengir menyadari kekonyolan benakku sendiri. Penumpang lain yang melihatku pasti sudah mengira aku sedang mabuk cinta.


Mungkin iya.


***


Siang itu, selepas praktikum Struktur Beton II, aku sedang makan sambil agak melamun di kantin teknik. Tiba-tiba seorang perempuan menghampiriku.


“Boleh duduk di sini?” Tanyanya.


Aku agak terkesiap karena pada saat itu pikiranku sedang tidak di tempat.


Aku tersenyum singkat dan mengangguk. Perempuan itu adalah salah satu asisten praktikum. Aku tidak ingat namanya, tapi aku ingat orangnya karena dia menggunakan aksesoris yang cukup ikonik: syal. Satu-satunya orang yang selalu menggunakan syal pada situasi apapun. Pagi, siang, sore, malam, panas, dingin, terik, maupun hujan. Mungkin semacam fashion trademark.


Dia bertanya apakah aku senggang besok malam—malam sabtu. Kujawab, tergantung. Aku tak pernah benar-benar senggang atau sibuk. Tergantung prioritas. Awalnya dia ragu, tapi setelah sebentar menoleh ke belakang, di sana berdiri dua orang temannya, dia pun berterus terang bahwa dia ingin mengajakku menonton ke bioskop.


Aku berpikir sejenak. Aku tidak terlalu suka menonton film bersama orang lain, apalagi yang tidak kukenal dengan baik. Tapi karena dia bilang ingin menonton sebauh judul film yang memang kunantikan pemutarannya, dan dia juga bilang bahwa dia sudah menonton semua film yang dibuat oleh sutradara itu, dan dia mengaku fans, maka itu sudah cukup bagiku untuk bilang ya.


Dia tampak senang ajakannya kuterima. Dia pergi setelah kami bertukar ID L*NE.


Aku segera menyelesaikan makanku, lalu bergegas menuju kantor bimbel tempatku bekerja paruh waktu.


Tempat bimbel ini sudah menjadi seperti rumah keduaku. Nyaman. Bahkan melebihi kamar kost. Seandainya ada ruangan kosong, tentu aku tak keberatan indekos di sana.


Manajer cabangku orang baik. Dia memaksa untuk membelikanku tiket bus ketika aku mendadak harus pulang. Dia sering mengajakku makan malam. Dia bilang kalau beres kuliahku, jika tak kunjung dapat kerja, dia pastikan aku langsung menjadi karyawan tetap penuh waktu di sana. Tapi dia tetap berharap aku mendapatkan pekerjaan terbaik sesuai dengan jurusanku.


Hari itu aku mengajar sekitar empat jam di sana. Ketika bersiap pulang, seperti biasa, manajerku bertanya apakah aku sudah makan. Seperti biasa, kujawab belum.


Kami makan malam di salah satu kedai sate klathak langganannya.


“Yang lain tuh pada gak suka sate klathak. Makanya aku seneng akhirnya ada yang bisa nemenin makan.” Jelasnya, ketika kutanya kenapa hanya aku saja yang selalu diajaknya makan malam.


Itu jawaban yang tidak memuaskan dan kurasa dia menyembunyikan sesuatu. Tapi sudahlah. Toh, aku ditraktirnya. Lagipula, kapan lagi aku bisa mendengarkan cerita perjalanan karir dan hidupnya yang seperti film blockbuster itu?


Manajerku lahir di Sumatera Utata, tumbuh besar di Sorong, pernah dua kali tinggal di luar negeri: Korea Selatan dan Nepal, pernah tertipu bisnis saham dengan kerugian mencapai 700 juta, pernah hampir di-DO karena mengangkat kasus pelecehan seksual oleh seorang pejabat kampus di masa kuliahnya. Dia menguasai 4 bahasa asing: bahasa Korea, bahasa Nepal, bahasa Magyar, dan tentu saja bahasa Inggris. Belum kemampuan bahasa daerahnya yang bisa membuatmu berpikir dia orang asli suatu daerah. Di usia belum genap 30 tahun dia sudah dipercaya menjadi manajer cabang di salah satu lembaga bimbel terkemuka.


Tapi yang paling gila dari semua itu adalah fakta bahwa dia sebetulnya sudah tidak perlu bekerja. Dia termasuk segelintir orang yang ketiban mujur ketika salah satu jenis uang kripto melejit nilai tukarnya. Dia segera menukar semua koinnya, lalu dia gunakan untuk membeli banyak kos-kosan, cukup banyak untuk dia setiap hari cuma butuh kipas-kipas uang saja. Tidak perlu bekerja.


Hal tergila kedua adalah dia cerita pernah melakukan ****** ketika usianya 23 tahun. Dia bilang hanya kepadaku dia menceritakan rahasia terdalamnya itu. Aku cuma bisa takjub. Respect.


“Aku kerja karena seneng aja lihatin anak sekolah ngejemput mimpi mereka.” Jelasnya saat kutanya kenapa dirinya yang sudah setajir itu malah merepotkan diri dengan bekerja.


“Manusia itu sebetulnya bukan butuh uang dalam hidup ini, tapi yang dibutuhin itu rasa seneng ketika menghasilkan uang atau ketika membelanjakan uang. Nah, ini sih soal selera. Kalau aku lebih suka yang pertama.”


Tak kusangka dalam hidupku bisa bertemu orang semacam dia.


Memang banyak kejutan dalam hidup. Baik maupun buruk.


Malam aku janjian untuk menonton, saat mengantre untuk membeli tiket film, aku baru ingat belum menelpon rumah hari itu karena kesibukan praktikum. Biasanya di jam itu aku selalu menelpon Mama. Sudah menjadi semacam kebiasaan sejak kumantapkan hati untuk menjadikan keluarga sebagai prioritas.


Telepon berdering sedikit lebih lama. Ke mana Mama? Masa jam segini masih di sekolah?


Telpon pertama tidak diangkat. Kucoba kedua kali. Lama juga berderingnya, tapi akhirnya diangkat.


“Ma… kok lama angkat telponnya?”


Hening sejenak. Aku langsung tidak enak pikiran.


“Halo…? Ma?”


“Halo…”


LHO! BUKAN SUARA MAMA!


“BU IS! MAMA KE MANA?!” Suaraku langsung meninggi.


Awalnya ragu-ragu, tapi akhirnya suara di seberang menceritakan apa yang terjadi.


Tanpa tunggu lama, aku langsung berlari melesat keluar. Aku lupa segala. Pikiranku adalah secepat mungkin menuju terminal bis.


Sialan! Apa aku harus pinjam duit kepada Miss Lia untuk tiket pesawat?! Tapi Miss Lia tak mungkin meminjamiku uang, dia pasti langsung membelikanku tiket first class tercepat. (Mungkin bila perlu dia terbangkan aku pakai jet pribadi. Aku tidak tahu seberapa kaya dia.)


Entah mujur atau apa, tiba di terminal aku langsung dapat bus yang 5 menit lagi berangkat. Di sepanjang perjalanan aku cuma bisa merapal doa.


***


“Ya habis Bu Is bilangnya Mama kepeleset di kamar mandi terus masuk IGD. SIAPA YANG GAK PANIK, COBA?!!”


“Mama gak kepeleset. Tadi agak linglung aja.”


“PINGSAN KOK DIBILANG LINGLUNG.”


Aku cukup yakin itu pertama kalinya aku merajuk di hadapan Mama dalam ingatanku. Mama tampak menahan ketawa. Bukan karakter kami menunjukkan emosi seperti itu. Aku memang marah betulan. Tapi aku tidak sangka bisa berbicara jutek.


Setelah diinfus dan diberi resep obat, Mama bisa pulang.


Mama kelelahan karena sekolah sedang mempersiapkan akreditasi. Ditambah minggu lalu adik bungsuku sakit meski tak sampai dirawat. Salah satu hal paling kubenci dari tipe orang seperti kami (aku dan Mama), adalah sulit untuk meminta tolong kepada orang lain kecuali sudah kepepet betul. Padahal kan itu justru bakal lebih merepotkan orang yang nanti dimintai tolong.


Sampai di rumah, ada beberapa sanak saudara yang sudah menunggu. Mereka tampak lega karena Mama cepat pulang dan tidak ada yang serius.


Kedua adikku sudah tidur. Di rumah kami ada tiga kamar: kamarku (di lantai 2), kamar Mama, dan kamar kedua adikku.


Semua sanak saudara dan Bu Is sudah pulang. Pagar dan pintu rumah dikunci. Ketika menginjakkan kaki di anak tangga ketiga menuju lantai 2, baru aku sadar kebodohanku: aku tidak membawa kunci kamarku sendiri. Tersimpan di lemariku di kamar kost.


Aku mengetuk pintu kamar Mama, lalu masuk.


“Kenapa, Van?” Mama sudah bersiap tidur.


“Ma, kunci cadangan kamar Evan di mana?”


“Emang kenapa?”


“Kunci kamar Evan di kost. Tadi kan buru-buru.”


Mama mengerutkan kening.


“Kalau ga di laci, ya di lemari.”


Aku bergegas mengecek laci.


“Ada nggak?”


Aku menggeleng, lalu bergegas membuka lemari.


“Gak ketemu juga di lemari.”


“Lagian udah lama juga, udah berapa tahun kan itu pintu kamar kamu.”


“Ya udah, Evan tidur di sofa depan aja.”


“Ih, ngaco kamu. Pegel nanti badannya. Mana baru perjalanan jauh.”


“Ya mau gimana, orang kekunci.”


“Ya udah tidur, di sini aja.”


Ide itu sebetulnya biasa saja. Seharusnya tidak terdengar aneh atau bagaimana.


Meskipun lelah perjalanan dan lelah karena sempat panik, itu tak menyurutkan jantungku untuk mulai bergemuruh ketika kurebahkan tubuh di samping Mama. Sebelumnya, ketika aku datang, Mama tidur menyamping, setelah aku bergabung, Mama tidur terlentang juga.


Mataku ngantuk luar biasa, tubuhku lelah, harusnya cukup menutup mata, langsung aku melayang tidur. Tapi jantung keparat ini tidak bisa diajak kompromi.


Aku gelisah. Bingung harus berbuat apa. Pilihan paling masuk akal bagiku tentu saja pindah ke sofa ruang depan, tapi sepertinya Mama belum tidur. Dia tidak akan membiarkanku.


Di tengah kegundahanku, Mama berbicara.


“Van,” ujarnya datar. “Maaf ya, gara-gara Mama kamu jadi pulang mendadak, padahal Mama ga kenapa-kenapa,” lanjutnya. “Kamu pasti capek.”


Aku otomatis menengok. Mata Mama terpejam. Ini aku mesti bilang apa, hoi?


“Nggak kok, Ma.”


Hening beberapa detik.


Entah dari mana juntrungannya, tapi kata-kata ini meluncur licin dari ujung lidahku.


“Lagian Evan juga kangen sama Mama.”


Padahal kata-kata itu biasa saja—seharusnya. Bukan hal aneh seorang anak bilang kangen kepada ibunya. Tapi kenapa jantungku makin berdisko. Sialan.


Aku antara tak berani dan setengah mampus ingin melihat wajah Mama. Lagi-lagi jantungku tersentak ketika aku menoleh, dan Mama ternyata sedang menatapku sambil tersenyum tipis—tapi, oh Tuhan, senyum itu seakan khusus terukir cuma untukku malam itu.


“Makasih ya,” ucap Mama sambil tetap melancarkan senyumnya.


Aku berusaha membalas senyum Mama, tapi berani taruhan senyumku pasti terlihat aneh akibat campuran emosi yang aku sendiri tak memahami.


“Tidur, yuk. Matiin lampunya.”


Tanganku otomatis mencetrek saklar lampu. Selanjutnya gelap. Tapi sepertinya aku akan bisa tidur. Bahkan mungkin indah tidurku, sebab dibekali senyum ibuku.


***


Mama menatapku dengan tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Senyumnya pun bukan senyum yang kutahu. Lain sekali. Itu sama-sekali baru.


Mama tidur terlentang. Kakinya mengangkang. Daerah selangkangan itu tertutup oleh cawet tipis berwarna biru muda.


Aku celingukan kiri-kanan.


Tidak ada siapa-siapa kan?


Ini… tidak apa-apa kan?


Aku mendekati Mama. Ingin aku langsung menerjangnya, tapi tubuhku seperti dalam kondisi autopilot.


Mama terus-terusan tersenyum, yang mana membuatku semakin gila. Tak tahan, kuhempaskan tubuhku menubruk Mama. Kami langsung berciuman. Lebih tepatnya, aku melumat bibir dan lidah Mama seperti orang belum makan tujuh hari.


Ini cukup menyenangkan tapi aneh rasanya. Aku seperti diburu-buru waktu. Seakan, kalau tidak cepat, maka semua momen yang sedang terjadi ini akan sirna seketika.


Aku bahkan tak sempat melihat atau memperhatikan wajah Mama. Fokus ciuman. Dan menggenjot selangkangan.


Lalu, tiba-tiba saja apa yang kusedot berganti dari bibir menjadi puncak buah dada. Sementara satu tanganku tengah meremas puncak yang satunya. Tak lupa genjotanku semakin menghujam keras, seperti mau mendobrak bumi.


Waktu terasa semakin menyusut dan menyusut. Rasanya aku dan segalanya yang terjadi ini akan segera musnah. Hilang. Seperti tak pernah ada.


Maka, berbekal ketakutan itu, pinggulku mempercepat hujamannya, berdebam di bawah sana. Semakin cepat dan kuat. Semakin meninggi dan terangkat. Semakin meluap.


Adegan selanjutnya 100% di luar kendali. Tapi memangnya siapa yang pegang kendali?


Aku? Dunia ini? Tikus got?


Suara ayam berkokok yang akhirnya memberi jawaban.


Napasku sedikit terengah. Rasanya seperti kembali dari perjalanan jauh. Rupanya aku masih di atas kasur. Mama sudah bangun duluan. Pasti itu suaranya sedang memasak sesuatu di dapur.


Butuh satu menit penuh untukku merangkum apa yang terjadi. Segera kuperiksa celana dalam. Benar saja, ada cairan kental di sana.


***


Mimpi yang kualami mungkin adalah perwujudan dari hasrat terpendam. Tapi aku masih sangat malu untuk mengakuinya.


Aku meyakini bahwa apa yang pernah terjadi di antara kami merupakan kejadian janggal yang tidak akan pernah diungkit lagi. Mama pun sepertinya ingin menganggap persetubuhan itu tak pernah terjadi di alam nyata. Anggap saja kami berdua sama-sama sedang bermimpi waktu itu. Atau mungkin itu diri kami dari semesta yang berbeda.


Itulah kesimpulan yang ku dapatkan setelah dua malam tidur bersebelahan dengan Mama tanpa kejadian apa-apa. Di malam kedua bahkan kami mengobrol cukup lama.


Mama bercerita tentang tempat kerjanya. Aku jadi kenal beberapa orang yang kutemui waktu masa berkabung. Mama juga bercerita tentang beberapa muridnya dengan penuh antusias. Sungguh mereka beruntung sekali punya guru seperti Mama.


Sepanjang Mama bicara semakin tinggi kekagumanku kepadanya. Sebagai seorang guru. Sebagai seorang ibu. Betapa luar biasa manusia yang di dalam nadiku mengalir darahnya ini.


Aku akhirnya memberitahu bahwa sudah hampir setahun aku melakukan kerja paruh waktu. Aku akhirnya membeberkan dengan gamblang kenapa di tahun-tahun awal kuliah aku begitu getol mengambil semester pendek. Lega rasanya setelah mencurahkan semua perasaan dan unek-unek yang selama ini kupendam. Aku merasa semakin berani menyambut masa yang akan datang.


Itulah suasana hatiku menjelang keberangkatanku kembali ke perantauan. Penuh dan damai.


Menjelang tengah hari, ketika aku bersiap-siap untuk ke terminal, Mama akan mengantarku, tiba-tiba hujan deras turun tanpa ampun.


Sialan! Makiku dalam hati.


“Evan naik Gr*b aja deh, Ma.”


“Ah, cuma hujan doang. Mama kan ada mantel.”


“Ini deres banget hujannya, Mama cantik…” ucapku gemas.


Tunggu. Apa maksudnya? Bisa-bisanya aku flirting. Apa-apaan.


“Ya udah, tunggu aja paling bentar juga reda.”


Fyuh… untung Mama tidak menanggapi perkataan anehku.


Hujannya memang begitu deras. Tapi tak ada jaminan akan segera reda.


Entah mengapa ada perasaan gelisah yang merayap di ujung kakiku. Ingin rasanya segera menerabas hujan. Kabur dari rumah yang hanya ada aku dan Mama di dalamnya. Kedua adikku kebetulan sedang di luar, bermain di rumah tetangga.


Suara hujan yang begitu nyaring seakan kalah bising oleh gejolak batinku. Otak bodoh ini langsung saja menyibak angan-angan yang selama dua hari ini mengendap-endap entah di mana.


Aku mulai mendengar dialog-dialog sinting di dalam kepala, ‘Mama mau nggak, ya?’ | ‘Mau apaan?!’ | ‘Itu.’ | ‘ITU APA, BANGSAT?!’ | *tertawa* ‘Yang jelas lu mau.’ | ‘BAJINGAN! APA MAKSUDNYA?’


“Si Adek kemana, ya?” Itu pertanyaan Mama. Kuharap itu pertanyaanku, sebab, pastinya akan terdengar lebih masuk akal jika terbit dari mulutku. Bagaimana mungkin Mama bertanya begitu sedangkan tadi dia sendiri yang mengantarkan mereka?


“Main di rumah Azka, kan?”


“Oh, iya, kok Mama lupa ya. Hahaha…”


“Ye… masa Mama udah pikun? Cantik-cantik pikun.”


ANJING! APA-APAAN?!


“Itu kamu lagi ngegombal apa lagi ngeledek, hah?!”


Mama mengatakan itu sambil mencubit pelan pipiku, seraya duduk di sampingku, begitu rapat, hingga aku bisa rasakan hangat tubuhnya.


“Dih… pede banget. Siapa yang mau gombalin?!”


“Jadi kamu ngeledek? Beraninya kamu ya, sama ibu sendiri.”


Mama mencubit pipiku kiri-kanan. Tanganku refleks memegang tangannya. Bukan untuk menghentikan cubitan, tapi karena ingin pegang saja.


Degup jantungku mulai mengalami eskalasi.


Dari cubitan, Mama beralih menggelitik perutku. Aku refleks ingin bangkit, tapi tangan Mama menahan tanganku begitu kuatnya. Aku tak punya pilihan selain menggelitik balik.


Kami berdua cekikikan seperti anak remaja.


Janggal sekali. Tapi sekaligus wajar, kan? Coba pikir saja: apa yang salah dari ibu dan anak saling bercanda?


Lama-lama, gelitikan itu berubah menjadi usapan—entah siapa yang mulai. Kami masih mengikik, saling pura-pura bahwa yang terjadi masih saling menggelitik. Tapi lama-lama, usapan itu semakin tegas.


Mama mengusap-usap dadaku. Aku mengusap-usap bagian pinggir perutnya.


Kami berhenti tertawa. Dan mataku memandang matanya. Matanya memandang mataku. Tatapan itu… aku tahu. Tapi sebetulnya aku berharap aku tidak tahu. Tapi aku tahu.


Sorot mata Mama tak kurang menyampaikan pesan bahwa diriku harus pasrah pada keadaan.


Ayo, kita bermimpi lagi.


Mama berdiri. Aku ikut berdiri sebab digandengnya tanganku. Aku berjalan mengikuti. Aku tahu. Sudah tahu. Mungkin sejak hujan turun. Kegelisahan itu sudah selesai melahapku dan pergi. Sekarang yang tertinggal cuma…


Meski kami berjalan pelan, aku melihat punggung Mama yang sedang menuntunku, tanpa perlu banyak waktu kami pun sampai.


Begitu aku melewati ambang pintu, Mama melepas gandengannya, lalu dengan sigap menutup pintu kamarnya.


‘klik’


Kudengar jelas suara engsel kunci.


Ah… aku menelan ludah. Kami saling pandang untuk sebentar saja. Cukup untuk batinku dan batinnya saling mengkonfirmasi. Lalu yang terjadi setelahnya hanya reaksi beruntun yang begitu alami.


Mulutku dan mulut Mama langsung saling nyosor. Tidak sabaran. Suara erangan langsung terdengar tanpa malu-malu.


Tanganku menggerayangi punggung Mama. Tangan Mama sedikit menjambak rambutku. Perlahan, kami bercipokan sambil bergeser ke arah kasur.


Betis Mama menubruk tepi ranjang. Mama membaringkan diri ke atas kasur, membawa serta tubuhku yang kemudian menindihnya. Ciuman kami tak terputus.


Aku sudah tak lagi mengindera apapun selain tubuh wanita ini. Seluruh sarafku seakan terpusat hanya padanya.


Tangan kananku memulai inisiasi. Hinggap ia di buah dada Mama yang masih tertutupi baju. Mama seketika menghentikan ciuman kami. Dipandangnya aku dengan tatapan penuh gairah. Senyumnya mengembang tanpa ditahan.


Aku mendaratkan lagi bibirku di bibir Mama, kali ini sambil kuremas pelan payudaranya. Lenguhan Mama bertambah dalam.


Tangan Mama menggerayangi pinggangku, lalu mencengkeram pantatku, mendorongnya ke bawah supaya selangkangan kami beradu.


Otomatis, pinggulku langsung bergerak pelan melakukan pergesekan. Mama mengerang semakin kencang, di tengah ciuman kami yang semakin basah dan berlelehan.


Tak tahan, Mama mendorong dadaku sampai aku terduduk. Tanpa menatap ke arahku, Mama melucuti ikat pinggangku, lalu membuka resleting celanaku. Kemudian Mama memelorotkan celanaku, sekaligus celana dalam, lalu dilemparnya dua potong pakaian itu sembarangan.


Penisku yang tegang menyembul bebas. Tanpa babibu, Mama mendekatkan wajahnya, lalu dilumatlah batang kemaluanku itu dengan laparnya.


Hangat dan licin rongga mulut Mama, serta pergerakan lidahnya yang bergulir melingkupi kepala penisku, sungguh di luar dugaan. Aku tak pernah menyangka Mama akan mengenyot penisku seperti ini.


Tanganku refleks menjambak rambut Mama. Tahu aku keenakan, Mama memperliar kulumannya. Juga, suara erangan Mama setiap kali kepala penisku menyentuh pangkal mulutnya. Aku bisa muncrat cepat jika terus begini.


Sedikit memaksa, kuangkat tubuh Mama. Sama kasarnya dengan Mama tadi melucuti celanaku, aku membuka kancing baju Mama satu per satu. Lalu, kuturunkan paksa BH-nya sehingga susu itu terkuak jelas di hadapanku. Sama buru-burunya seperti Mama tadi mengulum penisku, aku pun tanpa ampun menyedot puting susu Mama seperti kehausan.


Mama hampir berteriak. Tentu saja rambutku sudah tak karuan dia jambak.


Kumainkan lidahku di puting susu Mama, dengan gerakan cepat sampai terasa pegal. Tubuh Mama menggelinjang hebat. Jambakannya semakin kuat.


Lalu Mama menjenggut kepalaku, sehingga wajahku tepat di depan wajahnya.


“Ewe Mama, Van. Mama udah ga tahan.”


Kata-kata itu seperti bom atom meluluhlantakkan segala bentuk kesadaranku.


Kami bercipokan lagi dengan ganas. Mama perlahan merebahkan badannya sambil membawaku serta. Tubuhku mengikuti dengan selaras. Kaki Mama mengangkang penuh dan selangkangannya terbuka lebar.


Rok lebar yang dipakai Mama sama sekali tidak menjadi halangan. Hanya saja, cawet tipis berwarna biru muda itu masih di sana, bagian depannya terlihat sudah basah.


“Ayo masukin, sayang.” Ucap Mama sambil menyibak bagian bawah cawetnya sehingga terbukalah seluruh pintu menuju liang kewanitaannya.


Aku bahkan tak sempat mencerna bahwa itulah kali pertama dalam usia dewasaku Mama memanggilku sayang. Dan aku sepenuhnya paham bahwa kata sayang itu tidak dimaksudkan sebagai ungkapan sayang seorang ibu kepada seorang anak.


Kupegang penis tegangku, kubawa ke gergang depan vagina Mama. Langsung kudorong masuk karena aku memang bodoh. Tentu saja tidak bisa sebab sudutnya masih salah.


Tangan satu lagi menyibak labia mayor-nya, sehingga lubang itu menjadi jelas arahnya. Penisku langsung mengatur ulang sudut hantamnya, lalu…


“AHHHHHHHHHHHHH…!!! EVAANNNNNNN!!!”


Jika tanpa hujan deras, teriakan Mama akan terdengar sampai depan pekarangan rumah.


“Evaannnnn….!!” Mama menyebut namaku lagi, tapi kali ini dengan lirih.


Penisku sudah menancap ke dalam. Perlahan, kudorong semakin dalam. Dua tangan Mama mencengkeram punggungku.


Wajah Mama adalah yang juara. Dahinya mengkerut, matanya terbelalak tapi tak lama memejam lalu membuka lagi, dengan cepat, mulutnya menganga lebar, lenguhannya menggenang di tenggorokan.


Aku sendiri setengah mati menahan enak. Hangatnya rongga vagina Mama menyedot hampir 90% pertahananku. Kalau saja aku tak sayang dengan momen ini, mungkin sudah kugenjot kencang.


Aku mulai dengan gerakan perlahan, turun dan naik. Mama melingkarkan tangannya di leherku. Pandangan kami bertemu. Di tengah tampang horny-nya yang tak bisa dia tahan, Mama tersenyum manis kepadaku.


Aku tak tahan untuk tidak menciumnya lagi. Kali ini ciuman yang begitu khidmat.


Mama lalu mendekapku erat dan membelai-belai rambutku seolah menenangkan jiwaku. Baru pertama kali aku merasa diriku utuh. Padahal sebelumnya juga tak kurang apapun.


Kami bersetubuh tiga kali lebih lama dari yang pertama. Mama memintaku untuk ejakulasi di atas rambut kemaluannya. Aku pun patuh.


“Nanti beli kondom aja.” Ucap Mama saat sedang mengelap air maniku yang berceceran.


Sepertinya tak mungkin lagi aku mengambil semester pendek.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd