Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Diam Diam Diam

Masa liburan kini menjadi waktu yang paling kutunggu-tunggu. Ingin rasanya pulang ke rumah sebulan sekali, tapi ongkos tak masuk anggaran. Masih terbayang-bayang di dalam benakku, siang menjelang sore itu, hujan sudah reda, kami berboncengan motor. Hal yang biasa saja sebetulnya. Tapi ketika Mama melingkarkan tangannya, memelukku dari belakang, lebih tepatnya mendekapku, aku tahu kami berdua sama-sama tersenyum bodoh seperti remaja baru mulai pacaran.
Setiap malam terngiang-ngiang di telingaku, perkataan Mama waktu itu yang begitu mengejutkan. Luar biasa membuat konak. ‘Ewe Mama, Van.’ Terus-terusan menggema seperti sedang berhalusinasi. Tak jarang akhirnya aku masturbasi membayangkan Mama duduk di atasku sementara alat kelamin kami bersatu.
Meski hampir setiap hari menderita rasa horny yang tak tersampaikan, aku masih begitu sungkan untuk mengungkapkannya. Ingin sekali kutelpon Mama dan berkata jujur bahwa aku rindu. Dari dulu sudah rindu, tapi kini bertambah rindu karena bukan cuma ingin bertemu, melainkan juga mau bersatu.
Pernah suatu hari, saking horny tak terbendung, padahal sedang di dalam kelas mengikuti kuliah, aku buru-buru keluar menuju toilet. Aku naik ke lantai paling tinggi, mencari toilet paling sepi. Di dalam bilik toilet kutelepon Mama, berharap dia tidak sedang mengajar.
Hatiku tak karuan menunggu bunyi berdering. Tanganku satu sudah siaga menggenggam penis tegangku.
“Halo,” suara Mama menjadi aba-aba, tanganku mulai bergerak mengurut batang penis. “Kenapa, Van?”
Aku berusaha sekuat tenaga menyembunyikan desah yang menggerayangi tenggorokan.
“Nggak apa-apa, Ma. Mama lagi di sekolah?”
“Nggak. Mama lagi di dinas.”
“Ngapain di dinas?”
“Ngurus berkas. Ada program beasiswa buat beberapa murid Mama.”
Sungguh tak kuduga suara Mama saja bisa membuatku begitu bernafsu. Kocokan tanganku di penis semakin menggebu.
“Van…? Kamu nggak apa-apa?” Mama bertanya khawatir karena aku tak bersuara.
“Nggak apa-apa, Ma.”
“Nggak lagi sakit, kan?”
“Nggak kok, Ma.”
“Kamu emang nggak lagi kuliah jam segini nelpon Mama?”
“Eh… siang nanti sih. Ada praktikum.”
“Sampe sore, dong?”
“Iya, Ma.”
“Jangan telat makan, ya.”
“Iya, Ma. Mama juga.”
Diam beberapa saat. Ini tak boleh, aku harus terus mendengar suaranya.
“Ma, nanti bulan depan aku pulang, ya.”
“Iya. Makanya kamu harus jaga kesehatan ya. Biar bisa pulang.”
“Iya. Evan kangen banget sama Mama.”
Terdengar suara Mama tertawa kecil. Sial, merdu sekali.
“Iya… Mama juga kangen sama kamu, sayang.”
Tanpa terbendung aku pun langsung ejakulasi. Sebetulnya memang kata itu yang kutunggu-tunggu sedari awal.
“Makasih, Ma…” nafasku terengah-engah. Aku ragu Mama tidak menyadarinya.
“Iya… ya udah, sana balik ke kelas. Mama lanjut urus berkas, ya.”
“Iya, Ma.”
Telepon ditutup. Di tengah sisa-sisa rasa nikmat ejakulasi, otakku yang sedang agak blank belum bisa berpikir begitu jernih untuk menyadari bahwa Mama sepertinya tahu aku sedang membolos kelas dan mengocok di toilet.
***
Di salah satu sesi makan malam dengan Miss Lia, tiba-tiba dia bertanya apakah aku sudah punya pacar. Aku terkesiap, pada saat itu aku sedang membayangkan bagaimana indahnya kalau aku makan malam berdua dengan Mama. Miss Lia lanjut mengatakan bahwa akhir-akhir ini wajahku tampak lebih sumringah dari biasanya. Oleh karena itu dia curiga bahwa aku mulai berpacaran. Kujawab saja tidak. Kalau orang yang disuka apakah ada? Lanjut Miss Lia, bertanya. Aku mulai sedikit heran, rasanya malam ini Miss Lia sedikit berbeda. Pendek cerita, di luar dugaanku, di luar radar prediksiku, atau memang kepekaanku saja yang begitu tumpul, atau mungkin karena memang sedang kasmaran, tiba-tiba Miss Lia mengungkapkan perasaannya kepadaku. Dia bilang sudah menyukaiku sejak pertama bertemu, yaitu ketika aku melamar pekerjaan di tempatnya.
Aku langsung tertegun. Miss Lia tersenyum di hadapanku, bilang dia merasa lega akhirnya bisa mengungkapkan endapan rasa yang selama ini mati-matian dia tekan. Jantungku berdegup kencang tanpa terkendali. Tubuhku menjadi lemas. Sementara pikiranku seperti berhenti bekerja. Ingin rasanya aku luruh, meleleh dari kursi tempatku duduk, bersatu dengan tanah yang tak perlu dibingungkan dengan urusan perasaan.
Miss Lia cantik. Aku tak pernah memungkiri itu. Dia juga manusia hebat luar biasa. Mimpi apa aku sampai-sampai orang sekaliber dirinya mengaku suka pada orang sepertiku.
“Aku tahu perbedaan usia kita cukup jauh. Tapi aku lihat kamu itu lebih dewasa daripada kebanyakan laki-laki yang seusiamu, bahkan mungkin kamu lebih dewasa dibanding laki-laki yang seusiaku.” Miss Lia mengatakannya dengan mata berbinar-binar, seakan memujaku, seolah-olah aku ini orang hebat yang telah menyelamatkan negara di kehidupan lampau.
Wajahku pasti merah dan menghangat. Sesekali sekujur tubuhku bergetar. Merinding. Dipuji oleh orang secantik dan sehebat Miss Lia memang bisa berdampak demikian.
Hal pertama yang terucap dari mulutku adalah menyangkal semua puja-pujinya. Kukatakan bahwa aku hanya cowok biasa yang ingin melakukan yang terbaik untuk hidupku dan keluargaku. Miss Lia malah bilang bahwa justru itu poin paling penting yang dilihatnya dariku.
Sudah pasti Miss Lia melihat dengan jelas kondisiku yang amat mengenaskan, kikuk, bingung luar biasa. Jadi dia ucapkan bahwa aku tak perlu merespon segera. Dia memberiku waktu untuk berpikir. Miss Lia bilang untuk meresponku dengan sejujur-jujurnya, jangan memandang dirinya sebagai bosku di tempat kerja. Jika aku menolak perasaannya, itu tidak akan mempengaruhi apapun di tempat kerja. Begitu juga jika aku menerimanya. Dia akan tetap mengajakku makan malam apapun jawabanku. Kami akan tetap berteman.
Terakhir, yang membuatku semakin luluh adalah ketika Miss Lia meminta maaf, dia bilang bahwa keputusan egoisnya untuk menyatakan perasaan kepadaku pasti membuatku merasa tak nyaman.
Itu adalah makan malam terakhir sebelum aku pulang kampung karena sudah memasuki masa liburan. Malam itu aku tak bisa tidur barang sekejap. Mama menelpon dan bertanya tentang kepulanganku.
***
Sebelumnya, aku sudah membayangkan apa yang akan terjadi begitu pulang ke rumah. Aku akan membeli kondom dan mencari kesempatan secepat mungkin untuk langsung memadu cinta dengan Mama. Khayalanku sudah sangat melambung tinggi.
Jalan hidup berkata lain. Sepanjang perjalanan pulang aku kewalahan memikirkan pengakuan cinta Miss Lia. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul, yang aku sendiri bahkan terlalu takut untuk menengoknya–jangankan menjawab. Apa yang terjadi semisal pengakuan Miss Lia kuterima sebelum malam pertama hubunganku dengan Mama? Akankah aku bingung juga? Cuma laki-laki buta dan bodoh yang menolak perasaan perempuan sematang Miss Lia.
Seakan tak cukup kebingungan soal Miss Lia, di kepalaku juga bercokol kebingungan soal bagaimana aku harus menghadapi Mama. Apa sebenarnya yang aku khawatirkan? Apa sebenarnya yang aku inginkan?
Aku tak tahu apakah aku sial atau beruntung ketika Mama mengabari bahwa dia ada perjalanan dinas ke luar kota selama tiga hari. Sesampainya aku di rumah, Mama sudah berangkat dua jam sebelumnya.
Tapi itu hanya menunda. Aku tetap bingung apa yang harus kulakukan ketika nanti Mama pulang. Ini serba tak jelas. Ini memuakkan. Rasanya aku ingin menghilang saja.
Aku berharap waktu melambat, atau bahkan berhenti saja.
Yang terjadi justru sebaliknya. Tiga hari melesat tak berbekas. Mama dalam perjalanan pulang. Aku mengurung diri di dalam kamar sebab tak menemukan jalan. Aku bahkan tak tahu apakah ada jalan. Atau bahkan apakah aku harus berjalan. Aku merasa seluruh dunia sedang menertawaiku karena kebodohanku. Ingin rasanya ikut tertawa tapi tumpukan perasaan di dadaku begitu menyesakkan.
Dari kamarku di lantai dua, aku mendengar suara Mama pulang. Dua adikku langsung berlari dan menyambutnya dengan penuh keriangan. Bu Is memberikan laporan singkat soal kondisi rumah selama Mama pergi. Terselip kudengar namaku disebut.
Tak terasa air mataku luruh karena kesedihan mendalam tak mampu menyambut kepulangan Mama.
Kudengar langkah kaki Mama menaiki tangga, kudengar langkah kaki Mama berjalan menuju kamarku. Suara ketukan segera terdengar.
“Evan…? Mama pulang, sayang.”
Tangisanku semakin mendesak untuk keluar.
“Kamu sakit, sayang? Mama masuk ya?”
Mama mendapatiku sedang meringkuk menghadapnya. Terlihat jelas air mata berlelehan di wajahku, hanya lirih suara tangis yang masih bisa kubenamkan sebisa-bisaku saja.
Mama setengah berlari, menghampiriku. Langsung diusapnya wajahku, rambutku, dia genggam erat tanganku.
“Hei… hei… kamu kenapa sayang?”
Aku malah semakin menangis. Bahkan suaraku kini tak bisa kutahan lagi. Bagaimana mungkin, sudah tiga kali Mama memanggilku sayang.
Aku bangkit dan begitu saja menerjang Mama, memeluknya. Mama spontan mengusap-usap punggungku, tak lagi bertanya apa yang terjadi. Aku menangis di leher Mama yang masih terbalut jilbab. Aroma parfum dan keringat Mama langsung menyerbu indra penciumanku. Membangkitkan sesuatu.
Perlahan tangisanku reda karena sesuatu itu. Aku melonggarkan pelukan, segera tertunduk malu. Aku malu sekali dan mulai merasa apa yang kulakukan begitu konyol.
Saat Mama ada di hadapanku, semuanya begitu jelas.
Aku kangen Mama. Teramat sangat.
Mama mengusap-usap bekas air mata di pipiku. Ketika aku mengangkat wajah dan memandangnya, Mama sedang tersenyum kepadaku. Langsung berlaku duniaku penuh kembali dan tanpa ragu.
“Kangen…” hanya itu yang keluar dari mulutku. Seperti anak kecil merengek.
Mama tersenyum semakin lebar. “Maaf ya, pas kamu datang Mama malah pergi.”
Aku meraih tangan Mama, kuamati dengan mataku, lalu kubawa mendekat ke bibirku, lantas kucium tangan itu, kukecup dalam-dalam. Seharusnya itu biasa saja. Apa yang aneh dari seorang anak mencium tangan ibunya? Tapi tentu saja ada hal lain yang terjadi. Dalam persentuhan kulit dan bibir itu, aku menyampaikan betapa aku menantikan pertemuan dengan Mama. Betapa aku frustasi dan hampir gila diterkam rindu yang merajalela.
Malam itu aku merasa jauh lebih lebih baik dari sebelumnya meskipun tetap ada kegundahan yang menggantung.
Kami makan malam bersama, sekeluarga, Mama mengajak makan di luar. Adik-adikku begitu senang. Aku pun ikut larut dalam kesenangan semuanya.
Malam menjelang tidur, adik-adikku sudah tidur di kamar mereka, keteganganku meningkat lagi. Aku menduga-duga apa yang akan terjadi. Kalau saja aku pulang dengan keadaan biasa, pasti saat ini aku sudah menyelinap ke kamar Mama sambil menggigit sebungkus kondom. Tapi saat ini semuanya begitu abu-abu. Perasaanku belum bulat meskipun nafsuku sungguh menggebu-gebu.
Pintu kamarku diketuk, lalu tak lama Mama membukanya, hanya berdiri di ambang pintu. Mama memakai baju tidur baru.
Aku bangkit duduk di pinggir kasur. Mama berjalan pelan lalu duduk di sampingku. Aku tertunduk dan Mama memandangiku.
Mama memelukku dari samping. Ia sandarkan kepalanya di pundakku.
“Van…”
Aku menoleh. Mama juga mengangkat wajahnya sehingga kami saling tatap. Aku entah kenapa seperti tak sanggup berlama menyelam dalam matanya. Maka kupejamkan mata dan kumajukan wajahku. Tak lama ia bersambut.
Hangat bibir Mama menggetarkan urat jantungku. Ciuman kami begitu sopan dan sangat khidmat. Seisi ruangan seperti ikut menghangat.
Cukup lama kami berciuman, begitu nyaman sampai aku hampir ketiduran. Satu tangan Mama mengusap pahaku pelan.
Usapan di paha itu kemudian perlahan mengarah ke selangkangan, lalu perlahan tangan Mama mulai menyentuh penisku yang mulai tegang. Sambil tetap berciuman, Mama usap penisku dengan begitu lembut. Aku seperti sedang ditenangkan, tapi justru di bawahku semakin tegang. Sebuah kontradiksi yang melampaui batas rasa dan pikiran.
Mama membuka mulutku dengan mulutnya, lantas lidahku disedotnya. Ciuman kami mulai naik tensi. Tanganku mencengkeram bahu Mama, lalu kurasakan tangan Mama memegang tanganku itu, dan mengarahkannya. Kini dia hinggap di dada Mama. Lembut dan kenyalnya membuat penisku berkedut ria.
Menyadari itu, Mama menelusupkan tangannya ke balik celanaku. Lalu kulit tangannya menyentuh langsung kepala dan batang kemaluanku. Ia genggam dengan tekanan yang pas.
Decakan kecup antara dua bibir seirama dengan remasan dan kocokan pada dada dan kemaluan. Aku semakin hanyut dalam kemesraan. Lama sekali kami bercumbu. Mama lalu beranjak dari bibirku dan menyosor leherku. Tangannya masih aktif mengocok penisku, bahkan semakin cepat.
Saking enaknya aku tak sengaja mendesah. Mama mengangkat cipokannya untuk melihat wajahku. Dia tersenyum melihatku yang tersipu malu.
Dengan sigap, Mama memelorotkan celanaku. Apa yang mau dia buat? Mama lalu bersimpuh di depanku.
Penisku mengacung di hadapannya. Mama meraih penis itu dengan tangannya, mulai mengocok lagi sambil menatapku begitu tajamnya aku khawatir terkena demam saking merah padam wajahku ini.
Lalu, dengan senyumnya yang tak lepas-lepas itu, Mama mendekatkan wajahnya, lebih tepatnya mendekatkan bibirnya hingga kulit bibir itu berjarak sehelai kertas dari kepala penisku.
“Kalau mau keluar bilang, ya.” Titah Mama sebelum melahap penisku tanpa ragu.
Aku seketika mendesah lagi. Tanganku otomatis mencengkram pundak Mama.
Licin air liur Mama dan sedotan mulutnya segera mengirimkan sinyal kenikmatan yang begitu dahsyat ke seluruh bagian tubuhku.
“Mahhhh…”
Aku ingin keluar tapi sebenarnya aku tak mau cepat-cepat berakhir. Aku sedikit menahan gerakan Mama. Seperti membaca pikiranku, Mama memperlambat gerakannya, bahkan terkadang berhenti.
Namun, tetap saja, setiap sedotan, gerakan lidah, dan kocokan yang Mama berikan semakin menyudutkan pertahananku.

Tak butuh lama aku akhirnya memberi Mama aba-aba.
Mama melepaskan kulumannya, lalu tangannya bergerak sangat cepat mengocok penisku, sambil dia berkata, “Ayo, sayang, keluarin, sayang.” Matanya menatap wajahku meskipun aku cuma terpejam karena dikuasai saraf puncak menuju ejakulasi.
“Mahhh…,” tepat saat aku memanggilnya, air maniku melesat dengan kuat. Hentakan pertama tepat mendarat di pipi Mama.
Mama mengurut penisku sampai keluar semua muntahannya.
“Banyak banget keluarnya…,” komentar Mama sambil memperhatikan air maniku yang berceceran di wajahnya, di bajunya, juga di lantai, dan di tangannya yang masih menggenggam penisku yang mulai mengendur.
Mama mengambil tisu lalu membersihkan ceceran air mani di semua tempat, termasuk yang lumer di penisku. Mama lalu memakaikan lagi celanaku.
Sambil merapikan bajunya, Mama bertanya datar kepadaku tanpa melihatku.
“Kamu udah beli kondom?”
Aku kembali menegang, bukan di bawah sana, tapi leherku.
“B-b-belum, Ma.”
“Besok beli.” Lanjut Mama. Tak jelas apakah itu perintah atau permintaan atau Mama yang akan membeli.
 
Aaaaaaaaaaa 🤩🤩🤩🤩🤩 Akhirnya suhu @ku12ku0ku177ku1ruyuk update juga.

Speechless banget.

Semua sangat detail, terutama ketika suhu menjelaskan dilema dan pergolakan perasaan Evan ini. Ditembak, dan saking bingungnya, saking bergejolaknya... sampai hampir patah hati, sampai lupa beli kondom. Dan itu jadi momen cerita lanjutannya.

Semua tanpa melupakan momen orgasme. Memuaskan, memicu rasa penasaran tanpa bikin kentang. Hormat suhu
 
Yg ditunggu update juga ...
Karya suhu emang slalu berkesan di hati 👍100x
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd