Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Dian Sastrowardoyo dan Cintanya

Wangikehidupan

Guru Semprot
Daftar
13 Nov 2016
Post
539
Like diterima
2.168
Bimabet
Aku, Dian Sastrowardoyo. Usiaku empat belas tahun dengan tinggi badan 160 cm. Bersekolah di Sekolah Menengah Pertama, kelas 8 dan sekarang aku telah mempunyai pacar. Ibrahim, namanya. Kupanggil dia Baim. Biar mirip nama artis.
Pacarku lebih tua dua tahun dari aku. Dia bersekolah di Sekolah Menengah Pertama di tempat lain, kelas 9. Pacarku ganteng meskipun lebih pendek dariku, tapi, apa pun kata orang, dia tetap ganteng di mataku.
Pacarku baik dan perhatian. Setiap pulang sekolah, dia telah siap menunggu aku untuk diajaknya aku jalan-jalan dengan motor yang entah milik siapa karena kutahu dia tidak mempunyai motor. Aku juga tidak pernah menanya jam berapa sekolahnya bubar. Yang penting dia perhatian ke aku.
Dia adalah cinta pertamaku. Kata orang, cinta pertama adalah cinta sejati. Makanya aku memujanya. Akan kuserahkan segala yang kumiliki untuknya.
Aku pernah bertengkar dengan sepupuku gara-gara aku tetap keukeuh berpendapat pacar yang baik akan selalu menyenangkan pasangannya, akan melakukan apa pun demi sang pujaan hati.
"Apa pun akan kulakukan agar dia senang," aku ngotot.
"Biar pun kau hamil?"
"Iya. Tidak apa-apa aku hamil. Asal dengan dia hamilnya," ujarku, " Kami 'kan saling cinta."
Akhirnya aku bermusuhan dengan sepupuku itu. Tapi, tidak apa-apa aku kehilangan sepupu, asal aku tidak kehilangan pacar.
Lima bulan sudah perjalanan asmara kami. Kami merayakannya dengan cukup sederhana, tapi menyenangkan. Diajaknya aku ke rumah temannya. Di sana telah berkumpul teman satu gengnya dengan pasangan masing-masing.
Bangga sekali manakala dia memperkenalkan aku sebagai pacarnya kepada teman-temannya. Saat itu pula, di depan teman-temannya, dia menciumku. Sebenarnya sudah sering kami berciuman, tapi itu kami lakukan sambil sembunyi-sembunyi. Tapi, sekarang kami melakukannya didepan orang ramai. Mulanya aku malu, tapi karena dia meminta, maka aku mengikhlaskannya. Dia mencium pipiku, tapi, atas desakan teman-temannya, akhirnya dia meminta bibirku. Kupejamkan mata dan dia pun mengulum bibirku. Senangnya hati aku.
Saat Setyo, yang punya rumah, menghidupkan televisi, Baim mengajakku duduk berdua di kursi di dekat jendela. Setyo sendiri duduk di kursi lain didepan televisi bersama Tuti, pacarnya. Teman-teman yang lain pun duduk di tempat yang dipilih bersama pasangan masing-masing, tapi tetap dekat dengan televisi.
Film mulai berjalan. Di layar televisi terlihat seorang perempuan berselimut berbaring di tempat tidur. Kemudian datang seorang lelaki dan duduk di pinggir tempat tidur. Lelaki China itu tidak memakai baju, hanya mengenakan celana dalam saja.
Sambil berbincang-bincang dengan sang cewek, cowok itu mengambil tangan si cewek dan menariknya. Cewek itu itu pun duduk di tempat tidur sambil tetap menutupi badannya dengan selimut.
Saat tangan si cowok menarik selimut, ternyata si cewek tidak mengenakan apa-apa lagi, sehingga payudaranya yang putih montok itu terpampang jelas.
Ha! Mataku membelalak. Ini pasti film porno, batinku karena di adegan selanjutnya si cowok langsung meremas payudara itu dan si cewek memejamkan mata, menikmatinya. Langsung jantung ini berdetak tak karuan karena ini pertama aku menonton blue film, bareng sama pacarku lagi.
"Rumah ini kosong?" tanyaku pada Baim karena aku takut kegiatan kami ini diketahui orang.
"Kalau siang, rumah Setyo selalu kosong. Orang tuanya jualan di pasar Angso Duo," terang Baim dengan mata tetap mengarah ke televisi, "makanya rumah ini jadi tempat kumpul kami."
Kembali kuarahkan pandangan ke televisi. Di sana, terlihat si cowok yang sudah tidak lagi memakai celana dalam itu berdiri di tempat tidur, sehingga burungnya terlihat jelas.
Sambil tetap tersenyum, tangan si cewek meraih burung itu, lalu kepalanya mendekat untuk kemudian menjilatinya.
Cowok itu tampak kegelian dan aku merasa linu di mulut, juga di mulut bawah. Semoga Baim tidak melihat wajahku yang merah merona. Semoga dia tidak menyadari tubuhku yang gemetar.
Dikalungkannya tangan kirinya ke bahuku, mencium pipiku, sementara tangan satunya menarik tinggi rok sekolah yang kukenakan. Pahaku dirabanya, membuat bulu-bulu disekujur tubuh berdiri. Kedua pahaku membuka lebar agar jemarinya leluasa menyentuh area intimku yang masih tertutup celana dalam.
Karena teman-teman yang lain sudah saling merapatkan bibir, bibir kami pun saling kulum. Tapi, jemari Baim masih bermain di selangkanganku. Geli-geli enak.
Sambil tetap memainkan area intimku, Baim melepaskan bibirku. Layar televisi kini menayangkan si cewek, dengan kaki mengangkang, berada dibawah tindihan si cowok. Suara desahan si cewek keras terdengar sementara pantat si cowok bergerak maju mundur.
Kupandang teman-teman lain yang terbawa permainan aktor aktris di televisi. Di sudut sana, Maman sedang menyusu pada pasangannya. Di kursi depan televisi, Setyo masih menatap setia layar televisi, begitu pula Tuti yang ada di disampingnya. Sedang di kursi panjang, Ade yang memeluk Esti dari belakang, sedang meremas payudara Esti.
Baim menyenderkan diri ke sandaran kursi. Kakinya menyelonjor panjang, tangannya dengan bergegas membuka tali pinggang, melepaskan pengait kancing celana sekolah, dan menurunkan retsletingnya.
Baim memasukkan jemarinya ke celana dalamnya. Pantatnya terangkat dan, akhirnya, burungnya ditariknya keluar.
Burung punya Baim terlihat kecil dibanding burung punya bintang film yang sekarang sedang memajumundurkan pantatnya di belakang pantat si cewek yang menungging, suara si cewek tetap mendesah-desah.
Sambil meremas burungnya, Baim mengambil kepalaku dan dibawanya mendekat ke burungnya untuk ditempelkannya ke mulutku. Bau pengap terasa di hidungku, tapi tetap dipaksanya aku menelan burung itu. Akhirnya burung hitam penuh bulu keriting di pangkalnya itu lenyap dalam mulut.
Sambil mencekal rambut panjang sebahu milikku, Baim memajumundurkan kepalaku, sehingga burung itu hilang timbul di mulutku. Beberapa kali terasa badan Baim menggelinjang geli dan aku pun beberapa kali tersedak, nyaris muntah, akibat burung itu mengenai ujung mulutku.
Tak lama kemudian Baim menarik lepas kepalaku dari burungnya. Kutegakkan kepalaku menjauh dari alat kelamin Baim dan menghapus ludah di bibirku. Burung miliknya itu diremas-remas dengan posisi maju mundur. Seiring lenguhan yang keluar dari mulut Baim, ada cairan meloncat dari lubang yang ada di kepala burung, beberapa kali.
Setelah cipratan air berhenti, ia menyender di sandaran kursi. Wajahnya memerah dengan napasnya tersengal-sengal. Capek sekali dia kayaknya.
Film di televisi masih berlangsung. Kali ini si cowok berbaring di tempat tidur dan si cewek duduk di atasnya. Pantatnya bergerak maju mundur, desahannya tetap terdengar. Sementara Setyo sudah duduk manis dengan pasangannya, Ade masih bercipokan ria dengan Esti.
.....
Aku sedang menonton televisi saat handphone berbunyi. Ada chat masuk. Handphone kuambil, ternyata Baim yang mengirim. Segera kubuka dan kubaca. Girang hati ini. Dia menungguku di lapangan voli yang ada di depan jalan masuk ke rumahku.
Harus cepat, nanti dia marah, batinku. Kutinggalkan kursi dan menuju dapur. Jaket yang tergantung di balik pintu, kuambil. Lumayanlah daripada kedinginan nanti, pikirku.
Dengan perlahan, aku melongok ke kamar tidur. Adikku sudah nyenyak tidurnya. Jadi kututup kembali pintu. Setelah itu aku menuju kamar tidur mama. Tak kudengar suara dari dalam, maka, entah dapat ide dari mana, kuputar kunci yang menggantung di pintu. Mama dan adik terkunci di kamar tidur mereka.
Volume televisi kukecilkan. Lalu segera kutuju pintu keluar. Angin malam segera menyergap aku yang hanya bercelana pendek dan beryukensi ria saat telah berada di teras depan, tapi tak kuhiraukan. Asal bisa bertemu sang pujaan hati, hangat pasti.
Setelah mengunci pintu, aku bergegas menuju lapangan voli dimana Baim menunggu. Jalanan sangat sepi. Maklum malam sudah menunjukkan ke angka setengah dua belas.
Di sana, di ujung jalan sana, terlihat lampu dari motor menyapa aku. Sepertinya itu Baim. Entah motor siapa yang dipinjamnya kali ini. Kupercepat langkah karena aku sudah ingin berada di atas motor bersama Baim. Jalan-jalan membelah malam Jambi, memeluk erat tubuhnya. Berbagi kebahagiaan.
"Sendirian, Im?"tanyaku begitu sampai disampingnya.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Baim menghidupkan motor dan mempersilahkan aku naik. Begitu aku telah duduk dan memeluk pinggangnya, motor pun berjalan. Dingin mengepung kami. Kueratkan pelukan agar Baim merasa hangat didepanku.
Jambi, malam ini sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang lewat. Tapi, motor yang kami kendarai tetap melaju.
"Dingin nggak?"Baim bertanya. Tangannya memegang jemariku yang mendekap erat di perutnya.
Aku tidak menjawabnya. Aku hanya mempererat peganganku ke badannya, membaringkan kepala di punggungnya.
"Enaknya kemana kita, nih?"tanyanya lagi.
Jangan ditanya lagi, sayang, batinku, kemana pun pergi, aku akan ikut, asalkan bersama dirimu.
Kini kami melewati jalan menuju ke arah sekolah Baim. Di sepanjang jalan itu berjejer pepohonan rindang. Tempat yang tepat untuk mojok bagi pasangan yang sedang di mabuk cinta. Asal tahu saja, malam Jumat minggu kemarin, aku dan Baim nongkrong di sana, di warung Wak Nusi yang jika malam tidak pernah di huni.
Awalnya aku tidak mau saat diajaknya mampir di warung itu. Selain gelap, malam ini kan malam Jumat. Serem sangat duduk di sana. Tapi, karena Baim dapat meyakinkan aku, kami pun masuk ke dalam warung, setelah motor di parkir di belakang warung.
Kami duduk berdampingan di kursi panjang yang ada di dalam warung, saling menautkan bibir. Baim mengulum bibirku. Aku pun membalasnya, membiarkan tangannya meremas payudara.
Guk! Guk! Guk! Salakan anjing membuyarkan keasyikan kami. Berbarengan kami berdiri karena mengira ada orang yang mengetahui keberadaan kami di warung ini. Untungnya hanya sepasang anjing liar yang sedang birahi.
"Pergi, yuk."Aku melangkah keluar dari warung karena ada rasa takut di wajah Baim.
Baim menjajari aku yang berdiri di samping warung, bersembunyi di kegelapan atap warung. Ditariknya aku ke belakang warung tempat motor di parkir. Seram sekali keadaan di belakang warung. Gelap karena ada pohon besar yang berdiri menaungi kami.
"Seram, Im. Aku takut," ujarku sambil memegang tangannya.
Baim tersenyum. Mendorong aku ke dinding warung. Lalu, dengan bergegas ditariknya celanaku turun meninggalkan selangkangan. Setelah itu, dia pun menurunkan celana trainingnya, mengeluarkan burungnya.
Sebenarnya aku segan, takut kalau kelakuan kami ini diketahui orang, tapi, sebagai pacar yang baik, aku harus mengikuti kemauannya. Jadi, saat dia menempelkan burungnya ke selangkanganku, aku melebarkan dua paha agar burungnya dapat mencapai kemaluan milikku.
"Sakit, Im,"ucapku saat Baim memaksakan burungnya masuk ke lubang kemaluanku.
Baim menarik burungnya dari lubang kemaluanku. Dengan penuh nafsu, kaki kiriku diangkatnya tinggi, lalu burungnya ditusukkannya kembali. Rasa nyeri yang mendera selangkangan membuat aku mendorong dia menjauh dari organ intim milikku. Dengan segera kukenakan kembali celana dan menjauh dari Baim.
Baim memegang burungnya dengan kedua tangannya. Tak lama kemudian, tanganku terkena percikan air hangat yang kuperkirakan berasal dari burungnya. Mani? Aku tidak tahu.
B"Ada orang," ucapan Baim yang terdengar kesal membuyarkan ingatanku tentang pengalamanku malam itu.
Akhirnya motor melewati warung Wak Nusi. Ada motor yang terparkir di samping warung, bersembunyi dibawah kegelapan. Sementara pemiliknya tak terlihat. Barangkali mereka berada di dalam warung untuk memadu kasih atau, seperti yang kami lakukan kemarin, mereka berada di belakang warung yang gelap itu.
Baim tetap melajukan motornya, menjauhi warung Wak Nusi, memasuki jalan lain. Saat melewati satu pohon besar, Baim menghentikan motornya. Dia turun dari motor sementara aku tetap duduk di motor. Ditujunya batang pohon dan ia pun pipis di sana. Sialan! Dasar cowok, teriakku dalam hati sembari membuang wajah.
Tak lama menunggu, motor pun kembali berjalan dan kembali aku melingkarkan tangan dipinggangnya, menyandarkan diri ke badannya. Aku merasakan detak jantungnya yang bergerak cepat. Entah kenapa.
Motor masih berjalan lamban, menelusuri jalan yang kian sepi. Udara makin dingin. Aku tidak tahu sudah jam berapa saat ini. Yang pasti Baim mengelus tanganku, sehingga kueratkan pelukan ke tubuhnya. Kurasakan tangan ini dikecupnya, membuat rasa ini melayang tinggi.
Akhirnya tanganku dibawanya ke bawah, untuk menyentuh benda hangat di selangkangannya. Ternyata acara pipis di bawah pohon tadi adalah modus dia untuk mengeluarkan burung dari sarangnya. Baim menahan jemariku dan memaksa aku untuk meremasnya. Lembut dan berdenyut di dalam cekalan tanganku.
Maka di sepanjang jalan, jemari tangan ini tak melepaskannya karena tampaknya Baim menyukai remasan jemariku di kemaluannya. Dan motor tetap melaju tenang, menggilas aspal jalan, melalui waktu.
Kuangkat kepala dari punggungnya yang hangat saat menyadari motor berhenti. Karena Baim menyuruhku turun dari motor, aku pun turun dan berdiri di bawah kegelapan bangunan memanjang itu. Sepi. Hanya ada suara teriakan binatang malam. Pacarku mendorong motor memasuki gerombolan semak dan memarkirnya.
Kini, berdampingan kami duduk di pelataran bangunan yang sepi dan menakutkan itu. Kuabaikan rasa takut karena aku yakin akan aman bila ada Baim disampingku. Bibir kami bertaut. Kubiarkan tangannya menyelusup ke dalam kaosku.
mengambil payudaraku.
Saat angin malam bertiup deras menerjang kami, Baim meninggalkan bibirku. Didorongnya aku rebah. Kembali angin malam mendesir menerpa kemaluan yang telanjang saat celana yang kukenakan terlepas. Dengan napas memburu, sang kekasih tercinta bersimpuh di antara kedua paha, mengeluarkan burungnya. Mata ini terpejam kala Baim menempelkan burungnya ke lubang kemaluanku.
Kutahan rasa sakit yang hadir begitu burung itu memaksa masuk. Beberapa kali benda panjang hangat itu menusuk paksa ke kedalaman kemaluan hingga akhirnya satu sensasi yang tak bisa tergambarkan kualami. Apalagi saat burung itu bergerak memutari kemaluan. Tapi....
"Hei! Apa yang kalian lakukan?" Satu teriakan membuyarkan kenikmatan yang kurasa.
Baim menyentak keras burungnya dari kemaluanku dan meninggalkan aku yang masih berbaring. Spontan kututup selangkangan yang telanjang dengan kedua tangan. Dalam kekalutan yang melanda, kucoba mencari celana yang tadi kupakai, tapi entah dimana celana itu dibuang oleh Baim.
Mataku silau karena terjangan sinar lampu senter. Hiruk pikuk disekitarku. Mereka mengerubungi aku. Tangan-tangan itu menjamah tubuh ini. Beberapa kali payudara diremas tangan-tangan itu. Berkali-kali pula aku menepis tangan-tangan yang menempel di paha yang masih telanjang. Aku hanya bisa berontak. Aku hanya bisa menangis.
"Berhenti!"satu teriakan membuat kerumunan membuyar.
"Berhenti, kataku,"teriakan itu kembali terdengar karena beberapa orang masih menjahili tubuhku.
Akhirnya semua berhenti. Aku hanya bisa terduduk, menyembunyikan wajah diantara dua paha, sementara tangan tetap menutupi selangkangan yang masih telanjang. Air mata menderas, badanku gemetar, ketakutan membelenggu.
Seseorang melemparkan sarung kepadaku. Lalu,"Ayo, dipakai."
Serta merta sarung itu kugunakan untuk menutupi bagian bawah tubuhku yang sedari tadi menjadi bahan lecehan.
"Berdiri!"suara seorang lelaki terdengar. "Ayo, berdiri."
Sambil tetap menundukkan kepala, aku berdiri. Kupegangi sarung agar tidak terlepas turun. Suara-suara masih hiruk.
"Ayo, ikut!"Diambilnya tanganku, ditariknya. Tanpa berani menatap, aku mengikuti langkah-langkahnya, menuruni pelataran gedung, menelusuri aspal jalan hingga akhirnya tiba di teras sebuah rumah.
Kusembunyikan wajah lebih dalam karena ruangan rumah itu terang benderang. Apalagi ruangan itu penuh orang, belum lagi para penonton di jendela.
"Siapa namamu?"tanya seseorang."Dimana rumahmu?"
Di antara tangisan, pelan kusebut namaku, juga alamat rumahku.
"Siapa lelaki yang bersamamu tadi?"
Mendengar pertanyaan itu, spontan wajahku terangkat. Aku mencari kehadiran Baim, tapi pacarku itu menghilang. Aku kehilangan dia.
"Dia, pacarku."
"Dimana dia sekarang?"
Kembali aku merunduk. Aku tak bisa menjawab dua pertanyaan itu. Dia pacarku dan aku rela mengikuti kemauannya selama ini, tapi apa yang kudapat malam ini? Kemana dia sembunyi? Batinku.
"Kamu ada ha-pe?"tanya seorang perempuan, "coba telepon dia, pacarmu itu."
"Ha-pe saya hilang,"ucapku pelan.
"Kamu ingat nomor ha-pe-nya?"
Kuanggukan kepala.
"Pakai ha-pe ibu."Ibu itu menyodorkan handphone ke arahku.
Aku menatap si ibu. Lalu handphone itu kusambut. Untung aku mengingat nomor handphone Baim. Jadi, segera saja tersambung ke sana, tapi tidak terangkat. Kucoba lagi, lagi, dan lagi, tetap tidak terangkat.
"Coba lagi,"ucap sang ibu.
Kembali kutekan angka-angka itu, tetap tak diangkat. Sekali lagi kuulangi dan akhirnya terdengar suara yang teramat akrab di ujung sana.
"Kau dimana, Baim?"tanyaku kesal.
"Aku sudah di rumah,"jawabnya tanpa nada bersalah.
"Kau kemari. Tolong aku."
"Aku tidak boleh keluar rumah lagi."
Kekesalanku memuncak. Rasa marah memenuhi dada, tapi, ketidakberdayaan ini menimbulkan kebencian. Pacarku itu tenyata pengecut dan tidak bertanggung jawab. Kemana rasa cinta yang selalu diumbar-umbarnya selama ini bila dia menginginkan sesuatu dariku?
Perlahan air mata kembali turun. Ah, penyesalan selalu datang terlambat. Segera kuselesaikan pembicaraan dengan banci itu dan menyerahkan handphone kepada pemiliknya.
"Telepon orang tuamu."Si ibu menolak handphonenya kembali."Atau mana nomor telepon orang tuamu, biar ibu yang menelepon."
Aku menggelengkan kepala. Dengan berat hati kutekan nomor handphone mama. Tak lama Kemudian terdengar suara mama.
"Tolong Dian, Ma,"cuma itu yang keluar dari mulutku, selebihnya hanya tangisan.
Si ibu mengambil handphone dari genggamanku. Dengan panjang lebar ia berbicara dengan mama. Aku tidak faham karena kepalaku mendadak memberat, aku ingin tidur.
Aku terbangun akibat pijaran lampu yang tepat mengenai wajahku. Silau sekali. Bau aroma obat-obatan mendekap hidungku. Dalam bayangan samar pandanganku, kulihat beberapa orang berpakaian putih bergerak diantara aku yang terbaring. Dimana aku?
Kepalaku terangkat. Kuhisap air yang menempel di bibir. Lalu kembali aku terbaring. Antara sadar dan tidak, kedua pahaku diangkat dan digantung untuk kemudian dibuka lebar. Orang-orang berpakaian putih itu masih merubungi aku.
Aduh! Lubang kemaluanku dikuak seseorang. Ingin berontak, tapi tiada kekuatanku untuk melawan, bahkan untuk menutupkan kedua paha pun kutak mampu. Jemari orang itu masuk ke dalam kemaluanku, seperti mencari sesuatu di sana.
Merinding sekujur tubuhku. Rupanya kenikmatan yang aku terima dari Baim semalam masih tersisa dan kini terbangkitkan kembali akibat sentuhan jemari itu. Geli. Puting susuku mengeras.
Akhirnya jemari-jemari itu meninggalkan lubang kemaluan milikku. Lalu orang-orang berpakaian putih itu meninggalkan aku. Kakiku diturunkan kembali ke kasur dan aku tertidur.
Ada tangisan di sekitarku. Kubuka mata dan kukerjap-kerjapkan untuk memfokuskan pandangan, tetapi kembali kupejamkan karena pandangan terasa bergoyang-goyang.
"Dia sudah tidak perawan lagi, Ceu?" Itu suara mama di sela tangisannya.
"Dari hasil visum dokter tadi, iya, Ma." Pasti itu Ceu Titin, tetanggaku.
"Tapi, tadi, kata ibu yang ditelepon, Dian diperkosa,"kembali suara mama terdengar lirih.
"Saya tidak tahu, Ma. Yang pasti Dian sudah tidak perawan lagi."
Tangisan mama mengeras. Aku pun menangis, pelan. Hanya air mata yang keluar, tanpa suara.
Dimana kamu, Baim? Tahukah penderitaan yang aku terima saat ini dan yang akan aku bawa sepanjang hidupku? Juga penderitaan mamaku akibat kelakuanmu? Mana tanggung jawabmu?
Air mata terus meluncur di pipiku. Bukan, bukan cinta yang kusalahkan karena cinta, bagiku, masih tetap agung dan suci. Yang aku sesalkan adalah kedewasaan yang datang terlambat bagiku dan bagi Baim. Ternyata, cinta bagi Baim, akibat pergaulan yang salah kaprah, adalah hubungan seksual, sementara bagiku cinta adalah pengorbanan, penyerahan total.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd