Ngebut, ayo ngebut. Kenapa bisa lupa kalau mbak Arlena ndak ada dirumah. kalau satu aja ada yang sakit atau mati, telingaku bisa sekarat. Aaaah, aku tidak bisa membayangkan kata-kata yang akan keluar dari bibir mbak Arlena. Tidaaaak. Aku harus cepat, cepat. omne tunggu ya omen, tunggu kedatanganku. Jangan mati dulu. eh, berlebihan ya? he he he...
Kebetulan. Mungkin itu yang baru saja terjadi padaku. Kebetulan yang menambah beban. Kemarin Winda, sekarang Desy. Haduh. Enak sih sebenarnya, tapi kan mereka bukan pacar. Kalau salah satu aku tembak dan kujadikan pacar? Mati. Lha terus bagaimana? Masa aku harus menjomblo terus? Sedih rasanya.
Sesampainya di rumah mbak Arlen, aku segera memberi makan omen. Membersihkan bulu-bulunya hingga menina bobokan. Eh, nina bobo? Kan masi pagi? tidak, hanya membersihkan dan memberi makan. Besok juga aku harus kembali lagi ketempat ini, karena mbak Arlen belum tentu besok pulang. Hah, capek juga bolak-balik. Tapi kalau tinggal sama mbak Arlen, aku tidak bisa ketemu sama Ainun. Aku juga tidak bisa bebas dan tentunya aku tidak ingin bertemu dengan dia, kalau sewaktu-waktu dia menjenguk mbak Arlen.
Setelahnya aku beristirahat sejenak, menunggu tengah hari lewat. Membuat minuman hangat walau siang ini terasa panas. Setelah menurutku sudah cukup, aku kembali ke motorku. Mengendarainya. Melewati jalan beraspal lagi ditemani panas terik matahari.
Ciit...
“Eh, kenapa aku malah kesini? Memang tadi disuruh Desy mampir ke Winda tapi kan tidak perlu mampir? Lha kenapa malah kesini? Lagipula ndak ada janji dengan Winda” bathinku. Sembari melepas Helm
Aku garuk kepalaku. Bingung juga. Bukan kewajiban juga untuk ke kos Winda. Lha
wong langsung pulang saja juga ndak bakal dimarahi sama Winda. Dianya juga tidak tahu. Lebih baik pulang. Segera aku memakai helm, menyalakan mesin.
Tiiiin.... Tiiiin...
Aku menoleh. Terlihat senyum manis menyapaku dari dalam mobil yang terbuka kaca jendelanya. Tangannya melambai. Sejenak aku berhenti, karena aku tahu dia hendak turun dari mobil. Dan benar, dia turun, berjalan riang ke arahku.
“Masuk dulu Ar, tadi nyari Winda gak ketemu ya?” tanyanya
“Eh, anu tadi Cuma anu... numpang lewat... he he he” jawabku
“Oh, ya sudah, tapi gak papakan kalau Arta masuk dulu sebentar? Yuk?” ajaknya
Tak bisa aku tolak. Apalagi cara dia mengajakku tidak memaksa, memaksa dengan sifat manjanya. Adem banget rasanya pas mendengar ajakannya. Dengan langkah riangnya dia kembal ke mobil.
Mobilnya masuk diikuti motorku disampingnya, eh, dibelakangnya. Setelah dia turun, aku bercanda dengannya sebentar. Baru kemudian aku pegang kepalanya dan aku goyang-goyang, sembari berjalan disampingnya menuju kamar kos. Pas masuk ke dalam lingkungan kosnya, terdengar siulan dari teman kosnya. Beberap aku sudah tahu, dan tidak kenal sebenarnya, tapi aku balas saja siulan mereka. Mereka juga pastinya tahu kalau aku suka bercanda. Sepertinya.
“Eh, Ar buat nasi goreng doong, Winda laper” ucapnya setiba didalam kamar
“Hadeh, iya... eh, Wind, lha memangnya kamu tadi dari mana?” tanyaku sembari berjalan ke arah dapurnya
“Dari kosan Umi, sudah kamu masak dulu aku mau ganti baju, jangan ngintip!” jawabnya
“Di kamar mandi gantinya, kalau kamu ganti disitu ya aku intip”
“Ya jelaslah, masa ganti didepan orang mesum kaya Arta, weeeek” ledeknya yang langsung berlari ke dalam kamar mandi.
Rasa-rasanya aku kok jadi santai sekali pas di kos Winda. Seperti datang ke rumah sendiri, akrab banget dengan Winda. Dia juga kelihatannya santai saja kalau aku datang, contohnya, ya ini, tiba-tiba minta dibuatkan nasi goreng. Masa bodohlah. Lebih baik konsen ke nasi goreng saja.
“Nih, pesenan kamu. lema belas rebu” ucapku sembari meletakan piring nasi goreng didepannya. Dia sudah berganti pakaian dan duduk manis di karpet bulunya.
“Ih, nasi-nasi Winda, dapur-dapur Winda, kenapa Winda bayar?”
“Jasa, jasa pembuatan he he he”
“Oke, Winda bayar tapi Arta bayar Winda 30 ribu, untuk bahan-bahannya terus alat dapurnya, itu lum termasuk pinjem tempat buat masak, weeeeek”
“Ish, kejem... Ya deh kalah, kalah... dah makan dulu, tambah kurus kamu nanti”
“Iiih, perhatian banget sama Winda, takut Winda kurus ya? takut Winda jadi jelek ya?”
“Eh, lha bukannya Winda itu jelek?” aku menjulurkan lidahku
“Artaaaaa!” Aku tetawa terbahak-bahak. Jelek? Gila, Cuma orang gila yang bilang si manja ini jelek. Eh, berarti itu aku sendiri. hadeh, kena lagi, salah lagi he he.
Santai, santai sekali siang ini bersama dengan Winda. Seperti aku di tempatku sendiri. bercanda, bergurau juga seenaknya. Winda sendiri selalu menanggapiku, kadang dia tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Iya tertawa, tapi setelah aku tanya, eh dia malah menjawab kalau sebenarnya ndak mudeng sama ceritaku. Lha? Terus lucunya dimana coba? Kenapa dia tertawa? Sebenarnya aku juga bingung sendiri lucunya dimana, sama seperti ketika di Desy. bingung lucunya dimana, karena ndak lucu itu aku jadi ikut tertawa.
“Ar...”
“Ya...”
“Jagain umi juga ya?” ucapnya tiba-tiba ketika aku dan dia duduk bersebalahan, menonton acara televisi yang sebenarnya aku sendiri tidak mengerti itu acara apa. Aku diam, belum menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba duduknya semakin rapat. Aku melirik ke arahnya.
“Jagain gimana? Jadi satpam gitu? Di kosnya Desy?” candaku
“Iiih Arta, di ajak bicara serius malah ngajak bercanda, Winda sebel” terlihat sekali dari wajahnya yang tak memandangku
“Lha? Ngambek... kalau ngajak, ya aku tak pakai sepatu dulu dong Wind” godaku
“Eh, kok pakai sepatu? Emang mau kemana?”
“Lha katanya tadi ngajak serius, berarti aku harus pakai sepatu dulu, mandi. baru kita berangkat, gitu kan? Memangnya serius itu dimana Wind?”
“Arta!!!!!”
Aku tertawa. Kenyang dengan tawa hari ini. aku langsung bangkit dan menghindar dari pukulan-pukulan si manja ini. Berkali-kali dia mencoba melepaskan pukulan, berkali-kali itu pula aku bisa menghindar. Mengejeknya dengan juluran lidah yang membuatnya tambah semakin jengkel.
Sreet..
Kaosku dapat dia pegang. Membatku kehilangan keseimbangan, ditambah lagi karpet yang aku injak ternyata bergeser membuatku terpleset. Terjengkang ke arah belakang.
“Eh, Artaaaa...” teriak Winda
Bugh... yang jatuh pertama kali adalah punggungku. Tapi, kepalaku, tidak merasakan sakit. Dengan sigap Winda, dengan kedua telapak tangannya, melindungi kepalaku. Memang terasa sakit, tapi bisa jadi yang lebih sakit adalah tangannya. Pelan, dia menaikan kepalaku dan dipangkunya kepalaku di kedua pahanya.
“Makanya jangan lari-lari, jatuh kan? Dikejar sama Winda aja takut” ucapnya sambil mencubit hidungku
“Wind...”
“Apa?”
“Bisa kita ganti posisi? Ndak enak kalau ada ya...”
“Sssst...” jari telunjuknya menyilang dibibirku. Aku sedikit terkejut. Kepalanya terlihat terbalik dari mataku memandang.
“Jagain Umi, sama seperti Arta jagain Winda. Dan...”
“Eh,...”
“Gak ada tapi-tapian. Jagain ya? iya pokoknya iya...”
“Eh, i-iya...”
Mata kami saling berpandangan. Wajahnya semakin mendekat, semakin dekat. Semakin membuatku deg-deg’an. Ini, ini...
“Wind, ada kecoa di rambut kamu!!!” teriakku
“Aaaaa... mana Arta, ilangin, ilangin....” aku langsung bangkit dan menggeser tubuku, menjauh
“Fyuh... udah, udah, ndak ada, aku bohong”
“Eh... huh!” dia kesal sekali tampaknya. Membalikan tubuh, dan membuang muka.
“Yeee... ngambek he he he”
“Iyalah! Dasar gak romantis!”
“Ish, Mbak-mbak, mbaknya kalau mau romantis-romantisan sama pacarnya. Eh, dah ndak punya pacar ya? weeeeeek”
“Artaaaaaa!”
Kali ini pukulan bertubi-tubi menghampiri dadaku. Dan tak aku hindari. Aku hanya tertawa terbahak-bahak ketika pukulan-pukulan lemah tapi sakit, menghantam dada. Aku terus tertawa hingga tubuhnya semakin kedepan, rebah memeluk tubuhku. Memeluk erat, aku menegakan tubuhku.
“Wind...”
“Maaf Ar, kalau Winda kebablasan. Winda Cuma ingin memastikan kalau Arta bakal jagain Winda sama umi, juga yang lainnya. Hanya untuk meyakinkan saja...”
Tapi apakah harus dengan pelukan Wind? Kamu sama seperti Desy, kalau memeluku sangat lama. Sebenarnya aku merasa tidak enak sama kamu, Wind. Pacar bukan, kekasih juga bukan. Tapi, kamu yang kedua, Desy ketiga dan yang pertama, Ainun. Kalau ini aku paksa lepas, kamu pasti akan marah. Yang membuatku aneh, kalau pas begini pikiranku normal saja, tapi kalau pas tidak seperti ini kenapa lihatnya yang lain? Padahal kalau pas begini itu, kan nempel. He he he...
“Iya, jagain semuanya... sebisa Arta, pasti bakal jagain kalian semua. Karena kalian semua, Aku jadi seperti yang sekarang. Terima kasih” ucapku sembari mengelus rambut panjangnya
“Wiind, sudah ya, ndak enak kalau ada temen kosan kamu yang tiba-tiba masuk” lanjutku. Dia melepas pelukannya dan tersenyum padaku. Kepalanya sedikit mengangguk.
Dan setelahnya, aku menonton drama yang sebenarnya aku tidak begitu suka. Anehnya, si Winda kalau nonton sampai gemes-gemes bagaimana gitu. Padahal ya biasa saja. pas gemesnya kadang mukulnya keras banget, kadang juga gigit. Apa sih yang menarik dari drama itu? tak ada sama sekali, menurutku.
Aku menemaninya hingga menjelang petang. Tapi tidak selalu nonton drama, yang seneng dia, yang bosan? Aku. Setelah menemaninya, aku pamit pulang.
Hegh...
“Eh, Wind sudah... itu pintunya terbuka”
“Sebentar, Umi aja boleh masa Winda gak boleh?”
Aku terkejut ketika mendengarnya. Berarti, memang diantara mereka tak ada yang dirahasiakan lagi. Dan pastinya, Desy menceritakan mungkin semuanya, mungkin tidak. Sesaat kemudian, kepalanya mendongak, tersenyum. Tapi berbeda dengan Desy, Winda menarik lengan jaketku, berjalan disampingku, mengantarkan aku ke tempat parkir. Dan kemudian aku pulang dengan kata-kata yang sama sebelum pulang.
“Hati-hati ya Ar”
Aku tersenyum, mengacungkan jempol dan bergaya mengejeknya ‘kecil’. Lha emang dia lebih pendek dari aku, kalau aku bilang pendek kan juga ndak mungkin, lebih halus ‘kecil’. Lambaian tangannya menjadi tanda perpisahan setelah seharian aku bersama dengannya. Aku pulang, menuju kontrakanku. Tempat yang lama sekali aku tinggalkan.
Motorku melaju dengan cepat, lelah rasanya. Tapi entah kenapa hatiku merasa senang dua hari ini ditemani oleh mereka berdua, walau sempat basah juga karena hujan kemarin. Kalau diingat-ingat, aneh juga ya he he he.
Ah, akhirnya sampai juga di depan gang masuk. Tepat ketika motorku masuk ke dalam gang. Perempuan itu, dia berhenti melangkah ketika mendengar deru motorku masuk ke dalam gang. Setengah membalikan badan, melihatku, kemudian tersenyum. Wajahnya terlihat ayu ketika terkena sinar lampu motorku. Tangannya kemudian maju, mencegatku agar berhenti disampingnya. Aku berhenti.
“Anterin” ucapnya tanpa menunggu persetujuan dariku, dia langsung naik dibelakangku.
“Eh, Dari mana?” tanyaku sembari menjalankan motor pelan
“Dari belanja, lha ini yang di tas plastik kan ada gula, mie instan. Dah ngobrolnya nanti saja”
“Eh, ndak pakai mobil saja belanjanya?”
“Hmmm... dibilang nanti saja ngorbolnya masih saja nanya.” Jawabnya
“He he he... lha daripada sepi?”
“Tokonya dekat, jadi jalan kaki... Sekalian liat kontrakan orang, sejak kemarin kosong terus, gak ada kabar lagi. Terakhir kirim pesan saja sudah puluhan tahun yang lalu, lupa mungkin kalau ada yang nunggu pesannya. Kasihan ya yang nunggu pesan?” jawabannya, pelan tapi
mak jleb.
“Eh, anu... itu...”
“Eh, stop-stop... disini saja” ucapnya ketika motorku mendekati perempatan gang
“Lha aku anterin sampai rumah?”
“Sudah gak perlu, aku mau mampir ke rumah ibu sebelah, urusan PKK. Dah ya, aku duluan, hati-hati.” jawabnya, tersenyum dan kemudian berbalik.
Mataku tak lepas darinya, tapi tak sedikitpun dia menoleh ke belakang. ya sudahlah, pastinya dia marah. Mungkin besok aku main. Aku tidak begitu paham situasi dirumahnya, tapi biasanya sering ditinggalnya. Setelah puas memandanginya, aku kembali melanjutkan perjalananku ke kontrakan. Sepi dan sepi. Samo dan Justi, kemana mereka? tidak ada kabar, tidak ada berita, apakah mereka sudah mempunyai anak? Ha ha ha... bodoh ah.
Sitsuiti sirkuit. Bunyi pesan watsap, ketika sedang asyik menikmati teh hangat dan dunhill di teras depan kontrakanku.
Ingin makan orang. Mentah, tanpa digoreng, tanpa di rebus,
Kalau bisa sih ampela atinya dikeluarin dulu.
Enak kali ya? apalagi makan ampela ati yang ditunggu kabarnya
“Uhuk... uhuk... juh...”
“Mati aku, lha kok malah sadis bener ini perempuan?” bathinku
Enakan lagi, makan orang yang malah tanya-tanya, orang yang gak peka
Enak banget, iiih apalagi ditambah saos sama kecap
Tapi kelihatannya dibakar leih enak deh
Aku ketik sebuah jawaban. Tapi terlambat, ada pesan masuk lagi.
mungkin lebih enak lagi, makan orang
Yang mau nanya-nanya lagi, hmmm lezat kayaknya...
Habisin rokok. Daripada baca pesan, malah seperti lihat film horor. Menakutkan masa sampai mau makan manusia hidup-hidup. Memang mengerikan. Mengerikan, semengerikannya aku habiskan kopiku dengan cepat dan kuhisap rokokku sampai habis. Karena memang sebenarnya aku sangat takut, sangat-sangat takut dengan keadaan ini dan seperti yang aku rasakan sekarang. Takutnya itu seperti...
Kletek...
“Ini diminum, teh hangatnya mumpung masih hangat”
Pasti banyak yang akan bertanya-tanya, mengapa aku yang tadi sedang menikmati kopi dan dunhill, tiba-tiba di suguhi teh hangat. Aneh kan? Benar, memang aneh. Setelah pesan ketiga, aku langsung habiskan kopiku tanpa mengunci kontrakan, aku berlari kecil ke arah rumah di sudut kompleks yang berlawanan dengan kontrakanku. Dan disinilah aku, di rumah...
“Iya nun”
Senyumnya, senyumnya, manis tapi kelihatan sekali kalau sedikit ada sebuah kegeraman, ah bukan, kekesalan? Ah bukan, seperti kejengkelan yang tertahan dan diselimuti oleh sebuah senyuman. Itu, itu yang benar dan yang aku lihat.
“Eh, iya, kemana saja kemarin? Kok gak ada kabar? Sibuk banget yah?” dengan nada riang dan senyum, tapi tekanan sangat aku rasakan disini.
“I-itu anu nun, ada kejadian di kampus” jawabku sedikit gugup
“Oh, kampus ya? kampus itu kan tempat kegiatan mahasiswa, tempat belajar mahasiswa, tempat mahasiswa berkumpul, terus banyak cewek-ceweknya dan pastinya cantik-cantik ya? pantas saja sampai lupa kalau kontrakannya belum disapa juga ya, hmmmm...” ucapannya, menekanku, dan terakhir gayanya memangku dagu. Pandangannya lurus ke depan. Aku diam. Dia sedikit melirik ke arahku, dan kemudian tersenyum.
“He he he...” aku cuma bisa membalas senyumannya
“Eh, aduh, diminum dong tehnya, nanti dingin lho. Gak ada racunnya kok, diminum saja. mau aku tiupin?” tanyanya membuatku semakin resah dengan sikapnya,
“Eh, i-iya...”
“Enak ya tehnya? Rasanya bagaimana? Agak-agak pusing gak?” tanyanya tersenyum
“Eh, nun... me-memangnya kamu kasih apa tehnya?”
“Racun tikus!!!” pelan dan membentak
Aku langsung lari keluar dan mencoba memutahkan isi dalam perutku. kusogok-sogok mulutku dengan jariku.
“Jangan berlebihan. Lebay! Huh!” aku menoleh ke arahnya, dia bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah.
Benar juga apa yang dia katakan. Tidak mungkin juga dia berkata padaku dengan jujur kalau dia meracuniku. Bodohnya aku, mungkin karena tekanan yang aku dapat dari sikapnya membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Huh, aku langsung masuk ke dalam rumah. Dari ruang tamu dapat kulihat dia sedang duduk dengan memeluk kedua kakinya. Menonton televisi.
Aku menuju ke tempatnya, duduk disebelahnya. Ku senggol, tapi tak ada respon.
“Maaf kemarin ada kejadian di kampus, pembunuhan” lirihku, dia menoleh ke arahku
“Pembunuhan?” aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya
“Iya, pembunuhan profesor dodokambek” ucapku sembari meraih remote kontrol televisi, mengganti acara yang tidak aku mengerti
“Eh, profesor?!” ucapanya pelan tapi dari ekspresinya ketika aku melihatnya dia sedikit terkejut.
“Kamu kenal?”
“Ti-tidak, bagaimana aku bisa kenal, sedangkan jurusanku tidak sama dengan jurusanmu” jawabnya, kembali melihat ke arah TV. Tapi anehnya dari raut wajahnya, cara mata dia memandang, memperlihatkan kalau dia sedang berpikir.
“Nun...”
“Hmm...”
“Ya sudah, berarti kamu masih ada disitu he he he” candaku
“Cerita” ucapnya kemudian menyandarkan tubuhnya, miring ke tubuhku
Aku kemudian menceritakan kejadian tiap kejadian. Cerita tentang pembunuhan itu terjadi dan aku juga menceritakan ketika dimintai tolong membantu melakukan analisa pembunuhan. Karena aku adalah orang yang terlibat pembicaraan dengan profesor untuk yang terakhir kalinya. Dalam cerita aku tidak menceritakan tentang mas Jiwa, hanya menceritakan aku diseret kesana sini oleh pak polisi yang memimpin penyelidikan untuk mengamati dan melakukan analisa. Kemudian disuruh bersembunyi, menceritakan analisa melalui mikrophone, demi keselematanku.
Aku pun menceritakan kejadian di dalam gudang ketika bersama Desy. setelah menceritakan tragedi pembunuhan itu aku sedikit melirik ke arahnya, tapi pandangan matanya bukan pandangan mata yang biasa, dia sedikit berpikir. Cemburu? Kelihatannya tidak, tapi dia memikirkan hal lain.
“Terus pulangnya?”
Hah, kalau tatapan mata ini sudah berbeda dengan sebelumnya. Aku bercerita ketika bersama Desy, pulang kerumah kakak perempuanku dan yang terkahir adalah kebersamaanku bersama Desy setelah di pantai. Dan juga Winda, aku menceritakannya. Nah, pas ceritaku masuk ke Desy yang setelah pembunuhan, tangannya yang semula memeluk kedua kakinya, memluk lenganku. Terasa lebih erat ketika cerita itu masuk ke pantai, kos Desy dan yang terakhir Winda.
“Nun, nun... aduh sakit nun kalau meluk lengan jangan keras-keras” protesku karena memang sakit banget, tapi ada sedikit empuknya sih
“Desy sama Winda aja boleh, masa Ainun gak boleh?” pintanya tanpa menoleh
“I-iya maaf, marah ya? cemburu ya?” candaku
“Enggak, ngapain cemburu sama anak culun seperti kamu? huh!”
“Iya, ndak cemburu, tapi jangan keras-keras banget
to meluknya” candaku lagi
“Desy sama Winda saja boleh, masa Ainun gak boleh?” lagi-lagi dia melontarkan kata-kata yang sama. membuatku menghela nafas panjang.
Pelan... tiba-tiba dia mengangkat kepalanya, satu tangannya memegang pipi kiriku. Menariknya pelan, kepalanya bersandar di bahuku, menengadah ke atas. Seperti tertuntun, bibirku menyentuh bibirnya. Sebentar, tapi hisapan bibirnya di bibirku kuat. Aku diam, menatap matanya yang juga menatap mataku. Setelahnya dia tersenyum, kembali menyandarkan kepalanya di bahu kananku. Kedua tangannya menarik tangan kananku, dipeluk dengan erat.
Matanya, aku masih bisa melihatnya. Seakan berpikir tentang sesuatu. Entah karena yang aku ceritakan atau tidak. Tapi mata itu berubah seperti yang sekarang setelah aku menceritakan kejadian yang aku alami. Apakah dia tahu sesuatu tentang profesor dodokambek? Apakah dia salah satu keluarga atau bisa jadi bukan? jika memang dia bukan anggota ‘keluarga’ dan dia tahu isi cerita ini, pasti akan ada perubahan sikap. Tapi sama saja...
“Nun, ada apa? kenapa setelah aku menceritakan kejadian di kampus, kamu sedikit berubah? adakah yang kamu tahu?”
“Tidak”
“Hmm... kamu pasti tahu sesuatu”
“Aku hanya tahu dari pembicaraan orang-orang mengenai profesor. Dia adalah orang yang dihormati, tapi aku tidak tahu tentang apa yang dia lakukan... kenapa? kamu pasti mikir aneh-aneh tentang aku? Dasar tukang analisa situasi hi hi hi” dia berbicara sembari memalingkan wajahnya ke arahku, tersenyum kepadaku
“Aku kira...”
“Hayo, ngira apa? aku jadi salah satu anggota komplotan dari para pembunuh gitu? Kalau memang begitu, aku sudah bunuh kamu dari tadi” ucapnya sembari menjulurkan lidah
“Tega?”
“Ndak to ya, ndak tega to ya... nanti siapa yang mau selingkuh sama aku? Piye to to to to...” ucapnya dengan bahasa mengejekku. Aku langsung memalingkan wajahke arah TV
“Marah ni, marah... seharusnya itu yang marah aku, malah kamu huh!” ucapnya. Posisinya bergeser, dan kemudian merebahkan kepalanya di pahaku
“Iya maaf he he he”
Diam. Menyaksikan acara televisi yang sedang berlangsung. Aku menunduk melihatnya yang memjamkan mata ketika tanganku mulai mengelus kerudungnya. Pipi, bibir hingga dagunya. Bibirnya kemudian mengembang. Warna merah muda pada bibirnya membuat wajahnya semakin terlihat lebih ayu.
“Eh, yang...”
Dia tekejut ketika aku menarik tubuhnya untuk bangkit. Kuposisikan dia depanku, ku peluk dari belakang dengan kedua kakiku tertekuk. Kepalaku berada tepat di sampinh kepalanya. Dia tersenyum, mengecup pipiku. Tubuhnya beringsut, berbalik ke arahku dan memelukku.
“Dasar... cowok seperti ini kok ya nyaman banget buat dipeluk, padahal cuma tulang” ejeknya lirih. Padahal juga tidak kurus-kurus banget aku ini.
“Iya, tapi enak kan?” tanyaku. Dia mengangguk pelan.
“Pulang sebelum jam 9 malam, dia pulang jam 10 nanti” ucapnya sembari memejamkan matanya
Aku memandangnya. Melihat setipa garis wajah ketika dia tersenyum. Dalam pikirku, aku merasa seperti pencuri. Memang... aku memang seperti pencuri. Mencurinya. Tapi, dia sendiri tidak ada yang memiliki, apakah aku tetap disebut sebagai pencuri sedangkan yang aku curi tidak dimiliki oleh siapapun? Hingga nafasnya teratur aku masih memandangnya. Tersenyum melihat ekspresi wajahnya ketika terlelap.
20.00, masih satu jam lagi tapi aku harus pergi dari tempat ini sebelum jam 9. Mencari aman, walau harus menghindar. Menghindar dari seseorang yang tidak pernah mau memilikinya. Haruskah selamanya menghindar.
Aku menggeser tubuhku, mengangkatnya. Ku rebahkan tubuhnya didalam kamar dan kemudian mengcup keningnya. Tangannya memeluk erat tubuhku. Kecupanku turun di bibirnya, hanya menyentuhnya tidak lebih.
“Datanglah lagi, jangan terlalu lama. Aku paling bosan menunggu”
Aku mengangguk, sekali lagi aku mengecup keningnya. Meninggalkannya didalam kamar. Aku keluar dari rumahnya, kututup pintu rumahnya. Melangkah kembali menuju ke kontrakanku. Kembali duduk di teras depan kontrakan, sendirian. Tanpa teman, karena teman yang datang bersamaku entah kemana sekarang. Tak ada kabar, tak ada lagi canda dengan mereka.
Hingga mataku lelah untuk menemani malam. Aku masuk ke dalam kamar, rebah dengan pikiran sedikit kacau. Kacau karena matanya yang berubah setelah aku bercerita. Tapi dari canda setelahnya, aku yakin dia tidak berada di kedua belah pihak. Aku harap. Semoga.
Hari ini aku melihat tiga senyum malaikat
Tiga senyum yang menyinari hariku
“Eeeeeeeegh....”
Setelah aku mendengarnya mengunci pintu, aku bangun. Menunggu sejenak, meyakinkan diriku kalau dia sudah menjauh dari rumah. Setelah aku yakin, aku keluar dari kamarku. Membersihkan gelas tehnya dan kuletakan di rak dapur. Aku kembali ke ruang tamu, mematikan lampu.
Berdiri menghadap ke jendela. Khawatir, ya, aku khawatir dengannya.
“Polisi yang memimpin penyelidikan?” lirihku
“Mas Jiwa...”
Kenapa dia bisa terlibat didalamnya? Orang itu tak mudah percaya dengan orang lain, kecuali dengan seseorang yang benar-benar bisa dipercayai. Benar-benar diandalkan. Tetapi kenapa harus dia? Kenapa dia yang berada di situasi itu? Dia memang pintar, memang bisa diandalkan. Tapi, tidak secepat itu, pasti dia sebelumnya pernah bertemu dengannya. Bagaimana mungkin anak yang baru datan bisa langsung berada diantara mereka. pasti ada sesuatu, sesuatu yang tidak aku ketahui...
“Ar, hati-hati tetaplah hati-hati... jangan terlalu dalam, jangan Ar... aku ingin kamu seperti sekarang ini, tanpa perlu berada didalam mereka. walaupun mereka sebenarnya orang yang baik, tapi... aku tidak ingin terjadi sesuatu denganmu, Ar. tidak ingin...”
Entah kenapa hatiku berdebar dengan kencang. Aku kembali dalam kamarku, ku kunci rapat kamarku. Kembali rebah dengan berjuta-juta pikiran yang sedikit rumit. Kucoba memejamkan mataku, bayangan wajahnya yang baru saja aku lihat, terlintas. Nyaman sekali dalam pelukannya. Tapi aku sangat khawatir...
Mungkin aku... ah... mungkin juga lebih dari kata...
Brrrmmm...
Suara yang tidak aku sukai datang. Lebih baik tidur, mengganggu hati yang sedang senang memikirkannya saja. huh! Tidur!