Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Suhu mohon petunjuknya scene 18: Cinta kok gak ketemu ya udah bolak balik nihh. Terus katanya ada post kedua scene 17 dihalaman 198 juga kok gak ada ya?

Index di page 1 halamannya pada gak cocok? Mohon bantuannya :pandapeace:
 
Suhu mohon petunjuknya scene 18: Cinta kok gak ketemu ya udah bolak balik nihh. Terus katanya ada post kedua scene 17 dihalaman 198 juga kok gak ada ya?

Index di page 1 halamannya pada gak cocok? Mohon bantuannya :pandapeace:
mundurin 4/3 page gan
 
Scene 28
Bunga Melati Merah




Arlena Kayaningtyas



Eviela Dewi Karunia​




“Arlena!”

Teriak seorang perempuan ke arahku, terdengar sangat keras walau di tengah keramaian mall. Aku langsung menoleh, mencari sumber suara. Dan pandanganku terhenti ketika aku melihat lambaian tangan seorang wanita cantik dengan senyum menawan dan juga pakaian yang sangat seksi. Hmmm... dia tidak pernah berubah sejak kuliah dulu. Selalu saja tampil seksi dan tidak pernah mempedulikan sekitarnya. Padahal banyak mata yang memandang ke arahnya.

Aku lambaikan tanganku sembari berjalan ke arahnya. Ya, hari ini aku sudah janjian sama temenku, temen kuliahku dulu. Namanya Monalisa, sudah lama aku tidak ada kontak dengan dia. Tapi tiba-tiba saja kemarin dia meneleponku, ingin mengenalkan aku pada seorang lelaki yang mungkin cocok denganku. Iya juga sih, disampingnya ada seorang pria berpawakan tinggi tapi tidak setinggi adik lelakiku.

“Hai mon, lu gak pernah berubah ya?”

“Ya enggaklah, tetep cantik gituuuu hi hi hi,” ucapnya dengan gaya yang khas.

“Eh, daripada berdiri yuk cari tempat tongkrong... oh ya, sekalian ni Len, kenalin Alex.”

“Hai Len, Alex,” sapanya sembari menjulurkan tangannya.

“Arlena,” jawabku menjabat tangannya.

“Eh, jangan kelamaan itu jabat tangannya kaya KTT aja hi hi hi.”

“Eh i-, apaan sih kamu Mon.”

Dia kemudian menertawakan kami berdua, aku sedikit malu. Wajarlah, lelaki yang berada didepanku benar-benar sempurna menurutku. Senyumnya, postur tubuhnya hmmm macho banget hi hi hi. Tak berlama-lama, kami bertiga langsung menuju tempat minum yang dulu sering kali aku jadikan tempat nongkrong bersama teman-teman kuliahku. Ya, monalisa juga.

Aku gak tahu, kenapa aku seperti terhipnotis untuk selalu melirik ke arah lelaki ini. Padahal baru saja aku mengenalnya. Ditemani tiga gelas minuman kami mulai mengobrol kesana-kemari. Bercanda, paling ramai memang Monalisa. Dia tidak henti-hentinya menggodaku. Namanya juga teman kuliah, pasti dia tahu apa yang sedang didalam pikiranku.

Awalnya memang agak sedikit canggung, tapi sedikit demi sedikit aku mulai nyaman ketika mengobrol bersama Alex. Kalem, murah senyum dan tata bahasanya pun teratur tidak seperti kami berdua yang amburadul. Sedikit formal sehingga ada kesan bahwa dia sangat menghargai perempuan. ah, mungkinkah aku sedang jatuh cinta pada pandangan pertama?

“Mmm, dah sore ini. bagaimana kalau kita lanjutkan besok-besok saja?” ucap Alex.

“Oh eh, i-iya”

“Gak usah gugup juga kali Len hi hi hi”

“Apaan sih kamu Mon?!”

Setelah berbincang sebentar karena candaan Monalisa, akhirnya kami berpisah. Aku saling bertukar nomor dengan Alex, sapa tahu jodoh. Setelah aku dan mereka berdua berpisah, kisah obrolanku dengan Alex pun masih tetap berlanjut. Kadang aku yang memulainya, kadang dia yang memulainya. Sangat sopan. Kelihatannya aku ingin bersama dengan dia. Semoga saja hi hi hi.

“perlu gak ya, aku kasih tahu Adikku? kelihatannya tidak usah, aku tidak ingin gagal kedua kalinya gegara si manja itu hi hi hi”
 
Terakhir diubah:



“Ughh... mmmh... hoaam egh...”

“Tante?!” aku tersadar. Kuangkat tubuhku, dan duduk.

Slurrp.... slurrrp....

“Pagi sayang? Sudah bangun ya? atau kebangun?” tanyanya dengan senyum menawan. Dengan riasan yang sangat cantik dan tubuh telanjang. Dia tak seperti baru bangun dari tidurnya.

“T-t-tan...”

“Kenapa? enak ya? semalam kamu hebat sayang, dan ini balasan tadi malam”

“T-t-tapi tan... Eh, semalam?”

Otakku berputar, mengingat kembali kejadia semalam. Aku masih bisa mengingatnya, bagaimana aku memaksa tante Eviela menuruti keinginanku. Tubuhku menjadi semakin kaku, ditambah senyum tante yang sedang mengocok penisku.

“Ma-maaf tan, semalam itu..arghhh sakit tan jangan diremas” ucapku sedikit berteriak dengan tanganku mencoba melepaskan genggamannya.

“Kamu jahat ya Ar, ingin enaknya sendiri... “ dia bangkit. Kedua tangannya mendorong tubuhku dan kini aku kembali rebah. Dia duduk diatas perutku.

“Semalam kamu perkosa aku, dan sekarang kamu harus mau... seperti semalam.”

“Punyamu kekar Ar, dan ini yang membuatku semalam hampir pingsan,” lanjutnya. Sedikit aku mengingat apa dia benar-benar pingsan, tapi sayang aku tak punya ingatan untuk itu.

“T-t-tan...”

“Gak ada tapi-tapian. Kamu semalam kejam padahal aku ingin ngobrol dengan kamu. aku sebenarnya sudah tidak ingin meraskaan hal seperti semalam. Tapi... kamu telah membangkitkannya lagi, dan kamu.... harus bertanggung jawab, minimal sampai nanti kamu pulang, kamu harus membuatku bahagia, atau....”

“A-atau...”

“Aku laporin kamu ke polisi karena kasus pemerkosaan hi hi hi.”

“T-tapi... mmmhhhhh ta-tan.... mmmppphhhh”

“Biarkan aku merasakan rasa menjadi wanita Ar, walau sekali. Setelah ini, aku akan menahannya selamannya. Biarkan aku merasakannnya, aku mohon.”

“A-anu i-tu..”

“Ssssttt... hari ini, hanya hari ini, selama hari ini ya sayang...”

Tangannya kemudian menuntunku meremas payuadaranya. Bibirnya mulai menggila di bibirku, lidahnya liar, mencoba membuka bibirku yang selalu ku tutup.

“Arta sayanghh... jangan menolak sayang, semalam aku tidak menolakmu,” bisiknya.

Aku yang memulainya semalam, memaksanya untuk menuruti kemauanku. Dan sekarang aku harus mengikuti kemauannya. Mengikuti irama nafsu yang mulai mengusaiku. Tubuhku yang semula kaku kini menjadi lentur kembali. Tanganku meremas-remas kedua paydaranya dengan lembut. Bibirku mulai terbuka, lidahku mengikuti lidahnya. Saling menjilat dan saling melumat. Di sela ciuman dia tersenyum, mungkin karena aku kini mulai mengikuti permainannya.

Pelan ciumannya turun ke leherku, tanganku lepas dari payudaranya. Kecupan demi kecupan semakin turun ke dadaku, lidahnya bermain-main diputing susuku membuat penisku semakin tegang mengera. Ditambah lagi satu tangannya mengelus pangkal kantung telurku. Nikmat dan aku hanya bisa menikmatinya. Spontan tanganku mengelus rambutnya.

“Dadamu indah sayang” lirih dari bibirnya tapi aku tidak membalasnya.

Ciumannya semakin turun, membuatku geli ketika dia mengecup perutku. tapi tak berlangsung lama kecupan bibirnya diperut karena selang beberapa saat aku merasakan kecupan di ujung penisku. Aku sedikit bangkit, memandang seorang wanita cantik sedang mengecup ujung penisku. Matanya melirik ke arahku, ada senyum disela permainan bibirnya.

Lidahnya keluar, menjilat ujung penisku uturn hingga kepangkal penis dengan ujung jarinya mengelus pangkal kantung telur. Jilatan yang kebawah dan dia kembali lagi ke atas menuju ujung penis dengan kecupan-kecupan yang membuatku semakin merasakan panas. Beberapa kali dia melakukan hal itu dan diakhiri dengan melahap ujung penisku. Masih bermain di ujung penis, tangannya meraih satu tanganku untuk mengelus kepalanya. Aku mengelusnya dengan lembut.

Aku merasa ujung penisku kini basah oleh air liurnya. Kepalanya bergerak maju-mundur hanya sebatas pada ujung penisku. Dengan pelan dia menggerakan bibirnya semakin maju, semakin memasukan penisku ke dalam rongga mulutnya. semakin ke dalam dan aku semakin merasakan sensasi kenikmatan. Lidahnya selalu ikut bermain di bagian bawah penisku, menyapu ketika kepalanya bergerak maju-mundur.

“Sekarang giliran kamu sayang, buat aku melayang” ucapnya ketika dia melepaskan kulumannya dan bangkit.

Aku sendiri masih bingung ketika tante Eviela bangkit mendorongku hingga rebah. Tiba-tiba dia menggeser tubuhnya, memposisikan vaginanya di atas wajahku.

“Ayo sayang, gunakan lidahmu, lakukan seperti apa yang aku lakukan kepadamu.”

“Eh, t-tan..”

“Jilat sayang, gunakan lidahmu...”

Seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya, aku mengikuti kemauannya. Lidahku mulai menjilati Vagina yang memiliki aroma wangi. Entah wangi apa tapi aku pernah mencium wanginya. Seperti wangi dedaunan tapi kelihatannya otakku tidak sedang bisa diajak untuk mengingat.

“Ahhh... Sayang itu sayang disitu sayang mainkan lidahmu dihsit aaaahhhh mmmhhhh yaahhh...”

Rintihannya semakin keras, tangannya menjambak ketika lidahku mengenai bagian atas dari vaginanya. Tangan yang menjambak rambutku, seakan tidak membiarkan lidahku bergeser. Terus menjambak membuat kepalaku tak bisa lagi bergerak begitupula lidaku yang masih terus menari ditempat yang sama.

“Uuuugh...”

Tubuhnya turun, duduk diperutku. Kedua tangannya berada disamping kepalaku. wajahnya tersenyum, sesekali jari telunjuknya mentowel hidungku. Dia terus tersenyum, mendekatkan wajahnya ke wajahku. bibirnya sedikit terbuka, lidahnya keluar dan mulai menari di atas bibirku. Kedua tangannya menarik tanganku untuk memeluknya.

Ku peluk tubuh hangat yang ada diatasku, sesekali aku mengelus punggung yang halus ini. bibir kami kemudian saling memuaskan, sudah tak ada rasa ragu lagi. Satu tangannya pelan menelusup diantara tubuh kami berdua. Turun kebawah hingga meremas pelan penisku. Sesekali dia mengelusnya dan kemudian secara perlahan dia arahkan penisku ke vaginanya.

Terasa geli, tapi juga ada rasa hangat. Tubuhnya sedikit menekan kebawah, aku baru merasakan kepala penisku sedang mencoba membuka mulut vaginanya.

“Mmmppphhhh....”

Dia merintih tertahan dan tetap mempertahankan ciuman kami. pelan dia mendorong kebaawah lagi tubuhnya, menariknya ke atas, kembali lagi kebawah. Beberapa kali dia melakukannya, membuatku merasakan geli, nikmat, hangat campur aduk jadi satu.

“Eghhhh....” rintih keras suaranya.

Kepalanya mendongak ke atas, bibir bawahnya dia gigit. Kedua tangannya bertumpu pada dadaku ketika semua batang penisku aku rasakan masuk ke dalam vaginanya. Hangat menyelimuti seluruh batang penisku. Sambil memejamkan mata dengan wajah memandang ke arah atas, dia mulai menggoyang pinggulnya. Bukan menggoyang atas-bawah, tapi berputar-putar. Linu, tapi aku tidak bisa memprotesnya, kini memang giliran tante Eviela untuk merasakan kenikmatan. ya dan aku bisa melihat kalau dia sedang menikmatinya.

Pemandangan indah diatas tubuhku. Tubuh seorang wanita yang mungkin bisa dibilang sempurna, tapi jika dibandingkan Ainun masih jauh, membuat suasana dalam otakku semakin memanas. Tanganku meraih buah dada yang menggelantung, meremasnya, terkadang aku memilin puting susunya. entah kenapa aku sangat tertarik dengan buah dada perempuan, mungkin karena aku tidak punya.

“Egh.. sayang itu yahh mmmh mainkan terushhh ahh....”

“Ugh.. mmhhh... kontol kamuhhh emmmmmhhhh mmmhhhh mmmhhh mmmhhh... gimana sayang enakh ekkhhh mmmh?”

“Ya tan,” jawabku singkat.

Pelan dia kemudian mengangkat pantanya, bergerak naik-turun secara perlahan. Tanganku pun turun ke pinggangnya. Aku yang tidak sabar dengan cara dia bergerak kemudian mengangkat pinggangnya dan menurunkannya secara paksa. Seakan dia tahu yang aku inginkan, dia mempercepat gerakan pinggulnya.

“Aaahhh sayangghhh mmmhh... aaaahhhh... yaaahh....”

“Eghhh eghhh eghhh... uughhh... penuh sekali mmmhhh... nikmat sayangghhhhh...ehhhhhh aakkkhh... erggghhhhh...”

“Hangat tan, ufth...”

Tak berlangsung lama dia langsung menjatuhkan tubuhnya. Memeluk kepalaku, bibirnya kembali mencumbu bibirku. Aku membalasnya, sama-sama liar. Pinggulnya masih bergerak namun pelan, membuatku tak sabar. Memaksaku menaik turunkan pinggul.

“Aghhh... pelannnhhh sayanghhh..pelhhhh... aaahhhh.... terus mmhhmmppphhh... kontol kamu dalem anget masuknya”

“Vagina tante juga hangat.”

“Memek itu sayang, memekhh ekkh namanyahh hufthh..”

“Iya memek tante hangat.”

Bibirnya yang kembali melumat bibirku sebelumnya berkata untuk memperlambat gerakanku tapi pinggulnya mengimbangi gerakan pinggulku. Bunyi suara perpaduan kelamin kami terdengar keras, mengisi kamar rumah ini. Ritme perpaduan kelamin kami semakin lama semakin cepat, ciumanya semakin tidak teratur. Tangannya tiba-tiba memeluk kepalaku, erat dengan kedua kakinya juga merapat. Pinggulnya menekan kebawah mengehntikan gerakan pinggulku.

“Eeeeerghhh... mmmmmmmmmmmmmmmmmhhhh egh egh egh..”

Tubuh kami masih bersatu disertai keringat yang mulai mengalir dari kening kepalaku. Nafasnya sedikit tersengal, tak ada suara sepatah kata pun dari bibirnya. Hanya desahan nafas yang aku dengar, begitu pula bibirku yang membantuku untuk mengambil nafas lebih banyak.


Pelan dia bangkit, meletakan wajahnya di atas wajahku...


“Hash hash hash... kamu yang bisa dan yang pertama kali buat aku begini sayang.... mmphh.”

Kembali dia mencium bibirku, seakan tidak memiliki rasa lelah. Tanganku memeluknya, mengelus punggungnya. Pelan dia menarikku kesamping tanpa melepas penisku dari vaginanya. Dia memposisikan tubuhnya berada dibawahku dengan kedua kaki terbuka lebar.

“Cantik bukan sayang? Indah bukan” aku mengangguk pelan.

Bagaimana tidak indah? Bagaimana tidak cantik? Sedangkan yang terpampang didepan mataku adalah tubuh yang sangat proporsional. Tubuh yang berbalut kulit halus. Walau tubuh itu sudah berumur tapi tetap saja akan menggugah penis setiap laki-laki. Tubuh yang bagian bawahnya tertusuk oleh penisku. Betapa beruntungnya aku?

“Kamu harus menikmatinya sampai kamu benar-benar puas, puas karena bisa memuaskan aku sayang....” ucapnya dengan kedua tangannya memgang kedua pipiku dan menarikku pelan.

Kami kembali berciuman tapi tidak berlangsung lama. Aku menurunkan ciumanku ke lehernya, mengikuti alur nafsu dalam tubuhku. semakin aku turun dan menikmati sepasang payudara yang indah. Aku menjilat, aku menghisap. Rintihannya terdengar pelan. dan ketika aku bangkit, memegang pinggangnya sembari menggoyang pinggulku. Kata-kata mulai keluar dari bibirnya.

“Arghh... sayang ya terus lakukan sesukamu, aku milikmu hari inihhh mmmhh...”

“Terus sayang pompa kontolmu, entot aku... lebih cepaaaaaaat!” teriaknya.

“Tan, aduh... sempit banget tan.”

“Iya sayang, kontol kam eghhh terus kontol kamu yang bes mmhhh...”

Setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya membuatku semakin panas. Aku menggerakan pinggulku lebih cepat. terkadang satu tanganku meremas payudaranya dengan kasar. Gemas rasanya jika melihat payudaranya naik turun.

“Ah ya sayang, lebih dalammm lebih dalam lebih keras... aku sukaaahhhhhhh ayo sayang masukan kontolmu lebih dalam, lebih keras. Aku suka konto lkamu sayang, lebih keras lagi.. kontoli memekku sayanghhh.”

“iya tan... eghh..” aku mempercepat gerakan pinggulku.

Tubuhnya sedikit melengking ke atas tapi aku tetap menghujamkan penisku ke dalam vaginanya. Semakin cepat, terasa lubang vaginanya semakin rapat dan licin.

“Enaaak yahh enaaaakkk mmmmhhhh... memekku enak banget sayang... memekku enak dikontoli kontol kamu sayang terussshh yaaahah...”

“Aaeeeeeghhh.... egh egh egh egh...”

Tiba-tiba tubuhnya mengejang beberapa kali. Kepalanya mendongak ke atas, matanya tertutup sangat rapat. Tangannya meremas pergelangan tanganku dengan kedua kakinya memeluk tubuhku dengan sangat erat. Aku berhenti, pelan aku mendekat setelah dia tenang. ku cium leher jenjangnya, turun hingga kepayudaranya. Benar-benar payudara yang indah.

“Ummhhh sayang kamu benar-benar hebat,” ucapnya sembari mengelus kepalaku. Aku angkat sedikit kepalaku dan memandangnya.

“Kamu belum keluar kan? Aku masih kuat, lanj mmmhhh... uuughh sayanghhhh mmmhhh kamuh masih ingin nyusu ya mmhhh.”

Tak ada jawaban dariku, tanganku sibuk meremas lembut payudaranya dengan bibirku memainkan puting susunya secara bergantian. Pinggulnya yang bergerak-gerak, mungkin efek dari payudaranya yang aku mainkan, membuatku ikut menggerakan pinggulku pelan. semakin lama pinggulnya bergerak semaki liar. Aku kemudian bangkit.

“Hi hi hi...” tawanya yang kemudian sedikit mendorongku.

Dia mengangkat satu kakinya, aku bergerak sedikit kebelakang dan duduk. Kini posisi dia menungging. Kepalanya menoleh ke belakang.

“Tan?”

“Dari belakang sayang, cepetan, memekku masih gatel banget.”

“pantat tante bulat.”

“Suka sayang? Nanti kamu mainkan... sudah masukan dulu sayang, cepetaaanhh hash hash.”

Aku bangkit, mendekatkan pinggulku ke arah pantatnya. Tampaknya dia memang tidak sabar. Diraihnya penisku dan diarahkan ke lubang vaginanya. Licin, sudah tak lagi seret seperti sebelumnya. Aku tekan pelan.

“Aaaahhh... kontol enak masuk lagi... mmmhhh... uuughh... pelan sayang diamkan dulu, aku suka kontol kamu didalam sayang, penuh banget bikin memekku tambah gatel mmmhhhh... diam dulu sayangh.”

“Enak sayanghh?” tanyanya sembari menggoyang pinggulnya maju mundur pelan.

“Iya tan” aku mengimbanginya dengan sedikit menggoyang pinggulku.

“Kalo gini?”

Tiba-tiba saja dia memaju mundurkan pantatnya sedikit cepat. kepalanya sedikit menoleh kebelakang, tersenyum nakal kepadaku. ada rasa lelah sebenarnya di wajahnya tapi kelihatannya dia tidak ingin mengakhirinya, begitu juga aku. Masih terlalu pagi untuk mengakhiri permainan ini. permainan yang sudah membakar akal sehatku.

“Uuuugggghh ugh ugh egh egh mmhhh... kamu suka sayang, kamu suka kalo kontol kamu di memeki kan? Mmmhhh...”

“I-iya tan..” jawabku yang sudah tidak dapat lagi menahan untuk bertindak.

Aku memegang pinggul tante Evie, menghentikan gerakannya. Tanpa menunggu lama, aku hentakan pinggulku keras. Membuatnya menjerit sedikit keras. Sebentar tubuh depannya jatuh tapi dia bangkit lagi. Menoleh kebelakang dengan bibir bawahnya digigit. Dan disaat itulah aku menggoyang pinggulku dengan keras. Kata-kata kotor keluar dari bibirnya.

“Aaaaaaaaa aaaaaa ennnnnn naaaaakkk yaaaah teeeerussshh mmmhhhh uuuggggh aaaa aaaa aaaaa eeeghhhhh konnnn kontoll mu enakh sayanghhh mmhhh... memekku robek memekku robeeeek eghhh egh.”

“Ah tan, enak banget tan..”

“Te teeeerushh kon konttolihhh memekkuuhhhh sayang lebih keras, tampar pantatku tamphhh paaaaaaaarrrhhh aaaaaah”

PLAK!

Tanpa berpikir panjang aku tampat pantat tante. Pantat putih yang kemudian terdapat bekas merah tanganku. Aku terus menggoyang, dan sesekali menampar. Bahkan aku serin menampar pantat tante setiap kali dia memintanya.

“eeeghhh giiiiiiilaaaahhh mentooookkhhh mentookhhhhh aaaaghhhh kon kontollllhh enakkkhhhhh...”

“Egh aku keluar keluuaaaaaaahhhhh egh egh egh egh.”

Tubuhnya ambruk kedepan. Aku langsung menindihnya. Beberapa kali dia mengejang dengan mata tertutup. Aku memeluknya, mencium lembut tengkuk lehernya. dan kembali menggerakan pinggulku. Tak ada protes ketika aku menggerakannya pelan. ku ercepat dan..

“Artaaahh pelanhhh mmmhhhh panassshhhh ugghhh sayangghhh pelannhhhh... kontol kamu mmmmhh.”

Aku tak memepdulikannya. Aku bangkit dan kembali Aku terus menggoyang pinggulku dengan posisi tante eviela tengkurap. Semakin licin, hangat, terasa ada cairan yang ikut keluar dari vaginanya. Kedua tangannya menggenggam erat sprei. Matanya terpejam, tertutup rapat seperti menahan rasa sakit.

“Artaaaaahhhhh cepaaathh selesaikannhhh mmmmhhhhh sakit sayanghhhhhhh eghhhhh.”

Setelah kata-katanya membuatku merasa, entah apa itu, rasa iba atau apa. Dan pada saat itu juga tiba-tiba aku merasakan rasa sensitif, lebih sensitif di pensiku.

“Iyahh tannn sebentar lagiihhh,” jawabku.

Aku menggoyang kembali dengan lebih keras dan cepat. Tangannya semakin menggenggam erat sprei tempat tidur, menariknya mendekat ketubuhnya. Suara perpaduan kelamin kami semakin terdengar keras.

“aagh tan, aku mau keluar tan...”

“Keluarkan mmmhh aku jugaaah mau keluarrrhhhh sayanggghhh.”

Plak!

“Aah yaaaaaaaaahhhh errrrrrrrrrghhhh aku keluarhhh keluarrrhhhh lagihhh aku keluaaaaaaaaaaaarrrrrhhh...”


“Aku juga , aku juga... heghhhh”

Setelah ku tampar keras, dan kembali aku menggerakan pinggulku lebih cepat dan ku akhiri dengan menghujamkan sedalam-dalam mugkin penisku ke dalam vaginanya. Tubuhku ambruk dan memeluknya. Ku peluk erat, sembari menekan pinggulku ke pantatnya. Beberapa kali aku megejang mengeluarkan spermaku. Dan setelahnya tubuhku menjadi lemas.

“Sayangh berathhhh...”

Srrrk...

Aku menggeser tubuhku, tidur telentang. Ku hirup nafas dalam-dalam. Aku menoleh ke arah tante eviela, tampaknya dia juga sama, lelah. Dia merubah posisinya menghadap ke arahku. Menempatkan kepalanya di sebelah kepalaku. Kami saling berpandangan, dia tersenyum dengan nafas yang masih terengah-engah. Tangannya meraih pipiku, menariknya sedikit mendekat. Bibirnya kembali melumat bibirku untuk kesekian kalinya.

“Hash hash... kamu hebat sayang, terima kasih,” ucapnya dengan senyum terlukis dibibirnya. aku hanya bisa mengangguk dan membalas dengan sedikit senyum.

Tante Evie kembali merapatkan tubuhnya, memelukku. Aku yang sudah tidak sanggup lagi bergerak, hanya mampu melihat langit-langit kamar. Semakin lama, semakin redup cahaya mataku. Dan akhirnya aku terlelap di pagi yang cerah ini. Lelah rasanya.

.
.
.

“Uuughh... hoaaammmhhhh.”

Akhirnya bisa bangun lagi. Rasanya sedikit pegal. Segera aku bangkit dan duduk mengumpulkan kesadaran. Memutar tubuh, merenggangkan otot-otot tangan dan juga menggerakan kepala. Beberapa kali bunyi tulang membuat rasa pegal sedikit hilang. Aku amati kamar, sepi, hawa dingin dari pendingin ruangan membuat suasana masih terasa seperti awal pagi. Padahal dari jendela kamar sudah sangat kelihatan kalau ini sudah melewati tengah hari. Aku kemudian bangkit, dengan berbalut selimut, ku ayunkan langkahku menuju pintu keluar kamar.

Kreeek...

“Sudah bangun?” tanya tante eviela, dia duduk disofa depan televisi yang menyala. Film kartun kalau aku lihat.

“I-iya tan.”

“Mandi dulu sana, kalo gak mandi aku tubruk lagi lho hi hi hi.”

“Capek tan.”

“Sama, tapi liat aku dah rapi kan? Sana Mandi!”

“Iya iya tanteeeeee.”

Aku segera menuju kamar diatas, dimana aku tidur kemarin siang. Mandi, tanpa harus mengingat wanita cantik yang telanjang lagi. Tapi tadi dia tampak rapi sekali dan seksi ketika aku keluar kamar. ah, gila, kalau habis seperti ini pasti yang aku ingat tubuh indahnya. Sama seperti ketika dengan Ainun. Kalau lihat dia, walau sudah berpakaian lengkap dengan kerudungnya, yang ada bayang-bayang tubuh telanjangnya dipikiranku. Hufth, jadi kangen sama Ainun.

Segera aku menyelesaikan mandiku. Bergegas turun dan duduk di sofa menemani tante Eviela. Pas aku duduk, dia langsung bangkit dan menuju ke dapur. Buat minuman mungkin. Aku rebahkan tubuhku di sandaran sofa, kalau aku lihat lagi ruangan ini sudah rapi sekali. Padahal semalam, kalau tidak salah, mmmm... kenapa susah sekali mengingatnya ya? seingatku berantakan.

Kletek...

“Ini minumnya, diminum dulu.”

Nah, benarkan dia membuatkan aku minuman. Segelas teh hangat. Segera aku mengambilnya dan ketika aku mencium aromannya, aroma melati.

“Ainun,”bathinku.

“Hei, malah ngelamun.”

“Eh tante bikin kaget saja, siapa juga yang melamun.”

“keinget seseorang ya? pacar kamu? atau gebetan kamu?”

“End-endak tant.”

“Bilang saja iya, aku ini cewek lho ar jadi tahu kalau masalah cowok seumuran kamu. kan pernah muda hi hi, iya kan mikirin cewek?”

“Ndak juga.”

“Sudah tenang saja, aku jaga rahasia kok. Gak bakal aku sebar-sebarin deh pemerkosaan tadi malam.”

“uhuk uhuk...” segera aku meletakan gelas.

“Ta-tante?! I-itu a-anu bu-bukan, anu...” aku gugup dengan mengegrakan kedua telapak tanganku.

“Hmmm wanginyaaaaa jadi pengen lagi nih tante,” ucapnya, mendekatkan hidung ke arah tubuhku. Aku mundur dan menghindarinya.

“Ta-tan su-sudah.”

“I-iya iya... hi hi hi lagipula aku juga gak maniak-maniak banget. Hufthh... kamu kuat banget ternyata, dan baru kali ini aku merasakan orgasme.”

“Eh, maksudnya?” dia menoleh ke arahku, tersenyum.

Dengan segelas minuman digenggamnya dia memulai ceritanya. Memang tidak jauh seperti yang dia ceritakan sebelumnya. Dan cerita kali ini lebih cenderung ke cerita dimana dia menjadi budak seks suami dan teman-teman suaminya. Berbagai macam siksaan dan hal memalukan pernah dia alami tapi, dia tidak pernah merasakan puncak kenikmatan sama sekali. Yang ada hanya rasa sakit, rasa malu, rasa risih.

Ku ambil segelas teh aroma melati. Pelan kudekatkan ke bibir, srupt ah, masih terasa hangat sembari mendengarkan ceritanya. Cerita dari bibirnya membuat hatiku trenyuh, tapi kalau diingat-ingat bagaimana dia melakukannya denganku, sepertinya masih ada sisa-sisa keinginan untuk diperlakukan sama.

“Jangan berpikir aku masih sama dengan dulu, kalau disuruh gitu lagi gak mau akunya.”

“Eh...”

“Hi hi hi kamu pasti mikir gitu kan Ar?” aku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya.

“Aku termasuk wanita yang ekspresif, jadi kalau tadi kamu heran aku sampe teriak-teriak, wajar hi hi hi enak sih, apalagi waktu...” kata-katanya tehenti, setelahnya dia meletakan gelas di meja. Kakinya di menyilang, tubuhnya bergeser menghadapku. Jarinya berada didaguku.

“Kamu tampar pantatku jadi tambah horni cup...” lanjut tante sembari mengecup pipiku.

“Ta-tante..”

“hi hi hi... hanya sebatas itu, tidak lebih karena memang dasarnya aku ingin sesuatu yang sedikit ekspresif. Dan lagi pula...” aku memandangnya sedikit takut.

“Iiih kok gitu liatnya? Tenang saja, gak bakal minta lagi,” ucapnya sembari membenarkan duduknya kembali.

“Bisa pingsan aku Ar hi hi hi, kamu tuh pantesnya punya istri lebih dari satu,” lanjutnya.

“K-Kok bisa tan?”

“Lha iya, kalo cuma satu bisa-bisa istrimu koma satu tahun itu hi hi hi...”

“Maksudnya tant?”

“Udah gak usah dibahas, yang jelas terima kasih buat hari ini, itu pengalaman yang indah buat tante dan yang pertama kali membuat tante puas.”

“Eee he he he...”

Sejenak kami terdiam, menikmati acara televisi yang entah aku sendiri tidak mengerti dengan acara tersebut. Acara musik, ya kuis tapi candaannya kadang keterlaluan. Sebenarnya itu cocoknya candaan di warung angkringan.

“Oia tan, sebenarnya aku disuruh kesini buat apa? atau hanya...”

“Oh iya, ya enggaklah, masa Cuma buat itu. itu kan hadiah buat kamu karena nolongin aku Ar. sebentar ya,” jawabnya kemudian dia bangkit dan melangkah menuju kamarnya.

Selang beberapa saat dia meletakan laptop di meja. Sambil menunggu laptop menyala dan masuk ke home screen, tante Evie kembali bangkit sembari membawa gelas kami. Paling tante mau buat minuman lagi. Aku masih duduk dan mengamati layar laptop, sedikit geli juga ketika melihat gambar di layar home screen-nya. Gambar tante Eviela sedang berfoto bersama kucing putih.

Kletek..

“Cantik kan? Hi hi hi”

“Eh tan, iya... kucingnya he he he”

“Dasar jahil... Nih diminum dulu sama ini, kalo mau ngrokok,” ucap tante meletakan sebungkus rokok kesukaanku disamping gelas.

“Ndak papa tan? Disini?” tanyaku mengambil rokok.

“Gak papa, kan tante sudah ngrokok.”

“Sudah?”

“Iya tadi pagi, ngrokok punya kamu hi hi hi.”

“Hadeh tan...”

“Hi hi hi... Dah dah, nih sekarang perhatiin,” ucapnya, tangannya cekatan ketika membuka explorer di komputer.

“Sambil ngrokok gak papa Ar,” lanjutnya tanpa melihat ke arahku.

Aku menyulut Dunhill putih, ku hisap segar juga rasanya. Sesekali aku meneguk teh buatan tante. Ku lihat dia membuka sebuah folder yang berisikan foto-foto. Memang kurang begitu jelas, karena posisiku yang duduk tegak sedangkan laptop berada di meja. Aku menggeser dudukku mendekat ke tante Eviela. Dia kemudian membuka salah satu foto.

“Kamu tahu dia kan?”

“I-itu kan?”

“Iya itu mantan suamiku, Takur, dan yang disebelahnya lagi adalah teman baiknya. Namanya Rawa, lengkapnya kalau tidak salah adalah Kurawa. Mereka berdua adalah teman baik, kemana-mana mereka selalu bersama. Mereka juga tangan kanan seseorang yang dipanggil Bos Besar oleh mereka.”

“Eh, dia i-itu.”

Aku ingat dua orang ini, tak akan pernah aku lupakan apa yang telah mereka lakukan. Satu mati dan satunya harus ikut mati. Mereka berdua harus membayar yang telah mereka lakukan di masa lampau. Masa dimana seharusnya aku merasakan kebahagiaan. Hatiku seakan terbakar jika melihat mereka berdua, walau yang satunya sudah pergi dan tak akan kembali.

“Ar...”

“Eh, i-iya tan...”

Dia menatapku tajam, kemudian tersenyum. Dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu tapi dia menahan bibirnya untuk bertanya kepadaku. Pandangannya kembali ke layar laptop dan kembali dia menjelaskan satu persatu gambar yang terpampang di layar. Gambar-gambar awal terdapat dia sedang di perbudak oleh mereka, entah darimana dia mendapatkan gambar ini. Biasanya orang akan merasa malu jika melihat gambar ini.

“Ingat wajah-wajah ini Ar.”

“I-iya tan.”

“Jangan malah liat tubuh telanjangku itu, ntar berdiri lagi, aku yang susah lho.”

“Endak tan, endak.”

“hi hi hi... yang jangan gelisah gitu dong, udah liat dari dekat, terus ngrasain lagi, masa berdiri lagi.”

“Normal tan...”

“hi hi hi iya, iya hi hi...”

“Tante ndak malu apa? lihat gambar tante sendiri terus dilihatkan ke aku?”

“Malu sebenarnya, tapi ini demi kebaikan kamu, Ar. kamu sudah terlalu jauh melangkah, jika kamu kembali mereka akan mengejarmu. Tak ada jalan lain selain kamu harus tetap melangkah mendekat ke mereka.”

“Sekarang kamu perhatikan kembali semua foto-foto ini. Aku akan memberimu informasi mengenai orang-orang yang ada didalamnya, begitu pula para wanita-wanita didalamnya.”

“I-iya...”

Dia memperlihatkan foto-foto itu kembali. Foto dimana sedang diadakan pesta, mungkin lebih cocok di sebut pesta seks. Banyak perempuan disana, termasuk tante Eviela. Foto dimana para lelaki di foto tersebut melakukan hubungan seks secara liar. Satu perempuan bisa dinikmati oleh beberapa lelaki, padahal banyak perempuan disana, julahnya pun lebih banyak dari lelaki yang ada disana.

Satu persatu dia menyebutkan nama sembari menujuk setiap wajah lelaki di foto yang ditampilkan di layar laptop. Jabatan dari setiap lelaki itu dia jelaskan, serta perusahaan dimana mereka bernaung. Perusahaan-perusahaan itu merupakan kepanjangan dari perusahaan milik seseorang yang disebut dengan “Big Boss”. Big bos adalah seseorang yang memiliki sebuah perusahaan besar, dia berada dibalik layar perusahaan yang dipimpin oleh anak buahnya sendiri, dimana anak buahnya atau pimpinan perusahaan tersebut adalah boneka Big Bos. Sampai sekarang Big Bos belum teridentifikasi identitasnya.

“Ingat juga wajah-wajah wanita itu, mereka memang langganan mereka. Tapi yang ini, aku lupa namanya, dia adalah langganan tetap kalau yang lain hanya terkadang dipanggil. Terus laki-laki ini juga bagin dari mereka, ini juga. Maaf aku tidak tahu nama mereka, tapi ini penting agar kamu tahu wajah mereka terlebih dahulu. Agar kamu lebih berhati-hati ketika diluar sana.”

“Iya tan.”

“Oia Ar, sebenarnya di dalam pesta itu ada yang namanya Big Boss tapi sayangnya hanya beberapa perempuan yang menjadi pilihan Big Boss. Aku tidak pernah melayaninya. Dialah sebenarnya pemilik perusahaan utama tersebut, tapi sampai sekarang tidak ada yang tahu kecuali anak buahnya. Perusahaan itupun dipimpin oleh anak buahnya. Dan...” dia bangkit memandangku.

“Itu adalah perusahaan saingan dari Perusahaan Raga, musuh dari Raga. Dan aku yakin kamu tahu siapa Raga,” aku terdiam ketika mendengar nama Mas Raga disebutkan.

“Kamu pasti tidak akan memberitahukan posisimu sekarang, tapi kamu tetap butuh Raga. Hanya Raga yang bisa melindungimu dan membantumu.”

“Hufth... ya, aku memang mengenal Mas raga.”

“Hi hi hi benerkan? Ya sudah, berarti kamu sedikit aman.

“Maksud tante?”

“Ya itu tadi, kamu masih bisa terlindungi karena kekuatan Raga sama besar. Jika kam berada didalamnya, berarti kamu berada dalam pengawasan dan perlindungan Raga.”

Tante Eviela memang banyak tahu tentang “Keluarga” dan juga musuhnya. Dia menceritakan pertikaian antara dua kubu tersebut, dimana kubu lawan ingin menguasai Ibu Kota. Melakukan monopoli besar-besaran, tapi semua itu terhalangi oleh adanya Mas Raga. Padahal mereka dulunya adalah bagian dari “keluarga”. Jika dulu, mereka tidak berani bergerak karena pengaruh dari Kakek Mas Raga yang begitu besar membuat nyali mereka ciut. Tapi setelah Kakek Mas Raga meninggal, mereka mulai bergerak. Bergerak secara halus, melakukan kudeta secara tak terlihat.

Satu persatu anggota dari keluarga mulai mengambil arah yang beralawanan. Semua itu karena kedatangan seseorang yang dipanggil Big Bos. Entah dari mana datangnya si Big Bos tersebut, tante Eviela tidak pernah tahu sejarahnya.

“Dan satu lagi Ar...”

“iya tan”

“Ada seseorang di balik Big Bos, di kelihatannya seumuran denganku. tapi dia tidak pernah ikut acara pesta apapun karena dia memiliki seorang perempuan yang dia panggil ‘bunga melati merah’. Aku tidak pernah melihat wajah lelaki tersebut dan juga si bunga melati merah. Entah siapa dia.”

“Bunga melati merah?”

“Ya, bunga melati merah. Kamu tahu?” aku menggelengkan kepalaku.

Aku kembali melihat foto-foto tersebut. Seberkas ingatan muncul di kepalaku, bunga melatih merah. Aku pernah mendengar istilah ini sebelumnya, tapi dimana aku lupa. Apakah kakek yang mengatakan kepadaku? atau orang di desa? Tapi, argh, aku benar-benar lupa. Yang jelas, istilah ini pernah aku dengar di desa.

“Ar...”

“I-iya tan..” aku menoleh memandangnya yang sedang tersenyum ke arahku.

“Aku tidak tahu darimana asalmu, tapi dengan kamu datang kesini dan masuk dalam jalan ini. kamu harus menyelesaikannya karena kamu sudah melibatkan orang-orang disekitarmu. Tak akan bisa kamu kembali, sekali kamu kembali ke awal jalan... orang-orang yang pernah kamu kenal akan hilang ketika kamu mencarinya.”

Aku termenung sesaat. Memang aku telah melakukan hal diluar dugaanku sendiri. pastinya mereka akan mencari informasi atas diriku, keluargaku, dan... teman-temanku. Secara tidak langsung aku telah melibatkan mereka. mau tidak mau aku harus tetap berjalan ke depan untuk menuntaskan jalan ceritaku ini.

“Yang penting jangan bertindak brutal, kamu juga harus bermain rapi. Sekali kamu tidak bermain rapi, mereka bisa mengambil orang-orang yang kamu sayangi secara paksa. Sampai sekarang, menurutku, mereka belum tahu siapa kamu.”

“I-iya tan.”

“Sudah, kamu istirahat dulu. kamu tampak masih lelah karena kejadian tadi pagi atauu... kamu ingin sekali lagi? Hi hi hi...”

“Ti-tidak tan, sudah...”

“Iya iya, aku kan sudah bilang kalo kamu minta lagi, aku pasti juga akan nolak. Sakit tahu, hi hi hi”

“hadeeh...”

Aku menolak untuk beristirahat karena memang aku tidak merasa terlalu lelah. Kembali aku berbincang dengan Tante Eviela. Mencoba mencari informasi lebih detail, tapi kelihatannya semua informasi sudah aku dapatkan. Itu terlihat jelas dari setiap percakapan kami. Mau pakai cara apa juga hasilnya tetap sama saja.

“Ar, sebenarnya kejadian apa yang membuatmu melakukan.. ya kejadian saat itu, saat kita pertama kali berjumpa?”

“I-itu... sudahlah tan, aku tidak ingin menceritakannya.”

“Ada kaitannya dengan orang yang kamu sayangi?” aku mengangguk.

“Dia meninggal?” aku kembali mengangguk.

“Kalau begitu jaga yang sekarang ada disekitarmu, jangan sampai terulang kembali ya?”

“Pasti tan, pasti...” aku sedikit menunduk, menghela nafas panjang.

“Maaf ya, kalau mengingatkanmu kembali.”

“Ndak papa kok tan,” ucapku semabari mengangkat wajah memandangnya dengan senyum. Dia pun membalasnya.

“Oia, ngomong-ngomong kamu gak dicari cewek kamu?”

“Eh, cewek? Belum punya tan...”

“Hi hi hi... kamu gak bisa bohong, Ar. Tadi pagi, saat kamu melakukannya, seakan-akan kamu teringat seseorang hi hi hi.”

“Ainun,” bathinku.

“Endak yo tan...” dengan nada ndesoku.

“tuh kelihatan, lagi mikirin seseorang. Ya sudah, kalau kamu gak capek aku antar ke kota. Biar kamu bisa segera pulang, okay? Aku gak enak sama cewek kamu, ntar nyari-nyari lagi hi hi hi.”

“He he he... oia tan tapi kejadian ta-tadi...”

“tenang saja, rahasia aman hi hi hi...”

Setelah berbincang sejenak dengan tante eviela, dia kemudian mengantarkan aku kembali ke kota. Menuju ke sebuah terminal Bis. Disana sebelum sambil menunggu keberangkatan Bis, aku masih mengobrol dengannya didalam mobil.

“Tuh bisnya mau berangkat,” ucapnya, mengehntikan obrolan kami. Aku menangguk dan segera keluar dari mobil, tapi tiba-tiba dia menarik tanganku. Mengecup pipiku kemudian dia mendekatkan bibirnya ke telingaku.

“Kalau pengen sama aku lagi, kesini saja ya. Tapi tiga jangan sampai empat kali keluar, capek tahu hi hi hi,” bisiknya.

“hadeh tan...”

“Dah sana hati-hati..”

“Iya tan, terima kasih untuk semuanya.”

“Iya sama-sama, kaau butuh info lagi atau yang tidak kamu tahu, hubungi aku ya.” aku tersenyum dan mengangguk.

Akhirnya aku berpisah dengan tante Eviela. Sebelum bis berangkat, mobil tante eviela sudah meninggalkan terminal bis. Didalam bis pikiranku masih tidak percaya atas apa yang aku lakukan bersamanya. Seorang wanita berkelas, setengah baya, dengan kulitnya yang halus dan wajah yang cantik telah bersatu denganku seperti halnya Ainun. Tak akan ada seorang pun laki-laki yang menolaknya, hanya lelaki bodoh semacam takur yang menyia-nyiakannya.

Jika teringat akan kejadian saat itu, kata-kata yang keluar dari bibirnya membuatku kembali merasakan hawa panas. Untungnya ada Pendingin ini Bis, jadi kembali dingin. Aku juga sangat beruntung atas semua informasi yang dia sampaikan kepadaku. Hufth, perjalanan masih lama, masih jauh. Mungkin malam nanti aku baru sampai di Ibu kota. Lebih baik aku tidur terlebih dahulu dan besok, lebih baik aku bolos kuliah saja. Aku masih terlalu lelah.


Bunga Melati Merah, ya aku pernah mendengarnya
Aku pernah mendengar itu di Desa
Tapi siapa yang mengatakannya dan kapan? Aku tidak ingat sama sekali
Siapa sebenarnya Bunga Melati Merah
Seharusnya Bunga Melati berwarna putih bukan merah​
 
Terakhir diubah:
Scene 29
Jangan Datang Malam Ini


Eviela Dewi Karunia​


Ainun ... ...

Jeglek...

“Ughh...”

Masih terasa sakit sekali vaginaku. Aku mengira tiga kali saja sudah cukup buatku dan dia, tapi ternyata tiga kali aku menggapai puncak dan itu ternyata belum apa-apa buatnya. Dasar pemuda, staminanya juga masih kuat. Perih sekali, rasanya, kesalahanku juga memaksa tubuhku untuk menggapai yang ketiga padahal malam itu dua kali saja aku sudah menyerah. Haaah, semua perkiraanku salah, salah besar, dia lebih kuat tanpa obat perangsang.

Aku masih bersandar di pintu mobil, merasakan sakit yang aku tahan sejak tadi pagi. untungnya dia tidak mengetahuinya, kalau tahu, bisa-bisa aku malu sendiri. yang minta malah yang kalah, lucu juga.

Pelan aku berjalan dengan rasa sakit divaginaku, rasanya seperti luka lecet tapi panas sekali. Besar lagi yang masuk, tapi baru kali ini aku bisa merasakan puncak kenikmatan dalam berhubungan seks. Dengan mereka, para bajingan itu, aku tidak pernah merasakannya sama sekali, sekalipun banyak yang seumuran dengan Arta. Artaaaa, Arta, hmmm...

Klek krieeet...

Brughhh....

“Aaaaaaahhhh lelaaaaaah sekali... sakitnyaaaaaa...”

Aku rebahkan tubuhku di atas sofa, dimana aku dan dia mengobrol tadi. ku pejamkan mataku, mengingat kembali kejadian-kejadian bersama pemuda itu, Arta. Kejadian, hi hi hi, pemerkosaan buatanku dan tadi pagi. Ufth... kalau aku mengingatnya lagi, rasanya.

“Mmmmmhhh...”

Ku raba payudaraku dengan kedua tanganku sendiri. Ku remas pelan, bibirku mendesah pelan beriringan dengan bayang-bayangnya yang menikmati tubuh tua ini. Ah, seakan aku masih bisa mencium aroma keringatnya. Membuatku semakin keras meremas payudaraku. satu tanganku turun menarik rok yang aku pakai, mengelus pelan pahaku sendiri. dan...

“Aaw... aduuhhh..” aku langsung bangkit dan duduk. aku rapikan rokku dan bersandar pada sofa.

Bodohnya aku ini, masih perih juga bisa-bisanya aku sentuh. Dasar perempuan mesum, sudah tua masih saja haus seks. Hmm.. mungkin aku memang masih butuh pendamping. Selain untuk memuaskan birahi, aku juga membutuhkan seseorang yang bisa membuatku nyaman dan merasa selalu terlindungi.

Kembali aku memejamkan mataku. Tanganku kembali meraba payudaraku. bukan ingatan ketika aku berhubungan dengannya tapi ingatan yang muncul adalah ingatan ketika malam itu. malam setelah kejadian pemerkosaan buatan. Ya, malam dimana dia tiba-tiba tanpa dia sadari menarik tubuhku dan langsung mengulum payudaraku. perlakuannya yang tiba-tiba itu membuatku kembali ingin meraskan rasanya menjadi seorang Ibu. Aku ingin sekali...

Tanpa aku sadari air mataku turun. Teringat bayi mungil yang dulu pernah aku lahirkan di dunia ini. aku bangkit dan menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Rasanya baru kemarin aku menggendongnya, baru kemarin dia menangis karena kehausan. Baru kemarin.

“Ar... semoga dengan adanya kamu, semua yang ada di Ibu kota bisa berubah. Semuanya... aku sangat berharap kepadamu...”

Aku bangkit, berjalan perlahan karena masih terasa sakit di vagina. Membuat segelas teh, mengambil sebatang rokok. Rokok yang sama dengan yang dia hisap. Aku kemduian duduk di dekat pagar pembatas, tempat dimana dia juga menikmati pemandangan alam. Haah, Semua informasi sudah aku berikan kepadanya. Semoga itu bermanfaat untuknya.


“Eh tadi dia...”

Aku teringat ketika aku mengatakan Bunga Melati Merah. Tiba-tiba saja dia terdiam, apakah dia mengetahui tentang Bunga Melati Merah? Dia pasti berpikir akan warna bunga melati, seharusnya putih bukan merah. Dan seandainya dia tahu tentang Bunga Melati Merah, tidak menutupi kemungkinan takdir dia memang harus ke kota ini. Jika dia tahu... atau bahkan mendengarnya, Siapa sebenarnya Arta?


Aduh, kelihatannya memang otak tua ini sudah tidak bisa lagi untuk diajak berpikir. Lebih baik aku kesampingkan saja pikiran tentang melati itu, biar dia yang berpikir. Masalah asal usul dia, biarkan semua mengalir. Aku yakin dia bukan orang jahat, aku yakin itu. Masa lalu dengan mantan suamiku dan juga Rawa, kelihatannya sangat menarik. Karena saat itu wajahnya, auranya benar-benar seperti seorang yang tak memiliki rasa belas kasihan.

“Hufth, jadi ingin dia tetap disini...”

Tapi kasihan juga cewek-ceweknya nanti. Tapi mungkin sesekali aku harus mengajaknya kesini kembali. Sekedar melepas kangen tanpa diketahui orang-orang disekitarnya. Kasihan kalau ada yang tahu, bisa-bisa aku jadi perusak hubungannya dengan para perempuannya, hi hi hi.

Arta, kamu harus kuat... harus
 
Terakhir diubah:



“Sudah senin sore, dia pasti sudah pulang kuliah...”

Aku melangkah keluar rumah, menuju kontrakan si, ugh uggh ugh. Jengkel banget rasanya, hampir dua hari gak ada kabar sama sekali. Emang sih aku bukan ceweknya, aku sadar itu, tapi paling tidak, paling tidak. Hufth... sabar Ainun, sabar. Kenapa aku marah-marah sendiri, aku ini seorang istri yang tidak dianggap oleh suamiku sendiri dan menemukan seorang lelaki yang lebih muda dariku yang menyayangiku. Eh, pede banget aku ya.

Aku ayunkan langkahku pelan, masih ada perasaan ragu. Sebenarnya tidak masalah aku ke kontrakan itu, toh aku membawa map berisi tagihan listrik dan air kontrakannya. Wajar kan sebagain Ibu RT mengingatkan dia, lagi pula aku juga selalu seperti ini ke warga yang lain. Gak papa kan? Pokoknya aku harus ingatkan air sama listrik bulanan dia?! Harus! Eh, Sebenarnya mengingatkan dia apa kangen? Mengingatkan dia atau pengen ketemu dia? Emmh, suamiku ada dirumah. Bete juga, kenapa dia gak ke rumah istri keduanya saja? Hgghhh... jengkel!

“Bu RT mau kemana?” tanya seorang ibu-ibu kompleks yang sedang berada didepan rumah. Dia kemudian berjalan mendekat ke pagar rumahnya.

“Ini narik iuran air sama listrik kontrakan pojok, bu” jawabku semabri berjalan mendekat ke arahnya.

“Wah, rajin banget bu. Tapi memang bener bu, kalau gak digituin warga pada nyepelein. Apalagi tuh yang ngontrak mahasiswa, biasanya mereka suka nyepelein.”

“Iya bu makanya, harus ditegesin ini.”

“He’em gitu aja bu, biar mereka tahu rasanya punya rumah.”

Sedikit aku mengobrol dengan tetangga komplek. Namanya juga ibu-ibu, kalau sudah ngobrol kadang malah ngelantur kemana-mana. Tapi untungnya aku masih ingat tujuanku, mengingatkan dia untuk bayar listrik. Aku segera menyudahi obrolanku dan kembali menuju ke kontrakan pojok. Kurang lebih 10 meter dari kontrakan aku sudah bisa liat motor yang biasa dia tunggangi. Itu tandanya dia sudah berada di rumah.

Tok tok tok...

“Iya..”

Tok tok tok...

“Iya sebentar-sebentar...”

Trap trap...

Terdengar langkah kaki tergesa-gesa dari dalam. Aku diam, tadi sebenarnya aku sudah gak begitu marah tapi gak tahu kenapa perasaanku jadi campur aduk. Antara khawatir dan marah. Aku rasakan sendiri kalau raut mukaku menjadi sangat masam, kerasa banget kalo wajahku jadi wajah yang jengkel.

Kleeek...

“Eh, nun eh... bu RT”

“Eeeeh mas Arta, baru bangun tidur ya? kelihatan banget capenknya? Hayooo habis ngapaiiin” tanyaku penuh dengan senyum

“E,i, a-nu i-itu..”

“Kok takut banget jawabnya? Boleh masuk gak ini? masa Ibu RT di suuruh diluar, gak kasihaaaaaan” aku masih tersenyum, sedikit geram sih sebenarnya.

“I-iya, bo-boleh...” dia berjalan sedikit mundur, kemudian membuka pintu kontrakan lebih lebar. Tangannya kelihatannya sedikit gemeteran pas nglepasin gagang pintu.

“Habis bangun tidur ya Ar.”

“Gak kuliah?” dia menggeleng.

“Kenapa? habis jalan-jalan sama cewek ya?” tanyaku pelan.

“Eh, eng-enggak nun, eh bu RT.”

Aku terus berjalan ke arahnya, dia melangkah mundur. Sedikit aku menoleh ke samping, sudut mataku bisa sedikit melihat situasi dibelakangku, hanya untuk memastikan tak ada orang yang sedang lewat didepan rumahnya. Ku geser tubuhku, kesamping mendekati pintu. Dengan siku kananku aku mendorong pintu hingga setengah tertutup.

“Kenapa mundur-mundur?” kini nada suaraku sedikit naik.

“Eh, anu, itu, ndak papa.”

“Sini maju.”

“I-iya...”

“Kok nunduk, liat aku. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu kok.”

Dia mendongakan kepalanya, matanya kami bertatapan.

“Nah gitu, kan kelihatan wajahnya. ini lho, aku itu mau kasih rekening air sama listrik. Segera dibayar ya?” ucapku kembali tersenyum ke arahnya.

“Oh iya, lupa, maaf ya..” jawabnya dengan senyuman khas.

“Nah kalau begitu, nanti kamu bayarnya sama pak RT ya,” ucapku dengan senyuman, senyuman nahan jengkel. Gemes. Gregetan.

“I-iya, eee... kok senyumnya seperti i-itu?”

“Lho kan senyum, Arta. Gak boleh ya?”

“Bo-boleh kok.”

“Kok mundur-mundur lagi, takut sama Bu RT ya? Bu RT gak gigit kok, sini ndeket. Biar Ibu RT jelasin mengenai listrik dan airnya.”

“Eh, i-iya bu...” dia melangkah mendekat.

Plak!!!

“Auch...”

Srrrrkk...

Ku tarik kaosnya dengan sangat kuar, biar dia bisa lebih deket.

Cup...

“Nunmmmmppphh...”

“Kangen tahu,” lirih di depan wajahnya. Sebentar bibirku menempel di bibirnya setelah sebuah tamparan mendarat dipipinya.

“Eh, ma-maaf kemarin.”

Tanpa mempedulika kata-katanya, aku melangkah mundur. Membalikan tubuhku. Dia sebenarnya mencoba meraih tanganku tapi aku mengayunkan tanganku untuk menepisnya. Dia tidak berani mencoba lagi ketika aku sudah membuka lebar pintu kontrakannya. Aku melangkah keluar dari kontrakan.

“Ya sudah, itu nanti segera dibayar atau bulan depan gak pakai listrik sama air,” ucapku setengah menoleh ke belakang.

“I-iya bu, iya...”

Tanpa menoleh ke belakang aku berjalan kembali menuju rumah. Sesekali aku menunduk dalam langkahku, mengelus bibir.

“Rasanya... bau rokok! Huh!”

Tapi kenapa dia tidak berangkat kuliah hari ini? bukannya setiap senin dia ada jadwal kuliah. Memang aku tidak begitu tahu jadwal mata kuliahnya tapi paling tidak aku selalu mengamati kalau dia keluar dari kontrakan. Cuma sabtu kemarin saja aku tidak tahu, mungkin dia keluarnya pas subuh-subuh. Bisa jadi.

Aku ambil sematponku dari saku rok. Aku ketik sebuah pesan ke watsapnya, agar dia tidak menyusulku atau tidak datang ke tempatku dan pastinya dia tahu alasanku. Tak lama setelahnya ada balasan darinya, dia sedikit kecewa karena dia sebenarnya sudah siap-siap untuk ke tempatku. Masa bodohlah, aku tidak membalasnya langsung. Baru sesampainya di kamarku, aku membalasnya untuk tidak datang malam ini. Lama kelamaan dia jadi lucu, dibalsannya pesanku dengan sebuah emoticon kaget, entah apa artinya. Tak ada balasan lanjutan darinya dan aku tidak ingin memperpanjanng.

Tubuhku rebah, enak sekali rasanya setelah ku hantamkan keras ke kasur empuk. Hufth, kenapa ya kalau habis sama dia aku jadi sedikit berubah? adakah sesuatu yang salah dengan diriku? Atau memang ada sesuatu dalam diriku yang memang berharap kedatangannya? Padahal aku sudah tahu, akhir dari aku dan dia, tak bisa bersatu. Tidak mungkin kalau aku... aku tidak tahu. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di hari esok, entah bisa atau tidak, aku ingin menjalaninya.

“sssshhh... hhhffthh...”

Bau keringatnya, masih ada di bantal ini. Gara-gara bau ini, aku selalu malas untuk mencuci sarung bantal berwarna putih dengan motif bunga ini. Apa cuma perasaanku saja ya, kalau baunya masih nempel? Padahal sudah lama sekali, lamaaaa banget.

Tak terasa mataku menjadi sangat lelah, mataku pelan terpejam. Rasanya sangat lelah, mungkin aku lelah menunggu sore hari hanya untuk bertemu dengannya. Seandainya aku tahu dia tidak berangkat kuliah sejak awal, aku sudah menyuruhnya ke rumah ini pagi tadi. Seandainya dia lelah, bisa jadi aku akan mencari-cari alasan untuk bisa kesana dan menemaninya. Seandai... ngantuk

.
.
.

Tok.. tok... tok...

“Ya sebentar,” teriakku dari dapur.

Seingatku sekarang mendekati pukul delapan malam, biasanya memang ada sesekali orang bertamu tapi bukannya warga tahu kalau pak RT sedang keluar? Segera aku menyelesaikan mencuci piring yang baru saja aku gunakan untuk makan. Ku percepat langkahku menuju ruang tamu, mengimbangi ketukan pintu yang semakin lama semakin sering aku dengar. Aa dia tidak bisa bilang permisi atau apa gitu?

Kleeek...

“Selamat malam Bu RT, ini sa...”

Aku terkejut ketika melihat Arta berdiri didepan pintu. Dengan wajah yang kelihatanya berlagak polos, padahal aku sudah mengatakan padanya untuk tidak datang malam ini. kenapa dia harus datang malam ini? perasaanku jadi campur aduk, dan akhirnya jengkel.

“kamu, kena... Huh! dah sini cepat masuk!” aku langsung menarik tangan kananya, ku paksa dia masuk.

“Eh, Se-sebentar i-ini ma...”

“Sudah, diam!”

Aku keluar, melihat situasi. Ku tengok lingkungan sekitar rumahku, terlihat aman, sepi. Sepasang sandal yang dia pakai langsung aku ambil, pintu kemudian aku tutup setengah. Dengan cepat langsung aku menariknya masuk ke ruang tengah.

“Nun, a-aku.”

“Sudah diam! Dasar!” bentakku, sedikit jengkel rasanya. Kembali kutarik tangannya ke dalam kamarku. Tak ada perlawanan, aku yakin dia sudah tahu kalau aku sendirian di rumah, dan tak mungkin dia melawan marahku.

Jeglek..

“Kamu itu ya! aku kan dah bilang! jangan datang malam ini! kenapa malah datang? Huh!” marahku dengan kedua tangan bersedekap didepannya. Aku dan dia, berdiri tepat dibelakang pintu masuk kamar.

“I-itu a-aku ma-mau...”

“a u a u... kalau dibilang jangan kesini ya jangan kesini! Kenapa malah kesini?! Kalau aku bilang jangan itu berarti rumahku sedang ada dia. Dan ini sebentar lagi dia pasti pulang!”

“I-iya a-aku tahu maksudku itu mmmhhh...”

Cup...

Aku meraih dua pipinya. Menarik wajah lelaku yang membuatku jengkel hari ini. bibir kami pun beradu, lama. Aku sudah bosan mendengar alasan dia, a-u-a-u memangnya perempuan butuh alasan yang isinya cuma huruf vokal? Dasar! Lelaki ini lebih memilih mengambil resiko, yang berarti dia memang ingin bertemu denganku. Pastinya. Dan aku? Aku sangat mmm, entahlah aku tidak ingin mengungkapkannya. Yang jelas kini dia didepanku dan aku ingin ‘dibayar’ karena kegelisahanku selama dua hari kemarin.

“Nunmmmppphhh...”

Tak ada kesempatan baginya. Ku tarik tangannya untuk memelukku walau sebenarnya spontan dia sudah memelukku. Kurang erat, jadi kurang krasa. Makanya pengen banget aku dipeluk erat oleh lelaki ini. Bibirnya, dia masih hangat tak ada bau yang aku benci. Aroma sabun juga masih tercium. Aku takin dia baru saja mandi, wajar mau ketemu denganku.

Bbbrrrmmm....

“Eh...” aku langsung melepaskan pelukanku, melepaskan ciumanku.

Krieeeet...

Deg, mobilnya sudah masuk, pintu pagar rumah juga terdengar sudah dibuka. Aku kebingungan sendiri, sedangkan dia, kenapa wajah dia masih tetap tenang?

“Ugh! Benerkan mereka datang! Kamu itu ugh! Pokoknya didalam kamar jangan keluar-keluar!”

“I-iya.”

Sedikit aku membentaknya, wajar aku dalam keadaan gugup. Sulit untuk menyembunyikan dia, palagi ‘suamiku’ datang bersama adik dan juga anaknya. Bingung, tapi aduh, segera aku keluar dari kamar dan bersikap tenang. Ku hela nafas panjang, menyiapkan diriku agar tidak terlihat gugup. Setelah yakin dan tenang, aku menyambut mereka. Dan benar, adik beserta istri dan juga dua anaknya, yang satu cowok yang satu cewek. Dia adalah adik angkat dari ‘suamiku’, karena setahuku sudah tidak ada keluarga lagi dari ‘suamiku’.

Aku sambut mereka dengan senyum dan tentunya bersikap biasa walaupun sebenarnya banyak sekali pikiran. Tentunya pikiran itu adalah Arta. Sebentar aku kesampingkan pikiran itu walau terus membayangi, mengobrol bersama mereka di ruang tamu.

“Oh ya, kalian tidur di kamar depan, nanti mas tidur dikamar belakang sama mbakmu,” kata ‘suamiku’ yang membuatku semakin gugup. Bagaimana tidak? Di kamar belakang sedang ada Arta didalamnya. Walaupun pada akhirnya ‘suamiku’ tidur didepan TV, tapi pastinya dia akan masuk terlebih dahulu ke dalam kamar untuk tetap menjaga kepura-puraan hubungan suami istri ini.

“Iya mas, makasih lho mas. Oiya bukanya kamar depan itu kamar kalian?” tanya adik ipar ‘suamiku’.

“Dulu iya, tapi sekarang jadi kamar kerjaku. Mbakmu ini kan tidak suka rokok, jadi kamar depan khusus untuk mas kerja sambil ngrokok. Kamar belakang kamar kita? Gak papa kan? Sudah bersih kok, gak ada bau rokok tadi pagi sudah aku bereskan”

“Oooo ya sudah mas, gak papa, maaf lho mas ngrepoti,” balas adik lelakinya.

“Gak papa santai saja, ya sudah kalian ke kamar dulu saja. Ngobrolnya nanti atau besok, kelihatan lelah banget itu.”

“Iya mas.”

“Ibu, ibu, aku tidur sama bu dhe saja ya.”

“Lho gak boleh sayang, tidur sama Ibu dan Bapak ya?”

“Aaaaa ndak mau, mau sama bu dhe,” rengek anak perempuan dari adik ‘suamiku’.

“Sudaaah gak papa dik, biar tidur sama saya saja, tapi bu dhe bersihin dulu kamar bu dhe ya?” jawabku. Dan dia mengangguk.

Aku pamit sebentar, membuatkan minuman, setelahnya aku langsung masuk ke dalam kamar. ku lihat dia sedang duduk, lagi-lagi dengan wajah polos dan bingungnya. Sebel juga rasanya lihat orang sedang dalam keadaan tidak aman malah santai seperti itu. aku tutup dan kunci pintu kamar, takut kalau ada yang tiba-tiba masuk.

“Egh, kamu ini, lagi bingung malah santai-santai saja?” ucapku berbisik.

“Lha a-aku harus bagaimana?”

Aku diam dan duduk disampingnya...

“Sudah, gini saja, kamu sembunyi di kolong tempat tidur. dan ingat jangan tidur, nanti kalau kamu dengkur bisa ketahuan, ya?” lirihku.

“I-iya iya...” jawabnya.

Dia langsung mengambil sandalnya, nurut banget. Masuk ke kolong tempat tidur. sedikit aku menunduk memastikan dia tidak terlihat dari luar. Bisa bahaya kalau ada yang melihatnya. Setelah semua aman, dan aku pastikan sekali lagi, aman, aku keluar dari kamar. mengobrol sejenak dengan mereka dan kemudian mempersilahkan mereka istirahat.

Kami bertiga kemudian masuk ke dalam kamarku. ‘suamiku’ hanya bertahan sebentar saja, kemudian dia keluar dan menonton televisi seperti yang aku bayangkan. Kini hanya ada aku dan anak perempuan dari adik ‘suamiku’. Mengajak ngobrol sebentar, dia bercerita kesana-kemari tentang sekolahnya. Dan kedatangan mereka kesini untuk ke pesta pernikahan saudara dari Ibunya. Setelah lama dia bercerita, kini giliranku menceritakan tentang ibu kota. Baru sebentar bercerita dia sudah tertidur. dan...

“Kenapa tidur dibantal itu sih!!!!” bathinku.

Entah kenapa jengkel sekali rasanya ketika melihat bantal kesayanganku dipakai orang lain. Tapi kasihan juga kalau aku rebut bantal itu, bisa-bisa dia bangun. Ku lihat perempuan cilik ini, lama kelamaan mataku lelah juga.

.
.
.

“Eghh...”

“Astaga!”

Aku bangkit dari tidurku, kulihat jam di dinding. Jam 12 malam. Kulihat si gadi kecil ini nyenyak sekali dalam tidurnya. Segera aku bangkit, membuka pintu kamar perlahan. Pak RT sudah tidur dengan dengkuran kerasnya dan acara televisi menonton tidurnya. Aku melangkah pelan, mendekati kamar depan. Tak ada suara, kelihatannya mereka semua sudah tidur.

Dengan berjalan sedikit mengendap aku kembali ke kamar, ku ambil sematpon di meja kamarku. Beberapa pesan masuk dari Arta, hi hi hi. Pesan dengan tulisan tidak bisa dibaca, mungkin dia menyamarkan kalau misal sematpon ini di baca oleh orang lain, dia bisa bilang “maaf kepencet lupa aku kunci”. Bisa jadi hi hi hi hi.

Aku menunduk...

“Sssst...” bisikku, dengan isyarat tangan menyuruhnya keluar.

Dia langsung mendongakan kepalanya, karena posisi kepalanya membelakangi tempatku menunduk. Pelan dia bergerak keluar dari kolong tempat tidur. Wajahnya kelihatan sedikit jengkel, tapi membuatku merasakan kegelian.

“Enaknya bisa tidur, aku didalam sana ndak tidur sama sekali,” dia berbisik tepat disamping kepalaku. aku langsung menjawab dengan menyilangkan jari dibibirku.

Ku tarik tangannya dengan lembut, menuntunya keluar dari kamar. Berjalan pelan melewati ruang tengah. Sesekali aku melihat wajahnya yang kelihatan sekali busam. Geli juga rasanya, tapi deg-deg’an banget. Apalagi tadi disaat harus melewati ruang tengah. Untungnya ‘suamiku’ kalau sedang tidur akan sulit sekali bangun.

Tepat dibelakang pintu masuk rumah. Aku membalikan tubuhuk ke arahnya. ku tarik pelan mendekatiku...

Cup...

“Nanti pulangnya hati-hati mmmphhh.”

Maksud hati memberinya kecupan tapi dia malah memelukku erat dan menempelkan bibirnya lebih lama. Aku tak melawan, karena ini juga yang aku tunggu.

“Sudaahhh... besok lagi. Dasar!” lirihku.

Sedikit ada rasa kecewa di wajahnya yang tertutup cahaya gelap ruang tamu. Aku cubit pelan hidungnya dan kemudian berbalik membuka pintu rumah. Walau aku sudah mencoba lepas dari pelukannya, tapi kedua tangannya masih memegang pinggangku. Kangen palingan dia hihihi.

Kleek krieeeet....

Aku sedikit kaget ketika suaranya denyit pintu terdengar keras sekali. Aku sedikit gugup, langsung membalikan tubuhku mengamati ruang tengah. Dan, lagi-lagi dia tampak tenang sekali, kedua tangannya saja masih memegang pinggangku. Ketika aku memandang wajahnya, dia hanya menaikan bahu.

“Kamu itu! hegh!” geramku sembari lirih.

Pintu aku buka sebagian, aku keluar dan mengamati sekitar. Tampak sepi sekali. Ku beri kode kepada Arta dan dia keluar dengan langakah pelan sekali. Tepat ketika dia melewatiku, ku tempelkan bibirku di pipinya sebentar. Dia sempat menoleh dan menghentikan langkahnya, tapi satu tanganku langsung menariknya agar dia tetap berjalan. Aku masih berdiri dengan jarak kurang lebih satu meter dari depan pintu masuk. Melihatnya mengendap seperti pencuri, tapi sayang dia tidak berhasil mencuri apapun dari rumah ini.

Setelah dia melompati pagar, dia langsung berjalan santai menuju rumahnya. Sesekali dia menoleh ke arahku, menggelengkan kepala dengan bibir bebeknya. Mungkin jengkel, seharusnya aku yang jengkel bukannya dia.

Krieeeeet...

Aku menoleh ke belakangku...

“Lho kok bangun?” tanyaku sedikit gugup.

“Nyari bu dhe, hoaaaamhhh... tadi aku nyari bu dhe di dapur, tahunya bu dhe didepan. Hoaaammmhhh..”

“Nyari angin sayang, tadi bu dhe gak bisa tidur. yuk masuk lagi, bobo.”

“Iya bu dhe, tapi bu dhe jangan pergi-pergi lagi, takuuut.”

“Iya iya.”

Aku melangkah masuk dengan si gadi kecil. Wajahnya terlihat ngantuk sekali, untungnya dia tidak tahu yang baru saja aku lakukan. Saat diruang tengah, ‘suamiku’ masih terlelap dengan dengkuran kerasnya. Aku melewatinya tanpa memarikan televisi dan kembali masuk ke dalam kamar. Pelan si gadi kecil ini langsung merebahkan tubuhnya, padahal ingin aku tata terlebih dahulu tapi sayang, bantal itu malah dipakainya lagi. Sudahlah.

“Bu dhe ke dapur dulu ya, haus.”

“Iya bu dhe, jangan lama-lama ya?”

“Iya.”

Membuat segelas teh hangat, duduk menghadap ke ruang tengah. Berjaga-jaga kalau ada orang yang tiba-tiba bangun.

Dasar!
Sudah dibilang jangan datang masih saja datang!
Bikin deg-deg’an tahu!
Gimana kalau ketahuan?!


Nan nun nan nun! Apa?!

Mbok ya dengerin dulu penjelasanku


Penjelasan apa! huh!
Besok-besok lagi kalau jangan ya jangan!

Tak ada balasan darinya, dari aplikasi watsapp telihat dia sedang

typing terus? kapan ngirimnya?

Begini Ainun sayang,
Tadi itu aku memang ke rumah kamu,
Tapi buat bayar listrik sama Air.
Aku juga sudah tahu kalau Pak RT itu dirumah,
Begitu maksudku


Kok alasan?

Kalo ngeles yang pinter Arta sayang... :p

Bukannya kamu sendiri yang bilang
Kalau mau bayar sama Pak RT?

Iya memang, tapi dianya sedang keluar,
Terus kamu datang?
Mau apalagi coba kalau kamu datang terus Bapak RTmu itu sedang gak ada dirumah?
Terus apa coba alasan kamu?!

Begini,
Tadi kan sebenarnya aku ketemu sama tetangga,

Katanya pak RT dirumahnya jam set8an,

Makanya aku datang jam set8

Aku sedikit terkejut ketika melihat pesan yang dia kirimkan. Tiba-tiba saja otakku mulai berpikir jernih...


Jadi tujuanku sebenarnya tadi kesana mau bayar,
Kalaupun pak RT belum datang, aku masih bisa nunggu diruang tamu,

Ngobrol sama yang tadi nampar aku, gitu

“Eh... jadi... aduh... malu, malu.... eh, gak boleh kalah!”


Terus kenapa tadi diam saja?
Gak ngomong?!
Kalau tadi ngomong kan gak perlu kaya tadi, huh!

Lama sekali balasan dari dia...

Lagi ngetik novel atau bagaimana?
Lama banget balesnya?!

Hmmm... gimana mau ngomong coba?
Pertama ditarik, di ruang tengah dimarahin,
Di kamar bibirku ditutup sama bibir kamu
Pas mau ngomong, malah ditinggal
Ya sudah aku diam saja, karena posisi sudah terlanjur gawat
Ditinggal tidur lagi..

Lama aku terdiam, membaca tulisan yang baru saja dia kirim.

Nun? Belum bobo kan?

Iya, iya aku salah! Maaf!
Gak mau dengerin dulu penjelasan kamu.

Endak salah nun :)

Aku tidak membalasnya, Cuma diam. Malu sendiri rasanya.

Aku juga....

Juga apa?


Entah kenapa perasaanku tiba-tiba gak tahu gimana gitu. Rasanya wajahku merah padam. Mau ambil minuman, habis minum, mau ini mau... aduh, kenapa malah jadi salah tingkah sendiri?



Iya sama kangen, hi hi hi
Dah sana bobo dulu, besok kalau aman main ya


Jangan lupa klir chat,
Ntar Desy atau Winda baca lagi


Hi hi hi...
Met bobo ya, Arta...
.
.
.
.
.
.
.
.
Selingkuhanku Sayang

Hmmm... sudah tidur orangnya?!

Terakhir aku mengirimkan pesan selamat tidur kepadanya, dengan ungkapan kata sayang, dan dia membalasnya dengan hal yang sama. segera aku bersihkan chat w.a dengannya, dan kembali meminum teh hangat. Geli tapi lebih besar rasa maluku setelah dia menjelaskan kalau sebenarnya dia kesini hanya untuk membayar tagihan. Benar juga, tidak perlu aku menariknya, tidak perlu aku...

Aku tidak memaksa untuk menjelaskannya tadi,
Entah kenapa tadi aku ndak mau menahanmu, biar bisa mendengarkan penjelasanku.
Karena aku bahagia tadi, terima kasih

Sebuah pesan dia kirim tapi aku tidak membalasnya, pantas kalau dia tidak menghentikan langkahku tadi. Tidak memaksaku untuk mendengarkan penjelasannya dan dia memilih mendengarkan aku. Kalau dia bahagia, sama berarti denganku. Tapi... kalau diingat lagi, malu. Tapi kalau tadi tidak seperti tadi, dia tidak akan memelukku dengan erat. Terus memegangi pinggangku. Hi hi hi... lucu juga tadi, masa bodohlah. Yang penting tidak ada yang tahu dan yang penting aku merasakan bahagia ketika bersamanya.

Gelas aku letakan di meja dapur. Aku kembali melangkah ke dalam kamarku. melihat gadi kecil itu tidur dengan nyenyak. Ku lepas kerudung dan berganti pakaian. Duduk, pelan ku dekati, tampaknya dia sangat nyenyak sekali tapi maaf. Dengan kasar, aku tarik bantal yang dia gunakan. Mau bangun atau tidak terserah, tapi untungnya dia tidak bangun dan langsung aku ganti dengan bantal satunya.

Tidak boleh, bantal ini hanya untukku seorang. Tidak boleh ada yang memakainya, hanya aku, ainun dan saya. Tidak boleh ada orang lain selain aku, ainun dan saya, menggunakan bantal ini. Bantal ini kan, ya bantalku.

“Ssshhh... hhhfffhh....”

Beruntung sekali baunya masih tetap sama. setelah aku memeluk dan mencium bantal Arta, aku rebahkan tubuhku. kupeluk erat bantal ini seperti halnya dia memeluk aku ketika hendak keluar dari rumah ini.

“Iiiih, kenapa keinget lagi kejadian tadi, malu banget sama Ar... ta”bathinku.

Ku paksa mataku terpejam, menanti pagi yang sebentar lagi akan menyapa. Semoga rasa maluku ini akan hilang ketika nanti bertemu dengannya kembali. Semoga saja, dasar Selingkuhan, hi hi hi. Semoga saja kita masih tetap bisa bersama, dan aku masih bisa menjagamu.

Dia keluar dari rumah ini seperti pencuri,
Untungnya tidak ada barang rumah yang hilang,
Hanya hatiku,
Mungkin, Iya bener kok, enggak juga sih dia tidak mencuri hatiku,
Masa pemuda seperti itu bisa mencuri hatiku?
Nyatanya, Tempat hatiku masih tersisa
Cuma tempat hatinya, tempatnya, isinya
Gak tahu!
Kenapa malah seperti ABG aku ini, huh!​
 
Terakhir diubah:
Bimabet
oh buat reservasi yaa gan?
ane kira lagi kesambet tuh keyboard nya :bata:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd