“Ughh... mmmh... hoaam egh...”
“Tante?!” aku tersadar. Kuangkat tubuhku, dan duduk.
Slurrp.... slurrrp....
“Pagi sayang? Sudah bangun ya? atau kebangun?” tanyanya dengan senyum menawan. Dengan riasan yang sangat cantik dan tubuh telanjang. Dia tak seperti baru bangun dari tidurnya.
“T-t-tan...”
“Kenapa? enak ya? semalam kamu hebat sayang, dan ini balasan tadi malam”
“T-t-tapi tan... Eh, semalam?”
Otakku berputar, mengingat kembali kejadia semalam. Aku masih bisa mengingatnya, bagaimana aku memaksa tante Eviela menuruti keinginanku. Tubuhku menjadi semakin kaku, ditambah senyum tante yang sedang mengocok penisku.
“Ma-maaf tan, semalam itu..arghhh sakit tan jangan diremas” ucapku sedikit berteriak dengan tanganku mencoba melepaskan genggamannya.
“Kamu jahat ya Ar, ingin enaknya sendiri... “ dia bangkit. Kedua tangannya mendorong tubuhku dan kini aku kembali rebah. Dia duduk diatas perutku.
“Semalam kamu perkosa aku, dan sekarang kamu harus mau... seperti semalam.”
“Punyamu kekar Ar, dan ini yang membuatku semalam hampir pingsan,” lanjutnya. Sedikit aku mengingat apa dia benar-benar pingsan, tapi sayang aku tak punya ingatan untuk itu.
“T-t-tan...”
“Gak ada tapi-tapian. Kamu semalam kejam padahal aku ingin ngobrol dengan kamu. aku sebenarnya sudah tidak ingin meraskaan hal seperti semalam. Tapi... kamu telah membangkitkannya lagi, dan kamu.... harus bertanggung jawab, minimal sampai nanti kamu pulang, kamu harus membuatku bahagia, atau....”
“A-atau...”
“Aku laporin kamu ke polisi karena kasus pemerkosaan hi hi hi.”
“T-tapi... mmmhhhhh ta-tan.... mmmppphhhh”
“Biarkan aku merasakan rasa menjadi wanita Ar, walau sekali. Setelah ini, aku akan menahannya selamannya. Biarkan aku merasakannnya, aku mohon.”
“A-anu i-tu..”
“Ssssttt... hari ini, hanya hari ini, selama hari ini ya sayang...”
Tangannya kemudian menuntunku meremas payuadaranya. Bibirnya mulai menggila di bibirku, lidahnya liar, mencoba membuka bibirku yang selalu ku tutup.
“Arta sayanghh... jangan menolak sayang, semalam aku tidak menolakmu,” bisiknya.
Aku yang memulainya semalam, memaksanya untuk menuruti kemauanku. Dan sekarang aku harus mengikuti kemauannya. Mengikuti irama nafsu yang mulai mengusaiku. Tubuhku yang semula kaku kini menjadi lentur kembali. Tanganku meremas-remas kedua paydaranya dengan lembut. Bibirku mulai terbuka, lidahku mengikuti lidahnya. Saling menjilat dan saling melumat. Di sela ciuman dia tersenyum, mungkin karena aku kini mulai mengikuti permainannya.
Pelan ciumannya turun ke leherku, tanganku lepas dari payudaranya. Kecupan demi kecupan semakin turun ke dadaku, lidahnya bermain-main diputing susuku membuat penisku semakin tegang mengera. Ditambah lagi satu tangannya mengelus pangkal kantung telurku. Nikmat dan aku hanya bisa menikmatinya. Spontan tanganku mengelus rambutnya.
“Dadamu indah sayang” lirih dari bibirnya tapi aku tidak membalasnya.
Ciumannya semakin turun, membuatku geli ketika dia mengecup perutku. tapi tak berlangsung lama kecupan bibirnya diperut karena selang beberapa saat aku merasakan kecupan di ujung penisku. Aku sedikit bangkit, memandang seorang wanita cantik sedang mengecup ujung penisku. Matanya melirik ke arahku, ada senyum disela permainan bibirnya.
Lidahnya keluar, menjilat ujung penisku uturn hingga kepangkal penis dengan ujung jarinya mengelus pangkal kantung telur. Jilatan yang kebawah dan dia kembali lagi ke atas menuju ujung penis dengan kecupan-kecupan yang membuatku semakin merasakan panas. Beberapa kali dia melakukan hal itu dan diakhiri dengan melahap ujung penisku. Masih bermain di ujung penis, tangannya meraih satu tanganku untuk mengelus kepalanya. Aku mengelusnya dengan lembut.
Aku merasa ujung penisku kini basah oleh air liurnya. Kepalanya bergerak maju-mundur hanya sebatas pada ujung penisku. Dengan pelan dia menggerakan bibirnya semakin maju, semakin memasukan penisku ke dalam rongga mulutnya. semakin ke dalam dan aku semakin merasakan sensasi kenikmatan. Lidahnya selalu ikut bermain di bagian bawah penisku, menyapu ketika kepalanya bergerak maju-mundur.
“Sekarang giliran kamu sayang, buat aku melayang” ucapnya ketika dia melepaskan kulumannya dan bangkit.
Aku sendiri masih bingung ketika tante Eviela bangkit mendorongku hingga rebah. Tiba-tiba dia menggeser tubuhnya, memposisikan vaginanya di atas wajahku.
“Ayo sayang, gunakan lidahmu, lakukan seperti apa yang aku lakukan kepadamu.”
“Eh, t-tan..”
“Jilat sayang, gunakan lidahmu...”
Seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya, aku mengikuti kemauannya. Lidahku mulai menjilati Vagina yang memiliki aroma wangi. Entah wangi apa tapi aku pernah mencium wanginya. Seperti wangi dedaunan tapi kelihatannya otakku tidak sedang bisa diajak untuk mengingat.
“Ahhh... Sayang itu sayang disitu sayang mainkan lidahmu dihsit aaaahhhh mmmhhhh yaahhh...”
Rintihannya semakin keras, tangannya menjambak ketika lidahku mengenai bagian atas dari vaginanya. Tangan yang menjambak rambutku, seakan tidak membiarkan lidahku bergeser. Terus menjambak membuat kepalaku tak bisa lagi bergerak begitupula lidaku yang masih terus menari ditempat yang sama.
“Uuuugh...”
Tubuhnya turun, duduk diperutku. Kedua tangannya berada disamping kepalaku. wajahnya tersenyum, sesekali jari telunjuknya mentowel hidungku. Dia terus tersenyum, mendekatkan wajahnya ke wajahku. bibirnya sedikit terbuka, lidahnya keluar dan mulai menari di atas bibirku. Kedua tangannya menarik tanganku untuk memeluknya.
Ku peluk tubuh hangat yang ada diatasku, sesekali aku mengelus punggung yang halus ini. bibir kami kemudian saling memuaskan, sudah tak ada rasa ragu lagi. Satu tangannya pelan menelusup diantara tubuh kami berdua. Turun kebawah hingga meremas pelan penisku. Sesekali dia mengelusnya dan kemudian secara perlahan dia arahkan penisku ke vaginanya.
Terasa geli, tapi juga ada rasa hangat. Tubuhnya sedikit menekan kebawah, aku baru merasakan kepala penisku sedang mencoba membuka mulut vaginanya.
“Mmmppphhhh....”
Dia merintih tertahan dan tetap mempertahankan ciuman kami. pelan dia mendorong kebaawah lagi tubuhnya, menariknya ke atas, kembali lagi kebawah. Beberapa kali dia melakukannya, membuatku merasakan geli, nikmat, hangat campur aduk jadi satu.
“Eghhhh....” rintih keras suaranya.
Kepalanya mendongak ke atas, bibir bawahnya dia gigit. Kedua tangannya bertumpu pada dadaku ketika semua batang penisku aku rasakan masuk ke dalam vaginanya. Hangat menyelimuti seluruh batang penisku. Sambil memejamkan mata dengan wajah memandang ke arah atas, dia mulai menggoyang pinggulnya. Bukan menggoyang atas-bawah, tapi berputar-putar. Linu, tapi aku tidak bisa memprotesnya, kini memang giliran tante Eviela untuk merasakan kenikmatan. ya dan aku bisa melihat kalau dia sedang menikmatinya.
Pemandangan indah diatas tubuhku. Tubuh seorang wanita yang mungkin bisa dibilang sempurna, tapi jika dibandingkan Ainun masih jauh, membuat suasana dalam otakku semakin memanas. Tanganku meraih buah dada yang menggelantung, meremasnya, terkadang aku memilin puting susunya. entah kenapa aku sangat tertarik dengan buah dada perempuan, mungkin karena aku tidak punya.
“Egh.. sayang itu yahh mmmh mainkan terushhh ahh....”
“Ugh.. mmhhh... kontol kamuhhh emmmmmhhhh mmmhhhh mmmhhh mmmhhh... gimana sayang enakh ekkhhh mmmh?”
“Ya tan,” jawabku singkat.
Pelan dia kemudian mengangkat pantanya, bergerak naik-turun secara perlahan. Tanganku pun turun ke pinggangnya. Aku yang tidak sabar dengan cara dia bergerak kemudian mengangkat pinggangnya dan menurunkannya secara paksa. Seakan dia tahu yang aku inginkan, dia mempercepat gerakan pinggulnya.
“Aaahhh sayangghhh mmmhh... aaaahhhh... yaaahh....”
“Eghhh eghhh eghhh... uughhh... penuh sekali mmmhhh... nikmat sayangghhhhh...ehhhhhh aakkkhh... erggghhhhh...”
“Hangat tan, ufth...”
Tak berlangsung lama dia langsung menjatuhkan tubuhnya. Memeluk kepalaku, bibirnya kembali mencumbu bibirku. Aku membalasnya, sama-sama liar. Pinggulnya masih bergerak namun pelan, membuatku tak sabar. Memaksaku menaik turunkan pinggul.
“Aghhh... pelannnhhh sayanghhh..pelhhhh... aaahhhh.... terus mmhhmmppphhh... kontol kamu dalem anget masuknya”
“Vagina tante juga hangat.”
“Memek itu sayang, memekhh ekkh namanyahh hufthh..”
“Iya memek tante hangat.”
Bibirnya yang kembali melumat bibirku sebelumnya berkata untuk memperlambat gerakanku tapi pinggulnya mengimbangi gerakan pinggulku. Bunyi suara perpaduan kelamin kami terdengar keras, mengisi kamar rumah ini. Ritme perpaduan kelamin kami semakin lama semakin cepat, ciumanya semakin tidak teratur. Tangannya tiba-tiba memeluk kepalaku, erat dengan kedua kakinya juga merapat. Pinggulnya menekan kebawah mengehntikan gerakan pinggulku.
“Eeeeerghhh... mmmmmmmmmmmmmmmmmhhhh egh egh egh..”
Tubuh kami masih bersatu disertai keringat yang mulai mengalir dari kening kepalaku. Nafasnya sedikit tersengal, tak ada suara sepatah kata pun dari bibirnya. Hanya desahan nafas yang aku dengar, begitu pula bibirku yang membantuku untuk mengambil nafas lebih banyak.
Pelan dia bangkit, meletakan wajahnya di atas wajahku...
“Hash hash hash... kamu yang bisa dan yang pertama kali buat aku begini sayang.... mmphh.”
Kembali dia mencium bibirku, seakan tidak memiliki rasa lelah. Tanganku memeluknya, mengelus punggungnya. Pelan dia menarikku kesamping tanpa melepas penisku dari vaginanya. Dia memposisikan tubuhnya berada dibawahku dengan kedua kaki terbuka lebar.
“Cantik bukan sayang? Indah bukan” aku mengangguk pelan.
Bagaimana tidak indah? Bagaimana tidak cantik? Sedangkan yang terpampang didepan mataku adalah tubuh yang sangat proporsional. Tubuh yang berbalut kulit halus. Walau tubuh itu sudah berumur tapi tetap saja akan menggugah penis setiap laki-laki. Tubuh yang bagian bawahnya tertusuk oleh penisku. Betapa beruntungnya aku?
“Kamu harus menikmatinya sampai kamu benar-benar puas, puas karena bisa memuaskan aku sayang....” ucapnya dengan kedua tangannya memgang kedua pipiku dan menarikku pelan.
Kami kembali berciuman tapi tidak berlangsung lama. Aku menurunkan ciumanku ke lehernya, mengikuti alur nafsu dalam tubuhku. semakin aku turun dan menikmati sepasang payudara yang indah. Aku menjilat, aku menghisap. Rintihannya terdengar pelan. dan ketika aku bangkit, memegang pinggangnya sembari menggoyang pinggulku. Kata-kata mulai keluar dari bibirnya.
“Arghh... sayang ya terus lakukan sesukamu, aku milikmu hari inihhh mmmhh...”
“Terus sayang pompa kontolmu, entot aku... lebih cepaaaaaaat!” teriaknya.
“Tan, aduh... sempit banget tan.”
“Iya sayang, kontol kam eghhh terus kontol kamu yang bes mmhhh...”
Setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya membuatku semakin panas. Aku menggerakan pinggulku lebih cepat. terkadang satu tanganku meremas payudaranya dengan kasar. Gemas rasanya jika melihat payudaranya naik turun.
“Ah ya sayang, lebih dalammm lebih dalam lebih keras... aku sukaaahhhhhhh ayo sayang masukan kontolmu lebih dalam, lebih keras. Aku suka konto lkamu sayang, lebih keras lagi.. kontoli memekku sayanghhh.”
“iya tan... eghh..” aku mempercepat gerakan pinggulku.
Tubuhnya sedikit melengking ke atas tapi aku tetap menghujamkan penisku ke dalam vaginanya. Semakin cepat, terasa lubang vaginanya semakin rapat dan licin.
“Enaaak yahh enaaaakkk mmmmhhhh... memekku enak banget sayang... memekku enak dikontoli kontol kamu sayang terussshh yaaahah...”
“Aaeeeeeghhh.... egh egh egh egh...”
Tiba-tiba tubuhnya mengejang beberapa kali. Kepalanya mendongak ke atas, matanya tertutup sangat rapat. Tangannya meremas pergelangan tanganku dengan kedua kakinya memeluk tubuhku dengan sangat erat. Aku berhenti, pelan aku mendekat setelah dia tenang. ku cium leher jenjangnya, turun hingga kepayudaranya. Benar-benar payudara yang indah.
“Ummhhh sayang kamu benar-benar hebat,” ucapnya sembari mengelus kepalaku. Aku angkat sedikit kepalaku dan memandangnya.
“Kamu belum keluar kan? Aku masih kuat, lanj mmmhhh... uuughh sayanghhhh mmmhhh kamuh masih ingin nyusu ya mmhhh.”
Tak ada jawaban dariku, tanganku sibuk meremas lembut payudaranya dengan bibirku memainkan puting susunya secara bergantian. Pinggulnya yang bergerak-gerak, mungkin efek dari payudaranya yang aku mainkan, membuatku ikut menggerakan pinggulku pelan. semakin lama pinggulnya bergerak semaki liar. Aku kemudian bangkit.
“Hi hi hi...” tawanya yang kemudian sedikit mendorongku.
Dia mengangkat satu kakinya, aku bergerak sedikit kebelakang dan duduk. Kini posisi dia menungging. Kepalanya menoleh ke belakang.
“Tan?”
“Dari belakang sayang, cepetan, memekku masih gatel banget.”
“pantat tante bulat.”
“Suka sayang? Nanti kamu mainkan... sudah masukan dulu sayang, cepetaaanhh hash hash.”
Aku bangkit, mendekatkan pinggulku ke arah pantatnya. Tampaknya dia memang tidak sabar. Diraihnya penisku dan diarahkan ke lubang vaginanya. Licin, sudah tak lagi seret seperti sebelumnya. Aku tekan pelan.
“Aaaahhh... kontol enak masuk lagi... mmmhhh... uuughh... pelan sayang diamkan dulu, aku suka kontol kamu didalam sayang, penuh banget bikin memekku tambah gatel mmmhhhh... diam dulu sayangh.”
“Enak sayanghh?” tanyanya sembari menggoyang pinggulnya maju mundur pelan.
“Iya tan” aku mengimbanginya dengan sedikit menggoyang pinggulku.
“Kalo gini?”
Tiba-tiba saja dia memaju mundurkan pantatnya sedikit cepat. kepalanya sedikit menoleh kebelakang, tersenyum nakal kepadaku. ada rasa lelah sebenarnya di wajahnya tapi kelihatannya dia tidak ingin mengakhirinya, begitu juga aku. Masih terlalu pagi untuk mengakhiri permainan ini. permainan yang sudah membakar akal sehatku.
“Uuuugggghh ugh ugh egh egh mmhhh... kamu suka sayang, kamu suka kalo kontol kamu di memeki kan? Mmmhhh...”
“I-iya tan..” jawabku yang sudah tidak dapat lagi menahan untuk bertindak.
Aku memegang pinggul tante Evie, menghentikan gerakannya. Tanpa menunggu lama, aku hentakan pinggulku keras. Membuatnya menjerit sedikit keras. Sebentar tubuh depannya jatuh tapi dia bangkit lagi. Menoleh kebelakang dengan bibir bawahnya digigit. Dan disaat itulah aku menggoyang pinggulku dengan keras. Kata-kata kotor keluar dari bibirnya.
“Aaaaaaaaa aaaaaa ennnnnn naaaaakkk yaaaah teeeerussshh mmmhhhh uuuggggh aaaa aaaa aaaaa eeeghhhhh konnnn kontoll mu enakh sayanghhh mmhhh... memekku robek memekku robeeeek eghhh egh.”
“Ah tan, enak banget tan..”
“Te teeeerushh kon konttolihhh memekkuuhhhh sayang lebih keras, tampar pantatku tamphhh paaaaaaaarrrhhh aaaaaah”
PLAK!
Tanpa berpikir panjang aku tampat pantat tante. Pantat putih yang kemudian terdapat bekas merah tanganku. Aku terus menggoyang, dan sesekali menampar. Bahkan aku serin menampar pantat tante setiap kali dia memintanya.
“eeeghhh giiiiiiilaaaahhh mentooookkhhh mentookhhhhh aaaaghhhh kon kontollllhh enakkkhhhhh...”
“Egh aku keluar keluuaaaaaaahhhhh egh egh egh egh.”
Tubuhnya ambruk kedepan. Aku langsung menindihnya. Beberapa kali dia mengejang dengan mata tertutup. Aku memeluknya, mencium lembut tengkuk lehernya. dan kembali menggerakan pinggulku. Tak ada protes ketika aku menggerakannya pelan. ku ercepat dan..
“Artaaahh pelanhhh mmmhhhh panassshhhh ugghhh sayangghhh pelannhhhh... kontol kamu mmmmhh.”
Aku tak memepdulikannya. Aku bangkit dan kembali Aku terus menggoyang pinggulku dengan posisi tante eviela tengkurap. Semakin licin, hangat, terasa ada cairan yang ikut keluar dari vaginanya. Kedua tangannya menggenggam erat sprei. Matanya terpejam, tertutup rapat seperti menahan rasa sakit.
“Artaaaaahhhhh cepaaathh selesaikannhhh mmmmhhhhh sakit sayanghhhhhhh eghhhhh.”
Setelah kata-katanya membuatku merasa, entah apa itu, rasa iba atau apa. Dan pada saat itu juga tiba-tiba aku merasakan rasa sensitif, lebih sensitif di pensiku.
“Iyahh tannn sebentar lagiihhh,” jawabku.
Aku menggoyang kembali dengan lebih keras dan cepat. Tangannya semakin menggenggam erat sprei tempat tidur, menariknya mendekat ketubuhnya. Suara perpaduan kelamin kami semakin terdengar keras.
“aagh tan, aku mau keluar tan...”
“Keluarkan mmmhh aku jugaaah mau keluarrrhhhh sayanggghhh.”
Plak!
“Aah yaaaaaaaaahhhh errrrrrrrrrghhhh aku keluarhhh keluarrrhhhh lagihhh aku keluaaaaaaaaaaaarrrrrhhh...”
“Aku juga , aku juga... heghhhh”
Setelah ku tampar keras, dan kembali aku menggerakan pinggulku lebih cepat dan ku akhiri dengan menghujamkan sedalam-dalam mugkin penisku ke dalam vaginanya. Tubuhku ambruk dan memeluknya. Ku peluk erat, sembari menekan pinggulku ke pantatnya. Beberapa kali aku megejang mengeluarkan spermaku. Dan setelahnya tubuhku menjadi lemas.
“Sayangh berathhhh...”
Srrrk...
Aku menggeser tubuhku, tidur telentang. Ku hirup nafas dalam-dalam. Aku menoleh ke arah tante eviela, tampaknya dia juga sama, lelah. Dia merubah posisinya menghadap ke arahku. Menempatkan kepalanya di sebelah kepalaku. Kami saling berpandangan, dia tersenyum dengan nafas yang masih terengah-engah. Tangannya meraih pipiku, menariknya sedikit mendekat. Bibirnya kembali melumat bibirku untuk kesekian kalinya.
“Hash hash... kamu hebat sayang, terima kasih,” ucapnya dengan senyum terlukis dibibirnya. aku hanya bisa mengangguk dan membalas dengan sedikit senyum.
Tante Evie kembali merapatkan tubuhnya, memelukku. Aku yang sudah tidak sanggup lagi bergerak, hanya mampu melihat langit-langit kamar. Semakin lama, semakin redup cahaya mataku. Dan akhirnya aku terlelap di pagi yang cerah ini. Lelah rasanya.
.
.
.
“Uuughh... hoaaammmhhhh.”
Akhirnya bisa bangun lagi. Rasanya sedikit pegal. Segera aku bangkit dan duduk mengumpulkan kesadaran. Memutar tubuh, merenggangkan otot-otot tangan dan juga menggerakan kepala. Beberapa kali bunyi tulang membuat rasa pegal sedikit hilang. Aku amati kamar, sepi, hawa dingin dari pendingin ruangan membuat suasana masih terasa seperti awal pagi. Padahal dari jendela kamar sudah sangat kelihatan kalau ini sudah melewati tengah hari. Aku kemudian bangkit, dengan berbalut selimut, ku ayunkan langkahku menuju pintu keluar kamar.
Kreeek...
“Sudah bangun?” tanya tante eviela, dia duduk disofa depan televisi yang menyala. Film kartun kalau aku lihat.
“I-iya tan.”
“Mandi dulu sana, kalo gak mandi aku tubruk lagi lho hi hi hi.”
“Capek tan.”
“Sama, tapi liat aku dah rapi kan? Sana Mandi!”
“Iya iya tanteeeeee.”
Aku segera menuju kamar diatas, dimana aku tidur kemarin siang. Mandi, tanpa harus mengingat wanita cantik yang telanjang lagi. Tapi tadi dia tampak rapi sekali dan seksi ketika aku keluar kamar. ah, gila, kalau habis seperti ini pasti yang aku ingat tubuh indahnya. Sama seperti ketika dengan Ainun. Kalau lihat dia, walau sudah berpakaian lengkap dengan kerudungnya, yang ada bayang-bayang tubuh telanjangnya dipikiranku. Hufth, jadi kangen sama Ainun.
Segera aku menyelesaikan mandiku. Bergegas turun dan duduk di sofa menemani tante Eviela. Pas aku duduk, dia langsung bangkit dan menuju ke dapur. Buat minuman mungkin. Aku rebahkan tubuhku di sandaran sofa, kalau aku lihat lagi ruangan ini sudah rapi sekali. Padahal semalam, kalau tidak salah, mmmm... kenapa susah sekali mengingatnya ya? seingatku berantakan.
Kletek...
“Ini minumnya, diminum dulu.”
Nah, benarkan dia membuatkan aku minuman. Segelas teh hangat. Segera aku mengambilnya dan ketika aku mencium aromannya, aroma melati.
“Ainun,”bathinku.
“Hei, malah ngelamun.”
“Eh tante bikin kaget saja, siapa juga yang melamun.”
“keinget seseorang ya? pacar kamu? atau gebetan kamu?”
“End-endak tant.”
“Bilang saja iya, aku ini cewek lho ar jadi tahu kalau masalah cowok seumuran kamu. kan pernah muda hi hi, iya kan mikirin cewek?”
“Ndak juga.”
“Sudah tenang saja, aku jaga rahasia kok. Gak bakal aku sebar-sebarin deh pemerkosaan tadi malam.”
“uhuk uhuk...” segera aku meletakan gelas.
“Ta-tante?! I-itu a-anu bu-bukan, anu...” aku gugup dengan mengegrakan kedua telapak tanganku.
“Hmmm wanginyaaaaa jadi pengen lagi nih tante,” ucapnya, mendekatkan hidung ke arah tubuhku. Aku mundur dan menghindarinya.
“Ta-tan su-sudah.”
“I-iya iya... hi hi hi lagipula aku juga gak maniak-maniak banget. Hufthh... kamu kuat banget ternyata, dan baru kali ini aku merasakan orgasme.”
“Eh, maksudnya?” dia menoleh ke arahku, tersenyum.
Dengan segelas minuman digenggamnya dia memulai ceritanya. Memang tidak jauh seperti yang dia ceritakan sebelumnya. Dan cerita kali ini lebih cenderung ke cerita dimana dia menjadi budak seks suami dan teman-teman suaminya. Berbagai macam siksaan dan hal memalukan pernah dia alami tapi, dia tidak pernah merasakan puncak kenikmatan sama sekali. Yang ada hanya rasa sakit, rasa malu, rasa risih.
Ku ambil segelas teh aroma melati. Pelan kudekatkan ke bibir, srupt ah, masih terasa hangat sembari mendengarkan ceritanya. Cerita dari bibirnya membuat hatiku trenyuh, tapi kalau diingat-ingat bagaimana dia melakukannya denganku, sepertinya masih ada sisa-sisa keinginan untuk diperlakukan sama.
“Jangan berpikir aku masih sama dengan dulu, kalau disuruh gitu lagi gak mau akunya.”
“Eh...”
“Hi hi hi kamu pasti mikir gitu kan Ar?” aku hanya tersenyum menjawab pertanyaannya.
“Aku termasuk wanita yang ekspresif, jadi kalau tadi kamu heran aku sampe teriak-teriak, wajar hi hi hi enak sih, apalagi waktu...” kata-katanya tehenti, setelahnya dia meletakan gelas di meja. Kakinya di menyilang, tubuhnya bergeser menghadapku. Jarinya berada didaguku.
“Kamu tampar pantatku jadi tambah horni cup...” lanjut tante sembari mengecup pipiku.
“Ta-tante..”
“hi hi hi... hanya sebatas itu, tidak lebih karena memang dasarnya aku ingin sesuatu yang sedikit ekspresif. Dan lagi pula...” aku memandangnya sedikit takut.
“Iiih kok gitu liatnya? Tenang saja, gak bakal minta lagi,” ucapnya sembari membenarkan duduknya kembali.
“Bisa pingsan aku Ar hi hi hi, kamu tuh pantesnya punya istri lebih dari satu,” lanjutnya.
“K-Kok bisa tan?”
“Lha iya, kalo cuma satu bisa-bisa istrimu koma satu tahun itu hi hi hi...”
“Maksudnya tant?”
“Udah gak usah dibahas, yang jelas terima kasih buat hari ini, itu pengalaman yang indah buat tante dan yang pertama kali membuat tante puas.”
“Eee he he he...”
Sejenak kami terdiam, menikmati acara televisi yang entah aku sendiri tidak mengerti dengan acara tersebut. Acara musik, ya kuis tapi candaannya kadang keterlaluan. Sebenarnya itu cocoknya candaan di warung angkringan.
“Oia tan, sebenarnya aku disuruh kesini buat apa? atau hanya...”
“Oh iya, ya enggaklah, masa Cuma buat itu. itu kan hadiah buat kamu karena nolongin aku Ar. sebentar ya,” jawabnya kemudian dia bangkit dan melangkah menuju kamarnya.
Selang beberapa saat dia meletakan laptop di meja. Sambil menunggu laptop menyala dan masuk ke
home screen, tante Evie kembali bangkit sembari membawa gelas kami. Paling tante mau buat minuman lagi. Aku masih duduk dan mengamati layar laptop, sedikit geli juga ketika melihat gambar di layar
home screen-nya. Gambar tante Eviela sedang berfoto bersama kucing putih.
Kletek..
“Cantik kan? Hi hi hi”
“Eh tan, iya... kucingnya he he he”
“Dasar jahil... Nih diminum dulu sama ini, kalo mau ngrokok,” ucap tante meletakan sebungkus rokok kesukaanku disamping gelas.
“Ndak papa tan? Disini?” tanyaku mengambil rokok.
“Gak papa, kan tante sudah ngrokok.”
“Sudah?”
“Iya tadi pagi, ngrokok punya kamu hi hi hi.”
“Hadeh tan...”
“Hi hi hi... Dah dah, nih sekarang perhatiin,” ucapnya, tangannya cekatan ketika membuka
explorer di komputer.
“Sambil ngrokok gak papa Ar,” lanjutnya tanpa melihat ke arahku.
Aku menyulut Dunhill putih, ku hisap segar juga rasanya. Sesekali aku meneguk teh buatan tante. Ku lihat dia membuka sebuah folder yang berisikan foto-foto. Memang kurang begitu jelas, karena posisiku yang duduk tegak sedangkan laptop berada di meja. Aku menggeser dudukku mendekat ke tante Eviela. Dia kemudian membuka salah satu foto.
“Kamu tahu dia kan?”
“I-itu kan?”
“Iya itu mantan suamiku, Takur, dan yang disebelahnya lagi adalah teman baiknya. Namanya Rawa, lengkapnya kalau tidak salah adalah Kurawa. Mereka berdua adalah teman baik, kemana-mana mereka selalu bersama. Mereka juga tangan kanan seseorang yang dipanggil Bos Besar oleh mereka.”
“Eh, dia i-itu.”
Aku ingat dua orang ini, tak akan pernah aku lupakan apa yang telah mereka lakukan. Satu mati dan satunya harus ikut mati. Mereka berdua harus membayar yang telah mereka lakukan di masa lampau. Masa dimana seharusnya aku merasakan kebahagiaan. Hatiku seakan terbakar jika melihat mereka berdua, walau yang satunya sudah pergi dan tak akan kembali.
“Ar...”
“Eh, i-iya tan...”
Dia menatapku tajam, kemudian tersenyum. Dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu tapi dia menahan bibirnya untuk bertanya kepadaku. Pandangannya kembali ke layar laptop dan kembali dia menjelaskan satu persatu gambar yang terpampang di layar. Gambar-gambar awal terdapat dia sedang di perbudak oleh mereka, entah darimana dia mendapatkan gambar ini. Biasanya orang akan merasa malu jika melihat gambar ini.
“Ingat wajah-wajah ini Ar.”
“I-iya tan.”
“Jangan malah liat tubuh telanjangku itu, ntar berdiri lagi, aku yang susah lho.”
“Endak tan, endak.”
“hi hi hi... yang jangan gelisah gitu dong, udah liat dari dekat, terus ngrasain lagi, masa berdiri lagi.”
“Normal tan...”
“hi hi hi iya, iya hi hi...”
“Tante ndak malu apa? lihat gambar tante sendiri terus dilihatkan ke aku?”
“Malu sebenarnya, tapi ini demi kebaikan kamu, Ar. kamu sudah terlalu jauh melangkah, jika kamu kembali mereka akan mengejarmu. Tak ada jalan lain selain kamu harus tetap melangkah mendekat ke mereka.”
“Sekarang kamu perhatikan kembali semua foto-foto ini. Aku akan memberimu informasi mengenai orang-orang yang ada didalamnya, begitu pula para wanita-wanita didalamnya.”
“I-iya...”
Dia memperlihatkan foto-foto itu kembali. Foto dimana sedang diadakan pesta, mungkin lebih cocok di sebut pesta seks. Banyak perempuan disana, termasuk tante Eviela. Foto dimana para lelaki di foto tersebut melakukan hubungan seks secara liar. Satu perempuan bisa dinikmati oleh beberapa lelaki, padahal banyak perempuan disana, julahnya pun lebih banyak dari lelaki yang ada disana.
Satu persatu dia menyebutkan nama sembari menujuk setiap wajah lelaki di foto yang ditampilkan di layar laptop. Jabatan dari setiap lelaki itu dia jelaskan, serta perusahaan dimana mereka bernaung. Perusahaan-perusahaan itu merupakan kepanjangan dari perusahaan milik seseorang yang disebut dengan “Big Boss”. Big bos adalah seseorang yang memiliki sebuah perusahaan besar, dia berada dibalik layar perusahaan yang dipimpin oleh anak buahnya sendiri, dimana anak buahnya atau pimpinan perusahaan tersebut adalah boneka Big Bos. Sampai sekarang Big Bos belum teridentifikasi identitasnya.
“Ingat juga wajah-wajah wanita itu, mereka memang langganan mereka. Tapi yang ini, aku lupa namanya, dia adalah langganan tetap kalau yang lain hanya terkadang dipanggil. Terus laki-laki ini juga bagin dari mereka, ini juga. Maaf aku tidak tahu nama mereka, tapi ini penting agar kamu tahu wajah mereka terlebih dahulu. Agar kamu lebih berhati-hati ketika diluar sana.”
“Iya tan.”
“Oia Ar, sebenarnya di dalam pesta itu ada yang namanya Big Boss tapi sayangnya hanya beberapa perempuan yang menjadi pilihan Big Boss. Aku tidak pernah melayaninya. Dialah sebenarnya pemilik perusahaan utama tersebut, tapi sampai sekarang tidak ada yang tahu kecuali anak buahnya. Perusahaan itupun dipimpin oleh anak buahnya. Dan...” dia bangkit memandangku.
“Itu adalah perusahaan saingan dari Perusahaan Raga, musuh dari Raga. Dan aku yakin kamu tahu siapa Raga,” aku terdiam ketika mendengar nama Mas Raga disebutkan.
“Kamu pasti tidak akan memberitahukan posisimu sekarang, tapi kamu tetap butuh Raga. Hanya Raga yang bisa melindungimu dan membantumu.”
“Hufth... ya, aku memang mengenal Mas raga.”
“Hi hi hi benerkan? Ya sudah, berarti kamu sedikit aman.
“Maksud tante?”
“Ya itu tadi, kamu masih bisa terlindungi karena kekuatan Raga sama besar. Jika kam berada didalamnya, berarti kamu berada dalam pengawasan dan perlindungan Raga.”
Tante Eviela memang banyak tahu tentang “Keluarga” dan juga musuhnya. Dia menceritakan pertikaian antara dua kubu tersebut, dimana kubu lawan ingin menguasai Ibu Kota. Melakukan monopoli besar-besaran, tapi semua itu terhalangi oleh adanya Mas Raga. Padahal mereka dulunya adalah bagian dari “keluarga”. Jika dulu, mereka tidak berani bergerak karena pengaruh dari Kakek Mas Raga yang begitu besar membuat nyali mereka ciut. Tapi setelah Kakek Mas Raga meninggal, mereka mulai bergerak. Bergerak secara halus, melakukan kudeta secara tak terlihat.
Satu persatu anggota dari keluarga mulai mengambil arah yang beralawanan. Semua itu karena kedatangan seseorang yang dipanggil Big Bos. Entah dari mana datangnya si Big Bos tersebut, tante Eviela tidak pernah tahu sejarahnya.
“Dan satu lagi Ar...”
“iya tan”
“Ada seseorang di balik Big Bos, di kelihatannya seumuran denganku. tapi dia tidak pernah ikut acara pesta apapun karena dia memiliki seorang perempuan yang dia panggil ‘bunga melati merah’. Aku tidak pernah melihat wajah lelaki tersebut dan juga si bunga melati merah. Entah siapa dia.”
“Bunga melati merah?”
“Ya, bunga melati merah. Kamu tahu?” aku menggelengkan kepalaku.
Aku kembali melihat foto-foto tersebut. Seberkas ingatan muncul di kepalaku, bunga melatih merah. Aku pernah mendengar istilah ini sebelumnya, tapi dimana aku lupa. Apakah kakek yang mengatakan kepadaku? atau orang di desa? Tapi, argh, aku benar-benar lupa. Yang jelas, istilah ini pernah aku dengar di desa.
“Ar...”
“I-iya tan..” aku menoleh memandangnya yang sedang tersenyum ke arahku.
“Aku tidak tahu darimana asalmu, tapi dengan kamu datang kesini dan masuk dalam jalan ini. kamu harus menyelesaikannya karena kamu sudah melibatkan orang-orang disekitarmu. Tak akan bisa kamu kembali, sekali kamu kembali ke awal jalan... orang-orang yang pernah kamu kenal akan hilang ketika kamu mencarinya.”
Aku termenung sesaat. Memang aku telah melakukan hal diluar dugaanku sendiri. pastinya mereka akan mencari informasi atas diriku, keluargaku, dan... teman-temanku. Secara tidak langsung aku telah melibatkan mereka. mau tidak mau aku harus tetap berjalan ke depan untuk menuntaskan jalan ceritaku ini.
“Yang penting jangan bertindak brutal, kamu juga harus bermain rapi. Sekali kamu tidak bermain rapi, mereka bisa mengambil orang-orang yang kamu sayangi secara paksa. Sampai sekarang, menurutku, mereka belum tahu siapa kamu.”
“I-iya tan.”
“Sudah, kamu istirahat dulu. kamu tampak masih lelah karena kejadian tadi pagi atauu... kamu ingin sekali lagi? Hi hi hi...”
“Ti-tidak tan, sudah...”
“Iya iya, aku kan sudah bilang kalo kamu minta lagi, aku pasti juga akan nolak. Sakit tahu, hi hi hi”
“hadeeh...”
Aku menolak untuk beristirahat karena memang aku tidak merasa terlalu lelah. Kembali aku berbincang dengan Tante Eviela. Mencoba mencari informasi lebih detail, tapi kelihatannya semua informasi sudah aku dapatkan. Itu terlihat jelas dari setiap percakapan kami. Mau pakai cara apa juga hasilnya tetap sama saja.
“Ar, sebenarnya kejadian apa yang membuatmu melakukan.. ya kejadian saat itu, saat kita pertama kali berjumpa?”
“I-itu... sudahlah tan, aku tidak ingin menceritakannya.”
“Ada kaitannya dengan orang yang kamu sayangi?” aku mengangguk.
“Dia meninggal?” aku kembali mengangguk.
“Kalau begitu jaga yang sekarang ada disekitarmu, jangan sampai terulang kembali ya?”
“Pasti tan, pasti...” aku sedikit menunduk, menghela nafas panjang.
“Maaf ya, kalau mengingatkanmu kembali.”
“Ndak papa kok tan,” ucapku semabari mengangkat wajah memandangnya dengan senyum. Dia pun membalasnya.
“Oia, ngomong-ngomong kamu gak dicari cewek kamu?”
“Eh, cewek? Belum punya tan...”
“Hi hi hi... kamu gak bisa bohong, Ar. Tadi pagi, saat kamu melakukannya, seakan-akan kamu teringat seseorang hi hi hi.”
“Ainun,” bathinku.
“Endak
yo tan...” dengan nada ndesoku.
“tuh kelihatan, lagi mikirin seseorang. Ya sudah, kalau kamu gak capek aku antar ke kota. Biar kamu bisa segera pulang, okay? Aku gak enak sama cewek kamu, ntar nyari-nyari lagi hi hi hi.”
“He he he... oia tan tapi kejadian ta-tadi...”
“tenang saja, rahasia aman hi hi hi...”
Setelah berbincang sejenak dengan tante eviela, dia kemudian mengantarkan aku kembali ke kota. Menuju ke sebuah terminal Bis. Disana sebelum sambil menunggu keberangkatan Bis, aku masih mengobrol dengannya didalam mobil.
“Tuh bisnya mau berangkat,” ucapnya, mengehntikan obrolan kami. Aku menangguk dan segera keluar dari mobil, tapi tiba-tiba dia menarik tanganku. Mengecup pipiku kemudian dia mendekatkan bibirnya ke telingaku.
“Kalau pengen sama aku lagi, kesini saja ya. Tapi tiga jangan sampai empat kali keluar, capek tahu hi hi hi,” bisiknya.
“hadeh tan...”
“Dah sana hati-hati..”
“Iya tan, terima kasih untuk semuanya.”
“Iya sama-sama, kaau butuh info lagi atau yang tidak kamu tahu, hubungi aku ya.” aku tersenyum dan mengangguk.
Akhirnya aku berpisah dengan tante Eviela. Sebelum bis berangkat, mobil tante eviela sudah meninggalkan terminal bis. Didalam bis pikiranku masih tidak percaya atas apa yang aku lakukan bersamanya. Seorang wanita berkelas, setengah baya, dengan kulitnya yang halus dan wajah yang cantik telah bersatu denganku seperti halnya Ainun. Tak akan ada seorang pun laki-laki yang menolaknya, hanya lelaki bodoh semacam takur yang menyia-nyiakannya.
Jika teringat akan kejadian saat itu, kata-kata yang keluar dari bibirnya membuatku kembali merasakan hawa panas. Untungnya ada Pendingin ini Bis, jadi kembali dingin. Aku juga sangat beruntung atas semua informasi yang dia sampaikan kepadaku. Hufth, perjalanan masih lama, masih jauh. Mungkin malam nanti aku baru sampai di Ibu kota. Lebih baik aku tidur terlebih dahulu dan besok, lebih baik aku bolos kuliah saja. Aku masih terlalu lelah.
Bunga Melati Merah, ya aku pernah mendengarnya
Aku pernah mendengar itu di Desa
Tapi siapa yang mengatakannya dan kapan? Aku tidak ingat sama sekali
Siapa sebenarnya Bunga Melati Merah
Seharusnya Bunga Melati berwarna putih bukan merah