Scene 33
Cahaya Rembulan Yang Terenggut Malam
Ana dan Ani
...
Aku terkejut. Aku menoleh ke arah belakangku dan...
Dor...!
Lelaki yang baru saja mengarahkan pistolnya ke arahku jatuh berlutut dan kemudian perlahan tubuhnya ambruk dengan matanya terbelalak tajam ke arahku. Kulihat seorang wanita setengah baya dengan gaun putih yang sangat cantik masih memagang pistol, sedikit heran, tapi yang jelas wanita itu bukan wanita-wanita yang menjadi salah satu selir. Mata kami sempat berpandangan, aku bisa merasakan dia bukan salah satu dari mereka.
Oeeek... oeeek...
Tiba-tiba terdengar suara bayi dan wanita itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Dengan masih memegang pistol dia berlari ke arah suara tangisan bayi, masuk ke dalam suatu lorong. Tanpa berpikir panjang, aku langsung beranjak hendak mengejar wanita tersebut.
“Kakak!” aku menoleh dan baru aku ingat kalau Ana masih terikat tangan dan kakinya.
Aku langsung berlari ke arahnya. Memeluknya, memeluk peri kecilku yang hampir saja hilang dari dalam kehidupanku. Dia selamat, ya dia selamat. Aku terus memeluknya dengan sangat erat, masih ada rasa takut kehilangan orang yang aku sayangi. Tanpa sadar, air mata menetes dipipiku.
“Ka-kamu ndak papa kan dik?” tanyaku, memegang kedua lengannya. Dia mengangguk.
“Kakak jangan nangis, adik gak papa. Lepasin ikatannya dulu.”
“Eh, i-iya... maaf,” aku membuka ikatan sembari menghapus air mataku.
“Kak...”
“I-iya...”
“Takut...”
“Ada kakak, tenang ya?” ucapku sembari tersenyum menatap wajahnya.
Ana langsung memelukku ketika ikatan yang mengikat tubuhnya terbuka. Da memelukku dengan sangat erat, sama halnya aku. Walau hanya sebentar saja, bayangan masa lalu terlintas dipikiranku. Tak pernah aku bayangkan jika aku kehilangan peri kecilku, tapi aku bersyukur dia serakang di dalam pelukanku. Perlahan aku lepas pelukan dan ku elus rambut, dia tersenyum.
“Kita susul wanita tadi.”
“Tapi A-ana masih takut.”
“Sudah tidak usah takut, ada kakak,” dia kemudian mengangguk.
“Ambil baju Ana dulu kak.”
“Iya,”
Aku berdiri menggandang satu tangan Ana dan berbalik. Mataku yang menangkap gambaran mayat-mayat tergeletak ditambah dengan bau segar darah yang tercium, membuat tubuhku kaku sesaat. Rasa takut yang seakan tertidur , bangkit kembali. Tubuhku menjadi kaku, kurasakan hawa dingin ketakutan menyelimuti tubuhku.
“Kaaak,” suara Ana pelan dari belakang menyadarkan aku.
“I-iya.”
“Kakak kenapa?”
“Ti-tidak, tidak ada.”
“Cepet kak, Ana takuuut.”
Ada sedikit keberanian muncul, melawan rasa takut. Keberanian karena ada peri kecil yang sedang membutuhkan perlindunganku. Melawa rasa takut, berjalan melewati mayat-mayat yang tergelatak. Aku paksa kakiku melangkah kedepan, walau hati ingin segera berlari meninggalkan tempat ini. Bergegas kami mengambil pakaiannya dan berjalan menuju ke arah lorong.
Di tengah-tengah lorong ku lihat wanita-wanita yang berkumpul dan meringkuk. Mereka lebih merasakan ketakutan-ketakutan dibandingkan denganku. Pelan kudekati mereka, ku katakan kepada mereka agar segera meninggalkan tempat ini dan segera pergi dari kota ini jika masih menyayangi nyawa mereka. Sebenarnya pilihan paling aman adalah menghabisi nyawa mereka, menghilangkan bukti tentang aku yang baru saja menghabisi nyawa para lelakinya. Tapi, mereka tidak bersalah, mereka hanya korban.
Mereka mengiyakan perintahku, entah benar atau tidak meninggalkan kota ini yang dapat aku tangkap adalah aura ketakutan mereka. Tak berselang lama, mereka berdiri, dari lorong aku bisa melihat mereka berlari dan mengambil barang-barang, hadeh, masih sempat-sempatnya mereka mengambili barang berhaga milik orang itu. Masa bodoh, aku harus segera menemui wanita tadi.
Aku berbalik melihat ke arah depan, terlihat sebuah pintu kamar yang terbuka. Cahaya kamar menerobos keluar dari kamar. Samar terdengar suara nyanyian seorang wanita dari dalam kamar. Aku dan Ana kembali melangkah. Suaranya begitu merdu, khas nyanyian seorang wanita dewasa. Suara yang menyanyikan lagu untuk menidurkan seorang bayi. Langkahku terhenti didepan pintu kamar tersebut. Berdiri membeku dengan mulut pistol mengarah ke arahku. Dengan satu tangan memegang pistol yang diarahkan kepadaku, satu tangannya menggendong dan meyusui bayinya. Aku tetap berdiri tegak, sedangkan Ana perlahan berjala mundur dan bersembunyi dibalik punggungku.
Hela nafas panjang, aku tidak menghiraukan pistol itu karena aku yakin dia tidak akan menarik pelatuknya. Mataku menyapu bersih isi dalam kamar. Kamarnya yang acak-acakan ditambah dengan mayat seorang laki-laki yang tercekik. Kelihatannya lelaki itu belum lama mati tercekiknya, menurutku.
“Apa maumu? Kenapa kemari cepat pergilah atau aku akan membunuhmu,” ucap wanita didepanku. Ku balas ancamannya dengan senyuman.
“Kenapa tersenyum?” lanjutnya.
“Tidak apa-apa, aku kesini bukan berniat jahat. Aku hanya ingin berterima kasih kepadamu, karena telah menyelamatkan hidupku.”
“Terima kasih? Sudahlah, segera pergi dan tinggalkan aku dan bayiku.”
“Apa aku tidak boleh mengucapkan terima kasih?”
“Baru kali ini ada penjahat berterima kasih padaku. Baiklah aku terima ucapanmu dan segeralah pergi!”
“Kakak bukan penjahat, kakak itu kakak Ana, dia baik tante!” teriak Ana sedikit keras.
“Ana ndak boleh berteriak-teriak.”
Tiba-tiba suasana menjadi sedikit tenang. Sekejap wanita itu menengok ke wajah Ana yang terlihat saat dia mengintip.
“Lebih baik segera tinggalkan tempat ini, jika masih ingin hidup. Aku bisa mengendalikan situasi disini. Anggap saja aku yang membunuh mereka semua,”
“Terlalu beresiko, lebih baik kamu ikut dengan kami, akan ada tempat aman buatmu,” bujukku.
“Aku tetap disini, merawa...”
“Kalau kamu tetap disini, dan kawanan mereka datang. Hidupmu akan lebih menderita.”
Sreekk... krek...
Mulut pistol itu mengarah kembali tepat ke wajahku.
“Tahu apa kamu tentang hidup! Per...”
Oek... oek... oekk...
Ssssh....sssshh.... ssssshh...
Seketika dia menurunkan senjatanya. Berdiri dan menimang-nimang bayinya. Sesekali dia menatapku dengan tajam, tapi entah kenapa aku ingin tersenyum ketika melihat wanita ini menimang bayinya. Wanita ini tampak lebih anggun dari sebelumnya.
“Kenapa tersenyum?”
“Apa aku tidak boleh tersenyum melihat seorang wanita menimang bayinya?”
“Sebenarnya apa maumu?”
“Membawamu ke tempat yang aman. Jika kamu ragu, bawa pistol itu, kamu bisa menggunakan pistol itu jika nanti aku tidak membawamu ketempat yang aman. Kamu bisa menembakku dan kemudian lari... Daripada tetap disini.”
“Sudahlah, lebih baik kalian segera pergi dari tempat ini?!”
“Laki-laki itu mati tercekik, kemudngkinan kematiannya belum lama. Dan... kamu berada dalam kamar ini. Tempat ini baunya juga bau... ah sudahlah, yang jelas kamu tahu bau ini. Kamu bisa bertahan di tempat ini tapi tidak dengan bayimu. Kalau mereka datang, mereka akan menjadikanmu sama seperti sebelumnya. Lebih baik pergi dari tempat ini dan memulai kehidupan baru, dan percayalah aku memiliki tempat aman untukmu,” kataku menurut analisa yang aku lihat dari sekelilingku.
Tiba-tiba wanita itu menatap tajam kedua mataku. Awalnya aku sedikit terekejut tapi aku tenangkan diriku dan membalasnya dengan senyum. Anehnya dia malah mendekat kearahku dengan pelan semakin dekat dan menatap kedua mataku dengan tajam. Sebenarnya bingung juga, apa yang sedang dia cari? Waktu sudah tidak banyak lagi tapi kenapa wanita ini masih saja Dengan tenang aku mendekatkan wajahku ke arahnya. Dia sedikit memundurkan wajahnya.
“Ba-baiklah aku ikut denganmu, tapi berjanjilah bawa aku ke tempat yang aman. Dan tolonglah, jika bisa aku ingin bayiku mendapat gizi yang baik.”
“Iya ibu dan adik bayi yang lucu he he he,” candaku dan dia tersenyum. Entah kenapa aku bisa bercanda dengan wanita ini. menurutku dia tidak semuda tampilannya, mungkin dari tampilannya dia berusia sekitar 30 tahun tapi kalau aslinya bisa saja dia lebih dari 40 tahun.
Dia bersiap-seiap dengan memasukan peralatan bayi yang ala kadarnya kedalam tas. Untuk mempercepat waktu aku mengambil tasnya, sempat dia heran tapi aku langsung menarik lengannya. Dia keluar bersamaku, menggendong bayinya sedangkan Ana menggandeng lenganku. Saat kelua melewati tubuh-tubuh dengan bau darah yang masih tercium. Sesaat kesadaranku sedikit hilang, rasa takut kembali menghampiriku. Langkahku terhenti.
“Ada apa?” tanya wanita dibelakangku.
“Ti-tidak, ha-hanya... argh... su-sudahlah,” aku kembali melanjutkan langkahku. menahan nafas dan sedikit menutup mataku.
Sesampainya di tempat dimana aku menyembunyikan motor, aku berdiam sejenak. Ku pegang kedua lututku, nafasku sedikit tersengal. Mayat itu, darah itu, mereka mati, mereka kehilangan nyawa karenaku. Tapi, tadi saat tadi, aku...
“Kamu ketakutan?” tanya wanita dibelakangku.
“Kakaaak.”
“Ti-tidak, aku tidak takut, a-aku hanya lelah.”
“Kenapa kamu takut?”
“Su-sudahlah jangan dibahas, lebih baik kita segera pergi dari tempat ini sebelum kawanan mereka datang.”
Segera aku mengambil motor. Ana duduk ditangki motor sembari memelukku, sedangkan wanita itu memboncengku di belakang. Jaket aku tutupkan ke tubuh Ana, karena dia yang ada didepan. Aku nyalakan motor, berjalan menyusuri jalan tengah hutan ini. Selang beberapa saat akhirnya aku bisa keluar dari hutan dan berjalan di jalanan aspal.
Aku kembali memacu motorku, tidak terlalu cepat tapi masih masu dalam kategori ngebut, walau ada bayi dibelakangku. Jalanan mulai berwarna kuning karena lampu kota yang sudah menyala. Jalan sepi dan hawa dingin mulai aku rasakan. Wanita itu memelukku dari belakang, sepertinya dia menghindarkan angin malam dari bayinya. Baru beberapa puluh meter aku berjalan, kulihat sebuah sedan putih terparkir dikanan jalan tepat di bawah lampu jalan dengan lampu dalam mobil terlihat menyala redup. Kejauhan aku bisa melihat seorang lelaki dengan baju putih sedang bersandar disamping mobil, tepat samping pintu kemudi.
Dan ketika aku melewatinya, kupelankan motorku dan mata kami bertemu. Mata yang tenang dan tajam, entah kenapa mataku terus menatap mata lelaki yang kemudian tersenyum kepadaku. Kulihat pula seorang wanita cantik di jok belakang mobil, menoleh ke arahku dengan wajah datar dan dingin. Dan sekilas aku melihat sebuah gambar pada bagian bodi mobil, melihat sebuah gambar yang asing tapi aku tahu gambar itu.
Melati merah
Pelan aku meninggalkan sedan putih itu. Rasa penasaranku masih belum hilang, kulihat dari kaca spion, lelaki itu membalikan tubuhnya dan menghadap ke arah pergiku. Entah kenapa lelaki itu menghadap ke arah pergiku, kenalkah? Atau aku pernah bertemu dengannya? Atau dia adalah orang yang mengetahui diriku? Atau dia adalah salah satu dari mereka? jika dia adalah salah satu dari mereka, kenapa dia tidak berada bersama mereka? dan gambar melati merah tadi, kelihatanya aku pernah melihat atau mendengarnya tapi dimana?
“Ah, lebih baik aku mengingatnya besok, aku harus membawa mereka ke tempat yang aman terlebih dahulu”
Masuk ke dalam jalanan kota, memang tampak aneh seorang lelaki memboncengkan seorang wanita dan juga seorang gadis didepannya. Aku terus melewati mobil-mobil didepanku, bahkan aku tidak mempedulikan jika ada polisi yang melihatku. Memang sedikit was-was kalau tertangkap, namanya juga kota besar pastilah aturan disini begitu ketat, demi keamanan pengendara. Tapi kelihatannya karena jalanan yang ramai dan caraku mengendarai motor dengan memanfaatkan sela-sela jalan sempit diantara mobil dan motor, membuat para aparat keamanan malas mengejar jika melihat.
Cepat aku menarik gas, menambah laju motor. Sekilas aku melihat temanku, Irfan dan Burhan, tapi entah benar atau tidak, aku tidak mempedulikannya. Selang beberapa lama, akhirnya aku memasuki komplek perumahan mas Raga. Kupelankan motorku.
“Eh, ini kan?” tiba-tiba wanita dibelakangku terperanjat. Aku sedikit menoleh kebelakang, wanita itu seakan mengenal tempat itu.
“Ada apa?”
“Ti-tidak, kamu mau membawaku kemana?”
“Ketempat yang aman, yang penting percayala padaku.”
“Aku percaya, sangat percaya.”
“Eh...” setelah dia mengatakan kepadaku, dia memelukku dengan erat.
Sampai digerbang rumah mas Raga, penjaga langsung membukakan pintu. Salah satu penjaga tampaknya sedang menelepon ke dalam rumah. Aku masuk dan langsung berhenti didepan pintu rumah mas Raga. Tak perlu menunggu lama, mas Raga keluar bersama istrinya mbak Alma, Bobo, Baba dan Bibi serta Ani.
Ciit...
“Ana.”
“Taraaaaaa...” Ana turun dan tersenyum kearah mas raga dengan wajah bahagianya. Mbak Alma langsung memeluk Ana begitupula Ani. Anehnya, mas Raga terdiam sejenak ketika wanita dibelakangku turun.
“Raga...”
Tiba-tiba mas Raga langsung berjalan ke arah wanita tersebut memeluknya, matanya sedikit berair. Aku terdiam sejenak, aku tidak tahu apa yang terjadi. Melepas helm dan kemudian turun dari motor. Selang beberapa saat banyak sekali laki-laki keluar dari rumah mas Raga. Wajahnya begitu tenang dan kemudian mereka melihatku. Satu diantara mereka aku mengenalnya, bang Jali.
“Tante kemana saja?”
“Eh, Tante???” aku terkejut ketika mendengar mas Raga memanggil wanita tersebut.
“Sudah nanti tante ceritakan, sekarang tante boleh masuk? kasihan adikmu ini, dia masih bayi kedinginan nanti.”
“Adik?” tanya mas Raga Heran.
“Nanti tante ceritakan, ajak pula pemuda ini masuk.”
“Arta?”
“Kamu sudah mengenalnya?” Mas raga mengangguk.
“Ayo Ar, masuk,” ajak mas Raga.
Aku ikut masuk ke dalam rumah. Tepat didepan pintu, dimana ada beberapa lelaki yang tidak aku kenal, hanya Bang Jali menepuk bahuku dan kemudian dia masuk terlebih dahulu. Lelaki-lelaki yang sebelumnya bersama bang Jali menatapku, aku sedikit heran dengan tatapan mereka. Bahkan kalau dilihat cara berpakaian mereka juga sedikit aneh, walau ada yang tidak aneh. Melewati mereka dan mereka masuk ke rumah setelahku.
Memasuki rumah mas Raga, awalnya biasa saja tapi tidak bagiku. Aroma darah kembali aku cium, tiba-tiba saja bayangan ruangan menjadi bergerak, berputar. Kesadaranku kembali terganggu. Rasa ketakutan kembali muncul, kepalaku menjadi sangat sakit sekali. Bahkan untuk mengangkat kaki saja sangat sulit. Nafasku sedikit sesak dan tersengal. Sesaat aku terdiam, bau darah tercium. Saat kuangkat kedua tangan, bercak darah masih menempel.
“Bukan aku, bukan aku”ketakutan yang aku rasakan.
“Hei kamu tidak apa-apa?” Kesadaranku kembali lagi saat seorang lelaki menepuk bahuku, laki-laki yang tadi bersama Bang Jali.
“Arta ada apa denganmu?” tanya mas Raga.
“Eh... a-aku... egh... tidak apa-apa mas.”
Mas Raga berjalan mendekat ke arahku, semua mata tertuju padaku. Dia memgang kedua bahuku, tersenyum lalu memelukku. Menepuk punggungku beberapa kali kemudian melepas pelukannya dan mengucek kepalaku.
“Langit malam ini indah, cobalah lihat, kamu pasti suka.”
“Eh, i-iya mas.”
Dengan langkah yang tidak seimbang, aku berjalan menuju kolam renang. Berulutut ke arah kolam dan langsung aku celupkan kepalaku ke dalam air beberapa kali. Aku takut, benar-benar takut. kenapa rasa ini selalu muncul di saat seperti ini.
“Huaaahhh... hash hash hash...” kuangkat kepalaku yang basah karena air kolam renang kemudian duduk membelakangi kolam.
“Kakak?” tanya Ana, aku hanya menjawab dengan mengangkat telapak tanganku ke arahnya dan masih membelakanginya.
“Jangan marah lagi nanti ada...” aku langsung menoleh ke arahnya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ti-tidak kak, tidak ada apa-apa, hanya saja Ana kan takut kalau liat kakak marah,” kulihat ada sesuatu yang dia sembunyikan. Baru ingin menelisik, tiba-tiba bibi datang dari belakang Ana.
“Kopi Ar?” tanya bibi, aku mengangguk. Bibi kemudian mengajak Ana masuk ke dalam untuk bersih-bersih. Sesekali Ana menengok ke arahku, ada rasa takut didalamnya. Entah ketakutan seperti apa.
“Sudah, kakakmu itu butuh waktu sendiri. Dia belum merokok sama ngopi ha ha ha,” canda Mas Raga. Aku hanya tersenyum mendengar celoteh mas Raga.
Tak lama berselang seorang lelaki mendatangiku dan berjongkok disampingku. Dia tersenyum dan kemudian mengucek-ucek kepalaku. Aku balas senyumannya. Dia kembali berjalan masuk ke dalam rumah, kulihat laki-laki lain tersenyum kearahku. Ada juga yang mengacungkan jempol ke arahku. Entah apa yang ada didalam pikiran mereka.
Selang beberapa saat bibi datang dengan secangkir kopi dan sebungkus rokok, tak lupa korek api diatasnya. Ana dan wanita itu memandangku dengan senyum lalu mereka masuk ke dalam kamar.
Sebatang Dunhill akhirnya menyala, mengisi setiap ruang dalam paru-paruku. Ku lihat mereka sedang mengobrol didalam sana, aku masih bisa melihatnya dari tempatku sekarang duduk. Tampak wajah-wajah mereka sangat serius dalam berbicara, bahkan wanita itu dan Ana juga keluar dari kamarnya untuk ikut dalam percakapan mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi menurutku ada kaitannya denganku karena sesekali mereka menengok ke arahku. Terkadang pula salah satu dari mereka mengangkat tangannya ke arahku. Selang beberapa saat wanita itu keluar bersama Ana, dan kemudian masuk ke kamar lagi.
Sesaat setelah wanita yang dipanggil Tante oleh Mas Raga dan juga Ana masuk ke dalam kamar, mereka menyudahi perbincangan mereka. Disaat hendak pergi, semua orang didalam sana berdiri menghadap ke arahku, melambaikan tangan mereka dan tersenyum. Awalnya terkejut tapi aku balas dengan lambaian tangan. Setelahnya, Mas Raga mengantar mereka keluar, kini didepan mataku sudah sepi. Hening. Ku sruput kopi hangat buatan bibi. Memandang langit luas malam ini.
“Terima kasih.”
“Eh Mas, buat kaget saja mas.”
“Ha ha ha ha... makanya jangan melamun,” tawanya begitu keras memecah kesunyian malam ini. Dia masih berdiri memandangku, tersenyum.
“Kamu sangat gegabah, itu bisa membahayakan dirimu.”
“Mendadak... tak ada waktu untuk berpikir Mas.”
“Iya tadi tante sempat cerita sedikit dan juga Ana.”
“Hmm huftthhhh... aku melihat Ana dijalan, jadi aku langsung mengejarnya.”
Melangkah mendekatiku dan berjongkok didepanku.
“Bagaimana malam ini indah bukan langitnya?” tanyanya sembari menengadahkan wajahnya ke langit.
“Aku sudah tenang mas, kalau ingin mengajak ngobrol, ndak papa.”
“Pede sekali kamu itu, siapa pula yang ingin ajak kamu ngobrol, mending tidur kalau aku, ha ha ha,” sekali lagi dia tertawa sangat keras hingga dia terduduk.
Sedikit terkejut sebenarnya, sikap Mas Raga sangat berbeda. Dia mengalihkan setiap pembicaraan ketika pikiranku sudah fokus ke masalah yang dia tuju. Entahlah, lebih baik aku menunggunya berhenti tertawa terlebih dahulu.
“Baiklah, kelihatannya kamu lelah, kamu bisa tidur dikamar tamu.”
“Aku belum mengantuk, mas.”
“Tapi dari wajahmu, kelihatannya kamu butuh ketenangan malam ini. Besok kita ngobrol sebentar, kalau kamu mau dan aku ingat ha ha ha.”
“Yaelah mas, sok tahu.”
“Bukan sok tahu, tapi memang aku sudah tahu. Kamu butuh waktu untuk sendiri. Jika kamu butuh apa-apa, Bobo dan Baba akan menyediakannya. Dan sekali lagi terima kasih.”
“Hadeh... terima kasih terus, hadeeeeeh...”
“Ha ha ha benar kan kalau kamu butuh waktu sendiri,” dia kemudian bangkit.
“Baiklah sampai ketemu besok,” lanjutnya sembari meninggalkan aku.
“Rokoknya tambah satu bungkus mas!”
“Tidak ada rokok dua bungkus satu malam,” ucapnya sembari tetap berjalan membelakangiku dengan satu tangannya memberi isyarat tidak.
Sebatang rokok ku sulut lagi, untuk menenangkan pikiranku. Secangkir kopi dengan isi masih tiga seperempatnya bakal menemaniku malam ini. Kutengadahkan kepalau, melihat awan malam yang bergerak pelan, seakan malas beranjak dari tatapan mata. Hanya saja tak ada bintang seperti malam kemarin. Mungkin memang harus ada dia, dan bintantg itu akan menyapaku lagi.
“Langitnya bagus ya?” tanya seorang perempuan, mengangetkan aku. Aku tundukan pandanganku. Wanita tadi berdiri didepanku dengan pakaian yang biasa, tidak seperti pertama kali aku melihatnya, memakai gaun.
“Oh, tante...”
“Hi hi hi tadi saja kamu, kamu... sekarang tante hi hi hi.”
“Bukannya begitu tadi kan aku belum tahu kalau tante itu tantenya mas Raga.”
“Hi hi hi, kelihatan sudah tua ya?”
“Endak juga Tan, ya kira-kira 50an lah.”
Thak...
“Auch sakit tahu Tan,” protesku sambil mengelus kepalaku yang baru saja dia jitak. Dia tiba-tiba bergerak cepat dan menjitak kepalaku.
“Makanya, sama perempuan itu hormat, puji wanita, jangan malah dibilang tua. Wanita itu gak suka kalau dibilang tua,” celotehnya sambil berdiri menghadapku.
“Berumur gitu ya tan?”
“Aaaarghh, sakit tan,” cubitnya pada
“Dasar, hi hi hi. Oia boleh duduk? masa ada wanita cantik gak dipersilahkan duduk?”
“Ndak ada kursi Tan, mending berdiri saja.”
“Auuuuchhh...” cubitannya keras sekali, dengan posisi sedikit menunduk mencubit tanganku.
“Dasar, hi hi hi.”
Wanita ini kemudian duduk bersimpuh menghadapku, memegang kepalaku dan mendekatkannya ke wajanya. Sedikit kecupan di keningku, kemudian dia duduk disampingku. Tersenyum memandangku dan terus memandangku, membuatku grogi.
“Iya-iya, oia nama kamu Arta?”
“Iya tante, kok tahu? Tante peramal ya?” sedikit candaku.
“Hi hi hi dasar... ya tahulah, tadi Masmu itu bilang ke tante,” ucapnya. Aku hanya tersenyum membalas guaruannya.
“Suka langit?”
“Iya, apalagi kalau berbintang.”
“Kenapa?”
“Tidak tahu, suka saja.”
Dia kemudian duduk memeluk kedua kakinya yang ditekuk, memandang ke langit yang luas. Tiba-tiba dia bercerita tentang langit, bintang dan juga awan. Dia mengandaikan langit adalah lautan luas, bintang adalah ikan-ikan yang berada didalamnya dan awan adalah bebatuan karang tapi tetap saja dia membedakannya. Langit akan selalu indah walau hanya ada awan tanpa bintang, keindahan langit bisa dinikmati kapanpun itu. Berbeda dengan lautan, lautan hanya bisa dinikmati ketika kita masuk ke dalamnya dan melihat isinya. Tapi langit, kita bisa menikmatinya dengan cara kita sendiri tanpa perlu terbang ke atas sana.
“Panjang sekali Tan, mantan Dosen ya?”
“Tapi benar kan?” aku mengangguk mengiyakan kata-katanya, mengangkat kepalaku kembali dan hanyut dalam lamunan. Memang benar, tak perlu kita terbang tinggi ke atas sana, hanya duduk saja dan menengadahkan kepala, kita sudah bisa menikmati langit.
“Terima kasih,” ucapnya tiba-tiba mengangetkan aku, aku terdiam melihatnya.
“Nama tante siapa? Aku belum tahu,” tanyaku menngalihkan pembicaraan.
“Hi hi hi hayo kok pengen tahu nama tante? Pengen kenalan ya?”
“Hadeh, tadi aja judes, mau nembak segala, sekarang bercandanya hadeeeeh.”
“Hi hi hi... nama tante Intanian, panggil tante nian. Tante masih saudara dengan Masmu itu, dari kecil sudah tidak punya orang tua dan dibesarkan oleh kakek Mas Raga. Makanya saat kamu masuk komplek ini, Tante sedikit terkejut. Karena tante kenal betul komplek perumahan ini.”
“Oooh...” dia malah tersenyum ketika aku bilang oh.
“Terus kenapa tante bisa ada disana?” sedikit menghela nafas panjang.
“Karena persaingan...”
“Persaingan? Seandainya tante ada disana, tante bisa menghubungi mas Raga,” dia menatapku dan tersenyum.
Tante Nian kemudian mulai bercerita tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Dimana tante dan suaminya sedang menikmati laut diatas kapal pribadinya. Tiba-tiba ada kapal yang mendekat dan melakukan perampokan, suaminya mati tertembak mayatnya dibiarkan didalam kapal. Kapal kemudian dibakar hingga terjadi ledakan besar. Berita yang disebarkan adalah kecelakaan kapal. Tante dan om dikabarkan meninggal. Tante kemudian dibawa ke dalam hutan itu, dijadikan wanita pelampiasan. Awalnya tante mencoba melarikan diri tapi tertangkap dan mendapat hukuman yang sangat berat. Walau diberikan hukuman pun, tante masih ingin mencoba lari tapi saat dia tahu hamil, tante mengurungkan niatnya.
“Hingga anak itu lahir 3 bulan kemarin, tante tetap disana. Menjadi pelampiasan nafus mereka,” aku terdiam. Teringat akan sesuatu yang menyakitkan.
“Berarti anak itu?”
“Iya anak salah satu dari mereka. kenapa aneh ya?”
“Ti-tidak...”
“Kamu pasti berpikir kenapa tante sayang sekali sama anak itu, iya kan?”
“I-iya...”
“Tante tidak peduli siapa Ayahnya, yang jelas dia lahir dari rahim tante. Dan dia anak tante, tante akan merawatnya, mendidiknya menjadi laki-laki yang kuat seperti dua orang yang tante kenal dan...”
“Dan?”
“Dan seperti kamu Ar, kuat dan penyayang,” dia memandangku tersenyum.
“Hadeh, tante... suka memuji. Kuat apanya...”
“Hi hi hi... tante melihat semuanya dari awal, Ar. Tante penasaran dengan keramaian diluar. Dan memang benar, laki-laki itu tante cekik hingga mati saat dia ingin melampiaskan nafsunya ke tante. Setelah tante bisa keluar, tante melihatmu terjatuh dan...”
“Sudah jangan dilanjutkan lagi tan, aku sendiri tidak tahu kenapa seperti itu.”
“Hi hi hi...”
Tawanya membuat suasan malam ini lebih tenang.
“Eh tan, tanya.”
“Gak boleh.”
“Hadeh...”
“Iya, iya...”
“Tadi tante bilang, merawat anak tante jadi seperti dua orang yang tante kenal. siapa itu tan?”
“Hi hi hi, kamu detail banget ya? sama seperti ketika kamu ngomong panjang lebar tenang kondisi kamar tante tadi dan bla bla bla hi hi hi”
“Yaelah tan, beneran tanya ini....”
Tante Nian memandangku dengan lembut. Mendekatkan bibirnya dan mengecup pipiku. Lalu berdiri, menengadahkan wajahnya ke langit luas. Direnggangkannya kedua tangannya, lalu menguap.
“Hoamm.... tante ngantuk, tante tidur dulu ya kamu juga lekas tidur, sudah malam,” ucapnya sembari melangkah menjauhiku.
“Wedew, pertanyaannya aja belum dijawab.”
“Hi hi hi Rahasia atuh, dah tidur sekarang,” jawabnya dengan sedikit menoleh kearahku.
“Nanti Tan, kopinya sayang.”
“Hi hi hi... kamu tahu Ar,”
“Tidak tan, tidak tahu,” Dia membalikan badannya, tersenyum memandangku dengan kedua tangan dia satukan dibelakang tubuhnya.
“Ada dua orang laki-laki, dua-duanya suka minum secangkir minuman hangat, juga menghisap rokok. Mereka juga suka melihat langit malam kadang melihat sesuatu lain yang berbau alam. Kamu mirip sekali dengan mereka berdua, seakan-akan mereka berdua ada didalam dirimu. Bahkan caramu melihat, tatapan matamu mirip dengan mereka berdua... sangat mirip...” ucapnya kemudian berjalan meninggalkanku.
“Siapa mereka tan?!”
“Rahasia hi hi hi daaaaaah sayang...” kembali dia melanjutkan langkahnya.
“Oia Ar.”
“Apa lagi Tan, kalau mau tidur ya tidur Tan, ganggu aja huh,” dia tersenyum sembari menutupkan tangannya di bibirnya
“Hi hi hi,” tawanya yang langsung berhenti dan menatapku dengan senyuman manisnya.
“Kendalikan dirimu, banyak yang membutuhkanmu. Semakin kamu bisa mengendalikan jiwa dalam dirimu, semakin kamu bisa melindungi semua yang kamu sayangi. Dan...”
“Dan...”
“Dan. Daaaaaah Tante mau bobo cantik dulu hi hi hi...” dia melanjutkan langkahnya.
Dan aku semakin tidak mengerti. Langkahnya begitu cepat dan menghilang begitu saja. Dasar perempuan selalu memberi teka-teki. Kata-katanya membuatku semakin tidak aku mengerti, mungkin dia yang melihatku, mungkin dia juga pernah melihat seseorang yang sepertiku. Tidak mungkin dia bisa berkata seperti itu tanpa sebuah dasar argumen yang kuat. Masa Bodoh, suatu saat aku pasti akan mengetahuinya.
Tante Intanian, mungkin dia juga suka menikmati malam. Menikmati langit malam. Dari cerita yang dia katakan baru saja, sepintas aku melihat masa lalu. Kebahagiaan yang tererenggut, seperti halnya bulan, bulan yang seharusnya bersinar dimalam hari tetapi tak mampu bersina karena cahayanya terenggut oleh gelapmnya malam. Tapi, sekarang tidak, dia seakan mulai bersinar kembali, tidak seperti percikan masa lalu yang sepintas teringat olehku.
“Haaaasshh...”
Langit. Aku hanya tahu seorang laki-laki yang suka minum kopi, teh, intinya yang penting hangat dan cukup manis, juga menghisap rokok di luar seperti ini. Aku seperti ini juga karena dia sering mengajakku untuk menikmati Alam, Ibu juga sering menemaniku melihat bintang. Langit malam, entah tiba-tiba aku kangen dengannya dan juga dengannya. Mereka yang paling sering menemaniku dimalam hari. Mereka berdua.
Aku habiskan minumanku, dan melangkah masuk ke dalam rumah menuju kamar tamu. Ku rebahkan tubuh, dan meregangkannya sebentar. Lelah sekali hari ni, sangat lelah. Tak bisa lagi aku menahan mataku untuk tetap terbuka. Pelan tertutup dan tertidur.
“Jangan!!”
“Tidaaaaaak, lepaskan!!”
Tulit... tulit...
“Hash... hash... hash...”
Mataku terbelalak dan langsung bangkit dari tidurku. Tidurku terselematkan dari mimpi buruk karena bunyi sematpon yang menganggetkan aku. Tidak tahu kenapa bayangan ketakutan muncul kembali, membuat nafasku serasa berat sekali. Bayangan-bayangan ketakutan, keterpurukan, air mata, tidak kenapa tiba-tiba muncul, kenapa tiba-tiba hadir lagi. Sial.
Tulit... tulit...
“Hassssshhhh....”
Sematpon berbunyi beberapa kali mengalihkan pikiranku. Aku usap wajahku dengan telapak tanganku beberapa kali dan kemudian bangkit mengambil sematpon. Beberapa pesan masuk dari Winda, Desy dan Ainun. Ainun? kenapa dia juga mengirimkan pesan? Apa mungkin... Entahlah. Semua sama, bertanya tentang keadaanku.
Pertanyaan yang sama, aku balas dengan jawaban yang sama, tinggal salin dan tempel saja. Kembali aku rebah dan tak ada sekian menit sematpon kembali berbunyi. Hanya membuka aplikasinya tanpa membuka pesan mereka, masing-masing 5 pesan masuk disetiap nama yang baru saja aku balas. Hufth, lebih baik aku tidak membalasnya, karena pasti aku tidak akan tidur malam ini. Aku tutup kembali sematponku.
“Kenapa tadi bisa tiba-tiba. Aku harus segera tidur, semoga tak ada bayang-bayang itu kembali,” ku usap wajahku beberapa kali.
Tidur, jangan datang lagi. Aku mohon mataku cepatlah tertidur, aku lelah.