Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
mungkin pengemudi di mobil putih yg mengikuti penculik ana yg nembak...kyknya gitu...arta tersepamatkan...
 
Scene 33
Cahaya Rembulan Yang Terenggut Malam


Ana dan Ani


...​



Aku terkejut. Aku menoleh ke arah belakangku dan...

Dor...!

Lelaki yang baru saja mengarahkan pistolnya ke arahku jatuh berlutut dan kemudian perlahan tubuhnya ambruk dengan matanya terbelalak tajam ke arahku. Kulihat seorang wanita setengah baya dengan gaun putih yang sangat cantik masih memagang pistol, sedikit heran, tapi yang jelas wanita itu bukan wanita-wanita yang menjadi salah satu selir. Mata kami sempat berpandangan, aku bisa merasakan dia bukan salah satu dari mereka.

Oeeek... oeeek...

Tiba-tiba terdengar suara bayi dan wanita itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Dengan masih memegang pistol dia berlari ke arah suara tangisan bayi, masuk ke dalam suatu lorong. Tanpa berpikir panjang, aku langsung beranjak hendak mengejar wanita tersebut.

“Kakak!” aku menoleh dan baru aku ingat kalau Ana masih terikat tangan dan kakinya.

Aku langsung berlari ke arahnya. Memeluknya, memeluk peri kecilku yang hampir saja hilang dari dalam kehidupanku. Dia selamat, ya dia selamat. Aku terus memeluknya dengan sangat erat, masih ada rasa takut kehilangan orang yang aku sayangi. Tanpa sadar, air mata menetes dipipiku.

“Ka-kamu ndak papa kan dik?” tanyaku, memegang kedua lengannya. Dia mengangguk.

“Kakak jangan nangis, adik gak papa. Lepasin ikatannya dulu.”

“Eh, i-iya... maaf,” aku membuka ikatan sembari menghapus air mataku.

“Kak...”

“I-iya...”

“Takut...”

“Ada kakak, tenang ya?” ucapku sembari tersenyum menatap wajahnya.

Ana langsung memelukku ketika ikatan yang mengikat tubuhnya terbuka. Da memelukku dengan sangat erat, sama halnya aku. Walau hanya sebentar saja, bayangan masa lalu terlintas dipikiranku. Tak pernah aku bayangkan jika aku kehilangan peri kecilku, tapi aku bersyukur dia serakang di dalam pelukanku. Perlahan aku lepas pelukan dan ku elus rambut, dia tersenyum.

“Kita susul wanita tadi.”

“Tapi A-ana masih takut.”

“Sudah tidak usah takut, ada kakak,” dia kemudian mengangguk.

“Ambil baju Ana dulu kak.”

“Iya,”

Aku berdiri menggandang satu tangan Ana dan berbalik. Mataku yang menangkap gambaran mayat-mayat tergeletak ditambah dengan bau segar darah yang tercium, membuat tubuhku kaku sesaat. Rasa takut yang seakan tertidur , bangkit kembali. Tubuhku menjadi kaku, kurasakan hawa dingin ketakutan menyelimuti tubuhku.

“Kaaak,” suara Ana pelan dari belakang menyadarkan aku.

“I-iya.”

“Kakak kenapa?”

“Ti-tidak, tidak ada.”

“Cepet kak, Ana takuuut.”

Ada sedikit keberanian muncul, melawan rasa takut. Keberanian karena ada peri kecil yang sedang membutuhkan perlindunganku. Melawa rasa takut, berjalan melewati mayat-mayat yang tergelatak. Aku paksa kakiku melangkah kedepan, walau hati ingin segera berlari meninggalkan tempat ini. Bergegas kami mengambil pakaiannya dan berjalan menuju ke arah lorong.

Di tengah-tengah lorong ku lihat wanita-wanita yang berkumpul dan meringkuk. Mereka lebih merasakan ketakutan-ketakutan dibandingkan denganku. Pelan kudekati mereka, ku katakan kepada mereka agar segera meninggalkan tempat ini dan segera pergi dari kota ini jika masih menyayangi nyawa mereka. Sebenarnya pilihan paling aman adalah menghabisi nyawa mereka, menghilangkan bukti tentang aku yang baru saja menghabisi nyawa para lelakinya. Tapi, mereka tidak bersalah, mereka hanya korban.

Mereka mengiyakan perintahku, entah benar atau tidak meninggalkan kota ini yang dapat aku tangkap adalah aura ketakutan mereka. Tak berselang lama, mereka berdiri, dari lorong aku bisa melihat mereka berlari dan mengambil barang-barang, hadeh, masih sempat-sempatnya mereka mengambili barang berhaga milik orang itu. Masa bodoh, aku harus segera menemui wanita tadi.

Aku berbalik melihat ke arah depan, terlihat sebuah pintu kamar yang terbuka. Cahaya kamar menerobos keluar dari kamar. Samar terdengar suara nyanyian seorang wanita dari dalam kamar. Aku dan Ana kembali melangkah. Suaranya begitu merdu, khas nyanyian seorang wanita dewasa. Suara yang menyanyikan lagu untuk menidurkan seorang bayi. Langkahku terhenti didepan pintu kamar tersebut. Berdiri membeku dengan mulut pistol mengarah ke arahku. Dengan satu tangan memegang pistol yang diarahkan kepadaku, satu tangannya menggendong dan meyusui bayinya. Aku tetap berdiri tegak, sedangkan Ana perlahan berjala mundur dan bersembunyi dibalik punggungku.

Hela nafas panjang, aku tidak menghiraukan pistol itu karena aku yakin dia tidak akan menarik pelatuknya. Mataku menyapu bersih isi dalam kamar. Kamarnya yang acak-acakan ditambah dengan mayat seorang laki-laki yang tercekik. Kelihatannya lelaki itu belum lama mati tercekiknya, menurutku.

“Apa maumu? Kenapa kemari cepat pergilah atau aku akan membunuhmu,” ucap wanita didepanku. Ku balas ancamannya dengan senyuman.

“Kenapa tersenyum?” lanjutnya.

“Tidak apa-apa, aku kesini bukan berniat jahat. Aku hanya ingin berterima kasih kepadamu, karena telah menyelamatkan hidupku.”

“Terima kasih? Sudahlah, segera pergi dan tinggalkan aku dan bayiku.”

“Apa aku tidak boleh mengucapkan terima kasih?”

“Baru kali ini ada penjahat berterima kasih padaku. Baiklah aku terima ucapanmu dan segeralah pergi!”

“Kakak bukan penjahat, kakak itu kakak Ana, dia baik tante!” teriak Ana sedikit keras.

“Ana ndak boleh berteriak-teriak.”

Tiba-tiba suasana menjadi sedikit tenang. Sekejap wanita itu menengok ke wajah Ana yang terlihat saat dia mengintip.

“Lebih baik segera tinggalkan tempat ini, jika masih ingin hidup. Aku bisa mengendalikan situasi disini. Anggap saja aku yang membunuh mereka semua,”

“Terlalu beresiko, lebih baik kamu ikut dengan kami, akan ada tempat aman buatmu,” bujukku.

“Aku tetap disini, merawa...”

“Kalau kamu tetap disini, dan kawanan mereka datang. Hidupmu akan lebih menderita.”

Sreekk... krek...

Mulut pistol itu mengarah kembali tepat ke wajahku.

“Tahu apa kamu tentang hidup! Per...”

Oek... oek... oekk...

Ssssh....sssshh.... ssssshh...

Seketika dia menurunkan senjatanya. Berdiri dan menimang-nimang bayinya. Sesekali dia menatapku dengan tajam, tapi entah kenapa aku ingin tersenyum ketika melihat wanita ini menimang bayinya. Wanita ini tampak lebih anggun dari sebelumnya.

“Kenapa tersenyum?”

“Apa aku tidak boleh tersenyum melihat seorang wanita menimang bayinya?”

“Sebenarnya apa maumu?”

“Membawamu ke tempat yang aman. Jika kamu ragu, bawa pistol itu, kamu bisa menggunakan pistol itu jika nanti aku tidak membawamu ketempat yang aman. Kamu bisa menembakku dan kemudian lari... Daripada tetap disini.”

“Sudahlah, lebih baik kalian segera pergi dari tempat ini?!”

“Laki-laki itu mati tercekik, kemudngkinan kematiannya belum lama. Dan... kamu berada dalam kamar ini. Tempat ini baunya juga bau... ah sudahlah, yang jelas kamu tahu bau ini. Kamu bisa bertahan di tempat ini tapi tidak dengan bayimu. Kalau mereka datang, mereka akan menjadikanmu sama seperti sebelumnya. Lebih baik pergi dari tempat ini dan memulai kehidupan baru, dan percayalah aku memiliki tempat aman untukmu,” kataku menurut analisa yang aku lihat dari sekelilingku.

Tiba-tiba wanita itu menatap tajam kedua mataku. Awalnya aku sedikit terekejut tapi aku tenangkan diriku dan membalasnya dengan senyum. Anehnya dia malah mendekat kearahku dengan pelan semakin dekat dan menatap kedua mataku dengan tajam. Sebenarnya bingung juga, apa yang sedang dia cari? Waktu sudah tidak banyak lagi tapi kenapa wanita ini masih saja Dengan tenang aku mendekatkan wajahku ke arahnya. Dia sedikit memundurkan wajahnya.

“Ba-baiklah aku ikut denganmu, tapi berjanjilah bawa aku ke tempat yang aman. Dan tolonglah, jika bisa aku ingin bayiku mendapat gizi yang baik.”

“Iya ibu dan adik bayi yang lucu he he he,” candaku dan dia tersenyum. Entah kenapa aku bisa bercanda dengan wanita ini. menurutku dia tidak semuda tampilannya, mungkin dari tampilannya dia berusia sekitar 30 tahun tapi kalau aslinya bisa saja dia lebih dari 40 tahun.

Dia bersiap-seiap dengan memasukan peralatan bayi yang ala kadarnya kedalam tas. Untuk mempercepat waktu aku mengambil tasnya, sempat dia heran tapi aku langsung menarik lengannya. Dia keluar bersamaku, menggendong bayinya sedangkan Ana menggandeng lenganku. Saat kelua melewati tubuh-tubuh dengan bau darah yang masih tercium. Sesaat kesadaranku sedikit hilang, rasa takut kembali menghampiriku. Langkahku terhenti.

“Ada apa?” tanya wanita dibelakangku.

“Ti-tidak, ha-hanya... argh... su-sudahlah,” aku kembali melanjutkan langkahku. menahan nafas dan sedikit menutup mataku.

Sesampainya di tempat dimana aku menyembunyikan motor, aku berdiam sejenak. Ku pegang kedua lututku, nafasku sedikit tersengal. Mayat itu, darah itu, mereka mati, mereka kehilangan nyawa karenaku. Tapi, tadi saat tadi, aku...

“Kamu ketakutan?” tanya wanita dibelakangku.

“Kakaaak.”

“Ti-tidak, aku tidak takut, a-aku hanya lelah.”

“Kenapa kamu takut?”

“Su-sudahlah jangan dibahas, lebih baik kita segera pergi dari tempat ini sebelum kawanan mereka datang.”

Segera aku mengambil motor. Ana duduk ditangki motor sembari memelukku, sedangkan wanita itu memboncengku di belakang. Jaket aku tutupkan ke tubuh Ana, karena dia yang ada didepan. Aku nyalakan motor, berjalan menyusuri jalan tengah hutan ini. Selang beberapa saat akhirnya aku bisa keluar dari hutan dan berjalan di jalanan aspal.

Aku kembali memacu motorku, tidak terlalu cepat tapi masih masu dalam kategori ngebut, walau ada bayi dibelakangku. Jalanan mulai berwarna kuning karena lampu kota yang sudah menyala. Jalan sepi dan hawa dingin mulai aku rasakan. Wanita itu memelukku dari belakang, sepertinya dia menghindarkan angin malam dari bayinya. Baru beberapa puluh meter aku berjalan, kulihat sebuah sedan putih terparkir dikanan jalan tepat di bawah lampu jalan dengan lampu dalam mobil terlihat menyala redup. Kejauhan aku bisa melihat seorang lelaki dengan baju putih sedang bersandar disamping mobil, tepat samping pintu kemudi.

Dan ketika aku melewatinya, kupelankan motorku dan mata kami bertemu. Mata yang tenang dan tajam, entah kenapa mataku terus menatap mata lelaki yang kemudian tersenyum kepadaku. Kulihat pula seorang wanita cantik di jok belakang mobil, menoleh ke arahku dengan wajah datar dan dingin. Dan sekilas aku melihat sebuah gambar pada bagian bodi mobil, melihat sebuah gambar yang asing tapi aku tahu gambar itu.

Melati merah​

Pelan aku meninggalkan sedan putih itu. Rasa penasaranku masih belum hilang, kulihat dari kaca spion, lelaki itu membalikan tubuhnya dan menghadap ke arah pergiku. Entah kenapa lelaki itu menghadap ke arah pergiku, kenalkah? Atau aku pernah bertemu dengannya? Atau dia adalah orang yang mengetahui diriku? Atau dia adalah salah satu dari mereka? jika dia adalah salah satu dari mereka, kenapa dia tidak berada bersama mereka? dan gambar melati merah tadi, kelihatanya aku pernah melihat atau mendengarnya tapi dimana?

“Ah, lebih baik aku mengingatnya besok, aku harus membawa mereka ke tempat yang aman terlebih dahulu”

Masuk ke dalam jalanan kota, memang tampak aneh seorang lelaki memboncengkan seorang wanita dan juga seorang gadis didepannya. Aku terus melewati mobil-mobil didepanku, bahkan aku tidak mempedulikan jika ada polisi yang melihatku. Memang sedikit was-was kalau tertangkap, namanya juga kota besar pastilah aturan disini begitu ketat, demi keamanan pengendara. Tapi kelihatannya karena jalanan yang ramai dan caraku mengendarai motor dengan memanfaatkan sela-sela jalan sempit diantara mobil dan motor, membuat para aparat keamanan malas mengejar jika melihat.

Cepat aku menarik gas, menambah laju motor. Sekilas aku melihat temanku, Irfan dan Burhan, tapi entah benar atau tidak, aku tidak mempedulikannya. Selang beberapa lama, akhirnya aku memasuki komplek perumahan mas Raga. Kupelankan motorku.

“Eh, ini kan?” tiba-tiba wanita dibelakangku terperanjat. Aku sedikit menoleh kebelakang, wanita itu seakan mengenal tempat itu.

“Ada apa?”

“Ti-tidak, kamu mau membawaku kemana?”

“Ketempat yang aman, yang penting percayala padaku.”

“Aku percaya, sangat percaya.”

“Eh...” setelah dia mengatakan kepadaku, dia memelukku dengan erat.

Sampai digerbang rumah mas Raga, penjaga langsung membukakan pintu. Salah satu penjaga tampaknya sedang menelepon ke dalam rumah. Aku masuk dan langsung berhenti didepan pintu rumah mas Raga. Tak perlu menunggu lama, mas Raga keluar bersama istrinya mbak Alma, Bobo, Baba dan Bibi serta Ani.

Ciit...

“Ana.”

“Taraaaaaa...” Ana turun dan tersenyum kearah mas raga dengan wajah bahagianya. Mbak Alma langsung memeluk Ana begitupula Ani. Anehnya, mas Raga terdiam sejenak ketika wanita dibelakangku turun.

“Raga...”

Tiba-tiba mas Raga langsung berjalan ke arah wanita tersebut memeluknya, matanya sedikit berair. Aku terdiam sejenak, aku tidak tahu apa yang terjadi. Melepas helm dan kemudian turun dari motor. Selang beberapa saat banyak sekali laki-laki keluar dari rumah mas Raga. Wajahnya begitu tenang dan kemudian mereka melihatku. Satu diantara mereka aku mengenalnya, bang Jali.

“Tante kemana saja?”

“Eh, Tante???” aku terkejut ketika mendengar mas Raga memanggil wanita tersebut.

“Sudah nanti tante ceritakan, sekarang tante boleh masuk? kasihan adikmu ini, dia masih bayi kedinginan nanti.”

“Adik?” tanya mas Raga Heran.

“Nanti tante ceritakan, ajak pula pemuda ini masuk.”

“Arta?”

“Kamu sudah mengenalnya?” Mas raga mengangguk.

“Ayo Ar, masuk,” ajak mas Raga.

Aku ikut masuk ke dalam rumah. Tepat didepan pintu, dimana ada beberapa lelaki yang tidak aku kenal, hanya Bang Jali menepuk bahuku dan kemudian dia masuk terlebih dahulu. Lelaki-lelaki yang sebelumnya bersama bang Jali menatapku, aku sedikit heran dengan tatapan mereka. Bahkan kalau dilihat cara berpakaian mereka juga sedikit aneh, walau ada yang tidak aneh. Melewati mereka dan mereka masuk ke rumah setelahku.

Memasuki rumah mas Raga, awalnya biasa saja tapi tidak bagiku. Aroma darah kembali aku cium, tiba-tiba saja bayangan ruangan menjadi bergerak, berputar. Kesadaranku kembali terganggu. Rasa ketakutan kembali muncul, kepalaku menjadi sangat sakit sekali. Bahkan untuk mengangkat kaki saja sangat sulit. Nafasku sedikit sesak dan tersengal. Sesaat aku terdiam, bau darah tercium. Saat kuangkat kedua tangan, bercak darah masih menempel.

“Bukan aku, bukan aku”ketakutan yang aku rasakan.

“Hei kamu tidak apa-apa?” Kesadaranku kembali lagi saat seorang lelaki menepuk bahuku, laki-laki yang tadi bersama Bang Jali.

“Arta ada apa denganmu?” tanya mas Raga.

“Eh... a-aku... egh... tidak apa-apa mas.”

Mas Raga berjalan mendekat ke arahku, semua mata tertuju padaku. Dia memgang kedua bahuku, tersenyum lalu memelukku. Menepuk punggungku beberapa kali kemudian melepas pelukannya dan mengucek kepalaku.

“Langit malam ini indah, cobalah lihat, kamu pasti suka.”

“Eh, i-iya mas.”

Dengan langkah yang tidak seimbang, aku berjalan menuju kolam renang. Berulutut ke arah kolam dan langsung aku celupkan kepalaku ke dalam air beberapa kali. Aku takut, benar-benar takut. kenapa rasa ini selalu muncul di saat seperti ini.

“Huaaahhh... hash hash hash...” kuangkat kepalaku yang basah karena air kolam renang kemudian duduk membelakangi kolam.

“Kakak?” tanya Ana, aku hanya menjawab dengan mengangkat telapak tanganku ke arahnya dan masih membelakanginya.

“Jangan marah lagi nanti ada...” aku langsung menoleh ke arahnya.

“Ada apa?” tanyaku.

“Ti-tidak kak, tidak ada apa-apa, hanya saja Ana kan takut kalau liat kakak marah,” kulihat ada sesuatu yang dia sembunyikan. Baru ingin menelisik, tiba-tiba bibi datang dari belakang Ana.

“Kopi Ar?” tanya bibi, aku mengangguk. Bibi kemudian mengajak Ana masuk ke dalam untuk bersih-bersih. Sesekali Ana menengok ke arahku, ada rasa takut didalamnya. Entah ketakutan seperti apa.

“Sudah, kakakmu itu butuh waktu sendiri. Dia belum merokok sama ngopi ha ha ha,” canda Mas Raga. Aku hanya tersenyum mendengar celoteh mas Raga.

Tak lama berselang seorang lelaki mendatangiku dan berjongkok disampingku. Dia tersenyum dan kemudian mengucek-ucek kepalaku. Aku balas senyumannya. Dia kembali berjalan masuk ke dalam rumah, kulihat laki-laki lain tersenyum kearahku. Ada juga yang mengacungkan jempol ke arahku. Entah apa yang ada didalam pikiran mereka.

Selang beberapa saat bibi datang dengan secangkir kopi dan sebungkus rokok, tak lupa korek api diatasnya. Ana dan wanita itu memandangku dengan senyum lalu mereka masuk ke dalam kamar.

Sebatang Dunhill akhirnya menyala, mengisi setiap ruang dalam paru-paruku. Ku lihat mereka sedang mengobrol didalam sana, aku masih bisa melihatnya dari tempatku sekarang duduk. Tampak wajah-wajah mereka sangat serius dalam berbicara, bahkan wanita itu dan Ana juga keluar dari kamarnya untuk ikut dalam percakapan mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi menurutku ada kaitannya denganku karena sesekali mereka menengok ke arahku. Terkadang pula salah satu dari mereka mengangkat tangannya ke arahku. Selang beberapa saat wanita itu keluar bersama Ana, dan kemudian masuk ke kamar lagi.

Sesaat setelah wanita yang dipanggil Tante oleh Mas Raga dan juga Ana masuk ke dalam kamar, mereka menyudahi perbincangan mereka. Disaat hendak pergi, semua orang didalam sana berdiri menghadap ke arahku, melambaikan tangan mereka dan tersenyum. Awalnya terkejut tapi aku balas dengan lambaian tangan. Setelahnya, Mas Raga mengantar mereka keluar, kini didepan mataku sudah sepi. Hening. Ku sruput kopi hangat buatan bibi. Memandang langit luas malam ini.

“Terima kasih.”

“Eh Mas, buat kaget saja mas.”

“Ha ha ha ha... makanya jangan melamun,” tawanya begitu keras memecah kesunyian malam ini. Dia masih berdiri memandangku, tersenyum.

“Kamu sangat gegabah, itu bisa membahayakan dirimu.”

“Mendadak... tak ada waktu untuk berpikir Mas.”

“Iya tadi tante sempat cerita sedikit dan juga Ana.”

“Hmm huftthhhh... aku melihat Ana dijalan, jadi aku langsung mengejarnya.”

Melangkah mendekatiku dan berjongkok didepanku.

“Bagaimana malam ini indah bukan langitnya?” tanyanya sembari menengadahkan wajahnya ke langit.

“Aku sudah tenang mas, kalau ingin mengajak ngobrol, ndak papa.”

“Pede sekali kamu itu, siapa pula yang ingin ajak kamu ngobrol, mending tidur kalau aku, ha ha ha,” sekali lagi dia tertawa sangat keras hingga dia terduduk.

Sedikit terkejut sebenarnya, sikap Mas Raga sangat berbeda. Dia mengalihkan setiap pembicaraan ketika pikiranku sudah fokus ke masalah yang dia tuju. Entahlah, lebih baik aku menunggunya berhenti tertawa terlebih dahulu.

“Baiklah, kelihatannya kamu lelah, kamu bisa tidur dikamar tamu.”

“Aku belum mengantuk, mas.”

“Tapi dari wajahmu, kelihatannya kamu butuh ketenangan malam ini. Besok kita ngobrol sebentar, kalau kamu mau dan aku ingat ha ha ha.”

“Yaelah mas, sok tahu.”

“Bukan sok tahu, tapi memang aku sudah tahu. Kamu butuh waktu untuk sendiri. Jika kamu butuh apa-apa, Bobo dan Baba akan menyediakannya. Dan sekali lagi terima kasih.”

“Hadeh... terima kasih terus, hadeeeeeh...”

“Ha ha ha benar kan kalau kamu butuh waktu sendiri,” dia kemudian bangkit.

“Baiklah sampai ketemu besok,” lanjutnya sembari meninggalkan aku.

“Rokoknya tambah satu bungkus mas!”

“Tidak ada rokok dua bungkus satu malam,” ucapnya sembari tetap berjalan membelakangiku dengan satu tangannya memberi isyarat tidak.

Sebatang rokok ku sulut lagi, untuk menenangkan pikiranku. Secangkir kopi dengan isi masih tiga seperempatnya bakal menemaniku malam ini. Kutengadahkan kepalau, melihat awan malam yang bergerak pelan, seakan malas beranjak dari tatapan mata. Hanya saja tak ada bintang seperti malam kemarin. Mungkin memang harus ada dia, dan bintantg itu akan menyapaku lagi.

“Langitnya bagus ya?” tanya seorang perempuan, mengangetkan aku. Aku tundukan pandanganku. Wanita tadi berdiri didepanku dengan pakaian yang biasa, tidak seperti pertama kali aku melihatnya, memakai gaun.

“Oh, tante...”

“Hi hi hi tadi saja kamu, kamu... sekarang tante hi hi hi.”

“Bukannya begitu tadi kan aku belum tahu kalau tante itu tantenya mas Raga.”

“Hi hi hi, kelihatan sudah tua ya?”

“Endak juga Tan, ya kira-kira 50an lah.”

Thak...

“Auch sakit tahu Tan,” protesku sambil mengelus kepalaku yang baru saja dia jitak. Dia tiba-tiba bergerak cepat dan menjitak kepalaku.

“Makanya, sama perempuan itu hormat, puji wanita, jangan malah dibilang tua. Wanita itu gak suka kalau dibilang tua,” celotehnya sambil berdiri menghadapku.

“Berumur gitu ya tan?”

“Aaaarghh, sakit tan,” cubitnya pada

“Dasar, hi hi hi. Oia boleh duduk? masa ada wanita cantik gak dipersilahkan duduk?”

“Ndak ada kursi Tan, mending berdiri saja.”

“Auuuuchhh...” cubitannya keras sekali, dengan posisi sedikit menunduk mencubit tanganku.

“Dasar, hi hi hi.”

Wanita ini kemudian duduk bersimpuh menghadapku, memegang kepalaku dan mendekatkannya ke wajanya. Sedikit kecupan di keningku, kemudian dia duduk disampingku. Tersenyum memandangku dan terus memandangku, membuatku grogi.

“Iya-iya, oia nama kamu Arta?”

“Iya tante, kok tahu? Tante peramal ya?” sedikit candaku.

“Hi hi hi dasar... ya tahulah, tadi Masmu itu bilang ke tante,” ucapnya. Aku hanya tersenyum membalas guaruannya.

“Suka langit?”

“Iya, apalagi kalau berbintang.”

“Kenapa?”

“Tidak tahu, suka saja.”

Dia kemudian duduk memeluk kedua kakinya yang ditekuk, memandang ke langit yang luas. Tiba-tiba dia bercerita tentang langit, bintang dan juga awan. Dia mengandaikan langit adalah lautan luas, bintang adalah ikan-ikan yang berada didalamnya dan awan adalah bebatuan karang tapi tetap saja dia membedakannya. Langit akan selalu indah walau hanya ada awan tanpa bintang, keindahan langit bisa dinikmati kapanpun itu. Berbeda dengan lautan, lautan hanya bisa dinikmati ketika kita masuk ke dalamnya dan melihat isinya. Tapi langit, kita bisa menikmatinya dengan cara kita sendiri tanpa perlu terbang ke atas sana.

“Panjang sekali Tan, mantan Dosen ya?”

“Tapi benar kan?” aku mengangguk mengiyakan kata-katanya, mengangkat kepalaku kembali dan hanyut dalam lamunan. Memang benar, tak perlu kita terbang tinggi ke atas sana, hanya duduk saja dan menengadahkan kepala, kita sudah bisa menikmati langit.

“Terima kasih,” ucapnya tiba-tiba mengangetkan aku, aku terdiam melihatnya.

“Nama tante siapa? Aku belum tahu,” tanyaku menngalihkan pembicaraan.

“Hi hi hi hayo kok pengen tahu nama tante? Pengen kenalan ya?”

“Hadeh, tadi aja judes, mau nembak segala, sekarang bercandanya hadeeeeh.”

“Hi hi hi... nama tante Intanian, panggil tante nian. Tante masih saudara dengan Masmu itu, dari kecil sudah tidak punya orang tua dan dibesarkan oleh kakek Mas Raga. Makanya saat kamu masuk komplek ini, Tante sedikit terkejut. Karena tante kenal betul komplek perumahan ini.”

“Oooh...” dia malah tersenyum ketika aku bilang oh.

“Terus kenapa tante bisa ada disana?” sedikit menghela nafas panjang.

“Karena persaingan...”

“Persaingan? Seandainya tante ada disana, tante bisa menghubungi mas Raga,” dia menatapku dan tersenyum.

Tante Nian kemudian mulai bercerita tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Dimana tante dan suaminya sedang menikmati laut diatas kapal pribadinya. Tiba-tiba ada kapal yang mendekat dan melakukan perampokan, suaminya mati tertembak mayatnya dibiarkan didalam kapal. Kapal kemudian dibakar hingga terjadi ledakan besar. Berita yang disebarkan adalah kecelakaan kapal. Tante dan om dikabarkan meninggal. Tante kemudian dibawa ke dalam hutan itu, dijadikan wanita pelampiasan. Awalnya tante mencoba melarikan diri tapi tertangkap dan mendapat hukuman yang sangat berat. Walau diberikan hukuman pun, tante masih ingin mencoba lari tapi saat dia tahu hamil, tante mengurungkan niatnya.

“Hingga anak itu lahir 3 bulan kemarin, tante tetap disana. Menjadi pelampiasan nafus mereka,” aku terdiam. Teringat akan sesuatu yang menyakitkan.

“Berarti anak itu?”

“Iya anak salah satu dari mereka. kenapa aneh ya?”

“Ti-tidak...”

“Kamu pasti berpikir kenapa tante sayang sekali sama anak itu, iya kan?”

“I-iya...”

“Tante tidak peduli siapa Ayahnya, yang jelas dia lahir dari rahim tante. Dan dia anak tante, tante akan merawatnya, mendidiknya menjadi laki-laki yang kuat seperti dua orang yang tante kenal dan...”

“Dan?”

“Dan seperti kamu Ar, kuat dan penyayang,” dia memandangku tersenyum.

“Hadeh, tante... suka memuji. Kuat apanya...”

“Hi hi hi... tante melihat semuanya dari awal, Ar. Tante penasaran dengan keramaian diluar. Dan memang benar, laki-laki itu tante cekik hingga mati saat dia ingin melampiaskan nafsunya ke tante. Setelah tante bisa keluar, tante melihatmu terjatuh dan...”

“Sudah jangan dilanjutkan lagi tan, aku sendiri tidak tahu kenapa seperti itu.”

“Hi hi hi...”

Tawanya membuat suasan malam ini lebih tenang.

“Eh tan, tanya.”

“Gak boleh.”

“Hadeh...”

“Iya, iya...”

“Tadi tante bilang, merawat anak tante jadi seperti dua orang yang tante kenal. siapa itu tan?”

“Hi hi hi, kamu detail banget ya? sama seperti ketika kamu ngomong panjang lebar tenang kondisi kamar tante tadi dan bla bla bla hi hi hi”

“Yaelah tan, beneran tanya ini....”

Tante Nian memandangku dengan lembut. Mendekatkan bibirnya dan mengecup pipiku. Lalu berdiri, menengadahkan wajahnya ke langit luas. Direnggangkannya kedua tangannya, lalu menguap.

“Hoamm.... tante ngantuk, tante tidur dulu ya kamu juga lekas tidur, sudah malam,” ucapnya sembari melangkah menjauhiku.

“Wedew, pertanyaannya aja belum dijawab.”

“Hi hi hi Rahasia atuh, dah tidur sekarang,” jawabnya dengan sedikit menoleh kearahku.

“Nanti Tan, kopinya sayang.”

“Hi hi hi... kamu tahu Ar,”

“Tidak tan, tidak tahu,” Dia membalikan badannya, tersenyum memandangku dengan kedua tangan dia satukan dibelakang tubuhnya.

“Ada dua orang laki-laki, dua-duanya suka minum secangkir minuman hangat, juga menghisap rokok. Mereka juga suka melihat langit malam kadang melihat sesuatu lain yang berbau alam. Kamu mirip sekali dengan mereka berdua, seakan-akan mereka berdua ada didalam dirimu. Bahkan caramu melihat, tatapan matamu mirip dengan mereka berdua... sangat mirip...” ucapnya kemudian berjalan meninggalkanku.

“Siapa mereka tan?!”

“Rahasia hi hi hi daaaaaah sayang...” kembali dia melanjutkan langkahnya.

“Oia Ar.”

“Apa lagi Tan, kalau mau tidur ya tidur Tan, ganggu aja huh,” dia tersenyum sembari menutupkan tangannya di bibirnya

“Hi hi hi,” tawanya yang langsung berhenti dan menatapku dengan senyuman manisnya.

“Kendalikan dirimu, banyak yang membutuhkanmu. Semakin kamu bisa mengendalikan jiwa dalam dirimu, semakin kamu bisa melindungi semua yang kamu sayangi. Dan...”

“Dan...”

“Dan. Daaaaaah Tante mau bobo cantik dulu hi hi hi...” dia melanjutkan langkahnya.

Dan aku semakin tidak mengerti. Langkahnya begitu cepat dan menghilang begitu saja. Dasar perempuan selalu memberi teka-teki. Kata-katanya membuatku semakin tidak aku mengerti, mungkin dia yang melihatku, mungkin dia juga pernah melihat seseorang yang sepertiku. Tidak mungkin dia bisa berkata seperti itu tanpa sebuah dasar argumen yang kuat. Masa Bodoh, suatu saat aku pasti akan mengetahuinya.

Tante Intanian, mungkin dia juga suka menikmati malam. Menikmati langit malam. Dari cerita yang dia katakan baru saja, sepintas aku melihat masa lalu. Kebahagiaan yang tererenggut, seperti halnya bulan, bulan yang seharusnya bersinar dimalam hari tetapi tak mampu bersina karena cahayanya terenggut oleh gelapmnya malam. Tapi, sekarang tidak, dia seakan mulai bersinar kembali, tidak seperti percikan masa lalu yang sepintas teringat olehku.

“Haaaasshh...”

Langit. Aku hanya tahu seorang laki-laki yang suka minum kopi, teh, intinya yang penting hangat dan cukup manis, juga menghisap rokok di luar seperti ini. Aku seperti ini juga karena dia sering mengajakku untuk menikmati Alam, Ibu juga sering menemaniku melihat bintang. Langit malam, entah tiba-tiba aku kangen dengannya dan juga dengannya. Mereka yang paling sering menemaniku dimalam hari. Mereka berdua.

Aku habiskan minumanku, dan melangkah masuk ke dalam rumah menuju kamar tamu. Ku rebahkan tubuh, dan meregangkannya sebentar. Lelah sekali hari ni, sangat lelah. Tak bisa lagi aku menahan mataku untuk tetap terbuka. Pelan tertutup dan tertidur.

“Jangan!!”

“Tidaaaaaak, lepaskan!!”


Tulit... tulit...


“Hash... hash... hash...”

Mataku terbelalak dan langsung bangkit dari tidurku. Tidurku terselematkan dari mimpi buruk karena bunyi sematpon yang menganggetkan aku. Tidak tahu kenapa bayangan ketakutan muncul kembali, membuat nafasku serasa berat sekali. Bayangan-bayangan ketakutan, keterpurukan, air mata, tidak kenapa tiba-tiba muncul, kenapa tiba-tiba hadir lagi. Sial.

Tulit... tulit...

“Hassssshhhh....”

Sematpon berbunyi beberapa kali mengalihkan pikiranku. Aku usap wajahku dengan telapak tanganku beberapa kali dan kemudian bangkit mengambil sematpon. Beberapa pesan masuk dari Winda, Desy dan Ainun. Ainun? kenapa dia juga mengirimkan pesan? Apa mungkin... Entahlah. Semua sama, bertanya tentang keadaanku.

aku baik-baik saja

Pertanyaan yang sama, aku balas dengan jawaban yang sama, tinggal salin dan tempel saja. Kembali aku rebah dan tak ada sekian menit sematpon kembali berbunyi. Hanya membuka aplikasinya tanpa membuka pesan mereka, masing-masing 5 pesan masuk disetiap nama yang baru saja aku balas. Hufth, lebih baik aku tidak membalasnya, karena pasti aku tidak akan tidur malam ini. Aku tutup kembali sematponku.

“Kenapa tadi bisa tiba-tiba. Aku harus segera tidur, semoga tak ada bayang-bayang itu kembali,” ku usap wajahku beberapa kali.

Tidur, jangan datang lagi. Aku mohon mataku cepatlah tertidur, aku lelah.​
 
Terakhir diubah:



Sedan putih bergambar melati merah berhenti tak jauh dari sebuah rumah megah di tengah hutan. Seorang lelaki masih memandangi rumah itu dari dalam mobil. Mengamati dengan senyum sinis, seakan dia sudah tahu yang telah terjadi di dalam sana. Dengan langkah cepat dia keluar dari mobil dan mengambil jerigen di bagasi mobil.

“Jangan lama-lama, sayang,” ucap seorang wanita setengah baya dari jok belakang setelah kaca pintu belakang terbuka.

“Iya, aku hanya sebentar, melihat saja sayangku,” jawab si lelaki.

“Aku tak ingin kamu berlama-lama disana,”

“Pasti, tunggulah sebentar disini. Lagipula, hari ini aku belum memelukmu, iya kan?”

“iya, makanya jangan lama-lama, jangan terlalu sibbuk. Aku tidak bisa terlalu lama jauh darimu.”

“Iya, tenanglah semua akan baik-baik saja,” jawabnya tersenyum kepada wanitanya.

Dengan langkah yang begitu tenang, setenang angin malam yang berhembus. Dia berjalan menuju rumah megah tersebut. Masuk ke dalam rumah dengan lampu yang masih menyala terang. Dia tersenyum ketika dia melihat mayat berserakan. Bau darah segar masih tercium. Jerigen diletakan, kemudian dia melangkah mendekati salah satu mayat.

“Dasar bodoh, kamu sudah memiliki banyak anak buah tapi masih saja mati. Percuma aku mempercayaimu untuk melakukan tugas mudah ini. Cuih!”

Dia berjalan berputar, menghampiri setiap mayat. Matanya mengamati dengan detail mayat-mayat tersebut. bibirnya menyungging. Sesekali dia memegang kepala dan melihat luka-luka yang didapat mayat tersebut.

“Cepat. Kuat. Gesit. Sepertinya akan menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk hari-hari ke depan.”

Ssshhh... aaaahhhh...

Aroma darah dia hisap sangat kuat, seakan bau darah adalah bagian dari hidupnya. Bau yang seharusnya dibenci, bau yang seharusnya menjadikan jijik seseorang. Tiba-tiba dia tertawa sangat keras, memegangi keningnya dan kemudian dia berdiri. Masih tertawa dia melangkah menuju ke arah jerigen kemudian menyiram ke seluruh ruangan, begitu pula dengan mayat-mayat itu. Setelahnya dia berdiri didepan pintu masuk, meyalakan pematik api klasik. Senyumnya sangat khas, senyum yang lebih dekat dengan sebuah kegelapan. Tenang, dia melempar pematik itu ke dalam rumah.

Jrsshh...

Api merambat masuk. Dia melangkah keluar dengan tenang menuju mobil dimana seorang wanita cantik telah menunggunya. Api terus merambat dan membakar seisi rumah itu dan dia tetap tenang berjalan menuju wanita yang telah menunggunya diepan mobil. seorang wanita dengan gaun sangat cantik dan belahan dada yang menampakan sebagian buah dadanya. Tepat ketika lelaki itu sudah keluar dari gerbang rumah dan berada didepan sang wanita, Wanita itu langsung sang memeluk lelaki tersebut seakan tahu apa yang baru saja dirasakan kekasihnya tersebut. Dengan wajah sedikit khawatir dia langsung memegang kedua pipi lelaki tersebut.

“Tenangkan dirimu sayangku, tenangkan dirimu.”

“Selama ada kamu, aku akan selalu tenang.”

“Kamu butuh ketenangan sayang?”

“Iya, sayang. Aku sangat membutuhkannya, sangat membutuhkannnya.”

“Kemarilah...”

Seiring dengan hawa panas yang mulai terasa, hawa panas juga sangat dirasakan sepasang manusia. Lembut tangan wanita mendekap kepala kekasihnya, didekapnya tepat di lipatan dadanya. Laki-laki itu seakan haus, terus mendesakan kepalanya di dada wanita, menggesek-gesekan wajahnya hingga terdengar desis lembut wanita tersebut. Tangan wanita tersebut mengelus kepala, mengelus dan menciumi rambut sesekali memberika jilatan pada rambut kekasihnya. Dengan sedikit memaksa, sang lelaki menari gaun wanita tersebut hingga jatuh di lengan, nafsu membuatnya menarik penutup terakhir payudara sang wanita.

“Aghh, sayang mmmhh.”

Tannga kirinya menarik lembut gaun hingga dia bisa mengelus paha sang wanita, lidahnya menjulur, menjilati puting susu wanita tersebut sedangkan tangan kanannya mulai meremas satu payudara yang tidak dijilatinya. Mendapat perlakuan seperti itu, wanita tersebut semakin keras mendesah. Desahannya semakin menjadi ketika tangan kiri kekasihnya, sang lelaki, mengelus lembut selangkangan yang berbalut celana dalam tipis dan hanya menutupi vaginanya.

Sembari masih mengelus vagina dan meremas payudara, wajah sang lelaki mendongak ke atas. Seakan tahu yang dibutuhkan kekasihnya, wanita tersebut langsung melumat bibir kekasihnya itu, melumat dengan sedikit menahan desahan. Lidah mereka saling memuaskan, menjilat, menarik bibir, tak ada yang ingin kalah. Pelan, tangan yang mengelus vagina itu menarik pelan kain penghalang. Wanita tersebut membantu dengan satu tangnnya, menaikan sat kaki sampai celana dalamnya masih melingkar di salah satu pahanya.

“Ah, sayang,” desah wanita.

“Apa yang kamu inginkan sayang, katakanlah?”

“Cium bibirku sayang, bibir bawahku, oooh,” desahnya menahan elusan tangan di vaginanya.

Lelaki tersebut tersenyum, dengan kedua tangannya dia mengangkat paha wanita tersebut hingga terangkat dan direbahkan diatas kap. Dengan sedikit kasar, dia meanrik gaun itu hingga tak ada sehelai benang yang menutupi tubuh kekasihnya. Pelan dia menarik paha wanita tersebut, dan dia berjongkok. Lidahnya mulai menari divagina kekasihnya, menari, menjilat kadang menusuk-nusuk.

“Erghh... oohhh... mmmhhh... ssshhh,” desah wanita hingga tubuhnya mengejang beberapa kali.

“Oh, sayangkuuuh egh egh... kau begitu hebathhh... giliranku untuk menikmati punyamu sayang,” lanjut wanita tersebut.

“Tidak, nanti, aku ingin segera merasakannya,” balasnya sembari melepas celana dan mengeluarkan penisnya.

“Oh baiklah sayang, segeralah. Segera masukan, kembalilah ke dalam lagi sayang, aku sangat merindukannya.”

“Ini sayangku, ini.”

“Eghh... owhhh... yaaahhhh...”

“Kamu suka sayanng? Kamu suka?”

“Ini yang aku sukai, sayang. Ini yang aku sukai dan kamu yang akuhhh cintaihhh ooowhh...”

Pinggul lelaki mulali bergoyang. Menggoyang tubuh wanita tersebut, payudaranya yang besar mulai nak turun seirama dengan pinggul sang lelaki. Desahannya sangat keras, sekeras suara api yang melahap rumah dibelakang kekasihnya.

“Ergh... ya sayang, lebih keras, berikan pejuhmu sayang berikaaaaanhhh.”

“Ya sayang, oh nikmat sekali vaginamu sayang, tak pernah berubah, selhhlalu bisa membuatku aarghh.”

“Ya sayang, ini untukmu seluruh tubuh untukmu.”

Lelaki itu langsung meremas dan menjilat payudara kekasihnya dengan ganas. Menjilat, menggigit, membuat sang kekasih merasakan nikmat dan rasa sakit. Tapi itu tidak membuat wanita itu meminta berhenti tapi selalu ingin lebih dan lebih. Tangannya meremas, menjambak rambut lelakinya, kepalanya menggeleng-geleng ketika benda tumpul mengoyak bagian dalam vaginanya.

“Oh sayang, akuuuuuhhh...” desah wanita.

“Oh, aku juga sayang, sebentar lagi. Sebentar lag, ya seentar lagi oooh sayang terima ini sayang, terima cairan cintakuuuuhhh”

“Arghhhhhhh...” rintih wanita

Tubuh lelaki itu langsung memeluk erat tubuh wanitanya, mengejang beberapa kali begitupula wanita tersebut, tubuhnya melengking disertai kejangan. Sesaat mereka beristirahat setelah nafsu mereka terlampiaskan. Wajah lelaki bergeser, melumat bibir kekasihnya dengan lembut dia mengelus rambut kekasihnya.

“Kamu pasti sedang banyak pikira sayang, biasanya kamu bisa berkali-kali membuatku terkapar” ucap wanita.

“Kau selalu tahu aku, sayangku.”

“Bolehkah aku memintanya lagi, aku merasa kamu belum puas malam ini.”

Lelaki tersebut hanya tersenyum. Elusan rambut yang semula lembut menjadi menjambak rambut kekasihnya. Pelan dia menarik rambut sang kekasih, menuntun hingga wanita itu berlutut dihadapan lelaki. Lelaki itu kemudian bersandar pada kap mobil dan menarik rambut wanitanya dengan kasar. Tak ada perlawanan, sakit tapi ada senyum kebahagaiaan di wajah kekasihnya.

“Bersihkan!”

“Slurpp... mmmhh...”

Duduk dengan santai memandang api yang berkobar dan penis yang dikulum. Rumah yang terus dilahap oleh api. Tiba-tiba rasa marah menjalar di dalam hatinya, saat dia marah dia langsung menekan kepala kekasihnya hingga semua penisnya masuk ke dala mulut sang kekasih. Setelah mereda baru dia mengendorkan tekanan pada kepala kekasihnya.

“Uhuk uhuk mmmh... Sayang, masih tegang.”

“Apa kamu masih ingin lagi?”

“Aku menurut kepadamu sayang, apapun itu,” lelaki itu kemudian tersenyum mendengar kata-kata kekasihnya dan kemudian menyuruh wanitanya melepas celananya.

“Jangan lepas,” ucap sang lelaki.

Wanita tersebut mengikuti gerakan lelakinya yang hendak masuk ke dalam mobil. dengan susah payah dia merangkah sembari membawa celana panjang lelakinya. Dibuka pintu kemudi, kemudian dia menyuruh wanita masuk. Seperti anjing, wanita itu masuk tetapi kakinya terlebih dahulu, mundur mengikuti gerakan lelakinya. Saat setenga tubuh wanita itu masuk, lelaki itu menjambak dan menggoyang pinggulnya dengan keras. Wanita itu hanya bisa menahan pukulan benda tumpul didalam mulutnya.

“Ah, sayang kamu memang hebat. Sekarang masuklah dan tetap jangan lepas.”

Setengah mengangguk, wanita itu masuk beriringan dengan kekasihnya yang ikut masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi samping kemudi, dia tetap mengulum penis kekasihnya. Mobil kemudian berjalan, meninggalkan kobaran api yang semakin besar.

“Malam ini puaskan aku, aku ingin kamu menggunakan gaun ratu kesayanganku.”

“Pasti sayangku, pasti slurpp.”

Mobil berjalan terus berjalan hingga memasuki sebuah komplek perumahan yang sepi. Sesampainya di sebuah rumah, pintu gerbang terbuka secara otomatis dan mobil itupun masuk. Tanpa perintah, wanita itu mengambil sabuk di celana kekasihnya, diikatkan pada lehernya kemudian keluar dari mobil sambil merangkak menuju ke pintu kemudi. Lelaki itu keluar, wanita itu tersenyum dan memberikan ujung sabuk yang terikat pada lehernya.

“Kenapa kamu diam saja sayangku, anjing betinaku?” tanya sang lelaki.

“Kamu lupa sayang, bagaimana aku bisa jalan kalau kamu hanya diam.”

Plak

Sebuah tamparan keras pada pantat wanita itu sebagai tanda dia harus merangkak menuju ke pintu masuk rumah. Dalam langkahnya lelaki itu terus mengocok penisnya, melihat pantat kekasihnya. Didepan pintu, lelaki itu memasukan kunci rumah, tanpa perintah hanya dengan bibir dan giginya kekasihnya yang memutar kunci. Lelaki itu kemudian rebah di sofa.

“Cepat! bersihkan tubuhmu dan pakai kesukaaanku!” teriak lelaki itu. Dengan cepat wanita itu merangkak masuk kedalam kamarnya.

Sembari menunggu kekasihnya, pikirannya kemudian berubah fokus. Bayangan pemuda itu kembali muncul dalam otaknya. Bayangan seorang pemuda yang baru saja dia lihat di jalan. Pemuda yang sudah dia tunggu, ditunggu karena pemuda itu seakan menjadi sinyal bahaya setelah kejadian yang membuat Pengu tertangkap.

Bocah itu,
Dia memiliki sesuatu yang berbeda
Aku harus mencari kelemahannya
Satu sudah aku ke tahui, Pasti ada yang lainnya,
Pasti ada
Mungkin aku bisa menemukan yang lain
Dari nomor polisi motor yang dia pakai
Itu bukan motornya, bukan​

“Sayang...” suara merdu sang wanita memecahkan lamunannya.

“Oh Ratukuuuu...” tangannya spontan langsung mengocok penisnya sembari melihat pemandangan yang ada didepan.

Langsung lelaki itu turun dari sofa dan berlutut. Kekasihnya berjalan pelan mendekati kekasihnya. Gaun yang indah, transparan, dengan motif melati berwarna merah. Tak ada penghalang tubuh kecuali gaun itu, dapat terlihat karena transparan. Payudara besarnya, vaginanya terlihat jelas. Lekuk tubuhnya juga terlihat jelas, tak ada bedanya dengan ketika dia bertelanjang. Wajahnya yang berias bak Ratu benar-benar membuatnya tampak lebih muda lagi dari sebelumnya.

“Keluarkan sayangku, keluarkan,” perintah lembut sang wanita. Semakin cepat lelaki itu mengocok penisnya sembari matanya yang sayu, mata yang berharap kepuasan malam ini.

“Oh, Ratuku, aku hampir keluar, aku tak tahan.”

“Berdirilah,” ucap sang wanita.

Dia langsung berlutut tepat didepan penis kekasihnya, mulutnya menganga lebar. Sang lelaki tak tahan akan kecantikan dan fantasi yang terwujud, membuatnya tak bisa menahan lagi. Seakan tahu batas akan sang lelaki, dia langsung melahap ujung penis kekasihnya tersebut. Beberapa kali kekasihnya mengejang, sperma keluar dan langsung dia telan. Sedikit kecupan pada ujung penis, kemudian dia berdiri.

“Lepas bajumu.”

Seperti terhipnotis, lelaki itu melepas semua bajunya. Wanita tersebut tersenyum manis, ujung jari telunjuk tangannya menyentuh dagu kekasihnya. Dengan santai dia berbalik dengan jari telunjuk tetap di dagu lelakinya. Seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya, lelaki itu melangkah mengikuti langkah sang wanita.

“Jangan sentuh aku, atau kau tidak mendapatkan kepuasan malam ini,” kata-kata wanita itu membuat sang lelaki yang hendak memeluk kekasihnya terhenti.

Klek... jeglek...

“Tetap disini,” perintah wanita itu setelah menutup pintu kamar.

Wanita itu melangkah dan naik ke atas temat tidur dengan bunga melati yang bertebaran. Dipandangnya wajah kekasihnya yang berdiri telanjang dengan tatapan mata sayu tak berdaya akan kecantikannya. Wanita itu hanya tersenyum, sedikit menggoda dengan menari belahan dada gaunnya kebawah.

“Kamu ingin ini sayang?” lelaki itu hanya mengangguk dengan mata sayunya.

“Kemarilah sayang, merangkaklah, tunjukan kau anjing jantanku,” Lelaki itu menurunkan tubuhnya, mulai merangkak dan mendekati kekasihnya.

“Jilati kakiku sayang, dan naiklah tapi ingat sayang jangan berhenti menjilat” perintahnya.

Dengan masih menjilat, laki-laki itu naik ke tempat tidur. pelan dia naik dan terus menjilati kaki kekasihnya. Dengan sedikit sentuhan pipinya, sang lelaki langsung menciumi semua tubuh kekasihnya. Dan berakhir disebuah pelukan dimana wanita itu memeluk kepala lelakinya. Menciumi wangi rambut lelakinya.

“Menyusulah sayangku.”

“Slurrpp... mmmhh...”

“Mmmhhh... pelan-pelan saja, itu tidak keluar air susunya. jika kamu ingin ada air susunya, kamu harus sering menumpahkan cairan cintamu didalam rahimku. Kamu mau kan sayang?” lelaki itu mengangguk dan tetap menyusu.

“Kamu adalah yang paling aku cintai, kita pasti bisa memenangkan pertempuran ini sayang. Pasti dan kamu akan menjadi raja, raja dari segala raja.”

Sedikit mengangguk dan kemudian terlelap. Itulah kepuasan sang lelaki. Wanita itu terus mengelus kepala lelakinya dan bersenandung lirih. Kepuasannya adalah kepuasan kekasihnya, kegelisahan hatinya adalah kegelisahan hati kekasihnya. Itulah yang ada dalam pikirannya, tapi pikirannya terganggu. Terganggu dengan mata yang tadi menatapnya, mata seorang pemuda. Pemuda yang gagah dan berani menyelamatkan dua orang perempuan, bahkan setahu dia, kedua perempuan itu bukan siapa-siapa dari pemuda itu. Dia tahu dari kekasihnya, karena tak ada rahasia antara sepasang kekasih ini.

Jika kamu mati, aku juga ikut sayangku
Jika kamu menang, aku akan selalu menemanimu
Pemuda itu memang hebat, tapi kamu lebih hebat
Pemuda itu kuat, tapi kamu lebih kuat
Aku yakin, kita akan memenangkan semuanya
Ambisimu akan segera terwujud
Dan seandainya kita harus pergi dari kota ini
Aku akan selalu menemanimu
Karena kamulah yang kucinta​
 
Terakhir diubah:
Smoga Aja si tante ngasih bonus buat arta .. hahaha
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd