Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Ekspresi! [LCPI 2016]

willdick

The Will Of D
Staff member
Moderator
Daftar
22 Jan 2013
Post
seencrot
Like diterima
960
Lokasi
diantara puluhan gadis
Bimabet
Willdick Story Jump
Untuk LCPI 2016
Mempersembahkan



Bagian 1 (Lirih)


Tiga hari lagi festival budaya di adakan. Tapi sesosok pria bernama Jaka hanya duduk termenung memandangi kolam ikan yang berada di depan pelataran sanggar, dan dia juga sudah tak bermain angklung selama satu bulan, kemungkinan besar dia batal ambil bagian. Sebuah grand angklung dibiarkannya berdebu, dan juga partitur-partitur yang berserakan sudah tak pernah ia pedulikan.

Aku hanya bisa memandangi sosok yang sangat berbeda di banding sebulan yang lalu. Gemas, kesel, ingin kupukul rasanya lelaki bodoh itu, yang kini cuma bisa bengong-bengong gak jelas tanpa tujuan. Ingatanku kembali memutar. Aku rindu Jaka yang penuh semangat ketika kedua tangan kekarnya mematuk-matuk puluhan baris angklung yang dirangkai menjadi satu dan diposisikan tertidur. Aku rindu raut wajahnya yang berkerut saat memandangi partitur besar di hadapannya, mencoba menghafal agar konsentrasi mata sepenuhnya tertuju pada Angklung saat tangannya mulai memainkan irama.

Lagu-lagu klasik mulai dari Queen, Nazareth ataupun lagu dalam negri dapat dia mainkan dengan Angklung. Yang membuatku terkagum-kagum lagi, Jaka yang terbiasa mendengarkan musik dari komposer ternama seperti Bethoven, Chopin Ballade, Mozart. Mampu mengingat rangkaian nadanya, lalu dituliskan ke dalam partitur untuk dapat dimainkan dengan Angklung dan terakhir dia coba menggetarkan rangkaian bambu yang sangat dia gemari itu.

"Mungkin karna bunyinya klung-klung-klung."

Jawabnya jenaka ketika kutanya 'mengapa diberi nama angklung? Mengapa bukan bambu bergetar, atau apalah?' sambil menyeruput sepoci teh hangat dengan aroma melati yang kuat serta sedikit taburan cengkeh. Senyum lebar tergores diantara titik-titik keringat yang membasahi wajahnya. Lelah setelah seharian berlatih bersama teman-teman di sanggar saung angklung Udjo, tapi tak meredupkan sinarnya yang meletup-letup.

"Kamu gak pernah kehilangan semangat ya," ucapku dengan mulut penuh roti berselai kacang, roti kesukaan Jaka juga, roti yang selalu menjadi rebutan kami berdua. Tangan kami juga berlomba-lomba -lempar batu ke arah kolam dari bawah pohon rindang tempat aku dan dia beristirahat.

"Tiga bulan lagi festival budaya," Jaka berkata antusias, rentetan irama nafasnya terdengar menggebu-gebu, dia yang selalu optimis, dia yang selalu penuh hasrat, tak pernah kulihat tekad kuatnya itu memduar, "aku mau jadi pusat perhatian, aku mau semua mata menatap kearahku."

"Hmmm," aku hanya bisa mengangguk mantap, mengepal tangan kananku seolah ikut terbawa pancaran semangat dari hatinya. Dan pastinya akan selalu kunantikan pertunjukan dia.

"Kamila!" panggilnya pelan, sangat pelan namun mampu menggerakan angin untuk merambat di telingaku. Wajahku menatapnya, menanti apa yang selanjutnya akan dia ucapkan, "kamu pasti hadirkan?"

"Ah," hatiku tersentak, sudah sering bahkan hampir disetiap pementasan dia, aku menghadiri. Tapi pertanyaan itu serasa begitu berbeda, "aku kan selalu dateng kalo kamu mentas Jak."

"Iya sih, tapi kali ini kamu harus bener-bener dateng," matanya penuh pengharapan, membuat kedua pipiku menghangat, pasti warnanya berubah memerah. "Ada yang mau aku sampaikan."

"A-apa?" aku mendadak gugup, udara dingin di dataran yang kadang hujan datang dengan sangat kasarnya, semakin membuat kekakuan hatiku menjadi-jadi. Bahkan sepoci teh hangat yang jadi teman kecil kamipun tak sanggup lagi mengredakan kegugupanku.

"Makanya dateng," dia tersenyum lebar lalu meraih kedua tanganku, digenggamnya dengan tangan kasar namun hangat, "seni itu ekspresi jiwa."

"Maksudnya?" ah mungkinkah dia bisa merasakan getaran tanganku yang semakin dingin dan berkeringat. Hatiku berdebar-debar kencang, sedikit lama lagi genggamannya berada di tanganku, ku yakin darahku langsung mengering.

"Yeah," dia melepas tanganku sebelum benar-benar beku, berdiri dan mengambil sebuah pisau ukir yang ada di saku baju. Tangannya mengukir-ukir pohon dengan penuh semangat, meniup-niup serbuk kayu yang terbuang karna ulahnya. Akhirnya dapat aku liat sebuah kalimat.

'Seni adalah ekspresi jiwa.'

"Waahh," aku sedikit terkekeh melihat ekspresi bahagia yang ditunjukannya, puas walau tulisan yang dia ukir jelek.

"Apapun, mau itu senang atau sedih, tertawa atau menangis. Semua yang kita rasakan harus di ekspresikan melalui seni. Bahkan menyampaikan sesuatu kepada seseorangpun harus melalui seni. Karna itu aku menjadi seniman angklung."

"Aku selalu menepati janji kok," aku mengangguk optimis ditengah degupan jantung yang semakin tak beraturan ini.

Perlahan bayangan Jaka yang kurindu memudar, berganti dengan wajah pucat lesu yang berjalan menuju sebuah pohon rindang. Murung dengan mata sayu yang dilingkari garis hitam tanda jam tidurnya jauh dari kata cukup. Tangannya coba mengais batang pohon yang kini ditumbuhi lumut di beberapa bagiannya.

Matanya memerah seperti terbakar amarah diiringi dengan getaran bibir yang mengencang. "Kamu bohong! Kamu gak bakal dateng kan!"

Aku hanya menggeleng, jari-jarinya terus mengais hingga menampakan sebuah ukiran kalimat yang dulu dia ukir dengan tangannya. Memandang kelu dengan tatapan kosong yang menerawang jauh.

Bagian 2 (Larut)

Festival Budaya sudah dimulai, menampilkan berbagai pertunjukan seni dari berbagai daerah. Festival yang berlangsung selama 7 hari ini menyita banyak perhatian seniman lokal, setiap peserta diberi waktu 20 menit untuk tampil.

Dengan bantuan teman-teman dari sanggar, Jaka kini tengah menanti giliran dengan wajah sepucat batu yang diterpa salju. Aku antara yakin dan tak yakin kalau dia akan mentas, datang kesini saja sudah merupakan hal luar biasa. Mungkin mereka akan mentas tanpa Jaka.

Saat kelompok mereka dipanggil, Jaka langsung berdiri dan menghalangi teman-temannya untuk naik ke atas panggung. Tubuhnya terlihat sangat lemas, efek kekurangan waktu istirahat.

"Sepuluh menit aja, aku ingin bermain sendiri," ucapnya pelan dengan nafas tersengal, matanya menatap sayu wajah heran teman-temannya. Sedetik kemudian dia mengadahkan wajahnya ke langit, menatap taburan bintang diantara sinar bulan, "ada yang ingin kusampaikan untuknya."

Serentak mereka mengangguk, walau nampak bingung tapi aku liat raut-raut kesenangan dari mereka. Terlebih aku yang berjingkrak-jikrang, hatiku bergetar sekaligus terharu melihat dia kembali lagi. Dan menanti-nanti permainan tangannya yang benar-benar ingin kudengar.

Sebuah tekad terpancar diantara langkah gontainya. Dengan balutan jas takwa warna biru tua, dan bendo coklat terang yang menutupi rambut gondrongnya, kain dodot melingkar diantara pinggang sampai pahanya dengan warna dasar putih dan dicoraki batik bunga-bunga berwarna keemasan.

Grand Angklung dengan posisi tertidur sudah ada di atas panggung, senyum kecil menghiasi bibirnya saat menatap puluhan Angklung dari mulai yang terkecil di ujung kanan sampai yang terbesar di ujung kiri, terangkai menjadi satu dengan karet elastis disebuah bingkai kayu besar yang terbuat dari Jati.

"Ini untukmu," bisiknya pelan, udara berhembus sejuk dari nafasnya. Dapat kurasakan rambatan perasaan itu mengalir padaku. Kesepuluh jarinya meremas-remas udara, matanya terpejam mengingat-ingat partitur musik yang akan dia mainkan.

Dan......... kedua tangannya mematuk dua buah Angklung yang ada di tengah, digetar-getarkannya beberapa kali. Dengan lincahnya, tangan yang kurindu itu mulai berjajah memainkan irama, barisan Angklung ditoel-toel penuh energi, penuh semangat seperti yang dulu dia tunjukan disetiap pementasan.

Raut wajahnya yang muram kini mulai berbinar kembali, hal yang telah lama kunanti. Deretan nada yang dihasilkan benda dari bambu itu sangat memukau. Bukan cuma aku yang merasakannya, tapi semua orang yang hadir disini.

Keringat mulai bercucuran, dia tak peduli, tangannya terus bergerak merajahi rangkaian bambu. Kepalanya ikut bergerak mengikuti irama. Seperti yang dulu ia inginkan, seluruh mata tertuju padanya.

"Penuh ekspresi," komentar seorang temannya, "aku gak percaya dia yang udah sebulan gak main bisa menghasilkan nada seperti ini."

Bercahaya, itu komentarku. Ribuan cahaya dari ribuan warna terpancar disetiap lambaian tangannya, disetiap getaran Angklung, disetiap helaan nafasnya yang menggebu-gebu. Nada-nada itu dengan sangat jelas menujuku. Sangat indah, aku merentangkan kedua tanganku, menyambut setiap nada yang ingin memelukku.

"Nadanya penuh cinta," ucap salah seorang seniman tua berambut gondrong yang seakan tak pernah tersisir, matanya tak pernah lepas dari permainan Jaka, berbinar seakan tersihir ke dalam nada, "seperti sebuah perasaan yang harus diungkapkan."

Senyum tipis tergores, kini nadanya merambat pelan, kedua tangannya mengayun-ayun lembut. Sangat tenang namun sangat mampu membuat hatiku melayang. Gambaran-gambaran kebersamaan aku dengan dia mulai berterbaran disekelilingku. Saat kami berjalan dipinggir sungai bening yang menampakan bebatuan di dasarnya dan juga ikan-ikan yang bersembunyi dibaliknya. Saat kami berteduh disebuah saung bambu beratap dedaunan kelapa, berlindung dari matahari yang tumben hadir lengkap dengan teriknya yang menyengat.

Telihat jelas bayangan saat aku yang malu-malu menatap wajah seriusnya ketika merawat setiap Angklung dengan sangat teliti, meraut pinggiran atas tabung dengan penuh ke hati-hatian lalu meniupnya untuk menghilangkan serbuk bambu. Wajahku langsung melengos ketika dia menatapku, saat itu jantungku mendadak tertabuh dengan irama yang tak beraturan.

"Jadi ini alasanmu meminta dengan sangat kehadiranku?" gumamku pelan diantara rentangan nada indah yang dia mainkan. Aku mengerti sekarang mengapa dia tak pernah mengungkapkannya. Aku mengerti sekarang makna dari ukiran kata disebuah pohon.


'Seni adalah ekspresi jiwa'


Aku dapat merasakan getaran perasaannya mengalir halus diantara nada-nada indahnya. Dengan sangat gemulai mengiringi apa yang dia rasakan, sebuah ungkapan yang tak mampu bibirnya katakan, sebuah rasa yang tak mampu lidahnya sampaikan. Kini dengan sangat malu-malu semua itu tersampaikan, kudekap erat nada kasihnya, hingga membuatku bergetar hebat.

Hatiku berbunga-bunga, mekar yang terus disirami dengan nadanya. Aku sangat mengerti, 'sudah..... semua rasa cintamu sudah tersampaikan dengan sangat jelas.'

Dia berhenti dan memandang langit kelu, nafasnya tersengal-sengal. Ritikan keringat sudah memenuhi wajah dan juga menetes-netes diantara jari-jarinya. Lelah, tapi sesaat kemudian tangannya bergerak, dengan sekali sapuan, tangan kekarnya itu melintasi seluruh rangkaian Angklung, penuh emosianal dan kembali bermain.

Alunan nadanya berubah, menggema seperti mengguncangkan panggung. Tangannya tanpa ragu menghentak-hentakan Angklung, entah dia sadari atau tidak, air matanya menetes, giginya mengeretak, dia tutup rapat-rapat bibirnya yang sulit untuk menahan isak.

Aku tersentak, begitu pula semua orang yang hadir. Jaka masih menjadi pusat perhatian, tak ada yang berpaling darinya walau hanya sedetik. Anak kecil berambut kepang bahkan menangis tersedu-sedu.

"Nadanya sangat menyayat," ucap seorang lelaki dengan mata yang membulat besar, tangannya sangat gemas untuk mengepal dan bergetar, "seolah dia sedang sangat menderita."

Tubuhnya sudah sangat lemas, tapi dia terus memaksakan diri hingga pada batas terujung. Tangannya seakan enggan meninggalkan barisan Angklung itu, terus bergerak mengkomposisikan nada diantara kegamangan hatinya. Ekspresi jiwa, hal yang selalu dibicarakan, gak peduli seperti apapun kondisinya, dia harus bermain, harus menghasilkan nada yang menjadi bagian dari ungkapan tersembunyi di hatinya.

Tangannya melompat kesana-kemari, menetes-neteskan peluh yang mengalir semakin banyak.

"Kamila," salah seorang temannya berucap, matanya menerawang jauh ke angkasa, menatap gugusan bintang yang berbinar-binar, "ini seperti dia ingin mengucapkan salam perpisahan untukmu."

Ku tutup bibirku diantara suara isak tangis yang menusuk. Aku sangat mengerti, tak ada yang lebih menyakitkan ketika dipaksa oleh takdir untuk meninggalkan orang yang ku sayangi. Rentangan nada ini, getaran Angklung yang dia mainkan, sebuah gambaran jelas pesan yang ingin dia sampaikan kepadaku.

Sebuah salam perpisahan yang tak sempat ia ucapkan ketika tubuhku terhantam truk lalu terhembas dengan simbahan darah yang keluar tanpa henti. Air mata yang tak sempat ia berikan saat dokter dan juga perawat yang coba memberiku pertolongan terhadapku gagal. Tangis yang tak sempat ia dengungkan saat nafasku sudah tak bersisa barang sehela. Rintihan yang tak sempat ia raungkan saat jasadku sedikit demi ditimbun oleh tanah merah yang sangat pengap dan juga gelap.

Semua penderitaan itu dia kumpulkan jadi satu, dan dilepaskannya melalu tangan-tangan kasar namun dengan sangat lihai, lembut tapi tegar saat memainkan barisan Angklung. Nafas beratnya menghiasi setiap gerakan tangannya.

Sekejap kemudian, semua berubah menjadi putih, seputih susu. Jaka berada dihadapanku, berdiri menatapku sayu dengan raut yang bingung.

Bagian 3 (Seseorang yang ditinggalkan dan seseorang yang meninggalkan.)

"Apa kamu melihatnya?" tanyanya berbisik, mata yang penuh pengharapan dan juga kehampaan menatapku. Guratan penderitaan terpancar jelas dari raut lesunya.

"Hmm," aku menggangguk pelan tak kalah menderita dari yang dia alami, kuberusaha sekuat mungkin dengan melengkungkan senyum tipisku, "aku selalu menepati janji kok."

"Apa kamu mendengarnya?" perlahan dia mendekat, setiap tapakan kakinya menghasilkan warna-warna nada yang terus terngiang di tempat serba putih ini. Meski lunglai, tapi dia sangat berusaha menyeret langkah yang terlihat begitu berat.

"Sangat jelas," suaraku parau, menatap seorang pria yang penuh dengan cinta namun juga kepedihan disisi lainnya.

"Apa tersampai-"

Aku langsung berjalan cepat dan memeluknya sebelum dia sempat menyelesaikan pertanyaan selanjutnya. "Kan udah aku bilang sangat jelas."

"Jadi," dia balas memelukku sangat erat, hingga dapat dengan jelas kurasakan tubuhnya yang bergetar. Aku tau ini untuk yang terakhir kalinya, sebelum semua benar-benar berakhir dan kami akhirnya kembali dipertemukan.

"Aku juga mencintaimu," lirih dengan sedikit hentakan perasaan meluap-luap kuucapkan kalimat yang dulu tak sempat saling kami katakan.

Irama Angklung merambati tubuh kami, diantara dedauan hijau yang berhamburan dari atas. Indah namun kelam. Kuterbayang semua tawa dan candanya saat kami berdua bersama jalin ikatan yang sulit dijelaskan ketika itu. Diiringi nada dan tetesan air mata, kusambut cintanya yang berhujankan rindu tak berujung.

"Maaf," dia berucap ditengah isakan tangis, tangan yang kukagumi membelai rambutku pelan.

"Gak ada yang perlu dimaafin kok," aku tak kalah berurai, bahkan membuat setiap alunan kata dari bibirku terputus-putus. "Semua udah takdir."

"Aku-"

Dia tak mampu melanjutkan, tubuhnya semakin melemah tapi kucoba papah dengan pelukanku yang semakin kuat. "Gak apa-apa kok, semua perasaan kamu udah tersampaikan. Jelas, sangat jelas dan sangat ekspresif."

"Iya," hanya itu sahutnya yang langsung diiringi dengan tangis yang menusuk.

"Terima kasih," kedua sayapku merentang lebar-lebar, setiap bulu berwarna putih berkibar menyapu udara lalu berusaha menarik tubuhku ke atas. "Terima kasih udah mencintaiku, terima kasih udah memainkan Angklung untukku."

"Ja-jangan pergi," ucapnya terbata saat pelukan kami terlepas, tubuhku melayang meski kedua tangan kami masih saling memegangi. "Aku gak bisa tanpamu."

Aku tersenyum getir disaat genggaman tangan kami semakin sulit untuk saling menyatu, "kamu gak akan sendirian kok, ingatlah aku yang menatapmu dari langit dan selalu mencintaimu."

"Kumohon," dia merintih semakin keras, tangan kami sudah saling melepaskan, tubuhku bergerak terus ke atas beriringan dengan kepakan sayapku.

Aku terus menatapnya dengan penuh haru, diiringi nada dan tetesan air mata, kurajut kini cahaya kasih yang tak pernah kehilangan sinarnya.

Dikejauhan aku terus memandanginya, wajah itu yang selalu menghiasi tempatku berada kini. Ada sebuah rona kebahagiaan terpancar. Tepukan tangan, sambutan histeris dari yang ikut merasakan apa yang dihasilkan dari pertunjukannya.

From the sky I see yoou and always loving you
Selamat tinggal kekasihku
Ku tak bisa bersamamu
walau itu menyiksaku
Tapi tak mengapa


~Selesai~

Catatan kaki :

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.

Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[butuh rujukan]

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Grand Angklung sendiri dibuat oleh Taufik Hidayat Udjo pada tahun 1997 dan dikembangkan pada tahun 2007. Ya, Saung Angklung Udjo tak pernah berhenti memberi angin segar bagi seni budaya di Indonesia. Memadukan musik dalam berbagai karya seperti Arumba hingga pertunjukan Angklung Toel yang memudahkan para pemainnya. Grand Angklung ini merupakan hasil modifikasi dari angklung toel dengan jangkauan nada yang lebih luas lagi. Jadi tak perlu puluhan orang memainkan angklung.

Sumber wikipedia

referensi

[video=youtube;bZXtZlaLlt0]https://www.youtube.com/watch?v=bZXtZlaLlt0[/video]

[video=youtube;zN-7zTRzeMM]https://www.youtube.com/watch?v=zN-7zTRzeMM[/video]

[video=youtube;Mh2S6L78IVc]https://www.youtube.com/watch?v=Mh2S6L78IVc[/video]

Cuap-cuap penulis :

Huaaaaa, tadinya pesimis banget buat rilis meski waktu yang dikasih panitia cukup panjang. Ada setumpuk kerjaan yang bendadak dateng kayak banjir di kampung pulo. Udah gak sempet mikir buat ide apa, gak sempet nyusun konsep. Tapi tiba-tiba pas malem jumat kemaren kejatuhan ide, mungkin pengaruh abis nonton sigatsu wa kimi no uso, jadi pengen bikin yang musik2 gitu. Terus udah gitu ada bisikan gaib waktu bergalau ria, "coba bikin seseorang yang ungkapin perasaannya ke orang yang udah pergi melalui seni, kayak kamu yang ungkapin perasaan kamu ke aku yang ada disini melalui tulisan. Tapi dari sudut pandang orang yang meninggalkan"

Jleeebbbbbb. Saat itu juga aku tercenung, dan bertekad cerita ini harus ditulis, bagaimanapun hasilnya cerita ini adalah perasaan dia.

Seni adalah ekspresi jiwa, dan menulis adalah bagian dari seni. Jadi ini adalah caraku untuk mengekspresikan apa yang ada di jiwa ini. Semua penyesalan, semua rasa rindu dan segala jenis perasaan yang mengaduk-ngaduk hati ini harus dijabarkan dalam rangkaian kata. Apapun keadaannya, apapun gemuruhnya, sebuah cerita haruslah ditulis.

Terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih kepada :

- Tuhan YME
- Moderator sekaligus panitia mod Velkrasnyet yang udah nyusun konsep lomba
- Para juri, apelberacun dan ulrich yang katanya unyu2 yang udah bersedia membaca dan menilai cerita sederhana ini
- Para d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) yang udah repot2 kasih apresiasi untuk pemenang
- Para pembaca yang gak pernah bosan untuk membaca cerita saya yang gitu-gitu aja, yeah ujung2nya mati, kuburan. Hewww
- Dan tentunya, untuk dia sumber dari segala sumber inspirasi, sumber dari segala alasan saya menulis. Semoga kamu terus menuntunku dari sana.
 
Terakhir diubah:
:kopi::siul::siul::hore:



tuchh kan:((:(( bener,,
kalau ini adalah
arwah bercerita..
:hua:
korban terserunduk truk pula...:mati:


keren:kk: banget lho ini, kang... posisi pencerita sebagai arwah terasa mampu mewakili dua sudut pandang secara langsung untuk POV1 secara individu sekaligus POV3 yang bisa melihat ke segala arah...

Keren Kang Will...:jempol: seperti biasa kau mampu mainkan emosi pembaca. Juga berikan nuansa nyata pada deskripsi jalan ceritanya..

*wes yoo..tak mlipir mane:motor6:sisan karo ngebak-i cingkir..........:kopi:
:)
 
Terakhir diubah:
krasa ngenesnya dibagian akhir....
malah ke bayang video clip lagu mandarin...
 
Dari hati bgt yah nulisnya. pasti sedih :(#pukpukpuk
Bagus, indah, galaunya dapet.
Selain itu me bisa sedikit belajar menjelaskan ttg suatu objek. Me lemah bgt di sini.
 
Om Will sepertinya master galau, master dalam membuat cerita-cerita galau, I mean.
:D

Ada perasaan haru saat membacanya, seperti biasa menjadi poin utama di cerita-cerita Om Will. Tapi saya sedikit terganggu dengan banyaknya kata-kata puitis. Mungkin maksudnya untuk memperdalam rasa haru/emosi, tapi menurut saya porsinya terlalu banyak. Jadi mengurangi makna dari kata-kata puitis itu.
Di luar hal tadi, saya bisa nikmati cerita, bukan dokumenter seperti baca wikipedia.
A good presented by you
:jempol:
 
:kopi::siul::siul::hore:



tuchh kan:((:(( bener,,
kalau ini adalah
arwah bercerita..
:hua:
korban terserunduk truk pula...:mati:


keren:kk: banget lho ini, kang... posisi pencerita sebagai arwah terasa mampu mewakili dua sudut pandang secara langsung untuk POV1 secara individu sekaligus POV3 yang bisa melihat ke segala arah...

Keren Kang Will...:jempol: seperti biasa kau mampu mainkan emosi pembaca. Juga berikan nuansa nyata pada deskripsi jalan ceritanya..

*wes yoo..tak mlipir mane:motor6:sisan karo ngebak-i cingkir..........:kopi:
:)
ane sebenernya rada merinding bikin pov arwah, hihihi walau bukan cerita horor tapi ane kan parno. makasih loh udah mampir hehehehe.

krasa ngenesnya dibagian akhir....
malah ke bayang video clip lagu mandarin...
lagunya legenda ular putih ya gan :pandaketawa:

Dari hati bgt yah nulisnya. pasti sedih :(#pukpukpuk
Bagus, indah, galaunya dapet.
Selain itu me bisa sedikit belajar menjelaskan ttg suatu objek. Me lemah bgt di sini.
yang sering aku ucapin ke kamu juga dari hati..... kyaaaaaa :klove:

Om Will sepertinya master galau, master dalam membuat cerita-cerita galau, I mean.
:D

Ada perasaan haru saat membacanya, seperti biasa menjadi poin utama di cerita-cerita Om Will. Tapi saya sedikit terganggu dengan banyaknya kata-kata puitis. Mungkin maksudnya untuk memperdalam rasa haru/emosi, tapi menurut saya porsinya terlalu banyak. Jadi mengurangi makna dari kata-kata puitis itu.
Di luar hal tadi, saya bisa nikmati cerita, bukan dokumenter seperti baca wikipedia.
A good presented by you
:jempol:
iya gan ane juga ngerasa terlalu banyak porsi kata2 puitisnya, abis ane bingung pas nulis, cerita udah kelar tapi jumlah kata masih kurang dari 2500, mau nambahin scene udah gak bisa mikir lagi, waktu udah mempet, ya udah ane tambahin narasi aja pake kata2 puitis :galau:

makasih agan nostra
 
:baca: menyentuh hati..:sayonara:

:cendol: ijo semangat..
 
Merinding ane bacanya Boss Will
Ngeri ngeri sedap
:jempol:
 
Bimabet
Yg lain kan udah pada muji.. aku kritik yah...

gimana kalau angklung diganti tifa, gamelan, rebab, seruling... adakah memberikan perubahan signifikan pada plot "kasih tak sampai yg terpisah kematian"?

Ibaratnya milih artis buat diexe di lktcp, tapi artis bisa dengan mudah digantikan dengan artis lain tanpa mempengaruhi jalan cerita....

Buat lomba, hal2 seperti ini yg harusnya dipwrtimbangkan masak2...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd