Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Fantasi Pamer Istri

15 : Mengalah

Sudah satu mingu sejak Yanto pulang ke kota asalnya. Sejak saat itu istriku lebih bisa berkompromi dan tak banyak protes. Sejauh ini pun aku belum meminta sesuatu yang berlebihan seperti biasanya. Paling-paling hanya menyuruhnya menggunakan pakaian ketat, atau justru daster longgar yang mana saat mengenakan daster, ia tak mengenakan BH. Namun, itu hanya dilakukan di tempat yang jauh dari rumah agar tidak ada orang yang mengenali kami.

Pada suatu hari, aku dan istriku berkendara dengan motor dan mampir kembali ke tempat bapak penjual angkringan yang dahulu pernah kami goda. Begitu motor kami terparkir, pria kurus pendek berkulit gelap dengan urat-urat yang timbul di tangan itu menatap kami dengan senyum. Pria tua beruban dengan kumis tipis itu tidak berubah sama sekali.

"Eh udah lama nih enggak ke mari," ucap bapak penjual angkringan.

"Iya nih, ada yang kangen katanya," balasku sambil melirik ke arah Ifa.

"Ih apaan sih," sahut istriku dengan nada bercanda.

Seakan sudah mengerti dengan fantasiku, Ifa memutuskan untuk mengambil inisiatif dan menarik jaketnya, memperlihatkan kaos putih ketatnya yang selalu mampu membuatnya terlihat seksi dan menantang. Mata Bapak penjual angkringan seakan-akan melebar saat ia melihatnya.

Di saat hening sejenak, mata Bapak penjual angkringan terpaku dan tak bisa lepas pada gundukan dada yang memikat milik Ifa. Aku tahu bahwa saat ini adalah kesempatan emas untuk menggodanya.

"Liat pemandangan, Pak?" tanyaku.

"Lagi liat gunung, eh liat gunung," jawabnya latah dan terlihat kikuk.

"Di gunung beneran mah dingin, Pak, kalo di gunung yang itu mah panas," lanjutku.

Ifa melanjutkan dengan nada manis, "Yang panas tuh kopi seduhan si bapak kali."

"Ah, tapi kayaknya lebih panas kamu deh," ucapku sambil tersenyum. "Tuh si bapak sampe bengong gitu."

"Jangan gitu toh, Mas," ucapnya sambil menggelengkan kepala dengan malu-malu. "Saya sudah tua, jangan menggoda saya begini."

Aku mendekatkan diri ke Bapak penjual angkringan dan berkata dengan nada lembut, "Pak, jujur aja, kalo menurut saya sih bapak enggak tua-tua amat ah, terutama pake kumis tipis model gitu. Mungkin kalo bapak duduk di sebelah istri saya, bapak yang di kira suaminya, masih cocok kok."

Bapak penjual angkringan terlihat kikuk, namun juga tersenyum malu-malu. "Saya hanya seorang penjual angkringan biasa e, Mas. Enggak cocok kalo disandingin sama mbak e."

Kami tertawa. "Ya udah, pesen dulu deh. Saya biasa ya, Pak, susu anget," ucapku.

Si bapak menatap istriku sambil sesekali melirik ke arah dadanya. "Mbak e susu juga?"

"Saya teh anget aja deh," jawab istriku.

"Kalo susu udah punya, Pak," timpal ku.

"Ih,apaan sih?" sahutnya sambil mencubit manja pinggangku.

Si bapak tersenyum. Ia segera membuatkan pesanan kami. Tentunya dengan gorengan dan beberapa tusuk sate khas angkringan.

Berselang beberapa menit, pesanan kami tiba. Si bapak hanya diam melihat kami makan. Aku yang semakin panas pun menyuruhnya duduk di samping istriku.

"Gabung sini loh, Pak, biar akrab," ucapku, "tuh di sebelah istri saya."

Istriku melirik ke arahku, tetapi tak protes seperti biasanya. Ia menghela napas dan menepuk kursi panjang di sebelahnya.

"Sini pak, duduk," ucap istriku.

Si bapak pun menurut. Karena angkringan yang sepi, ia ikut duduk bersama kami, di samping istriku. Setelah kami duduk bersama Bapak penjual angkringan, suasana menjadi lebih akrab.

"Kalo boleh tau siapa namanya, Pak?" tanyaku.

"Saya Slamet, Mas," jawab si bapak.

"Saya Reza, Pak, istri saya Ifa."

Pak Slamet mengangguk pelan.

"Di sini emang selalu sepi apa gimana, Pak Slamet?" tanyaku lagi. "Dari yang pertama dulu ke sini juga sepi kayaknya."

"Iya, di daerah sini banyak angkringan. Kebetulan saya ada di tengah-tengah, jadi yang mampir paling cuma orang-orang sekitar saja, itu pun paling malem sampe jam delapan malem. Kalau sudah jam sembilan seperti sekarang, biasanya sudah sepi."

"Enggak rugi tuh, Pak?"

"Ya gitu lah, Mas. Kadang untung kadang rugi, tapi di hari-hari tertentu seperti malam minggu sih ramai karena banyak angkringan yang penuh, jadi pada nyari yang kosong. Tapi kalau malam biasa ya begini, makanya saya juga enggak jual banyak kalo malam biasa."

"Udah ada anak, Pak?" tanya istriku.

"Sudah ada dua, Mbak. Yang paling tua laki-laki masih SMA, yang kecil masih sekolah dasar."

"Istri dua juga, Pak?" tanyaku bercanda.

"Maunya sih dua, tapi sekarang satu pun enggak ada."

"Loh, ke mana, Pak?" tanyaku.

"Sudah lama meninggal, Mas. Jadi saya sendirian aja sekarang mah."

Aku terdiam sejenak, merasa tak enak karena sudah bertanya dan bercanda seperti itu padanya.

"Wah bapak kuat banget ternyata," puji istriku. "Yang sabar ya, Pak."

"Saya sudah biasa kok, Mbak."

"Terus selama ini kalo lagi kepingin gimana tuh, Pak?" tanyaku yang tiba-tiba penasaran.

Istriku menyenggol pinggangku dengan mata melotot. menurutnya pertanyaan itu kurang pantas untuk dilemparkan, tetapi mengingat sikap si bapak yang suka bercanda, aku pikir tak apa.

"Saya enggak kepikiran begituan lagi. Saya udah tua, Mas, mau nikah juga bingung sama siapa. Terus mau nyewa juga mahal, jadi mending uangnya ditabung buat pendidikan anak," jawabnya diiringi kekehan tipis.

Aku dan istriku bertatapan dengan sorot mata iba. Rupanya kehidupan Pak Slamet cukup berat dan rumit.

Keadaan mendadak sunyi. Ditengah kehampaan ini, udara dingin kembali menyapa. Pada satu titik, istriku menoleh dan menangkap basah tatapan Pak Slamet yang sedang memandang dadanya dari arah samping. Pria tua itu agak meninggikan kepalanya agar bisa melihat dada istriku dengan views yang lebih enak.

"Kenapa ya, Pak?" tanya istriku yang sebenarnya merasa risih, tapi mencoba menikmatinya karena tak ingin aku kecewa.

Merasa tertangkap basah, pria tua itu berkeringat dingin dan kembali salah tingkah, tetapi tak mengalihkan tatap dari dada istriku.

"Saya baru sadar, sekarang pake BH to, Mbak?" tanya si bapak.

Mendengar pertanyaan yang tak terduga dari Pak Slamet, Ifa tersenyum lembut, mencoba meredakan ketegangan yang muncul. Ia menjawab dengan ramah, "Iya, Pak. Sekarang saya pake BH. Waktu kemarin enggak pake soalnya lagi males."

Aku pun melanjutkan candaan dengan senyum nakal. "Pak Slamet beruntung bisa liat dari deket."

Ifa hanya menggelengkan kepala dengan senyum malu-malu, "Beby, jangan bikin Pak Slamet pusing deh."

Pria tua itu mengelap keringat dingin di dahinya dan berbicara, "Maaf ya, Mbak Ifa. Saya jadi ngeliatin mulu. Abisnya bentuknya bagus, Mbak, bulat dan besar."

"Mau pegang, Pak?" tanyaku.

Istriku menoleh dan menatapku sinis, di sisi lain Pak Slamet menampilkan ekspresi mupeng nya. Istriku merapat kearah ku dan berbisik.

"Apa-apaan sih kamu? Udah aku bilang jangan berlebihan, kan? Udah cukup, Bebi," ucap istriku dengan wajah agak kesal.

"Beb, Pak Slamet udah enggak punya istri. Dia jualan juga sepi, terus harus ngehidupin keluarganya sendirian. Paling enggak kasih dia satu kebahagiaan aja."

"Ya, tapi enggak begini, Beb. Masa aku jadi pemuas nafsunya?"

"Enggak gitu, cuma kasih pegang aja, udah," balasku. "Kasian dia penasaran dari tadi liatin mulu."

Setelah perdebatan panjang, istriku menghela napas. "Oke, ini yang terakhir. Tapi cuma sekali, ya."

Aku mengangguk sebagai jawaban, dan kami kembali menoleh pada Pak Slamet yang sedari tadi hanya diam memandang ke arah kami. Istriku bergeser, merapat pada pria itu.

"Pak, pilih satu aja," ucap istriku, "mau pegang, liat, atau dikocokin?"

Aku berdebar mendengar pertanyaan istriku pada pria itu. Pak Slamet kini terlihat seperti anak kecil yang sedang menunggu hadiah ulang tahunnya.

"Ma-maksudnya gimana, Mbak?" tanya Pak Slamet kikuk.

Istriku membusungkan dadanya hingga menempel di lengan Pak Slamet. "Mau pegang, liat, atau dikocokin? Kurang jelas, Pak?"

"Sa-saya ngocok sendiri aja, be-berarti boleh pegang, kan?" tanyanya pada istriku.

Istriku mengangguk dengan wajah merah. Sesekali ia menatap ke arah jalanan yang sepi tanpa pengendara yang berlalu-lalang.

"Iya, boleh. Pegang aja, Pak," jawab istriku.

Pak Slamet mengangguk sambil meneguk ludah. Dengan antusias, ia memegang tangan istriku dengan hati-hati, seakan-akan takut melakukan kesalahan. Perlahan-lahan tangannya terjulur mendekati payudara istriku dengan gemetar.

Istriku memberikan senyuman kecil, mencoba meredakan ketegangan pada pria itu. "Jangan gugup, Pak Slamet."

"Anggap aja istri sendiri, Pak," balasku.

Pak Slamet akhirnya menyentuh dengan lembut payudara istriku dari luar. Ekspresi wajahnya berubah menjadi bahagia sekaligus lega. Ia berbicara dengan suara yang penuh rasa syukur, "Terima kasih, Mbak Ifa. Ini adalah hadiah terbaik yang saya terima dalam waktu yang sangat lama." Ia menitihkan air mata.

Melihat air mata pria itu membuat istriku bimbang. Ia hanya memejamkan mata dan berpasrah diri.

Adegan berlanjut dengan Pak Slamet meremas dada istriku dengan lembut, sesekali ia terlihat mencari puting istriku, meskipun tak mampu menemukannya. Walaupun suasana awalnya canggung, namun Pak Slamet melakukannya dengan cukup baik.

Satu tangannya masuk ke celana dan mengeluarkan pusakanya. Istriku meneguk ludah melihat betapa panjangnya senjata itu. Pak Slamet pun mulai mengocok kemaluannya sambil menatap wajah istriku.

"Ohhh, Mbak. Kamu cantik banget. Saya jadi keinget istri saya." Pria tua itu berusaha menikmati momen ini sambil membayangkan istrinya ternyata.

Wajah istriku semakin merah, ia membuang tatap dari Pak Slamet. Namun, tangannya menarik tangan Pak Slamet dan membawanya masuk ke dalam kaos putihnya.

"Dari dalem aja, Pak," ucap istriku," Beb, bukain BH ku dong biar Pak Slamet enak megangnya."

Aku bergeser mendekat dan membuka kaitan BH istriku dari belakang.

"Bulet banget, kenyel, gede, tangan saya sampe enggak muat satu," ucap Pak Slamet.

"Beb, kocokin gih biar Pak Slamet bisa megang dua tangan," ucapku.

"Shhh ... enggak mau ... mphhh." Mata istriku terpejam menahan rangsangan tangan Pak Slamet.

Pak Slamet menarik tangannya keluar, lalu menjilat-jilat jarinya sebelum akhirnya kembali menyelundup masuk dan mulai kembali.

"Kok dijilat-jilat gitu, Pak?" tanya istriku.

"Biar licin kayak gini, Mbak." Sambil meremas, ia menggesekkan jarinya pada puting susu Ifa, kemudian menangkap puting itu dan memainkannya dengan jari telunjuk.

"Ohh my god ... mphhh." Istriku agak bergetar, ia menunduk dan menyandarkan kepalanya di bahu Pak Slamet.

"Kenapa, Mbak? Enak?"

"Shhh ... ahhh, Pak ...." Istriku mencengkeram lengan Pak Slamet.

"Enak mana sama yang ini?" Pak Slamet memilin puting Ifa sambil menariknya pelan, lalu ia lepaskan begitu saja.

"Ebak, Mbak?" tanya Pak Slamet tersenyum nakal.

"Ahhhhh ... enak, Pak," jawab istriku.

"Mbak pentilnya warna apa kalau boleh tau?"

"Ih nakal nanya-nanya," jawab istriku.

"Kan saya enggak boleh lihat, biar saya bisa bayangin aja hehe."

Istriku terlihat malu. "Cokelat, Pak."

Melihat mereka berdua membuatku cemburu sekaligus terbakar. Pertahanan istriku sudah hancur. Sebenarnya aku ingin lebih, tapi aku tahu bahwa kegilaanku bisa menimbulkan resiko, maka aku hanya berani membayangkannya. Aku takut setelah ini istriku marah. Jadi aku hanya bisa berharap lebih tanpa berani bersuara. Ku biarkan permainan Pak Slamet yang menentukan alurnya. Aku hanya bisa mengocok pusaka ku sambil berkhayal.

"Saya suka cokelat," ucap Pak Slamet dengan suara lembut.

(Fantasy mode on)

"Tuh kalo enggak percaya, Pak." Aku menarik kaos istriku ke atas hingga menampilkan bulatan payudaranya secara utuh.

Istriku menoleh dan hendak marah karena aku melanggar janji, tetapi langsung ku sambar bibirnya.

Pak Slamet pun tak menyiakan kesempatan, ia menunduk dan menangkap bongkahan dada istriku dengan mulutnya, sementara satu tangannya masih sibuk memilin putih istriku yang sudah tegang.

Istriku refleks mencari kepala si bapak yang sedang menyusu dan menjambak rambutnya, berusaha memisahkan mulut Pak Slamet dengan teteknya.

"Pak, kan cuma boleh pegang, bukan nyedot," ucap istriku.

Slurppp ... slurppp ... slurppp.

Si bapak terus memompa tetek Ifa seperti seorang bayi raksasa yang kehausan. Ia hisap keras-keras sampai mengeluarkan suara yang nyaring.

Di sisi lain, lidahku mengobrak-abrik mulut istriku hingga perlahan jambakan di rambut bapak semakin pelan dan berubah menjadi belaian lembut.

Kombo ciuman ku dan sedotan si bapak membuatnya semakin kehilangan diri dan takluk. Ku lepas ciuman liar ku dan bangun dari duduk, lalu berjalan ke arah gerobak angkringan.

"Shhh ... ahhhh." Istriku memejamkan mata dan membenamkan kepala si bapak di payudaranya.

Aku mengambil ponsel dan mengabadikan momen itu dengan foto dan video. Tentu sambil mengocok pusakaku sendiri.

"Gigit pelan pentilnya, Pak," ucap istriku.

Si bapak mengigit manja puting susu yang dimaksud.

"Ahhhhh." Istriku menjambak manja rambut si bapak. "Enak, Pak, terusin sambil mainin lidahnya."

Lidah pria tua itu menyapu bersih kulit kenyal istriku sambi mempercepat kocokannya.

(Fantasy mode off)

"Bapak mau keluar, Mbak!"

Pecah sudah lamunanku saat Pak Slamet bergumam hampir klimaks.

Istriku mendekap tubuh si bapak. "Keluarin, Pak."

Si bapak melepaskan diri dari pelukan istriku. Ia bangun sambil tangannya mencubit kuat puting istriku hingga membuatnya meringis. Di arahkannya kontol panjang itu ke payudara Ifa dan menggesekkannya ke puting susu istriku dari luar hingga meledak dan membuat tubuhnya bergetar hebat.

"Saya keluaaaar, Mbak Ifaaaa ahhhhhh."

Cairan putih kental membanjiri bagian dada kaos putih istriku.

Si bapak duduk terengah-engah sambil menatap istriku.

"Makasih, Mbak Ifa."

"Sama-sama, Pak."

"Boleh saya pegang lagi sebentar?"

Istriku melonggarkan kaosnya. "Ya udah, sebentar aja."

Tangannya masuk kembali ke dalam kaos istriku. Pak Slamet memilin kedua puting itu dengan tangannya. "Teteknya bagus banget, Mbak. Megang aja udah kebayang isinya."

"Ma-makasih," jawab istriku malu.

Selang dua menit, si bapak selesai dengan payudara istriku.

Istriku langsung bergeser mundur ke arahku dan hendak membetulkan BH nya.

"BH nya boleh buat saya enggak? Buat kenang-kenangan."

Istriku menatapku, dan ku balas dengan anggukan kepala.

"Ya udah, ambil aja nih, Pak," ucap istriku.

Pak Slamet memandangi BH putih menggemaskan milik istriku sambil tersenyum.

"Sekali lagi makasih, Mbak."

Aku merangkul istriku yang saat ini terlihat diam. Namun, tak terlihat marah atau pun kehilangan mood. Malam ini ia benar-benar mengalah.

 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd