maniaqcoli
Semprot Baru
- Daftar
- 19 Jul 2017
- Post
- 48
- Like diterima
- 116
Part 8
Sekitar 30 menit kemudian aku mendengar suara klakson mobil dari luar gerbang. Sebenarnya, aku agak malas, aku tidak terlalu suka jika harus berurusan dengan orang lain. Terlebih lagi aku baru saja mengenalnya, sebenarnya aku juga sedikit penasaran dengan hal penting yang Ayana maksud.
"Masuk, Ka.", hanya persekian detik setelah aku menyambutnya kini Ayana dengan santainya sudah duduk di sofa dengan santai. Bahkan bisa dibilang ia kelewat santai, di rumah orang yang baru dikenal ia sudah berani merebahkan dirinya disitu.
"Ki, minum dong. Yang dingin.", perintah Ayana.
Aku hanya bisa menggaruk tengkuk ku yang tak gatal dan segera menuruti perintahnya.
"Nih, Kak.", ucapku sembari menyodorkan segelas air putih dingin kepadanya.
"Dih, bening.", sindirnya, namun tangannya tetap menerima gelas itu.
"Belum belanja, Kak.", jawabku yang kini tengah memperhatikan Ayana yang minum dengan tergesa-gesa. Terlihat beberapa tetes air yang mengalir dari sela gelas dan bibirnya jatuh membasahi leher dadanya. Dan itu sukses membuat ku menelah ludah.
"Haaaaah. Seger. Thanks.", ucapnya seraya menaruh gelas di atas meja di depannya.
"Jadi kesini ada apa kak?", tanyaku pensaran.
"Kalem sih, gue masih cape nih. Tadi abis lari-larian"
"Lah bukannya tadi naik mobil?"
"Ya kan ke parkiran ambil mobilnya sambil lari."
"Ooh.", jawabku seraya mengangguk.
Setelah bisa mengatur nafasnya, kini Ayana membenarkan duduknya. Ia terduduk dan mulai menatapku.
"Sini, biar enak ngobrolnya.", ucap Ayana sambil menepuk sisi sofa yang kosong disebelahnya. Aku pun segera duduk di situ.
"Aku udah denger dari denger dari Kak Melody sama Kak Kinal soal penawaran kamu."
"Aku mau bilang makasih. Makasih banget malah."
"Kok makasih ke aku? Kan mereka belum setuju. Katanya masih ada yang dibahas sama manajer yang lainnya.", tanyaku heran.
"Iya aku tau, aku mau bilang kalo pun ini cuma wacana dan gagal. Aku tetep mau bilang makasih. Setidaknya kamu udah ngasih harapan buat kita dan kamu bikin kalo perjuangan kita selama ini tuh ga sia-sia. Makasih loh.", jelas Ayana, tatapannya tajam mengarah kepadaku, entah sejak kapan ia sudah menggenggam tanganku.
"Ehehe. Maaf kak kalo misalnya aku cuma baru bisa ngasih harapan. Tapi jujur, aku lakuin ini semua bukan buat kalian. Aku lakuin ini semua cuma buat ambisi pribadi ku aja. Maaf kalo aku nantinya cuma gunain kalian sebagai alat.", kutarik tanganku perlahan. Mataku tak sanggup lagi menatap matanya. Ya, setidaknya aku harus mengatakan hal ini terlebih dahulu, aku takut jika suatu saat nanti mereka berekspetasi tinggi kepadaku namun hanya kekecewaan yang nantinya mereka dapatkan.
"Aku bilang sekali lagi. Aku ga peduli. Mungkin ambisi kita beda, tapi tujuan kita sama. Untuk membuktikan bahwa penilaian orang selama ini salah! Kamu tau saking bahagianya, jantung aku tuh dari tadi terus berdegup kenceng banget. Coba kamu rasain.", tanpa sadar Ayana menarik tanganku dan menaruhnya tepat didadanya.
Aku bisa merasakan degup jantungnya yang begitu cepat dan tentu saja, aku juga bisa merasakan payudaranya yang empuk. Bahkan tanpa sadar aku mulai meremasnya lembut.
Dengan cepat aku menarik tanganku, kepalaku tertunduk. Namun Ayana malah terheran karena sikapku. Sampai akhirnya, "Maaf, Kak.", ucapku.
Ya, perkataan itulah yang membuat Ayana menyadari apa yang terjadi. Ku melirik dari ujung mata, wajah Ayana mulai memerah karena malu.
"Maaf ga sadar.", ucap Ayana pelan.
"Eh, iya aku yang minta maaf malah kurang ajar.", jawabku.
Kami berdua tertunduk menatap meja di depan kami. Dengan posisi kedua tangan diatas lutut. Sungguh ini adalah momen tercanggung yang pernah aku alami.
Kami terdiam mematung dalam beberapa saat.
"Menurut kamu gimana?", tanya Ayana yang memecah keheningan.
"Eh, apanya?", tanyaku yang terheran.
"Itu aku."
"Apanya kak?", kali ini aku mengarahkan pandanganku ke Ayana.
"Dada aku?", ucap Ayana pelan, bahkan hampir tidak terdengar.
"Hah? Apaan kak?", aku medekatkan kepalaku kearahnya agar suaranya semakin terdengar.
Ayana kini memandangku, "Dada aku. Menurut kamu gimana?", kali ini aku bisa mendengar jelas apa yang ia katakan dan ini sukses membuatku terkejut.
Dengan cepat kutarik tubuhku menjauh, "Kak, mending kita lupain aja."
"Ki, aku tanya. Ga sopan kalo kamu ga jawab.", sialnya Ayana kini memandangku dengan tatapan puppy eyes yang membuatku luluh.
"Ya, gitu. Empuk. Hehe.", sebisa mungkin aku menghindari tatapan langsung dengannya. Mengarahkan asal pandanganku.
"Suka?"
"Kak, beneran deh. Mending kita lupain aja.", aku bangkit dari duduk ku, namun tanganku kini berhasil ia raih. Genggamannya terasa sangat kuat, seakan tidak membiarkanku untuk beranjak.
"Jawab!"
"Ya, su... Suka lah kak. Namanya juga co...", aku tak berhasil menyelesaikan kalimatku.
Dengan tenaga yang cukup kuat, ia menarik tanganku sehingga kini aku menindihnya. Ayana melumat bibirku dengan begitu ganasnya. Butuh beberapa saat aku mencerna apa yang terjadi, sampai akhirnya aku malah meladeni ciumannya.
Bibir kami terus beradu, dan kini lidah kami pun saling bersentuhan. Saliva saling bertukar, lidah saling bercengkrama dan tentunya lenguhan demi lenguhan semakin terdengar.
Ayana yang mulai kehabisan nafas melepaskan ciumannya. Kami berdua berusaha mengatur nafas kami yang mulai tersengal.
"Ka..."
"Sssst...", telunjuk Ayana menempel di bibirku.
Perlahan Ayana merebahkan ku di sofa, tangannya menarik turun celanaku. Dari tatapan ku, wajah Ayana terhalang oleh penis ku yang sudah menengang. Mata Ayana yang sayu makin membuat diriku tak mampu lagi menahan libido yang memuncak.
"Uhmmm, besar yaaa.", komentar Ayana sambil memegang penisku, seraya mengocoknya dengan lembut.
Ayana mulai menjilati penisku, mulai dari kepala sampai ke pangkal. Bahkan buah zakar dan panggkal pahaku pun basah oleh liurnya. Lidahnya dengan terampil bermain di lubang kencing ku. Sungguh kenikmatan yang sangat luar biasa dikala itu.
"Kaaaaakh... Geli ihhhh~~", lenguhku.
Sialnya, Ayana hanya meresepon dengan senyuman kecil yang menggoda. Kini penisku sudah masuk ke dalam mulut Ayana. Ia memajumundurkan kepalanya, begitu lihai dan sangat menikmati. Sesekali Ayana menghisap bagian kepala penisku, bahkan cairan precum ku pun ia telan.
Aku yang mulai merasa kegerahan kini membuka baju dan melemparnya sembarang. Dengan jahil, tangan Ayana malah bermain dengan putingku yang ikut menengang. Aku yang sudah merasa ingin mencapai klimaks kini memegang kepalanya. Ku percepatan gerakan kepalanya, semakin mendekati klimaks semakin cepat.
"Aaaaaaaaaarghhhhhhh~~~~", lenguhku panjang bersamaan dengan spermaku yang mengalir kencang di dalam mulutnya. Bahkan sebelum keluar, aku memaksakan deep throat kepada Ayana.
Wajahnya merah sambil terbatuk, sebagian spermaku ia telan dan sebagian lagi mengalir melalui sela-sela bibirnya.
"Kii, gila loh. Uhuuk.... Uhukk... Lo mau bunuh gue ya?", omel Ayana
"Maaf, kak. Enak banget soalnya."
"Tapi jangan gitu lah, kalo gue mati lu juga yang repotkan."
"Hehe."
"Ih ngeselin malah ketawa."
Aku bangkit, tanganku memegang baju Ayana dan melepaskannya. Malam itu, Ayana menggunakan baju terusan, sehingga saat kubuka hanya tertinggal bra dan celana dalamnya saja.
Kini aku yang mendorong Ayana pelan untuk berbaring. Tanganku menangkup kedua pipinya, dan kembali menciuminnya dengan ganas. Perlahan ciuman ku turun, dagu, leher, pundak dan menuju dadanya. Kedua cup branya ku turunkan, aku menciumi payudaranya tanpa menyentuh putingnya yang sudah menegang. Ayana hanya dapat mendongangkan kepalanya, dan terus mengelurkan suara lenguhan serta desahan yang sungguh erotis.
Tanganku menyusuri punggungnya, mencari pengait bra dan kemudian melepaskannya. Kini dengan sangat leluasa ku menciumi setiap sudut dari payudaranya. Aku yang sudah tak sanggup menahan diri pun mulai menghisap puting berwarna coklat muda miliknya, sesekali ku hisap dengan kuat. Satu tanganku kini bermain di payudara satunya, meremasnya, putingnya pun ku pilin, bahkan karena saking gemasnya aku pun menarik putingnya.
Tanganku satunya bahkan sudah berada di area vaginanya. Menggesek-gesek kelentitnya dari luar celana dalam warna kuning. Tempo permainan ku tingkatkan, semakin Ayana mendesah, maka semakin aku bersemangat untuk mengerjainya. Vagina miliknya semakin lembab, bahkan celana dalamnya pun sudah semakin basah. Aku meurunkan ciumanku dan mengarahkannya ke vagina Ayana. Ku sapukan lidahku pada vaginanya yang ditutupi bulu-bulu tipis. Vaginanya begitu sungguh indah dan memukau, membuat nafsuku semakin meningkat.
Ku paksakan lidahku masuk ke liang senggama milikknya, Ayana semakin belingsatan.
"Aaaaaaaaaagrh, Kiiih~~~ Yang cepeeeeeeeth... Iyyyaaaaaaaaaaaah diisituuuuuu... Teruuuuuush... Kenceeeeeengiiiiiin~~~", racau Ayana sambil terus memainkan keduan tangannya di kedua payudara miliknya.
Desahan Ayana semakin kencang, nampaknya ia akan segara mendapatkan orgasme pertamanya, terlihat dari semakin seringnya ia mengangkat pinggul dan tangannya kini mulai menahan kepalaku agar tetap berada disana. Tak butuh waktu lama, Ayana mengalami orgasme yang cukup panjang.
"Sluuuuurp~~ Sluuuuuurph~~~", aku menghisap cairan vaginanya yang begitu banyak, bahkan aku menelannya. Ya rasanya begitu asin, namun entah mengapa aku sangat menyukainya.
Aku kembali mencium bibirnya, lidah kami pun saling mengikat. Kumasukan dua jari tangan kananku ke vaginanya, sementara ibu jariku bermain di klitoris miliknya. Aku melepaskan ciumanku, kedua dahi kami saling menempel, mata kami saling memandang. Kedua tangan Ayana dilingkarkan di leherku.
"Nghhhhh~~ Nghhhhhh~~ Ngghhhhh~~"
Ayana terus mengeluarkan desahannya, sementara tanganku pun semakin cepat bermain di vaginanya. Ayana kembali menciumku, nampaknya kini ia sudah mengalami orgasme kedua kalinya. Ciuman kami pun terlepas, memberikan momen untuk kami berdua bernafas. Entah kenapa kami berdua tersenyum begitu lepas, bahkan sampai tertawa.
"Enak ya, kak? Sampe dua kali gitu?", godaku saat kedua dahi kami saling bersentuhan. Saat ini kami sedang berpelukkan, tangannya masih melingkar di leherku. Aku mengangkat tubuhnya ke pangkuanku.
"Heh, kayak yang tadi ga keluar banyak aja.", kami kembali berciuman ringan, hanya sesekali menempel.
"Lanjut ga?", lagi-lagi aku menggodanya.
"Emang masih kuat?"
"Masih lah. Nih liat.", jawabku sambil mendenyutkan penisku sehingga menyentuh bibir vaginanya.
"Meme, gimana?", tanya Ayana.
"Kak, lagi berdua gini kenapa bawa-bawa Meme sih? Ngerusak momen deh.", aku yang kesal membalas kata-katanya itu dengan meremas kedua bongkah pantatnya.
"Ih... Iseng deh.", tanganku pun ditepis olehnya.
"Jadi lanjut ga nih?"
Ayana tidak menjawab, melainkan kembali melumat bibirku. Aku merebahkan badanku, kini ia berada tepat diatasku. Tanganku tak berhenti meremas pantatnya yang kenyal. Ayana melepaskan diri dari tanganku, setengah berdiri melepaskan celana dalam miliknya. Mulutnya kembali mengulum penisku, hanya beberapa saat saja agar membuatnya basah.
Kini Ayana mengarahkan penisku ke arah vagina milikny. Sensasi yang begitu nikmat begitu terasa, vaginanya cukup sempit walaupun sudah tidak perawan. Terlihat Ayana menggigit bibir bawahnya seakan menahan sesuatu. Mungkin ia sedang membiarkn vaginanya agar terbiasa dengan ukuran penisku.
"Penuuh banget iishhh...", keluhnya tentang ukuran penisku.
Namun selang sesaat kini Ayana mulai menggoyangkan pinggulnya. Ke kanan, kiri, depan, belakang, bahkan sesekali berputar, gerakannya sukses membuat penisku terasa cukup linu.
Perlahan badan Ayana dicondongkan ke arah ku, cukup dengan sehingga tanganku mampu untuk meraih pipinya. Kudekatkan wajahnya dan kembali mencium bibirnya. Aku dan Ayana menjadi sering bertukar pandang, dan tersenyum. Terasa hubungan kami begitu sangat intim, padahal hanya baru 3 kali saja kami bertemu.
Pinggul Ayana kini bergerak naik dan turun. Ritmenya cukup cepat untuk orang yang sudah 2 kali mengalami orgasme. Tangan kananku kembali meremas pantatnya, sesekali memukul karena gemas.
"Hgggghhhh... Nggghhhh.... Kiih..", ceracau Ayana
Gerakan pinggulnya makin cepat. Ayana menegakkan tubuhnya. Tangan kananya bertumpu pada perutku, sedangkan satunya lagi meremas payudaranya sediri.
"Aaaaaarghhhh~~~ Penuuuuuurgh bangeeeet, Kiiih..."
Gerakannya semakin cepat, semakin tidak terkendali. Aku sangat menikmati pemandangan Ayana yang begitu menggairahkan. Peluhnya kini sudah membasahi seluruh tubuh Ayana. Kedua payudaranya yang tergantung ikut berguncang mengikuti gerakan tubuhnya.
"Kiiiih~~~ Akuuuuuh... Mau keluaaaaarrrghhh~~~"
"Aaaaaargh, barengan Kaaaa~~ Aku jugaaaa udaaaaah mau sampeeeeeh~~"
"Jangaaaaaan dicabuuuuth yaaaaaah~~ Keluaaaarin didalem ajaaaaaaah..."
Ku gerakkan pinggulku, seritme dengan gerakannya. Semakin mendekati orgasme semakin cepat gerakan kami berdua. Suara benturan dari kedua kelamin kami sudah memenuhi ruang tamuku.
"Teruuuushh~~ Teruuuuuush~~ Teruuuuuuuuush~~"
"Kaaaaaaaakh~~ Aaaaaaaaarghh~~~"
"Kiiiiiih~~"
Akhirnya kami berdua klimaks di waktu yang hampir bersamaan. Liang vaginanya sudah dipenuhi dengan spermaku, dan penisku pun basah oleh cairan miliknya.
Ayana pun terjatuh, tepat diatas dadaku. "Ki, makasih yaaa".
"Aku yang terima kasih."
"Jangan salahin aku, kalo aku mulai nyaman sama kamu ya.", itulah kalimat terakhir dari Ayana sebelum akhirnya ia tertidur karena kelelahan di atas tubuhku.
Ku cium puncak kepalanya, tanganku mengelus lembut rambut Ayana.
"Maafin aku ya, Me.", batinku.
Dan akhirnya kami tertidur di ruang tamu dalam keadaan telanjang bulat dan penisku yang masih menancap pada vaginanya.
Sekitar 30 menit kemudian aku mendengar suara klakson mobil dari luar gerbang. Sebenarnya, aku agak malas, aku tidak terlalu suka jika harus berurusan dengan orang lain. Terlebih lagi aku baru saja mengenalnya, sebenarnya aku juga sedikit penasaran dengan hal penting yang Ayana maksud.
"Masuk, Ka.", hanya persekian detik setelah aku menyambutnya kini Ayana dengan santainya sudah duduk di sofa dengan santai. Bahkan bisa dibilang ia kelewat santai, di rumah orang yang baru dikenal ia sudah berani merebahkan dirinya disitu.
"Ki, minum dong. Yang dingin.", perintah Ayana.
Aku hanya bisa menggaruk tengkuk ku yang tak gatal dan segera menuruti perintahnya.
"Nih, Kak.", ucapku sembari menyodorkan segelas air putih dingin kepadanya.
"Dih, bening.", sindirnya, namun tangannya tetap menerima gelas itu.
"Belum belanja, Kak.", jawabku yang kini tengah memperhatikan Ayana yang minum dengan tergesa-gesa. Terlihat beberapa tetes air yang mengalir dari sela gelas dan bibirnya jatuh membasahi leher dadanya. Dan itu sukses membuat ku menelah ludah.

"Haaaaah. Seger. Thanks.", ucapnya seraya menaruh gelas di atas meja di depannya.
"Jadi kesini ada apa kak?", tanyaku pensaran.
"Kalem sih, gue masih cape nih. Tadi abis lari-larian"
"Lah bukannya tadi naik mobil?"
"Ya kan ke parkiran ambil mobilnya sambil lari."
"Ooh.", jawabku seraya mengangguk.
Setelah bisa mengatur nafasnya, kini Ayana membenarkan duduknya. Ia terduduk dan mulai menatapku.
"Sini, biar enak ngobrolnya.", ucap Ayana sambil menepuk sisi sofa yang kosong disebelahnya. Aku pun segera duduk di situ.
"Aku udah denger dari denger dari Kak Melody sama Kak Kinal soal penawaran kamu."
"Aku mau bilang makasih. Makasih banget malah."
"Kok makasih ke aku? Kan mereka belum setuju. Katanya masih ada yang dibahas sama manajer yang lainnya.", tanyaku heran.
"Iya aku tau, aku mau bilang kalo pun ini cuma wacana dan gagal. Aku tetep mau bilang makasih. Setidaknya kamu udah ngasih harapan buat kita dan kamu bikin kalo perjuangan kita selama ini tuh ga sia-sia. Makasih loh.", jelas Ayana, tatapannya tajam mengarah kepadaku, entah sejak kapan ia sudah menggenggam tanganku.
"Ehehe. Maaf kak kalo misalnya aku cuma baru bisa ngasih harapan. Tapi jujur, aku lakuin ini semua bukan buat kalian. Aku lakuin ini semua cuma buat ambisi pribadi ku aja. Maaf kalo aku nantinya cuma gunain kalian sebagai alat.", kutarik tanganku perlahan. Mataku tak sanggup lagi menatap matanya. Ya, setidaknya aku harus mengatakan hal ini terlebih dahulu, aku takut jika suatu saat nanti mereka berekspetasi tinggi kepadaku namun hanya kekecewaan yang nantinya mereka dapatkan.
"Aku bilang sekali lagi. Aku ga peduli. Mungkin ambisi kita beda, tapi tujuan kita sama. Untuk membuktikan bahwa penilaian orang selama ini salah! Kamu tau saking bahagianya, jantung aku tuh dari tadi terus berdegup kenceng banget. Coba kamu rasain.", tanpa sadar Ayana menarik tanganku dan menaruhnya tepat didadanya.
Aku bisa merasakan degup jantungnya yang begitu cepat dan tentu saja, aku juga bisa merasakan payudaranya yang empuk. Bahkan tanpa sadar aku mulai meremasnya lembut.
Dengan cepat aku menarik tanganku, kepalaku tertunduk. Namun Ayana malah terheran karena sikapku. Sampai akhirnya, "Maaf, Kak.", ucapku.
Ya, perkataan itulah yang membuat Ayana menyadari apa yang terjadi. Ku melirik dari ujung mata, wajah Ayana mulai memerah karena malu.
"Maaf ga sadar.", ucap Ayana pelan.
"Eh, iya aku yang minta maaf malah kurang ajar.", jawabku.

Kami berdua tertunduk menatap meja di depan kami. Dengan posisi kedua tangan diatas lutut. Sungguh ini adalah momen tercanggung yang pernah aku alami.
Kami terdiam mematung dalam beberapa saat.
"Menurut kamu gimana?", tanya Ayana yang memecah keheningan.
"Eh, apanya?", tanyaku yang terheran.
"Itu aku."
"Apanya kak?", kali ini aku mengarahkan pandanganku ke Ayana.
"Dada aku?", ucap Ayana pelan, bahkan hampir tidak terdengar.
"Hah? Apaan kak?", aku medekatkan kepalaku kearahnya agar suaranya semakin terdengar.
Ayana kini memandangku, "Dada aku. Menurut kamu gimana?", kali ini aku bisa mendengar jelas apa yang ia katakan dan ini sukses membuatku terkejut.
Dengan cepat kutarik tubuhku menjauh, "Kak, mending kita lupain aja."
"Ki, aku tanya. Ga sopan kalo kamu ga jawab.", sialnya Ayana kini memandangku dengan tatapan puppy eyes yang membuatku luluh.
"Ya, gitu. Empuk. Hehe.", sebisa mungkin aku menghindari tatapan langsung dengannya. Mengarahkan asal pandanganku.
"Suka?"
"Kak, beneran deh. Mending kita lupain aja.", aku bangkit dari duduk ku, namun tanganku kini berhasil ia raih. Genggamannya terasa sangat kuat, seakan tidak membiarkanku untuk beranjak.
"Jawab!"
"Ya, su... Suka lah kak. Namanya juga co...", aku tak berhasil menyelesaikan kalimatku.
Dengan tenaga yang cukup kuat, ia menarik tanganku sehingga kini aku menindihnya. Ayana melumat bibirku dengan begitu ganasnya. Butuh beberapa saat aku mencerna apa yang terjadi, sampai akhirnya aku malah meladeni ciumannya.
Bibir kami terus beradu, dan kini lidah kami pun saling bersentuhan. Saliva saling bertukar, lidah saling bercengkrama dan tentunya lenguhan demi lenguhan semakin terdengar.
Ayana yang mulai kehabisan nafas melepaskan ciumannya. Kami berdua berusaha mengatur nafas kami yang mulai tersengal.
"Ka..."
"Sssst...", telunjuk Ayana menempel di bibirku.
Perlahan Ayana merebahkan ku di sofa, tangannya menarik turun celanaku. Dari tatapan ku, wajah Ayana terhalang oleh penis ku yang sudah menengang. Mata Ayana yang sayu makin membuat diriku tak mampu lagi menahan libido yang memuncak.
"Uhmmm, besar yaaa.", komentar Ayana sambil memegang penisku, seraya mengocoknya dengan lembut.
Ayana mulai menjilati penisku, mulai dari kepala sampai ke pangkal. Bahkan buah zakar dan panggkal pahaku pun basah oleh liurnya. Lidahnya dengan terampil bermain di lubang kencing ku. Sungguh kenikmatan yang sangat luar biasa dikala itu.
"Kaaaaakh... Geli ihhhh~~", lenguhku.
Sialnya, Ayana hanya meresepon dengan senyuman kecil yang menggoda. Kini penisku sudah masuk ke dalam mulut Ayana. Ia memajumundurkan kepalanya, begitu lihai dan sangat menikmati. Sesekali Ayana menghisap bagian kepala penisku, bahkan cairan precum ku pun ia telan.
Aku yang mulai merasa kegerahan kini membuka baju dan melemparnya sembarang. Dengan jahil, tangan Ayana malah bermain dengan putingku yang ikut menengang. Aku yang sudah merasa ingin mencapai klimaks kini memegang kepalanya. Ku percepatan gerakan kepalanya, semakin mendekati klimaks semakin cepat.
"Aaaaaaaaaarghhhhhhh~~~~", lenguhku panjang bersamaan dengan spermaku yang mengalir kencang di dalam mulutnya. Bahkan sebelum keluar, aku memaksakan deep throat kepada Ayana.
Wajahnya merah sambil terbatuk, sebagian spermaku ia telan dan sebagian lagi mengalir melalui sela-sela bibirnya.
"Kii, gila loh. Uhuuk.... Uhukk... Lo mau bunuh gue ya?", omel Ayana
"Maaf, kak. Enak banget soalnya."
"Tapi jangan gitu lah, kalo gue mati lu juga yang repotkan."
"Hehe."
"Ih ngeselin malah ketawa."
Aku bangkit, tanganku memegang baju Ayana dan melepaskannya. Malam itu, Ayana menggunakan baju terusan, sehingga saat kubuka hanya tertinggal bra dan celana dalamnya saja.
Kini aku yang mendorong Ayana pelan untuk berbaring. Tanganku menangkup kedua pipinya, dan kembali menciuminnya dengan ganas. Perlahan ciuman ku turun, dagu, leher, pundak dan menuju dadanya. Kedua cup branya ku turunkan, aku menciumi payudaranya tanpa menyentuh putingnya yang sudah menegang. Ayana hanya dapat mendongangkan kepalanya, dan terus mengelurkan suara lenguhan serta desahan yang sungguh erotis.
Tanganku menyusuri punggungnya, mencari pengait bra dan kemudian melepaskannya. Kini dengan sangat leluasa ku menciumi setiap sudut dari payudaranya. Aku yang sudah tak sanggup menahan diri pun mulai menghisap puting berwarna coklat muda miliknya, sesekali ku hisap dengan kuat. Satu tanganku kini bermain di payudara satunya, meremasnya, putingnya pun ku pilin, bahkan karena saking gemasnya aku pun menarik putingnya.
Tanganku satunya bahkan sudah berada di area vaginanya. Menggesek-gesek kelentitnya dari luar celana dalam warna kuning. Tempo permainan ku tingkatkan, semakin Ayana mendesah, maka semakin aku bersemangat untuk mengerjainya. Vagina miliknya semakin lembab, bahkan celana dalamnya pun sudah semakin basah. Aku meurunkan ciumanku dan mengarahkannya ke vagina Ayana. Ku sapukan lidahku pada vaginanya yang ditutupi bulu-bulu tipis. Vaginanya begitu sungguh indah dan memukau, membuat nafsuku semakin meningkat.
Ku paksakan lidahku masuk ke liang senggama milikknya, Ayana semakin belingsatan.
"Aaaaaaaaaagrh, Kiiih~~~ Yang cepeeeeeeeth... Iyyyaaaaaaaaaaaah diisituuuuuu... Teruuuuuush... Kenceeeeeengiiiiiin~~~", racau Ayana sambil terus memainkan keduan tangannya di kedua payudara miliknya.
Desahan Ayana semakin kencang, nampaknya ia akan segara mendapatkan orgasme pertamanya, terlihat dari semakin seringnya ia mengangkat pinggul dan tangannya kini mulai menahan kepalaku agar tetap berada disana. Tak butuh waktu lama, Ayana mengalami orgasme yang cukup panjang.
"Sluuuuurp~~ Sluuuuuurph~~~", aku menghisap cairan vaginanya yang begitu banyak, bahkan aku menelannya. Ya rasanya begitu asin, namun entah mengapa aku sangat menyukainya.
Aku kembali mencium bibirnya, lidah kami pun saling mengikat. Kumasukan dua jari tangan kananku ke vaginanya, sementara ibu jariku bermain di klitoris miliknya. Aku melepaskan ciumanku, kedua dahi kami saling menempel, mata kami saling memandang. Kedua tangan Ayana dilingkarkan di leherku.
"Nghhhhh~~ Nghhhhhh~~ Ngghhhhh~~"
Ayana terus mengeluarkan desahannya, sementara tanganku pun semakin cepat bermain di vaginanya. Ayana kembali menciumku, nampaknya kini ia sudah mengalami orgasme kedua kalinya. Ciuman kami pun terlepas, memberikan momen untuk kami berdua bernafas. Entah kenapa kami berdua tersenyum begitu lepas, bahkan sampai tertawa.
"Enak ya, kak? Sampe dua kali gitu?", godaku saat kedua dahi kami saling bersentuhan. Saat ini kami sedang berpelukkan, tangannya masih melingkar di leherku. Aku mengangkat tubuhnya ke pangkuanku.
"Heh, kayak yang tadi ga keluar banyak aja.", kami kembali berciuman ringan, hanya sesekali menempel.
"Lanjut ga?", lagi-lagi aku menggodanya.
"Emang masih kuat?"
"Masih lah. Nih liat.", jawabku sambil mendenyutkan penisku sehingga menyentuh bibir vaginanya.
"Meme, gimana?", tanya Ayana.
"Kak, lagi berdua gini kenapa bawa-bawa Meme sih? Ngerusak momen deh.", aku yang kesal membalas kata-katanya itu dengan meremas kedua bongkah pantatnya.
"Ih... Iseng deh.", tanganku pun ditepis olehnya.
"Jadi lanjut ga nih?"
Ayana tidak menjawab, melainkan kembali melumat bibirku. Aku merebahkan badanku, kini ia berada tepat diatasku. Tanganku tak berhenti meremas pantatnya yang kenyal. Ayana melepaskan diri dari tanganku, setengah berdiri melepaskan celana dalam miliknya. Mulutnya kembali mengulum penisku, hanya beberapa saat saja agar membuatnya basah.
Kini Ayana mengarahkan penisku ke arah vagina milikny. Sensasi yang begitu nikmat begitu terasa, vaginanya cukup sempit walaupun sudah tidak perawan. Terlihat Ayana menggigit bibir bawahnya seakan menahan sesuatu. Mungkin ia sedang membiarkn vaginanya agar terbiasa dengan ukuran penisku.
"Penuuh banget iishhh...", keluhnya tentang ukuran penisku.
Namun selang sesaat kini Ayana mulai menggoyangkan pinggulnya. Ke kanan, kiri, depan, belakang, bahkan sesekali berputar, gerakannya sukses membuat penisku terasa cukup linu.
Perlahan badan Ayana dicondongkan ke arah ku, cukup dengan sehingga tanganku mampu untuk meraih pipinya. Kudekatkan wajahnya dan kembali mencium bibirnya. Aku dan Ayana menjadi sering bertukar pandang, dan tersenyum. Terasa hubungan kami begitu sangat intim, padahal hanya baru 3 kali saja kami bertemu.
Pinggul Ayana kini bergerak naik dan turun. Ritmenya cukup cepat untuk orang yang sudah 2 kali mengalami orgasme. Tangan kananku kembali meremas pantatnya, sesekali memukul karena gemas.
"Hgggghhhh... Nggghhhh.... Kiih..", ceracau Ayana
Gerakan pinggulnya makin cepat. Ayana menegakkan tubuhnya. Tangan kananya bertumpu pada perutku, sedangkan satunya lagi meremas payudaranya sediri.
"Aaaaaarghhhh~~~ Penuuuuuurgh bangeeeet, Kiiih..."
Gerakannya semakin cepat, semakin tidak terkendali. Aku sangat menikmati pemandangan Ayana yang begitu menggairahkan. Peluhnya kini sudah membasahi seluruh tubuh Ayana. Kedua payudaranya yang tergantung ikut berguncang mengikuti gerakan tubuhnya.
"Kiiiih~~~ Akuuuuuh... Mau keluaaaaarrrghhh~~~"
"Aaaaaargh, barengan Kaaaa~~ Aku jugaaaa udaaaaah mau sampeeeeeh~~"
"Jangaaaaaan dicabuuuuth yaaaaaah~~ Keluaaaarin didalem ajaaaaaaah..."
Ku gerakkan pinggulku, seritme dengan gerakannya. Semakin mendekati orgasme semakin cepat gerakan kami berdua. Suara benturan dari kedua kelamin kami sudah memenuhi ruang tamuku.
"Teruuuushh~~ Teruuuuuush~~ Teruuuuuuuuush~~"
"Kaaaaaaaakh~~ Aaaaaaaaarghh~~~"
"Kiiiiiih~~"
Akhirnya kami berdua klimaks di waktu yang hampir bersamaan. Liang vaginanya sudah dipenuhi dengan spermaku, dan penisku pun basah oleh cairan miliknya.
Ayana pun terjatuh, tepat diatas dadaku. "Ki, makasih yaaa".
"Aku yang terima kasih."
"Jangan salahin aku, kalo aku mulai nyaman sama kamu ya.", itulah kalimat terakhir dari Ayana sebelum akhirnya ia tertidur karena kelelahan di atas tubuhku.
Ku cium puncak kepalanya, tanganku mengelus lembut rambut Ayana.
"Maafin aku ya, Me.", batinku.
Dan akhirnya kami tertidur di ruang tamu dalam keadaan telanjang bulat dan penisku yang masih menancap pada vaginanya.