Foolish Love (Those Were The Days)
Present
Senja hari disebuah villa di pinggir kota, seorang wanita sedang menikmati persetubuhannya di atas ranjang. Rambutnya terurai basah dan tubuhnya bermandikan peluh. Sambil tak hentinya melenguh, ia terus mengoyangkan pinggulnya. Dengan posisi WOT, wanita itu terlihat sangat mendominasi permainan. Ia tak hentinya menggenjot dan bergoyang dengan binal, berusaha meraup kepuasan dan kenikmatan nafsunya. Sesekali ia menengadahkan kepala, tangannya meremas payudaranya sendiri, diiringi erangan dan desahan.
“Arrhh… yaaang aaakkuuu maauu saampai.…” pekiknya sambil mempercepat goyangan. Ia meraih tangan lawan mainnya dan mengarahkan pada payudara agar diremas. Lawan mainnya pun mengerti apa yang wanita itu inginkan, dengan sigap ia langsung meremas kedua bongkah daging itu dengan lembut, dan sesekali menarik pentil payudara wanita itu.
Seeerrrrr..!!
“Yaaanngg aaakuuuu keeeluaaar…” tanpa melepaskan penis yang masih tegang dalam vaginanya, tubuh wanita itu langsung ambruk menindih lelakinya. Senyumnya tersungging puas di antara engahan nafasnya. Senyum kepuasan terpancar pada wajahnya yang berpeluh.
“Kamu puas sayang?” ujar lelaki itu sambil mencium ubun-ubun kepala wanita itu.
“Puass.. saaangat puas.. tapi kamu kan belum keluar, sayang. Masih keras nih… bentar yah aku istirahat dulu!” wanita itu menjawab dengan lemas lalu mencium bibir lelaki tersebut.
“Aku sih belum puas tapi keburu malam.. nanti kamu dicari keluargamu..” jawabnya dengan tangan yang sesekali iseng meremas payudara wanita itu.
“Gapapa.. aku gak mau puas sendiri, aku pengen kita puas bersama..” jawabnya sambil tersenyum, lalu digoyangkan pinggulnya.
Kemudian wanita itu mengangkat pinggulnya hingga penis yang masih tegang itu terlepas dari liang vaginanya. Lalu direbahkannya tubuhnya di samping lelaki itu seraya berbisik menggoda, satu tangannya ia gunakan untuk mengocok penis yang masih tegang dan basah oleh cairan cintanya.
“Tuh kan masih keras… hihi!!” tawanya genit.
“Kamu nih.. bener-bener buat aku gak bosen kalo ama kamu, selalu mancing gairah aku.”
Lelaki itu langsung berbalik merangkul dan mulai menciumi leher untuk memancing gairah wanita yang ada disampingnya. Sesekali jilatan lidahnya menyusuri setiap inci dari kulit leher terus hingga ke belakang telinga merangsang membangkitkan gairah.
“Ouuughhh yaaaaangg.. ggeeellii.” desah wanita itu, membuat lelaki itu makin beringas menciuminya, dibalikan tubuh wanita itu, ciumannya mulai menjalar ke arah payudara, dan dengan nakal kedua tangannya meremas lembut.
“Sruuppp…!!” tiba-tiba ia mengulum dan menghisap putingnya.
“Terruuussss hisap yaaaangggg oogghh..!!!” sang wanita makin melenguh, saat titik sensitifnya terkena sapuan mulut lelaki itu.
“Koookk kamuuu ssuka seekalli neeeteee yanggg..??” erangnya sambil memejamkan mata, menikmati cumbuan pada payudaranya, lalu lelaki itu beringsrut mendekatkan wajahnya sambil berbisik, “Habisnya susu kamu ngegemesin. Apalagi kalo ada air susunya, tiap hari aku pasti bakalan nete terus.” jawabnya sambil tersenyum.
Wanita itu lalu menarik kepala lelakinya lalu melumat bibirnya, setelah terlepas ia berkata, “Tunggu 7 bulan lagi, sayang. Pasti kamu bakalan ngerasain air susunya.” jawabnya lembut.
“Haaa kamuuu..??” lelaki itu terkejut mengetahui apa yang terjadi, sedang wanita itu tersenyum sambil menggangguk.
“Udah jalan dua bulan… aku sedang hamil anakmu, yang.” sambil mengusap kepala lelaki itu.
“Terus kalo suami kamu tau itu hamil oleh aku gimana?” tanyanya sambil tak henti melumat puting payudara wanita itu.
“Yaa jangan sampe tau dong… yang jelas aku puas ama kamu. Dah.. yang jelas itu urusan aku, sekarang ayo puasin aku sebelum keburu malam.” jawabnya. Lalu wanita itu bangkit dari tidurnya lalu didekatinya penis yang masih tegang.
“Karena ini yang aku bikin puas..” ujarnya lalu mulai menciumi dan mengulum penis itu. Sedang asik-asiknya mereka saling mencumbu dan memberika rangsangan kepuasan, tiba-tiba…
Brrrrraaaakkkkkk!!!
Segerombolan orang berpakaian seragam mengerebek tempat itu dan mengelilingi ranjang yang sudah acak-acakan dimana pasangan yang sedang memadu kasih itu berada. Sontak kedua insan tersebut tidak sempat menutupi tubuh mereka, dan hanya saling bersandar berdempetan pada tembok sambil menutup daerah sensitif masing-masing dengan tangan mereka.
“ANNISSA…… ARDI……. KAAALLLIAAANNN….. APAA YANG KALLIAAN LAKUKANNN?!!! AARRGGGHH DASAR KAALIAAAAAN BRENGSEK!!!” Tiba-tiba muncul seseorang dari belakang para petugas berseragam itu.
“KKKAAAANG AAAHHHMMMAADD??” wanita yang dipanggil Anissa itu menjerit histeris saat mengetahui siapa yang datang memergokinya.
Tiba-tiba dan tanpa terduga, dari belakang lelaki tersebut muncul dua pasang anak remaja yang berlari menerjang lelaki yang sedang bertelanjang.
“AANNNJJIINNNGGG….. KAAAUUU APAKAN IBUKU?”
Seorang bocah laki-laki menghambur dan melompat menendang lelaki yang masih berbugil ria itu, diikuti gadis remaja di belakangnya. Gadis itu meraih lampu meja yang tak jauh dari ranjang dan mengayunkannya untuk menghantam kepala lelaki itu.
Buggg…!!!!
Tendangan bocah itu mengenai dada lelaki itu hingga ia meringis menahan sakit. Belum selesai… dari arah samping, gadis belia itu dengan nafsu amarahnya memukulkan lampu meja sekuat tenaga pada kepala lelaki itu.
“ANNIINNDAAA JAAANGAAANNN??” teriak Anissa.
Tanpa memedulikan kondisinya yang tanpa busana, ia refleks menarik tangan gadis itu agar menjauh tapi tanpa sengaja tarikan tangannya membuat tubuh gadis remaja yang bernama Aninda itu terpental jatuh di samping ranjang dan kepalanya terbentur mengenai sudut meja hingga terluka dan jatuh pingsan.
Sontak orang-orang yang tak sempat menghalangi dua bocah itu bergerak memisahkan mereka.
“ANINDA….!!!” jerit lelaki yang bernama Ahmad sambil meraih gadis yang telah pingsan dan berlumuran darah pada kepalanya.
“….NIIIINDAAAA…” teriak bocah lelaki dengan amarah yang tak terkira melihat kondisi adiknya. Sontak ia menendang wajah Anissa dengan penuh amarah. Anissa pun terjengkang ke atas kasur.
Beberapa petugas keamanan pun mulai bergerak mengamankan bocah dan meringkus lelaki lawan main Anissa. Sementara Ahmad langsung bergerak cepat menggendong Aninda dan membawanya keluar.
Dengan tergopoh Anissa menutupi tubuhnya dengan seprei, kepalanya terasa begitu pening akibat tendangan bocah tadi. Setelah membalut tubuhnya dengan seprei, ia segera turun dari ranjang untuk mengejar Ahmad.
“DIAAAMMM DI SITU, JANGAN DEKATI NINDA…!!!” teriak Ahmad dengan geram sambil menunjuk muka Anissa. Hal itu sontak membuat semua orang yang ada disitu terdiam sejenak, karena tak menyangka orang sekalem dan sesabar Ahmad bisa murka sedemikian rupa.
Langkah Anissa terhenti, ia pun tak mengira bahwa Ahmad yang ia kenal sebagai pria lembut bisa marah seperti itu.
“Kkkaaaanggg… aaakkuu…. hiikkss mmaaaffkan akku… aakkuuu..” tubuhnya bergetar, rasa sesal dan bersalah menyelimuti hati Anissa apalagi tanpa sengaja membuat putri bungsunya terluka.
Tanpa memandang Annisa, Ahmad berdiri dan meninggalkan ruangan itu sambil menggendong Aninda. Anissa yang merasa tidak dihiraukan oleh Ahmad hanya bersimpuh di lantai sambil sesegukan menangis, lalu ia menoleh kearah bocah yang sedari tadi memandang tajam dirinya.
“Nanddaaa, maaaffkan ibumu nak, iibuuu.. hiikkss.”
“IBU… KAU INGIN AKU MEMANGGIL KAMU IBU? APA KAMU PANTAS JADI IBU AKU? APA ADA SEORANG ANAK YANG TEGA MENENDANG WAJAH IBUNYA? MELIHAT DIRIMU SEKARANG PUN AKU RASA KAMU TAK PANTAS JADI IBU KU!!” ujar bocah yang bernama Nanda tersenyum sinis.
Anisa pun langsung bersimpuh tertunduk di lantai, ia menangis dan meratapi betapa hancurnya dirinya sekarang ini. Ia yang seharusnya bisa hidup bahagia bersama keluarga, kini hanya bisa meratapi dan menyesali ulah perbuatannya sendiri. Kebahagiaannya telah hancur oleh karena ulahnya sendiri yang tak kuasa menahan godaan kenikmatan sesaat di dunia barunya ini.
--- oo0oo --
Tiga tahun sebelumnya….
Di perbatasan Provinsi Jawa Barat yang jauh dari keramaian kota, Anissa Puji Astuti (32 tahun) adalah seorang wanita lugu dan sholehah. Suaminya bernama Ahmad Darmawan (34 tahun). Mereka memiliki 2 orang anak. Putra pertama mereka bernama Ananda Rizki Ramadhan (14 tahun) dan putri bungsunya bernama Aninda Fitri Ramadhani (12 tahun).
Seperti seorang istri dan seorang ibu pada umumnya, Anissa ingin agar ia dan keluarganya mendapatkan kehidupan yang bahagia dan berkecukupan. Ia tak ingin putra-putrinya bernasib sama seperti dirinya yang merupakan anak sebatang kara tanpa orang tua karena kedua orangtuanya telah meninggal dunia saat dirinya masih balita. Anissa pun besar di sebuah Pondok Pesantren milik kenalan orang tuanya dulu.
Keanggunan dan kecantikan yang Anissa miliki, membuat Ahmad salah seorang putra tokoh desa dan boleh dibilang seorang pengusaha sukses di bidang material di wilayah itu pun jatuh hati. Dan tak butuh waktu lama setelah mereka berkenalan, Ahmad pun melamar Anissa.
Setelah mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak, Ahmad atas desakan para warga mencalonkan diri menjadi kepala desa sampai akhirnya terpilih. Karena kepiawaiannya, Ahmad pun terpilih dua periode berurut-turut memimpin desanya. Dan di saat popularitas suaminya menanjak tiba-tiba ada penawaran dari salah satu parpol yang terkenal untuk mengusung suaminya menjadi seorang bakal calon anggota legistatif.
“Kang, apa akang gak menerima tawaran mereka?” ujar Annisa sambil menyandarkan kepalanya di dada Ahmad suaminya.
“Bukan akang gak mau menerimanya, tapi akang belum siap menghadapi semua godaannya, apalagi amanat yang diberikan pada akang sangatlah berbeda dengan ketika akang menjabat sebagai kepala desa.” jawab Ahmad sambil mengusap lembut punggung Anissa.
“Iya sih kang, tapi kesempatan ini gak akan datang dua kali. Nissa kepingin anak-anak kita bisa bersekolah di kota dan memiliki hidup yang lebih baik daripada ibunya.” timpal Annisa sambil lembut Ahmad.
“Sfuuuuhh..” Ahmad hanya menghela nafas seperti sedang ada yang dipikirkan.
“Nissa percaya kok sama akang. Akang pasti bisa menghadapi semua godaan itu, lagian Nissa akan terus berada di samping akang, selalu mengingatkan akang terus dan terus tanpa henti.” Anissa tersenyum lalu dikecupnya bibir suaminya dengan lembut.
Ahmad hanya tersenyum setelah menerima kecupan di bibirnya, lalu mengelus lembut rambut Anissa dengan mesra.
“Nis, makasih kamu percaya pada akang. Tapi bukan hanya untuk akang saja godaan itu akan datang, tetapi pada kita semua.” jawab pelan Ahmad.
“Kita semua belum pernah tinggal di kota besar, aku gak mau anak-anak kita pun pasti terpengaruh Nis.. Dan… aku pun khawatir akan dirimu!!” lanjut Ahmad sambil sedikit mendesah mengeluarkan kekhawatiran dalam pikirannya.
“Maksud akang… akang gak percaya ke Nissa? Terusss Nissa bakalan terpengaruh kehidupan kota?” dengan nada sedikit tinggi Nissa bangkit dari rebahannya.
“Bbuukan… Bukan gitu.. bukan akang gak gak percaya ke Nissa tapi..!!” Ahmad tak melanjutkan ucapannya saat melihat wajah Nissa yang sedikit kecewa padanya.
“Kaangg.. Nissa dari 4 tahun hidup di pesantren, Nissa menimba ilmu agama di sana hampir 16 tahun. Nissa tahu, kang, mana pergaulan yang baik dan mana yang gak baik, dan sekarang akang meragukan Nissa. Sudah hampir 13 tahun kita hidup bersama, seharusnya akang udah mengenal Nissa bahwa Nissa akan mampu menghadapi itu semua!!” masih dengan nada tinggi.
Ahmad pun bangkit dari tidurnya dan duduk menghadap Anissa, tangannya memegang kedua pipi istrinya sambil tersenyum untuk memberikan ketenangan.
“Niss, akang percaya kok sama kamu, kamu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Yang akang takutkan adalah cobaan dan godaan itu mungkin datang pada saat kamu berada di titik terlemah kamu, apalagi di saat akang tak ada untuk melindungi kamu. Dunia kota penuh dengan persaingan dan orang bisa melakukan segala macam cara untuk menghancurkan semua yang dianggap penghalang dalam mencapai tujuan. Akang juga gak tau siapa lawan atau siapa kawan yang berada di dekat kita, akang takut semua itu menimpa kita khususnya kamu, tapi ya sudahlah… kalo emang kamu siap menghadapinya, kita akan bersama-sama akan mencobanya.” ujar Ahmad sambil tersenyum dan akhirnya Ahmad pun menyanggupi permintaan Anissa, hatinya luluh saat melihat wajah kecewa pada istrinya, biar bagaimana pun juga Anissa adalah istri yang paling ia cinta dan sayangi sepanjang hidupnya.
“Sudah jangan cemberut terus, entar cepet tua dan cantiknya ilang, senyum dong… yuk akh tidur, dah malam, lagian akang lagi pengen nih.. Malam Jumat.” sedikit berbisik menggoda dengan menjembil kedua pipi Anissa.
“Ih akang, ga mood sebel.” Anissa pun berbaring dengan memunggungi Ahmad, ia masih memperlihatkan kekecewaannya, walaupun di dalam hatinya ia merasa bahagia karena suaminya telah luluh dan mau menuruti kehendaknya.
Ahmad pun memeluk Anissa dari belakang, dikecupnya tengkuk istrinya. Dia tau titik sensitif Anissa adalah di tengkuknya, dijilatnya perlahan tengkuk istrinya dan mulai menjalar ke belakang telinga.
“Kkaaangg.. udah dong geli… gaakkk maauu.. akhhh.” desah Anissa dengan mata terpejam. Ia mencoba menepis dan masih merajuk menunjukkan kekeselannya walaupun tak dipungkiri bahwa ciuman Ahmad menaikan birahinya.
Ahmad tidak menyerah, ia malah menyelipkan tangan kirinya ke balik daster istrinya dan meremas lembut bongkahan daging di dada Anissa yang tanpa kutang. Anissa pun pasrah, ia hanya diam menikmati rangsangan Ahmad. Tanpa butuh waktu lama Ahmad pun telah melucuti daster Anissa, sehingga tubuh istrinya hanya tinggal berbalut celana dalam berwarna krem.
“Niiiss.. ssluuuurrp akang mohon kamu jangan pernah berubah.. hmmmp terus bersama akang, apapun yang akan terjadi nanti.. jangan pernah berhenti mengingatkan akang.” cumbuan Ahmad mulai beralih pada payudara Anissa dan mulai mengenyot puting kanannya. Rangsangan Ahmad pun membuahkan hasil, Anissa pun mulai mendesah menikmati sentuhan-sentuhan lembut Ahmad.
“Aaakkhhhh… kaaang..” sambil menekan kepala Ahmad pada dadanya.
“Bbeenner yah kkkanngg, daaann Nissa jjaaanji akaann slalu ddissamping akanggg,… ooouugghhh.” Anissa pun mulai melenguh dan mulai melayani suaminya, mereka pun tenggelam dalam kenikmatan persetubuhan sebagai suami istri.
Satu jam kemudian setelah merengkuh kenikmatan, mereka pun beristirahat meredakan nafas masing-masing yang masih terengah-engah. Tubuh polos Anissa menyandar memunggungi Ahmad yang sedang mencoba memejamkan mata sambil memeluknya.
“Kang, Nissa tau godaan disana lebih kuat, tapi Nissa gak akan gampang terpengaruh apalagi untuk berselingkuh di belakang akang. Nissa gak akan mudah melakukannya.” Anissa membuka suara.
“Yah.. akang percaya kok.” sambil mengangguk dan mengecup tengkuk istrinya.
“Tapi..!!” Anissa sedikit tertahan, lalu dilepaskannya pelukan Ahmad dan tubuhnya berbalik menghadap lalu kedua tangannya memegang pipi Ahmad. Ahmad pun menatap dalam mata istrinya.
“Kalo akang ngelakuin yang gak bener apalagi sampe berselingkuh, Nissa gak akan segan meninggalkan akang bersama anak-anak.” dengan tatapan tajam dan nada serius.
“Hhmm..” Ahmad hanya menanggapi dengan tersenyum.
“Dan begitu juga kalo sebaliknya, Nissa terima jika akang ama anak-anak ninggalin Nissa.” dengan lantang menyakinkan Ahmad agar mau mengikuti keiinginannya, Ahmad hanya menatap tajam pada Anissa.
“Ihh akang malah bengong, ini beneran Nissa pasti gak akan buat yang gak-gak apalagi kalo Nissa sampe selingkuh. Nissa yakin… berbekal ilmu agama Nissa gak akan mudah tergoda. Supaya ngeyakinkan akang, nih janji sumpa Nissa… kalo itu terjadi tanpa akang suruh, Nissa akan lebih dulu pergi meninggalkan akang dan anak-anak. Daripada akang sama anak-anak menanggung malu, biar Nissa yang tanggung sendiri aja.” cerocos Anissa.
“Kok jadi ngawur gitu sih omongannya, denger yah… semua itu gak akan pernah terjadi, apalagi kita dah berumah tangga 14 tahun lebih, seharusnya kita bisa saling percaya, saling mengingatkan dan menjaga satu dengan yang lainnya, bukannya punya pikiran jelek seperti itu. Sampai-sampai kamu menilai akang punya niat untuk berselingkuh… hmmm atooo jangan-jangan emang kamu dah diniatin yah untuk selingkuh.” jawab Ahmad sedikit menggoda, sambil menjiwil pipi Anissa.
“Iiihh enggak… akang mah gitu.. diajak serius ngobrolnya malah becanda terus.”
“Lagian kamu ngomongnya kejauhan. Daftar calon aja belum, yang jelas kita jalanin aja. Selama kita saling percaya, akang rasa kita akan baik-baik aja. Hmm.. ooh iya tabungan akang kelihatannya udah cukup buat beli rumah idaman kamu. Kamu kan punya impian pengen beli rumah di bukit deket pantai waktu itu, gimana kalo minggu ini kita ke sana dan cari rumah baru untuk kita.” Ahmad sedikit mengalihkan obrolan.
“Tuhh kan… akang mah bisa aja ngebelokin.. bodo akh udah gak minat..” ujar Anissa sambil langsung berbalik kembali memunggungi suaminya. Ahmad pun tersenyum melihat kelakuan istrinya.
Dan di malam itu pun mereka tenggelam dalam kehangatan kemesraan suami-istri hingga tak terasa mereka pun tenggelam dalam mimpi indah tentang harapan-harapan mereka.
---oo0oo---
Telah satu bulan Ahmad dan keluarganya pindah dan mendiami sebuah rumah tugas di kota. Ahmad akhirnya lolos dan terpilih sebagai salah satu anggota legistatif tingkat 1. Anissa pun merasakan bahagia yang tak terkira, kini semua harapan dan impiannya telah terwujud. Ia yang dulu hanya berpakaian kerudung sederhana, sekarang telah berubah tampilannya. Meskipun berkerudung, Anissa nampak semakin cantik dan modis. Hal ini ia lakukan untuk menjaga image suaminya yang notabene adalah wakil rakyat.
Di awal-awal Ahmad bekerja, Anissa selalu mengikuti suaminya dalam berbagai acara, tapi itu hanya beberapa bulan. Setelah 5 bulan Ahmad bekerja, ia mulai merasakan kesepian dalam kehidupannya, dirinya sering ditinggal sendirian dirumah tanpa teman. Ahmad yang selalu sibuk dinas seringkali mengikuti kunjungan-kunjungan keluar kota tanpa dirinya, ditambah kedua putra-putrinya yang juga telah sibuk mengikuti pelajaran di sekolah. Memang sesekali Anissa sering ikut hadir dalam acara arisan ibu-ibu di lingkungan kerja suami atau mengikuti kegiatan yang menunjang karier suaminya untuk menghilangkan kejenuhan dan kesepiannya.
Disuatu hari…
Sebelumnya saat Anissa menelepon Ahmad.
“Kang, kapan sih pulangnya masa gak ada waktu diem di rumah?” dengus Anissa.
“Nissa sayang, kan akang lagi jalanin tugas program kerja langsung dari pusat. Akang kan gak bisa nolak.” jawab Ahmad lembut.
“Tapi kan seharusnya akang sempet-sempetin dong dua hari libur, ini mah sekalinya pulang akang langsung pergi lagi, kapan dong akang punya waktunya untuk aku dan anak-anak?” cerocos Anissa yang tak terima dengan kesibukan Ahmad.
“Iiiya iyaa akang janji, sehabis ini kelar akang akan cuti, kita sempetin liburan ama anak-anak.” bujuk Ahmad.
“Basiii.. dari bulan kemaren janji-janji terus.” ketus Anissa.
“Iya.. iya.. kali ini akang gak akan ingkar deh, akang janji katanya Nissa pengen ke Bali, kita pergi kesana. Oh Nis, akang denger kamu suka jalan ama kelompok bu Christin yah?” tiba-tiba suara Ahmad berubah serius.
“Awas kalo bohong, Nissa kejar janji akang.. truss hmm … Akang tau dari mana Nissa jalan ama kelompoknya bu Christin? Cuma beberapa kali Nissa ikut mereka, itu pun ngumpul-ngumpul di cafe aja untuk ngilangin rasa jenuh, emangnya kenapa kang? ” jawab Anissa.
“Nggak. Kebetulan temen akang liat kamu jalan ama mereka. Akang cuma ngingetin supaya kamu jangan terlalu dekat ama mereka, akang kurang begitu sreg dengan mereka..” jawab Ahmad dengan intonasi tertahan membuat Anissa penasaran.
“Emang kenapa sih? Apa Nissa gak boleh bergaul dengan mereka? Kami cuma ngobrol-ngobrol gitu aja, mereka baik kok. Lagian ini kan gara-gara akang jarang di rumah, terus anak-anak sibuk dengan kegiatan mereka. Cuma mereka yang bisa nemenin Nissa.” sedikit membela diri.
“Ya sudah.. akang cuma ngingetin aja supaya hati-hati. Yaudah dulu, entar akang telepon lagi, nih acaranya udah mau dimulai lagi.” ujar Ahmad.
Tiba-tiba Anissa mendengar suara cekikikan wanita di belakang suara suaminya.
“BBeeennntaarrrr, kang. Itu suara siapa?? Kok ada suara perempuan tertawa genit gitu? Akang dimana sih?” Anissa sedikit terpekik menahan pembicaraan dia dengan Ahmad, timbul rasa ingi mengetahui tetapi gak dipungkiri dalam hatinya sudah mulai mencurigai suaminya ada main dengan wanita lain.
“Siiiaapaa? Oooo itu sekretaris temen akang, gak tau tuh lagi bahas apa, lagian ini kan akang ada di ruang rapat, kenapa kamu curiga hahaha. Udah kamu percaya saja ama akang, akang gak macem-macem kok.” jawab Ahmad, ia sudah mengerti pertanyaan istrinya yang nampaknya sedang mencurigainya.
“Ya udah, akang tutup dulu mau mulai lagi rapatnya, dah sayang. Muuah!!” mesra Ahmad.
Tetapi sebelum ditutup Anissa mendengar seorang wanita yang menggoda Ahmad, “Pak Ahmad ntar malam jadi kan? Kita reflesing, dah jenuh bahas rapat terus dari tadi, kita seneng-seneng mau kan…?”
Kliiiikkk
“Eeehh kaangg. Tunggu!!!” Anisa pun tak sempat berbicara karena teleponnya telah ditutup oleh Ahmad.
Dalam benak Anissa berkecamuk pikiran-pikiran jelek tentang kelakuan Ahmad di sana, apalagi ia mendengar cerita miring dari bu Christin tetangga di lingkungan dia sekarang yang baru dikenalnya beberapa minggu di suatu arisan. Wanita itu menceritakan bahwa setiap anggota yang sedang melakukan perjalanan dinas sering disuguhi wanita-wanita penghibur untuk menghilangkan stress dan dia juga mengakui pernah menerima job mencarikan wanita untuk menjamu para anggota dewan dari daerah lain.
Rasa ragu dan khawatir terus menyerang pikirannya. Meskipun sesekali ditepisnya, tapi tetap saja pikiran bahwa suaminya sedang bergumul dengan wanita lain selalu datang, apalagi dengan bukti suara genit wanita yang terdengar saat tadi menelepon Ahmad.
Kriiingg….
Dering telepon rumah membuyarkan pikirannya, dengan rasa malas Anissa kembali mengangkat telepon masuk.
“Hallo.” dengan nada lemas.
“Hallo, bu Anissa, kok lemes banget sih, ini aku bu Christin..!! sibuk gak?” suara di balik telepon yang ternyata bu Christin.
“Eeeh mbak… gak kok lagi santai, ini cuma suntuk aja.” jawabnya.
“Kebetulan dong, aku ini lagi di luar ngumpul ama temen-temenku di café biru, trus mau jalan dan kepikiran tuk ngajakin kamu, gimana mau?” tawarnya.
“Duh gimana yah… kepengen sih tapi anak-anak belum pada pulang?”
“Bentaran doang kok, kan ada pembantu… katanya lagi suntuk, kita havefun aja refresing ngurangin streess, kan mumpung gak ada papahnya anak-anak.. hihi!!” rayunya.
“Tapi..!!”
“Udah.. gak usah kebanyakan mikir. Bu Anissa siap siap aja, setengah jam lagi temenku jemput ke situ. Bye sampe ketemu..”
“Bu Chrris…!!”
Klikk.
Telpon langsung terputus. Anissa mendesah lalu duduk selonjoran, ia bingung apakah harus dirinya pergi, lagi pula anak-anak belum pada pulang. Tapi bayangan suaminya yang berselingkuh dengan sekretarisnya kembali muncul menambah kegalauan hatinya.
“Sepertinya bener kata Bu Christin, keliatannya aku musti ngilangin stress aku..” gumamnya. Lanjutnya lagi, “Ya udah aku siap-siap aja dulu..!” Anissa pun bergegas bersiap-siap berdandan.
Lima belas menit kemudian Anissa telah bersiap-siap, ia hanya mengenakan pakaian jilbab sederhana tapi tak menutupi aura kecantikannya. Sambil menungu jemputan ia memanggil pembantunya agar menyiapkan makanan untuk anak-anak jika mereka sudah pulang dan menitip pesan bahwa dirinya ada menemui teman.
Tinggg tonggg.
Bel pintu rumah berbunyi. Anissa pun membukakan pintu dan kini dihadapannya telah berdiri sesosok lelaki muda yang gagah dan tampan.
“Maaf dengan bu Anissa? Saya diminta jemput ibu oleh mbak Christin. Hmmmm ehhh.. Teh Nissa? Ini beneran Teh Nissa..?” lelaki itu tanpa diduga mengenali dirinya.
“Ehhh iyaa siapa yah…?” Anissa kaget bahwa lelaki muda itu mengenali dirinya dan berusaha mengingat-ingat sosok yang berdiri di hadapannya ini.
“Masa sih lupa? Coba ingat-ingat apa masih kenal dengan ini?” jawab lelaki itu sambil memasang gaya satria baja hitam.
“Arrrdiii…!!? Ya ampun ini beneran kamu? Kamu udah gede yah sekarang, ganteng pula!!” ujar Anissa sambil menutup mulutnya, ia seakan gak percaya bahwa lelaki muda yang ada di hadapannya adalah salah satu santri di tempat pasantrennya dulu.
Ardi Mulyawan (25 tahun) adalah salah satu santri yang berada dalam pengawasan Anissa kala itu. Umur mereka terpaut hampir 10 tahun. Waktu usia Ninda berumur 2 tahun, Anissa ikut membantu mengurusi kebutuhan para santri muda dan kebetulan waktu itu Ardi dipercayakan untuk menginap di rumahnya. Tetapi hanya satu tahun Ardi mengenyam ilmu di pesantren karena ada sesuatu hal yang tidak diketahui banyak orang, termasuk oleh Anissa sendiri.
“Ayoo masuk, Ar. Duh hampir aja Teteh lupa ama wajah kamu, kalo gak liat gaya gila kamu pasti deh Teteh gak ngenalin kamu hihi.” ujar Anissa.
“Gak usah, Teh. Kita langsung aja, udah ditungguin ama mbak Christin.” jawab Ardi.
“Ya udah, ayo kalo gitu!! Biii, ibu pergi dulu ya, hati-hati di rumah!!” sambil mengambil tas di sofa ia pamitan kepada pembantu rumah tangganya.
Dalam perjalanan Anissa dan Ardi tak henti mengobrol dengan sedikit tertawa mengenang waktu itu. Kehadiran Ardi membuat Anissa sejenak melupakan kegalauan dan kecurigaan hatinya pada Ahmad. Di sisi lain, Ardi tampak bersorak dalam hatinya, ia tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan sosok bidadari yang jadi bahan colinya saat itu. Sambil bercakap-cakap, dalam otaknya ia memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa menikmati tubuh bidadarinya ini.
Setibanya di tempat yang telah dijanjikan, sekelompok wanita setengah baya, yang berjumlah 6 orang sudah berkumpul. Bu Christin yang dikenalinya pun sudah ada di sana. Anissa dan Ardi pun segera bergabung bersama mereka.
“Hai Bu Anissa, akhirnya datang juga. Temen-temen, kenalin nih warga baru yang mau gabung dalam kelompok arisan kita.” sapa Christin lalu memperkenalkan Anissa pada yang lain.
“Anissa..” ia mulai memperkenalkan diri.
“Laela. Selamat gabung dengan kita-kita.” ujar wanita yang terlihat seumuran dengannya dan memiliki postur yang pendek dan montok. Ia adalah istri dari seorang guru dan temen dekat Christin sewaktu sekolah.
“Ratna.” ujar wanita umuran 45an yang memakai drees mini sehingga terlihat anggun dan cantik. Ia menyalami Anissa dengan genit sambil melirik ke arah Ardi. Ia adalah istri dari pejabat ditingkat propinsi.
“Halimah.” seorang wanita berjibab hijau memperkenalkan diri dengan sedikit dingin. Wanita berumur 39 ini pernah bertemu dengan Anissa karena sama-sama istri dari anggota legistatif, rekan Ahmad.
“Nina.. senang bertemu dengan kamu, Nis!!” ujar wanita berjilbab putih yang juga merupakan istri dari anggota legistatif.
Dan yang terakhir.
“Dini…” wanita yang memakai kaos oblong dan rok mini, dia adalah pengusaha kuliner terkenal dan seorang janda ditinggal cerai.
Bu Christin sendiri adalah seorang wanita yang berwajah cantik oriental, yang berumur tak jauh dengan Anissa. Ia adalah istri simpanan seorang pejabat pemerintah pusat, dan kadang dia pun ikut terjun dalam proyek-proyek pemerintah. Ia menggunakan dress panjang berwarna putih, belahan sampai hampir pangkal pahanya membuat ia terlihat semakin cantik dan seksi.
“Temen-temen, keliatannya kita dah lengkap dan bisa mulai membahas arisannya. Niss, kamu mau ikutan gak arisannya? Murah kok, cuma 1 juta tiap minggunya, dan dikocok per dua minggu untuk 2 pemenang.” ujar Christin memulai percakapan.
“Boleh deh dari pada jenuh di rumah.” jawab Anissa tanpa pikir panjang. Padahal sebelumnya ia belum pernah mengikuti arisan. Jangankan arisan, mengkredit suatu barang pun dia tidak pernah. Karena tuntutan lingkungan yang asing, akhirnya Anissa pun mencoba berbaur.
“Ar, keliatannya kamu senyam-senyum aja dari tadi?” tanya Ratna.
“Iya nih mbak.. lagi seneng bisa ketemu lagi ama bidadari cantik impian Ardi..” jawab Ardi seenakya sambil mengarahkan pandangan pada Anissa sehingga membuat Anissa gak enak hati dan malu.
“Apaan sih kamu, dia dulu pernah tinggal di rumah kami.” ujar Anisa dengan wajah malu, memperjelas awal dia kenal Ardi.
“Ga papa juga kali. Ardi suka ama kamu Nis, seharusnya bangga ada berondong yang mengidolakan kita. Iya gak, Bu Chris? Hihi..” timpal Dini.
“Yahh ada bakalan nempel ama dia.” gerutu Nina pelan tapi terdengar oleh Anissa.
“Kenapa, Nin?” tanya Anissa.
“Ciiee.. cemceman dia ada yang ngerebut.” ujar Bu Christin meledek, seiring dengan itu raut wajah Halimah berubah tak nyaman.
“Chriss, aku pulang dulu, gak enak ama papahnya anak-anak, ia sudah SMS terus!!” ujar Halimah sambil berdiri berpamitan.
“Iya aku juga ada janji sama anak-anak.. aku juga pulang yah.” ujar Lela yang tiba-tiba ikutan berpamitan.
“Seperti biasa kalian berdua kalo mau jalan jalan suka ngehindar.” ketus Ratna.
“Yah gimana lagi, suami pada nunggu di rumah!! Chris, aku nitip bayarin jajanan aku.” jawab Halimah sambil memberikan selembar uang 50 ribuan, dikuti juga oleh Lela.
“Ya udah ati-ati di jalan. Yuk kita bayar dulu soalnya Ardi dah booking tempat, jadi kita langsung ke sana aja.” ujar Crhistin yang sudah mengerti sifat Halimah dan Lela, Christin pun berdiri menuju kasir.
Halimah pun langsung berbalik meninggalkan tempat, tapi sebelum pulang ia bercipika-cipiki dengan Anissa dan berbisik.
“Aku harap kamu bisa menjaga kepercayaan suami kamu.” Halimah yang tadi hanya berwajah dingin lalu tersenyum dengan penuh makna, tapi Anissa tak mengerti yang dimaksud olehnya. Lela pun berpamitan cukup dengan mengangguk dan tersenyum tersirat. Dan akhirnya mereka pun Pergi.
“Teh, nanti Teteh jangan jauh-jauh dari Ardi yah, Ardi kangen ama Teteh apalagi Teteh makin cantik aja.” puji Ardi sedikit merayu genit.
“Apaan sih.. kegenitan kamu.” Anissa sedikit risih atas sikap Ardi meskipun tak dipungkiri bahwa hatinya sangat tersanjung karena pujian pemuda itu.
“Udah dong gombalannya, entar di sana aja. Oh iya, Ar, temen-temen kamu jadi kan datang?” tanya Ratna.
“Jadi dong, dan keliatannya pas deh.” jawab Ardi sambil mengacungkan jempolnya.
“Emang kita mau kemana?” tanya Anissa sedikit curiga.
“Karokean, say…” tiba-tiba Christin yang baru kembali dari kasir menjawab.
“Katanya lagi suntuk makanya aku ngajakin kamu biar terhibur. Yuk aah.” lanjutnya.
Dan akhirnya mereka pun pergi menuju tempat yang telah dipesan Ardi.
---oo0oo--
Di sebuah apartemen.
“Ini tempat apa?” tanya Anissa setengah berbisik pada Christin.
“Apartemen aku, Nis. Daripada karokean di tempat umum mending di sini aja deh, lebih asiik.” jawab Christin sambil tersenyum dan mengedipkan matanya.
“Ayo Teh masuk.” Ardi langsung merangkul pundak Anissa, membuat Anissa sedikit merasa risih. Biar bagaimana pun selama ini ia belum pernah dirangkul oleh lelaki lain selain oleh suaminya sendiri, tetapi karena merasa tidak enak pada yang lainnya ia tidak melepas rangkulan Ardi dan hanya diam saja.
Akhirnya mereka pun masuk, dan ternyata di dalam sudah ada empat orang pria muda yang sudah menunggu. Mereka mengelilingi meja yang sudah penuh oleh makanan dan minuman sambil asyiiik berkarauke ria.
“Hiii guys, dah lama nungguin?” sapa Ratna yang langsung melompat ke atas pangkuan para lelaki.
“Lumayan, Tan.” jawab salah satu dari mereka sambil iseng meremas dada Ratna.
“Iihh dah langsung genit, main remas aja.” genit Ratna.
Dini dan Nani pun tangpa sungkan langsung duduk di antara mereka. Anissa hanya bisa bengong melihat ketiga temannya yang langsung nempel, apalagi salah satunya tanpa marah ketika diremas payudaranya
“Hey Nis, ayo gabung duduk di sini, geser lu Jim.” ajak Dini sambil memberi ruang untuk Anissa samnil mendorong lelaki yang bernama Jimi.
“Eeeuu aku di sini aja deh.” ujar Anissa sambil melangkah ke arah sofa kecil. Hatinya mulai cukup berdebar melihat semua yang terasa asing dimatanya. Jantungnya berdetak cukup keras ketika ia melihat Ratna dan Nani asyiik ngobrol sambil tertawa genit dengan lelaki yang bukan suami mereka.
“Tenang aja Nis, kita mo happy-happy disini. Ya gak guys..?!!” ujar Christin yang langsung nimbrung duduk di hadapan mereka.
“Biar aku aja yang nemenin dia, Tan.” Ardi menawarkan diri dan langsung duduk di samping Anissa, tanpa ragu tangannya langsung memeluk pinggang kecilnya. Anissa tersentak kaget. Ardi yang dulu dikenalnya alim kini mulai berani memeluk dirinya, lantas ditepiskan tangan pria itu dengan pelan. Christin hanya tertawa melihat tingkah Anissa yang risih, tapi matanya seperti memberi kode pada Ardi.
“Niss, nih kamu mau minum apa.” tawar Christin sambil menuangkan botol minuman.
“Makasih, teh manis aja..” jawabnya.
“Apaa?? Hahahahaha emangnya ini warteg, Tan.” timpal salah seorang yang duduk sebelah Nani diikuti tawa yang lainnya.
“Udah.. udah jangan diledek, entar diciduk lakinya.. dia kan belum pernah. Nis, kalo itu sih gak ada, cobain ini deh.” Christin menyodorkan gelas yang tadi telah dituang, dan dengan ragu Anissa menerimanya.
“Kenapa.. kok malah diliatin, cobain deh ntar juga kamu biasa.” ujar Christin yang memperhatikan Anissa yang ragu meminum isi gelas di tangannya.
Semua lalu terdiam dan memperhatikan Anissa yang hendak minum, sesekali menyoraki dia agar segera meminumnya, dan akhirnya Anissa pun meminumnya.
“Pppppuuaaahh.. mmpuaahhh.. kok paittttt sih Chrisss?” Anissa langsung meludah menumpahkan air yang diminumnya, seketika semua tertawa melihat Anissa.
“Ini minuman keras, say.. jarang dijual lho udah mahal ditambah aku susah dapetinya.” ujar Christin sambil tertawa. Ardi hanya mesem-mesem kecil melihat bidadarinya yang sibuk melepehkan bibirnya.
“Ok, its time partyyy….!!!” Ratna yang langsung berdiri di atas sofa sambil berteriak, diikuti riuhan sorak yang lainnya, mereka pun mulai berkarauke dengan meriah.
Beberapa jam kemudian, entah apa yang ada di otak Anissa, yang jelas Anissa sekarang mulai terbiasa minum, malah ia sudah tak sungkan untuk memintanya bila gelasnya telah kosong. Tubuhnya mulai mabuk, sesekali Ardi mulai menggerayang tubuh Anissa, tapi Anissa tetap masih risih bila tubuhnya dijamah Ardi, ditepisnya tanpa membuat pemuda itu tersinggung.
Makin lama suasana semakin panas, Nina yang sudah mabuk tak sungkan berciuman di hadapan Anissa, apalagi Ratna yang sudah semakin gak malu-malu, pakaian ditubuhnya sudah mulai terlepas hanya meninggalkan pakaian dalam. Dalam keadaan seperti itu, ia duduk di pangkuan 2 orang lelaki. Mereka sesekali mengerepe tubuh dan menciumi tubuh Ratna. Ratna terlihat menikmati perlakuan dua lelaki itu dengan tubuh yang meliuk-liuk mengikuti irama musik, seakan menggoda birahi. Nina dan Christin entah kemana yang jelas pakaian yang dikenakan mereka teronggok di depan TV.
Tanpa disadari Anissa yang sedang merem-melek menikmati mabuknya, tiba-tiba Ardi merangkul dan mencium tengkuk Anissa. Mendapat ciuman di titik sensitifnya Anissa hanya melenguh menikmati jilatan itu.
“Udah lama aku ingin menikmati tubuhmu, Teh.” bisik Ardi. Entah terdengar atau tidak tubuh Anissa malah makin liar menikmati rangsangan.
Krriiinnggg.
Tiba-tiba handphone Anissa berbunyi, dengan tubuh lemas Anissa meraih dan mengangkat handphone.
“Hhaaaalooowww!!” dengan nada orang mabuk, Ardi yang gak mau melewati momen, segera memasukan tangannya ke dalam pakaian Anissa.
“Wwwww..” Anissa tersentak kaget saat menyadari tangan Ardi yang sedang meremas payudaranya, dicabutnya tangan Ardi sambil melotot tapi tak memarahinya.
“Haloo bu, ibu dimana? Kenapa menjerit ada apa?” ternyata Ahmad yang menelepon
“Euu.. ngaanuu kkaang, Nissa laagi berrrkaraouke ama Chrisstiin, ini taanggannya kejepit.” jawabnya sambil terbata-bata menjawabnya dan menyembunyikan apa yang dilakukannya Ardi,
“……..” Ahmad terdiam sejenak seperti ada yang dipikirkan. Lalu ujarnya, “Kata anak-anak kamu belum pulang, apa kamu gak tahu ini jam berapa? Aku sekarang mau pulang, aku minta kamu udah di rumah sebelum aku datang.”
Kliiik!!!
Ucapan Ahmad yang keras membuat Anissa tersadar, lalu melihat jam di dinding, ternyata sudah jam 9 malam, tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Saat dia melirik temannya Ratna dan Nina, terlihat mereka tengah bersetubuh tanpa malu. Meski masih mabuk, melihat situasi ini Anissa mulai menyadari bahwa yang dimaksud pesta oleh Ratna adalah sex party. Dengan tubuh limbung ia langsung bangun, ingin segera meninggalkan tempat ini.
“Akkku harus pulang.. suamiku mau pulang.” sambil berjalan goyah.
“Biar aku antar, Teh.” ujar Ardi sambil langsung memapah Anissa.
Saat melewati kamar terdengar erangan suara Christin dan Dini, Anissa pun menoleh ke sumber suara, seketika tertegun menyaksikan Christin dan Dini sedang saling menjilati vagina dengan posisi 69, sedangkan lubang anal mereka sedang digenjot oleh dua orang lelaki.
“Kenapa, Teh? Teteh mau kayak mereka?” bisiknya lembut.
“Ehhh nggak…” Anissa pun langsung meninggalkan ruangan, diikuti Ardi.
Selama perjalanan pulang hati Anissa tak menentu, di satu sisi ia merasa waswas jika yang dilakukannya diketahui oleh Ahmad, tetapi di sisi lain ia membayangkan Christin yang mereguh kenikmatan yang tak pernah dia lakukan sampai sekarang.
Akhirnya kendaraan yang ditumpangi Anissa telah berhenti di depan gerbang halaman rumah. Saat Ardi hendak turun, Anissa mencegahnya.
“Ar, Teteh turun sendiri saja, gak usah diantar!!” pintanya dan ia pun membuka pintu, tetapi Ardi langsung menarik tangan Anissa.
Cuuppp!!!
Bibir Ardi mencium bibir Anissa dengan lembut, dikulumnya bibir Anissa. Entah kenapa Anissa tak mencoba melawan, ia hanya diam dengan mata terpejam menikmati sentuhan di bibirnya. Merasa Anissa tak menolak tangan Ardi pun mulai meraba dan meremas lembut payudaranya.
“Sudah Ar.. kamu gak boleh melakukan ini!” Anissa pun tersadar dan mendorong tubuh Ardi.
“Teh, bagi Ardi, Teteh adalah dambaan Ardi. Sedari dulu Ardi ingin sekali memiliki Teteh, wajar kan jika Ardi mengungkapkannya sekarang.” jawab Ardi.
“Ar, kamu masih muda, usiamu jauh di bawah teteh, carilah wanita lain yang lebih pantas untuk kamu, lagian teteh sudah punya keluarga.” ujar Anissa sambil dengan lembut mengelus pipi Ardi, dalam hatinya sebenernya Anissa telah terhanyut perlakuan oleh perlakuan pemuda ini.
“Ya sudah Ardi pergi dulu.” ujar Ardi.
Anissa tersenyum lalu mengecuk pipi Ardi dan turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah, sesaat sebelum membuka pintu Anissa menengok mobil Ardi yang telah jauh berjalan.
“Dari mana kamu?” saat membuka pintu tanpa diduga Ahmad telah duduk dikursi tamu.
“Kang.. sudah pulang, habis arisan dengan bu Christin..!!” jawabnya berbohong.
“Fuuuftt.. aku udah minta kamu jangan terlalu dekat dengan dia. Kali ini aku mohon!” Ahmad pun berdiri mendekati Anissa.
“Kenapa kang, kan tak salah jika aku bergaul dengan dia.” jawab Anissa sedikit keberatan, hembusan nafas Anissa pun tercium oleh Ahmad. Membuat tatapan Ahmad pada Anissa semakin tajam dan membuat Anissa semakin risih.
“Kamu yang lebih tahu dibanding aku.” ujar Ahmad dingin lalu berbalik dan meninggalkan Anissa. Sesaat Anissa terdiam memikirkan ucapan dingin suaminya lalu ia pun melangkah menuju kamar tidurnya. Tanpa membersihkan diri, Anissa pun langsung merebahkan diri dan tertidur lelap.
Jam 2 pagi Anissa terjaga dari tidurnya, kepalanya masih terasa pening akibat mabuk tadi. Diliriknya suaminya yang sudah tertidur lelap memunggunginya. Anissa yang sudah sebulan tidak dijamah oleh suaminya, ditambah bayangan pergumulan Christin membuat birahinya terpancing. Dipeluknya Ahmad tapi pelukannya ditepis.
“Kang, Nissa lagi kepengen.” tangannya menyelusup ke dalam celana Ahmad dan meraih penis suaminya.
“Akang capek!!” ketus Ahmad sambil kembali menepis tangan Anissa, lalu bangun dan membawa bantal lalu beranjak meninggalkan Anissa sendirian di kamar.
Dengan sedikit kesal, Anissa menarik selimutnya menutupi tubuhnya. Anissa sedikit heran dengan sikap Ahmad yang gak biasa menolak jika diajak bersetubuh. Sebersit terbayang yang dilakukan Ahmad di belakangnya.
“Apa jangan-jangan kang Ahmad sudah tidur dengan sekretarisnya.” gumamnya.
Dihentakkan kakinya untuk melampiaskan kekesalannya, dan mencoba untuk kembali tidur.
Tapi bayangan suaminya yang bergumul dengan wanita lain kembali hadir, malah sosok wanita itu terlihat seperti Christin. Melihat permainan Christin yang liar dalam bayangannya membuat birahi Anissa naik, tanpa sadar tangan kirinya memainkan putting payudaranya silih berganti. Nafasnya mulai memburu dan tangan kanannya mulai merogoh ke dalam celana dalamnya yang mulai lembab akibat vaginanya yang mulai becek. Digesek klitorisnya dengan lembut dan dipilinnya putting dadanya dengan keras, khayalannya pun semakin liar, dalam bayangannya sosok Ardi muncul mencumbu dirinya.
“Arggghh terus Aaarrr, Teeetehh sukaaaa itu.“ Anissa makin liar pinggulnya makin bergoyang liar seiring gesekan tangannya sendiri, dalam bayangannya Ardilah yang sedang menjilati vaginanya. Hingga tak terasa puncak kenikmatan pun dicapainya, dengan terengah-engah dia tersenyum puas meskipun hanya bermartubasi dan kembali tertidur.
Keesokan harinya, saat terbangun, terbersit rasa sesal dalam hati Anissa karena merasa telah berselingkuh dengan Ardi walaupun hanya dalam mimpi. Teringat dirinya yang belum membersihkan tubuhnya dari semalam, Anisa pun langsung bangun dan menuju kamar mandi.
Seperti ibu rumah tangga lainnya, setelah mandi Anissa pun langsung menyiapkan makanan untuk keluarganya. Nampak Ahmad sedang duduk di ruang tengah dan asik membaca koran, Nanda sedang asik menonton film kartun kesayangannya di televisi. Anissa membawa minuman kesukaan Ahmad lalu disodorkan pada suaminya itu.
“Kang .. Kopinya..!!” ujar Anissa.
Ahmad hanya melirik ke arah kopi tanpa menjawab lalu melanjutkan membaca koran. Rasa heran atas perubahan sikap Ahmad pun kembali datang, apa mungkin Ahmad mulai berpaling darinya semenjak kehadiran sekretaris di sisi Ahmad, tanpa menyadari apa yang dilakukannya semalam.
“Bu, katanya sekarang mau belanja bulanan.” tiba-tiba Ninda muncul.
“Ohh iya, ibu lupa sekarang hari minggu. A yooo ajakin tuh ayah mumpung libur.” jawab Anissa, sendirinya pun lupa bahwa hari ini hari minggu.
“Ayah, jalan-jalan yuk ke mall, kan kita belum pernah jalan bareng.” bujuk Ninda pada Ahmad, tanpa banyak bicara Ahmad pun melipat koran dan mengangguk, lalu pergi ke kamar untuk berganti pakaian.
Nanda yang sedari tadi memperhatikan Anissa dan Ahmad pun hanya terdiam.
“Kak Nanda, ayo siap-siap ganti baju, kita jalan-jalan.” ajak Anissa, tanpa menjawab Nanda beranjak meninggalkan televisi dan masuk ke dalam kamarnya.
“Kok Nanda jadi aneh?” kembali Anissa heran.
Nanda pun jadi ikut berubah sikap padanya. Tanpa pikir panjang Anissa pun melangkah menuju kamar untuk bersalin pakaian.
Beberapa jam kemudian di supermaket, di suatu mall terkenal di kota itu, Anissa nampak sedang asik memilih barang kebutuhan rumah bersama Ninda, sedangkan Ahmad dan Nanda sedang menunggu di konter buah-buahan.
“Teteh lagi ngapain di sini?” tiba-tiba Ardi telah berdiri di sampingnya.
“Eh Ar, ini Teteh lagi belanja bulanan sama keluarga.” jawabnya sambil celangak-celinguk mencari Ahmad, ia merasa tidak enak atas kehadiran Ardi di sini.
“Ini Ninda yah, duh dah gede yah dulu kan masih kecil.” lanjut Ardi melihat Ninda di samping Anissa.
“Hmmm, jadi lupa Teteh. Iya Ar, ini Ninda. Dulu kan masih kecil. Nin, kenalin ini om Ardi, dulu dia pernah tinggal bersama kita waktu jadi santri di pasantren.” ujar Anissa memperkenalkan Ardi pada putri bungsunya.
“Ninda, Om..” Ninda pun memperkenalkan diri tapi sedikit jaga jarak.
“Cantik yah kayak teteh..!!” puji Ardi, membuat Anissa tersipu malu.
“Siapa, Bu??’ tiba-tiba Ahmad dan Nanda telah berdiri di belakang Ardi.
“Eh Kang.. ini Ardi kang, yang dulu pernah tinggal di kita, sekarang dia sudah gede kan? Kemarin Nissa ketemu ama dia di arisan!!” jawab Anissa sedikit ragu.
“Ohhh Ardi, akang masih inget. Gimana kabar kamu ama keluarga? Eh gimana ayah kamu, apa udah beres yah kasusnya?!!” sapa Ahmad dan tiba-tiba menyerempet ke masalah keluarga Ardi yang tak diketahui permasalahan oleh Anissa.
Sewaktu itu Ardi tak bisa melanjutkan pasantrennya dikarenakan ayahnya yang menjabat sebagai kepala Dinas di suatu instansi pemerintah pusat telah terciduk menerima suap dari seseorang untuk memenangkan tender proyek yang dipegang oleh ayahnya Ardi.
“Baik kang, papih sudah lama meninggal terkena serangan jantung sewaktu kasus itu dan 5 tahun kemudian mami juga telah menyusulnya.” jawabnya sedih.
“Ohh maaf akang gak tau, turut berduka cita Ar, semoga kamu bisa melewatinya, dan sekarang kamu kerja dimana??” lanjut Ahmad bertanya.
“Sekarang ardi jadi asistennya bu Christin, makanya kemarin ketemu dengan Teteh di sana.” jawab Ardi, dan jawaban Ardi membuat rona wajah Ahmad sedikit berubah.
“Oooo kamu asistenya dia.” ujarnya dengan seketika berubah menjadi dingin.
“Kak, kenalin ini om Ardi.” Anissa memperkenalkan Ardi pada Nanda tapi tanpa diduga Nanda hanya melengos pergi meninggalkan mereka.
“Nanda kamu mau kemana, gak sopan kamu.” ujar Anissa melihat sikap Nanda pada Ardi.
“Kesini bu, ngambil ice cream.” jawab Nanda tanpa menoleh.
“Maafin Nanda yah, Ar..” ujar Anissa.
Ninda dan Ahmad pun gak ikut bicara, mereka hanya terdiam.
“Gak apa-apa, Teh. Yaudah lanjut aja belanjanya, Ardi juga buru-buru. Kang.. Ninda… Ardi pamit dulu.. mari Teh!” pamit Ardi langsung meninggalkan mereka.
“Kang, kenapa ama Nanda kok jadi acuh, terus akang juga kok jadi dingin ama Ardi padahal dulu kan akrab ama dia?” tanya Anissa penasaran.
“Gak papa, mungkin akang cuma capek. Ninda ayo belanjanya, ayah pengen cepet-cepet pulang, pengen istirahat.” ujar Ahmad pada Ninda yang sedari tadi hanya bengong melihat sikap kakak dan ayahnya pada Ardi.
Dan akhirnya mereka pun melanjutkan belanja.
---oo0oo--
Sudah hampir dua bulan lebih aktifitas Anissa dengan Christin semakin intens. Kepolosan, rasa penasaran, dan ketidaktahuan atas sesuatu yang baru membuat Anissa terus mengikuti kelompoknya Christin, seringkali urusan rumah tangga menjadi terbengkalai hanya untuk berkumpul. Tidak mengherankan jika hanya dalam hitungan hari Anissa sudah mulai terpengaruh oleh gaya hidup Christin, hal itu terlihat dari cara berpakaiannya. Dulu ia sering memakai hijab, tetapi kini Anissa mulai melepasnya; cara berpakaiannya pun mulai kekinian seperti ibu-ibu sosialita.
Sementara Ahmad sendiri semakin ke sini semakin dingin seperti tak peduli meskipun tanpa ada pertengkaran yang jelas di antara mereka. Ahmad lebih sering diam atau menghindar. Jangankan menyentuh tubuh Anissa, untuk mengobrol pun Ahmad selalu saja mencari alasan untuk menghindar; ditelepon pun gak pernah diangkat. Ada kalanya Ahmad menanyakan perubahan Anissa dan menegurnya tetapi Anissa selalu membantah dengan berbagai alasan yang akhirnya Ahmad memilih diam. Entah apa yang ada di benak Ahmad dengan membiarkan istrinya berubah dan selalu mengalah dengan perubahan Anisa. Dengan diamnya Ahmad, kebebasan Anissa semakin menjadi, ia tak menyadari bahwa putra-putrinya pun mulai menjauh, malah lebih dekat dengan Ahmad.
Makin lama hubungan Ahmad dan Anissa pun renggang. Sebenarnya Anissa menyadari hal ini dan ia mulai merasa kesepian. Namun ajakan Christin untuk berkumpul membuat dirinya sedikit terhibur dan melupakan kesepiannya.
Semenjak bergaul dengan Christin, Anissa pun mulai mengetahui kebiasaan-kebiasaan mereka yang hampir tiap hari tak lepas dari pesta dan lebih parahnya lagi Anissa pun sering hadir dalam sex party, meskipun Anissa tak terlibat. Lama-lama Anissa pun mulai menikmati lingkungan barunya, ia mulai lupa diri, kadang-kadang ia pulang dalam keadaan mabuk. Meski begitu, ia masih bisa menjaga diri dari godaan syahwatnya.
Hubungan Ardi dan Anissa pun semakin intim meskipun hanya sebatas saling curhat tentang masalah yang mereka hadapi. Dan dari obrolan itu tercetus pengakuan Ardi tentang dirinyanya, Ardi ternyata hanyalah lelaki simpanan Christin, boleh dibilang sebagai budak pemuas nafsu perempuan itu. Ardi mengaku bahwa tak jarang ia melayani Anita dan yang lainnya seperti Ratna, Dini dan Nina bersama teman temannya.
Tetapi dengan tahu siapa Ardi tak membuat Anissa menjauh atau menjaga jarak, sebaliknya malah semakin akrab. Sikap Ardi yang lembut dan masih menjaga jarak pada Anissa membuat Anissa luluh dan sedikit tertarik meskipun hanya sebatas mengagumi sosok Ardi.
Semakin hari Ahmad suaminya yang semakin dingin padanya menimbulkan permasalahan baru pada Anissa, ia merindukan kehangatan dari suaminya. Kegiatan hubungan suami-istri yang dulu dilakukan hampir 2 atau 3 kali dalam seminggu, kini sudah tidak pernah terjadi lagi. Sudah dua bulan lebih Ahmad mendiamkannya.
Setiap Anissa berkumpul dengan kelompok Bu Christin, tak jarang ia menonton langsung pergumulan mereka dengan lelaki muda simpanan mereka, yang tanpa malu beraksi di hadapannya membuat nafsu birahi yang selama ini ditimbun seakan ingin terlampiaskan. Ingin rasanya ia bisa seperti mereka yang dengan bebas digauli lelaki yang bukan suaminya, tapi akal sehatnya masih berkata tidak, dan Ardi pun selalu berada disisinya, menemani tanpa menyentuhnya.
Disuatu hari di café.
“Nis, kamu mau ikut gak ke apartemenku? Kita nginep disana dah, selama kamu ikut gabung dengan kita, kamu tidak pernah ikut nginep.” ajak Christin pada Anissa.
“Duh gimana yah, aku kan gak enak ama ayahnya anak-anak, lagian aku kan gak pernah nginep tanpa suami, lagian kasian anak-anak gak ada nyiapin makanan.” tolaknya.
“Ayoolah, kan suami kamu kemarin pergi tugas ama suami aku dan lusa pulangnya, mumpung gak di rumah, dan urusan anak-anak kan ada pembantu, buat apa dibayar kalo gak ada kerjaan.” timpal Dini ikut merayu.
“Eh kalo mau tau, lakinya si Dini ini minta dicariin cewek buat nemenin laki lu ke Christin. Bener kan, Chris.” ujar Ratna mencoba memanasi Anissa, dan dijawab anggukan oleh Christin.
“Kok kamu diam aja, Din? Liat suami kamu gandengan ama cewek lain, terus waktu itu kamu gak berdosa tidur sama laki-laki lain.” tanya Anissa.
“Aku sih bodo amat, asal uang bulananku lancar, dan anak anak dah ada yang ngurus sama mertua aku. Yah aku sih tinggal nikmati aja selagi bisa, suami aku aja bisa tidur ama cewek lain kenapa aku gak bisa.. kan impas kalo aku bisa main ama cowok lain, lagian suami aku gak keberatan kok malah makin hottt aja hihi.” jawab Dini.
“Ayo dong, Nis, ikut yah. Lagian kasian si Ardi, ia ngarep banget pengen deket ama bidadarinya. Dia tuh kontolnya gede dan mainnya juga kuat. Kita-kita dah pada dientot ama dia pokoknya puas deh pelayanannya.” ujar Ratna terus mempengaruhi Anissa.
Sedikit jengah Anissa mendengar omongan Ratna. Tapi tak dipungkiri sudah berhari hari dirinya tak dijamah oleh Ahmad, membuat dirinya tergoda dan penasaran untuk melampiaskan nafsunya bersama Ardi.
“Kita liat sore yah, aku liat anak-anak dulu, ntar aku SMS kalo bisa.” sambil berdiri lalu pergi pulang.
Saat tiba di rumah, Anisasa hanya mendapati pembantu keluarga yang sedang membereskan rumah, tak terlihat putra-putrinya atau pun suaminya Ahmad.
“Bi, anak anak kemana?” tanya Anissa.
“Lah kok ibu lupa sih, Kak Nanda kan lagi kemping trus Ninda kan pergi ke rumah kakek-neneknya, lagian kan ibu dah janji ke Ninda untuk nganter nengok neneknya, tadi mereka nunggu lama dan akhirnya pergi ama bapak!! Dikira bibi ibu mau menyusul.” jawab pembantu, Anissa teringat akan janji pada Ninda untuk menemani mereka pada mertuanya.
Dirinya merasa bersalah telah mengingkari janjinya, buru-buru Anissa masuk ke rumah dan menelepon Ahmad, tapi tetap tak diangkat.
“Bi, kok bapak dah pulang sih kan dia dinas ke kota A3 hari?” tanya Anissa, hatinya waswas.
“Kata bapak, Ninda tadi nelepon ibu belum pulang padahal udah janji mau nganter dia, jadi bapak sengaja pulang dulu untuk nganter Ninda!!” terang pembantu, membuat Anissa makin merasa bersalah.
“Kang Ahmad dan Ninda keliatannya pasti marah, duh kenapa aku bisa lupa.” terbersit dalam pikirannya untuk menyusul kesana tetapi karena waktu telah sore, bis umum yang melewati desa mertuanya sudah tak ada yang lewat. Dengan perasaan tak Menentu Anissa mencoba menghubungi Ninda tetapi tetap tak ada yang menjawabnya. Sambil dengan perasaan waswas Anissa berpikir apa yang akan dilakukannya.
“Gimana kalo sekarang aku ikut Christin dan besok aku minta anter Ardi untuk menyusul suami dan anak-anakku.” gumamnya.
Ting tong..
“Bu, itu ada tamu, katanya temen ibu yang mau jemput ibu.” ujar pembantunya yang datang tergopoh-gopoh dari arah pintu depan. Anissa pun melangkah menemui tamunya.
“Teh, gimana dah siap?” sapa Ardi yang ternyata datang mejemput.
“Eh, kok kamu udah kesini lagi, kan Teteh gak ngasih kabar.” tanya Anissa keheranan.
“Sengaja Teh bikin kejutan. Gimana dah siap?” tanya Ardi.
“Duh gimana Ar..” Anissa gak mampu berbicara tentang kondisinya saat ini.
“Emang kenapa, Teh? Apa ada kang Ahmad di dalam?” Ardi celingak-celinguk ke arah dalam rumah.
“Bukaann… Ya udah deh…!! Aku ikut tapi besok mesti cepet pulang, terus kamu anterin aku.” ujar Anissa menutupi, sebenernya Anissa gak enak ama pembantunya jika dia tau pergi dengan Ardi.
“Hmmm, kemana?” tanya Ardi.
“Entar aku kasih tau, sekarang kamu nunggu di mobil bentar, aku mau siap-siap dulu!!” lanjutnya, Anissa pun masuk kedalam rumah, meninggalkan Ardi.
Setelah bersiap..
“Bi, aku mau pergi dulu, bibi hati-hati di rumah!!” pamit Nissa.
“Ya bu.” sahut pembantunya.
Anissa pun akhirnya pergi untuk menginap.
---oo0oo---