Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Friska dan Guru-Guru yang Melecehkannya

Putrilia

Suka Semprot
Daftar
23 Jun 2011
Post
23
Like diterima
285
Bimabet
BAGIAN 1 (MENUJU KEBINALAN/PERKENALAN DENGAN KONTOL)



Sekolah S, sebut saja begitu, terletak di pusat Kabupaten K. Sekolah swasta untuk pelajar SMP dan SMA. Sekolah favorit bagi orangtua tapi tidak bagi pelajarnya. Para pendiri sekolah ini berkeyakinan bisa mencetak lulusan unggul, taat, namun tetap modern. Caranya dengan mengambil hal baik dari tata cara pendidikan Islam, dipadukan dengan tata cara pengajaran ala Eropa. Hanya di sekolah ini kau akan menemukan siswi tanpa hijab, berpakaian agak terbuka, namun tidak punya pengalaman bersentuhan dengan lelaki. Pun sebaliknya, yang laki-laki tidak boleh bersentuhan dengan perempuan. Di sekolah ini, bersentuhan atau sekadar ngobrol dengan lawan jenis hukumannya setara dengan tawuran. Yaitu dikeluarkan dari sekolah saat itu juga, tanpa pembelaan.

Sekolah ini punya standar ketat dalam menerima pelajar baru. Ada batasan nilai dan background check. Sekali saja calon pelajar memiliki rekam jejak buruk, misalnya pernah berkelahi, jangan harap bisa masuk ke sekolah ini. Lulusan SMP sekolah ini pun, belum tentu bisa masuk ke jenjang SMA-nya. Meski begitu, biaya belajar di sekolah ini tetap terjangkau kantong orangtua. Padahal, sekolah ini memiliki banyak fasilitas selayaknya SMA negeri favorit. Kalau kau baca cerita ini sampai selesai, kau akan tahu dari mana pihak yayasan dan manajemen sekolah mendapatkan tambahan biaya operasional.

Begitu saja latar belakang tempat di mana cerita ini akan berjalan. Mari kita berkenalan dengan tokoh utama cerita ini. Namany Friska. Siswi kelas 12. Ayahnya seorang karyawan BUMN yang penghasilannya di atas UMR. Penghasilan itu lebih dari cukup untuk merawat dua orang gadis sampai bisa berpakaian dan bersolek dengan layak.

Tokoh utama kita ini berkulit putih. Badan proporsional. Tidak terlalu tinggi. Dan cerdas. Tentu saja masih perawan. Friska tercatat sebagai pelajar Sekolah S sejak bangku SMP.

Sebagai generasi Z, ia sudah terpapar teknologi sejak belia. Ditambah otak cerdasnya, ia bisa dengan mudah menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan jiwa mudanya yang bergejolak. Meski seks adalah hal tabu di sekolah, ia sudah tahu caranya berhubungan intim dan memuaskan laki-laki hanya berbekal informasi dari ponsel.

Kombinasi antara lingkungan yang tidak mendukung untuk membahas seks, ditambah pengetahuan seks yang ia dapatkan tanpa filter dari orangtua dan guru, membuat Friska ketagihan memuaskan dirinya sendiri. Namun hanya sebatas itu. Ia tidak pernah punya niat berpacaran diam-diam dengan lawan jenis. Birahi Friska masih bisa dikendalikan oleh otaknya yang tidak mau mengambil risiko kehilangan reputasi sebagai siswi berprestasi dengan masa depan hampir dipastikan gemilang.

“Friska, malam kumpul sama anak-anak yuk,” kata Ajeng, teman sebangkunya di bus yang sedang melaju ke lokasi perpisahan sekolah. Bus yang mengangkut Friska dan Ajeng berisi 40 siswi kelas 12 termasuk mereka berdua. Bus itu berada dalam iring-iringan bersama bus-bus lain menuju Kota Y.

“Siapa aja? Emang boleh ngumpul?” Friska heran. Sebagai demisioner pengurus OSIS, seminggu sebelum keberangkatan, dia sudah bisa mengakses rundown acara perpisahan. Seingatnya tidak ada sesi bebas.

“Anak-anak kita aja. Kamu, Michelle, Putri, Diana, sama geng Princess. Terus kumpul sama anak-anak cowok. Gengnya si Gabriel,” jawab Ajeng, setengah berbisik.

Friska tentu saja protes. Namun sebelum sempat kalimat protes terlontar, Ajeng keburu menyambar. “Ini pertemuan rahasia. Gak ada yang tahu.”

“Buat apa sih?”

“Friska, Friska. Kamu ini ya. Kita kan udah lulus sekolah. Sebentar lagi masuk perguruan tinggi. Kamu emang gak mau punya pengalaman ngobrol sama cowok gitu. Emang kamu pas kuliah nanti mau dianggap cupu sama temen-temen kamu?”

“Tapi peraturan sekolah bab dua, nomor dua.”

“Peraturan berlaku untuk pelajar. Kita ini udah lulus. Udah perpisahan. Melanggar peraturan gak berdampak berat bagi kita. Udah kamu ikut aja, sisanya biar aku yang atur,” kata Ajeng.

Friska menelan ludah. Dia memang belum pernah ngobrol atau berbicara lama dengan lawan jenis seusianya. Tawaran Ajeng berikut rasionalitas yang Ajeng berikan tampak masuk akal di otak cerdasnya.

“Ngobrol doang kan?”

“Iya lah. Emang kamu mau apa lagi? Ngewe? Kayak muat aja itu memek dimasukin kontol cowok,” sindir Ajeng.

Tempat pertemuan itu dilakukan di kamar nomor 202,di sebuah hotel yang aulanya dijadikan lokasi perpisahan. Di kamar itu Ajeng, Friska, dan enam gadis lain menginap. Jantung Friska langsung berdetak kencang saat tahu lokasi pertemuan diadakan di kamar mereka.

“Kejutan,” kata Ajeng. Setengah tertawa.

“Kamu ini tahu gak bahayanya apa?”

“Vivere pericoloso, Fris. Hiduplah dengan menyerempet bahaya,” balas Michelle.

Friska menghela napas pasrah begitu ia tahu semua anak kecuali dirinya sudah menyepakati lokasi pertemuan. Alasannya, guru-guru yang ikut dalam perpisahan semuanya laki-laki. Dan sebagaimana para murid, guru juga mematuhi aturan sekolah. Itu berarti kamar anak perempuan hampir mustahil diperiksa guru.

Friska membuka tas, mengambil beberapa pakaian, beranjak ke toilet. Namun dicegah Ajeng.

“Mau ngapain?” Kata Ajeng menarik tangan Friska. Mengarahkannya duduk kembali di kasur.

“Ganti baju,” jawab Friska. Singkat. Semua anak perempuan di ruangan itu sudah mengenakan setelan tidur.Jam memang sudah menunjuk angka setengah dua belas malam. Ada yang mengenakan baju tidur pendek, ada yang dasteran. Friska saat ini mengenakan baju tidur tanpa pakaian dalam. Payudaranya tercetak jelas di baju warna putih berbahan halus tersebut. Di bawahnya, vagina tanpa bulunya hanya ditutupi celana pendek sekali.

Gini, kata Ajeng yang sudah dianggap sebagai pemimpin geng mereka, kita lupakan semua peraturan sekolah sejenak.

“Jadi diri sendiri saja dulu. Sudah tiga tahun, Friska sama Michelle sudah enam tahun, kita semua didoktrin untuk bersikap sesuai norma yang ada. Ini kesempatan pertama dan terakhir kita lepas dari doktrin itu. Di rumah kita ditekan agar sesuai dengan ekspektasi keluarga, di sekolah kita ditekan. Kita tidak bisa jadi diri sendiri.”

Friska bengong mendengarkan pidato singkat kawannya yang bertubuh agak gempal itu. Tanpa bisa ia kontrol, vaginanya tiba-tiba jadi lembab membayangkan anak laki-laki mendatangi kamar mereka lalu melihat mereka berpakaian minim.

“Percayalah Fris, semuanya aman terkendali kok. Kita sudah menghitung semua risikonya,” kata Michelle sambil merebahkan diri di kasur yang berada di sudut ruangan dekat pintu. Kamar itu berisi total empat kasur. Masing-masing kasur diisi dua perempuan.

Tidak terasa, jam menunjuk angka 12. Ini saatnya. Sesuai perjanjian, anak-anak lelaki, totalnya delapan orang di bawah komando Gabriel akan mengendap-endap masuk ke kamar 202 dari kamar mereka di 213. Penghuni kamar 213 dipilih karena selain Gabriel dan teman-temannya ganteng, kamar itu juga berada satu lantai dengan kamar 202. Hanya terhalang tiga kamar. Semuanya sudah dipikirkan Ajeng matang-matang.

Lampu sudah lama dipadamkan. Ketukan terdengar di pintu. Tiga kali. Putri, perempuan paling imut dan paling manja di antara geng itu ditugaskan membuka pintu. Gabriel masuk beserta rombongan. Mengendap-endap.

Dalam keadaan lampu padam, rombongan itu berbaur dengan gengnya Friska. Sultan dan Robert menghampiri Friska dan Ajeng yang menghuni kasur nomor tiga dari pintu. Dua anak lelaki itu sebenarnya enggan menghampiri Ajeng. Selain kulitnya yang kecokelatan karena tidak pernah merawat diri, badan Ajeng jauh dari standar perempuan cantik. Namun sebagaimana legenda Beauty and the Beast, keduanya senang-senang saja melangkah ke kasur ketiga demi bisa melihat Friska dari dekat.

“Halo aku Sultan, ini Robert,” kata Sultan mengulurkan tangan. “Boleh ya duduk di sini.”

“Udah tahu,” balas Ajeng dengan nada judes. Jiwa kepemimpinan dan ketegasan Ajeng luruh di hadapan dua lelaki ganteng itu.

Hanya Friska yang membalas uluran tangan Sultan dan Robert, kemudian mempersilakan keduanya duduk.

Selama 10 menit, delapan pasang muda-mudi berbasa-basi membicarakan hal-hal ringan seputar kenangan di sekolah yang sebentar lagi akan mereka tinggalkan. Meski hanya mendapatkan pencahayaan dari lampu kamar mandi yang dibiarkan tetap menyala, Sultan dan Robert bisa melihat dengan jelas lekukan payudara Friska dan bentuk tembem vagina anak perempuan itu. Mata dua anak lelaki itu tidak bisa lepas dari magnet payudara dan vagina Friska yang 100 persen masih murni. Friska tahu, bagian-bagian sensitifnya sedang ditatap penuh rasa lapar. Namun ia sendiri bingung harus bersikap seperti apa karena ini kali pertama ia bisa berbicara lama dan begitu dekat dengan lawan jenis seusianya. Ia tidak pernah mendapatkan pelajaran bagaimana harus bersikap terhadap lawan jenis yang menatapnya penuh nafsu. Maka, tidak ada yang bisa ia lakukan selain bergantung kepada naluri perempuannya. Dan nalurinya mengatakan agar ia membiarkan tatapan-tatapan lapar itu memangsa bagian sensitifnya.

15 menit setelah tengah malam, terdengar ketukan di pintu.

Muda-mudi di dalam kamar seketika terdiam. Hening. Michelle menatap Putri, dengan tatapannya ia bertanya memastikan apakah pintu sudah dikunci atau belum. Putri mengangguk. Seingatnya sudah dikunci. Tidak ada yang bisa masuk.


“Ini kamarnya Michelle, pak.” Terdengar suara dari balik pintu. Suara milik guru paling killer di sekolah. Pak Slamet. Murid-murid menjulukinya sebagai Bapak Gorilla. Penampilannya memang hitam, tinggi, dan penuh bulu. Ia juga dikenal sangat tegas, dan gemar memberikan hukuman sadis kepada murid yang melanggar aturan. “Siswi favorit bapak,” tambahnya sambil terkekeh.

“Kamu bawa kuncinya?” Suara lain menyahut. Suara yang sangat dikenal murid Sekolah S. Pemilik suara itu tiap Senin memberikan wejangan di upacara bendera. Suara Lukmanius Herdiana. Kepala SMA S.

“Bawa pak,” suara lain menyahut. Milik Pak Herman. Guru Biologi. Ia dijuluki Bapak Tambun oleh murid Sekolah S karena perutnya yang buncit.

Tidak sampai dua detik setelah Pak Tambun bicara, delapan pasang muda-mudi langsung berlarian mencari tempat sembunyi. Yang lelaki, sebagian sembunyi di lemari. Ada yang sembunyi di bawah kasur. Ada juga yang lari ke kamar mandi. Sementara anak-anak perempuan memasang pose pura-pura tidur di balik selimut.

Ceklek. Pintu terbuka. Ceklek, lampu nyala.

“Aman pak?” Tanya Pak Kepsek yang berdiri di luar ke Pak Gorilla dan Pak Tambun.

“Aman. Semuanya sudah tidur,” jawab Pak Tambun. Delapan pasang muda-mudi menghela napas lega.

“Tapi saya seperti mencium aroma anak laki-laki lho di sini,” Kata Pak Gorilla. Seketika, Delapan pasang muda-mudi menahan napas.

“Kalian coba cek dan pastikan dengan seksama. Kalau beneran ada, langsung panggil orangtua mereka. Tahan kelulusan mereka gimanapun caranya karena mereka sudah mencoreng nama baik sekolah yang sudah berdiri dua puluh tahun ini,” pesan Pak Kepsek. Bunyi langkah kaki Pak Kepsek semakin menjauh, meninggalkan Pak Gorilla dan Pak Tambun serta kepanikan delapan pasang muda-mudi.

“Tuh dengar ya anak-anak perkataan Pak Kepsek. Jadi, selama bapak periksa kamar kalian, bapak harap kalian kooperatif. Semuanya sudah tidur, kan?” Kata Pak Gorilla. Tidak ada jawaban. “Berarti benar ya semuanya sudah tidur. Sekarang bapak periksa satu-satu. Bapak bakal tahu lho kalau kalian pura-pura tidur, hehehe.”

“Pak Gorilla. Ini apaan yang basah pak?” Tanya Pak Tambun sambil menunjuk bagian selangkangan Friska. Ia duduk di atas kasur nomor tiga. Selimut yang menutupi Ajeng dan Friska sudah tersibak. Dua gadis itu tidur telentang sambil memejamkan mata.

Sejak sebelum para anak lelaki masuk ke kamar, selangkangan Friska memang sudah lembab. Vaginanya makin berair tatkala selama 15 menit ia duduk dan mengobrol dengan anak laki-laki sebegitu dekat. Kondisi yang sama juga dialami anak perempuan yang lain. Apalagi selangkangan Ajeng yang sudah membanjir. Namun, Ajeng seperti transparan di mata dua guru lelaki itu.

“Wah ada cah ayu. Ajeng, hayo apa itu yang basah ya. Periksa aja pak. Kalau dia beneran tidur, pasti gak bakal melawan,” kata Pak Gorilla sambil terkekeh.

“Diperiksa gimana maksudnya pak?”

“Ya celananya dibuka dong pak.”

Pak Gorilla mendatangi kasur nomor tiga. Menarik celana pendek Friska tanpa basa-basi. Lampu kamar menyorot bagian basah di garis vagina Friska, membuat bagian cembung itu tampak berkilauan.

“Ini harus dipastikan basahnya karena apa. Sesuai pesan Pak Kepsek, harus dipastikan dan dicek dengan seksama. Apakah basah karena dia mengompol atau ada sebab lain,” kata Pak Gorilla.


“Sebab lain gimana maksudnya pak? Gimana cara memastikannya?”

“Ya karena sange misalnya karena baru ketemu anak laki-laki. Caranya memastikan gampang saja. Begini nih pak.”

Tiba-tiba saja, lidah Pak Gorilla menyeruput cairan yang menggenang di atas vagina Friska. Tidak hanya itu, lidah panas dan panjang milik guru paling tegas di Sekolah S itu menjilati tepat di garis vagina tanpa bulu milik Friska. Friska yang baru mendapatkan pengalaman itu, tanpa bisa ditahan, mendesah keras. Secara refleks pinggulnya menggeliat ke samping kanan dan kiri, berusaha menghindarkan vaginanya dari serbuan lidah gurunya itu.

“Kalau beneran tidur, kamu gak akan melawan ya nak,” kata Pak Tambun dengan senyum menyeringgai. “Ingat, kalau ketahuan kalian berbuat mesum, kalian bisa bikin malu orangtua dan nama sekolah, bisa viral karena kalian tercatat sebagai siswa sekolah favorit, kelulusan kalian juga terancam batal,” ancam Pak Tambun.

“Saya belum bisa memastikan ini cairan apa lho pak,” kata Pak Gorilla.

“Coba memeknya dibuka aja pak. Dibikin ngangkang,” saran Pak Tambun sambil memposisikan Friska mengangkang. Kini, di bawah lampu kamar, bagian dalam vagina Friska terekspos.

“Pink banget ya dalemnya. Bibirnya juga mulus gak ada gelambirnya. Lubangnya masih kecil banget, jari saya gak bakal muat nih Pak Herman. Cuman ini kelentitnya kok jadi tegang begini jangan-jangan sange nih anak,” Pak Gorilla, persis seperti Youtuber-Youtuber terkenal, memberi ulasan pada bentuk vagina Friska.

“Bentuknya bagus ya pak. Tapi rasanya enak gak ya. Itu dalemnya juga masih basah pak. Coba jilatin pak. Pastikan itu air kencing atau air memek sange,” kata Pak Tambun. Hilang sudah wibawa dua guru ini. Dengan entengnya dua guru yang patutnya digugu dan ditiru ini mengucapkan kata memek. Bahkan keduanya kini sudah meraba dan menyentuh vagina Friska.

“Gak usah dijilatin pak. Diewe aja.”

“Bapak mau ngewe anak ini? Iya sih memang harus diewe ya buat nutup mulut kita supaya gak bocorin ke Pak Kepsek kalau ada delapan anak cowok yang sembunyi di kamar ini. Kalian sebaiknya diem-diem aja ya, kalau kalian diem dan nurut, saya sama Pak Slamet juga bakal diem,” ancam Pak Tambun. Ia kemudian melangkah ke kasur nomor satu. “Pak Slamet nyikat memeknya Friska aja, saya sudah lama ngincer memek Chindo ini.”

Jemari Pak Tambun langsung mendarat di selangkangan Michelle. Perempuan keturunan Tionghoa ini mengenakan daster panjang motif bunga. Dengan cekatan, tangan guru itu menarik bagian bawah daster, membuka bagian selangkangan Michelle.

“Anak zaman sekarang emang gak pernah pake celana dalam ya pak?” Kata Pak Tambun yang kemudian melahap vagina Michelle yang terbuka.

“Gimana bentuk memeknya Chindo pak?” Dari ranjang seberang, Pak Gorilla bertanya. Kepala penisnya sudah terjepit vagina Friska yang rapat dan masih perawan.

“Bagusan punya Friska, pak. Memeknya Friska putih mulus. Memeknya Michelle putihnya, putih pucat, kayak orang mati.”

Entah kenapa ada perasaan aneh yang dirasakan Friska. Satu sisi sebentar lagi keperawanannya akan hilang oleh guru yang buruk rupa. Sebentar lagi vagina mudanya akan menerima penis untuk pertama kalinya dari laki-laki yang setua ayahnya, bukan oleh pemuda ganteng seumuran dengan dirinya. Friska seharusnya menyesal dan takut. Namun di sisi lain, ia penasaran. Sisi binal yang selama ini ia pendam mulai keluar seperti bibit bunga yang bersembunyi di bawah tanah di musim kemarau. Bibit bunga itu tumbuh dan mekar dengan cepat saat hujan pertama turun menandakan datangnya musim hujan.

“Friska sayang, bapak yakin seratus persen memek kamu masih perawan. Buktinya susah banget kontol bapak masuk ke lubang kamu. Untung memek kamu udah basah banget. Makasih ya Friska udah bikin memek perawan kamu basah, bapak jadi gampang masukinnya,” kata Pak Gorilla ke Friska. Friska tidak menjawab. Ia masih pura-pura tidur. Tubuhnya diam tegang dan kaku, namun isi pikirannya kisruh. Batinnya bertarung, antara takluk pada rasa penasaran dan memasrahkan semuanya pada insting hewaninya atau melawan. Otak cerdasnya, dibantu nafsu birahi, kemudian sampai pada kesimpulan: Gak apa-apa aku diewe, aku penasaran rasanya diewe seperti apa, terus kalau aku menyerahkan memek ini ke pak guru, nama baik aku sama orangtuaku bakal selamat, teman-temanku juga bakal selamat. Aku pengen ngerasain diewe. Pak guru, ini kontolnya udah masuk apa belum ya kok sakit, tapi enak.

“Friska sayang, terima kontol bapak ini....”
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd