sulkan
Semprot Addict
Aku mendapat tempat kos yang istimewa. Kusebut begitu karena selain harganya tidak mahal, rumahnya bagus letaknya tidak di jalan besar, di lingkungan yang tenang dan aku adalah satu-satunya laki-laki di situ. Aku mendapat kamar diatas garasi yang mempunyai akses sendiri. Di bawahku dulu bekas garasi, tetapi sudah diubah lalu disewakan untuk kos.
Aku bisa diterima disitu, karena sebelumnya kenal dengan ibu kost karena bisnis MLM. Dia kebetulan up link ku. Soal ini kalau diceritakan cukup panjang dan kurang menarik pastinya. Namun yang jelas ketika dia membinaku, akhirnya pembicaraan sampai ke masalah kost. Mungkin dia terkesan pada pribadiku sehingga dia menawarkan aku kost saja di tempatnya. Padahal dia selama ini belum pernah menerima kost laki-laki.
Sebagian besar yang indekos disitu adalah anak yang kuliah di akademi sekretaris. Akademi itu memang tidak jauh, jauhnya jika jalan kaki mungkin sekitar sepuluh menit. Sekolah itu sejak lama terkenal di Jakarta Selatan.
Rumah induk mempunyai kamar cukup banyak maka sebagian besar mereka berada di dalam rumah induk. Yang di luar hanya kamarku dan kamar bekas garasi yang dihuni dua cewek. Aku bebas membawa cewekku ke kamar jika hari minggu. Biasanya kami berendam di kamar dari jam sebelas siang sampai jam tiga sore. Ya semua yang seharusnya tidak terjadi, terjadilah. Mungkin kalau diceritakan kurang seru, karena sama pacar sendiri.
Setelah sekitar tiga bulan aku baru mulai mengenal para penghuni kos. Mereka semua ada delapan orang. Diantara mereka tinggalnya di Jakarta ini juga, tapi memang jauh dari sekolah mereka. Mungkin kurang praktis jika pulang pergi dari rumah ke sekolah. Jadinya setiap Sabtu dan Minggu rumah kos itu sepi karena sebagian besar penghuninya pulang ke rumah mereka masing-masing. Yang tinggal hanya anak-anak dari luar kota, ada dari Cirebon, Bandung dan Lampung.
Suatu malam aku lupa hari apa, listrik padam dan hujan turun sangat deras. Aku tidak bisa melakukan apa pun kecuali tiduran. Mata melek sama merem tidak ada bedanya, gelap gulita. Mungkin sudah jam sepuluh malam, tiba-tiba ada yang mengetok kamarku.
Jay, bukain dong, cepetan, kayak suara Dewi anak Bandung yang tinggal di kamar di bawahku.
Aku segera membuka pintu, memang benar, Dewi dan Ana datang berkerudung selimut dan bawa bantal segala.
Jay, aku numpang tidur dong di kamarmu, Kami takut di bawah gelap dan petirnya keras banget. Kamarku memang cukup luas, Ya sekitar 6 x 5 m dengan satu tempat tidur yang muat dua orang atau kalau dipaksakan juga cukup bertiga.
Aku tidak mungkin bisa menolak mereka, lagian ngapain rezeki gini ditolak. Mereka pun tanpa persetujuan dariku sudah mengambil posisi di tempat tidur. Tempat tidurku berada di pojok di ruangan, jadi bagian kepala dan salah satu sisinya merapat ke dinding. Dewi mengambil posisi ditengah, Ana dipinggir merapat ke tembok aku disisakan tempat di tepi.
Lampu mati kali ini cukup lama sejak hujan deras tadi mungkin sekitar jam delapan. Sampai hampir jam sebelas malam belum juga nyala. Hujan masih terus deras. Untung kamar gelap, sehingga tempat tidurku yang berantakan spreinya tidak kelihatan. Kamar bujangan mana mungkin rapi, apa lagi aku malas sekali merapikan kamar.
Mereka berdua langsung membujur, aku menempati posisi yang tersisa. Mana mungkin bisa ngantuk, tidur bertiga dengan dua cewek gitu lho, cakep-cakep lagi. Yang kupikirkan apa yang bakal terjadi dan apa pula yang harus terjadi. Apakah aku harus memulai, aku ragu apakah Dewi yang ada di dekatku suka dengan aku. Bagaimana kalau tanganku ditepis, wah malu banget rasanya. Tapi pendapat lain seperti memanas-manasi. Jangan-jangan mereka menunggu inisiatif dariku. Laki-laki kan sepantasnya yang berinisiatif. Aduh bingung aku dengan dua pendapat ini.
Akhirnya aku tidur telentang pasrah menunggu bergulirnya sejarah. Kami tidur berhimpitan, karena tempat tidur kapasitas dua orang ditempati bertiga. Dewi yang mulanya tidur miring membelakangiku, kemudian ganti posisi telentang. Lha aku kan bingung, dimana harus kuletakkan tangan kanan, agar tidak menyentuh Dewi. Tangan kananku yang memang dari tadi lurus ke bawah tidak dihindari jadi ketindih tangan kiri Dewi. Apa boleh buat, pegel terpaksa ditahan biar tidak bergerak. Aku khawatir kalau tanganku bergerak bisa menimbulkan kecurigaan, atau kalau melakukan gerakan menghindar bisa disangka aku jual mahal. Repot deh.
Diam mematung dalam keadaan spaning tentu tidak mudah. Tapi itulah tantanganku di dalam kegelapan. Tangan Dewi kemudian kurasakan mulai meremas tanganku. Aku segera paham bahwa sinyal sudah mulai dinyalakan. Untuk menyambut keramahannya, aku pun membalas meremas tangannya. Hanya sebatas itu saja aku berani bertindak.
Dewi berubah posisi lagi, kali ini miring menghadapku dan dia memelukku ibarat aku ini guling. Ya ampun, tanganku belum sempat berubah posisi dan kejadiannya tangan ini tertindih selangkangannya. Aku harus bagaimana sekarang, karena tanganku menempel dibagian paling vital Dewi, tentu aku tidak berdaya. Kalau jariku begerak sedikit saja, pasti akan memberi kesan meremas memeknya. Aduh aku nggak mau dikesankan orang yang kurang ajar. Tanganku mulai kesemutan, karena aliran darah tertahan akibat ditindih. Apa boleh buat aku harus bertahan sekuat mungkin.
Aku tidak tahu tangan dewi yang sebelah lagi ada dimana, tetapi tangan kanannya ada di atas dadaku. Dia mengelus-elus dadaku dan hidung serta mulutnya dekat sekali dengan telingaku. Sehingga aku bisa jelas memantau hembusan nafasnya. Dari pemindaianku nafasnya mulai tidak teratur, bahkan cenderung rada cepat. Ini kan nafas kalau cewek mulai diliputi nafsu birahi.
Dia menarik kepalaku lebih rapat dan diciuminya pipiku. Dia tempel terus hidungnya ke pipiku. Aku jadi mulai mendidih. Bukan hanya panas karena tubuh kami rapat, tetapi tensi birahiku juga naik. Dimiringkannya kepalaku lalu bibirnya menyusuri wajahku dan pencariannya berhenti ketika menemukan bibirku. Kami jadi berciuman dan panjang sekali rasanya.Sinyal-sinyal yang dihidupkannya mensyaratkan aku harus segera meresponnya. Tangan ku yang tadi tertindih mulai bergerak mencari sasaran.
Gundukan dibalik dasternya tentu saja menjadi sasaran. Aku remas-remas gundukan di selangkangannya. Dewi merespon dengan gerakan pinggulnya menekan-nekan tanganku. Jari yang tadi tertindih mulai mendapat tugas untuk mencari jalan. Perlahan-lahan kutarik keatas dasternya sampai jariku bisa merasakan celana dalamnya. Dewi malah membantu agar kerja jariku lebih mudah menguak penutup.
Aku meremas kambali gundukan yang kini hanya terlindung oleh celana dalam. Tidak ada ruang untuk aku menarik tanganku agar bisa masuk menyusupkan telapak tangan kananku masuk dari celah atas celana dalamnya. Satu-satunya jalan hanya menguak celdamnya dari samping. Jari ku seperti ular mencari sarangnya, jari tengah lebih trampil dari jari lainnya dalam mencari belahan vital Dewi.
Jari tengahku mulai merasakan kehangatan sekaligus kelembaban di balik bulu-bulu keriting yang ternyata sangat lebat. Si jari tengah ternyata sangat trampil dalam pencariannya, karena clitoris Dewi mulai ditemukan. Daging kecil itu sudah mengeras, sehingga mudah mencarinya. Aku segera berkosentrasi pada bagian itu.
Dewi tidak mampu menahan kenikmatan akibat gelitikan jariku di clitorisnya, sehingga walau dia berusaha menahan gerakan, sesekali dia lepas kontrol juga. Masalahnya mungkin rikuhlah karena ada Ana di sebelah yang sedang terbaring. Kan gak enak rasanya bercumbu disamping teman akrabnya tanpa ada komitmen sebelumnya.
Dewi makin erat memelukku dan aku makin intensif memainkan jariku di clitorisnya. Aku tidak bisa memperkirakan berapa lama jariku bermain di clitoris Dewi. Dia akhirnya mengejang dan ditekankannya badannya ke kakiku, sambil kurasa gerakan kontraksi di sekujur kemaluannya. Dia mencapai kepuasan. Dia lalu melemas dan aku segera menarik tanganku dari tindihannya dan kuposisikan memeluk dengan menyelinap di bawah lehernya. Tangan kananku berada dibagian belakang badannya yang miring menghadapku.
Dewi sudah jatuh tertidur. Dia mendengkur halus dekat sekali dengan telingaku. Aku jadi serba sulit, barangku jadi terabaikan, padahal sudah siap diluncurkan. Tapi mau diluncurkan bagaimana, sebab situasinya sangat tidak memungkinkan.
Listrik belum juga nyala, hujan masih deras. Wah kalau gini situasinya bakal sampai besok pagi listrik akan padam. Dalam keadaan tanpa harapan aku berusaha menidurkan diri dan menyabarkan hasratku yang cenggur (ngaceng nganggur).
Nah lho, tanganku ada yang meremas dibelakang punggung Dewi, tangan siapa lagi kalau bukan Ana. Dia tidak hanya meremas, tapi juga mencium dan bahkan menjilati jari-jariku. Aduh mak, jari-jariku kan tadi bekas terkena cairan si Dewi, pasti punya aroma khas. Tapi Ana rasanya menikmati sekali jari-jariku. Dicium dan dilomot-lomotnya jariku. Aku yang tadinya kosentrasi menuju ngantuk, jadi siuman lagi.
Tangan kulemaskan mengikuti arah yang dimaui Ana. Dia membimbing tanganku mengusap-usapkan tanganku ke wajahnya, lehernya dan ke dadanya lalu ke teteknya dari luar daster. Diberi peluang menangkap tetek, tentunya segera kurespon dengan gerakan meremas. Tangan Ana ikut membantu tanganku meremas teteknya. Tebal benar tetek Ana ini. Baru kusadari sekarang kalau tetek Ana cukup besar. Kelak kalau keadaan sudah terang aku jadi ingin menegaskan berapa besar sih tetek Ana. Sebelum ini aku tidak pernah memperhatikan tetek Ana.
Tanganku lalu dibimbing lagi menelusup ke balik daster dan langsung dibalik BHnya. Memang terasa benar besarnya. Cengkeraman tanganku terasa kurang besar terhadap tetek Ana. Kuremas-remas tetek Ana dari sebelah ke sebelah. Tugasku berikutnya adalah mencari tombol-tombol di kedua tetek itu. Pencarian tidak terlalu sulit, karena Ana memberi ruang untuk keleluasaan tanganku. Kupilin lalu kuusap. Gerakan itu terus menerus secara bergantian.
Ana yang tadi diam saja sekarang badannya terasa lasak. Bahunya bergoyang-goyang terus. Aku tentu saja khawatir, perselingkuhan tanganku ini bakal membangunkan Dewi. Tapi Ana kelihatannya sudah turun kesadaran lingkungannya.
Tanganku tiba-tiba ditarik menjauh dari teteknya. Aku segera berkesimpulan bahwa Ana tiba-tiba waras kembali otaknya. Aku turuti saja dengan melemaskan tanganku. Tapi tangan Ana tetap saja memegang tanganku. Aku merasa ada gerakan bahwa Ana mengubah posisi tidurnya. Telapak tanganku merasa menyentuh kulit lembut dan dari analisa data di otakku. Tangan ini menyentuh kulit perut.
Aku segera memindai posisi tanganku tepatnya berada dibagian apa? Memang benar, telapak tanganku menemukan pusat (udel). Ana melepas tanganku dan aku dibiarkan sendiri mencari jalan. Aku segera mengerti bahwa Ana sudah mengangkat dasternya dan memposisikan tanganku untuk mencari jalan yang benar.
Arahan itu tentu saja mudah kupahami, tanganku segera merayap ke bawah dan menemukan garis celana dalamnya. Tanganku berusaha merayap terus ke bawah sampai kutemukan bulu-bulu halus. Jangkauanku kini maksimal, padahal target belum tercapai. Ana rupanya paham, dinaikkannya badannya sedikit dan kini jari-jariku bisa mencapai belahan memeknya. Ternyata memeknya sudah basah, sehingga jari tengahku dengan mudah menyusup ke dalam dan menemukan clitoris yang sudah mengeras. Ini tentu saja membantuku menemukan sasaran yang tepat.
Aku lalu memainkan jari tengahku. Ana yang kini telentang, pinggulnya mengikuti irama sentuhan jari tengahku. Dia menggelinjang, ketika bagian paling sensitifnya tersentuh. Sesungguhnya posisi tanganku kurang nyaman, tapi aku mencoba terus bertahan, paling tidak sampai Ana puas. Aku kurang bisa memperkirakan waktu, karena gelap dan tanganku terasa pegal sekali. Aku merasa lama sekali aku mengorek kemaluan Ana ini sampai kemudian dia menjepit tanganku dan memeknya berkontraksi. Dia puas dan setelah usai kontraksinya tanganku ditariknya keluar.
Aku turuti saja dan tanganku memang pegel dengan posisi itu tadi. Dia melepaskan tanganku sementara membenahi dasternya yang terangkat tinggi. Aku menempatkan posisi tanganku pada posisi yang paling nyaman.
Ana membawa tanganku agar berada di posisi di bawah lehernya dan menerobos kebelakang punggungnya. Aku bagaikan memeluk dua wanita sekaligus. Mereka berdua puas dan tertidur, sementara aku cenggur makin parah. Tapi kutentramkan hasratku, dan itung-itung pengorbanan untuk investasi masa depan.
Paginya aku terbangun karena mereka berdua menciumi pipiku sambil mengucapkan terima kasih lalu mereka keluar kamar. Aku berkesimpulan jalan sudah terbuka, tinggal aku mengatur bagaimana melanjutkan alur yang sudah terbangun. Mereka berdua sebenarnya tahu kalau aku punya cewek yang setiap Minggu selalu aku benam di kamarku. Tapi nampaknya itu tidak menghalangi keakraban mereka denganku.
Aku bisa diterima disitu, karena sebelumnya kenal dengan ibu kost karena bisnis MLM. Dia kebetulan up link ku. Soal ini kalau diceritakan cukup panjang dan kurang menarik pastinya. Namun yang jelas ketika dia membinaku, akhirnya pembicaraan sampai ke masalah kost. Mungkin dia terkesan pada pribadiku sehingga dia menawarkan aku kost saja di tempatnya. Padahal dia selama ini belum pernah menerima kost laki-laki.
Sebagian besar yang indekos disitu adalah anak yang kuliah di akademi sekretaris. Akademi itu memang tidak jauh, jauhnya jika jalan kaki mungkin sekitar sepuluh menit. Sekolah itu sejak lama terkenal di Jakarta Selatan.
Rumah induk mempunyai kamar cukup banyak maka sebagian besar mereka berada di dalam rumah induk. Yang di luar hanya kamarku dan kamar bekas garasi yang dihuni dua cewek. Aku bebas membawa cewekku ke kamar jika hari minggu. Biasanya kami berendam di kamar dari jam sebelas siang sampai jam tiga sore. Ya semua yang seharusnya tidak terjadi, terjadilah. Mungkin kalau diceritakan kurang seru, karena sama pacar sendiri.
Setelah sekitar tiga bulan aku baru mulai mengenal para penghuni kos. Mereka semua ada delapan orang. Diantara mereka tinggalnya di Jakarta ini juga, tapi memang jauh dari sekolah mereka. Mungkin kurang praktis jika pulang pergi dari rumah ke sekolah. Jadinya setiap Sabtu dan Minggu rumah kos itu sepi karena sebagian besar penghuninya pulang ke rumah mereka masing-masing. Yang tinggal hanya anak-anak dari luar kota, ada dari Cirebon, Bandung dan Lampung.
Suatu malam aku lupa hari apa, listrik padam dan hujan turun sangat deras. Aku tidak bisa melakukan apa pun kecuali tiduran. Mata melek sama merem tidak ada bedanya, gelap gulita. Mungkin sudah jam sepuluh malam, tiba-tiba ada yang mengetok kamarku.
Jay, bukain dong, cepetan, kayak suara Dewi anak Bandung yang tinggal di kamar di bawahku.
Aku segera membuka pintu, memang benar, Dewi dan Ana datang berkerudung selimut dan bawa bantal segala.
Jay, aku numpang tidur dong di kamarmu, Kami takut di bawah gelap dan petirnya keras banget. Kamarku memang cukup luas, Ya sekitar 6 x 5 m dengan satu tempat tidur yang muat dua orang atau kalau dipaksakan juga cukup bertiga.
Aku tidak mungkin bisa menolak mereka, lagian ngapain rezeki gini ditolak. Mereka pun tanpa persetujuan dariku sudah mengambil posisi di tempat tidur. Tempat tidurku berada di pojok di ruangan, jadi bagian kepala dan salah satu sisinya merapat ke dinding. Dewi mengambil posisi ditengah, Ana dipinggir merapat ke tembok aku disisakan tempat di tepi.
Lampu mati kali ini cukup lama sejak hujan deras tadi mungkin sekitar jam delapan. Sampai hampir jam sebelas malam belum juga nyala. Hujan masih terus deras. Untung kamar gelap, sehingga tempat tidurku yang berantakan spreinya tidak kelihatan. Kamar bujangan mana mungkin rapi, apa lagi aku malas sekali merapikan kamar.
Mereka berdua langsung membujur, aku menempati posisi yang tersisa. Mana mungkin bisa ngantuk, tidur bertiga dengan dua cewek gitu lho, cakep-cakep lagi. Yang kupikirkan apa yang bakal terjadi dan apa pula yang harus terjadi. Apakah aku harus memulai, aku ragu apakah Dewi yang ada di dekatku suka dengan aku. Bagaimana kalau tanganku ditepis, wah malu banget rasanya. Tapi pendapat lain seperti memanas-manasi. Jangan-jangan mereka menunggu inisiatif dariku. Laki-laki kan sepantasnya yang berinisiatif. Aduh bingung aku dengan dua pendapat ini.
Akhirnya aku tidur telentang pasrah menunggu bergulirnya sejarah. Kami tidur berhimpitan, karena tempat tidur kapasitas dua orang ditempati bertiga. Dewi yang mulanya tidur miring membelakangiku, kemudian ganti posisi telentang. Lha aku kan bingung, dimana harus kuletakkan tangan kanan, agar tidak menyentuh Dewi. Tangan kananku yang memang dari tadi lurus ke bawah tidak dihindari jadi ketindih tangan kiri Dewi. Apa boleh buat, pegel terpaksa ditahan biar tidak bergerak. Aku khawatir kalau tanganku bergerak bisa menimbulkan kecurigaan, atau kalau melakukan gerakan menghindar bisa disangka aku jual mahal. Repot deh.
Diam mematung dalam keadaan spaning tentu tidak mudah. Tapi itulah tantanganku di dalam kegelapan. Tangan Dewi kemudian kurasakan mulai meremas tanganku. Aku segera paham bahwa sinyal sudah mulai dinyalakan. Untuk menyambut keramahannya, aku pun membalas meremas tangannya. Hanya sebatas itu saja aku berani bertindak.
Dewi berubah posisi lagi, kali ini miring menghadapku dan dia memelukku ibarat aku ini guling. Ya ampun, tanganku belum sempat berubah posisi dan kejadiannya tangan ini tertindih selangkangannya. Aku harus bagaimana sekarang, karena tanganku menempel dibagian paling vital Dewi, tentu aku tidak berdaya. Kalau jariku begerak sedikit saja, pasti akan memberi kesan meremas memeknya. Aduh aku nggak mau dikesankan orang yang kurang ajar. Tanganku mulai kesemutan, karena aliran darah tertahan akibat ditindih. Apa boleh buat aku harus bertahan sekuat mungkin.
Aku tidak tahu tangan dewi yang sebelah lagi ada dimana, tetapi tangan kanannya ada di atas dadaku. Dia mengelus-elus dadaku dan hidung serta mulutnya dekat sekali dengan telingaku. Sehingga aku bisa jelas memantau hembusan nafasnya. Dari pemindaianku nafasnya mulai tidak teratur, bahkan cenderung rada cepat. Ini kan nafas kalau cewek mulai diliputi nafsu birahi.
Dia menarik kepalaku lebih rapat dan diciuminya pipiku. Dia tempel terus hidungnya ke pipiku. Aku jadi mulai mendidih. Bukan hanya panas karena tubuh kami rapat, tetapi tensi birahiku juga naik. Dimiringkannya kepalaku lalu bibirnya menyusuri wajahku dan pencariannya berhenti ketika menemukan bibirku. Kami jadi berciuman dan panjang sekali rasanya.Sinyal-sinyal yang dihidupkannya mensyaratkan aku harus segera meresponnya. Tangan ku yang tadi tertindih mulai bergerak mencari sasaran.
Gundukan dibalik dasternya tentu saja menjadi sasaran. Aku remas-remas gundukan di selangkangannya. Dewi merespon dengan gerakan pinggulnya menekan-nekan tanganku. Jari yang tadi tertindih mulai mendapat tugas untuk mencari jalan. Perlahan-lahan kutarik keatas dasternya sampai jariku bisa merasakan celana dalamnya. Dewi malah membantu agar kerja jariku lebih mudah menguak penutup.
Aku meremas kambali gundukan yang kini hanya terlindung oleh celana dalam. Tidak ada ruang untuk aku menarik tanganku agar bisa masuk menyusupkan telapak tangan kananku masuk dari celah atas celana dalamnya. Satu-satunya jalan hanya menguak celdamnya dari samping. Jari ku seperti ular mencari sarangnya, jari tengah lebih trampil dari jari lainnya dalam mencari belahan vital Dewi.
Jari tengahku mulai merasakan kehangatan sekaligus kelembaban di balik bulu-bulu keriting yang ternyata sangat lebat. Si jari tengah ternyata sangat trampil dalam pencariannya, karena clitoris Dewi mulai ditemukan. Daging kecil itu sudah mengeras, sehingga mudah mencarinya. Aku segera berkosentrasi pada bagian itu.
Dewi tidak mampu menahan kenikmatan akibat gelitikan jariku di clitorisnya, sehingga walau dia berusaha menahan gerakan, sesekali dia lepas kontrol juga. Masalahnya mungkin rikuhlah karena ada Ana di sebelah yang sedang terbaring. Kan gak enak rasanya bercumbu disamping teman akrabnya tanpa ada komitmen sebelumnya.
Dewi makin erat memelukku dan aku makin intensif memainkan jariku di clitorisnya. Aku tidak bisa memperkirakan berapa lama jariku bermain di clitoris Dewi. Dia akhirnya mengejang dan ditekankannya badannya ke kakiku, sambil kurasa gerakan kontraksi di sekujur kemaluannya. Dia mencapai kepuasan. Dia lalu melemas dan aku segera menarik tanganku dari tindihannya dan kuposisikan memeluk dengan menyelinap di bawah lehernya. Tangan kananku berada dibagian belakang badannya yang miring menghadapku.
Dewi sudah jatuh tertidur. Dia mendengkur halus dekat sekali dengan telingaku. Aku jadi serba sulit, barangku jadi terabaikan, padahal sudah siap diluncurkan. Tapi mau diluncurkan bagaimana, sebab situasinya sangat tidak memungkinkan.
Listrik belum juga nyala, hujan masih deras. Wah kalau gini situasinya bakal sampai besok pagi listrik akan padam. Dalam keadaan tanpa harapan aku berusaha menidurkan diri dan menyabarkan hasratku yang cenggur (ngaceng nganggur).
Nah lho, tanganku ada yang meremas dibelakang punggung Dewi, tangan siapa lagi kalau bukan Ana. Dia tidak hanya meremas, tapi juga mencium dan bahkan menjilati jari-jariku. Aduh mak, jari-jariku kan tadi bekas terkena cairan si Dewi, pasti punya aroma khas. Tapi Ana rasanya menikmati sekali jari-jariku. Dicium dan dilomot-lomotnya jariku. Aku yang tadinya kosentrasi menuju ngantuk, jadi siuman lagi.
Tangan kulemaskan mengikuti arah yang dimaui Ana. Dia membimbing tanganku mengusap-usapkan tanganku ke wajahnya, lehernya dan ke dadanya lalu ke teteknya dari luar daster. Diberi peluang menangkap tetek, tentunya segera kurespon dengan gerakan meremas. Tangan Ana ikut membantu tanganku meremas teteknya. Tebal benar tetek Ana ini. Baru kusadari sekarang kalau tetek Ana cukup besar. Kelak kalau keadaan sudah terang aku jadi ingin menegaskan berapa besar sih tetek Ana. Sebelum ini aku tidak pernah memperhatikan tetek Ana.
Tanganku lalu dibimbing lagi menelusup ke balik daster dan langsung dibalik BHnya. Memang terasa benar besarnya. Cengkeraman tanganku terasa kurang besar terhadap tetek Ana. Kuremas-remas tetek Ana dari sebelah ke sebelah. Tugasku berikutnya adalah mencari tombol-tombol di kedua tetek itu. Pencarian tidak terlalu sulit, karena Ana memberi ruang untuk keleluasaan tanganku. Kupilin lalu kuusap. Gerakan itu terus menerus secara bergantian.
Ana yang tadi diam saja sekarang badannya terasa lasak. Bahunya bergoyang-goyang terus. Aku tentu saja khawatir, perselingkuhan tanganku ini bakal membangunkan Dewi. Tapi Ana kelihatannya sudah turun kesadaran lingkungannya.
Tanganku tiba-tiba ditarik menjauh dari teteknya. Aku segera berkesimpulan bahwa Ana tiba-tiba waras kembali otaknya. Aku turuti saja dengan melemaskan tanganku. Tapi tangan Ana tetap saja memegang tanganku. Aku merasa ada gerakan bahwa Ana mengubah posisi tidurnya. Telapak tanganku merasa menyentuh kulit lembut dan dari analisa data di otakku. Tangan ini menyentuh kulit perut.
Aku segera memindai posisi tanganku tepatnya berada dibagian apa? Memang benar, telapak tanganku menemukan pusat (udel). Ana melepas tanganku dan aku dibiarkan sendiri mencari jalan. Aku segera mengerti bahwa Ana sudah mengangkat dasternya dan memposisikan tanganku untuk mencari jalan yang benar.
Arahan itu tentu saja mudah kupahami, tanganku segera merayap ke bawah dan menemukan garis celana dalamnya. Tanganku berusaha merayap terus ke bawah sampai kutemukan bulu-bulu halus. Jangkauanku kini maksimal, padahal target belum tercapai. Ana rupanya paham, dinaikkannya badannya sedikit dan kini jari-jariku bisa mencapai belahan memeknya. Ternyata memeknya sudah basah, sehingga jari tengahku dengan mudah menyusup ke dalam dan menemukan clitoris yang sudah mengeras. Ini tentu saja membantuku menemukan sasaran yang tepat.
Aku lalu memainkan jari tengahku. Ana yang kini telentang, pinggulnya mengikuti irama sentuhan jari tengahku. Dia menggelinjang, ketika bagian paling sensitifnya tersentuh. Sesungguhnya posisi tanganku kurang nyaman, tapi aku mencoba terus bertahan, paling tidak sampai Ana puas. Aku kurang bisa memperkirakan waktu, karena gelap dan tanganku terasa pegal sekali. Aku merasa lama sekali aku mengorek kemaluan Ana ini sampai kemudian dia menjepit tanganku dan memeknya berkontraksi. Dia puas dan setelah usai kontraksinya tanganku ditariknya keluar.
Aku turuti saja dan tanganku memang pegel dengan posisi itu tadi. Dia melepaskan tanganku sementara membenahi dasternya yang terangkat tinggi. Aku menempatkan posisi tanganku pada posisi yang paling nyaman.
Ana membawa tanganku agar berada di posisi di bawah lehernya dan menerobos kebelakang punggungnya. Aku bagaikan memeluk dua wanita sekaligus. Mereka berdua puas dan tertidur, sementara aku cenggur makin parah. Tapi kutentramkan hasratku, dan itung-itung pengorbanan untuk investasi masa depan.
Paginya aku terbangun karena mereka berdua menciumi pipiku sambil mengucapkan terima kasih lalu mereka keluar kamar. Aku berkesimpulan jalan sudah terbuka, tinggal aku mengatur bagaimana melanjutkan alur yang sudah terbangun. Mereka berdua sebenarnya tahu kalau aku punya cewek yang setiap Minggu selalu aku benam di kamarku. Tapi nampaknya itu tidak menghalangi keakraban mereka denganku.