Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
PART 5


Denta Pov

Sore ini, hujan turun sangat deras hingga membasahi setiap lamunan. Terdengar suara gemuruh petir menggelegar bagai cambuk yang menghantam kuat menuju daratan. Dan, aku masih tetap memandangi langit gelap hingga pandangku menerobos jendela dan sampai pada kejauhan awan-awan yang entah kapan berhenti menebar tangis. Saat ini, aku berusaha memahami diriku sendiri yang terus digelayuti rasa bimbang. Aku bimbang akan nasib Dewi di kemudian hari. Entahlah, yang jelas saat ini serasa ada perasaan yang sangat kuat yang menyarankan aku untuk menyelamatkan Dewi.

Dengan payung aku menerobos hujan deras menuju mobilku yang terparkir di halaman rumah. Kubuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya. Menyalakan mesinnya agar panas. Kusandarkan punggungku ke jok mobil. Mendongak ke atas dengan mata terpejam. Diam-diam kuraba isi hatiku. Ternyata begitu susahnya menghapus Dewi dalam ingatan. Kuhela napas dalam-dalam dan rasanya masih sesak. Kuhembuskan lalu kuhela lagi dan rasanya masih sama. Akhirnya aku lebih memilih berangkat ke tempat yang bisa membuka kebimbangan hatiku.

Padahal dia itu penjahat ... Tapi kenapa aku sangat ingin menolongnya ...” Gumamku dalam hati. Benar-benar aku tidak mengerti dengan isi hatiku. Seolah ada kekuatan yang mendorongku untuk memastikan akan sebuah kebenaran. Betapa tidak, terbersit di pikiranku, jangan-jangan pria di restoran yang bersama Dewi tempo hari adalah biang keladinya.

Wiper terus bergoyang membasuh percikan hujan yang jatuh di kaca mobil. Mobil pun jalan perlahan karena jalanan desa yang lumayan parah tergenang air. Setengah jam lebih aku berkendaraan hingga akhirnya sampai di rumah bi Isah. Aku memutuskan ke rumah bibiku ini karena saran-sarannya terkadang masuk akal dan juga bi Isah terkenal sekali sebagai wanita biang gosip, mungkin akan banyak cerita yang bisa kujadikan referensi.

Ketika aku turun dari mobil dan mendapati bi Isah sedang berdiri di depan pintu rumah dengan rokok yang terselip di bibirnya. Hujan masih saja deras seperti dua jam yang lalu, seakan enggan untuk berhenti. Aku pun mengambil ancang-ancang untuk berlari menerobos hujan. Aku belari sekencang-kencangnya dan sampai juga di hadapan bi Isah.

“Mau ngajak bibi ngebaso?” Langsung saja keluar candaan bi Isah. Aku pun tersenyum sambil mengibas-ngibaskan air hujan yang melekat di rambut dan pakaianku.

“Kalau mau ... Nunggu hujan reda ...” Kataku santai.

“Masuk!” Kata bi Isah sembari masuk ke dalam rumahnya. Sementara aku mengikutinya dari belakang, sambil menimbang apa yang sebaiknya kulakukan atau kukatakan.

Setelah menutup pintu depan, aku menuju ruang tengah rumah. Dari balik pintu bagian tengah, terlihat ruangan seluas lebih kurang 3x3 meter, seorang wanita sedang duduk bersila di lantai beralaskan karpet. Posisi duduknya yang sembarangan kemudian ia betulkan, matanya memandangku tanpa berkedip. Aku pun sedikit terkesiap, tak menyangka akan bertemu lagi dengan wanita seusia bibiku di tempat ini.

“Nah ... Akhirnya ketangkep juga ... Aku sekarang bisa menghajarmu ...” Suara kesalnya kentara sekali dibuat-buat.

“He he he ... Masih dendam aja sama aku, bi ...?” Tanyaku bercanda sambil duduk di sebelahnya.

“Plaaakkk ...!” Ia memukul pahaku agak keras. Wanita itu bernama bi Rani yang dulu sering kuintip kalau sedang mandi di sungai dan aku sering sekali kepergok olehnya.

“Kamu ini suka ngintipin bibi mandi ... Kamu memang kurang ajar ...” Ujarnya sambil melotot namun tetap saja terlihat sedang berdrama.

“Ha ha ha ... Kan bukan aku saja yang ngintip ... Lagian, sukanya mandi di sungai tempat kami mancing ...” Sanggahku sambil tertawa.

“Hi hi hi ... Emang dia mah mesum, Ran ... Jangankan kamu, bibinya saja dia intipin ...” Sambung bi Isah yang sukses membuat pipiku memanas.

“Huh ... Dasar ... Mana ah! Bibi minta ganti rugi!” Kata bi Rani sembari membuka telapak tangannya seperti meminta sesuatu.

“Iya ... Nanti aku kasih ... Tapi sekarang aku ingin bicara dulu yang penting ... Aku ingin minta saran sama kalian ...” Kataku mulai serius. Kukeluarkan rokok dalam saku celana lalu membakarnya sebatang.

“Ran ... Bikin kopi ...” Ucap bi Isah kepada teman gosipnya. Bi Rani pun bangkit lalu bergerak ke dapur. “Kamu mau ngobrolin Tatang kan?” Tanya bi Isah seolah tahu isi kepalaku.

“Iya ...” Jawabku singkat lalu menghisap rokok dalam-dalam. Memang aku berinsiatif untuk mengajak bi Isah bicara tentang kematian Tatang, tetapi aku tidak tahu harus dimulai dari mana dulu.

“Si Tatang matinya memang dibunuh Kosim ... Tapi orang semacam Kosim gak bakalan ujug-ujug kalau gak ada sebab musababnya ... Lagi pula, si Kosim itu orangnya gak banyak tingkah, orangnya baik kok ... Ini pasti ada apa-apanya ...” Bi Isah mulai berprediksi. Aku merenung setelahnya, apakah aku langsung to the point saja pada bi Isah. “Hei ...! Malah ngelamun ...?!” Ujar bi Isah sambil menepuk pahaku.

“Em ... Gini bi ... Aku dapet informasi dari si Ridwan ... Si Ridwan polisi ...” Aku tahan ucapanku dan terlihat bi Isah menggut-manggut. Aku yakin bi Isah masih mengenal temanku yang satu itu. “Kata si Ridwan, kalau ibu Dewi terlibat dengan pembunuhan ini ...” Aku terpaksa berkata bohong untuk menghindari salah persepsi dan menyembunyikan pertemuanku dengan Kosim di penjara.

“Kita juga sudah menyangka ke situ ...” Tiba-tiba bi Rani datang dengan membawa baki berisi kopi tiga gelas. Ia pun meletakkan baki di tengah-tengah kami bertiga.

“Benar dugaan bibi juga ... Kalau Dewi terlibat pembunuhan suaminya ... Bibi dari dulu sudah melihat kalau Dewi hanya mengincar harta si Tatang saja ...” Jelas bi Isah sangat serius.

“Dewi itu gak mencintai suaminya ... Aku sering lihat kalau si Dewi sering jalan sama laki-laki lain ...” Sambung bi Rani mempertajam pernyataan bi Isah.

“Nah ... Apa bibi kenal dengan si laki-laki yang sering jalan sama ibu Dewi?” Tanyaku mulai antusias. Aku tatap wajah bi Rani lekat-lekat.

“Namanya Jaja ... Dia dulu pacar si Dewi waktu masih sekolah ... Si Jaja sekarang tinggal di kota kabupaten ...” Ungkap bi Rani yang pantas sekali kalau dijadikan informan polisi.

“Bibi tau alamat Jaja di kota kabupaten?” Tanyaku lagi.

“Em ... Tau persis sih nggak ... Tapi, menurut kabar rumahnya deket dengan Polres ...” Jawab bi Isah sambil mengerungkan dahinya.

“Ya, bisa jadi mereka berdua yang merencanakan pembunuhan ... Kedua orang itu pengen bersatu terus membunuh si Tatang deh ... Jadi alesannya karena cinta ... Hi hi hi ...” Kata bi Isah yang diakhiri dengan kekehannya.

Sangat beralasan apa yang dikemukakan bi Isah, bisa jadi karena cinta Dewi berani melakukan hal yang sangat bodoh itu. Kami pun terus berdiskusi tepatnya bergosip ria tentang kehidupan Dewi. Kepulan asap rokok dari kami bertiga membumbung tinggi ke udara terus menuntun arah obrolan tentang kasus pembunuhan Tatang. Ternyata gosip yang aku dengar benar-benar bermanfaat, setidaknya aku bisa lebih jelas melihat posisi Dewi dalam kasus ini.

Hujan pun reda, jam menunjukkan pukul 19.05 malam. Setelah ‘dipalak’ oleh kedua wanita itu, aku pun meninggalkan rumah bi Isah. Setelah lima belas menit berlalu, tibalah aku di jalanan becek yang dalam, jebakan bagi semua jenis kendaraan kecuali kapal terbang. Kendaraan melaju sangat pelan, dibutuhkan tingkat kesabaran sangat tinggi untuk melalui jalan ini. Akhirnya aku sampai di jalanan yang agak mulus dan melanjutkan perjalananku ke kota kabupaten.

Singkat cerita, aku sampai juga di rumah Dewi. Aku berjalan menuju pintu rumah megah itu. Tiba-tiba terlihat seseorang yang sepertinya sedang menunggu. Dia duduk di kursi teras rumah dengan raut muka penuh kegelisahan. Sorot matanya pun terlihat sayu menatapku yang baru saja datang. Wanita cantik itu menatapku, tak ada senyum juga sapaan. Dia tidak mengindahkan kedatanganku, matanya fokus menatap layar smartphone yang memantulkan cahaya membias di balik mata bening miliknya. Sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Namun yang jelas aku merasa iba dan kasihan melihatnya.

“Angin malam tidak baik untuk kesehatan.” Aku mulai pembicaraan yang sepertinya akan sangat berat karena suasana hati lawan bicaraku sedang tak karuan. “Ada yang ingin aku bicarakan.” Akhirnya aku keluarkan kata-kata yang sukses membuat Dewi menoleh ke arahku sambil mengernyit, kedua alisnya hampir bertemu.

Aku pun duduk di kursi sebelah meja yang memisahkan antara kursinya dan kursiku. Aku coba merangkai kata dalam hati sebelum akhirnya aku benar-benar membuka obrolan yang sesungguhnya. Aku tarik nafas dulu biar sedikit relaks.

“Ibu ... Sebenarnya aku tahu apa yang sedang terjadi ... Aku tidak akan bertanya kenapa ibu melakukan itu ... Tapi, sebaiknya yang harus ibu lakukan saat ini adalah pergi sejauh mungkin dari sini karena polisi akan segera mengetahui perbuatan ibu ...” Tegasku dengan suara dibuat lembut. Seketika itu juga, aku bisa melihat kalau Dewi sangat terkejut.

“Ah ... Ka..kau ...” Dewi terperanjat hebat dan langsung membangunkan diri. “Ja..jadi ...” Ucapannya tidak tuntas. Nampak jelas sekali kalau ia sedang terkejut hebat terlihat pada ekspresi wajahnya kala itu. Dewi menatapku dengan berkaca-kaca seakan tidak percaya bahwa aku mengetahui perbuatannya.

“Ibu Dewi gak usah khawatir ... Aku akan diam ... Dan aku akan membantu ibu untuk menyelesaikan masalah ini ...” Ungkapku sejujur-jujurnya. Aku melihat sangat jelas ada keraguan di dalam gesturenya. “Percayalah padaku ... Aku akan membantu ibu ... Dan jangan pernah ragu padaku ...” Kataku lagi penuh penekanan.

“A..aku gak..***k tau ...” Ucapnya terbata-bata dan sangat terlihat jelas sekali kebingungan menyelimuti wajahnya yang ayu. Dewi duduk kembali di tempatnya. Badannya lemas seperti tidak ada tenaganya.

“Sekarang ... Ibu persiapkan saja baju dan barang-barang ... Ibu harus segera pergi dari sini ...” Pintaku sangat serius. “Ibu harus bergerak cepat sebelum polisi datang menjemput ibu.” Kataku lagi.

Dewi tertegun dalam diamnya malah sekarang bahunya sudah berguncang kecil dan terdengar isak tangisnya yang sangat pelan. Aku semakin kasihan melihatnya. Kuhampiri dia dan berdiri tepat di depannya. Dia menengadahkan wajahnya menatapku. Wajah penuh harap. Kuletakkan kedua tanganku di pundaknya.

“Carilah tempat persembunyian yang aman untuk sementara waktu.” Kataku lemah lembut berusaha agar Dewi mau mempercayaiku.

Matanya yang basah membesar saat aku mengucapkan kata-kata itu seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Aku mencoba memberikan sesuatu. Aku balas tatapannya dan aku kumpulkan sebanyak mungkin tekad yang kumampu. Ya, aku akan menolongnya dan membantu untuk menyelesaikan masalahnya.

“Cepatlah, sebelum semuanya terlambat ...” Kataku lagi sambil berlalu dari hadapan Dewi.

Aku berjalan menuju mobilku lalu meninggalkan rumah itu. Sebenarnya aku sangat bingung dengan tindakanku ini. Apakah ini benar atau salah, aku pun tak tahu. Namun yang jelas getaran naluriku seperti menyelinap ke dalam hati hingga ingin menyelamatkan Dewi. Aku akan coba membongkar kasus pembunuhan ini hingga jelas siapa ‘dalang’ sesungguhnya. Dengan kemampuanku menghipnotis, aku sedikit yakin akan bisa membuka tabir pembunuhan ini.

Malam terus merangkak naik dan jarum jam tak henti mengabari pergantian detik demi detik. Aku melintasi lagi jalanan yang tergenang air. Air meluap dari parit dan menggenangi badan jalan, tapi kondisinya masih aman untuk dilintasi. Percikan air masih bisa ditoleransi. Aku lihat jam di dashboard mobil yang menunjukkan pukul 20.20 malam. Kuputuskan kembali ke rumah kakek sambil memikirkan langkah-langkah yang akan aku lakukan untuk pengungkapan kasus pembunuhan Tatang.​

----ooo----

Pagi ini cuaca memang agak mendung tetapi seperti biasa di desa ini mendung belum tentu akan turun hujan. Air pancuran terasa dingin, lebih dingin dari biasanya dan badanku agak menggigil. Setelah selesai mandi dan berdandan, seperti biasa aku dan kakek melakukan ritual pagi di ruang depan. Berbincang-bincang sambil menikmati kopi dan rokok. Kebiasaan ini tidak bisa aku hindari dan bahkan menjadi kebutuhan dan wajib aku lakukan setiap hari.

Usai embun menghilang, matahari pun mulai meninggi. Aku bergegas pergi ke kota kabupaten. Sesekali aku pacu kendaraanku dengan kecepatan yang agak berlebihan menurutku. Dan satu jam berlalu aku pun sampai di rumah Tika. Sayang sekali, Tika tidak berada di rumahnya. Setelah bertanya pada tetangga sebelah, ternyata Tika sejak semalam pergi, dijemput oleh seorang pria. Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa ketika mengetahui hal tersebut, tetapi setelah aku pikir, tak ada alasan aku harus kecewa, toh Tika adalah wanita bebas.

Aku pun akhirnya meninggalkan rumah Tika dan berniat mengunjungi seorang teman lama yang menurut kabar telah sukses dan memiliki kehidupan super makmur. Nama teman lamaku ini adalah Irwan yang sejak dulu berada di ketiakku. Irwan selalu berlindung padaku jika dirinya mendapat masalah. Sungguh tidak menyangka kalau kini ia sekarang telah menjadi raja kaya. Kabar itu aku dapatkan dari Firman semalam dan memang Irwan sudah lama mencariku.

Kendaraanku meluncur agak kencang karena jalanan lumayan lengang. Setelah bertanya pada orang-orang di jalan, akhirnya aku sampai di sebuah rumah super megah. Rumah berlantai dua itu memiliki halaman seluas lapangan sepak bola, belum lagi halaman belakangnya yang ditanami pohon jati yang tak terhitung jumlahnya. Aku diantar oleh seorang security untuk menunggu di gazebo yang letaknya ada di halaman belakang rumah megah ini. Terdapat gazebo di tengah taman digunakan untuk bersantai dan menikmati udara segar taman.

“Denta ...” Suara Irwan terdengar dari arah belakang. Aku pun berbalik badan sambil tersenyum, menyambut temanku yang juga sedang tersenyum ramah padaku.

“Gila bener ...! Jadi juragan sekarang mah ...” Kataku seraya merangkulnya melepas rindu.

“He he he ... Sepertinya nasibku sedang beruntung ...” Jawabnya sembari menepuk-nepuk punggungku.

“Syukurlah ... Jadi ada yang bisa aku buat pegangan ... Ha ha ha ...” Kataku setengah bercanda yang diakhiri oleh tawa terbahak-bahak.

“Ha ha ha ... Buat kamu mah, aku gak keberatan ... Memang, aku ingin sekali mengajakmu bekerja bersamaku ...” Ungkap Irwan sambil mengurai pelukannya. “Kamu bisa kaya sepertiku kalau kamu mau kerja denganku.” Ucapnya lagi terdengar sangat bersungguh-sungguh.

“Wow ... benarkah?” Aku sangat antusias mendengar penuturan Irwan. Memang aku memiliki cita-cita menjadi orang kaya rasanya tawaran Irwan sangat masuk akal.

“Benar Ta ... Asal kamu mau ... Kamu akan menjadi orang kaya ... Lihat! Apa yang aku punya sekarang ...” Kata Irwan agak menyombongkan dirinya tapi wajar memang ia punya yang disombongkan.

Kami pun mulai berbincang-bincang ringan dan sesekali tertawa lepas saat mengingat masa masa sekolah dulu. Kami ngobrol seru sekali dan mulai membahas tentang pekerjaan yang tengah dijalani Irwan. Awalnya aku terkejut saat Irwan mengakui kalau dirinya berprofesi sebagai ‘penyelundup’ barang-barang mewah dengan cara pemalsuan surat-surat kepabeanan. Namun saat mendengar hasil yang akan didapat setelah pekerjaan selesai, aku pun menjadi tertarik juga.

“Kapan aku bisa mulai bekerja?” Tanyaku antusias.

“Minggu depan ada barang masuk ... Kamu nanti aku simpan di ujung paling depan ... Karena di pelabuhan banyak sekali kecoa-kecoanya ... Kalau bisa kamu halau kecoa-kecoa itu untuk menghemat biaya penurunan barang ...” Ujar Irwan tak kalah bersemangatnya denganku.

“Benar nih ... Aku akan dapet bayaran 200 juta?” Tanyaku agak kurang yakin.

“Serius ... Setelah pekerjaan selesai ... Aku bayar kontan ...” Jawab Irwan.

“Okay kalau begitu ... Minggu depan aku ikut ...” Kataku lagi.

Aku pun mendapat pengarahan dari Irwan tentang tata kerjaku nanti yang memakan waktu hampir dua jam. Aku rasa pekerjaan tersebut bisa aku lakukan, intinya aku hanya memastikan barang selundupan aman sampai keluar pelabuhan. Tentu aku sangat bersemangat karena aku akan mendapatkan bayaran yang sangat besar.

Akhirnya, aku berpamitan pada Irwan karena hari sudah siang. Setelah saling menukar nomor kontak, aku pun meninggalkan rumah super megah itu. Kupacu kendaraanku dengan kecepatan sedang, cenderung pelan. Aku tidak sedang terburu-buru, walaupun sudah lewat tengah siang. Aku masih ingin menikmati perjalanan ini. Dan tiba-tiba saja perutku terasa keroncongan, padahal tadi di rumah Irwan aku sudah menghabiskan beberapa potong roti. Segera aku tepikan kendaraanku dan aku berjalan ke warung bakso. Di dalam warung bakso aku melihat ada dua gadis berseragam SMA yang kesemuanya seperti mulai pasang aksi. Mereka menatapku dengan tatapan genitnya.

Sekilas aku tak bisa membedakan antara dua gadis remaja itu. Dua-duanya berwajah cantik, putih, dan mulus. Sungguh wajah yang enak dipandang. Selain itu keduanya juga punya tubuh mungil, dengan dada yang tidak begitu besar namun montok dan menantang yang mereka coba sembunyikan dibalik seragam SMU lengan panjang yang agak longgar dengan jilbab tipis yang tidak terlalu panjang namun cukup menutup buah dada mereka, lengkap dengan rok panjang abu-abunya.

Sungguh gadis-gadis berjilbab yang mungil dan sangat menggemaskan. Entah kenapa aku tak bisa melepaskan pandanganku dari wajah dan payudara kedua gadis berjilbab tersebut tanpa kusangka salah satu gadis itu melihatku, tampaknya dia tau kalau daritadi aku sedang menikmati tubuhnya, lalu dia tersenyum padaku.

“Hai ...” Sapaku pada mereka karena aku melihat kedua gadis ini bisa ‘diprospek’. Terlihat sekali jika gadis-gadis ini type gadis yang mencari kesenangan hidup dengan cara mudah.

“Hai akang ... Mau ditemenin gak?” Tanya seorang gadis yang memiliki tahi lalat di hidungnya.

“Em ... Boleh ... Kalian sudah makan?” Tanyaku sembari duduk di depan gadis yang menyapaku. Mereka sangat mudah akrab dengan orang yang belum dikenal seperti aku. Aku mulai berpikir sepertinya dua gadis ini bisa ‘kupakai’ hari ini.

“Baru minum aja ... Traktir kita-kita ya kang ...” Sahut si gadis bertahi lalat di hidung itu sambil mengusap lenganku mesra.

“Ya udah ... Tunggu sebentar ... Aku pesen dulu baksonya ...” Kataku lalu bergerak ke arah penjual bakso yang sedang mesem-mesem gak jelas.

“Tiga ya mas ... Jangan pake lama ...” Pintaku pada penjual bakso.

“Siap bos ... Oh, ya ... Minumnya apa?” Tanyanya sebelum aku pergi.

“Es teh manis saja ... Tiga ...” Kataku lagi.

“Siap ...” Jawabnya lagi sambil terus tersenyum gak jelas.

Aku kembali ke meja dan melanjutkan obrolan. Seperti biasa aku memperkenalkan diri dengan nama samaran andalanku ‘Iwan’. Imas adalah gadis bertahi lalat di hidung yang memang dialah yang banyak bicara dibanding temannya. Reni gadis imut berkerudung tapi senyuman dan tatapan genitnya sanggup membuatku horny. Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksi. Mereka dengan segala gaya seksinya membuat kejantananku menggeliat. Lama kelamaan aku semakin yakin kalau kedua gadis ini adalah bisyar atau bispak. Aku tahu dari cara bicaranya yang vulgar dan hafal mati tempat-tempat privat beserta tarifnya. Selain itu, mereka tak sungkan-sungkan menceritakan cara-cara dan bagaimana agar setiap pada saat berhubungan intim tidak menyebabkan kehamilan. Ya, kini waktunya bersenang-senang walau harus mengeluarkan sedikit uang.

“Sekarang enaknya kita kemana?” Tanyaku untuk membuka jalan.

“Di atas ada taman wisata kang ... Enak tempatnya buat ngadem ...” Jawab Reni menunjuk tempat yang ia sukai.

“Buat ngedem atau buat gituan ... Hi hi hi ...” Kata Imas sangat kemayu sambil melirik temannya yang juga langsung tersenyum genit.

“Ya dua-duanya ... Hi hi hi ...” Sambut Reni sambil mengulum senyumnya. “Tapi kalau mau gituan kan ... Harus ada itunya ...” Lanjut Reni yang kini melirik padaku dan untungnya aku langsung menangkap maksud gadis berkerudung itu.

“Sebutkan saja ... Berapa?” Tanyaku langsung pada sasaran. Mereka ternyata meminta sejumlah uang dan persyaratan.

“Akang mau pake kita berdua?” Bisik Imas sambil mencondongkan tubuhnya.

“Iya ... Kalian berdua ...” Tegasku sambil menganggukan kepala.

“Dua juta untuk berdua ...” Kata Imas yang agak membuatku terkejut. Harga mereka mahal juga tapi tak apalah yang penting aku bisa ‘ngasah pedangku’.

“Oke ... Sekarang kita ke lokasi ...” Kataku sambil berdiri lalu membayar makanan yang telah kami habiskan.

Tak lama, kami pun bergerak ke lokasi taman wisata yang sebenarnya aku juga pernah ke sana. Sebuah hutan lindung yang menyediakan wisata air terjun dan tempat perkemahan, serta banyak villa-villa untuk penginapan. Jarak dari kota kabupaten ke lokasi hanya satu jam lebih. Kami akhirnya mencapai jalan yang terus menanjak dan meliak-liuk. Di sepanjang perjalanan kami bisa menyaksikan pemandangan yang begitu mempesona dari dalam mobil. Setelah satu jam berkendaraan, kami pun sampai di lokasi wisata alam ini.

Aku masuki gedung loket tempat penyewaan villa. Sayang, villa tidak bisa disewa hanya 12 jam harus full satu hari. Tapi tak apa, harga sewa villa tak terlalu mahal dan masih bisa dijangkau olehku. Setelah selesai melakukan transaksi, aku dan kedua gadis itu langsung menuju villa yang aku sewa. Villa terdiri atas ruang depan dan dua kamar tidur dengan kamar mandi pribadi di setiap kamar. Satu dapur kecil dengan tempat makan. Villa ini memang sangat cocok buat yang ingin berlibur sekaligus menenangkan diri.

“Kamu sering ke sini ya?” Tanyaku pada kedua gadis itu setelah memasuki villa yang aku sewa. Aku pun duduk di sofa panjang yang ada di ruang depan villa.

“Hi hi hi ... Si Reni tuh yang paling sering ke sini ...” Imbuh Reni sembari cekikikan.

“Ah ... Kamu juga ... Aku tau tempat ini kan dari kamu ...” Sanggah Reni sambil cemberut.

“He he he ... Sudah ah ... Kalau umur kamu berapa?” Tanyaku pada Imas yang baru saja duduk di sampingku.

“Em ... 19 tahun bulan depan kang ... Kalau Kang Iwan, berapa?” Imas balik bertanya padaku.

“Dua tiga mau dua empat ... Kalau kamu Ren ...?” Tanyaku pada Reni sambil menarik tangannya agar duduk di sebelahku. Kini aku diapit dua gadis bisyar itu.

“Aku 18 tahun kang ... Emang kenapa sih nanya-nanya umur segala ...?” Tanya reni agak menaikan nada suaranya.

“Enggak ... Enggak apa-apa ... Pengen tau aja ...” Jawabku sambil tersenyum. Benar-benar aku sangat bersemangat dengan dua gadis ini. Tanganku melingkar di bahu keduanya membuat kepala kami saling berdekatan.

“Ih kang?!” Tiba-tiba Reni memekik.

“Ada apa?” Tanyaku heran dan kaget mendengar pekikan Reni.

“Ini kenapa?” Tanyanya sembari meraih benda keras di selangkanganku. Penisku memang sudah terasa panas dan tegang sekali.

“He he he ... Udah gak sabar ...” Candaku seraya kedua telapak tanganku mulai menyentuh buah dada kedua gadis ini. Terasa sekali masih kenyal dan padat, aku remas pelan buah dada mereka.

“Hi hi hi ... Aku juga kang ... Udah pengen ...” Ujar Reni tanpa malu-malu.

Imas menggerakkan jari lentiknya membuka resleting celana panjangku. Dengan sedikit mengangkat pantat, celanaku tertanggal dari tempatnya. Tangan Imas pun mulai berani mengelus-elus penisku dari luar celana dalamku. Namun itu tak berlangsung lama, karena Reni memaksa membuka celana dalamku hingga ‘burungku’ terlepas dari sarangnya.

“Wow ... Panjang sekali ...!” Pekik Imas yang telah menggenggam penisku. Aku pun tersenyum melihat kekagetan Imas dan Reni.

Tak lama kemudian, Imas mendekatkan bibirnya ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan, ia menjilati kepala penisku. Ia menjilati batang penisku dengan bersemangat. Sementara itu, aku sudah berciuman dengan Reni sambil mempermainkan bongkahan buah dadanya. Lidah kami saling melilit di dalam mulutnya dan tanganku merasakan kekenyalan bukit kembarnya. Permainan cinta ini diawali dengan foreplay sebagai ‘sajian pembuka’ untuk memancing gairah masing-masing.

“Buka baju kalian ...!” Pintaku sambil menahan nikmat.

Akhirnya kedua gadis itu membalikkan badan membelakangiku sambil melepas pakaiannya. Kulihat punggung mereka yang mulus dengan hiasan bra, body mereka sungguh menggetarkan tanpa timbunan lemak di perut, ketika melihat bokong mereka, aku makin kagum dengan ke-sexy-annya, pantat mereka padat membentuk body seperti gitar spanyol nan indah.

Darahku berdesir makin kencang saat Reni membalikkan badannya menghadapku, buah dadanya yang sungguh montok indah nian terbungkus bra satin, kaki bukitnya menonjol seakan ingin berontak dari kungkungannya, kaki Reni yang putih mulus berhias celana dalam krem mini di selangkangannya menutupi bagian indah kewanitaannya. Reni menyilangkan tangannya di dadanya seakan menutupi tubuhnya dari sorotan mata nakalku.

"Alaaaa ... Sok suci kamu ... Lepas aja BH-mu sekalian ..." Imas menggoda temannya yang memang Imas telah telanjang sepenuhnya. Tetapi kali ini Reni tak menurutinya, dengan masih memakai bikini dia ikutan Imas mengeroyok selangkanganku, tangannya berebut dengan Imas mengocokku, kutarik tubuh Imas untuk duduk di sampingku, aku ingin melihat saat Reni menjilat dan mengulum penisku tanpa gangguan Imas.

Mula mula agak ragu Reni menjilati kepala penisku tapi akhirnya dengan penuh gairah lidahnya menyusuri seluruh bagian kejantananku sebelum akhirnya memasukkan ke mulutnya yang mungil. Aku mendesis penuh kenikmatan saat penisku menerobos bibir dan mulut Reni. Sungguh kenikmatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, kenikmatan yang bercampur dengan sensasi yang hebat. Penisku makin cepat meluncur keluar masuk mulut Reni. Diluar dugaanku ternyata Reni sangat mahir bermain oral, jauh lebih mahir dibandingkan Imas, sepertinya dia lebih berpengalaman dari sobatnya. Lidah Reni menari-nari di kepala penisku saat berada di mulutnya, sungguh ketrampilan yang hanya dimiliki mereka yang sudah terbiasa, aku harus jujur kalau permainan oralnya sangat luar biasa. Begitu penuh gairah Reni memainkan penisku membuatku terhanyut dalam lautan kenikmatan, kepalanya bergerak liar turun naik di selangkanganku. Aku mendesah makin lepas dalam nikmat.

Imas kembali ke selangkanganku, kini kedua gadis bergantian memasukkan penisku ke mulutnya diselingi permainan dua lidah yang menyusuri kejantananku secara bersamaan, aku melayang makin tinggi. Tak lama berselang Imas sudah ingin melakukan permainan yang sesungguhnya dan menyuruh Reni berhenti. Imas memasang kondom yang entah darimana asalnya, dikulumnya sebentar penisku yang terbungkus kondom lalu dia naik ke pangkuanku, menyapukan ke memeknya dan melesaklah penisku menerobos liang kenikmatannya saat dia menurunkan badan. Kejantananku perlahan tapi pasti ambles semuanya. 15 cm dengan kepala seperti jamur yang melebar sudah terbenam sepenuhnya. Aku merasakan memek Imas hangat dan licin.

"Aduuhh ... Ssshh ... Gila Ren ... Enak ... Penuh rasanya ..." Komentar Imas setelah penisku tertanam semua di liang memeknya.

Reni duduk di sebelahku melihat sahabatnya merasakan kenikmatan bercinta. Pinggul Imas dirapatkan ke pahaku, kali ini tubuhnya bergerak ke depan dan merangkul tubuhku. Matanya kini terpejam dan dia sekarang menggerakkan badan bagian bawahnya secara ritmis. Naik dan turun terus menerus dengan gerakan cepat. Buah dadanya yang montok tampak menggeletar dan terlempar kesana kemari saat tubuhnya bergerak naik turun. Imas pun mulai mendesah-desah keenakan.

Ketika desahan Imas makin liar aku tak tahan lagi, kuraih kepala Reni dalam rangkulanku dan kucium bibirnya. Ada perasaan aneh ketika bibirku menyentuh bibirnya, perasaan yang tidak pernah kujumpai ketika berciuman dengan wanita manapun. Setelah sesaat berciuman agak canggung, akhirnya kami mulai menyesuaikan diri, saling melumat dan bermain lidah, jauh lebih bergairah dibanding dengan Imas atau lainnya, kami seolah sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Kocokan Imas makin liar tetapi lumatan bibir lembut Reni tak kalah nikmatnya.

Agak gemetar tanganku ketika mulai mengelus punggung telanjang Reni, dengan susah payah, meskipun biasanya cukup dengan tiga jari, aku berhasil melepas kaitan bra yang ada di punggung. Masih tetap berciuman kulepas bra-nya, tanganku masih gemetar ketika menyusuri bukit di dada Reni, begitu kenyal dan padat berisi, kuhentikan ciumanku untuk melihat keindahan buah dadanya, jantungku seakan berdetak tiga kali lebih cepat melihat betapa indah dan menantang kedua bukitnya yang berhiaskan puting kecoklatan di puncaknya. Desah kenikmatan Imas sudah tak kuperhatikan lagi, kuusap dan kuremas dengan lembut, kurasakan kenikmatan kelembutan kulit dan kekenyalannya, gemas aku dibuatnya. Reni menyodorkan buah dadanya ke mukaku, langsung kusambut dengan jilatan lidah di putingnya dan dilanjutkan dengan sedotan ringan, dia menggelinjang meremas rambutku.

“Kang pindah yuk ke ranjang ...!” Pinta Imas sambil melepaskan penyatuan tubuh kami. Imas langsung menarikku ke dalam kamar sementara tanganku menarik Reni.

Lalu kami pindah ke ranjang, Imas nungging mengambil mengambil posisi doggie, langsung kukocok dia dari belakang sambil memeluk tubuh sexy Reni. Kukulum puting kecoklatannya untuk kesekian kalinya bergantian dari satu puncak ke puncak lainnya. Reni mendesis nikmat, inilah pertama kali kudengar desahan nikmat langsung darinya, begitu merangsang dan penuh gairah di telinga. Tanpa kusadari, ternyata Reni sudah melepas celana dalamnya, aku kembali terkesima untuk kesekian kalinya, selangkangannya yang indah berhias bulu kemaluan yang sangat tipis, bahkan nyaris tak ada, sungguh indah dilihat.

Sambil terus menggenjot memek Imas, tangan kananku mulai membelai memek Reni. Reni menjerit tertahan saat kucoba memasukkan jari tengahku ke dalam dirinya, terasa begitu hangat dan lembab. Kocokan keluar masuk tanganku semakin membuat Reni kelojotan tak tentu arah, Reni mulai menggerakkan pinggulnya yang tadi hanya diam karena itu aku yakin Reni dalam keadaan sangat terangsang.

Aku pun segera mencabut penisku dari dalam memek Imas, lalu tidur terlentang diantara kedua gadis cantik ini dengan penis yang masih tegak tegang menantang. Imas kembali bergoyang pinggul di atasku. Reni kuberi isyarat untuk naik ke kepalaku, dia langsung mengerti, kakinya dibuka lebar di depan mukaku, terlihat dengan jelas memeknya yang masih kemerahan seperti daging segar, kepalaku langsung terbenam di selangkangannya, lidahku menyusuri bibir dan klitorisnya sambil meremas pantatnya yang padat. Desahan Reni bersahutan dengan Imas. Kedua gadis ini menggoyangkan pinggulnya di atasku, memek Reni menyapu seluruh wajahku. Reni mendesah keras dan tubuhnya menegang ketika kusedot memeknya, hampir dia menduduki wajahku.

Beberapa menit berselang, Imas minta bertukar tempat, rupanya dia ingin mendapatkan kenikmatan seperti yang aku berikan kepada Reni. Kini memek Imas yang basah tepat di atas mukaku, sementara Reni melepas kondom yang membalut penisku, membersihkan sisa cairan dari memek Imas dengan selimut lalu mulai menjilatinya. Rasa asin dari memek Imas tak kuperhatikan, cairannya menyapu mukaku, sementara kemaluanku sudah mengisi rongga mulut Reni dengan cepatnya. Aku begitu asyik menikmati memek Imas dengan lidahku, tanpa kusadari Reni sudah mengambil posisi untuk memasukkan penisku ke memeknya. Aku baru tersadar ketika Reni sudah naik di atas tubuhku dan menyapukan penisku ke bibir memeknya.

Bleesss ...!

Aku terbelalak hebat merasakan penisku seperti dicengkram dan dihisap sangat kencang. Jilatanku di memek Imas pun terhenti saking merasakan jepitan memek Reni. Reni mulai menggerakan pinggulnya dan luar biasa memeknya terasa menggigit dengan lembut. Rasa kewanitaan milik Reni sungguh membuatku mabuk kepayang.

Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri Imas terlebih dahulu. Kusibakkan bibir memek yang menutupi liang memek indahnya, terlihatlah lorong sempit memerah yang basah berlendir. Lidahku terjulur untuk mengkait-kait lorong itu. Badan Imas semakin bergetar dan erangannya sudah berganti menjadi jeritan-jeritan tertahan. Jempol tangan kananku tak diam, kugunakan untuk menekan dan memutar-mutar klentitnya yang semakin menonjol keras. Gerakannya sudah semakin menggila sudah tak malu-malu lagi menekan-nekan selangkangannya agar lebih dalam memasukkan lidahku ke dalam liang memeknya yang kurasakan semakin berkedut.

“Aahh … Aahhh … Ouh …. Kang …. Terusssss … Ouh …” Jeritan Imas semakin keras, pantatnya semakin maju menekan wajahku. Akhirnya dengan tak sabar kedua kakinya menjepit kepalaku dengan keras sambil melonjak-lonjak tak karuan dan menjerit-jerit menjemput nikmat yang bertubi-tubi datang padanya hingga akhirnya Imas menjerit panjang.

“Aaaaaaahhhhh …………” Badannya melenting, pantatnya lebih ditekan dan tangannya mencengkram kaku di lenganku serta kakinya semakin keras menjepitku. Lalu beberapa detik kemudian pantatnya berkedut-kedut dan liang memeknya berkontraksi sangat hebat dan melamuri lidahku dengan cairan kenikmatan. Dan setelah itu badannya terhempas ke kasur.

Kini aku bisa bebas ‘mengerjai’ memek nikmat milik Reni. Kuraih buah dada montok Reni dan kuremas-remas gemas penuh nafsu. Kutarik Reni dalam pelukanku, kukocok penisku dari bawah, desahannya begitu bergairah di telingaku. Merasa kurang nyaman, akhirnya kami bergulingan, kini aku di atasnya, kunikmati ekspresi kenikmatan wajah cantiknya yang sedang dilanda birahi tinggi. Jepitan memeknya sangat ketat seolah tidak mengijinkan penisku masuk lebih dalam.

“Sempit sekali ...” Kataku tak tahan rasa nikmatnya.

Kuhentikan tekananku agar memek Reni menyesuaikan dengan ukuran penisku. Kulumat lagi bibirnya yang mendesah-desah. Dia mengangkat kakinya dan menempatkannya di atas pantatku. Dia tekan pantatku yang semakin memperdalam masuknya penisku ke memeknya. Memek Reni mengempot seperti menyedot penisku. Tak sabar menerima sensasi itu akhirnya kutekan pantatku sampai masuk semua batang penisku. Kuputar-putar pantatku yang membuat penisku memutar di dalam memeknya dan tekananku tetap kuat walau sudah amblas semuanya ditelan memeknya. Rupanya penisku menabrak semua urat syaraf yang ada di liang memeknya yang membuat Reni kenikmatan.

“Enak banget Kang ... Aaaahhh ...” Ucapnya sambil mengerang.

Aku merasakan kenikmatan luar biasa, cengkraman lorong nikmat milik Reni semakin ketat saja. Mulai kuayun pantatku hingga penisku menusuk-nusuk memeknya. Seperti piston begitu penisku keluar masuk memeknya sambil mengeluarkan suara berdecak-decak membuat badannya terlonjak-lonjak di tempat tidur. Kedua tangannya mencengkram kasur dan dia berusaha menegakkan kepalanya melihat keluar masuknya penisku di memeknya.

Aku bangkit dari posisi tertelengkup. Kini aku berjongkok di antara paha Reni. Kuangkat kedua kaki Reni ke pundakku, dengan meremas kedua buah dadanya sebagai pegangan aku mengocoknya keras dan cepat. Reni menjerit keras antara sakit dan nikmat, kepala penisku serasa menyentuh dinding terdalam dari memeknya. Tangannya mencengkeram erat lenganku, matanya melotot ke arahku seakan tak percaya aku melakukan ini padanya, tapi sorot matanya justru menambah tinggi nafsuku, dia kelihatan makin cantik dengan wajah yang bersemu merah terbakar nafsu, lebih menggairahkan dan menggoda, makin dia melotot makin cepat kocokanku, makin keras pula jerit dan desah kenikmatannya. Dan tak lama kemudian dia sampai pada puncak kenikmatan tertinggi.

“Aaaaaccchhh ....” Reni mendesis indah, dan dengan diiringi jeritan kenikmatan panjang dia menggoyang goyangkan kepalanya, cengkeraman di lenganku makin erat, tubuhnya menegang, dia telah mencapai orgasme lebih dulu, kunikmati saat saat orgasme yang dialami Reni. Tubuh Reni perlahan mulai melemah, kuturunkan kakinya dari pundakku lalu kukecup bibir dan keningnya.

“Kang ...” Sebuah suara membuatku menoleh.

Imas yang berada di sampingku sudah bersiap menerimaku, posisi menungging dengan kaki dibuka lebar. Penisku yang masih tegang siap untuk masuk ke memek lainnya. Rupanya Imas tak pernah melupakan pengamannya, dia memberiku kondom sebelum penisku sempat menyentuh bibir memeknya. Sementara Reni tak peduli dengan hal itu, aku tak khawatir karena memang tidak berniat memuntahkan spermaku di memeknya. Reni memasangkan kondom di penisku dan kembali untuk kesekian kalinya penisku menguak celah sempit di antara kaki Imas.

Kupegangi pantat Imas yang padat berisi, kocokanku langsung cepat. Desahan Imas begitu juga makin keras terdengar, kuraih buah dadanya yang menggantung dan kuremas sambil tetap mengocoknya. Terus terang setelah merasakan nikmatnya bercinta dengan Reni, terasa Imas begitu hambar, padahal saat pertama tadi dia begitu menggairahkan, kini aku hanya berusaha untuk memuaskan dia dan secepat mungkin mencapai orgasme dengannya supaya berikutnya aku bisa lebih ‘all out’ dengan Reni.

Kocokan kerasku membawa Imas lebih cepat ke puncak kenikmatan, tangan Imas dan Reni saling meremas, teriakan orgasme Imas mengagetkanku, apalagi diiringi dengan denyutan dan remasan kuat dari memeknya, penisku seperti diremas-remas. Akhirnya aku pun harus takluk pada kenikmatan cengkeraman memek Imas, menyemprotlah spermaku di dalam memeknya. Kembali dia menjerit merasakan denyut kenikmatan penisku, kami saling memberi denyutan nikmat. Tubuhku langsung ambruk di atas punggung Imas. Beberapa saat kemudian, kami bertiga telentang dalam kenangan dan kenikmatan indah. Aku telentang di antara dua gadis cantik yang menggairahkan.

“Kayaknya akang masih penasaran sama Reni ...” Kata Imas seraya bangkit dan turun tempat tidur. “Hajar kang sampai memeknya melar ... Hi hi hi ...” Lanjut Reni lalu keluar kamar.

“Akang masih mau?” Tanya Reni sambil mempermainkan kejantananku yang mulai mengeras.

“Bener kata Imas ... Akang masih pengen ngerasain memekmu ...” Bisikku dan disambut senyuman Reni.

Aku berdiri, kusodorkan penisku ke mulutnya, dia menggenggam dan mengocoknya, memandang ke arahku sejenak sebelum menjilati dan memasukkan penisku ke mulutnya. Tanpa kesulitan, segera penisku meluncur keluar masuk mulut mungilnya, kembali kurasakan begitu pintar dia memainkan lidahnya. Antara jilatan, kuluman dan kocokan membuatku mulai melayang tinggi. Puas dengan permainan oralnya, aku rebahkan Reni di atas kasur lalu jongkok di antara kedua pahanya, aku pun menyapukan penisku ke memeknya. Reni menatapku dengan pandangan penuh gairah. Dengan sekali dorong melesaklah penisku kembali ke memeknya yang ketat, dia masih tetap menatapku ketika aku mulai mengocoknya. Reni mendesah liar seperti sebelumnya, kakinya mengangkang lebar. Aku tak pernah bosan menikmati ekspresi wajah innocent yang memerah penuh birahi, makin menggemaskan. Buah dadanya bergoyang keras ketika aku mengocoknya, dia memegangi dan meremasnya sendiri.

Kuputar tubuhnya untuk posisi doggie, dia tersenyum, tanpa membuang waktu kulesakkan penisku dari belakang, dia menjerit dan mendorong tubuhku menjauh, kuhentikan gerakanku sejenak lalu mengocoknya perlahan, tak ada penolakan. Kupegang pantatnya yang padat berisi, Reni melawan gerakan kocokanku, kami saling mengocok, dia begitu mahir mempermainkan lawan bercintanya. Aku bisa melihat penisku keluar masuk memek gadis itu. Kupermainkan jari tanganku di lubang anusnya, dia menggeliat kegelian sambil menoleh ke arahku. Kuraih buah dadanya yang menggantung dan bergoyang indah, kuremas dengan gemas dan kupermainkan putingnya. Aku sepertinya benar-benar menikmati tubuh indah Reni dengan berbagai caraku sendiri. Kuraih tangannya dan kutarik kebelakang, dengan tangannya tertahan tanganku, tubuh Reni menggantung, aku lebih bebas melesakkan penisku sedalam mungkin. Desah kenikmatan Reni mekin keras memenuhi kamar ini. Kudekap tubuhnya dari belakang, kuremas kembali buah dadanya, penisku masih menancap di memeknya, kuciumi telinga dan tengkuknya, geliat nikmat Reni makin liar.

“Ooohh ... Aaahhh ... Kaangghh ...!” Erang nikmatnya tak henti-henti.

Kulepaskan tubuh Reni, kami terus bercinta dengan doggie style. Tak terasa lebih setengah jam kami bercinta dan mulai ada tanda-tanda orgasme diantara kami. Kami saling bergoyang pinggul, saling memberi kenikmatan sementara tanganku menggerayangi dan meremas buah dadanya. Nikmat sekali goyangan Reni, lebih nikmat dari sebelumnya, berulang kali dia menoleh memandangku dengan sorot mata penuh kepuasan. Penisku melesak-lesak makin kuat dan dalam. Kocokanku makin keras, sekeras desah kenikmatannya. Kubalikkan tubuhnya, dia telentang di atas kasur, kunaikkan satu kakinya di pundakku, kukocok dengan cepat dan sedalam mungkin.

“Kaaanngghh .. Aaaaaccchhh ...!” Reni memekik panjang.

Ternyata Reni sudah orgasme duluan. Aku semakin cepat mengocoknya, tak kuhiraukan teriakan orgasme Reni, makin keras teriakannya makin membuatku bernafsu. Semenit kemudian aku menyusulnya ke puncak kenikmatan, kembali dia berteriak keras ketika penisku berdenyut menyemprotkan sperma di memeknya. Aku telah membasahi memek dan rahim Reni dengan spermaku, dia menahanku ketika kucoba menarik keluar.

“Haduh ... Aku keluar di dalam ...” Kataku sambil ngos-ngosan.

“Gak apa-apa kang ... Aku bawa pil KB kok ...” Ucapnya membuatku lega.

Kami pun berciuman sejenak sebelum turun dari tempat tidur. Imas ternyata sudah mandi duluan dan sudah rapi dengan seragam SMU-nya. Aku dan Reni pun mandi bareng dan sempat melakukan persetubuhan sekali lagi di kamar mandi. Kami tak hiraukan Imas yang menggedor-gedor pintu kamar mandi karena kesal lama menunggu. Baru setelah selesai mandi, kami bertiga meninggalkan villa menuju kota kabupaten kembali. Sepanjang jalan kami bercanda dan tertawa-tawa hingga satu jam tak terasa. Kami pun akhirnya sampai di sebuah gang di mana rumah Imas berada.

“Makasih ya kang atas uangnya ... Hi hi hi ...” Kata Imas sambil turun dari mobilku. “Kalau mau gituan lagi, telpon Imas ya ...” Lanjutnya sangat genit.

“Sip ...” Kataku seraya mengacungkan jempol. “Sekarang di mana rumahmu?” Tanyaku pada Reni yang sedari tadi duduk di jok sampingku.

“Sebenarnya aku gak ingin pulang ...” Katanya terdengar seperti sedang kesal.

“Loh ... Kenapa?” Tanyaku heran.

“Aku gak mau ketemu ibuku ...!” Nada suara Reni semakin terdengar sangat kesal. “Males ketemu dia ... Kerjaannya ngomel-ngomel melulu ...” Lanjut Reni masih dengan kesalnya.

“He he he ... Kalau orangtua ngomel-ngomel seperti itu ... Tutup mulutnya dengan uang ...” Candaku sambil tersenyum.

“Emang ... Tapi sayang ah ...” Ucap Reni sembari mendelik dan cemberut.

“Ha ha ha ....” Aku terbahak-bahak mendengar pengakuan Reni.

Mobil terus melaju dengan kecepatan yang agak berkurang dari sebelumnya, menerobos jalanan yang agak macet sementara hari mulai gelap. Beberapa menit berselang, aku sampai di sebuah kompleks perumahan. Tak lama, aku disuruh berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Seorang perempuan berdiri di teras rumahnya, sepertinya sedang menunggu seseorang. Tadinya aku akan langsung meninggalkan Reni, namun aku putuskan untuk bicara terlebih dahulu dengan wanita itu agar Reni terhindar dari omelannya. Aku dan Reni berjalan mendekati si wanita yang memang sedang menekuk wajahnya.

“Maaf tante ... Maaf sekali lagi ... Reni saya bawa dulu untuk bantu-bantu di perusahaan saya.” Terpaksa aku membuat berharap muka si wanita berubah cerah. Dan ternyata usahaku membuahkan hasil. Tiba-tiba wajah wanita itu menjadi sumringah.

“Oh ... Begitu ya ... Iya, gak apa-apa, kang ... Malah saya yang berterima kasih mau ngajak Reni bekerja ...” Sahut si wanita itu yang memang ibunda Reni.

“Sama-sama tante ... Kalau begitu saya pamit dulu ...” Kataku sambil melirik Reni yang sedang senyam-senyum gak jelas dan menatapku.

“Eh ... Mampir dulu atuh ... Ngopi dulu di rumah tante ... Ayo ...!” Ajak si wanita yang menurutku cukup cantik ini.

“Iya kang ... Mampir dulu ...” Reni mendekatiku lalu menarik tanganku. Terpaksa aku mengikuti langkah Reni memasuki rumahnya.

“Silahkan duduk ...!” Kata ibunya Reni sesaat setelah aku berada di ruang tamu.

“Terima kasih ...” Jawabku sambil duduk di sofa berwarna merah.

“Tante bikinin minum dulu ya ...” Kata ibunya Reni sembari tergopoh-gopoh ke ruang belakang rumahnya. Dan aku hanya tersenyum saja.

“Hi hi hi ... Si akang bisa aja ...” Bisik Reni sambil cekikikan kecil.

“Biar ibumu gak marah-marah ... Dan mudah-mudahan jadi baik sama kamu selamanya ... Dikiranya kamu bekerja ... Setuju gak?” Balas bisikku.

“Mantap kang ... Hi hi hi ...” Reni terlihat senang dengan usahaku.

Beberapa menit berselang ibunya Reni datang dengan membawa baki berisi segelas kopi dan makanan ringan. Wanita itu meletakkan bawaannya di atas meja. Wanita itu mengenakan blouse longgar berwarna jingga dengan satu kancing yang terbuka di bagian atas. Payudaranya yang besar terlihat sedikit mengintip saat dia membungkuk. Mataku seperti tak mau lepas dari dada itu yang sangat montok.

“Silahkan diminum ... Maaf, cuma ini yang ada ...” Kata ibunya Reni.

“Terima kasih tante ...” Kataku sambil tersenyum dan menganggukan kepala.

“Silahkan kang ... Aku ke dalam dulu ...” Kata Reni yang tiba-tiba pergi meninggalkanku begitu saja.

“Sudah lama ketemu dengan Reni?” Ibunya Reni bertanya sembari duduk di sofa dengan memeluk baki.

“Lumayan tante ... Mungkin lima atau enam bulan yang lalu ...” Bohongku lagi.

“Emang akan ini punya perusahaan apa?” Tanya wanita itu sudah seperti wartawan saja.

“Usaha kecil-kecilan tante ... Aku punya matrial ...” Kebohonganku berlanjut.

“Oh iya ... Boleh tante tahu ... Em, siapa nama akang?” Tanya si wanita agak malu-malu.

“Nama aku ... Iwan ... Tante.” Jawabku sedikit tertahan.

“Oh iya ... Nama tante ... Tari ...” Katanya yang sukses membuat keningku berkerut. Sepertinya aku sangat familiar dengan nama itu. Pada saat yang bersamaan aku merasa tidak enak hati.

“Maaf ya tante ... Suami tante kerja di mana?” Tanyaku dengan perasaan yang semakin tak karuan.

“Tante itu janda ...” Tari mengulum senyumnya sembari menunduk malu. “Dua kali gagal ... Jadi sekarang memilih untuk sendiri saja ...” Lanjutnya.

“Oh, maaf ...” Kataku pelan.

“Gak usah minta maaf begitu ... Gak ada yang salah kok ...” Katanya masih dengan muka malu-malu.

“Kalau Reni dari suami tante yang mana?” Saking penasarannya aku menjadi berani bertanya seperti itu.

“Dari suami yang pertama ...” Jawabnya dan itu membuat jantungku semakin berdebar-debar. Entah kenapa aku mempunyai firasat yang sangat buruk tentang ini. Rasanya ingin bertanya sesuatu namun aku sangat tidak berani mengatakannya.

Aku sangat gelisah saat ini, keringat mulai membasahi dahiku. Aku terus menatap Tari, memperhatikan setiap gerakannya. Rasa penasaranku semakin tinggi untuk mengetahui lebih banyak tentang wanita di hadapanku ini. Akhirnya perlahan aku geser cincin ajaibku hingga berada di telapak tangan dan jempolku menekan mata cincin agak kuat.

“Tari ...” Kata ajaib pertama yang keluar dari mulutku. Tari pun menoleh dan tanpa disadarinya ia telah masuk ke dalam sugestiku. “Jawab dengan sejujur-jujurnya ... Setelah menjawab keadaan kembali normal dan kamu lupa kalau aku telah bertanya padamu dan dijawab olehmu ... Tari, siapa nama suami pertamamu dan berasal dari mana?” Tanyaku dengan kekuatan hipnotisku.

“Dia bernama Budiman sering dipanggil Budi ... Asal dari Desa Sukamukti ...” Jawabnya dan langsung saja badanku menjadi lemas. Otakku rasanya penuh dan badanku gemetar hebat karena panik. Aku balikkan lagi posisi cincin dengan jari gemetar dan tatap gelisah.

“Hei ... Kamu kenapa?” Tanya Tari yang telah sadar seperti sediakala.

“Oh ... Eng..nggak ... Enggak apa-apa ...” Ucapku tertahan dan kuyakin saat ini wajahku pasti terlihat pucat. Tak disangsikan lagi kalau wanita ini adalah istri ketiga ayahku dan Reni adalah adikku.

Sungguh perasaanku saat ini sedang tak menentu setelah kejadian tadi siang bersama Reni. Aku benar-benar tak menyangka kalau aku telah berbuat separah itu. Flashback tiada henti, rasa bersalah pun tak hilang. Sekali pun perbuatanku itu tidak disengaja namun tetap saja aku merasa bersalah. Aku pun bangkit dari duduk lalu keluar rumah dan berdiri di teras rumah. Kuhirup udara sedalam dada, agar energi di alam bebas membuyarkan kegelisahanku.

“Kamu kenapa?” Suara Tari membuyarkan lamunanku. Wanita itu kini berada di sampingku sambil menatap heran.

“Tante ... Ini ... Saya titip uang buat Reni ... Saya tadi lupa membayar tenaganya ...” Kataku sembari mengeluarkan sepuluh lembar uang berwarna merah dari saku celana yang memang telah kupersiapkan sejak di villa.

“Oh ... I..iya ... Nanti tante sampaikan ...” Kata Tari sembari menerima uang dari tanganku.

“Tante ... Saya permisi ...” Kataku tanpa menunggu jawaban langsung saja aku beranjak dari teras rumah menuju mobilku.

Tak lama berselang, kupacu kendaraanku kembali ke rumah kakek. Pikiranku kacau-balau semeraut bagaikan benang kusut yang tak terurai. Ya, aku sedang berpikir dan pikiran-pikiranku berantakan, bahkan saling mencekik satu sama lain. Begitu sulitnya untuk menerjemahkan serangkaian peristiwa yang tak pernah kumengerti.

Mobilku masih deras melaju, membelah udara malam. Setelah satu jam berkendaraan, akhirnya aku sampai juga di rumah kakek. Kuparkir mobil di tempat biasanya lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Setelah ngobrol sejenak dengan kakek dan nenek, aku langsung saja masuk ke dalam kamar. Aku rebahkan tubuh di atas kasur. Mataku sayu-sayu meredup. Rasa kantuk mulai menyerangku. Saatnya aku menenangkan pikiran dengan cara tidur. Tak lama, aku pun terlelap dalam iringan suara katak dan jangkrik.​

Bersambung
Mantap eeeeeeeeeuy
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd