Puluhan orang berbondong-bondong mendatangi kantor Polres Jakarta Timur. Mereka membawa surat keterangan yang dijadikan syarat untuk mendaftar menjadi anggota kepolisian. Seperti dengan diriku yang serius mengisi formulir dan membacanya dengan seksama. Beberapa meja aku sambangi untuk dicek kelengkapannya. Tinggi dan berat badan juga diperiksa sebagai sebagai syarat awal untuk menjadi seorang polisi. Hampir seharian aku mengurus keperluanku di kantor Polres ini dan sampai juga di penghujungnya. Dengan sedikit gontai aku berjalan ke tempat parkiran. Hampir saja tanganku menyentuh pintu mobil, tiba-tiba smartphone-ku berdering. Aku ambil alat komunikasi itu dari saku celana. Setelah melihat identitas si penelepon, aku langsung mengangkatnya.
“Ya ... Wan ...” Sapaku pada Irwan di seberang sana.
“Uang kamu sudah saya transfer ... Tapi aku sekarang butuh bantuanmu lagi ...” Ucap Irwan yang terdengar sedikit bergetar.
“Wah ... Kayaknya gak bisa tuh ... Aku harus ke Desa Sukamukti lagi sekarang juga ... Ada urusan sangat penting.” Tolakku yang memang berniat ke sana karena mendapat telepon dari Tari.
“Nilainya 6 milyar ... Kerjaan nganter barang doang ...” Ucap Irwan yang tentu membuat liurku mendadak ingin keluar dari mulut.
“Hah ...! Serius ...?” Tanyaku kaget dan tak percaya.
“Serius ... Upah kamu 6 milyar ... Asal barang ini sampai ke tujuan ...” Ucap Irwan lagi yang semakin otakku bekerja keras. Pekerjaan mengantar dengan upah sebegitu besar berarti barang yang diantar bukan barang sembarangan.
“Wan ... Kalau boleh tau ... Barang apa yang harus aku anter?” Tanyaku mulai curiga. Iwan tak langsung menjawab pertanyaan. Ada beberapa detik jeda sebelum temanku ini bersuara.
“Narkoba ...” Jawabnya pelan dan lesu.
“Sudah kuduga ... Berarti selama ini kamu berbisnis barang haram itu ...” Kataku agak tegas.
“Bukan punyaku, Ta ... Tapi punya boss-ku ... Aku hanya menjalankan perintah ...” Jawab Irwan masih dengan suara lemasnya.
“Hhhhmm ... Berapa banyak narkoba yang harus dikirim dan kemana?” Tanyaku sangat serius.
“Satu setengah ton lebih dikit ... Dikirim ke tengah laut di daerah Karawang ...” Jelas Irwan yang membuatku tersentak kaget. Benar-benar gila kalau harus mengirim narkoba sebanyak itu.
“Hah ...! Banyak sekali ...?” Gumamku sambil geleng-geleng kepala. Itu uang besar. Apa yang bisa aku lakukan dengan uang sebanyak itu. Namun pastilah sangat mengasyikan.
“Ta ... Tolong aku ya ... Hanya kamu andalanku ...” Rengeknya yang dulu sering kudengar kini terdengar lagi dengan nada yang sama. Dan aku pun tersenyum.
“Tujuh milyar ... Aku berangkat ...” Jawabku setengah bercanda. Jujur saja, aku sangat tergiur dengan uang sebanyak itu. Rasanya aku bisa bersenang-senang dengan uang tersebut.
“Deal ... Aku kasih alamat dan kamu segera ke sini ...” Ucap Irwan terdengar sangat bersemangat dan telponku langsung diputusnya.
Tak lama, Irwan mengirim pesan Whatsapp yang berisikan alamat yang lumayan jauh dari tempatku saat ini. Segera saja aku bergerak ke alamat yang diberikan Irwan. Jalanan benar-benar padat, aku melalui jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Hampir dua jam di jalanan, akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan. Aku langsung disambut dengan pelukan oleh Irwan yang tentu saja aku tolak dengan mendorong tubuhnya.
“Kamu ini kenapa sih?” Tanyaku sangat heran melihat sikap Irwan yang menurutku kelewatan.
“Aku takut, Ta ...” Suara Irwan bergetar yang memang terdengar sedang menahan rasa takutnya.
“Makanya ... Kalau cari gawe yang aman-aman saja ...” Selorohku yang mungkin terdengar oleh Irwan tanpa perasaan.
“itu barangnya ...” Tunjuk Irwan pada mobil bak terbuka yang di belakangnya tampak membumbung terselubungi terpal dan terikat tambang sangat kuat. Sejenak aku berjalan mengelilingi mobil bak terbuka tersebut. “Ini kuncinya ... Kamu yang bawa ...” Kata Irwan kemudian.
“Aku bawa mobil ini ... Kamu bawa mobilku ... Riskan kalau kita berdua dalam satu mobil ...” Kataku berprediksi kalau Irwan bersamaku akan sedikit menghambat dan mungkin akan menjadi masalah. “Kamu segeralah menuju lokasi ... Beri saja alamat lokasi yang jelas padaku ... Kita pergi terpisah saja ...” Lanjutku sambil memberikan kunci dan surat mobilku.
“Kamu serius?” Irwan melotot seperti tak percaya dengan ucapanku.
“Iya ... Pergilah ...!” Kataku sangat yakin.
Irwan menjabat tanganku sangat erat. Beberapa kali ia pun menepuk-nepuk bahuku. Tampak sekali kalau ia khawatir sekaligus berharap. Irwan langsung keluar ruko sementara aku membuka gerbang dorong ruko. Setelahnya aku keluarkan mobil yang membawa satu setengah ton narkoba itu lalu memarkirkannya di pinggir jalan. Sebentar saja aku tutup gerbang dorong ruko hingga tertutup kembali. Dan dengan sangat tenang aku mulai melajukan kendaraanku yang sangat mungkin sudah diintai aparat penegak hukum.
Kini tujuanku Kota Karawang. Aku coba menikmati pemandangan dan udara sekitar di sepanjang perjalanan yang menurutku begitu-begitu saja. Ketenangan adalah kunci dari penyelesaian masalah, sebesar apapun masalah itu. Seperti yang aku rasakan saat ini. Masalah sepertinya akan menghampiriku. Sejak awal keberangkatan ada sebuah minibus yang terus mengikuti kemana aku pergi. Namun tak perlu gusar, aku sudah punya solusinya.
Setelah beberapa menit aku semakin yakin kalau pengemudi minibus itu dengan sengaja mengekor kendaraanku. Sementara itu, aku terus melaju dengan kecepatan konstan. Aku mulai memakai topi, masker dan kacamata hitam. Instingku mengatakan kalau tidak lama lagi akan ada penyergapan. Aku pun mulai memasuki jalan bebas hambatan, dan aku tambah kecepatan. Minibus itu masih terus menguntit di belakang. Dan tiba-tiba aku baru sadar kalau minibus penguntit kini menyalipku dan seorang di dalamnya memberikan isyarat agar aku menepi.
“Hei ...! Minggir ...!” Teriak seorang polisi sambil mengarahkan pistolnya padaku. Posisiku berada di lajur kiri dengan jendela terbuka. Polisi tersebut persis di sebelah kananku. Segera saja aku putar posisi cincinku lalu menekan batunya dengan jempolku.
“Apa pak ...!” Teriakku pada si polisi dan terasa batu cincinku menghangat pertanda si polisi sudah dalam penguasaanku.
“Minggir ...!” Teriaknya lagi sambil melotot namun kendaraanku masih tetap melaju.
“Itu bapak kenapa bawa-bawa ular berbisa? Itu di samping bapak gorila ganas ... Bapak bareng-bareng dengan gorila ...!” Teriakku memberikan sugesti.
Aku lihat mata si polisi membelalak lalu melemparkan pistolnya begitu saja. Kemudian, terdengar teriakannya sambil memukul orang di sampingnya. Tentu saja minibus itu menjadi oleng dan tak lama menabrak pembatas jalan lalu memutar sekali dan berhenti. Aku lihat dari kaca spion kalau kejadian itu tidak menjadi kecelakaan beruntun. Aku kini bisa bersiul menikmati perjalananku ke tempat tujuan. Jalan tol yang kulalui pun seakan melebar hingga aku bisa melaju dengan kecepatan maksimal.
Hampir satu jam di jalan bebas hambatan, akhirnya aku keluar dari jalan tol. Aku buka smartphone untuk mengecek alamat yang dikirim Irwan. Ternyata aku diarahkan ke sebuah pantai yang bernama Cimalaya. Daerah yang sering aku kunjungi sehingga tak perlu lagi aku menggunakan penunjuk arah. Aku besut kendaraanku menuju pantai itu tanpa ragu, namun aku gunakan ‘jalan kampung’ untuk mencapai pantai tersebut walaupun harus agak mengeliling dan melalui jalanan yang lumayan rusak. Sambil menjalankan kendaraan pelan, aku coba menghubungi Irwan.
“Wan ... Di mana posisi?” Tanyaku pada Irwan yang entah di mana keberadaannya setelah sambungan teleponku diangkatnya.
“Aku hampir sampai di dermaga ... Tapi kayaknya banyak sekali mata-mata ...” Ungkap Irwan di seberang sana. Rupanya aku dan Irwan berhadapan dengan situasi yang sangat sulit apabila ditanya risiko penangkapan.
“Hhhmm ... Pembelinya ada di mana?” Tanyaku karena aku pikir harus merubah lokasi penurunan barang. Aku tidak mungkin membiarkan hidupku berakhir konyol.
“Mereka menunggu di tengah laut ... Sebuah kapal nelayan besar ...” Jawab Irwan.
“Wan ... Aku akan turunkan barang-barangmu di tempat ini ... Aku juga gak tau tempat apa ini ... Aku serlok ya ...” Kataku. Bukannya tanpa alasan aku berpikiran demikian. Tempat ini hanya beberapa kilometer dari lokasi penurunan barang yang direncanakan semula.
“Hhhmm ... Baiklah ...” Jawab Irwan lagi.
Aku pun menepikan mobil di pinggir jalan yang berjarak sekitar dua puluh meter dari bibir pantai. Aku memberitahukan lokasiku berada pada Irwan dengan menggunakan google map. Sambil menunggu Irwan aku mulai membongkar muatan mobilku lalu membawa karung satu per satu ke tepi pantai. Keadaan yang sangat sepi membuatku agak tenang memindah karung-karung itu ke tepi pantai. Tidak lebih setengah jam karung-karung itu sudah beralih tempat.
Baru saja aku hendak duduk istirahat di bawah pohon kelapa, sebuah mobil berhenti di belakang mobil bak terbuka yang baru saja muatannya aku bongkar. Irwan berjalan ke arahku dengan langkah cepat. Tampak sekali wajahnya begitu tegang.
“Sekarang ... Apa rencanamu?” Tanya Irwan panik.
“Kita sewa kapal nelayan ... Cari kapal nelayan ... Jangan yang besar ... Yang kecil saja tapi banyak ...” Kataku sambil menyalakan rokok yang sejak tadi sudah siap dibakar.
“Okay ... Aku akan cari kapalnya ... Kamu tunggu di sini ...” Katanya lagi sambil berlalu cepat dari hadapanku.
Aku hisap rokok dalam-dalam ditemani dengan angin semilir dan deru ombak yang lumayan menenangkan pikiran. Orang yang lewat tidak akan curiga padaku karena karung-karung telah kusembunyikan di balik pelapah kelapa yang jatuh. Satu batang rokok habis, aku sambung lagi dengan rokok berikutnya. Lama-lama aku merasa bosan juga menunggu kapal nelayan yang dipesan Irwan datang. Memang, yang namanya menunggu ditambah lagi dengan ketidakpastian itu sangat melelahkan.
Baru pada hisapan rokok ketiga, aku melihat tiga buah kapal nelayan bermesin tiba di bibir pantai di mana aku menunggu. Irwan dengan beberapa orang langsung menghampiriku. Tanpa berkata lagi, aku dan empat orang yang lain mengangkut karung-karung yang kusembunyikan ke kapal nelayan tersebut dengan dibagi rata. Tak lama, semua karung sudah siap diberangkatkan.
“Kamu langsung saja kembali ke Jakarta ... Untuk selanjutnya, biar dan anak buahku yang urus ... Oh ya, ganti tuh plat nomor ... Nomor yang lain ada di dalam dashboard ...” Kata Irwan yang kelihatan sudah agak santai.
“Kamu serius gak mau aku temani?” Tanyaku sebelum meninggalkannya.
“Sudah ... Biar aku yang menyelesaikannya ...” Kata Irwan sambil tersenyum dan aku angkat jempolku.
Aku pandang ketiga kapal nelayan itu sejenak. Kemudian aku kembali ke mobil bak terbuka di pinggir jalan. Aku turuti saran Irwan untuk mengganti plat nomor kendaraan. Setelahnya, aku melaju meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Jakarta. Kali ini aku tidak menggunakan jalan tol, aku pilih jalan menyusuri kota walaupun harus bermacet-macet ria. Resikonya, aku harus memakan waktu selama empat jam lebih untuk sampai di rumahku.
“Ya ampun ... Kotor sekali ... Habis nyawah kang ...?” Sambut Suti saat aku masuk ke dalam rumah. Suti menatapku dengan tatapan aneh.
“Mobil mogok ... Tadi aku coba benerin tapi gak bisa ... Aku masukan bengkel saja ... Tuh lihat ... Akang dipinjemin mobil sama orang bengkel ...” Kataku berbohong.
“Em ... Ya, sudah ... Akang mandi dulu ... Suti tunggu di dapur ...” Ujar ‘ibu negara’ sambil berlalu dari hadapanku.
Aku pun masuk ke kamar dan segera mandi lalu mengganti pakaian. Setelah merasa rapi dan bersih, aku menuju dapur. Meja makan sudah siap, dengan makanan dan minuman yang masih mengepul panas. Aku dan Suti pun menyantap makan malam dengan menu yang cukup simple namun nikmat disertai obrolan ringan dan lepas tawa.
“Kang ... Aku minta ijin pulang ... Kangen sama anak ...” Ucap Surti setelah kami selesai makan.
“Kamu tuh kebiasaan ... Kalau mau pulang ya tinggal pergi aja ...” Kataku sambil membantu Suti membereskan bekas makan kami.
“Ya nggak enak atuh kang ... Tetep saja harus minta ijin ...” Kilahnya sambil membilas piring kotor.
“Ya ... Kapan mau pulang?” Tanyaku.
“Besok subuh aku berangkatnya ...” Jawab Suti sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk tanda setuju kemudian berlalu dari dapur menuju kamar. Lalu, kurebahkan badan di atas kasur dengan kedua tangan dilipat sebagai bantal untuk kepala. Mataku menatap langit kamar lekat-lekat. Terlintas kembali sosok Dewi dalam ingatanku. Tak bisa kupungkiri, bahwa aku merindukannya. Tiba-tiba saja smartphone-ku berbunyi. Aku pun membuka Vicall dari Irwan.
“Ya ... Wan ... Gimana?” Tanyaku sembari menatap layar smartphone bergambar wajahnya.
“Sukses, Ta ... Thanks ya udah bantu ...” Jawab Irwan tampak sumringah.
“Enak aja ... Gak cukup thanks ... Bayar ... Ha ha ha ...” Candaku.
“Udah aku transfer, Ta ... Apa gak mau ikut merayakan keberhasilan ini? Pimpinanku ngadain pesta ... Banyak cewek Ta ...” Kata Irwan sambil mengarahkan layarnya pada sekumpulan wanita muda dan cantik.
“Ha ha ha ... Gak, Ta ... Silahkan ... Aku punya yang lebih mantap di sini ... Oh, ya ... Mobilku di mana?” Tanyaku kemudian.
“Sedang meluncur ke tempat kamu, Ta ... Anak buahku nganter ke sana ... Itu mobil pick up buat kamu, Ta ... Hadiah dariku ...” Kata Irwan sangat ringan.
“Ha ha ha ... Mobil incaran polisi ... Bikin sempit garasi aja ... Ha ha ha ... Tapi makasih, Wan ...” Candaku lagi.
“Okay ya Ta ... Sekali lagi makasih ... Senang bekerja sama denganmu ...” Ucap Irwan di sana.
“Oke ... Sama-sama ...” Jawabku lalu memutuskan Vicall.
Aku meletakan smartphone di meja kecil samping tempat tidur. Kembali aku merebahkan diri dan menghayalkan Dewi. Entah kenapa, saat ini pikiranku terfokus pada wanita itu. Sekitar lima menit berselang, terdengar suara mesin mobilku. Langsung saja aku bangkit dari tempat tidur lalu keluar kamar. Aku berjalan cepat ke arah pintu rumah. Benar saja mobilku telah terparkir di halaman, Suti yang menghadapi anak buah Irwan yang tidak mau singgah dahulu.
“Mobilnya kok kotor banget ...?” Tanya Suti menatapku curiga.
“Gak tau tuh ... Kali dipake dulu sama dia?” Kilahku.
Aku segera saja kembali ke dalam kamar menghindari mulut Suti yang bawel. Aku naik ke atas tempat tidur untuk terpejam secepat mungkin. Aku tarik selimut menutupi sampai leherku, kehangatan selimut cukup membantu mengatasi udara yang sangat dingin. Tak lama, Suti ikut masuk dalam selimutku. Sesaat kami ngobrol sebelum akhirnya kami pun terlelap.
Denta Pov
Hari sudah sore, sebentar lagi hari akan berganti malam. Aku memacu kendaraanku ke arah Desa Sukamukti. Aku memutuskan untuk beristirahat di rumah kakek sekaligus memberitahukan kalau aku sudah mendaftar di kepolisian. Kutancap gas lebih kencang dari biasanya, dalam waktu 45 menit aku sudah sampai di Desa Sukamukti padahal sewajarnya sejam lebih waktu tempuh dari kota kabupaten ke desaku ini. Saat memasuki jalan desa, tiba-tiba smartphone-ku berbunyi dan tertera nama Bi Isah di layar.
“Ya ... Bi ...” Sapaku padanya.
“
Kamu di mana?” Tanya Bi Isah yang kurasa tidak seperti biasa menanyakan keberadaanku.
“Aku lagi di jalan desa menuju rumah kakek ...” Jawabku sambil terus fokus pada jalanan desa yang lumayan rusak.
“
Aih ... Kamu ke rumah bibi dulu deh ... Bibi kangen sama kamu ...” Kata Bi Isah yang membuatku tertawa.
“Ha ha ha ... Tumben banget ... Sejak kapan ngangenin aku?” Candaku sekaligus merasa lucu saja dengan omongan Bi Isah.
“
Ah kamu ini ... Cepet ke sini ...!” Dan ini suaranya yang asli.
“Iya ... Iya ... Sebentar lagi sampai ...” Jawabku sambil geleng-geleng kepala.
“
Ya udah ... Bibi tunggu ya ...” Katanya lagi.
“Iya ...” Jawabku singkat lalu memutuskan sambungan telepon.
Kebetulan untuk menuju rumah kakek, rumah Bi Isah terlewati. Hanya sepuluh menit dari posisiku saat ditelepon, aku pun sampai di rumah Bi Isah. Hari sudah gelap dan tampak sekali rumah Bi Isah sepi seperti tak berpenghuni. Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, aku lanjut ke teras dan langsung saja membuka pintu yang tidak terkunci, kemudian masuk begitu saja ke dalam rumah bibiku ini.
“Bi ...” Teriakku saat berada di ruang depan.
“Masuk saja ... Sini ...!” Balas Bi Isak yang juga berteriak. Suaranya berasal dari ruang belakang.
Aku melangkah ke belakang rumah dan melewati pintu penghubung antara ruang depan dan belakang. Langkahku agak lambat ketika melihat keajaiban dunia yang kesebelas. Aku sangat terkejut melihat Bi Isah yang memakai gaun terusan yang lumayan ketat sehingga walaupun seluruh tubuhnya tertutup namun lekuk-lekuk tubuhnya yang menawan itu tercetak dengan jelas. Keterkejutanku pun berlanjut, saat Bi Isah berbalik badan sambil memegang segelas kopi. Aku baru menyadari jika wanita itu begitu cantik. Penampilan Bi Isah kini sangat jauh dari kesan urakan. Penampilannya kini sangat mengejutkan.
“Kenapa? Ada yang salah denganku sampai kamu gak berkedip gitu melihatku ...” Kata Bi Isah sambil tersenyum lalu meletakan gelas berisi kopi itu di atas meja, seakan-akan dia tahu aku terpesona melihat tubuhnya yang bahenol tersebut.
“Wow ...” Hanya itu yang bisa aku keluarkan sebagai rasa kekagumanku. Tanpa sungkan aku menajamkan tatapanku pada buah dadanya. Terlihat ada tonjolan kecil di puncak gunung kembarnya. Aku sangat yakin kalau Bi Isah sedang tidak menggunakan bra. Aku pun duduk di kursi meja makan tanpa mengalihkan pandangan ke dadanya.
“Hei ...! Kamu ngeliatin apa sih?” Bi Isah menegur namun dengan suara genit sambil tersenyum kecil. Nada suaranya seperti sedang menggodaku, terlebih saat wanita itu sudah berada di dekatku yang dengan sengaja menyodorkan dadanya ke wajahku.
“Ini ...” Kataku sambil menempelkan telunjukku di puting susu Bi Isah saat sudah dekat denganku. Kemudian aku tekan sedikit untuk merasakan lebih tonjolan itu.
“Hi hi hi ... Dasar anak mesum ...” Ucap Bi Isah dan dengan tiba-tiba tangannya meraih belakang kepalaku lalu menekan kepalaku ke dadanya. Dan aku terhenyak karena kekenyalan bukit kembar miliknya. Wajahku menelungkupi buah dada itu walau masih tertutup baju, tapi ada rasa nikmat dan senjataku jadi tegang. Lalu aku memundurkan kepala kemudian menatapnya tapi kini tanganku yang memegangi buah dadanya dengan sedikit remasan.
“Ada apa sayang?” Tanya Bi Isah mendesah pelan. Aku tersipu malu, kemudian Bi Isah bertanya, “Mau nyusu hhh…?” Sambil matanya melirik ke buah dadanya yang indah itu.
“Boleh ...?” Tanyaku.
Tanpa menjawab Bi Isah kemudian membuka gaun terusannya. Aku harus menahan nafas tatkala terpampang tubuh mulus di hadapanku yang hanya tertutup oleh celana dalam berwarna putih itu. Kulitnya mulus dan masih kencang dengan warna kuning langsat yang tidak pucat. Payudaranya membulat sempurna dengan puting berwarna coklat kehitam-hitaman.
“Nih ... Menyusulah sepuasanya ...” Ucap Bi Isah sembari merangkak duduk di atasku mengangkang. Dadanya disodorkan ke mulutku dan dengan rakus kusedot dan kujilati buah dadanya. “Ah Denta ... Pelan-pelan sayangh ...!” Lanjut Bi Isah sembari merangkul kepalaku.
Kedua buah dadanya menjadi bulan-bulanan mulut dan tanganku. Aku semakin menggila dan mulutku kian kuat menghisap payudara besarnya itu, dan sesudahnya mata Bi Isah mulai memejam dan mulai menggigit bibir bawahnya sambil menyangga rangsangan. Buah dada beserta puting Bi Isah terasa semakin mengeras. Hal ini pertanda kalau wanita itu sudah dilanda birahi. Gurekkan tanganku untuk menyentuh pangkal pahanya. Benar saja, saat kubelai vaginanya dari luar celana dalamnya, terasa basah oleh cairan kemaluannya. Segera saja kusudahi acara ‘menyusuku’ di payudaranya.
“Bi ... Sudah basah ...” Godaku sambil terus mengusap-usap belahan daging nikmat di selangkangan bibiku.
“Sudah pengen dimasukin, sayanghh ...” Bisik Bi Isah di telingaku.
“Berdirilah dulu ...!” Pintaku agar aku bisa membuka celanaku.
“Kita pindah di kamar saja ...” Katanya sambil menarik tanganku.
Dengan senang hati aku menuruti keinginan bibiku. Kami pun memasuki kamar tidur lalu membugilkan diri hingga tak ada selembar benang pun di tubuh kami. Entah kenapa, tiba-tiba birahiku seperti ombak yang merindukan karang. Ada sensasi tersendiri ketika menikmati kepasrahan bibiku ini. Rasanya, bibiku pun sangat bergairah. Wanita itu seperti sedang kehausan. Kami terus bercumbu, saling hisap-mengisap, jilat-menjilat seakan-akan berlomba-lomba ingin memberikan kepuasan pada satu sama lain. Setelah delapan menitan aku mulai mengatur posisi di atas tubuhnya.
“Aku akan masuk.” Kataku dan dijawab dengan tatapan sahdu dan anggukan kecil.
Kupegang penisku dengan tangan untuk aku arahkan ke mulut memeknya. Hingga aku tekan pelan-pelan ke bagian memeknya. Kepala kejantananku terasa masuk ke lubang yang sempit dan dengan pelan-pelan terasa seperti dijepit oleh bibir kemaluannya. Begitu kepala keperkasaanku masuk ke dalam, sisanya terasa lebih mudah untuk masuk lebih dalam lagi.
“Aaaahh ... Dentaaa ... Aku merindukan ini ... Aaaahh ...” Bi Isah mendesah sesaat setelah batang kemaluanku amblas seluruhnya di lorong nikmat itu. Rasanya sangat hangat dan memberikan sensasi yang luar biasa mendapatkan vagina Bi Isah yang masih terasa rapat dan peret.
Wajahku diciumi seluruhnya, kedua tangannya sekarang dirangkulkan ke badanku. Akhirnya pelan-pelan aku mulai menggerakkan penisku mundur sampai batas kepalanya, berhenti sedetik dan mulau maju kembali hingga berakhir tenggelam dalam genggaman nikmat vagina Bi Isah. Aku memompa vagina Bi Isah dengan nafsu menggelora, maju-mundur kadang aku gerakan memutar sehingga serasa penisku menjelajahi setiap bagian vaginanya.
“Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ...” Desah Bi Isah saat penisku mendobrak masuk vaginanya. Desah lirihnya kian meningkatkan nafsuku sehingga seraya tetap melayangkan batangku, kini kedua buah dadanya menjadi pegangan kedua telapak tanganku.
Bi Isah terus mengerang dan meracau di setiap gerakanku yang semakin lama semakin bersemangat. Setiap kali Bi Isah mengerang, makin kupercepat gerakan pinggulku, hingga penisku menghujam-hujam dengan cepat kemaluannya. Aku menutup mata dan merasakan rasa yang timbul dari gesekan alat kelamin kami sambil terus menggerakkan penisku. Keringat telah membasahi badan dan gerakan kami mulai melambat tetapi tekanannya meningkat untuk mengimbangi perasaan nikmat yang menyebar ke seluruh tubuh kami.
Tangan Bi Isah menarikku hingga tubuhku menghimpit tubuhnya. Lalu kakinya melingkar di pinggangku, sementara telapak kakinya yang ada di atas pantatku menghentak-hentakkan pinggulku hingga makin dalam tusukkan penisku di vaginanya. Bi Isah terlihat sangat menikmati persetubuhan ini. Berkali-kali dia mendesah dan mengerang karena nikmat. Matanya kadang menatapku sambil tersenyum lalu terpejam menikmati tusukkan penisku di vaginanya.
Kurasakan kaitan kaki Bi Isah makin erat, hentakan telapak kakinya di pantatku makin keras, tetapi tidak langsung dilepas seperti tadi, melainkan waktu penisku menghujam di vaginanya, Bi Isah menekan pinggulku agak lama dan tentu saja penis agak lama juga berdiam diri di dalam vagina wanita itu. Yang kurasakan saat penisku berdiam di dalam vagina Bi Isah beberapa detik, terasa vaginanya makin hangat dan makin basah, hingga sampai suatu saat Bi Isah memekik sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Penisku amblas seluruhnya di dalam vagina Bi Isah. Apalagi ditambah tekanan telapak kaki Bi Isah di pinggulku juga makin kencang. Pelukan Bi Isah makin erat. Tiba-tiba kuku tangan kanannya yang tajam mencengkram pundak kiriku sementara tangan kirinya mengkait erat leherku.
“Sssshh … Nikmat sekali … Aku pipis …!” Teriak Bi Isah disela-sela orgasmenya. Aku percepat kocokan penisku untuk menyempurnakan orgasme Bi Isah. Mulutku mencari-cari putingnya lalu menghisapnya dengan kuat. “Aaaaaaccchhh ...!” Bi Isah melenguh panjang lalu diam lemas tak bergerak.
“Kita istirahat dulu ya ... Bibi capek kan ...?” Kataku sambil menciumi wajah Bi Isah yang cantik lalu berhenti dengan membiarkan penisku tetap di dalam vaginanya.
“Jangan … Lanjut aja ...!” Bi Isah merengek manja.
Di tengah kelelahannya, tangan Bi Isah kembali memelukku dengan kencang. Bibir dan lidahnya menyusuri muka dan leherku, sedangkankan kedua kakinya kembali melingkar pinggangku dengan erat. Rupanya Bi Isah tak ingin aku berhenti mempompakan penisku di vaginanya. Kembali aku ayunkan pantatku untuk memompa vagina Bi Isah.
“Kamu belum keluar kan ...?” Kata Bi Isah lagi pelan.
Aku jawab dengan anggukan. Penisku yang belum tercabut dari vaginanya digoyang dan dikocok vagina Bi Isah. Gerakan pinggul Bi Isah tak seganas tadi, lebih lebih lembut dan pelan tapi terasa sangat nikmat. Dengan semangat dan bergairah aku pompakan penisku ke dalam vaginanya, dan kembali Bi Isah mengerang sambil meremas rambutku. Berkali-kali bibirnya mencari bibirku kemudian melumat dan menyedot. Lidahnya mengait lidahku. Kami saling hisap dan saling menggoyangkan pinggul.
Kembali aku mengambil posisi agak tegak dengan meluruskan kedua lenganku. Lalu aku raih kaki Bi Isah satu per satu dan aku angkat ke depan dadaku lalu kurapatkan kedua kakinya kemudian aku tekuk lututnya. Dengan posisi ini, vagina Bi Isah menyempit dan terasa lebih menjepit penisku. Demikian pula gesekan penisku di vaginanya lebih terasa. Bi Isah berkali-kali mengerang dan menjerit.
“Aaahh … Nikmat sekali … Ssshh … Aahhh …” Ucap Bi Isah di sela desahannya.
Aku memompa vagina Bi Isah dengan cara cepat dan pelan berganti-ganti. Kadang aku menghujamkan dengan keras penisku, kadang aku tarik dengan cepat tapi tidak sampai lepas kemudian aku hujamkan lagi dengan cepat dan keras. Erangan, teriakan dan desahan Bi Isah makin sering dan makin keras terdengar. Hal ini membuat aku makin bergairah menusuk-nusukkan penisku. Apalagi kemudian badan Bi Isah meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri seperti ular yang mengejar mangsanya. Aku percepat gerakan pinggulku memompa Bi Isah lalu aku pelankan lagi.
“Ssshh ... Kamu nakal ... Aaahh ...” Erang Bi Isah.
“Bibi suka ...?” Tanyaku sambil terus menggenjotnya.
“Eennaakk ... Saayyaangg ... Aaahh ...” Jawabnya.
Aku mencari klitorisnya dengan jari tangan kananku sementara tangan kiriku menahan kedua kakinya agar tetap tertekuk dan rapat di depan dadaku. Kemudian, aku elus klitoris Bi Isah sambil terus mengocok penisku. Reaksi Bi Isah sungguh luar biasa ketika jari dan jempolku mengelus dan memijit klitoris yang tegang dan licin terkena cairan yang terus-menerus merembes keluar dari vaginanya. Erangannya makin keras. Pinggulnya bergoyang makin hebat. Tiba-tiba dengan kuat kedua tangannya mencengkram tanganku yang mengesek-gesek klitorisnya. Jari dan jempolku terus mengelus dan memijit klitoris Bi Isah dengan cepat.
Tubuh Bi Isah meliuk-liuk tak karuan, kadang ke kanan dan ke kiri, lalu melengkung ke belakang, lalu membungkuk ke depan, lalu ke belakang lagi, ke depan lagi dan seterusnya. Akhirnya terdengar jeritan Bi Isah yang sangat keras disertai gerakan tubuhnya yang mengejang dengan kuat sambil melengkung ke belakang. Kepalanya mendongak, pinggulnya bergetar hebat sampai aku dapat merasakan penisku seperti dipijat dan digetarkan, lalu vagina Bi Isah terasa sangat basah dan hangat. Selanjutnya aku melepas kedua kaki wanita itu yang tertekuk dan rapat di depan dadaku. Kaki Bi Isah kembali membelit pinggangku. Selanjutnya aku peluk Bi Isah sambil menggeser tubuhku sehingga pangkal penisku berada di bagian atas vaginanya.
Ini aku maksudkan agar pangkal penisku berada di bagian atas vaginanya sehingga klitoris Bi Isah makin merasakan tekanan penisku. Genjotanku makin aku perkuat dan percepat. Jeritan Bi Isah makin menjadi, gerakannya makin liar, sementara vaginanya makin kuat mencengkeram dan menggetarkan penisku. Vaginanya seolah memijat dan menghisap penisku. Penisku serasa diremas kemudian dipilin dengan benda yang sangat kenyal, licin dan hangat. Akibatnya penisku pun berdenyut-denyut. Rasa nikmat yang luar biasa mulai aku rasakan di ujung penisku, lalu perlahan menjalar menuju pangkalnya. Rasa nikmat itu kembali mengalir dari pangkal penisku dan dengan cepat menuju ujungnya.
“Sssshh ... Aku maauu ... Keluuuaaarrr ...” Kataku mengeksperesikan kenikmatan yang aku rasakan.
Bi Isah menjawab dengan mengaitkan kakinya kembali ke pinggangku kemudian menariknya sehingga penisku menghujam makin dalam. Aku tekan vagina Bi Isah dengan penisku dalam-dalam kemudian aku peluk wanita di bawahku sambil kucari bibirnya lalu melumat dan menghisapnya kuat-kuat saat spermaku muncrat di dalam vagina. Bi Isah memekik kecil karena semprotan spermaku mengenai dinding liang vaginanya.
“Oh … Sayyaaangghh … Nikmat sekali …!” Desah Bi Isah.
Mataku terpejam erat menikmati sisa-sisa puncak kenikmatanku yang mulai mereda. Belaian belaian mesra Bi Isah benar-benar membuatku merasa nyaman, dan aku mulai bisa mengatur nafasku. Kemudian kami terkulai dengan posisi aku menindih tubuh Bi Isah. Bi Isah masih berusaha menciumi wajahku dan menghisap bibirku. Kubuka mataku dan menatap mata Bi Isah. Kami tersenyum puas lalu kembali Bi Isah mencium bibirku.
“Sayang ... Sudah lama aku ingin seperti ini ...” Ucap Bi Isah sambil mengusap-usap wajahku.
“Kenapa gak bilang?” Tanyaku lalu mengecup bibirnya sekilas.
“Ya malu ... Masa cewek duluan yang minta ...” Jawab Bi Isah.
“Habisnya bibi gak mau kasih sinyal ... Kalau sejak dulu bibi mau telanjang, pasti aku terkam ...” Candaku sambil tersenyum.
“Hi hi hi ... Iya juga sih ... Habisnya kamu juga sih, seperti gak peduliin aku ...” Ucap Bi Isah lagi sambil mempererat pelukannya.
“He he he ... Dah, gak usah dibahas ... Yang penting sekarang aku bisa nikmatin bibiku sendiri.” Kataku lalu beranjak dari atas tubuhnya. “Untung si mamang belum pulang.” Lanjutku agak khawatir.
“Mamang kamu gak pulang hari ini ... Katanya ada dinas luar ...” Sahut Bi Isah yang juga turun dari tempat tidur kemudian berpakaian sepertiku.
“Bi ... Aku laper ... Ada makanan apa?” Tanyaku yang merasa perutku sudah protes minta diisi.
“Bibi masakin sayur bayam aja ya ... Sama goreng tempe ...” Jawab Bi Isah.
Kami pun keluar dari kamar dan memasak di dapur. Aku dan Bi Isah tertawa dan bercanda seperti telah meletakkan segala beban. Kami merayakan hari jadi ini dengan makan malam bersama walau dengan menu ala kadarnya. Ternyata kami memang sama-sama sudah lama menginginkan seperti ini. Kami sama-sama sudah lama saling tertarik. Namun rasa malu dan sungkan yang selama itu membatasinya.
Setelah selesai makan, kami melanjutkan permainan cinta kami di dalam kamar. Kami seperti pengantin baru yang sedang ber-
honey moon. Kami bercinta seolah dunia diambang kiamat. Entah sudah berapa lama dan berapa kali ganti posisi telah kami lakukan. Dan kini kami terbaring kelelahan namun dengan rasa puas yang tak terhingga. Akhirnya kami pun ngobrol ke sana kemari, terutama tentang kesibukan masing-masing selama kami tidak bertemu.
“Tadi siang ... Ibumu datang ke sini ... Dia ingin ketemu denganmu ...” Tiba-tiba Bi Isah berucap demikian dan tentu saja membuat keningku berkerut.
“Ibuku? Tika maksud bibi?” Tanyaku sambil mendorong tubuhnya yang berada di atasku dan kini akulah yang menindihnya.
“Iya ... Ibumu ... Si Tika ... Dia ingin sekali ketemu denganmu ...” Lanjut Bi Isah mempertegas pernyataannya.
“He he he ... Bibi udah dibohongi sama dia ... Aku sudah ketemu dengannya ... Dia bahkan lagi bikin usaha dengan bantuan modal dariku ...” Kataku membuka tabir hubunganku dengan Tika.
“Apa??? Kurang ajar tuh orang ...!” Ujar Bi Isah terkejut dengan mata melotot.
Akhirnya aku ceritakan sejujur-jujurnya pertemuanku dengan Tika pada Bi Isah. Wanita itu pun terkaget-kaget mendengar penuturanku dengan sesekali mengangakan mulutnya. Sesekali menyayangkan hubungan incest-ku dengan Tika. Tapi aku tidak peduli dan yang aku pikirkan adalah akan menyatukan mantan-mantan istri ayahku di bawah kekuasaanku.
“Sekarang aku sedang berusaha menyelamatkan Dewi ... Nanti aku akan satukan mereka di satu tempat ...” Aku akhiri ceritaku.
“Kamu memang gila ... Kenapa kamu menginginkan mereka menjadi satu ... Dan kayaknya usahamu tak akan terjadi ...” Respon Bi Isah yang masih tampak terkejut dengan ceritaku barusan.
“Dengan menyatukan mereka dan menjadikan mereka pelayanku ... Si Budi pasti akan sakit hati dan frustasi ... Apalagi kalau mantan-mantan istrinya hidup makmur di bawah kekuasaanku ... Sementara dia terus hidup miskin ...” Aku ungkapkan juga alasanku.
“Hhhhmm ... Iya juga ... Tapi ...” Ucap Bi Isah seperti sengaja ditahan. Wanita itu berusaha bangkit dan aku pun bergerak dari atas tubuhnya. “Keinginanmu itu gak akan tercapai ...” Ucap Bi Isah sembari memakai pakaiannya dan aku pun segera memakai celana dalamku.
“Kenapa?” Tanyaku penasaran sembari memakai celana panjangku.
“Pertama, si Dewi sekarang gila ... Kedua, kalau pun gilanya sembuh, Tika gak akan rela kalau kamu deket dengan si Dewi ... Karena Tika sangat membencinya ...” Papar Bi Isah yang sukses membuatku terkejut.
“Tika membenci Dewi?” Aku bergumam sekaligus bertanya. Informasi ini sungguh sangat mengejutkanku.
“Ya ... Banyak sekali perbuatan Dewi yang menyakiti perasaan Tika ... Aku ceritakan sebagian ... Dengerin ...! Pertama, saat Dewi merebut ayahmu dari Tika ... Kedua, si Dewi bersama-sama ayahmu menjual Tika sampai terlunta-lunta di Malaysia, untungnya ada orang yang menyelamatkan Tika dan membawanya ke sini lagi. Kamu gak akan percaya kalau yang menyelamatkan Tika adalah Tatang yang mati itu ... Ketiga, Tika dan Tatang ternyata menjalin kasih dan mau menikah. Dan Tatang pun diambil Dewi lagi. Yang paling menyakitkan perasaan Tika adalah pas hari perkawinannya, si Tatang gak dateng malah kawin dengan si Dewi di tempat lain.” Jelas Bi Isah panjang lebar. Sontak saja aku terhenyak, ternyata betapa jahatnya seorang Dewi.
“Hhhhmm ...” Aku hanya bisa bergumam. Pikiranku mulai kacau, perasaan pun makin gelisah karena menghadapi sebuah dilema.
“Lupakan saja si Dewi ... Karena dia juga sudah gila ...” Kata Bi Isah sembari memeluk tubuhku. “Kan ada aku gantinya ...” Lanjutnya dengan suara pelan.
“Kurang afdol kalau Dewi tak bisa berkumpul dengan mereka.” Kilahku sengaja menyembunyikan ‘kegilaan’ Dewi pada Bi Isah. “Aku tetap ingin mereka berempat berada di bawah kekuasaanku.” Lanjutku.
“Hah ...! Gimana bisa? Si Dewi itu udah gila ...!” Ujar Bi Isah sedikit memekik. Ia bergerak dan memandangku dengan tatapan tak percaya.
“Dia bisa sembuh ... Aku yakin itu ... Bi, bantu aku mendamaikan Tika dan Dewi ...” Pintaku kemudian sembari menangkup kedua bahunya dan menatapnya sungguh-sungguh meminta pertolongannya.
“Kamu serius?” Tanyanya dengan wajah teramat heran. Alisnya hampir bertemu, jelas sekali kalau ia sedang bingung.
“Serius ... Aku tetap perlu Dewi ... Dan aku berharap bibi bisa mendamaikan mereka ...” kataku sangat tegas dan jelas. Bi Isah dengan bibir yang seksi itu menatapku lamat-lamat seolah ingin membaca pikiranku.
“Dewi itu gila ...” Ucap Bi Isah setengah mendesah dan tak percaya dengan rencanaku.
“Dewi tidak gila ... Dia hanya depresi ... Dia akan sembuh ...” Tegasku lagi. Aku meregangkan posisi kami dan aku tangkup pipinya. Mata kami saling menyelami.
“Baiklah ... Akan aku coba ...” Akhirnya ucapan yang aku tunggu keluar juga dari mulut Bi Isah. Entahlah, aku sangat yakin dengan kemampuan Bi Isah untuk mendamaikan Tika dan Dewi.
“Sebagai penyemangat ... Kalau bibi berhasil mendamaikan mereka ... Aku janji akan membelikan rumah baru buat bibi lengkap dengan segala perabotannya ...” Keluar juga janjiku.
“Ih ... Beneran nih?” Bi Isah sedikit terperanjat. Aku memperhatikan mimik wajah Bi Isah, dia terlihat begitu senang.
“Aku serius ...” Jawabku sambil tersenyum dan menganggukan kepala.
“Okey ... Kalau begitu aku akan serius mendamaikan Tika dan Dewi ...” Jawab Bi Isah. “Kita tidur sekarang ... Hari sudah malam ... Aku ngantuk dan capek sekali ...” Lanjut Bi Isah sembari membaringkan tubuhnya di atas kasur. Aku pun mengikuti wanita itu berbaring di sebelahnya.
Kami berbincang hanya sebentar karena Bi Isah keburu larut dalam tidurnya. Aku peluk tubuh Bi Isah dan kuelus rambutnya. Tapi entah kenapa dan karena apa, aku punya perasaan yang lain kepada wanita ini. Bukan hanya sekedar nafsu, tetapi ada
feeling yang tidak terlukiskan. Tak seberapa lama, tubuhku yang merasa lelah, mataku pun mulai sayup tanpa sadar aku pun sudah terlelap.
Bersambung
Sambungannya ada di sini ...