Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
PART 8


Author Pov

Seorang pria paruh baya berpakaian jas rapi dan berkacamata hitam berdiri dengan tangan bersidekap. Aura kepemimpinannya menguar lekat hampir setara dengan seorang kaisar. Di sebelah pria paruh baya itu berdiri beberapa orang berpakaian jas hitam yang tampak takjim kepadanya. Mereka semua kini berada di sebuah ruko di mana di hadapan mereka terdapat segunung bungkusan yang berisikan narkoba berjenis sabu-sabu. Tampak kebingungan menguasai suasana di sana sehingga semua orang enggan memulai bicara.

“Polisi sudah mengendus barang ini ... Sudah beberapa kali kita pindahkan tetapi polisi berhasil mengikuti kita. Padahal pembeli kita sudah menunggu ... Tapi kita masih terhalang oleh mata-mata polisi ... Kalian coba bantu berfikir ... Bagaimana caranya mengeluarkan barang kita ini hingga sampai ke tangan pembeli ... Pembeli kita hanya memberikan waktu sampai tengah malam ini ... Kalau sampai tidak terjual, aku khawatir polisi akan menemukan dan menyita barang kita ...” Pria paruh baya yang ternyata seorang pemimpin sindikat akhirnya bersuara mengeluarkan keluh kesahnya.

“Sulit juga ... Berdasarkan informasi, semua dermaga telah dijaga polisi ... Termasuk dermaga kita ...” Ujar salah seorang di antara mereka.

“Irwan ... Bagaimana menurutmu?” Tanya sang pemimpin pada orang termuda di sana. Walaupun demikian, Irwan adalah salah satu orang yang menjadi andalan sang pemimpin karena semua tugasnya dapat diselesaikan dengan baik.

“Selama ini saya hanya mengambil barang ... Saya tidak punya pengalaman untuk mengirim ...” Irwan merasa tak percaya diri dengan tugas pengiriman.

“Kemampuanmu sangat aku andalkan ... Aku percaya kalau kamu bisa melakukannya ...” Ucap sang pemimpin setengah memaksa.

“Maaf pak ... Saya tidak berani ...” Ucap irwan menyerah dengan kemampuan dan keberaniannya.

“Baiklah kalau begitu ... Bagi kalian yang berani mempertaruhkan nyawa kalian untuk mengantar barang ini ke pembeli ... Akan aku beri 10 milyar ...” Ucap sang pemimpin yang terdengar spektakuler namun ditanggapi dingin oleh semua yang hadir.

Semua terdiam, tak berani bertatap muka dengan sang pemimpin yang sedang tidak dalam kondisi yang patut untuk dijawab tantangannya. Sang pemimpin pun menghela nafas panjang dan keras sambil menatap anak buahnya yang tertunduk satu persatu. Raut wajah kecewa sang pemimpin pun semakin terlukis dengan nyata. Dan lagi-lagi ia menatap ke arah Irwan.

“Bagaimana Irwan? Kamu sanggup melaksanakannya?” Tanya sang pemimpin membuat tubuh pemuda itu bergetar. Namun pada saat yang bersamaan, otaknya seperti mendapatkan cahaya terang. Irwan mengangkat kepala dan menatap pimpinannya.

“Saya akan bawa teman saya ... Saya perlu bantuannya ...” Jawab Irwan yang langsung disambut dengan senyuman lebar sang pemimpin.

“Bagus ... Laksanakan secepatnya ... Kita tidak punya waktu banyak ... Naikkan barang kita ke atas mobil ... Cepat!” Perintah sang pemimpin yang direspon cepat anak buahnya. Dua puluh karung yang berisikan bungkusan narkoba itu langsung disimpan pada mobil bak terbuka.

“Irwan ... Sekali lagi ... Aku sangat mengandalkanmu ... Aku berharap kamu berhasil dan ambil uangmu setelah misi ini selesai ...” Ucap sang pemimpin sembari merangkul bahu anak buah yang paling ia percaya.

“Siap pak ...” Jawab Irwan dengan perasaan tak menentu.

Beberapa menit berselang, dua puluh karung sudah berpindah dari lantai ke atas mobil bak terbuka. Semua orang meninggalkan ruko tersebut kecuali Irwan yang gelisah. Pekerjaannya kali ini memang harus bertaruh dengan nyawa. Setelah semuanya pergi, Irwan langsung mengambil smartphone-nya lalu menelepon seseorang dengan tangan gemetar.​

----ooo----

Denta Pov

Puluhan orang berbondong-bondong mendatangi kantor Polres Jakarta Timur. Mereka membawa surat keterangan yang dijadikan syarat untuk mendaftar menjadi anggota kepolisian. Seperti dengan diriku yang serius mengisi formulir dan membacanya dengan seksama. Beberapa meja aku sambangi untuk dicek kelengkapannya. Tinggi dan berat badan juga diperiksa sebagai sebagai syarat awal untuk menjadi seorang polisi. Hampir seharian aku mengurus keperluanku di kantor Polres ini dan sampai juga di penghujungnya. Dengan sedikit gontai aku berjalan ke tempat parkiran. Hampir saja tanganku menyentuh pintu mobil, tiba-tiba smartphone-ku berdering. Aku ambil alat komunikasi itu dari saku celana. Setelah melihat identitas si penelepon, aku langsung mengangkatnya.

“Ya ... Wan ...” Sapaku pada Irwan di seberang sana.

Uang kamu sudah saya transfer ... Tapi aku sekarang butuh bantuanmu lagi ...” Ucap Irwan yang terdengar sedikit bergetar.

“Wah ... Kayaknya gak bisa tuh ... Aku harus ke Desa Sukamukti lagi sekarang juga ... Ada urusan sangat penting.” Tolakku yang memang berniat ke sana karena mendapat telepon dari Tari.

Nilainya 6 milyar ... Kerjaan nganter barang doang ...” Ucap Irwan yang tentu membuat liurku mendadak ingin keluar dari mulut.

“Hah ...! Serius ...?” Tanyaku kaget dan tak percaya.

Serius ... Upah kamu 6 milyar ... Asal barang ini sampai ke tujuan ...” Ucap Irwan lagi yang semakin otakku bekerja keras. Pekerjaan mengantar dengan upah sebegitu besar berarti barang yang diantar bukan barang sembarangan.

“Wan ... Kalau boleh tau ... Barang apa yang harus aku anter?” Tanyaku mulai curiga. Iwan tak langsung menjawab pertanyaan. Ada beberapa detik jeda sebelum temanku ini bersuara.

Narkoba ...” Jawabnya pelan dan lesu.

“Sudah kuduga ... Berarti selama ini kamu berbisnis barang haram itu ...” Kataku agak tegas.

Bukan punyaku, Ta ... Tapi punya boss-ku ... Aku hanya menjalankan perintah ...” Jawab Irwan masih dengan suara lemasnya.

“Hhhhmm ... Berapa banyak narkoba yang harus dikirim dan kemana?” Tanyaku sangat serius.

Satu setengah ton lebih dikit ... Dikirim ke tengah laut di daerah Karawang ...” Jelas Irwan yang membuatku tersentak kaget. Benar-benar gila kalau harus mengirim narkoba sebanyak itu.

“Hah ...! Banyak sekali ...?” Gumamku sambil geleng-geleng kepala. Itu uang besar. Apa yang bisa aku lakukan dengan uang sebanyak itu. Namun pastilah sangat mengasyikan.

Ta ... Tolong aku ya ... Hanya kamu andalanku ...” Rengeknya yang dulu sering kudengar kini terdengar lagi dengan nada yang sama. Dan aku pun tersenyum.

“Tujuh milyar ... Aku berangkat ...” Jawabku setengah bercanda. Jujur saja, aku sangat tergiur dengan uang sebanyak itu. Rasanya aku bisa bersenang-senang dengan uang tersebut.

Deal ... Aku kasih alamat dan kamu segera ke sini ...” Ucap Irwan terdengar sangat bersemangat dan telponku langsung diputusnya.

Tak lama, Irwan mengirim pesan Whatsapp yang berisikan alamat yang lumayan jauh dari tempatku saat ini. Segera saja aku bergerak ke alamat yang diberikan Irwan. Jalanan benar-benar padat, aku melalui jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Hampir dua jam di jalanan, akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan. Aku langsung disambut dengan pelukan oleh Irwan yang tentu saja aku tolak dengan mendorong tubuhnya.

“Kamu ini kenapa sih?” Tanyaku sangat heran melihat sikap Irwan yang menurutku kelewatan.

“Aku takut, Ta ...” Suara Irwan bergetar yang memang terdengar sedang menahan rasa takutnya.

“Makanya ... Kalau cari gawe yang aman-aman saja ...” Selorohku yang mungkin terdengar oleh Irwan tanpa perasaan.

“itu barangnya ...” Tunjuk Irwan pada mobil bak terbuka yang di belakangnya tampak membumbung terselubungi terpal dan terikat tambang sangat kuat. Sejenak aku berjalan mengelilingi mobil bak terbuka tersebut. “Ini kuncinya ... Kamu yang bawa ...” Kata Irwan kemudian.

“Aku bawa mobil ini ... Kamu bawa mobilku ... Riskan kalau kita berdua dalam satu mobil ...” Kataku berprediksi kalau Irwan bersamaku akan sedikit menghambat dan mungkin akan menjadi masalah. “Kamu segeralah menuju lokasi ... Beri saja alamat lokasi yang jelas padaku ... Kita pergi terpisah saja ...” Lanjutku sambil memberikan kunci dan surat mobilku.

“Kamu serius?” Irwan melotot seperti tak percaya dengan ucapanku.

“Iya ... Pergilah ...!” Kataku sangat yakin.

Irwan menjabat tanganku sangat erat. Beberapa kali ia pun menepuk-nepuk bahuku. Tampak sekali kalau ia khawatir sekaligus berharap. Irwan langsung keluar ruko sementara aku membuka gerbang dorong ruko. Setelahnya aku keluarkan mobil yang membawa satu setengah ton narkoba itu lalu memarkirkannya di pinggir jalan. Sebentar saja aku tutup gerbang dorong ruko hingga tertutup kembali. Dan dengan sangat tenang aku mulai melajukan kendaraanku yang sangat mungkin sudah diintai aparat penegak hukum.

Kini tujuanku Kota Karawang. Aku coba menikmati pemandangan dan udara sekitar di sepanjang perjalanan yang menurutku begitu-begitu saja. Ketenangan adalah kunci dari penyelesaian masalah, sebesar apapun masalah itu. Seperti yang aku rasakan saat ini. Masalah sepertinya akan menghampiriku. Sejak awal keberangkatan ada sebuah minibus yang terus mengikuti kemana aku pergi. Namun tak perlu gusar, aku sudah punya solusinya.

Setelah beberapa menit aku semakin yakin kalau pengemudi minibus itu dengan sengaja mengekor kendaraanku. Sementara itu, aku terus melaju dengan kecepatan konstan. Aku mulai memakai topi, masker dan kacamata hitam. Instingku mengatakan kalau tidak lama lagi akan ada penyergapan. Aku pun mulai memasuki jalan bebas hambatan, dan aku tambah kecepatan. Minibus itu masih terus menguntit di belakang. Dan tiba-tiba aku baru sadar kalau minibus penguntit kini menyalipku dan seorang di dalamnya memberikan isyarat agar aku menepi.

“Hei ...! Minggir ...!” Teriak seorang polisi sambil mengarahkan pistolnya padaku. Posisiku berada di lajur kiri dengan jendela terbuka. Polisi tersebut persis di sebelah kananku. Segera saja aku putar posisi cincinku lalu menekan batunya dengan jempolku.

“Apa pak ...!” Teriakku pada si polisi dan terasa batu cincinku menghangat pertanda si polisi sudah dalam penguasaanku.

“Minggir ...!” Teriaknya lagi sambil melotot namun kendaraanku masih tetap melaju.

“Itu bapak kenapa bawa-bawa ular berbisa? Itu di samping bapak gorila ganas ... Bapak bareng-bareng dengan gorila ...!” Teriakku memberikan sugesti.

Aku lihat mata si polisi membelalak lalu melemparkan pistolnya begitu saja. Kemudian, terdengar teriakannya sambil memukul orang di sampingnya. Tentu saja minibus itu menjadi oleng dan tak lama menabrak pembatas jalan lalu memutar sekali dan berhenti. Aku lihat dari kaca spion kalau kejadian itu tidak menjadi kecelakaan beruntun. Aku kini bisa bersiul menikmati perjalananku ke tempat tujuan. Jalan tol yang kulalui pun seakan melebar hingga aku bisa melaju dengan kecepatan maksimal.

Hampir satu jam di jalan bebas hambatan, akhirnya aku keluar dari jalan tol. Aku buka smartphone untuk mengecek alamat yang dikirim Irwan. Ternyata aku diarahkan ke sebuah pantai yang bernama Cimalaya. Daerah yang sering aku kunjungi sehingga tak perlu lagi aku menggunakan penunjuk arah. Aku besut kendaraanku menuju pantai itu tanpa ragu, namun aku gunakan ‘jalan kampung’ untuk mencapai pantai tersebut walaupun harus agak mengeliling dan melalui jalanan yang lumayan rusak. Sambil menjalankan kendaraan pelan, aku coba menghubungi Irwan.

“Wan ... Di mana posisi?” Tanyaku pada Irwan yang entah di mana keberadaannya setelah sambungan teleponku diangkatnya.

Aku hampir sampai di dermaga ... Tapi kayaknya banyak sekali mata-mata ...” Ungkap Irwan di seberang sana. Rupanya aku dan Irwan berhadapan dengan situasi yang sangat sulit apabila ditanya risiko penangkapan.

“Hhhmm ... Pembelinya ada di mana?” Tanyaku karena aku pikir harus merubah lokasi penurunan barang. Aku tidak mungkin membiarkan hidupku berakhir konyol.

Mereka menunggu di tengah laut ... Sebuah kapal nelayan besar ...” Jawab Irwan.

“Wan ... Aku akan turunkan barang-barangmu di tempat ini ... Aku juga gak tau tempat apa ini ... Aku serlok ya ...” Kataku. Bukannya tanpa alasan aku berpikiran demikian. Tempat ini hanya beberapa kilometer dari lokasi penurunan barang yang direncanakan semula.

“Hhhmm ... Baiklah ...” Jawab Irwan lagi.

Aku pun menepikan mobil di pinggir jalan yang berjarak sekitar dua puluh meter dari bibir pantai. Aku memberitahukan lokasiku berada pada Irwan dengan menggunakan google map. Sambil menunggu Irwan aku mulai membongkar muatan mobilku lalu membawa karung satu per satu ke tepi pantai. Keadaan yang sangat sepi membuatku agak tenang memindah karung-karung itu ke tepi pantai. Tidak lebih setengah jam karung-karung itu sudah beralih tempat.

Baru saja aku hendak duduk istirahat di bawah pohon kelapa, sebuah mobil berhenti di belakang mobil bak terbuka yang baru saja muatannya aku bongkar. Irwan berjalan ke arahku dengan langkah cepat. Tampak sekali wajahnya begitu tegang.

“Sekarang ... Apa rencanamu?” Tanya Irwan panik.

“Kita sewa kapal nelayan ... Cari kapal nelayan ... Jangan yang besar ... Yang kecil saja tapi banyak ...” Kataku sambil menyalakan rokok yang sejak tadi sudah siap dibakar.

“Okay ... Aku akan cari kapalnya ... Kamu tunggu di sini ...” Katanya lagi sambil berlalu cepat dari hadapanku.

Aku hisap rokok dalam-dalam ditemani dengan angin semilir dan deru ombak yang lumayan menenangkan pikiran. Orang yang lewat tidak akan curiga padaku karena karung-karung telah kusembunyikan di balik pelapah kelapa yang jatuh. Satu batang rokok habis, aku sambung lagi dengan rokok berikutnya. Lama-lama aku merasa bosan juga menunggu kapal nelayan yang dipesan Irwan datang. Memang, yang namanya menunggu ditambah lagi dengan ketidakpastian itu sangat melelahkan.

Baru pada hisapan rokok ketiga, aku melihat tiga buah kapal nelayan bermesin tiba di bibir pantai di mana aku menunggu. Irwan dengan beberapa orang langsung menghampiriku. Tanpa berkata lagi, aku dan empat orang yang lain mengangkut karung-karung yang kusembunyikan ke kapal nelayan tersebut dengan dibagi rata. Tak lama, semua karung sudah siap diberangkatkan.

“Kamu langsung saja kembali ke Jakarta ... Untuk selanjutnya, biar dan anak buahku yang urus ... Oh ya, ganti tuh plat nomor ... Nomor yang lain ada di dalam dashboard ...” Kata Irwan yang kelihatan sudah agak santai.

“Kamu serius gak mau aku temani?” Tanyaku sebelum meninggalkannya.

“Sudah ... Biar aku yang menyelesaikannya ...” Kata Irwan sambil tersenyum dan aku angkat jempolku.

Aku pandang ketiga kapal nelayan itu sejenak. Kemudian aku kembali ke mobil bak terbuka di pinggir jalan. Aku turuti saran Irwan untuk mengganti plat nomor kendaraan. Setelahnya, aku melaju meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Jakarta. Kali ini aku tidak menggunakan jalan tol, aku pilih jalan menyusuri kota walaupun harus bermacet-macet ria. Resikonya, aku harus memakan waktu selama empat jam lebih untuk sampai di rumahku.

“Ya ampun ... Kotor sekali ... Habis nyawah kang ...?” Sambut Suti saat aku masuk ke dalam rumah. Suti menatapku dengan tatapan aneh.

“Mobil mogok ... Tadi aku coba benerin tapi gak bisa ... Aku masukan bengkel saja ... Tuh lihat ... Akang dipinjemin mobil sama orang bengkel ...” Kataku berbohong.

“Em ... Ya, sudah ... Akang mandi dulu ... Suti tunggu di dapur ...” Ujar ‘ibu negara’ sambil berlalu dari hadapanku.

Aku pun masuk ke kamar dan segera mandi lalu mengganti pakaian. Setelah merasa rapi dan bersih, aku menuju dapur. Meja makan sudah siap, dengan makanan dan minuman yang masih mengepul panas. Aku dan Suti pun menyantap makan malam dengan menu yang cukup simple namun nikmat disertai obrolan ringan dan lepas tawa.

“Kang ... Aku minta ijin pulang ... Kangen sama anak ...” Ucap Surti setelah kami selesai makan.

“Kamu tuh kebiasaan ... Kalau mau pulang ya tinggal pergi aja ...” Kataku sambil membantu Suti membereskan bekas makan kami.

“Ya nggak enak atuh kang ... Tetep saja harus minta ijin ...” Kilahnya sambil membilas piring kotor.

“Ya ... Kapan mau pulang?” Tanyaku.

“Besok subuh aku berangkatnya ...” Jawab Suti sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk tanda setuju kemudian berlalu dari dapur menuju kamar. Lalu, kurebahkan badan di atas kasur dengan kedua tangan dilipat sebagai bantal untuk kepala. Mataku menatap langit kamar lekat-lekat. Terlintas kembali sosok Dewi dalam ingatanku. Tak bisa kupungkiri, bahwa aku merindukannya. Tiba-tiba saja smartphone-ku berbunyi. Aku pun membuka Vicall dari Irwan.

“Ya ... Wan ... Gimana?” Tanyaku sembari menatap layar smartphone bergambar wajahnya.

“Sukses, Ta ... Thanks ya udah bantu ...” Jawab Irwan tampak sumringah.

“Enak aja ... Gak cukup thanks ... Bayar ... Ha ha ha ...” Candaku.

“Udah aku transfer, Ta ... Apa gak mau ikut merayakan keberhasilan ini? Pimpinanku ngadain pesta ... Banyak cewek Ta ...” Kata Irwan sambil mengarahkan layarnya pada sekumpulan wanita muda dan cantik.

“Ha ha ha ... Gak, Ta ... Silahkan ... Aku punya yang lebih mantap di sini ... Oh, ya ... Mobilku di mana?” Tanyaku kemudian.

“Sedang meluncur ke tempat kamu, Ta ... Anak buahku nganter ke sana ... Itu mobil pick up buat kamu, Ta ... Hadiah dariku ...” Kata Irwan sangat ringan.

“Ha ha ha ... Mobil incaran polisi ... Bikin sempit garasi aja ... Ha ha ha ... Tapi makasih, Wan ...” Candaku lagi.

“Okay ya Ta ... Sekali lagi makasih ... Senang bekerja sama denganmu ...” Ucap Irwan di sana.

“Oke ... Sama-sama ...” Jawabku lalu memutuskan Vicall.

Aku meletakan smartphone di meja kecil samping tempat tidur. Kembali aku merebahkan diri dan menghayalkan Dewi. Entah kenapa, saat ini pikiranku terfokus pada wanita itu. Sekitar lima menit berselang, terdengar suara mesin mobilku. Langsung saja aku bangkit dari tempat tidur lalu keluar kamar. Aku berjalan cepat ke arah pintu rumah. Benar saja mobilku telah terparkir di halaman, Suti yang menghadapi anak buah Irwan yang tidak mau singgah dahulu.

“Mobilnya kok kotor banget ...?” Tanya Suti menatapku curiga.

“Gak tau tuh ... Kali dipake dulu sama dia?” Kilahku.

Aku segera saja kembali ke dalam kamar menghindari mulut Suti yang bawel. Aku naik ke atas tempat tidur untuk terpejam secepat mungkin. Aku tarik selimut menutupi sampai leherku, kehangatan selimut cukup membantu mengatasi udara yang sangat dingin. Tak lama, Suti ikut masuk dalam selimutku. Sesaat kami ngobrol sebelum akhirnya kami pun terlelap.​

----ooo----

Beberapa Hari Kemudian ...

Pekerjaan berbahaya dengan penghasilan besar telah aku lewati dengan gemilang. Kini aku bisa merasakan bagaimana menjadi orang kaya. Keuntungan menjadi orang kaya adalah pikiran yang relatif lebih tenang dan segala keinginan akan dengan mudah tercapai. Ya, dengan uang segalanya menjadi mudah karena uang adalah simbol kedaulatan. Kekuatan uang sangat menganggumkan. Terbukti sudah kekuatan uang sangat begitu efektif menyelesaikan permasalahan hidup sesuai dengan yang diinginkan. Sekarang, aku hidup bagaikan seorang ‘raja’ yang dikelilingi para ‘selir’ cantik.

Sudah satu malam aku menginap di sebuah hotel berbintang di Kota Bandung bersama Tari dan Marni. Sayang, Tika tidak bisa ikut bersama kami dikarenakan ada urusan yang harus ia selesaikan. Entahlah, aku tidak tahu urusan apa yang membuat Tika menolak ikut ibukota provinsi ini. Sehari sebelumnya aku membela dua buah ruko yang nantinya akan aku jadikan tempat usaha para wanitaku. Kedua ruko itu kini sedang direnovasi untuk dijadikan satu. Di lantai bawah akan dijadikan cefe sementara bagian atasnya akan dibuat kamar-kamar.

Pukul 6.30 pagi dengan dihiasi udara kota Bandung yang masih sedikit berkabut, aku duduk berselonjor di atas kasur sambil melihat Marni yang sedang mengulum penisku. Lidahnya itu dengan leluasa menjilati permukaan penisku dan puncaknya. Kepala penisku dijilatinya dan kemudian kembali mengulumnya sampai habis. Aku meremas rambutnya sambil menahan kenikmatan yang diberikan wanita itu pada penisku.

"Emmhhh ... Penismu sangat nikmat sayang ..." Ucap Marni di sela blowjob-nya yang kini sedang berada di antara kedua pahaku lalu mengulum penisku lagi dan juga mengocoknya perlahan.

“Uhh ... Lidahmu sangat nikmat ...” Kataku sambil terus menikmati kuluman Marni dan memegang kepalanya untuk memaju-mundurkan kepala wanita itu.

“Emmhh ... emmhh ... emhhh ...” Hanya itu yang bisa diucapkan Marni karena saat ini mulutnya sedang penuh dengan penisku. Tangannya mengocok-ngocok pangkal penisku. Dan mulutnya mengulum kepala penisku dengan lahapnya.

“Aahh ... Marni ... Pake memekmu saja ...” Kataku sembari mendesah nikmat. Kutarik bahunya hingga wanita itu bangkit dan menduduki selangkanganku. Alat kelamin kami sudah saling menempel.

“Hi hi hi ...” Wanita di atasku hanya tertawa genit. Tangan Marni memegang penisku lalu mengarahkannya ke lubang nikmat miliknya.

“Slep ...! Bleeesss ...!" Seluruh batang kejantananku ditelan kewanitaannya. Batang kejantananku terasa hangat dan basah serta seperti sedang dipijat dan disedot-sedot. Aku pegang bokongnya dan kutekan-tekankan agar mepet ke pangkal pahaku, agar mencoblos lebih dalam lagi.

“Aahh ... Memekku rasanya sangat penuh ..." Desah Marni sambil mulai memaju mundurkan pinggulnya hingga penisku keluar masuk vagina wanita di atasku ini.

Vagina Marni menjepit ketat, membuat kepala penisku serasa terjebak tak bisa bergerak. Goyangan Marni semakin liar. Aku pindahkan kedua tanganku ke arah pinggannya dan tanganku mulai membantu mengangkat dan mendorong pinggul Marni agar terus bergoyang dengan cepat. Aku lihat penisku timbul tenggelam dibekap lubang vaginanya yang hangat. Rintihan tak pernah berhenti keluar dari mulutnya.

"Aahhh ... Aahhh ... Aahhh ... Enak saayyaannghh ..." Racau Marni menikmati permainan kami.

Marni dengan lincah dan ganas melonjak-lonjak di atas tubuhku. Bunyi keciplak alat kelamin kami yang bergesekan serta benturan selakangan kami menambah panasnya persetubuhan yang membuat kami bercucuran keringat. Rasanya sudah cukup lama kelamin kami saling bercengkrama. Marni sampai memejamkan matanya menikmati genjotan demi genjotan. Pada akhirnya, kedua tangan Marni kini merangkul kepalaku dan membenamkannya ke kedua gunung kembarnya yang besar dan halus. Aku tahu dia akan mengalami klimaksnya. Aku kulum dan lumat payudaranya, kepala Marni menengadah merasakan nikmat yang tiada tara atas rangsangan pada dua titik tersensitifnya. Tak berselang kemudian, Marni mulai kejang-kejang dan bergerak sangat keras.

"Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ... A-aku keluar saayyaangh ... A-aku keluar ... Aaaahhhhhh ...!" Teriak Marni dengan melengkung ke depan. Aku langsung meremas buah dadanya sekeras mungkin untuk memberikan efek maksimal orgasme. Tubuhnya yang menegang kaku itu membuat berkelonjotan dan ambruk dalam pelukanku. Kuusap-usapkan punggungnya yang mulus itu. Badannya masih bergerak berkelonjotan dan semakin lemas dan akhirnya diam. Tak lama kemudian bangun dan ia masih duduk di selakanganku dengan nafas tak karuan.

“Kuat sekali kamu, sayang … Dari semalam kamu gak kalah-kalah ...” Puji Marni sembari mengusap-usap wajahku yang berkeringat.

“Kalau aku lemah ... Nanti kalian pada kabur dong ...” Candaku dengan tangan melingkari pinggangnya. Untuk beberapa saat kami saling berpagutan dengan batang penisku masih tertanam dalam liang vagina Marni.

“CKLEEK ...!” Suara pintu kamar mandi dibuka mengalihkan pandangan kami berdua. Ternyata Tari baru saja selesai mandi.

"Astaga Marni ... Suaramu sangat keras ... Bagaimana kalau orang dengar?" Ucap Tari sambil berjalan mendekati tempat tidur. Wajahnya dibuat khawatir.

"Tenang saja Tari ... Gak akan ada yang mendengar ..." Kata Marni sambil menatap wanita yang hanya menggunakan handuk, dan itu membuat paha mulusnya terlihat jelas, dan jangan lupakan dada besarnya yang menyembul karena handuk yang tidak muat menutupinya.

“Kamu turun ... Aku akan menghajar Tari ...” Bisikku pada Marni. Wanita itu pun tersenyum lalu melepas pelukan kemudian berusaha mencabut penisku, perlu perjuangan kecil mencabut penisku itu terlepas dari sarangnya.

“Gak Denta ... Aku sudah mandi ...” Ucap Tari saat menyadari tatapanku padanya. “Apa kamu gak puas ngentotin kami dari kemarin?” Ucap Tari lagi yang terdengar kesal.

“Sini!” Kataku sedikit keras.

“Ahk ... Kamu ini ...!” Protes Tari namun ia naik juga ke atas ranjang setelah melepas handuknya. “Mau posisi apa?” Tanya Tari sembari mengelap penisku dengan memakai tissue basah.

“Terlentanglah ...!” Perintahku.

Tari pun kemudian berbaring terlentang sambil membuka pahanya. Terlihat bukit kemaluannya yang menganga serta berwarna merah muda yang dikelilingi oleh rambut yang cukup lebat. Tanpa buang waktu lagi kulanjutkan permainan setan ini. Kujilati, kuciumi sambil kumasukkan telunjukku ke lubang senggamanya. Tak lama, kugunakan telunjukku untuk mengutak-atik onderdil yang ada di dalam liang senggamanya dan ibu jariku kutekan-tekan ke klitorisnya. Lalu jilatan-jilatan kuarahkan ke sekitar belahan-belahan memeknya. Cara ini ternyata sukses membangkitkan gairah bercinta wanita ini.

“Ayo Denta ... Dimulai ... Aaahh ...!” Desah Tari sembari menggeliat ke sana ke mari. "Aaahh ... Aaahh ..." Dia mendesah hebat. Lidahku terus menginvasi kewanitaannya. Pahanya memenjarakan kepalaku, tangannya menarik wajahku semakin dekat dengan kewanitaannya.

Kumainkan milik Tari dengan jari-jariku. Memberikan sentuhan-sentuhan halus di sekitar kewanitaannya dan kemudian membuka lipatannya. Kuhimpit klitorisnya dengan jari tengah dan jari telunjukku. Kugesek-gesekkan ke kanan dan ke kiri. Dia melenguh nikmat. Melihat ekspresinya aku semakin percaya diri. Kini kumainkan lipatannya seperti bermain piano. Satu jari menekan satu titik, diikuti jari lainnya secara bergantian. Sepertinya dia menyukai ritmeku. Tangannya meremas sprei, jari-jari kakinya melengkung. Saatnya aku menuju tahapan selanjutnya.

Aku pun bangkit dari selangkangannya. Kutatap tubuhnya. Sungguh sempurna dan indah. Wanita yang begitu cantik ini terlentang di bawahku, menungguku memasuki dirinya. Kugesek-gesekan milikku di vaginanya, membuat kewanitaannya semakin licin, siap kumasuki. Pelan-pelan kudorong milikku memasuki gerbang mahkotanya. Tatapanku tidak lepas dari raut wajahnya. Mata Tari terpejam, alisnya sedikit terangkat, dan mulutnya terbuka. Ekspresi wanita itu antara sakit dan nikmat. Dan dalam sekali hentak, milikku berada sepenuhnya dalam kehangatan liang kewanitaannya. Rasanya sungguh nikmat. Dinding kewanitaannya hangat dan ketat, membungkus milikku jauh melesak ke dalam dirinya.

"Ahh ... Ahh ... Ahh ... Yah ... Aku merasa nikmat ..." Desah nikmat Tari saat kejantananku mulai keluar masuk lorong senggamanya. Sambil terus menggenjot, tanganku sibuk bermain dengan dada besar Tari yang bergoyang seirama dengan gerakan maju mundurku.

"Kau sangat sempiiitt ... Aaahhh ...!" Kuhentakkan kejantananku keluar masuk miliknya. Vagina Tari memang begitu terasa sempit, penisku benar-benar dibungkus erat.

Aku dan Tari yang dikuasai nafsu birahi itu pun mengayuh kenikmatan dan lupa segalanya. Aku yang di atas terus menghentak sementara Tari dengan penuh gairah, menggoyang pantatnya naik turun sambil kadang diputar, merasakan nikmatnya batang penisku yang besar dan keras seakan mengobok-obok memeknya, memberinya kenikmatan yang membuatnya lupa diri. Gerakan memutar yang dilakukan Tari membuatku merasakan dinding memek Tari berkontraksi luar biasa dan menjepit penisku dengan jepitan yang bervariasi dan berbeda, membuatku semakin merasakan nikmat.

“Tari ... Jepitanmu ... Enaaak ...” Gumamku yang merasakan nikmat bersenggama. Cengkraman vaginanya benar-benar membuatku gila dan menyiksa semua syaraf-syaraf kenikmatanku.

“Aaayyoooo ... Keluariiinn bareeng ... Aaahh ...” Ucap Tari di sela-sela desahannya.

Aku pun semakin bersemangat menggenjot lubang nikmat itu sampai terdengar bunyi tubrukan antara kulit kami. Tari di bawahku terus saja mendesah keenakan sampai setengah berteriak-teriak. Pinggulku terus meliuk-liuk saat penisku terus menusuk-nusuk liang kenikmatannya, menggali liang vaginanya itu, mengais kenikmatan di dalam celah sempit di selangkangannya. Batang penisku begitu rajin menyodok-nyodok celah kenikmatannya yang semakin banjir oleh lelehan lendir-lendir vagina. Aku mengayunkan batang kemaluanku dengan teratur, dibetot dan dibenamkan berkali-kali pada belahan vagina Tari yang hangat nikmat. Wajah Tari pun mengernyit menahan rasa nikmat, sepertinya ia tidak dapat lagi mengontrol vaginanya yang berdenyutan.

“A..aku ... Maauuu .... Aaaaaaccchhh ...!” Ucapan Tari tak tuntas keburu diterjang gelombang orgasme yang menghantamnya. Tubuh wanita itu kejang seketika. Vagina Tari terasa lebih hangat saat cairannya muncrat, dinding vaginanya bergerinjal-gerinjal berkontraksi kuat meremas-remas batang penisku. Makin kuat kocokan penisku pada memek Tari, makin kencang pula pelukannya.

Nafas Tari tertahan seakan tidak ingin kehilangan momen-momen indah menggapai puncak kenikmatan. Disebabkan denyutan vagina Tari yang sangat kencang ditambah rasa hangat guyuran lendir cintanya, aku pun tak tahan. Terasa sekali spermaku berebutan keluar dari kepala penisku. Dan akhirnya kupercepat kocokanku sementara Tari semakin mengencangkan otot-otot vaginanya seperti berharap aku segera mencapai puncak.

“Aaaaaaccchhhh ...” Aku menggeram.

“Croott ... Croott ... Croott ... Croott ... Croott ...!” Tak kurang lima kali semprotan spermaku.

Puncak birahi Tari menggelegak saat aku menumpahkan puncak kenikmatanku dalam-dalam membenam di vagina Tari yang meremas-remas dengan ketat, bersama semburan cairan kentalku. Beberapa saat kemudian, kami saling memandang dengan diam. Terdengar sisa-sisa nafas kelelahan, masih terasa sisa-sisa kenikmatan bagi kami berdua. Pada akhirnya, dengan lemas aku turun dari atas tubuhnya dan berbaring di sampingnya. Tari lalu memposisikan tubuhnya di atas tubuhku.

“Kalian pasti kehausan ...” Tiba-tiba Marni bergabung di atas ranjang yang masih dalam keadaan telanjang. Marni membawa dua botol minuman mineral lalu memberikan minuman itu padaku dan Tari. Aku langsung meminum air mineral itu sampai tandas.

“Sekitar dua bulan lagi kita akan beroperasi ... Sebaiknya kita harus mulai merekrut wanita penghibur ...” Kata Tari yang kini sudah duduk bersila di sebelahku.

“Itukan urusan kamu dengan Tika ... Urusanku adalah membuat cafe yang menarik dan laku ...” Ucap Marni dengan sedikit senyum.

“Hi hi hi ... Benar juga ... Sayangnya Tika terlalu sibuk dengan urusannya sendiri ...” Ucap Tari sembari turun dari tempat tidur. “Sebaiknya kita siap-siap pulang.” Lanjut Tari sambil memungut handuknya di lantai.

Kami pun bersiap-siap untuk cek out. Setelah jam menunjukkan pukul 09.00 pagi, kami pun meninggalkan hotel yang penuh dengan cerita indah. Kami bertiga kembali ke kota kabupaten tempat kami tinggal. Perjalanan pun dimulai, sepanjang perjalanan kami banyak mengobrol, mulai dari kisah-kisah kecil hingga rencana-rencana besar yang selama ini masih menjadi impian. Ya, benar kita harus bermimpi dulu. Sebagai seorang yang menginginkan kesuksesan. Jangan pernah takut untuk bermimpi karena mimpi akan membawa masa depan ke pintu gerbang kesuksesan.​

----ooo----

Author Pov

Ketika matahari tepat di atas kepala, seorang wanita duduk termenung dengan kepala yang disangga dengan tangan, matanya saling menempel dan pikirannya kusut seperti benang tak terurai. Dan pada saat ini hanya ada perasaan dendam yang telah lama tersimpan di hati si wanita. Dia merasa tidak rela kalau wanita yang ia benci bisa lepas dari jeratan hukum yang telah ia rencanakan. Ia pun menghela nafas keras untuk melegakan dadanya yang terasa sesak, meskipun hal itu tak membantu banyak.

Ingatan Tika kembali surut ke belakang, menelusuri hari-hari saat dirinya merasa dipermalukan. Apa jadinya jika di hari pernikahan yang sangat ditunggu-tunggu salah satu calon mempelai harus membatalkan pernikahan dengan alasan yang tak jelas? Tentu sangat menyakitkan. Terlebih tamu undangan sudah datang dan juga biaya pernikahan yang cukup besar dan jika pun harus dibatalkan semuanya tidak akan dikembalikan. Tika yang saat itu masih berusia 20 tahun seharusnya menikahi Tatang. Namun setelah segala persiapan pernikahan dirancang dan hari pernikahan tiba, mempelai laki-laki tidak datang. Ternyata di hari yang sama Tatang malah menikahi Dewi di tempat lain.

“Sudahlah ... Jangan diingat-ingat terus ... Pikiranmu akan terus sakit ... Gak baik terus menerus memendam dendam ... Toh, sekarang orangnya sudah gila ...” Tiba-tiba suara seorang wanita membuyarkan lamunan Tika.

Wanita yang baru datang itu adalah Isah. Tika sengaja berkunjung ke rumah Isah sekedar untuk ‘curhat. Tika sangat ingin mengeluarkan ‘uneg-uneg’ hatinya. Memang, Tika sering berkunjung ke rumah Isah sejak Denta pergi dari desa ini ke kota metropolitan. Hubungan kedua wanita ini sangat dekat dan Isah sering memberinya masukan yang terkadang sangat bermanfaat bagi Tika. Isah pun menyimpan dua gelas kopi di atas meja tamu, lalu mengambil bungkusan rokok putih dari atas meja.

“Aku masih penasaran ...” Gumam Tika sambil mengambil sebatang rokok yang disodorkan Isah padanya.

“Aku gak nyangka ... Kalau ini semua adalah setingan kamu ... Tadinya aku nyangka kalau Dewi memang serakah ingin menguasai kekayaan si Tatang sendirian ... Eh ternyata ada dalangnya ... Hi hi hi ...” Ungkap Isah yang baru tahu kejadian yang sebenarnya tentang Dewi.

“Tapi harusnya gak begini ... Aku mau dia mendekam di penjara ... Bukannya jadi gila ...” Ucap Tika agak kesal lalu membakar rokoknya.

“Kamu ini gimana sih ... Si Dewi yang jadi gila itu lebih sakit daripada di penjara ... Sudahlah, ini sudah selesai. Dan pemenangnya adalah kamu ...” Ucap Isah yang sedikitnya membesarkan hati Tika.

“Hhhmm ... Iya sih ... Ya, sudahlah ... Aku akan terima ...” Ungkap Tika yang akhirnya menerima keadaan. Inilah yang disujai Tika dari Isah. Isah sangat bisa membuat hatinya tenang.

“Nah gitu ... Eh, gimana kabar selingkuhanmu?” Tanya Isah membelokan tema pembicaraan sembari menatap kemayu ke arah Tika.

“Si Hendarto ...! Aku sudah bosan ... Mau aku putusin ... Orangnya pelit ...” Jawab Tika agak ketus seraya menunjukkan muka kesalnya.

“Hi hi hi ... Kalau gitu, lempar ke aku saja ...” Canda Isah di sela tawanya.

“Ambil sana ...! Gak ada gunanya deket dengan dia ...” Ungkap Tika dan mulai menghisap rokoknya.

“Hi hi hi ... Kayaknya udah punya penggantinya?” Isah asal menebak saja masih sambil tertawa. Kedua matanya menelisik dalam ke arah Tika terlihat seperti sedang mengamati.

“Hi hi hi ... Kamu gak akan percaya kalau aku ceritakan ...” Ucap Tika setengah menggoda Isah agar penasaran.

“Tuh kan ... Aku sih sudah bisa menebak ... Pasti ada ganti si Hendarto ... Ceritain dong siapa dia?” Kata Isah yang memang menjadi penasaran.

“Rahasia dong ... Hi hi hi ...” Tika enggan memberitahu Isah.

“Ih sebel ...!” Ucap Isah sambil cemberut. “Oh ya ... Apa kamu sudah ketemu anakmu, si Denta ...” Lanjut Isah bertanya hubungan ibu dan anak itu. Tika pun berpikir sejenak lalu memutuskan untuk berbohong.

“Belum ...” Jawab Tika pelan.

“Temuilah dia ... Anak itu adalah intan berlian yang kamu punya ... Hidupmu akan makmur sejahtera kalau kamu mau berbaikan dengannya ...” Isah menasehati Tika dengan kalimat yang sudah sangat sering Tika dengar keluar dari mulut sahabatnya itu.

“Iya ...” Jawab Tika sangat singkat sambil tersenyum. Ternyata kalimat yang sering keluar dari mulut Isah itu tak ada yang meleset sedikit pun.

“Sebenernya anak itu ngangenin ... Dia sudah hampir seminggu gak ada ke sini ... Malah aku yang kangen ...” Ucap Isah setengah mendesah yang merasa rindu pada sosok Denta. Rasa rindu wanita itu persis seperti merindukan seorang kekasih.

“Hei ... Kamu suka sama dia ya?” Tanya Tika sambil menatap tajam Isah. Dan tiba-tiba saja Isah terkejut karena tak sadar berkeluh kesah hatinya pada Tika.

“Ya iya lah ... Aku ikut mengurusnya ...” Isah berkilah dan segera menjawab logis atas pertanyaan Tika yang terdengar sedang menghakiminya. Namun Tika berpendapat lain.

“Bukan ah ... Kamu suka anak itu sebagai lelaki dewasa kan ...?” Pertanyaan Tika semakin menyudutkan Isah. Ya, Isah seperti tertodong dan tak bisa menghindar. Isah pun terdiam karena malu mengakuinya. “Jujur saja ... Kalau kamu menyukai Denta untuk menjadi kekasihmu ...” Tika berkata sambil tersenyum.

“Au ah ...” Isah berusaha ‘mengeles’ namun tak berpengaruh pada Tika yang sudah sangat paham dengan hati sahabatnya itu.

“Kalau kamu benar-benar suka ... Rayu dong ... Coba berdandan dan mempercantik diri ... Mana ada laki-laki yang mau sama perempuan yang gak suka dandan sepertimu ... Coba jadi perempuan yang sesungguhnya ...” Tika memberi saran pada Isah.

“Aku gak suka dandan ... Buang-buang waktu ...” Kata Isah itu lain di mulut lain di hati. Dirinya kini sadar apa yang diucapkan Tika adalah benar adanya. Dan tiba-tiba saja Isah ingin berdandan untuk Denta.

“Hi hi hi ... Laki-laki itu suka sama dada dan paha wanita ... Tonjolkan itu, pasti dia tertarik ...” Ucap Tika setengah bercanda sambil mematikan rokoknya di asbak.

“Apa kamu mengijinkan kalau aku merayunya?” Tanya Isah sedikit ragu dan malu.

“Tuh kan ... Hi hi hi ... Udah sikat saja ... Aku gak keberatan kok ...” Jawab Tika dengan tertawa cukup keras karena merasa lucu dengan sikap Isah yang malu tapi mau.

“Iya ... Makasih ...” Pipi Isah merona merasa malu keinginan hatinya yang ‘nyeleneh’ diketahui Tika.

“Hhhmm ... Isah ... Aku perlu bantuan ...” Tiba-tiba Tika berbicara dengan nada sangat serius sembari membenarkan posisi duduknya.

“Bantuan? Bantuan apa?” Tanya Isah dengan raut heran.

“Aku lagi buka bisnis ... Bisakah mencarikan aku pegawai perempuan tapi yang cantik dan menarik ...” Ujar Tika sangat hati-hati.

“Buat apa perempuan cantik dan menarik ...? Jelasin dulu dong ... Bisnis apa yang sedang kamu buat ...?” Tanya Isah beruntun.

“Aku mau mau buka tempat pelacuran ...” Jawab Tika setengah berbisik seakan tak ingin orang lain mendengarnya.

“Hah ...! Serius ...?” Pekik Isah terkejut yang juga agak ditahan agar tidak terlalu keras.

“Serius ... Jadi gini konsepnya ... Aku dan teman-teman mau bikin cafe yang isinya para perempuan cantik. Mereka ini sebenarnya sebagai penarik saja tapi kalau mau berlanjut aku sudah sediain kamar.” Papar Tika secara garis besar. Tika pun melanjutkan ceritanya tentang konsep usaha yang akan dibangun secara rinci kepada Isah. “Nah ... Begitu ... Sekarang aku percayakan kamu mencari perempuan yang mau dengan syarat harus cantik dan menarik ...” Pungkas Tika.

“Wow ... Boleh juga tuh ... Gimana kalau aku saja yang jadi pegawainya ...” Kata Isah sedikit bercanda.

“Ya boleh saja ... Makanya harus dandan dong ... Biar laku ... Hi hi hi ...” Tika balas mencandai Isah.

“Sialan ...! Oke kalau gitu ... Aku akan cari perempuan cantiknya ...” Ujar Isah sangat bersemangat.

“Tapi ingat ... Kita gak boleh membohongi mereka ... Katakan saja apa adanya ... Bahwa mereka akan menjadi pelacur ...” Tegas Tika.

“Siap ...” Jawab Isah sambil mengacungkan jempol.

Keduanya terlibat obrolan yang cukup santai dengan beragam topik. Tanpa disadari hari mulai menjelang gelap. Tika segera berpamitan untuk kembali ke kota kabupaten. Wanita itu tidak mau diajak Isah untuk menginap di rumahnya. Isah mengantar Tika sampai di motor matic yang baru dibelikan Denta dua hari yang lalu. Tika pun langsung melajukan motor matic-nya meninggalkan pekarangan rumah Isah.​

----ooo----


Denta Pov

Hari sudah sore, sebentar lagi hari akan berganti malam. Aku memacu kendaraanku ke arah Desa Sukamukti. Aku memutuskan untuk beristirahat di rumah kakek sekaligus memberitahukan kalau aku sudah mendaftar di kepolisian. Kutancap gas lebih kencang dari biasanya, dalam waktu 45 menit aku sudah sampai di Desa Sukamukti padahal sewajarnya sejam lebih waktu tempuh dari kota kabupaten ke desaku ini. Saat memasuki jalan desa, tiba-tiba smartphone-ku berbunyi dan tertera nama Bi Isah di layar.

“Ya ... Bi ...” Sapaku padanya.

Kamu di mana?” Tanya Bi Isah yang kurasa tidak seperti biasa menanyakan keberadaanku.

“Aku lagi di jalan desa menuju rumah kakek ...” Jawabku sambil terus fokus pada jalanan desa yang lumayan rusak.

Aih ... Kamu ke rumah bibi dulu deh ... Bibi kangen sama kamu ...” Kata Bi Isah yang membuatku tertawa.

“Ha ha ha ... Tumben banget ... Sejak kapan ngangenin aku?” Candaku sekaligus merasa lucu saja dengan omongan Bi Isah.

Ah kamu ini ... Cepet ke sini ...!” Dan ini suaranya yang asli.

“Iya ... Iya ... Sebentar lagi sampai ...” Jawabku sambil geleng-geleng kepala.

Ya udah ... Bibi tunggu ya ...” Katanya lagi.

“Iya ...” Jawabku singkat lalu memutuskan sambungan telepon.

Kebetulan untuk menuju rumah kakek, rumah Bi Isah terlewati. Hanya sepuluh menit dari posisiku saat ditelepon, aku pun sampai di rumah Bi Isah. Hari sudah gelap dan tampak sekali rumah Bi Isah sepi seperti tak berpenghuni. Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, aku lanjut ke teras dan langsung saja membuka pintu yang tidak terkunci, kemudian masuk begitu saja ke dalam rumah bibiku ini.

“Bi ...” Teriakku saat berada di ruang depan.

“Masuk saja ... Sini ...!” Balas Bi Isak yang juga berteriak. Suaranya berasal dari ruang belakang.

Aku melangkah ke belakang rumah dan melewati pintu penghubung antara ruang depan dan belakang. Langkahku agak lambat ketika melihat keajaiban dunia yang kesebelas. Aku sangat terkejut melihat Bi Isah yang memakai gaun terusan yang lumayan ketat sehingga walaupun seluruh tubuhnya tertutup namun lekuk-lekuk tubuhnya yang menawan itu tercetak dengan jelas. Keterkejutanku pun berlanjut, saat Bi Isah berbalik badan sambil memegang segelas kopi. Aku baru menyadari jika wanita itu begitu cantik. Penampilan Bi Isah kini sangat jauh dari kesan urakan. Penampilannya kini sangat mengejutkan.

“Kenapa? Ada yang salah denganku sampai kamu gak berkedip gitu melihatku ...” Kata Bi Isah sambil tersenyum lalu meletakan gelas berisi kopi itu di atas meja, seakan-akan dia tahu aku terpesona melihat tubuhnya yang bahenol tersebut.

“Wow ...” Hanya itu yang bisa aku keluarkan sebagai rasa kekagumanku. Tanpa sungkan aku menajamkan tatapanku pada buah dadanya. Terlihat ada tonjolan kecil di puncak gunung kembarnya. Aku sangat yakin kalau Bi Isah sedang tidak menggunakan bra. Aku pun duduk di kursi meja makan tanpa mengalihkan pandangan ke dadanya.

“Hei ...! Kamu ngeliatin apa sih?” Bi Isah menegur namun dengan suara genit sambil tersenyum kecil. Nada suaranya seperti sedang menggodaku, terlebih saat wanita itu sudah berada di dekatku yang dengan sengaja menyodorkan dadanya ke wajahku.

“Ini ...” Kataku sambil menempelkan telunjukku di puting susu Bi Isah saat sudah dekat denganku. Kemudian aku tekan sedikit untuk merasakan lebih tonjolan itu.

“Hi hi hi ... Dasar anak mesum ...” Ucap Bi Isah dan dengan tiba-tiba tangannya meraih belakang kepalaku lalu menekan kepalaku ke dadanya. Dan aku terhenyak karena kekenyalan bukit kembar miliknya. Wajahku menelungkupi buah dada itu walau masih tertutup baju, tapi ada rasa nikmat dan senjataku jadi tegang. Lalu aku memundurkan kepala kemudian menatapnya tapi kini tanganku yang memegangi buah dadanya dengan sedikit remasan.

“Ada apa sayang?” Tanya Bi Isah mendesah pelan. Aku tersipu malu, kemudian Bi Isah bertanya, “Mau nyusu hhh…?” Sambil matanya melirik ke buah dadanya yang indah itu.

“Boleh ...?” Tanyaku.

Tanpa menjawab Bi Isah kemudian membuka gaun terusannya. Aku harus menahan nafas tatkala terpampang tubuh mulus di hadapanku yang hanya tertutup oleh celana dalam berwarna putih itu. Kulitnya mulus dan masih kencang dengan warna kuning langsat yang tidak pucat. Payudaranya membulat sempurna dengan puting berwarna coklat kehitam-hitaman.

“Nih ... Menyusulah sepuasanya ...” Ucap Bi Isah sembari merangkak duduk di atasku mengangkang. Dadanya disodorkan ke mulutku dan dengan rakus kusedot dan kujilati buah dadanya. “Ah Denta ... Pelan-pelan sayangh ...!” Lanjut Bi Isah sembari merangkul kepalaku.

Kedua buah dadanya menjadi bulan-bulanan mulut dan tanganku. Aku semakin menggila dan mulutku kian kuat menghisap payudara besarnya itu, dan sesudahnya mata Bi Isah mulai memejam dan mulai menggigit bibir bawahnya sambil menyangga rangsangan. Buah dada beserta puting Bi Isah terasa semakin mengeras. Hal ini pertanda kalau wanita itu sudah dilanda birahi. Gurekkan tanganku untuk menyentuh pangkal pahanya. Benar saja, saat kubelai vaginanya dari luar celana dalamnya, terasa basah oleh cairan kemaluannya. Segera saja kusudahi acara ‘menyusuku’ di payudaranya.

“Bi ... Sudah basah ...” Godaku sambil terus mengusap-usap belahan daging nikmat di selangkangan bibiku.

“Sudah pengen dimasukin, sayanghh ...” Bisik Bi Isah di telingaku.

“Berdirilah dulu ...!” Pintaku agar aku bisa membuka celanaku.

“Kita pindah di kamar saja ...” Katanya sambil menarik tanganku.

Dengan senang hati aku menuruti keinginan bibiku. Kami pun memasuki kamar tidur lalu membugilkan diri hingga tak ada selembar benang pun di tubuh kami. Entah kenapa, tiba-tiba birahiku seperti ombak yang merindukan karang. Ada sensasi tersendiri ketika menikmati kepasrahan bibiku ini. Rasanya, bibiku pun sangat bergairah. Wanita itu seperti sedang kehausan. Kami terus bercumbu, saling hisap-mengisap, jilat-menjilat seakan-akan berlomba-lomba ingin memberikan kepuasan pada satu sama lain. Setelah delapan menitan aku mulai mengatur posisi di atas tubuhnya.

“Aku akan masuk.” Kataku dan dijawab dengan tatapan sahdu dan anggukan kecil.

Kupegang penisku dengan tangan untuk aku arahkan ke mulut memeknya. Hingga aku tekan pelan-pelan ke bagian memeknya. Kepala kejantananku terasa masuk ke lubang yang sempit dan dengan pelan-pelan terasa seperti dijepit oleh bibir kemaluannya. Begitu kepala keperkasaanku masuk ke dalam, sisanya terasa lebih mudah untuk masuk lebih dalam lagi.

“Aaaahh ... Dentaaa ... Aku merindukan ini ... Aaaahh ...” Bi Isah mendesah sesaat setelah batang kemaluanku amblas seluruhnya di lorong nikmat itu. Rasanya sangat hangat dan memberikan sensasi yang luar biasa mendapatkan vagina Bi Isah yang masih terasa rapat dan peret.

Wajahku diciumi seluruhnya, kedua tangannya sekarang dirangkulkan ke badanku. Akhirnya pelan-pelan aku mulai menggerakkan penisku mundur sampai batas kepalanya, berhenti sedetik dan mulau maju kembali hingga berakhir tenggelam dalam genggaman nikmat vagina Bi Isah. Aku memompa vagina Bi Isah dengan nafsu menggelora, maju-mundur kadang aku gerakan memutar sehingga serasa penisku menjelajahi setiap bagian vaginanya.

“Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ...” Desah Bi Isah saat penisku mendobrak masuk vaginanya. Desah lirihnya kian meningkatkan nafsuku sehingga seraya tetap melayangkan batangku, kini kedua buah dadanya menjadi pegangan kedua telapak tanganku.

Bi Isah terus mengerang dan meracau di setiap gerakanku yang semakin lama semakin bersemangat. Setiap kali Bi Isah mengerang, makin kupercepat gerakan pinggulku, hingga penisku menghujam-hujam dengan cepat kemaluannya. Aku menutup mata dan merasakan rasa yang timbul dari gesekan alat kelamin kami sambil terus menggerakkan penisku. Keringat telah membasahi badan dan gerakan kami mulai melambat tetapi tekanannya meningkat untuk mengimbangi perasaan nikmat yang menyebar ke seluruh tubuh kami.

Tangan Bi Isah menarikku hingga tubuhku menghimpit tubuhnya. Lalu kakinya melingkar di pinggangku, sementara telapak kakinya yang ada di atas pantatku menghentak-hentakkan pinggulku hingga makin dalam tusukkan penisku di vaginanya. Bi Isah terlihat sangat menikmati persetubuhan ini. Berkali-kali dia mendesah dan mengerang karena nikmat. Matanya kadang menatapku sambil tersenyum lalu terpejam menikmati tusukkan penisku di vaginanya.

Kurasakan kaitan kaki Bi Isah makin erat, hentakan telapak kakinya di pantatku makin keras, tetapi tidak langsung dilepas seperti tadi, melainkan waktu penisku menghujam di vaginanya, Bi Isah menekan pinggulku agak lama dan tentu saja penis agak lama juga berdiam diri di dalam vagina wanita itu. Yang kurasakan saat penisku berdiam di dalam vagina Bi Isah beberapa detik, terasa vaginanya makin hangat dan makin basah, hingga sampai suatu saat Bi Isah memekik sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Penisku amblas seluruhnya di dalam vagina Bi Isah. Apalagi ditambah tekanan telapak kaki Bi Isah di pinggulku juga makin kencang. Pelukan Bi Isah makin erat. Tiba-tiba kuku tangan kanannya yang tajam mencengkram pundak kiriku sementara tangan kirinya mengkait erat leherku.

“Sssshh … Nikmat sekali … Aku pipis …!” Teriak Bi Isah disela-sela orgasmenya. Aku percepat kocokan penisku untuk menyempurnakan orgasme Bi Isah. Mulutku mencari-cari putingnya lalu menghisapnya dengan kuat. “Aaaaaaccchhh ...!” Bi Isah melenguh panjang lalu diam lemas tak bergerak.

“Kita istirahat dulu ya ... Bibi capek kan ...?” Kataku sambil menciumi wajah Bi Isah yang cantik lalu berhenti dengan membiarkan penisku tetap di dalam vaginanya.

“Jangan … Lanjut aja ...!” Bi Isah merengek manja.

Di tengah kelelahannya, tangan Bi Isah kembali memelukku dengan kencang. Bibir dan lidahnya menyusuri muka dan leherku, sedangkankan kedua kakinya kembali melingkar pinggangku dengan erat. Rupanya Bi Isah tak ingin aku berhenti mempompakan penisku di vaginanya. Kembali aku ayunkan pantatku untuk memompa vagina Bi Isah.

“Kamu belum keluar kan ...?” Kata Bi Isah lagi pelan.

Aku jawab dengan anggukan. Penisku yang belum tercabut dari vaginanya digoyang dan dikocok vagina Bi Isah. Gerakan pinggul Bi Isah tak seganas tadi, lebih lebih lembut dan pelan tapi terasa sangat nikmat. Dengan semangat dan bergairah aku pompakan penisku ke dalam vaginanya, dan kembali Bi Isah mengerang sambil meremas rambutku. Berkali-kali bibirnya mencari bibirku kemudian melumat dan menyedot. Lidahnya mengait lidahku. Kami saling hisap dan saling menggoyangkan pinggul.

Kembali aku mengambil posisi agak tegak dengan meluruskan kedua lenganku. Lalu aku raih kaki Bi Isah satu per satu dan aku angkat ke depan dadaku lalu kurapatkan kedua kakinya kemudian aku tekuk lututnya. Dengan posisi ini, vagina Bi Isah menyempit dan terasa lebih menjepit penisku. Demikian pula gesekan penisku di vaginanya lebih terasa. Bi Isah berkali-kali mengerang dan menjerit.

“Aaahh … Nikmat sekali … Ssshh … Aahhh …” Ucap Bi Isah di sela desahannya.

Aku memompa vagina Bi Isah dengan cara cepat dan pelan berganti-ganti. Kadang aku menghujamkan dengan keras penisku, kadang aku tarik dengan cepat tapi tidak sampai lepas kemudian aku hujamkan lagi dengan cepat dan keras. Erangan, teriakan dan desahan Bi Isah makin sering dan makin keras terdengar. Hal ini membuat aku makin bergairah menusuk-nusukkan penisku. Apalagi kemudian badan Bi Isah meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri seperti ular yang mengejar mangsanya. Aku percepat gerakan pinggulku memompa Bi Isah lalu aku pelankan lagi.

“Ssshh ... Kamu nakal ... Aaahh ...” Erang Bi Isah.

“Bibi suka ...?” Tanyaku sambil terus menggenjotnya.

“Eennaakk ... Saayyaangg ... Aaahh ...” Jawabnya.

Aku mencari klitorisnya dengan jari tangan kananku sementara tangan kiriku menahan kedua kakinya agar tetap tertekuk dan rapat di depan dadaku. Kemudian, aku elus klitoris Bi Isah sambil terus mengocok penisku. Reaksi Bi Isah sungguh luar biasa ketika jari dan jempolku mengelus dan memijit klitoris yang tegang dan licin terkena cairan yang terus-menerus merembes keluar dari vaginanya. Erangannya makin keras. Pinggulnya bergoyang makin hebat. Tiba-tiba dengan kuat kedua tangannya mencengkram tanganku yang mengesek-gesek klitorisnya. Jari dan jempolku terus mengelus dan memijit klitoris Bi Isah dengan cepat.

Tubuh Bi Isah meliuk-liuk tak karuan, kadang ke kanan dan ke kiri, lalu melengkung ke belakang, lalu membungkuk ke depan, lalu ke belakang lagi, ke depan lagi dan seterusnya. Akhirnya terdengar jeritan Bi Isah yang sangat keras disertai gerakan tubuhnya yang mengejang dengan kuat sambil melengkung ke belakang. Kepalanya mendongak, pinggulnya bergetar hebat sampai aku dapat merasakan penisku seperti dipijat dan digetarkan, lalu vagina Bi Isah terasa sangat basah dan hangat. Selanjutnya aku melepas kedua kaki wanita itu yang tertekuk dan rapat di depan dadaku. Kaki Bi Isah kembali membelit pinggangku. Selanjutnya aku peluk Bi Isah sambil menggeser tubuhku sehingga pangkal penisku berada di bagian atas vaginanya.

Ini aku maksudkan agar pangkal penisku berada di bagian atas vaginanya sehingga klitoris Bi Isah makin merasakan tekanan penisku. Genjotanku makin aku perkuat dan percepat. Jeritan Bi Isah makin menjadi, gerakannya makin liar, sementara vaginanya makin kuat mencengkeram dan menggetarkan penisku. Vaginanya seolah memijat dan menghisap penisku. Penisku serasa diremas kemudian dipilin dengan benda yang sangat kenyal, licin dan hangat. Akibatnya penisku pun berdenyut-denyut. Rasa nikmat yang luar biasa mulai aku rasakan di ujung penisku, lalu perlahan menjalar menuju pangkalnya. Rasa nikmat itu kembali mengalir dari pangkal penisku dan dengan cepat menuju ujungnya.

“Sssshh ... Aku maauu ... Keluuuaaarrr ...” Kataku mengeksperesikan kenikmatan yang aku rasakan.

Bi Isah menjawab dengan mengaitkan kakinya kembali ke pinggangku kemudian menariknya sehingga penisku menghujam makin dalam. Aku tekan vagina Bi Isah dengan penisku dalam-dalam kemudian aku peluk wanita di bawahku sambil kucari bibirnya lalu melumat dan menghisapnya kuat-kuat saat spermaku muncrat di dalam vagina. Bi Isah memekik kecil karena semprotan spermaku mengenai dinding liang vaginanya.

“Oh … Sayyaaangghh … Nikmat sekali …!” Desah Bi Isah.

Mataku terpejam erat menikmati sisa-sisa puncak kenikmatanku yang mulai mereda. Belaian belaian mesra Bi Isah benar-benar membuatku merasa nyaman, dan aku mulai bisa mengatur nafasku. Kemudian kami terkulai dengan posisi aku menindih tubuh Bi Isah. Bi Isah masih berusaha menciumi wajahku dan menghisap bibirku. Kubuka mataku dan menatap mata Bi Isah. Kami tersenyum puas lalu kembali Bi Isah mencium bibirku.

“Sayang ... Sudah lama aku ingin seperti ini ...” Ucap Bi Isah sambil mengusap-usap wajahku.

“Kenapa gak bilang?” Tanyaku lalu mengecup bibirnya sekilas.

“Ya malu ... Masa cewek duluan yang minta ...” Jawab Bi Isah.

“Habisnya bibi gak mau kasih sinyal ... Kalau sejak dulu bibi mau telanjang, pasti aku terkam ...” Candaku sambil tersenyum.

“Hi hi hi ... Iya juga sih ... Habisnya kamu juga sih, seperti gak peduliin aku ...” Ucap Bi Isah lagi sambil mempererat pelukannya.

“He he he ... Dah, gak usah dibahas ... Yang penting sekarang aku bisa nikmatin bibiku sendiri.” Kataku lalu beranjak dari atas tubuhnya. “Untung si mamang belum pulang.” Lanjutku agak khawatir.

“Mamang kamu gak pulang hari ini ... Katanya ada dinas luar ...” Sahut Bi Isah yang juga turun dari tempat tidur kemudian berpakaian sepertiku.

“Bi ... Aku laper ... Ada makanan apa?” Tanyaku yang merasa perutku sudah protes minta diisi.

“Bibi masakin sayur bayam aja ya ... Sama goreng tempe ...” Jawab Bi Isah.

Kami pun keluar dari kamar dan memasak di dapur. Aku dan Bi Isah tertawa dan bercanda seperti telah meletakkan segala beban. Kami merayakan hari jadi ini dengan makan malam bersama walau dengan menu ala kadarnya. Ternyata kami memang sama-sama sudah lama menginginkan seperti ini. Kami sama-sama sudah lama saling tertarik. Namun rasa malu dan sungkan yang selama itu membatasinya.

Setelah selesai makan, kami melanjutkan permainan cinta kami di dalam kamar. Kami seperti pengantin baru yang sedang ber-honey moon. Kami bercinta seolah dunia diambang kiamat. Entah sudah berapa lama dan berapa kali ganti posisi telah kami lakukan. Dan kini kami terbaring kelelahan namun dengan rasa puas yang tak terhingga. Akhirnya kami pun ngobrol ke sana kemari, terutama tentang kesibukan masing-masing selama kami tidak bertemu.

“Tadi siang ... Ibumu datang ke sini ... Dia ingin ketemu denganmu ...” Tiba-tiba Bi Isah berucap demikian dan tentu saja membuat keningku berkerut.

“Ibuku? Tika maksud bibi?” Tanyaku sambil mendorong tubuhnya yang berada di atasku dan kini akulah yang menindihnya.

“Iya ... Ibumu ... Si Tika ... Dia ingin sekali ketemu denganmu ...” Lanjut Bi Isah mempertegas pernyataannya.

“He he he ... Bibi udah dibohongi sama dia ... Aku sudah ketemu dengannya ... Dia bahkan lagi bikin usaha dengan bantuan modal dariku ...” Kataku membuka tabir hubunganku dengan Tika.

“Apa??? Kurang ajar tuh orang ...!” Ujar Bi Isah terkejut dengan mata melotot.

Akhirnya aku ceritakan sejujur-jujurnya pertemuanku dengan Tika pada Bi Isah. Wanita itu pun terkaget-kaget mendengar penuturanku dengan sesekali mengangakan mulutnya. Sesekali menyayangkan hubungan incest-ku dengan Tika. Tapi aku tidak peduli dan yang aku pikirkan adalah akan menyatukan mantan-mantan istri ayahku di bawah kekuasaanku.

“Sekarang aku sedang berusaha menyelamatkan Dewi ... Nanti aku akan satukan mereka di satu tempat ...” Aku akhiri ceritaku.

“Kamu memang gila ... Kenapa kamu menginginkan mereka menjadi satu ... Dan kayaknya usahamu tak akan terjadi ...” Respon Bi Isah yang masih tampak terkejut dengan ceritaku barusan.

“Dengan menyatukan mereka dan menjadikan mereka pelayanku ... Si Budi pasti akan sakit hati dan frustasi ... Apalagi kalau mantan-mantan istrinya hidup makmur di bawah kekuasaanku ... Sementara dia terus hidup miskin ...” Aku ungkapkan juga alasanku.

“Hhhhmm ... Iya juga ... Tapi ...” Ucap Bi Isah seperti sengaja ditahan. Wanita itu berusaha bangkit dan aku pun bergerak dari atas tubuhnya. “Keinginanmu itu gak akan tercapai ...” Ucap Bi Isah sembari memakai pakaiannya dan aku pun segera memakai celana dalamku.

“Kenapa?” Tanyaku penasaran sembari memakai celana panjangku.

“Pertama, si Dewi sekarang gila ... Kedua, kalau pun gilanya sembuh, Tika gak akan rela kalau kamu deket dengan si Dewi ... Karena Tika sangat membencinya ...” Papar Bi Isah yang sukses membuatku terkejut.

“Tika membenci Dewi?” Aku bergumam sekaligus bertanya. Informasi ini sungguh sangat mengejutkanku.

“Ya ... Banyak sekali perbuatan Dewi yang menyakiti perasaan Tika ... Aku ceritakan sebagian ... Dengerin ...! Pertama, saat Dewi merebut ayahmu dari Tika ... Kedua, si Dewi bersama-sama ayahmu menjual Tika sampai terlunta-lunta di Malaysia, untungnya ada orang yang menyelamatkan Tika dan membawanya ke sini lagi. Kamu gak akan percaya kalau yang menyelamatkan Tika adalah Tatang yang mati itu ... Ketiga, Tika dan Tatang ternyata menjalin kasih dan mau menikah. Dan Tatang pun diambil Dewi lagi. Yang paling menyakitkan perasaan Tika adalah pas hari perkawinannya, si Tatang gak dateng malah kawin dengan si Dewi di tempat lain.” Jelas Bi Isah panjang lebar. Sontak saja aku terhenyak, ternyata betapa jahatnya seorang Dewi.

“Hhhhmm ...” Aku hanya bisa bergumam. Pikiranku mulai kacau, perasaan pun makin gelisah karena menghadapi sebuah dilema.

“Lupakan saja si Dewi ... Karena dia juga sudah gila ...” Kata Bi Isah sembari memeluk tubuhku. “Kan ada aku gantinya ...” Lanjutnya dengan suara pelan.

“Kurang afdol kalau Dewi tak bisa berkumpul dengan mereka.” Kilahku sengaja menyembunyikan ‘kegilaan’ Dewi pada Bi Isah. “Aku tetap ingin mereka berempat berada di bawah kekuasaanku.” Lanjutku.

“Hah ...! Gimana bisa? Si Dewi itu udah gila ...!” Ujar Bi Isah sedikit memekik. Ia bergerak dan memandangku dengan tatapan tak percaya.

“Dia bisa sembuh ... Aku yakin itu ... Bi, bantu aku mendamaikan Tika dan Dewi ...” Pintaku kemudian sembari menangkup kedua bahunya dan menatapnya sungguh-sungguh meminta pertolongannya.

“Kamu serius?” Tanyanya dengan wajah teramat heran. Alisnya hampir bertemu, jelas sekali kalau ia sedang bingung.

“Serius ... Aku tetap perlu Dewi ... Dan aku berharap bibi bisa mendamaikan mereka ...” kataku sangat tegas dan jelas. Bi Isah dengan bibir yang seksi itu menatapku lamat-lamat seolah ingin membaca pikiranku.

“Dewi itu gila ...” Ucap Bi Isah setengah mendesah dan tak percaya dengan rencanaku.

“Dewi tidak gila ... Dia hanya depresi ... Dia akan sembuh ...” Tegasku lagi. Aku meregangkan posisi kami dan aku tangkup pipinya. Mata kami saling menyelami.

“Baiklah ... Akan aku coba ...” Akhirnya ucapan yang aku tunggu keluar juga dari mulut Bi Isah. Entahlah, aku sangat yakin dengan kemampuan Bi Isah untuk mendamaikan Tika dan Dewi.

“Sebagai penyemangat ... Kalau bibi berhasil mendamaikan mereka ... Aku janji akan membelikan rumah baru buat bibi lengkap dengan segala perabotannya ...” Keluar juga janjiku.

“Ih ... Beneran nih?” Bi Isah sedikit terperanjat. Aku memperhatikan mimik wajah Bi Isah, dia terlihat begitu senang.

“Aku serius ...” Jawabku sambil tersenyum dan menganggukan kepala.

“Okey ... Kalau begitu aku akan serius mendamaikan Tika dan Dewi ...” Jawab Bi Isah. “Kita tidur sekarang ... Hari sudah malam ... Aku ngantuk dan capek sekali ...” Lanjut Bi Isah sembari membaringkan tubuhnya di atas kasur. Aku pun mengikuti wanita itu berbaring di sebelahnya.

Kami berbincang hanya sebentar karena Bi Isah keburu larut dalam tidurnya. Aku peluk tubuh Bi Isah dan kuelus rambutnya. Tapi entah kenapa dan karena apa, aku punya perasaan yang lain kepada wanita ini. Bukan hanya sekedar nafsu, tetapi ada feeling yang tidak terlukiskan. Tak seberapa lama, tubuhku yang merasa lelah, mataku pun mulai sayup tanpa sadar aku pun sudah terlelap.

Bersambung

Sambungannya ada di sini ...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd