Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
PART 2


Denta Pov

Pagi yang cerah ketika matahari memancarkan sinarnya dari timur dunia, pohon-pohon rindang dengan daun-daun hijaunya yang masih basah oleh embun semalam. Tampak riang berceloteh sekelompok burung pipit yang terbang, melompat dan hinggap di dahan ranting pohon. Mereka asyik berdiskusi membicarakan satu tempat dengan hamparan sari-sari bunga dan biji-biji buah yang telah matang untuk disantap sebagai sarapan pagi mereka.

Beberapa menit yang lalu, ayahku dengan istrinya telah berpamitan kembali ke kotanya. Kota kabupaten yang jaraknya hanya satu setengah jam berkendaraan. Aku sudah mengantongi nomor kontak mereka dan akan aku gunakan untuk aksi berikutnya. Sungguh, aku masih sangat penasaran dengan Marni. Pengalaman semalam membuatku seperti ketagihan untuk ‘menggaulinya’ lagi. Entah kenapa, aku merasakan kepuasan lain dari pada yang lain dengan Marni. Penuh dengan kepuasan yang aneh, sangat menakjubkan.

Aku pun merenung memandang dari kaca jendela sejumlah pohon di halaman rumah kakek. Setahuku, ayah beberapa kali menikah dan tak satu pun yang aku hafal siapa-siapa saja istrinya. Hanya Marni lah yang aku tahu, itu pun baru kemarin. Alasannya adalah selain aku yang enggan bertanya, aku juga sebelumnya sangat menghindari obrolan tentang kedua orangtuaku. Aku benar-benar tidak ingin tahu tentang kedua orangtuaku yang sudah jelas-jelas telah menyia-nyiakan diriku. Faktor lainnya adalah sepanjang aku tinggal bersama kakek, aku hanya sekali bertemu ayah, saat aku masih duduk di sekolah dasar. Hari itu aku tidak ingat apakah ayah membawa istrinya atau tidak. Selain itu, kakek dan nenek tak pernah menceritakan istri-istri ayah padaku.

“Denta ... Apa kamu tidak ingin menemui ibumu ...?” Tanya kakek setelah menghembuskan asap rokoknya. Aku memperbaiki duduk hingga berhadapan dengan kakek.

“Tak tahu, kek ...” Jawabku tak bersemangat. Aku ambil sebatang rokok yang tersimpan di saku jaket. Aku sulut kemudian menghisapnya dalam-dalam.

“Ibumu pun ingin sekali ketemu kamu ... Saran kakek, temuilah dia ... Kasian hidupnya sangat sengsara ...” Ujar kakek penuh pengharapan.

“Aku saja tak ingat wajahnya ...” Kataku sedikit protes pada kakek yang tidak pernah bosan menyuruhku menemui kedua orangtuaku.

“Kamu sudah bertemu dengan bapakmu ... Itu sudah kemajuan yang sangat berarti ... Cu, dengerin baik-baik ... Ketemu ibumu adalah yang paling utama karena di telapak kakinya surga untukmu ada di sana ...” Terang kakek sangat serius.

“Hhhhmm ... Nanti kek, kalau aku sudah siap ... Sekarang aku belum ingin bertemunya ...” Jawabku coba bertahan.

Kakek terdiam sambil menikmati isapan rokoknya, aku pun demikian. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku sebenarnya masih memikirkan Marni. Aneh, kenapa saat ini aku sangat terobsesi pada wanita itu. Kejadian semalan benar-benar membuatku tidak bisa lepas dari bayangannya, terutama bayangan tubuh moleknya. Aku begitu bergairah hanya membayangkannya saja. Begitu nikmatnya merasakan bersetubuh dengan istri ayah membuatku ketagihan.

“Kek ... Bapak punya anak berapa dengan Ibu Marni?” Tanyaku mengurai kesunyian. Kakek menoleh sambil mengangkat alisnya yang putih.

“Kamu gak tanya sama bapakmu?” Tanya kakek yang kujawab langsung dengan gelengan kepala. “Dari Marni bapakmu punya satu ... Em, kalau gak salah masih SMP ...” Jawab kakek yang seperti biasa malas membahas tentang istri-istri ayah.

“Kalau bapak ... Sebenernya berapa kali menikah?” Tanyaku lagi. Entah kenapa aku sekarang malah ingin mengetahuinya. Padahal sebelum-sebelumnya aku sangat tidak peduli.

“Empat ... Marni adalah istri keempat bapakmu ... Istri pertama adalah ibumu, istri kedua bernama Dewi punya anak satu dari bapakmu, cerai ... Istri ketiga bernama Tari punya anak satu juga, cerai ... Dan Marni istri terakhir bapakmu baru punya satu anak ...” Jelas kakek yang sukses membuatku melongo tak percaya.

Memang orang gila ...” Geramku dalam hati. Jujur, aku benar-benar kecewa dengan kelakuan ayah seperti itu.

“Ya, mudah-mudahan bapakmu itu insyaf ... Semoga saja ini yang terakhir ...” Ucap kakek setengah mengeluh. Bagaimana pun tampak jelas kekecewaan kakek kepada anak tertuanya itu. Dan kakek memiliki empat anak yang kesemuanya laki-laki.

“Kalau istri-istri bapak yang lain, dimana rumahnya kek?” Tiba-tiba saja aku ingin mengetahui keberadaan mantan-mantan istri ayahku.

“Hhhmm ... Tumben kamu mau tahu?” Ucap kakek sambil tersenyum. Langsung saja aku palingkan muka karena kurang senang mendengar ocehan kakekku. “Istri kedua bapakmu yang bernama Dewi tinggal di desa sebelah, namanya Desa Sekar ... Istri ketiganya bernama Tari sekarang tinggal di kota dekat rumah bapakmu sekarang ...” Lanjut kakek.

“Hhhhmm ... Gak nyangka bapak begitu kelakuannya ...?!” Kataku kesal sambil geleng-geleng kepala. Kakek tak merespon, ia terus asik dengan rokok dan kopinya.

Setelah menghabiskan rokok, aku berpamitan kepada kakek dan nenek untuk jalan-jalan, mengunjungi teman lama di Desa Sekar. Aku jadi teringat seseorang setelah kakek menyebut nama desa tersebut. Mobil Avanza-ku sudah keluar dari halaman rumah dan melaju perlahan menyusuri jalan desa yang berbatu menuju desa sebelah. Sebenarnya tidak terlalu jauh jaraknya, namun keadaan jalan yang rusak parah membuat perjalananku ke Desa Sekar membutuhkan waktu setengah jam.

Aku berhenti di depan sebuah rumah, tampak tiga orang yang tidak kukenal terlihat sedang marah-marah kepada tuan rumah. Bahkan seorang di antara ketika orang tersebut mengacung-acungkan sebilah golok sambil membentak-bentak. Melihat kejadian itu, segera aku turun dan menghampiri mereka. Kedatanganku langsung disambut tatapan tak bersahabat dari ketiga orang yang berpenampilan seperti seorang centeng. Pangsi hitam adalah ciri khas mereka.

“Maaf ... Ada apa kisanak marah-marah di tempat orang?” Tanyaku santai namun memasang kewaspadaan level tertinggi.

“Anda siapa?” Orang berkumis baplang bertanya dengan nada kasar dan bentakan. Matanya melotot seperti mau copot keluar.

“Saya teman dia ...” Jawabku sambil menunjuk si tuan rumah yang bernama Firman. Firman pun seperti terkesima melihat kedatanganku. Ia seperti memberikan kode dengan menggelengkan kepalanya agar aku tidak ikut campur dan pergi dari sini.

“Hhhmm ... Terus anda mau apa? Mau menolong dia? Oke, bayar hutang-hutangnya pada kami, sekarang juga ...!” Ucap sang centeng berkumis baplang seraya mengacungkan goloknya.

“Hutang??? Berapa???” Tanyaku heran dan aku alihkan pandanganku kepada Firman.

“Tiga puluh juta ...” Jawab si kumis baplang dengan nada agak melunak. Aku pun terkejut dengan jumlah sebesar itu. Tentu aku tak membawa uang cash sebesar itu. Lagi pula berasa sayang jika pun uang itu tersedia.

“Boleh saya bicara sebentar dengan dia?” Pintaku sambil menunjuk lagi ke arah Firman. Si kumis baplang saling leret dengan kedua temannya.

“Baiklah ... Silahkan ...!” Katanya dan aku pun bisa bernafas lega diberi ijin untuk berbicara dengan Firman. “Kisanak ... Aku berharap anda bisa membantu dia, karena kalau tidak dia akan jadi gelandangan ... Rumah ini akan kami sita ... Sekarang aku akan kembali dulu ke rumah juragan ... Satu jam lagi aku akan kembali ke sini dan uangnya harus ada ...” Ujar si kumis baplang.

Mereka pun berlalu dari hadapanku keluar dari halaman rumah. Setelah ketiga centeng itu agak jauh, barulah aku menoleh Firman yang telah duduk di kursi teras yang terbuat dari kayu memanjang. Aku menghampiri teman lamaku itu lalu duduk di sebelahnya. Wajah Firman kusut masai seakan kehilangan gairah hidup.

“Maneh (kamu, red) kenapa? Bisa punya hutang segitu banyak?” Tanyaku seraya menepuk bahunya karena Firman tak ingin melihat mukaku. Ia tertunduk sambil meremas-remas rambutnya.

“Rentenir ... Aku kejerat rentenir ...” Lirihnya penuh penyesalan. Aku cukup terkejut mendengar pengakuannya.

“Bagaimana bisa maneh terjerat rentenir?” Tanyaku lagi karena penasaran. Aku keluarkan rokok dari saku jaket. Kutawarkan pada Firman dan ia pun mengambil sebatang lalu membakarnya dengan koreknya sendiri. Aku pun mulai membakar rokokku.

“Tadinya buat biaya operasi istriku, Ta ... Istriku tak terselamatkan, hutang pun terus membengkak?” Jawabnya dengan nada dengan kefrustasian yang teramat sangat.

“Hah ...! Istri maneh kenapa?” Tanyaku sambil terperanjat sampai tak sadar badanku menghadap Firman.

“istriku meninggal karena penyakit paru-paru, Ta ... Aku masukin rumah sakitnya sudah sangat terlambat ... Kerusakan paru-parunya sudah sangat parah ... Tapi, aku sangat ingin menyelamatkannya sampai harus pinjem uang ke rentenir ...” Papar Firman sambil menitikan air matanya. Mau tidak mau hatiku pun terenyuh melihat kondisi kawan lamaku ini.

“Ya sudah ... Aku bayar hutang maneh ... Tapi, cicil ya ... Kudu dibayar ...” Aku pun menawarkan solusi untuknya.

“Serius? Serius maneh?” Tanya Firman dengan roman muka yang berubah drastis. Ada kelegaan yang tergambar jelas di wajahnya.

“Serius ... Tapi maneh serius, harus mau nyicil? Jangan sampai aink (saya, red) nolongin anjing kejepit (Papatah sunda yang artinya adalah menolong seseorang yang tidak tahu balas budi, setelah ditolong malah menggigit yang nolong atau lebih tepatnya tidak tahu terima kasih, red).” Kataku seraya memasang muka serius.

“Iya ... Iya ... Aku pasti menyicilnya ... Tapi tolongin aku dulu ...” Ujar Firman penuh pengharapan sambil menangkup kedua telapak tangannya yang diletakkan di depan dada.

“Oke kalau begitu ... Aku akan ambil uang di bank ... Tapi kita harus ke rumah si rentenir dulu karena perjalanan ke kota kabupaten satu setengah jam, kalau pulang pergi jadi tiga jam ... Kita harus ngomong supaya rumah maneh gak dijabel ...” Terangku seraya berdiri dan berjalan menuju mobilku.

“Siap ... Siap ...” Firman begitu bersemangat dan ia mengikutiku sampai di mobil.

Akhirnya kami pun bergerak ke rumah sang rentenir. Lagi-lagi mobilku tidak bisa berjalan cepat karena kondisi jalan yang rusak. Firman sepanjang jalan menceritakan pengalaman pahitnya hingga harus berurusan dengan rentenir. Aku sangat memaklumi tindakan Firman yang ingin menyelamatkan nyawa istrinya.

“Siapa nama rentenir itu?” Tanyaku sesaat setelah Firman menyelesaikan ceritanya.

“Dewi ...” Jawabnya singkat.

“Perempuan?” Tanyaku lagi heran dan entah kenapa hatiku seperti ada yang menyentil setelah mendengar nama itu.

“Iya ... Orangnya mah cantik, Ta ... Tapi bengisnya minta ampun ...” Sahut Firman dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Dewi ya ...” Gumamku pelan.

“Eh ... Ta ...!” Firman setengah berteriak sambil menghadapkan wajahnya padaku. Mimiknya menunjukkan kalau ia sedang terkejut.

“Apa?” Tanyaku yang mulai berfirasat jelek.

“Dia adalah mantan istri bapak kamu ...” Lirih Firman pelan dan cukup membuktikan kalau firasatku mengatakan benar. Aku tak merespon ucapan Firman barusan.

“Ya sudah ... Kita temuin dia sekarang ... Tapi ingat! Jangan bongkar identitas aink ...” Kataku memperingati Firman.

“Siap ... Tapi, kenapa?” Tanya Firman.

“Ah, jangan banyak tanya lah ...” Jawabku bernada kesal.

Firman langsung duduk tegak menghadap ke depan. Sementara aku mulai berpikiran kotor. Mendengar ucapan Firman yang mengatakan wanita itu cantik, tiba-tiba keinginanku untuk mengulangi kejadian semalam bersama Marni timbul, walau dengan wanita yang berbeda. Selain untuk ajang balas dendam, aku ingin merasakan lagi kepuasan yang aneh dan menakjubkan. Hatiku mulai tersenyum, sampai setan-setan mulai merasuki pikiran, dan memberi doktrin pembenaran.

Hanya beberapa menit berselang, akhirnya aku dan Firman sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah yang besar dan mewah, terlihat beberapa mobil berjejer di halaman. Rumah itu juga dijaga oleh para centeng yang tampak sangar. Kami pun turun dari mobil, walau disambut dengan wajah-wajah garang para centeng, namun kami dibukakan pintu juga. Aku dan Firman masuk ke dalam rumah, duduk di ruang depan, menunggu tuan rumah datang. Sembari menunggu, kuperhatikan keadaan sekitar. Ruangan yang indah dan nyaman dengan berbagai macam dekorasi, membuat siapa pun betah menempatinya.

Beberapa menit kemudian, muncul seorang wanita cantik, tampak berkelas, tersenyum manis kepada kami. Kecantikannya tidak kalah dengan artis-artis ibukota yang sering aku tonton di televisi. Wanita ini memakai busana bernuansa krem kecokelatan. Wajahnya dirias simpel dan natural, hingga memancarkan pesona alami kecantikannya. Ia memiliki tubuh langsing bak jam pasir. Lekuk tubuhnya sangat indah dengan payudara yang indah menonjol dan pantat yang masih padat berisi. Wanita ini benar-benar memiliki pesona cantik yang membuat siapapun terpana.

“Bagaimana Firman? Apakah sudah ada uangnya? Kamu sudah telat dua bulan loh ... Semakin lama tidak bayar, bunganya semakin tinggi ...” Ucap Dewi sambil duduk di hadapan kami.

“Euu ... I..ini ... Saya mau minta ijin dulu ... Ma..mau ambil u..uangnya di kabupaten ...” Jawab Firman gugup sekali. Mukanya pun terlihat pucat seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari.

“Ngambil uang? Uang siapa?” Tanya Dewi begitu heran terbukti dengan mimik mukanya yang mendadak berubah agak menekuk.

“Uang saya ... Bu ... Saya yang akan membayar hutang Firman ...” Kataku menyambar pembicaraan mereka. Dewi pun menoleh padaku, memandangku seperti melihat orang aneh. Aku terpesona sekejap saat aku melihat bola matanya yang begitu bening. Matanya begitu indah.

“Hhhmm ... Baiklah ... Aku kasih waktu sampai sore ini ...” Ucap wanita itu sambil berdiri lalu meninggalkan kami begitu saja dengan angkuhnya. Aku pun merasa kecewa dengan kepergian Dewi. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama berbincang-bincang dengan wanita itu.

“Ayo ...!” Kata Firman membuyarkan lamunanku. Tangan Firman menepuk bahuku lalu aku pun bergerak keluar dengan pikiran yang masih tersangkut pada wajah cantiknya.

Kami keluar halaman rumah besar tersebut kemudian menaiki mobilku. Sepanjang perjalanan ke kota kabupaten, aku kurang fokus mendengarkan ocehan Firman. Pikiranku masih dipenuhi oleh gambar wajah perempuan yang tadi kulihat. Kadang aku berpikir, pantas saja jika ayah tergoda oleh wanita itu dan meninggalkan ibu. Tiba-tiba aku membayangkan sensasi yang akan aku dapat saat aku menyetubuhinya. Aku bisa menjamin, sensasi itu akan lebih menakjubkan daripada sensasi yang kurasakan dengan Marni.

Singkat cerita, aku sampai di bank tempat aku menyimpan uang. Sejenak aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Akhirnya, mataku sampai pada seorang laki-laki tua yang duduk di kursi tunggu paling ujung. Aku melangkah mendekatinya lalu duduk bersebelahan seraya menyapa berkenalan. Ternyata laki-laki itu sedang menunggu antrian pengambilan uang. Dan dengan polosnya ia mengatakan akan mengambil uang sebanyak 50 juta untuk keperluan renovasi rukonya. Tak lama, aku geser cincin ajaibku hingga berada di telapak tangan dan jempolku menekan mata cincin agak kuat.

“Nanti uang yang bapak ambil, buat saya ya pak ... Nanti bapak ngasih uangnya di luar bank, di parkiran ... Dan setelah setengah jam kemudian, bapak akan kembali normal tapi bapak tidak ingat kalau bapak sudah memberikan uang itu padaku ... Dan bapak tidak merasa kehilangan uang ...” Kuucapkan kata-kata hipnotis itu dan seperti biasa akan dijawab dengan anggukan dan senyuman.

Aku pun segera menggeser cincin pada posisi semula dan melanjutkan obrolan kami. Aku berbisik pada si laki-laki tua kalau aku akan menunggu di luar dan laki-laki tua itu mengangguk. Aku segera keluar ruangan, menunggunya di parkiran. Hanya sekitar lima belas menitan, si laki-laki tua itu keluar dari bank dan menghampiriku. Aku bawa ia ke tempat yang agak tersembunyi, lalu aku ambil bungkusan coklat berisi uang dari tangannya. Tanpa banyak bicara lagi, aku segera meninggalkan korbanku, secepatnya kembali ke mobilku.

“Beres ... Kita kembali ke si cantik ...” Kataku sambil menyalakan mesin mobil kemudian bergerak meninggalkan area bank. “Nih itung uangnya ... Ambil seperlunya ...” Kataku lagi dengan meletakan bungkusan coklat berisi uang di pangkuan Firman.

“Njir ... Bener-bener gak nyangka kamu jadi orang sukses ...” Ucap Firman yang terdengar setengah meledek. Namun aku tak menggubrisnya.

Aku pacu kendaraanku dengan kecepatan tinggi karena aku ingin segera bertemu dengan makhluk cantik penggoda iman itu. Hasratku menggebu-gebu untuk segera berada di sana, untuk menghitam putihkan sejuta inspirasi yang terlintas liar dalam imajinasiku saat ini. Kupacu terus mobil seolah waktu tak memberikan jeda. Dan setelah satu jam lebih berkendara, kami pun sampai di rumah wanita cantik yang telah mengganggu pikiranku sejak tadi.

Saat aku turun dari mobil dan melangkah ke gerbang rumah. Mataku melihat sesuatu yang cukup mengenaskan. Di halaman depan rumah, seorang wanita duduk tersungkur di tanah dengan isak tangisnya sambil meratap minta belas kasihan. Tiga orang centeng mengelilingi wanita itu sambil cengegesan seperti sedang bermain dengan mainan hidup. Dan aku pun terlonjak ketika salah seorang centeng memaksa menarik baju si wanita sehingga sobek. Si wanita pun menjerit sambil menutupi dadanya sambil menangis histeris.

“Hentikan ...!!!” Teriakku lantang. Aku benar-benar marah melihat apa yang mereka lakukan. Walau aku seorang penjahat, namun aku tidak suka melihat penindasan seperti ini.

“Ta ... Jangan ...! Kita pergi dari sini ...!” Kata Firman sambil menarik tanganku. Namun aku tepis kuat sehingga cengkraman Firman terlepas. Aku pun berlari lalu berdiri di dekat wanita yang sedang menangis itu.

“Hah ... Maneh (kamu, red) lagi ...! Awas ...! Jangan ikut campur urusan orang ... Menyingkir ...!” Hardik si kumis baplang yang aku kira dialah pimpinan centeng di sini. Si kumis baplang mengacungkan tinjunya ke atas.

“Heh ... Apa gak malu memperlakukan perempuan seperti ini?” Kataku sambil menunjuk muka si kumis baplang. Emosiku naik, nada bicaraku meninggi.

“Aaahh ... Mengganggu saja ...!” Tiba-tiba dari arah samping seorang centeng berkepala botak hendak mendorong, posisi kedua tangannya sudah terjulur dengan tenaga cukup kuat.

Segera aku menggeser tubuh sedikit ke belakang sehingga tangan si botak mendorong angin. Badan si botak pun hilang keseimbangan melewati tepat di depanku. Tanpa membuang waktu sikutku melakukan tugasnya, menghantam telak kepala bagian belakang si botak. Si botak yang tidak menyangka pun mengaduh. Tapi kelengahannya membuat si botak tidak menyadari kalau lututku di bawah sana sudah siap menyambut ulu hatinya.

DUGH!!!

“Heegghhkk ...!” Terdengar suara nafas tertahan. Tendangan lututku berhasil mengenai ulu hati si botak sangat telak. Badan si botak agak terpental ke atas saking kerasnya tendanganku. Seketika itu juga si botak tersungkur ke tanah, merintih kesakitan dengan nafas engap-engapan. Ia berguling-gulingan sambil memegangi ulu hatinya.

“Anjing keparat ...!!! Kurang ajar ...!!!” Si kumis baplang berteriak seraya melakukan serangan.

Tangannya bergerak akan mencakar mukaku. Aku sambut dengan tendangan kakiku yang bergerak hendak menghantam dada. Namun, si kumis baplang tak bergerak sedikit pun. Cakaran tangannya dielakkan, lelaki itu dengan memiringkan kepala. Tendanganku tidak dielakkan, melainkan disambut oleh si kumis baplang dengan tangkapan tangan kanannya. Aku biarkan kakiku tertangkap. Namun begitu kakiku terpegang sempurna, dengan kecepatan kilat aku menyusulkan kaki kiriku naik.

BUGH!!!

Satu tendangan kerasku bersarang di perut si kumis baplang. Saking kerasnya, keluar cairan kental dari mulut dan hidung si kumis baplang. Ia memuntahkan makanan yang mungkin baru dilahapnya. Aku tak puas sebelum musuhku benar-benar tersungkur. Sebuah tendangan cangkul aku layangkan dan tumitku denga gemilang menghantam kepala si kumis baplang.

DUGH!!!

Tumbukan kaki dengan kepala begitu keras. Belum lagi benturan kepala dengan tanah. Tentu dua hajaran yang hampir bersamaan itu membuat si kumis baplang pingsan saat itu juga. Tinggal satu centeng yang harus aku lumpuhkan, tetapi kelihatannya si centeng sudah tak terlihat, ia pergi entah kemana.

“Sudah bu ... Jangan menangis ... Lebih baik, ibu pulang ...” Kataku kepada si wanita yang sedang duduk mengkerut di sisi taman. Aku buka jaketku lalu menyuruhnya untuk memakai jaketku agar tubuhnya tertutupi. Si wanita pun menurut lalu kubawa berjalan hendak meninggalkan rumah besar itu.

“Tunggu ...!!!” Sebuah suara membuatku berhenti melangkah. Aku pun berbalik ke arah sumber suara. Seorang laki-laki paruh baya berpakaian ala ‘gegeden’ berdiri di atas teras rumah sambil bertolak pinggang.

“Ibu pergi sana!” Bisikku pada si wanita di sampingku. Ia pun menuruti perintahku, pergi setengah berlari meninggalkan rumah sang rentenir. Sementara itu, aku berbalik ke arah pria perlente di teras rumahnya.

“Anda sudah membuat keributan di rumah orang lain ... Dan tahukah, apa akibatnya kalau membuat keributan di rumah orang lain?” Suara si pria perlente agak tinggi mencirikan jika ia tidak senang dengan keributan yang baru saja terjadi.

“Bapak sendiri yang membuat keributan dengan membiarkan anak buah bapak berlaku sewenang-wenang kepada perempuan tadi ... Apakah bapak tidak melihat kalau perempuan tadi diperlakukan tidak senonoh oleh mereka?” Kataku tak kalah garang sambil menunjuk kedua centeng yang masih tergeletak di tanah.

“Itu karena dia sudah berlaku salah dan layak mendapat hukuman ... Lagi pula, ini tanahku ... Aku bebas berlaku apa saja di tanahku sendiri ...” Si pria perlente mengucapkan alasan yang tidak masuk akal.

“Apakah dengan terjadinya pelecehan di tempat bapak ... Bapak akan terbebas dari masalah? Rasanya bapak akan terkena masalah karena membiarkan terjadi kejahatan di tempat bapak sendiri ...” Kataku tanpa beban.

“Mari kita lihat ...!” Tiba-tiba si pria perlente menyeringai sambil mengarahkan pandangannya ke pintu gerbang. Otomatis aku pun menoleh ke arah pandangannya.

Dua orang berseragam polisi berjalan menuju teras rumah. Tampak mereka tergesa-gesa dengan wajah sedikit tegang. Tak lama kedua polisi itu sudah berhadapan dengan si pria perlente dengan sikap hormat dan takjim. Tentu saja aku langsung merasakan kalau aku akan mendapatkan masalah. Aku pun menghela nafas dengan sangat berat sambil menunggu kejadian terburuk yang mungkin akan aku hadapi.

“Orang ini sudah membuat keributan di tempatku ... Tolong urus dia ...!” Ucap si pria perlente kepada kedua polisi tersebut. Kemudia ke dua polisi itu mendekatiku.

“Mari ... Ikut kami ke kantor polisi ...!” Kata salah satu polisi sembari mencengram lenganku kasar. Aku pun menepis cengkramannya.

“Sebentar pak ... Jangan main tangkap seenaknya ... Periksa dulu, siapa yang salah ... Saya di sini hanya membantu perempuan yang dilecehkan oleh mereka ...” Kataku bertahan.

“Ah ... Nanti anda ceritakan di kantor saja ... Sekarang, ikut kami ke kantor ...” Maki seorang lagi polisi sambil memborgol tanganku. Kali ini aku tak ingin melawan karena bakalan runyam urusan bila melawan polisi.

Si pria perlente tersenyum penuh kemenangan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku digiring oleh polisi dengan tangan yang diborgol ke motor trail yang terparkir di pinggir jalan depan rumah sang rentenir. Firman menatapku sedih melihat diriku naik ke atas motor diapit oleh kedua polisi ini. Tak lama, motor melaju membawaku ke Polsek yang berjarak hanya sepuluh menit berkendaraan. Sesampainya di Polsek aku digiring lagi oleh polisi tersebut lalu dimasukan ke penjara.

Seumur-umur, baru kali ini aku merasakan dinginnya ruang penjara. Sebuah ruangan yang tidak layak ditinggali. Ruangan yang sangat kecil, lembab dan bau. Luar biasa memiriskan. Dinding yang penuh lubang disumbat pakai kain bekas dan kaos kaki bekas, supaya tikus-tikus dan kecoa tidak masuk dari luar. Sudah begitu, ada toiletnya sangat kuno, tidak ada penghisap udara, tidak ada cahaya penerang, dan kotor. Melihat kondisi seperti ini, aku hanya bisa berdiri, menyenderkan badan di tembok sambil bersidekap, berharap ada orang yang bisa mengeluarkan aku dari tempat yang menjijikan ini.

Aku sebenarnya bisa saja menggunakan kemampuan hipnotisku pada kedua polisi tadi. Tapi aku berpikir jika itu digunakan pada mereka bakalan berbuntut panjang. Terlalu banyak orang yang tahu kalau aku ditangkap polisi. Mereka akan bertanya-tanya jika aku ujug-ujug bebas. Jangan-jangan nantinya aku diusut oleh pihak berwajib dan khawatir keahlianku akan diketahui mereka. Ya, lebih baik aku menyerah dahulu sambil menunggu seseorang mengeluarkan aku dari sini.​

---ooo---


Author Pov

Sebuah keluarga bahagia berkumpul di ruang makan, menyantap hidangan yang sudah disiapkan. Obrolan di meja makan pun seru seperti biasanya, terkesan guyon dengan guyonan receh ala mereka. Keluarga Tatang Sumarna adalah keluarga yang sangat terpandang dan disegani di Desa Sekar. Harta yang melimpah dengan kepemilikan tanah di mana-mana membuat keluarga tersebut memiliki kekuasaan yang besar di desa itu, bahkan hampir tak tersentuh hukum. Ya, dengan kekuatan uang menjadikan keluarga ini begitu berkuasa.

“Gimana pah ...?” Tanya seorang wanita cantik sambil menyantap makanannya sesaat setelah suaminya kembali ke meja makan. Wanita cantik itu adalah Dewi.

“Sudah diurus polisi ... Ada-ada saja ...” Sahut sang suami agak kesal.

“Terus itu ... Mang Kosim dan Mang Ade ... Gimana?” Tanya anak gadis mereka yang bernama Hesti pada ayahnya. Hesti adalah gadis cantik yang banyak diincar laki-laki yang baru saja lulus SMA.

“Sudah dibawa ke Puskesmas ... Tapi hebat juga tuh pemuda ... Bisa ngalahin Mang Kosim dan Mang Ade ...” Jawab Tatang masih dengan gelengan kepalanya.

“Anak itu tadi ke sini ... Katanya mau bayarin hutang si Firman ...” Ujar Dewi pelan.

“Oh gitu? Kenapa mamah gak bilang?” Tanya Tatang pada istrinya sambil mendelik kecewa.

“Habisnya mamah takut kalau ada ribut-ribut seperti tadi.” Jawab Dewi sembari bergidik mengingat kejadian barusan.

“Tapi siapa ya pah laki-laki tadi ... Kayaknya Hesti baru lihat dia ...?” Tanya Hesti yang tadi sempat memperhatikan keributan di halaman rumahnya.

“Papah gak tau ... Biarin saja ... Gak penting ...” Jawab Tatang santai.

Selang beberapa menit, seorang pelayan laki-laki datang ke ruang makan tergopoh-gopoh. Wajah sang pelayan tegang, ada gurat kepanikan di sana. Kedatangannya pun disambut heran oleh Tatang dan keluarga. Sang pelayan mengambil nafas dulu sebelum memulai bicara.

“Agan ... Maaf ... Orang yang tadi dibawa polisi itu ... Dia cucu Abah Minta ...” Ucap sang pelayan dan sontak Tatang terperanjat hebat sampa-sampai badannya berdiri dan menegang. Begitu pula Dewi dan anaknya yang tiba-tiba berwajah pucat.

“Yang bener kalau ngomong!” Tatang malah membentak si pelayan saking takut mendera perasaannya. Rasa takut yang amat dahsyat.

“Benar juragan ... Dia itu cucu Abah Minta ... Namanya Denta ...” Sahut sang pelayan dengan badan bergetar. Sesungguhnya sang pelayan bukan takut pada majikannya, tapi lebih takut dengan sosok Abah Minta.

“Cepat ke Polsek ... keluarkan anak itu ... Cepaatt ...!!!” Perintah Tatang sangat panik dan berharap kejadian ini tidak sampai terdengar oleh orang yang paling ditakutinya itu.

“Ba..baik ... Juragan ...” Sang pelayan pun berlari meninggalkan ruang makan keluarga Tatang.

“Duh ... Bahaya ini ... Bahaya ...” Tatang membantingkan tubuhnya ke kursi sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.

“Papah sih gak tanya-tanya dulu ... Gini deh jadinya ...” Ungkap Dewi menyesali kejadian tadi. Hati wanita itu pun menciut tatkala keluarganya harus berurusan dengan mantan mertuanya.

Sementara di rumah keluarga Tatang begitu panik, di Polsek pun tak kalah panik. Setelah mendapat laporan bahwa orang yang ditangkap adalah cucu Abah Minta, langsung saja Denta dikeluarkan tanpa syarat. Rupa-rupanya pihak Polsek pun enggan berurusan dengan sosok tua tersebut. Denta pun melenggang keluar dari Polsek dengan wajah sumringah karena sudah mengetahui kalau dirinya akan dikeluarkan dari penjara. Denta lalu menyewa ojeg untuk kembali ke rumah sang rentenir karena mobilnya masih terparkir di depan rumah rentenir itu. Sepuluh menit berselang, Denta sampai di tempat tujuan.​

---ooo---


Denta Pov

Aku bayar ongkos ojeg secara paksa karena tukang ojeg awalnya tak mau menerima bayaranku. Setelah aku masukkan uang ke dalam saku jaketnya, barulah aku berjalan mendekati mobilku dan aku melihat wajah Firman yang terkejut.

“Ta ... Syukurlah ...!” Tiba-tiba Firman keluar dari dalam mobil.

“Bayar sana hutang maneh ...!” Perintahku agak kesal sambil menaiki mobil dan duduk di belakang kemudi.

“Iya ... Tunggu sebentar ...” Kata Firman sambil memasuki halaman rumah besar tersebut.

Aku sandarkan punggung di jok mobil dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala. Keluarga itu sudah membuat gara-gara denganku dan aku harus membuat perhitungan. Tapi tidak sekarang karena masih terlalu ‘hangat’ dan menjadi perhatian orang. Nanti jika keadaan sudah mulai tenang, pasti aku akan bergerak. Hari ini aku lebih baik ‘mundur’ dulu sambil mencari kesempatan yang tepat untuk eksekusi.

“Ta ...” Suara Firman yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“Ayo ...! Malah berdiri di situ ...!” Kataku sambil menyalakan mesin mobil.

“Kamu disuruh masuk ke dalam, Ta ... Ada yang ingin mereka omongin ...” Ungkap Firman.

“Males, Man ... Ayo, mendingan pulang aja ...!” Kataku.

Firman pun masuk ke dalam mobil kemudian kulajukan mobil meninggalkan rumah sang rentenir. Firman menceritakan kalau permasalahannya telah beres dan berkali-kali mengatakan terima kasih padaku. Tak hanya itu, Firman menceritakan betapa tak menyangka Tatang dan Dewi kalau diriku adalah cucu dari kakekku yang bernama Abah Minta.

“Ta ... Kalau gak salah ... Kamu kan punya adik dari pernikahan bapakmu dengan ibu Dewi ...” Kata Firman sambil memandang ke arahku.

“Ya ...” Jawabku sangat malas.

“Kamu tau orangnya?” Tanya Firman lagi.

“Gak ...” Jawabku singkat semakin tak bersemangat.

“Kamu mau tau gak orangnya?” Pertanyaan Firman terus berlanjut sampai membuatku kesal.

“Gak ...!” Jawabku sembari meninggikan tensi suara agar Firman tahu kalau aku sangat kesal. Namun saat kulirik, Firman sedang senyam senyum gak jelas. “Kenapa maneh cengengesan kayak kuda gitu?” Giliran aku yang bertanya karena merasa heran dengan kelakuan si Firman.

“Tuh ... Adik kamu ... Lagi di belakang ...” Ucap Firman seperti tanpa dosa.

Tentu saja aku mendadak penasaran. Aku lihat dari kaca spion, sinar lampu berkedip dari mobil sedan putih di belakangku. Tak lama, klakson pendek berbunyi. Wanita di belakang kemudi memberi kode tangan memintaku untuk meminggirkan mobil. Walau agak sedikit ragu, aku pun menepikan mobil dan beberapa detik kemudian sedan putih itu menyusul lalu menepi tepat di depan mobilku. Seorang wanita cantik turun dan setengah berlari menghampiri, lalu berdiri di samping pintu mobil dengan gesture gelisah.

“Namanya Dinda ... Sana temui ...!” Ucap Firman yang tak lepas dari senyumnya.

Aku buka pintu mobil lalu menginjakkan kaki ke tanah. Sekarang kami berhadap-hadapan. Sesaat kami hanya saling pandang satu sama lain tanpa mengucapkan sepatah kata pun, seperti saling menyelidik dan bertanya-tanya. Hingga akhirnya dia memecahkan keheningan dengan bertanya.

“Apa benar ini ... Akang Denta?” Tanya wanita di depanku dengan suara sedikit bergetar. Kurasa dia juga terlihat sama groginya denganku, suaranya yang hampir tidak bisa didengar.

“Iya ...” Jawabku singkat.

“Akang ...” Lirihnya dan tiba-tiba saja ia memelukku, tangannya melingkari punggung. Kubiarkan dia meletakkan kepalanya di bahuku.

Aku tak tahu harus bagaimana. Aku merasa tidak siap menghadapi sesuatu hal yang baru. Sungguh aku tidak siap dihadapkan pada kenyataan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku sebenarnya bingung ingin memulai dari mana. Tiba-tiba badanku seperti kaku. Tanganku juga seolah tak bisa bergerak. Wanita yang ‘katanya’ adikku ini lalu mengurai pelukannya.

“Kang ... Ke rumah yuk ...!” Tiba-tiba ia mengajak ke rumahnya. Nampak sekali keseriusan dari wajah cantiknya.

“Oh ... Ti..tidak ... Ja..jangan sekarang ...” Jawabku terbata-bata masih dalam kondisi tidak siap.

“Akang tau gak siapa aku?” Tanyanya dengan wajah serius namun sendu.

“I..iya ...” Jawabku singkat tapi masih saja terdengar kaku.

“Siapa?” Tanyanya lagi masih dengan wajah serius namun sendunya.

“Kamu ... Adikku ...” Suara pelan sarat dengan keraguan.

“Akang gak pengen ya ketemu adiknya ...” Nada wanita ini seperti menghakimiku.

“Oh ... Bu..bukan begitu ... Aku harus mengantarkan teman dulu ...” Aku berusaha berkilah namun tiba-tiba Firman turun dan berjalan menjauh begitu saja. “Woy ... Mau kemana?!” Teriakku pada Firman.

“Balik ...” Jawabnya ringan sembari terus melangkah dan menjauh. “Sialan si Firman!” Aku mengumpat dalam hati.

“Tuh ... Temennya udah pulang sendiri ... Mau ya kang ... Ke rumah dulu ...!” Pintanya sangat memelas seraya tangannya memegang lenganku.

“Ya udah ... Ayo ...” Kataku sangat terpaksa.

Adikku berjalan kembali ke mobilnya dan aku pun masuk lalu duduk di belakang kemudi. Aku putar balik mobil ini, setelah sedan putih itu melewatiku. Sungguh, perasaan dan hatiku serasa dibolak-balik tak karuan. Sepanjang perjalanan aku berusaha menenangkan hati. Aku akan berpikir positif, lebih baik mengikuti, entah kemana suratan takdir akan membawaku, tinggal menjalani saja.

Tak lama, aku sampai juga di rumah sang rentenir yang baru saja aku tinggalkan. Di luar dugaan, aku diterima mereka dengan sangat ramah. Berlainan sekali dengan awal aku masuk ke rumah ini. Aku dijamu seperti seorang raja. Awal-awal memang terasa kaku dan canggung, tetapi lama-lama aku mulai terbiasa. Adikku yang bernama Dinda bisa membawaku berbaur dengan keluarga kaya raya ini. Dan tak terasa, rasa sakit hatiku yang diperlakukan tidak baik tadi siang berangsur sirna. Ya, aku sudah melupakannya.

Sungguh aku merasa kerasan di rumah ini sampai tak terasa hari sudah malam. Tadinya aku hendak berpamitan untuk pulang, namun Dinda yang masih merasa ‘kangen’ menahan-nahanku, dan aku pun yang enggan pulang merasa diberi jalan untuk berlama-lama di rumah ini. Seusai makan malam aku dan Dinda masih melanjutkan obrolan di meja makan, rupanya adikku memang sejak dulu sangat ingin bertemu denganku namun keinginannya itu baru ‘dikabulkan’ sekarang oleh kedua orangtuanya. Aku lihat ada kejujuran dari omongannya, ketulusan dari sikapnya.

Obrolanku dengan Dinda semakin seru, tak terasa waktu semakin malam. Tiba-tiba mataku menangkap bidadari tak bersayap. Aku harus sampai menelan ludah hanya gara-gara melihatnya. Kujamin kecantikannya sangat berkelas. Bukan kecantikan ecek-ecek. Dewi benar-benar menampilkan kecantikannya yang paripurna. Jangan ditanya lagi bagaimana penampilannya saat ini. Dia sangat seksi dan sungguh menggoda dengan memakai piyama batas paha warna putih yang jelas menunjukan lekuk tubuhnya bahkan segaris tali bra warna hitam jelas terlihat. Samar-samar terlihat juga bayangan celana dalam hitam itu. Demi apapun, Dewi sungguh menggoda dengan keadaan seperti ini. Dan sejak ini juga aku berusaha menahan gejolak libidoku yang tiba-tiba naik bahkan ‘juniorku’ sudah sakit menahan hasrat. Ya, wanita itu sungguh menggugah selera kelelakianku.

“Apa kalian gak pada ngantuk? Itu lihat, sudah jam sepuluh.” Dewi berkata sambil mendekati kulkas. Kulihat ia mengambil sebotol air mineral dengan posisi setengah nungging. Ya ampun, bokongnya begitu bulat membuat juniorku semakin berdenyut-denyut.

“Belum mah ... Aku sih belum ngantuk ...” Jawab Dinda yang masih saja bersemangat ngobrol denganku. Dan sekilat otakku bekerja dan bertindak. Segera saja aku geser cincin ajaibku hingga berada di telapak tangan dan jempolku menekan mata cincin agak kuat.

“Kamu sekarang ngantuk ya ... Dan segera tidur ...” Keluar Kata-kata hipnotisku pada Dinda yang seperti biasa dijawab dengan anggukan dan senyuman.

“Gimana sih ... Kok ngantuk harus disuruh ... Hi hi hi ...” Ucap Dewi sambil tertawa lalu duduk di kursi meja makan di depan aku dan Dinda, sebotol air mineral dingin ada di tangannya.

“Tapi beneran mah ... Aku ngantuk kok ... Ya udah, aku duluan ya ... Pengen tidur ... Ngantuk banget ...” Ucap Dinda dan langsung saja ia berdiri dan berjalan meninggalkan aku dan Dewi. Aku pun tersenyum dalam hati, tinggal makhluk cantik ini sekarang bersamaku.

“Ya udah ... Sana tidur ... Lagian udah malem ...” Kata Dewi sambil tersenyum. Posisi cincinku masih di telepak tangan berarti khasiatnya siap aku lemparkan pada Dewi saat ini juga. Sesaat setelah Dinda hilang di balik pintu barulah aku bersuara.

“Dewi ...” Kataku dan Dewi langsung memandangku. Tanpa ia sadari kekuatan hipnotisku sudah menguasainya, aku bisa lihat dari tatapan matanya seperti tidak bernyawa. Aku bangkit dan menghampirinya. Hal pertama yang aku lakukan adalah menggerakan tangan kananku menyentuh payudaranya yang besar, meraba-raba dengan lembut.

“Dewi ... Sejak saat ini ... Kamu akan selalu menuruti perintahku ... Dan hanya aku ... Denta ... Yang bisa membuatmu horny ... Tidak ada pria yang bisa membuatmu terangsang selain aku ... Kamu hanya akan terangsang olehku ... Sejak saat ini, setiap melihat wajahku ... Kamu akan sangat terangsang ... Memekmu akan terasa sangat gatal ... Memekmu sangat menginginkan kontolku ... Hanya kontolku ... Setelah puas, kamu akan tidur dan setelah bangun tidur kamu akan lupa sama sekali kalau kamu ngewe bersamaku ... Paham ...!” Dan sugestiku berhasil tampak pada anggukan dan senyumannya. Aku remas payudaranya dari luar daster, terkadang aku juga mengusap ujung-ujungnya dengan jariku.

Aku pun segera mengembalikan posisi cincinku dan saat itu juga terlihat sekali kegelisahan Dewi. Aku tersenyum dan sangat bersemangat apa yang akan terjadi. Tak lama, aku merasakan kalau Dewi semakin gelisah. Mukanya yang putih tampak memerah dan ekspresinya itu persis seperti ekspresi karakter cewek imut anime kalau sedang bergairah. Di saat yang sama, aku pun sudah sangat bergairah untuk menyetubuhinya. Cepat aku bergerak ke arah pintu penghubung ruang dapur dan ruang tengah. Aku kunci pintu tersebut. Begitu pula dengan pintu dapur ke arah halaman belakang rumah, aku kunci juga. Setelahnya, aku hampiri wanita cantik yang sedang terbakar oleh nafsunya sendiri.

Tiba-tiba saja Dewi bangkit dari duduknya, wanita itu menerkamku, bibirnya dengan ganas menyambar bibirku. Aku merasakan bibirnya menyedot bibirku dengan kuat dan aku pun menikmatinya dengan membalas ciuman itu lebih ganas. Lama kami berciuman dan tanganku pun tak henti meremas buah dadanya yang kenyal. Kurasakan payudaranya semakin mengeras, semakin menggemaskan. Tidak tahan cuma mengelus dan meremas, kuangkat daster Dewi sampai ia hanya mengenakan bra dan celana dalam saja. Tidak sampai di situ, aku pun melaskan dua kain yang tersisa di tubuhnya.

Dengan birahi yang menggelegak, aku pandangi tubuh bahenol wanita itu. Payudaranya yang bulat sempurna dihiasi puting besar berwarna coklat kehitam-hitaman sudah mencuat ke atas, membuat tanganku tak merasa bosan menjamahnya. Sambil meremas kedua bukit kembarnya, pandanganku beralih pada rimbunnya bulu kemaluannya yang berwarna hitam. Aku biarkan tangan Dewi membuka celanaku hingga melorot ke lantai lalu tangan kanannya masuk ke dalam celana dalamku. Kini batangku digenggamnya sambil dikocok perlahan. Sesekali kurasakan jemarinya mengusap kepala penisku.

Tangan kananku bergerak ke bawah menyentuh vaginanya yang lembut dan mulai mengelus bibir hangat tersebut. Dewi pun mendesah, dia bergerak dan tangannya yang masih memegang penisku beralih fungsi, kini ia melorotkan celana dalamku. Dengan sedikit bantuan, akhirnya celana dalam itu terlepas juga dari tubuhku. Tiba-tiba dia memelukku sambil melingkarkan pahanya yang putih dan mulus itu di pinggangku serta menekankan vaginanya dengan penisku. Tanganku terpaksa kulepas dari bibir vagina cantik itu. Kurasa vaginanya sudah ingin dimasuki oleh kejantananku. Tangan Dewi memeluk badanku, kemudian bibirnya dengan buas mengecup bibirku sambil mengerang karena nikmat.

Sambil bergelayutan, aku bawa Dewi ke sofa yang berada di ujung ruangan. Aku letakkan tubuh moleknya terbaring di atas sofa panjang dengan posisiku di atasnya. Pahanya yang putih mulus masih melingkar di pinggangku. Dewi meraih kepalaku dan bibir kami kembali saling menghisap. Tanpa melepaskan pandangan mataku ke arah matanya yang mulai setengah terpejam, kurenggangkan pahanya, kuarahkan penisku yang sudah tegang dari tadi ke atas vaginanya. Namun aku tahan sebentar untuk tidak menerobosnya.

“Masukin ...” Desahnya.

Aku mulai menggesekkan penisku ke bawah sepanjang bibir memek Dewi. Selama beberapa detik, penisku bergerak naik turun di sepanjang lipatan bibir vagina Dewi yang makin lama makin melembab dan memanas. Makin lama penisku menggeseki bibir memeknya, maka memek Dewi mengeluarkan cairan kewanitaan untuk melumasi pintu surgawi miliknya. Nikmat sekali dinding luar memek Dewi. Begitu hangat dan licin.

“Masukin ...” Rengeknya tak sabar.

Aku menahan senyumku karena akupun memang mau menuntaskan gairahku karena aku tidak sanggup lagi menahannya. Aku mulai mendorong penisku ke dalam vagina Dewi. Wanita di bawahku memandang seraya menggigit bibirnya. Sedikit demi sedikit, akhirnya penisku tenggelam juga ditelan vagina wanita cantik itu. Kedua belah paha Dewi menjepit kedua pahaku dengan kuatnya dan jepitan vaginanya seolah-olah ingin mematahkan batang penisku. Dinding vaginanya berdenyut-denyut memilin penisku. Tak terkatakan nikmatnya.

Pelan-pelan aku mulai menggerakkan pinggulku sehingga penisku mulai keluar masuk vaginanya yang semakin basah. Penisku terus bekerja keluar masuk menembusi vagina Dewi, tentu rasanya enak sekali. Penisku dijepit keras sekali oleh bibir vaginanya yang tebal. Rupanya Dewi tidak mau kalah, pantatnya mulai memutar. Penisku seperti diblender, makin lama makin kencang putarannya. Lama-kelamaan aku merasakan penisku seperti dipuntir dengan halus dan dipijat-pijat.

“Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ...” Dewi mendesah-desah saat dinding kewanitaannya bergesekan dengan kejantanan kerasku.

Tubuh kami bergetar ketika kami rasakan gesekan antara batang penisku dan dinding vagina Dewi yang menjepit kuat itu menimbulkan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Kami mengerang dan mendesis bersama. Rasa sensasi yang begitu nikmat dan benar-benar sulit untuk digambarkan. Jepitan, gesekan dan kehangatan liang vagina Dewi terasa begitu luar biasa setiap kali kugerakkan batang penisku. Vaginanya semakin mengeluarkan cairan yang cukup banyak membuat jalan kenikmatan semakin licin.

Penisku terus menusuk-nusuk relung nikmat itu, ibarat pompa air berusaha mencari sumber di tempat yang semakin dalam. Sesekali aku sodok ke arah atas, kiri, kanan, bawah, lalu diulang lagi dari awal. Gerakan ini menyebabkan dinding vagina Dewi yang sedang mengalami penjarahan seolah diaduk, diulek dan digesek dengan penuh kemesraan. Aku mengamati wajah Dewi yang telah mendongak ke atas namun tetap menggeleng ke kiri dan ke kanan. Wajah cantik Dewi semakin terlihat kuyu dan lemas, hidung bangirnya kembang kempis mendengus dan bernafas semakin cepat, sementara bibirnya yang mengkilat basah setengah terbuka.

“Auuummph, aaaaaoooohh, aaaahhhh, auuuuw, iyaaaaa,” tak sadar lagi Dewi mengeluarkan suara khas wanita yang sedang dilanda kenikmatan birahi.

Dengan sangat bersemangat Dewi kunikmati dalam posisi missionaris. Penisku maju mundur menembus keluar masuk ke dalam vaginanya. Mataku tak berkedip menyaksikan kedua payudaranya berguncang dan berputar-putar. Sementara dirinya terus mendesah-desah. Sambil tak menghentikan penisku yang terus-menerus menghajar vaginanya, kumajukan tubuhku supaya aku bisa mengulum buah dadanya yang ranum berisi. Kujilati seluruh bagiannya. Putingnya yang besar berwarna coklat kehitam-hitaman menggairahkan langsung kuemut-emut dan kugerak-gerakkan ujung putingnya dengan ujung lidahku. Tentu sambil penisku tetap terus mengesek-esek vaginanya. Membuat ia semakin liar dan mendesah meracau tak karuan.

Setelah kira-kira dua puluh menit berlangsung, tiba-tiba Dewi melengkungkan punggungnya, kedua pahanya mengejang serta menjepit dengan kencang, menekuk ibu jari kakinya, membiarkan bokongnya naik-turun berkali-kali, keseluruhan badannya berkelonjotan, menjerit serak dan ...

"Ooooh... Ooooooh... Aaaaaahhhhhhhmm... Ssstthh ...!" Wanita cantik itu menunjukkan ekspresi wajah mengalami orgasme. Vaginanya terasa berdenyut-denyut menjepit penisku.

Selama proses orgasme yang dialami Dewi ini berlangsung, memberikan suatu kenikmatan yang hebat yang dirasakan olehku, dimana penisku yang masih terbenam dan terjepit di dalam liang vagina Dewi merasakan suatu sensasi luar biasa. Batang penisku serasa terbungkus dengan keras oleh sesuatu yang lembut licin yang terasa mengurut-urut keseluruhan penisku, terlebih-lebih pada bagian kepala penis setiap terjadi kontraksi pada dinding vagina Dewi, yang diakhiri dengan siraman cairan panas. Perasaanku seakan-akan menggila melihat Dewi yang begitu cantik dan ayu itu tergelatak pasrah tak berdaya di hadapanku dengan kedua paha yang halus mulus terkangkang dan bibir kemaluan yang kemerahan itu menjepit dengan ketat batang penisku yang lumayan besar untuk ukuran orang Asia.

Namun, aku masih belum mau berhenti. Aku tarik tubuhnya hingga wanita cantik itu berada di pangkuanku. Kali ini ia akan kusetubuhi dalam posisi duduk berhadapan. Aku mulai merangsangnya lagi dengan menciumi telinga dan lehernya. Tak sampai tiga menit dia sudah terangsang lagi. Dewi mulai bergerak di atas tubuhku, dirinya menggerak-gerakkan tubuh bagian bawahnya. Tanganku meraba-raba punggung mulusnya, sementara kedua tangannya memeluk erat tubuhku. Kedua kakinya menjepit tubuhku. Dalam posisi saling berangkulan amat dekat, ia terus menggerak-gerakkan tubuhnya mengocok penisku di dalam vaginanya, atau mengocok vaginanya dengan batang penisku sebagai sumbunya.

Sambil melakukan itu, kami saling berciuman. Ciuman timbal balik yang amat dahsyat, liar, ganas, brutal! Kedua tangan dan kaki kami saling mendekap erat satu sama lain. Dewi menggerakkan pinggulnya maju mundur layaknya joki yang menunggangi kudanya. Dadanya menempel dan menggesek-gesek dadaku. Sementara, kedua kelamin kami saling beradu bergesek-gesekan. Sama-sama nikmat. Saling memuaskan. Sementara, pada saat-saat menjelang klimaks itu ia terus-menerus meracau sambil kedua tangan dan kakinya memeluk erat-erat diriku. Semakin lama, Dewi makin lincah menggoyangkan pinggulnya. Kedua payudaranya bergerak-gerak mengikuti goyangannya. Aku langsung melahapnya sementara tanganku meremas satunya.

Kenikmatan yang muncul semakin merajai tubuh kami. Kami berdua mendesah. Wajah Dewi yang merah karena nafsu juga terlihat sangat cantik. Ini benar-benar malam yang menakjubkan. Menit demi menit terus berlalu, aku pun tak bisa mengingatnya. Namun yang jelas, kami terus mendesah-desah karena kenikmatan ini begitu mengambil alih kesadaran kami. Nafas kami pun terengah-engah. Penisku semakin tegang dan keras. Kurasakan dinding vagina Dewi juga berkedut. Tubuh kami sama-sama sudah berpeluh dengan wajah merah karena nafsu yang sudah tak terbendung lagi. Kami berlomba mendapat kenikmatan puncak kami dengan terus bergerak dan mendesah sebagai bukti betapa nikmatnya kegiatan kami. Dan kami berdua akan sampai sekarang.

“Aaaaaccchhh ...” Kami mengerang bersamaan.

Beberapa detik kemudian kembali vaginanya berkedut-kedut dan berkontraksi sangat hebat memijit-mijit batang penisku dengan ketat. Sejurus kemudian badan Dewi lemas tak berdaya hampir mengelosor jatuh jika tak ditahan oleh pelukanku. Aku pun membaringkannya di sofa. Badan kami sudah sangat basah kuyup oleh keringat. Benar-benar suatu persetubuhan yang sangat luar biasa menguras tenaga. Aku biarkan dia terbaring beberapa saat sambil kubelai-belai rambutnya yang indah. Aku tak bosan-bosan menikmati keindahan tubuh wanita cantik ini. Rupanya Dewi merupakan tipe wanita penikmat sex, karena walaupun telah meraih orgasme yang hebat pun, gairahnya cepat kembali bangkit untuk meraih kepuasan orgasme berikutnya, ditambah lagi keistimewaan kedutan vagina miliknya yang bagaikan memiliki ribuah lidah kecil yang selalu menjilat dan memeras penis yang menjelajahinya.

Aku pun bangkit lalu memakai pakaianku. Setelah itu, aku suruh Dewi memakai pakaiannya, kemudian kusuruh ia segera tidur. Aku pun segera keluar rumah besar itu dan kembali ke rumah kakekku. Benar-benar pengalaman yang sangat menggairahkan sekaligus menegangkan, karena aku menyetubuhi Dewi di tempat yang bisa saja aku akan ketahuan oleh suaminya atau orang lain.​

Bersambung

Sambungannya di sini ...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd