Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
PART 8

“Baiklah ... Akan aku coba ...” Akhirnya ucapan yang aku tunggu keluar juga dari mulut Bi Isah. Entahlah, aku sangat yakin dengan kemampuan Bi Isah untuk mendamaikan Tika dan Dewi.

“Sebagai penyemangat ... Kalau bibi berhasil mendamaikan mereka ... Aku janji akan membelikan rumah baru buat bibi lengkap dengan segala perabotannya ...” Keluar juga janjiku.

“Ih ... Beneran nih?” Bi Isah sedikit terperanjat. Aku memperhatikan mimik wajah Bi Isah, dia terlihat begitu senang.

“Aku serius ...” Jawabku sambil tersenyum dan menganggukan kepala.

“Okey ... Kalau begitu aku akan serius mendamaikan Tika dan Dewi ...” Jawab Bi Isah. “Kita tidur sekarang ... Hari sudah malam ... Aku ngantuk dan capek sekali ...” Lanjut Bi Isah sembari membaringkan tubuhnya di atas kasur. Aku pun mengikuti wanita itu berbaring di sebelahnya.

Kami berbincang hanya sebentar karena Bi Isah keburu larut dalam tidurnya. Aku peluk tubuh Bi Isah dan kuelus rambutnya. Tapi entah kenapa dan karena apa, aku punya perasaan yang lain kepada wanita ini. Bukan hanya sekedar nafsu, tetapi ada feeling yang tidak terlukiskan. Tak seberapa lama, tubuhku yang merasa lelah, mataku pun mulai sayup tanpa sadar aku pun sudah terlelap.

Bersambung[/JUSTIFY]

Menjadi penasaran bagaimana caranya Bi Isah mendamaikan Tika dan Dewi
 
PART 9

Denta Pov

Sepagi ini tubuhku sudah berkeringat saat hasrat birahiku semakin naik. Begitu pula dengan tubuh wanita di bawahku yang mengkilap karena peluh, menggeliat dengan indah saat penisku bergerak menyodoki lubang nikmatnya. Aku gerakan pinggulku dengan gerakan memutar, menyentuhi seluruh dinding senggama Bi Isah yang sedang mencengkram penisku. Kudengar lenguhannya yang sexy dan lenguhannya semakin terdengar keras saat kugerakan pinggulku dengan cepat.

“Oh ... Iya ... Di situuu ... Nikmaatt seekaliii ... Aaahh ... Aaahh ...” Rintih Bi Isah sambil membeliakan matanya. Rupanya aku berhasil menghajar titik kenikmatan wanita itu. Punggungnya kembali melengkung, tangannya bergerak untuk menggapai-gapai dengan kepala tak henti bergerak. Bibirnya tak berhenti mengerang.

Terasa vagina Bi Isah begitu panas dan berdenyut-denyut menjepit penisku kuat-kuat. Bi Isah menghempas-hempaskan pantatnya ke atas saat aku menusukkan penisku pada vaginanya. Gerakannya sungguh liar, ia melawan gempuranku, kusodokkan batangku dengan lebih kasar lagi hingga tubuhnya tersungkur-sungkur di bawah tindihanku. Aku mengulum senyumanku saat mendengar erangan orgasme Bi Isah yang ketiga kalinya. Aku berhasil berkali-kali merobohkannya berkubang dalam lumpur yang paling nikmat hingga membuat lubang vaginanya semakin licin.

Untuk kali ini aku sangat ingin membuat Bi Isah merasakan nikmat bersenggama yang sesungguhnya, akan aku buat ia ketagihan dengan genjotanku. Aku menggocok semakin kencang, kaki Bi Isah merangkul pinggulku seolah ingin hantaman yang lebih sempurna di vaginanya. Dengan gerakan cepat, aku memaju-mundurkan pinggul. Tubuh Bi Isah tersentak-sentak saat merasakan desakan penisku yang semakin menyiksa vaginanya.

"Se..seret sekali ..." Mataku mengerjap-ngerjap, diriku merasa begitu kuat diremas olehnya, kenikmatan duniawi yang sungguh sangat nikmat kini tengah menerpa tubuhku.

"Nnnggg ... Aaahh ... Saaayaangghh ..." Bi Isah memeluk erat tubuhku, keringat terus bercucuran di daerah sekitar paha dan betisnya, rambutnya menjadi lepek akibat keringat.

Aku semakin menghentak-hentakkan pinggul dengan kuat, tempo genjotanku pada tubuh Bi Isah juga semakin menggila. Erangan-erangan yang terlontar dari mulutku menandakan bahwa aku benar-benar menikmati jepitan dinding kewanitaan Bi Isah. Bi Isah sendiri juga tidak berhenti mendesah merasakan benda besar yang

kini sedang in-out di dalam tubuhnya. Cairan putih kental milik Bi Isah terus mengalir dari celah-celah kubang kewanitaannya menjadi pelumas bagi kejantananku.

“Aku menyayangimu ... Isah ...” Ucapku dengan menanggalkan kata ‘Bi’. Kulihat matanya membulat sesaat dan tak lama tergantikan dengan senyuman manisnya. Isah tidak menjawab pernyataanku ia hanya terus melenguh dan mendesah, mulutnya tidak bisa berbicara selain hanya mengeluarkan desahan-desahan indah yang terdengar merdu di telingaku.

"Nnngggg ... Aaahh ... Aaahh ... Ssshhh ... Aaahh ..." Isah menjambak kencang rambutku, pinggulnya ikut bergerak naik-turun untuk mengimbangi genjotan cepatku. Aku semakin bergerak cepat, suara decakan dua kelamin yang saling berbenturan terdengar memenuhi seisi kamar.

Plookk ...!

Plookk ...!

Plookk ...!

Kejantananku terus menghunjam semakin garang. Penisku kini bagaikan piston yang mengaduk-ngaduk liang senggama Isah. Wanita itu tak henti mendesah dan meracau seiring penisku yang cepat mengocok vaginanya. Cairan kewanitaan Isah semakin melimpah dan memperlancar laju kejantananku, dan meluber keluar sehingga membasahi sprei kasur dengan tetesannya. Wajah Isah terlihat sangat menikmati genjotanku. Dadanya diremas-remas sendiri serta di sela desahan-desahan yang keluar dari mulutnya terlihat juga ia mengigit-gigit bibirnya menahan nikmat.

Tiba-tiba tubuh Isah mengejang dan memelukku sangat erat. Dadanya terangkat, kepalanya mendongak, pinggulnya terangkat-angkat ke atas, dan matanya terpejam dengan kuat. Aku menyeringai puas melihat wanitaku telah mencapai orgasmenya lagi. Aku dapat merasakan desiran cairan yang membasahi penisku. Otot-otot vagina Isah yang ikut mengencang akibat orgasme tadi membuat diriku semakin mendekati puncak. Kedua tanganku memegang erat pinggul ramping Isah disertai dengan hentakkan kuat yang tiada hentinya.

"Se..sedikit lagi ..." Aku meracau tidak jelas, urat-urat pada batang penisku terbentuk dengan jelas, skrotum milikku juga ikut bergoyang dengan cepat.

"Ah ... Isah ...!" Aku mencabut penisku dengan cepat, lalu mengarahkan ujung penisku pada perut rata Isah. Dari lubang kecil yang berada di ujung penis, spermaku menyembur keluar dalam jumlah banyak dan bermuncratan cukup jauh. Tanganku yang terus mengurut agar semua cairan putih kental itu ikut habis keluar. Bau amis yang khas tercium dengan jelas di hidungku. Sementara itu mata Isah yang sendu memandangku yang masih terengah-engah.

"Denta ... Sayang ..." Panggil Isah, tubuhnya seperti lumpuh, tidak bisa bergerak sedikit pun. Tampak sekali kalau dirinya masih begitu sangat lelah.

"Kau sangat menggairahkan ... Isah ..." Dengan sengaja aku menjatuhkan tubuhku di atas tubuh Isah, menyembunyikan wajahku yang kelelahan di perpotongan antara leher dan pundak Isah, menyesap dalam-dalam aroma tubuhnya yang berkeringat. Isah sendiri hanya tersenyum mendengar ucapanku. Satu tangannya bergerak menyusuri leherku, mendekapku erat. Mata kami berkedua terpejam, suasana menjadi hening, napas kami masih memburu dan hanya tercium aroma menyengat dari cairan cinta yang kami keluarkan tadi.

“Olah raga paginya sudah ya ... Kita sarapan dulu ...” Ucap Isah pelan. Aku pun bergerak ke samping lalu terlentang di atas kasur.

“Olah raga yang nikmat ... Sampai perutku keroncongan ...” Kataku sambil bangkit lalu turun dari tempat tidur. Aku pungut celana panjangku kemudian memakainya. “Aku duluan mandi ...” Lanjutku sembari berjalan keluar kamar.

Aku langsung menuju ke kamar mandi. Kusiram air yang dingin sedingin es ke seluruh tubuhku. Air dingin itu mengejutkan seluruh bagian tubuhku, tubuhku yang lemas seketika terasa segar seperti handphone yang baru di-charge. Seluruh tubuh dan pikiranku terasa bersih dan dipenuhi semangat, seolah-olah semua masalah ikut terbasuh oleh dinginnya air. Setelah merasa bersih dan rapi, aku pun keluar kamar mandi.

“Sayang ... Handphonemu terus bunyi tuh ...” Kata Isah sambil melaluiku masuk ke dalam kamar mandi.

Aku ambil smartphone yang sudah terletak di atas meja. Aku lihat identitas si penelepon, ternyata Dinda beberapa kali mencoba menghubungiku. Lalu aku hubungi dia dan tak lama teleponku diangkatnya.

“Kang ... Polisi sudah ngeluarin SP3 ... Penyidikan dihentikan dan kasus ditutup ... Ini Mamah disuruh disimpan di rumah sakit jiwa ... Gimana ini?” Langsung saja Dinda memberondongku dengan nada khawatirnya.

“Jangan! Pinta sama polisi kalau kamu akan merawatnya ... Cepat ambil mamahmu dan bawa pulang ... Aku tunggu di rumahmu sekarang ...!” Kataku tegas.

“Emang bisa?” Tanya Dinda lagi seperti tak percaya.

“Bisa ... Bilang saja kamu akan merawatnya ...” Tegasku lagi.

“Baiklah ... Akang tunggu di rumah ya ...” Pintanya memelas.

“Iya ... Sekarang akang ke rumahmu ...” Jawabku dan tak lama hubungan telepon pun terputus.

Segera saja aku berdandan seperlunya untuk bersiap ke kediaman Dewi. Beberapa menit berselang, Isah keluar dari kamar mandi dan kusuruh wanita itu bersiap-siap ikut bersamaku ke rumah Dewi. Aku tunggu Isah di ruang depan sambil menghisap rokok. Kini aku bisa tersenyum lega karena rencanaku berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Kalau sudah begitu, aku tinggal menikmati hasilnya, sebab Dewi saat ini juga sudah menjadi ‘pelayanku’.

“Ayo ...!” Suara Isah membuyarkan lamunanku.

“Aku baru sadar kalau kamu sangat cantik dan menggairahkan ...” Kataku sembari melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku eratkan pelukanku hingga dada besarnya menempel di dadaku. Ya, Isah kini sangat berbeda. Wanita ini menjadi sangat feminis, berbeda dengan penampilannya yang dulu-dulu.

“Bukan saatnya mesum ... Saatnya menyelesaikan masalah Dewi dan Tika ... Ayo ...!” Ujar Isah sembari mendorong tubuhku.

Aku dan Isah meluncur ke kediaman Dewi yang hanya setengah jam waktu tempuh. Kami pun sampai dan langsung bebenah rumah yang cukup lama tak berpenghuni. Aku sampai ‘menyewa’ beberapa orang tetangga untuk membantu merapikan rumah besar ini. Hingga hari sudah setengah berjalan, akhirnya Dinda dan Dewi pun tiba. Aku lihat Dewi sedikit agak kurusan dan sangat kucel.

“Kang ... Mama kenapa? Ia bahkan tidak mengenalku.” Kata Dinda sembari memapah ibunya ke dalam kamar tidur.

“Tenang saja ... Sebentar lagi sembuh ... Dudukan mamahmu di sini ... Dan kamu keluar ...!” Kataku yang diikuti oleh Dewi kemudian.

Di kamar yang mewah ini hanya aku dan Dewi saja sebagai penghuninya. Benar-benar menyedihkan. Aku sampai menghela nafas berkali-kali karena iba saat melihat kondisinya. Dewi tidak bisa berkata-kata karena habis suaranya. Wajahnya terlihat lelah dan lingkaran hitam di bawah matanya sedikit mengerikan. Aku pun berjongkok di depannya dan hanya tatapan kosong yang aku dapat. Tak berlama-lama, aku putar cincin ajaibku hingga berada di telapak lalu kutekan dengan jempol kuat-kuat.

“Dengarkan ...!” Dewi menatapku dan terasa hangat batu cincin di jempolku sebagai pertanda aku sudah mensugestinya. “Kembalilah sebagai Dewi ... Kamu sembuh seutuhnya sekarang ...” Kataku.

Tiba-tiba mata Dewi terbelalak sempurna dan sejurus kemudian badannya jatuh ke atas kasur. Dewi pingsan seketika itu juga. Aku benarkan posisi tubuh wanita itu sampai terlentang di atas tempat tidur. Sejenak aku periksa nadinya, untung masih berdetak baik. Dewi tak apa-apa, hanya saja ia butuh istirahat. Setelah menyelimutinya, aku pun keluar kamar tidur yang disambut dengan tatapan khawatir dari kedua wanita yang mungkin sejak tadi sudah menungguku.

“Bagaimana keadaan mamah?” Tanya Dinda yang masih saja menampakkan roman sedih dan khawatirnya.

“Baik ... Dia gak apa-apa ... Dia lagi tidur ... Dia kelelahan ...” Jawabku sambil memegang kedua bahu adikku.

“Kita perlu orang yang ngurus dia ...” Isah menyambar perbincangan aku dan Dinda.

“Gak perlu ... Dia sehat kok ... Sudah kembali sadar ...” Jawabku sambil tersenyum.

“Serius, kak !!!” Pekik Dinda terkejut.

“Iya ... Mamahmu sudah kembali sadar ...” Kataku lembut.

“Ih ... Kok anehnya ...???” Tukas Isah dengan mata melotot padaku.

“Udah gak usah dibahas ... Sekarang yang penting mengembalikan kondisi fisiknya yang lemah ...” Kataku sembari memberi kode kepala kepada Isah agar tidak meneruskan keheranannya.

“Hhhmm ... Iya ...” Respon Isah sambil tersenyum penuh arti.

“Ok ... Jangan sampai orang-orang mengetahui kalau mamahmu sudah sembuh ... Sembunyikan sebisa mungkin dari orang-orang ...” Kataku lagi pada Dinda.

“Iya kang ...” Jawab Dinda yang kini mukanya mulai agak berseri.

Dinda pun memilih untuk menemani ibunya dalam kamar. Sementara itu aku dan Bi Isah berdiskusi tentang banyak hal terkait pengurusan Dewi untuk ke depannya sampai wanita itu sembuh seperti sediakala. Akhirnya kami bersepakat untuk menyewa seseorang yang bisa kami percayai untuk menutup segala rahasia yang ada di rumah ini. Dan kami pun tak sulit menemukan orangnya karena ia adalah bekas pembantu Dewi. Dan setelah semua terasa baik-baik saja, aku dan Isah pun pergi meninggalkan kediaman Dewi.

“Sekarang rencanamu apa?” Tanyaku pada Isah yang duduk di jok mobil sebelahku. Kendaraanku melaju pelan melewati jalanan berbatuan terjal yang cukup sulit untuk dilewati.

“Aku turun di kampung Wangi saja ... Aku mau menemui seseorang di sana ...” Jawabnya santai dengan masih mempermainkan smartphone-nya.

“Siapa?” Tanyaku penasaran.

“Aku sebut namanya pun kamu pasti gak kenal ...” Isah menolehku sambil tersenyum.

Kalau sudah begitu, aku tak ingin melanjutkan kepenasaranku. Kini aku lebih fokus ke jalanan desa yang semakin tidak bersahabat. Selang beberapa menit, Isah memintaku menepi dan setelahnya wanita itu turun kemudian berjalan ke arah jalan tanah layaknya jalan setapak yang di kiri kanannya penuh dengan tetumbuhan. Saat Isah tak terlihat lagi, barulah aku melajukan mobilku kembali dan yang kutuju adalah kota kabupaten. Tak lama, aku sampai di jalan beraspal. Tanpa berpikir panjang lagi, aku besut kendaraanku dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang sepi membuat jarak 25 km aku tempuh cukup cepat.

Mobilku masuk ke sebuah halaman rumah yang tidak asing bagiku. Keadaan rumah tampak sepi, tak ada sendal yang bergeletakkan di teras rumah. Hanya lampu depan saja yang masih menyala. Beberapa kali aku pijit bel rumah dan tak lama seorang gadis yang matanya masih sayu membukakan pintu. Reni menatapku sejenak lalu ia tampak membuat ekspresi duck face atau memanyunkan bibirnya.

“Mamah gak ada ...!” Suaranya terdengar agak parau pertanda ia baru bangun tidur. Adikku itu berbalik badan lalu duduk di sofa terdekatnya.

“Kemana?” Tanyaku sembari mendekati sofa panjang dan duduk di samping dirinya. Aku merangkul pundak Reni agar tubuh adikku bersandar di tubuhku.

“Ke Bandung tadi pagi-pagi sama tante Tika ... Katanya ada urusan penting ...” Ucapnya agak pelan sambil meletakkan kepalanya di bahuku.

“Kok gak bilang-bilang sama aku ya?” Gumamku sedikit heran. Kedua ‘wanitaku’ itu pergi begitu saja tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Reni tak menjawab, sesaat menjadi hening sepi.

“Kak ...” Tiba-tiba Reni bergerak melepaskan dekapanku, bangkit duduk dengan tegak, wajahnya menatapku serius.

“Ada apa?” Tanyaku lumayan terkejut dengan perubahan Reni yang mendadak.

“Aku minta uang ...” Ujarnya langsung membuatku menghela nafas.

“Kakak kira apaan ...” Kataku sambil mengacak rambutnya. Aku kira ada sesuatu yang benar-benar mengganggunya.

“Aku mau study tour ke Yogya ...” Katanya lagi mengungkapkan alasannya meminta uang padaku. Aku mengangguk tanda menyetujui keinginannya. “Tiga juta ya kak ...” Lanjut adikku yang membuatku mengerutkan kening.

“Banyak banget?” Tanyaku agak keberatan.

“Ya udah ... Kalau gak mau ngasih ... Aku mau cari sendiri ...!” Ucapnya sambil memanyunkan lagi bibirnya. Aku sangat mengerti maksud ucapannya itu. Padahal aku sudah mewanti-wanti agar adikku berhenti ‘menjajakan tubuhnya’ untuk mendapatkan uang.

“Iya ... Iya ... Awas kalau kamu dagang lagi?” Kataku sambil membolakan mata. Sungguh, aku gak rela kalau adikku ini kembali dengan kelakuannya yang menurutku tidak etis.

“Hi hi hi ... Iya kak ... Aku gak akan dagang memek lagi ...” Reni berkata sambil tertawa kecil. Tangannya menggoyang-goyang lenganku, dan sesekali ia menempelkan tubuh mungilnya pada tubuhku.

“Kamu gak boleh dagang memek lagi ... Tapi ... Apa temanmu itu masih melakukannya?” Tanyaku berbisik.

“Yang mana?” Tanyanya dengan alis mata yang hampir bertemu. Ia mengulum senyum seperti ingin meledek.

“Yang mana aja ... He he he ...” Jawabku sembari mengusap wajahnya yang lucu.

“Hi hi hi ... Di kelasku sekarang sedang nge-tren jualan memek, kak ... Sudah banyak yang terjun jadi pecun ...” Ungkap Reni yang sukses membuatku terkejut sekaligus membuatku interes.

“Wow ... Boleh dong ...?!” Kataku bersemangat. Kayaknya asik juga ‘main’ dengan gadis muda belia.

“Dasar ... Otak mesum ... Hi hi hi ...” Ucap reni sambil menjambaki rambutku. “Emangnya aku udah gak menarik lagi ...?” Lanjutnya.

“Aku gak akan lagi ... Kemaren itu kecelakaan ... Aku gak tau kalau kamu itu adikku ...” Jawabku yang memang entah kenapa tidak bersemangat lagi dengannya.

“Hi hi hi ... Sama dong ...!” Ucap adikku sambil memelukku. Ya kini sangat terasa sekali kalau pelukannya bukan pelukan ‘nafsu’, hanya kasih sayang adik kepada kakaknya. “Oh ya ... Sebentar ...!” Tiba-tiba Reni mengurai pelukannya, ia segera mengeluarkan smartphone dari saku baju tidurnya. Reni dengan lihai menggeser layar smartphone di tangannya. Tak lama, ia pun mulai bersuara.

“Hen ... Ada kakakku di rumah ... Kamu jadi gak?” Tanya adikku pada seseorang di seberang sana.

“............” Kulihat wajahnya kembali mengkerut semacam ada yang tidak ia suka.

“Bukannya kamu butuh duit buat biaya ibumu?” Tanya Reni lagi sedikit keras.

“............” Sekarang wajah reni agak berseri.

“Jangan takut ... Nanti kalau udah ngerasain, kamu pasti ketagihan ... Hi hi hi ...” Reni mengedipkan mata kanannya padaku. Sepertinya aku mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

“............”Wajah sumringah dengan senyuman lebar Reni pun mengembang.

“Oke deh ... Aku tunggu di rumahku ya ...” Ucap adikku yang tak lama ia menyimpan lagi smartphone ke dalam saku baju tidurnya.

“Ada apa dengan cewek itu?” Tanyaku penasaran sesaat setelah Reni menatapku dengan tatapan serius.

“Jadi gini ceritanya ...” Reni menahan ucapan sambil menggeser tubuhnya agak menjauhiku. “Temanku tadi namanya Heni ... Dia lagi butuh uang buat biaya rumah sakit ibunya ... Si Heni mau jual keperawanannya ... Aku tawarkan sama kakak ... Gimana?” Tanya Reni sangat serius.

“Wow ... Boleh juga tuh ... Tapi, dia mau jual berapa?” Tanyaku seperti sedang tawar menawar harga barang di pasar.

“Dia minta 10 juta ...” Jawab Reni agak ragu.

“Hhhhmm ... Mahal banget ...? Tapi ... Okelah, itung-itung nolong orang ...” Jawabnya sambil tersenyum.

“Hi hi hi ... Nolong orang atau nolong ini ...!” Tangan Reni tiba-tiba meremas penisku.

“Aww ... Sakit ... Kamu ini ah ...” Aku tepis tangannya sambil meringis.

“Hi hi hi ... Aku beresin dulu kamarku buat kakak belah duren ... Tapi, uangnya harus ditambah ya ... Jadi lima juta buatku ...” Kata Reni sangat ringan.

Aku belum sempat menjawab permintaannya, Reni sudah berlari ke arah kamarnya. Terasa panas sekali cuaca hari ini, aku ingin mandi lagi agar segar kembali. Tak lama, air dingin mengguyur tubuhku , membasahi semua pori-pori di seluruh tubuhku. Terasa begitu menyegarkan. Sekitar 15 menit aku pun telah selesai dengan kegiatan mandiku, dan kemudian aku pun keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan celana panjang, tubuh atasku dibiarkan terbuka. Samar-samar aku mencium wangi sabun menguar dari tubuhku.

Sambil berjalan ke arah ruang tamu, tiba-tiba telingaku mendengar percakapan yang aneh dengan suara berbisik. Aku berhenti sejenak di pintu penghubung ruang tamu dan ruang dapur. Aku fokuskan telingaku untuk mendengar percakapan mereka. Rupa-rupanya Reni sedang berusaha meyakinkan lawan bicaranya seolah apa yang ia tawarkan bukan masalah sama sekali. Aku pun tersenyum, Reni ternyata sangat lihai dalam merayu temannya dengan kata-kata manis dan iming-iming materi yang berlimpah.

“Kak ...!” Teriak Reni kemudian. Sepertinya adikku menyuruhku menghampirinya. Aku tahan dulu langkahku beberapa detik. Setelahnya aku pun masuk ke ruang tamu.

Seorang gadis manis sedang duduk gelisah di samping adikku. Wajahnya seperti ketakutan dan cemas. Beberapa saat kami saling bertatapan, dan kuberanikan diri mendekatinya, wajahnya masih nampak kebingungan melihatku. Saat jarak kami sudah satu meter dan kucoba memulai pembicaraan dengannya.

“Denta ...” Kuulurkan tanganku untuk berkenalan dengannya, mungkin dengan ini gadis itu akan lebih tenang. Lama tanganku tak bersambut, hingga ia menyambut tanganku.

“Heni ...” Katanya pelan yang terdengar gemetaran.

“Gak usah takut ... Kalau kamu gak mau ... Aku juga gak akan memaksa ... Lebih baik pikirkan dulu masak-masak sebelum melakukannya ...” Kataku sebijak mungkin sambil duduk di dekatnya coba memberi ketenangan pada gadis di depanku. Ia menatapku lagi lebih dalam seakan ragu dengan kehendaknya sendiri.

“Apa lagi yang kamu takutkan ... Percayalah ...! Semua akan baik-baik saja ...” Ujar Reni yang tak henti memprovokasi temannya.

Gadis yang baru berusia 18 tahun itu pun tersenyum walau agak dipaksakan. Aku pun akhirnya terus berusaha mendekatkan diri pada gadis manis itu. Setelah agak menyelidik, ternyata Heni memiliki tubuh yang semampai dengan pundak yang manis, anggun sekali. Aku terus ngajak ngobrol Heni hingga ia terlihat lebih nyaman. Gadis itu mulai bisa tertawa dan berbincang denganku tanpa rasa canggung lagi, setelah itu kami bercanda dan tertawa ria.

“Nah ... Sekarang kalian sudah saling kenal ... Aku mau pergi dulu ke rumah Imas ... Kalian bersenang-senanglah di sini ...” Kata Reni sembari bergerak meninggalkan kami keluar rumah.

“Ren ...!” Panggil Heni.

“Udah ... Sana ngamar ... Dijamin enak deh ... Hi hi hi ...” Seloroh Reni tanpa memperdulikan lagi temannya. Adikku menutup pintu dan pergi dari rumahnya.

“Biarkan dia pergi ...” Kataku sambil mengambil tangan gadis di dekatku lalu menarik. “Sini duduk di pangkuan akang ...” Aku mulai melancarkan seranganku.

“Kang ...” Ucap Heni sambil menahan tarikan tanganku. Masih tampak keraguan dari sikapnya itu.

“Benar kata Reni ... Kamu jangan takut ... Percayalah! Pasti akan enak ...” Kini aku sedikit memaksanya.

Heni mengikuti tarikanku walau badannya masih terasa gemetaran. Kududukan dirinya di atas pangkuanku dengan posisi menyamping. Tangan kiriku melingkar di belakang pinggangnya sementara tangan kananku memegang belakang kepalanya. Sejenak, mata kami saling menyapa. Aku seolah tak percaya, ini fakta atau fiksi. Tidak ada kata yang terurai antara aku dan dia. Aku dekatkan bibirku menghampiri wajahnya. Heni kelihatan terpana saat wajahku menghampiri wajahnya. Dan akhirnya bibirku menyentuh bibirnya, kulumat bibir mungilnya dengan lembut. Heni awalnya diam saja, tak lama ia membalas lumatan bibirku.

Tak lama, lidah kami mulai bertemu dan seketika itu ciuman kami mulai liar. Ciuman kami makin dahsyat, aku tidak lagi menciumi bibirnya melainkan ke lehernya terus menciumi dan sesekali menjilatinya. Heni mulai mendesah-desah. Saatnya aku meyusupkan tanganku ke balik kaosnya, ternyata Heni diam saja. Jemari tanganku mulai menyentuh perutnya yang ramping terus menjalar ke atas, akhirnya aku menyentuh payudaranya yang padat berisi dan masih terbalut BH. Aku pun belum merasa puas, jemari tanganku berusaha membuka kaitan BH-nya. "Berhasil," batinku. Kaitan BH terlepas.

Kemudian aku melepas juga pakaiannya. Heni agak menolak, entah kenapa Heni akhirnya membiarkan saja aku melepaskan pakaiannya. Mulailah kelihatan payudara Heni yang putih bersih dengan BH-nya yang agak merosot ke bawah karena kaitannya sudah lepas dan aku pun melepaskannya dari tubuh gadis itu. Karena malu, Heni menutupi payudaranya dengan telapak tangannya. Aku merentangkan kedua tangan Sisi, maka terlihat jelaslah dua bukit yang indah yang dihiasi dua putingnya yang berwarna coklat. Aku pun melumat salah satu puting tersebut ke dalam mulutku, tidak lupa salah satu tanganku menyentuh payudaranya yang menganggur.

Beberapa menit berselang, aku bopong tubuh Heni ke kamar yang sudah adikku persiapkan. Aku letakkan tubuhnya di atas kasur lalu tanpa penolakan darinya aku meloroti celana jeans dan celana dalamnya. Akhirnya aku berhasil melihat tubuh bugil gadis perawan. Sambil membuka celana panjang dan celana dalamku, aku berkali-kali harus meneguk liur karena betapa menawannya tubuh gadis itu. Melihat aku yang bugil, Heni pun menutupi payudaranya dengan meyilangkan kedua tangannya. Lagi-lagi aku harus merentangkan tangan gadis itu. Sepasang buah dada yang indah, bagai dicetak dengan dua batok kelapa, sempurna sekali, tidak ada sedikit pun otot yang kendor. Apa lagi dalam gairah yang tinggi ini, payudara itu tampak lebih padat dan kenyal.

Langsung saja kuciumi, kujilat buah dada yang ranum itu, kemudian kusedot putingnya yang mencuat indah. Kalau sedang kucium yang kiri, maka yang kanan kubelai dan kuremas lembut dengan tanganku, demikian juga jika buah dada yang kanan kalau kucium, maka yang kiri pun kubelai dan kuremas lembut. Nafas Heni semakin cepat, nyanyian suara birahinya mulai keluar satu persatu.

"Ooohh ... Ssshh ... Ooohh ...!"

Aku terus beraksi untuk membangkitkan gairah Heni, dan kali ini daerah sasaranku adalah liang senggamanya. Kuciumi rambut kemaluannya yang lumayan lebat sambil kuhirup wangi baunya. Rambut itu terasa lembut di hidungku. Kuciumi rambut vagina Heni memutari labia mayoranya. Bagian bawah vaginanya sudah banjir oleh cairan birahi. Kecupanku semakin ke dalam, menyentuh labia mayoranya. Desahan nikmat pun lolos dari mulut gadis itu. Sekarang aku akan lebih sering menggunakan lidahku, menari-nari, menyenggol labia mayora, labia minora, klitoris, saluran kencing, dan juga lubang rahimnya. Cairan yang keluar juga kujilat dan kuhirup kemudian kutelan. Walaupun rasanya sudah kutelan banyak sekali, tapi cairan itu tetap tidak mau habis, terus saja mengalir. Sementara itu reaksi Heni semakin menjadi-jadi. Kepalanya menengadah. Matanya terpejam. Mulutnya menganga sambil mengeluarkan nyanyian merdunya.

“Ooohh ... Aaahh ... Eeennak ... Eeemm ... Ssshh ... Ooouugghh ...!"

Sementara itu dadanya naik turun dengan cepat diikuti dengan naik turunnya punggung Heni. Pinggulnya juga ikut bergoyang-goyang. Tangannya mencengkeram erat rambutku dan menekannya dengan kuat ke arah vaginanya. Aku terus menjilat sambil menyedot-nyedot klitorisnya. Gerakan Heni semakin liar. Heni terus meracau tidak karuan, apalagi saat bibirku mengemut klitorisnya serta lidahku menerobos kewanitaannya. Heni mendesah-desah nikmat ketika lidahku semakin menekan klitorisnya kuat-kuat.

"Oouughh ... Kaaanngghh ... Peenggeenn piiipiisss ...!" Suara Heni semakin keras. Gadis itu mencapi orgasmenya yang pertama. Cengkeraman jarinya semakin kuat di kepalaku. Kedua pahanya menjepit kepalaku. Kakinya menegang. Nafasku semakin susah kuhirup. Tapi aku tidak perduli. Aku masih ingin memberikan orgasme yang beruntun buat Heni. Lidahku semakin seru menjilat dan menghisap klitorisnya.

"Hhhgg ... Hhaaa ...! Yaaaaacchhh ....!” Orgasme Heni datang lagi. Tapi lidahku semakin kencang lagi.

Sesaat kemudian, aku hentikan seranganku pada organ intimnya. Heni langsung melepaskan cengkeraman di rambutku, jepitan pahanya di kepalaku dan kakinya langsung dia selonjorkan. Aku pun merangkak menaiki tubuh Heni. Nafasnya naik turun. Buah dadanya yang tegang dan montok dengan puting yang mencuat indah itu naik turun mengikuti irama nafasnya. Keringat membasahi tubuhnya. Aku pun juga menyeka keringat yang mengalir deras di keningku. Kucium keningnya, kucium pipi kanannya, pipi kirinya, hidungnya dan terakhir bibirnya. Kubisikkan kata yang lembut di telinganya.

“Enak kan ... Sayang ...” Bisikku. Heni kemudian memeluk tubuhku. Kubalas pelukannya. Aku sangat yakin kalau gadis di bawahku sudah bisa menikmati permainan nikmat ini.

Kucium bibirnya. Dibalasnya ciumanku. Bersamaan dengan itu pula kutekan dengan pelan, sedikit demi sedikit penisku memasuki vaginanya. Batang kejantananku sudah sangat gatal ingin segera memasuki liang kenikmatan gadis ini. Pelahan-lahan kepala penisku menerobos masuk membelah bibir kemaluannya. Seret sekali rasanya, karena ini yang pertama kali bagi Heni. Namun karena cairan vagina yang keluar dari mulut vaginanya cukup banyak, maka ini membantu penisku untuk lebih lancar memasukinya. Pelan sekali aku melakukannya karena aku tidak ingin menyakitinya. Sementara itu bibir kami masih tetap saling berciuman.

Tiba-tiba ujung penisku terasa menyentuh sesuatu. Seperti ada tulang rawan dengan lubang kecil di tengahnya menghalangi jalan penisku. Inikah yang disebut dengan selaput dara. Belum sempat berpikir panjang, pinggulku dipegang oleh kedua telapak Heni. Kemudian dengan sedikit hentakan, dia menekan pinggulku agar lebih dalam dan kuat masuknya. Kuikuti saja keinginannya.

"Eegghh..!" Suara itu keluar dari dalam mulut Heni sambil dia gigit bibirku. Agak sakit juga sih. Tapi aku berpikir itu adalah reaksi Heni terhadap tembusnya selaput dara oleh penisku yang baru saja terjadi. Memang

menurut sebagian besar wanita, pada saat tembusnya selaput dara untuk pertama kali akan dirasakan sakit. Tapi tangan Heni masih tetap menekan pinggulku sampai akhirnya rambut-rambut kemaluan kami bersatu dan pangkal paha kami bertemu. Kudiamkan penisku agar tidak bergerak-gerak terlebih dahulu di dalam vaginanya untuk memberikan kesempatan kepada vaginanya agar hilang rasa sakit akibat sobeknya selaput dara. Aku merasakan betapa hangatnya liang rahim gadis ini. Sementara itu bibir kami masih saling melumat.

Setelah kuanggap cukup dan Heni sudah agak sedikit tenang, kulepaskan ciuman kami. Kuangkat sedikit tubuhku, kulirik ke bawah. Oh indahnya persetubuhan ini. Aku juga melihat ada darah di sana. “Terima kasih Heni, kamu telah menyerahkan barang berhargamu itu kepadaku,” kata batinku. Kemudian dengan bertumpu pada kedua sikuku dan dilingkarkannya kedua kaki Heni pada pahaku, aku mulai dengan sangat pelan menarik penisku.

"Ooooohhh .....!" Mata Heni mendelik sesaat, kemudian melihat ke atas dan terpejam sambil mulutnya menganga dan tubuhnya melengkung ke atas membuat buat dadanya juga ikut terangkat ke atas.

Kuciumi sejenak buah dada dan puting itu. Kali ini aku konsentrasi pada gerakan pinggulku yang akan menaikkan dan menurunkan penisku guna menggesek dinding vagina Heni. Terasa sekali kalau vaginanya sangat menjepit penisku sangat ketat. Kusakan penisku seperti dihimpit oleh benda hangat dan basah tapi sangat nikmat sekali. Setelah hampir 3/4 bagian penisku kutarik, kemudian kudorong kembali pelan-pelan.

"Oooohhh .....!" Kembali Heni menunjukkan reaksinya.

Tangannya mencengkeram erat pinggiran bantal yang dipakainya. Matanya terpejam seperti sedang menahan sakit. Raut mukanya meringis-ringis akibat rasa sakit di selangkangannya. Satu tusukan menyusul dan Heni mengaduh pelan. Batangku menyesaki liang vaginanya yang sempit dan peret karena baru kehilangan keperawanannya. Tentu saja aku lakukan dengan selembut mungkin menjelajahi bagian dalam vagina Heni yang masih terluka. Setelah sekian menit lamanya aku menyetubuhinya dengan sangat lembut, aku merasakan tubuh Heni mulai rileks.

“Masih sakit?” Tanyaku di sela genjotan pelanku.

“Sedikit ...” Desahnya dengan mata membulat.

Gerakan ini kulakukan terus secara perlahan, naik dan turun, sampai benar-benar kurasakan dinding vagina Heni terasa licin dan dapat menyesuaikan diri dengan ukuran penisku. Kejantananku terus bergerak menggesek pelan dan makin memperlebar bukaan bibir vaginanya. Matanya terpejam lagi, mulut masih mengeluarkan suara-suara erangannya. Entah erangan sakit atau erangan nikmat dan aku tidak peduli lagi. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, bahkan kadang seperti sengaja dibanting ke bantal. Dadanya naik turun karena punggungnya yang melengkung-melengkung.

"Ooohh ...! Aaaahh ... Ooohh ...!" Desahnya. Aku pun semakin bersemangat dan menikmati persetubuhan ini. Sekali-sekali mulutku mencium buah dadanya, pipinya, lehernya, juga mulutnya.

Beberapa menit kemudian, kugeser pinggulku ke atas dan ke bawah masih dengan lembut berirama, penisku bergerak seperti mencongkel klitorisnya. Sekarang tercapai sudah keinginanku melihat kedua mata sayu itu dalam keadaan horny, memang indah dan sangat merangsang. Aku yakin kini Heni sudah menikmati vaginanya ditusuk-tusuk penisku. Keyakinanku semakin menebal tatkala lendir cinta semakin membasahi kedua kelamin kami, gerakan penisku semakin lancar dan lincah di dalam vagina gadis ini.

"Ooghh ... Ya ...! Yah ... Iyyaa ...!" Heni mendesah-desah yang kini terdengar berupa desahan nikmat.

Mata kami saling memandang dan kami pun saling memberikan senyuman. Sementara alat kelamin kami masih saling menggesek, seakan enggan untuk berhenti. Aku menciumnya kembali, kali ini lebih lama, kulumat bibirnya. Ciumanku dibalas dengan sangat hangat. Dan sekarang aku bisa mempercepat genjotanku. Kami berdua sama-sama terbuai kenikmatan. Dengan gagahnya kutarik mundur pinggangku hingga penisku nyaris tercabut dari kemaluannya. Namun sepersekian detik setelahnya segera kuhentakkan kuat-kuat pinggangku ke bawah.

“PLAKK!!”

“Auughhhhhsssss..!!!”

Heni mengaduh nikmat ketika selangkanganku menampar permukaan selangkangannya kuat-kuat. Begitu dahsyat hingga mentok penisku habis ditelan bulat-bulat oleh kemaluan gadis ini. Kami berdua sudah mabuk kepayang, keenakan oleh sensasi nikmat terlarang. Aku menggeram dan mengamuk memompa Heni maju mundur. Badan Heni terguncang-guncang hebat akibat gerakanku. Sensasi yang kurasa tak bisa kulukiskan. Bagaimana nikmatnya batang penisku tergesek oleh dinding rapat vagina gadis berumur 18 tahun ini. Begitu pula rongga kemaluan Heni yang begitu sensitif digesek oleh sebongkah daging berurat keras, keluar masuk dengan cepatnya.

Keadaan semakin riuh rendah, desahan dan racauan kami berdua terus membahana di dalam kamar ini. Kami seakan tak peduli apabila ada yang mendengar dari luar. Kami saling memburu kenikmatan birahi bersama. Kedua alat kelamin kami saling berinteraksi penuh nafsu. Heni semakin bersemangat mengejar orgasmenya untuk hari ini. Sementara aku dengan sangat bersemangat menjejal-jejalkan penisku dalam-dalam di memeknya hingga mentok ke titik terdalam.

“Aaaaccchhh ...!” Heni mengerang dengan badan mengejang.

“Aaaaakkkhhh ...!” Aku pun menggeram dan seluruh tubuhku serasa kaku.

Sekejap Heni mengejang, empotan memeknya membuatku luluh lantak. Kali ini kami mencapai puncak kenikmatan berbarengan. Tepat ketika banjir bandang dari vagina gadis ini menyiram penisku, saat itu pula lah spermaku menembak-nembak rahimnya. Lalu seketika semuanya terasa makin gelap dan gelap, hingga akhirnya aku tak kuat lagi dan merebahkan diriku di atas tubuhnya dan kemaluan kami masih bertautan. Aku pejamkan mata masih merasakan kenikmatan seks yang lebih intens serta klimaks yang lebih dahsyat. Ternyata aku sadar kalau vagina perawan memang sangat nikmat.

“Kang ...” Suara lirih itu membangunkanku dari lamunan.

“Ya ...” Jawabku pelan lalu kucium hidungnya sekilas.

“Enak ...” Ucapnya malu-malu.

“Hhhhmm ... Emang ...” responku sejujur-jujurnya.

“Katanya kalau diperawanin sakit ... Tapi kalau aku sih enggak ... Cuma awalnya saja tapi sebentar ... Terusnya jadi enak ...” Papar Heni yang sedikit membuatku heran karena aku melihat tak ada rona sedih pada dirinya saat kehilangan keperawanannya.

“Seks itu buat ketagihan karena enaknya ...” Godaku sambil menggoda liang vagina Heni dengan menggesekkan penisku yang masih berada di dalamnya.

“Iya kang ... Tapi ada yang aku butuhkan ...” Suaranya tiba-tiba memelah daan sedih.

“Oh ya ... Akang tau ... Kamu butuh uang kan ...” Ucapku dan langsung dijawab dengan anggukan kecil. “Akang akan kasih kamu uang itu ...” Lanjutku sembari bangkit dari atas tubuhnya.

Kami pun langsung berpakaian dan keluar kamar. Di ruang tamu sudah ada adikku yang sedang asik memainkan smartphone-nya. Reni kemudian memberikan pil anti hamil kepada Heni, ternyata Reni keluar rumah tadi adalah pergi ke apotek untuk membeli pil anti hamil buat temannya. Sementara aku menuju mobilku yang terparkir di halaman dan aku ambil bungkusan coklat dalam dashboard. Kuambil uang berwarna merah dua gepok lalu kembali ke dalam rumah.

“Ini uangnya ...” Kataku sambil memberikan satu gepok uang merah kepada Heni. Gadis itu pun menerima uang pemberianku dengan tersenyum senang.

“Makasih ...” Kata Heni sambil mengulum senyum.

“Ini buat kamu ...” Kataku pada adikku dan tangannya dengan sangat cepat menyambar uang yang masih di tanganku.

“Makasih ... Makasih ...” Ucap Reni lalu mencium-cium gepokan uang itu.

Akhirnya kami bertiga ngobrol-ngobrol sambil minum minuman dingin walau nyatanya aku lebih banyak diam dan menyimak perbincangan mereka. Aku pun hanya bisa tersenyum ketika Heni sama sekali tidak merasa menyesal dengan kondisi yang dialami. Gadis itu malah terlihat benar-benar menikmati apa yang telah ia lakukan denganku. Saking asiknya ngobrol, tak terasa hari sudah menjelang malam, akhirnya aku memilih meninggalkan kedua gadis itu yang akan menginap bersama di rumah itu.

Setelah hampir setengah jam meninggalkan rumah Tari. Mobilku melaju pelan ketika melewati jalanan yang cukup sepi, hanya beberapa meter dari perempatan dekat lampu merah, mobilku berhenti di dekat Gang Buntu. Entah kenapa aku merasa ingin mengunjungi Burhan. Setelah mengunci mobil, aku langkahkan kaki memasuki gang yang terkenal dengan para pelacur cantiknya. Aku terus berjalan sampai ujung gang dan akhirnya aku disambut Burhan dengan sangat bersahabat.

“Kemana saja, lur ... Lama sekali gak ke sini ...” Burhan menjabat tanganku sangat erat sembari menepuk-nepuk bahuku.

“Ada kesibukan ... Pantesan aku ingin ke sini ternyata kamu ngangenin aku ... Ha ha ha ...” Candaku.

“Sialan ...! Tapi bener juga ... Aku kangen sama kamu ...” Kata Burhan dengan suara dibuat bencis sambil menoel daguku.

Kami pun tertawa bersama dan langsung duduk di warkop miliknya. Kalau menurut orang Sunda, ngobrol sambil ngopi sampai subuh itu adalah hal yang biasa bahkan bisa menumbuhkan rasa kekeluargaan. Ya, dengan rasa kekeluargaan, kami saling bercerita apa adanya tentang pengalaman kami satu sama lain selama kami tidak berjumpa. Sampai akhirnya aku pun bercerita tentang kerjaku sebagai pengambil barang selundupan di pelabuhan tempo hari.

“Jadi kamu bekerja dengan si Irwan ...” Ucap Burhan sambil menekuk wajahnya dan geleng-geleng kepala. “Irwan yang rumahnya di komplek Gading, kan ...” Lanjutnya.

“Loh ... Kok kamu tau ...?” Tanyaku cukup heran kalau Burhan mengetahui sosok Irwan yang aku maksud dalam ceritaku.

“Aku sangat tau si Irwan ... Aku saranin jauhi dia ... Boss si Irwan orangnya sangat berbahaya ...” Ungkap Burhan dengan nada sendu dan terasa kalau ucapannya sedikit ia tahan.

“Berbahaya ...???” Tanyaku sambil menatap wajah Burhan yang tiba-tiba saja menghindari tatapanku dengan mengalihkan pandangannya.

“Aku pernah menjadi anak buah Hans ... Hans adalah gembong mafia yang sangat kejam ... Dialah boss si Irwan dan juga mantan boss-ku ...” Jawab Burhan sambil tersenyum miris.

“Bahayanya dimana?” Tanyaku penasaran karena Burhan belum menjaab tuntas pertanyaanku.

“He he he ... Jika tugas yang dia berikan kepada anak buahnya gagal ... Sudah pasti anak buah itu mati ... Hans tak segan-segan membunuh anak buahnya yang gagal melaksanakan perintahnya ...” Papar Burhan.

“Oh ... Terus kamu kenapa keluar dari sana?” Tanyaku berlanjut.

“He he he ... Aku merasa gak betah saja ... Makanya aku keluar ...” Jawab Burhan dengan sedikit berkelid. Aku rasa ia sedang menyembunyikan sesuatu.

Walau aku masih penasaran namun melihat gelagat yang Burhan perlihatkan, aku pun tidak meneruskan pertanyaan. Kami berdua ngobrol dengan tema yang lain sambil menikmati suasana Gang Buntu yang semakin malam semakin ramai. Aku dan Burhan melanjutkan obrolan tentang hal-hal konyol. Kami tertawa dan bercanda bersama, seakan kami adalah sahabat lama.​

-----ooo-----

Author Pov

Dua orang wanita cantik duduk bersebelahan di sebuah cafe yang terletak di dekat sebuah persimpangan. Di hadapan kedua wanita itu duduk seorang pria tampan dengan santai. Ketiganya begitu intens melakukan diskusi yang cukup serius sambil menikmati makanan dan minuman di hadapan mereka. Cafe tersebut cukup lengang di malam itu, membuat mereka agak leluasa melakukan perbincangan.

“Aku bisa saja membantu kalian untuk mendapatkan pelanggan setia yang berduit ... Tapi apa keuntunganku?” Tanya si pria tampan yang sejak tadi pandangannya terarah pada wanita berambut panjang sebahu di depannya.

“Apa saja yang Kang Irwan mau ... Akan kami usahakan ...” Jawab lawan bicara sang pria yang ternyata Tari.

“Aku mau ... Dia ...!” Tanpa sungkan Irwan menunjuk wanita di sebelah Tari yaitu Tika. Irwan adalah ‘pelanggan’ Tari saat wanita itu berprofesi sebagai ‘wanita penghibur’ di restoran kota kabupaten. Irwan sering menggunakan ‘jasa’ Tari. Tapi pria itu baru melihat Tika dan merasa tertarik oleh kecantikan dan kemolekan Tika.

“Hi hi hi ... Itu mah mudah ... Asalkan Kang Irwan membuktikan dulu ... Apakah rekan-rekan Kang Irwan benar-benar berkunjung ke cafe kami ...” Sahut Tari sembari terkekeh. Sementara Tika hanya tersenyum kecil ketika dirinya dimaui oleh orang kaya itu.

“Aku jamin ... Cafe kalian akan sangat ramai oleh rekan-rekan bisnisku ... Aku jamin ...” Ucap Irwan sangat yakin. “Tapi ... Bolehkah aku mengajaknya sekarang?” Irwan sangat tak sabar.

“Maaf ... Aku lagi ‘M’ ...” Langsung saja Tika menjawab pertanyaan Irwan masih dengan senyumannya.

“Oh ... Sayang sekali ...” Ucap Irwan sambil menatap wajah Tika tanpa bosan.

“Hi hi hi ... Berkunjunglah bulan depan ke cafe kami ... Bawa rekan-rekan akang ... Barulah akang bisa mengambil keuntungannya ...” Papar Tika tegas.

“Ok ... Deal ...” Sambung Irwan.

Mereka pun melanjutkan obrolan santai mereka yang diselingi tawa. Berkali-kali Irwan dan Tika saling beradu pandang. Pria itu benar-benar jatuh hati pada Tika. Namun tidak dengan Tika, ia bersikap manis pada Irwan semata-mata agar rencananya dengan Tari bisa berjalan dengan lancar. Tika bersikap seolah-olah akan melayani Irwan padahal sebenarnya Tika merasa enggan terhadap pria tersebut.

Beberapa menit berselang, tiba-tiba mata Irwan membulat sempurna, raut wajahnya begitu tegang dan kaku. Seketika itu juga Irwan berdiri lalu membungkukan badannya takjim pada pria paruh baya yang baru saja masuk ke dalam cafe. Bukan tanpa alasan Irwan melakukan demikian karena orang yang dilihatnya adalah Hans, sang pemimpin organisasinya.

“Ah ... Ternyata kamu berada di sini ...” Hans langsung saja menyapa Irwan dan mendekatinya. Tak lama, sang pimpinan gembong mafia itu berada di dekat Irwan kemudian matanya memandangi kedua wanita cantik yang sedang bersama anak buahnya itu.

“Oh, Tuan ... Perkenalkan ... Ini Tari dan ini Tika ...” Langsung saja Irwan memperkenalkan kedua wanita itu. Tari dan Tika pun bergerak berdiri lalu menyodorkan tangan mereka untuk bersalaman dengan Hans. “Tuan ini adalah atasan saya ...” Kini Irwan memperkenalkan pimpinannya kepada Tari dan Tika.

“Bolehkah saya bergabung di sini ...” Ucap Hans yang tentunya tidak bisa Irwan tolak.

“Silahkan, tuan ...” Ucap Irwan sedikit gemetar.

“Bagaimana kalau kalian aku traktir makan.” Hans bersuara sambil tersenyum pada Tari dan Tika.

“Kami baru saja selesai makan ... Silahkan tuan saja ... Kami dengan senang hati akan menemani tuan ...” Kata Tari sangat diplomatis. Tari sangat senang dengan kedatangan Hans yang bisa jadi akan lebih mempermudah usahanya.

“Kalau makan sendiri aku jadi tidak enak ... Ya, sudah ... Kita minum-minum saja ...” Lanjut Hans yang kini matanya menatap mata Tika. Pria keturunan Indo-Jerman itu terpukau dengan kemolekan dan kecantikan Tika. Dan kali ini, Tika pun mengagumi ketampanan pria yang sedang menatapnya. Mata mereka saling berpandangan saling menyelami perasaan masing-masing.

“Ehem ...” Tari berdehem genit sambil tersenyum. Hans pun menoleh ke arah Tari lalu membalas senyuman Tari.

“Kalian memang cantik ...” Ucap Hans kemudian.

“Terima kasih ...” Ucap Tika dengan suara agak manja.

“Apakah tuan datang sendiri?” Tanya Tari yang juga suaranya dibuat semanja mungkin. Diam-diam Tari pun terpesona dengan ketampanan Hans.

“Iya ... Sengaja aku datang ke sini sendiri ... Untungnya ada dua bidadari yang akan menemaniku malam ini ...” Jawab Hans sangat percaya diri. Ucapannya memang tidak salah karena baik Tari maupun Tika akan sangat senang bila hans mengajak mereka menghabiskan waktu bersama malam ini.

“Tuan ... Mau pesan makanan dan minuman?” Tanya Irwan pada Big Boss-nya. Kesalahan fatal berlaku demikian di hadapan Tari dan Tika. Akhirnya kedua wanita cantik itu menjadi menganggap Irwan sebagai ‘kacung’ pria tampan itu.

“Pesankan saja kopi coklat dingin ... Buat mereka juga ...” Titah Hans pada Irwan. Dan Irwan pun langsung berlalu dari sana menuju kasir. “Ada keperluan apa kalian dengan Irwan?” Tanya Hans kemudian.

“Oh ... Kami meminta bantuan padanya untuk mendukung usaha kami ...” Jawab Tari sambil menggeser duduknya mendekati Hans. Gerakan Tari itu ditanggapi dengan senyum oleh Tika yang mengerti isi kepala Tari yang takut ‘keduluan’ olehnya.

“Hhhhmm ... Kalau boleh tahu ... Usaha apa yang sedang kalian rencanakan?” Tanya Hans yang seolah aura wibawanya menghipnotis kedua wanita cantik itu.

“Usaha cafe, tuan ... Tapi ada plusnya ...” Tari mengawali ceritanya. Ia pun menceritakan cukup rinci tentang rencana usaha yang akan dibangunnya. “Kami meminta Irwan dan rekan-rekannya untuk menjadi pelanggan kami.” Tari pun mengakhiri penjelasannya.

“Sangat menarik ... Aku mau mendukung kalian ... Anak buahku lebih dari seratus, bisa menjadi pelanggan cafe kalian ... Dan aku pun pasti menjadi pelanggan setia di sana karena kalian ...” Tutur Hans dan tiba-tiba saja kedua tangannya menangkap lengan Tari dan Tika yang memang posisi Hans berada di tengah kedua wanita tersebut.

“Terima kasih, tuan ...” Pekik Tari sangat senang dan dengan sengaja membawa tangan Hans ke dadanya. Dipeluknya lengan Hans hingga menempel ketat di payudaranya.

“Kalau begitu ... Mari kita rayakan bersama ...” Kata Hans yang kini tanpa ragu merangkul bahu Tika hingga tubuhnya merapat pada Hans.

Tak pelak, malam itu adalah malam mereka bertiga. Hati mereka seakan terhubung dan bisa langsung saling menerima. Ketampanan Hans mampu membuat kedua wanita itu tersipu hanya dengan melihat senyumannya saja. Sesungguhnya bukan hanya ketampanan Hans yang membuat Tari dan Tika ‘menyambut’ pria tersebut. Lebih dari itu, Tari dan Tika sadar kalau Hans akan lebih mampu menyokong mereka. Irwan saja yang menjadi anak buahnya sudah sangat sejahtera, apalagi boss-nya.

Bersambung
Sambungannya ada di sini ...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd