Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hitam Duniamu, Putihnya Cintaku (HDPC)

CHAPTER 2 ....


"Selamat ya, Ma!" tutur Gea sembari menyerahkan sebuket bunga untuk Andin sang Mama.


Gea

Andin yang semula tengah begitu menikmati makanannya sedikit terkejut dengan apa yang dilakukan gadis berusia enam belas tahun tersebut.

"Bunga ini untuk apa, Sayang?" tanya Andin sambil menghirup aroma wangi bunga mawar merah yang kini berada di tangannya.

"Ini hadiah dari Gea untuk untuk anniversary
pernikahan Mama sama Papa," terang Gea yang seketika membuat raut wajah Andin begitu bahagia.

"Makasih ya, Sayang!" Andin memeluk tubuh Gea untuk beberapa saat.

Dan setelah terlepas, ia sekilas melirik ke arah Bima yang tengah duduk di hadapannya.

"Mas, kamu nggak ingin mengucapkan terimakasih sama Gea!" lirih Andin.

Namun Bima sama sekali tak mendengarkannya. la nampak begitu sibuk dengan gadgetnya sembari menikmati sarapan.

"Mas!" panggil Andin kembali, baru perhatian Bima pun akhirnya tertuju ke arah Istrinya.

"Ya?" Bima berwajah kebingungan.

Nampaknya ia sama sekali tak menyimak apa yang sedari tadi diperbicangkan Andin dan Gea.

"Lihatlah , putrimu memberikan bunga ini untuk kita!" Andin memperlihatkan bunga mawar yang kini tergeletak di atas permukaan meja makan.

"Untuk?"

"Untuk hadiah anniversary pernikahan kita."

"Oh."

"Hanya seperti itu?" Andin terheran dengan reaksi Bima.

"Kemarilah sayang!" tutur Bima terhadap Gea.

Gea yang sedari tadi masih berdiri di samping Andin pun bergegas mendekat ke arah sang Papa.

"Makasih ya, kamu udah perhatian sama Mama dan Papa!" tutur Bima.

"Iya Pa. Sama-sama."

Mereka pun berpelukan untuk beberapa saat.

"Duduk gih! Kamu harus sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah!" tutur Andin terhadap Gea.

"Gea udah terlambat, Ma. Nanti Gea mau sarapan di kantin aja setelah jam istirahat."

"Kok gitu. Pagi ini kamu harus sarapan, Sayang! Nanti kamu sakit. Lagi pula kalau perutmu dalam posisi lapar, kamu akan ...."

"Da, Mama! Da, Papa!" pamit Gea memotong ucapan Andin.

Gadis remaja itu pun segera pergi meninggalkan ruang makan tanpa memperdulikan nasehat Andin.

"Dasar anak nakal!" rutuk Andin sembari menahan senyum.

Putrinya memang sering seperti itu. Tetapi
Andin memakluminya. Karena usia-usia remaja seperti Gea saat ini memang begitu susah untuk diatur.

Sesaat Andin kembali menikmati makanannya, begitu pun dengan Bima. Meski laki-laki itu masih sambil sibuk mengutak-atik benda pipih di tangannya. Entah apa yang sedang dilakukannya. Yang pasti Bima begitu serius, dan sesekali menunjukkan raut wajah bahagia.

"Mas!" panggil Andin memecahkan suasana sunyi mereka berdua.

"Hmmm...."

"Nanti malam ada waktu, kan?" tanya Andin.

"Memangnya kenapa?"

"Kita makan malam yuk, Mas! Buat ngerayain
anniversary pernikahan kita. Jarang-jarang kan kita ada momen yang kayak gitu. Nanti setelah makan malam kita bisa...

"Aku sibuk!" Bima memotong ucapan Andin.

"Sibuk?" Andin nampak tercekat.

"Ya , banyak pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan"

"Tak bisakah kamu menyuruh karyawanmu saja, Mas. Kita kan hanya sebentar. Kita hanya ..."

"Sudah lah, Ndin!" Lagi-lagi Bima memotong ucapan Andin.

"Aku udah bilang sibuk, kan! Jadi kamu nggak usah ngeyel!" ketus Bima yang membuat Andin seketika diam seribu bahasa.

"Udah ah. Aku mau berangkat kerja dulu!" pamit Bima sambil beranjak berdiri.

Ia mengambil kontak mobil yang semula bertengger di atas meja makan, lalu
setelah itu ia pun melenggang pergi begitu saja meninggalkan Andin yang masih terduduk di tempat semula.

Andin meneruskan kegiatan makannya sembari menahan perasaannya yang terasa campur aduk. Antara marah, geram dan juga sedih menghadapi sikap sang suami yang selalu dingin.

Andin membereskan peralatan makannya setelah beberapa menit kemudian. Meski seorang asisten rumah tangga nya juga turut membantunya, tetapi ia tetap ikut turun tangan dalam berbagai hal di rumah ini. Tentu saja karena ia sama sekali tak memiliki
aktivitas apapun.

Sudah sepuluh tahun lamanya Andin dipaksa untuk berhenti bekerja oleh Bima. Karena kata Bima Andin tak boleh membuat malu sang suami dengan ikut mencari nafkah untuk keluarga ini. Padahal sebetulnya niatan Andin bukan seperti itu. la hanya ingin
berkegiatan guna mengusir kebosanannya dalamdi rumah ini.

Drrrrrt...
Drrrrtt...

Handphone Andin bergetar.

Ada sebuah panggilan masuk dari Imelda. Teman SMU-nya yang sampai sekarang menjadi sahabat dekat Andin.

"Halo, Mel!" sapa Andin mengawali pembicangan mereka.

Ia meletakkan sejenak peralatan makan yang
baru saja akan ia bawa ke dapur.

"Kamu lagi apa, Ndin? Sibuk kah?" tanya Imelda dari ujung telepon.

"Aku mana pernah sibuk sih, Mel!" balas Andin sambil tersenyum miris.

la seolah sedang menertawakan
dirinya sendiri.

"Kita nanti ada acara kumpul-kumpul lagi. Kali ini kamu ikut ya, Ndin?" pinta Imelda.

Sedang Andin nampak terdiam belum menjawab apa-apa ajakan tersebut.

"Dari pada kamu bosan di rumah, kan! Kita bisa karoke, jalan-jalan, atau sekedar kumpul-kumpul sama teman-teman. Aku jamin kamu akan terhibur."

"Tetapi aku sungkan sama mereka, Da. Aku kan udah lama nggak ikut kegiatan kalian."

"Justru itu. Mereka kangen bergaul sama kamu."

"Benarkah?" Andin kembali terdiam. Tetapi kemudian

"Baiklah, aku akan ikut." Andin akhirnya menyetujui ajakan Imelda.

Ajakan yang sebelumnya sudah
berkali-kali ia tolak begitu saja.

******

Nao masih duduk di bangkunya setelah dosen meninggalkan kelas. Ia masih sibuk menulis sesuatu di buku tulisnya. Merekap kembali apapun penjelasan Dosen sesaat yang lalu.

"Nao!" Sebuah panggilan terdengar.

Raisya, seorang gadis fakultas ekonomi nampak bediri di samping keberadaan Nao.

"Ya!" Wajah Nao pun otomatis mendongak ke arah Raisya.

"Kamu udah makan siang?" tanya Raisya.

Dan Nao pun nampak menggelengkan kepalanya.

"Ini untuk kamu!" Raisya meletakkan sandwich ke atas meja yang tengah digunakan Nao.

"Apa ini?" Nao nampak kebingungan.

"Untuk makan siang kamu, jika kamu tak sempat ke kantin."

Seketika Nao pun tersenyum kecil. Senyuman yang selalu membuat para gadis-gadis seperti terpesona akan sosok dirinya.

"Makasih ya!" tutur lembut Nao.

Dan Raisya pun nampak tersipu malu. Ia pun segera meninggalkan keberadaan Nao. Tentu saja dengan hati yang berbunga-bunga.

"Cih !!! Mereka tak tahu saja jika laki-laki yang di-idolakannya adalah laki-laki murahan!"

Sebuah celetukan terdengar dari salah satu mahasiswa yang tengah berkumpul diambang pintu ruangan kelas. Celetukan yang otomatis terdengar ke telinga Nao. Tetapi Nao tak ambil pusing, meski ia mengerti betul bahwa kalimat tersebut sengaja ditujukan untuknya.

Nao membereskan buku-bukunya ke dalam tas miliknya. la segera beranjak. Ia bermaksud meninggalkan bangku yang semula ia duduki, lalu melangkah ke arah ambang pintu kelas. Hampir ia berlalu begitu saja.

Tetapi Andika, salah satu kumpulan para mahasiswa yang tengah saling berbincang-berbincang tiba-tiba menghadang jalan Nao.

Andika berdiri tepat di hadapan Nao. Yang
otomatis langkah Nao pun harus terhenti karena kelakuan laki-laki tersebut.

"Gua muak sama sikap Lo!" ucap Andika.

Sedangkan Nao hanya terdiam sembari menatap lekat-lekat ke arah laki-laki bertompel segede jambu tersebut.

"Gua tau kebusukan loe. Lo menjual diri kan? Jadi gua harap Lo jangan berpura-pura alim di sini!"

"Minggir!" ketus Nao.

Tetapi Andika tak bereaksi. Ia tetap berada di posisi semula.

"Minggir!" ulang Nao.

Kali ini nada suaranya dan tatapannya begitu menakutkan. Apalagi kemudian terdengar suara bolpen yang ia tekan dengan ibu
jarinya. Sebuah tindakan yang entah mengapa membuat nyali Andika berubah menciut.

Andika pun minggir dari hadapan Nao. Ia segera memberi jalan agar Nao bisa meninggalkan ruangan kelas ini.

** *
"Andin!" Laras nampak terkejut dengan
keberadaan Andin yang kini tengah duduk di sebuah sofa ruang tengah rumah Imelda.

Rumah yang akan dijadikan tempat kumpul-kumpul rutin para komunitas Ibu-ibu sosialita muda seperti mereka. Para wanita yang telah dipenuhi kemewahan oleh suami
mereka masing-masing, dan ingin mencari
kebahagiaan dengan cara mereka sendiri.

"Tumben kamu ikut acara kami?" Kali ini Sari lah yang bersuara.

"Aku yang mengajaknya!" Imelda menyahuti.

"Baguslah! Sering-seringlah seperti ini, Ndin. Karena kita sebagai istri dan Ibu rumah tangga juga butuh hiburan. Memangnya hanya suami saja bisa bersenang-senang di luar sana. Kita kalau mau juga bisa. Iya, kan!" celetuk Arini terhadap Andin.

Maka semua pun yang datang di sini pun nampak tertawa mendengar kalimat yang sangat tepat tersebut.

"Hari ini acara kita apa saja?" tanya Asri setelah semuanya nampak duduk di sofa yang disediakan.

"Kita karaokean aja, yuk! Atau belanja ke mall!" ajak Siti memberi ide.

"Tenang guys. Aku punya kejutan buat kalian!" sahut Imelda yang otomatis membuat perhatian semuanya pun tertuju padanya.

"Karena hari ini aku lah yang menjadi tuan rumah. Aku ingin menjamu kalian dengan sesuatu yang spesial."

"Spesial? Apaan?" Semuanya nampak penasaran.

Imelda pun terdiam sesaat. Ia sengaja ingin membuat teman-temannya nampak tak sabar dengan apa yang akan ia katakan.

"Apaan, Da?" tanya Laras.

"Aku mau ngenalin kalian sama Brondong, Booooook!" ucap Imelda akhirnya.

"Brondong?" Semua terkejut.

"Iya, Brondong. Dan kali ini brondongnya oke banget. Kalian nggak akan nyesel."

"Serius, emang kamu pernah nyobain?"

"Udah dong. Kalau aku belum tau gimana okenya dia, nggak mungkin aku promosiin ke kalian."

"Wuih! Jadi nggak sabar liat brondongnya. Sekarang dia ada di mana?" tanya Siti.

"Tunggu ya. Dia tadi bilang sedang dalam perjalanan kemari," jawab Imelda.

Tak berapa lama kemudian...

Ting... Tong....

Suara bel pun tiba-tiba berbunyi sedikit mengacaukan perbincangan mereka.

"Ah, itu pasti dia. Bentar ya, aku bukain pintu dulu," ucap Imelda sambil melangkah menuju ke depan.

"Kita ikut dong! Kita udah nggak sabar liat brondong yang katamu oke."
Serentak semuanya pun menuju ke depan, termasuk Andin.

Karena salah satu temannya setengah memaksa agar Andin ikut dengan apa yang sedang mereka lakukan. Setelah sampai di ruang tamu Imelda pun segera membuka pintu di hadapannya. Dan begitu terbuka
benar dugaannya. Kini di hadapannya berdiri sosok Nao yang semakin terlihat mempesona jika dibandingkan saat kemarin malam.

"Selamat siang, Tante!" sapa Nao dengan suara beratnya sembari ia yang melemparkan senyum kepada wanita-wanita bersuami di hadapannya. Maka
semuanya pun nampak terperangah dan terkesima akan sosok laki-laki muda tersebut.

"Halo, Nao!" sapa Imelda terhadap Nao yang tengah berdiri di hadapannya.

"Mantap, Cin. Cakep bener!" bisik teman-teman yang lain.

"Masih muda banget. Masih seger!" ucap yang lainnya lagi.
"Nama kamu siapa?" tanya Sari bernada ganjen.

"Nao, Tante," jawab Nao dengan senyum manisnya.

"Kalau nama panjangnya?"

"Naooooo000000o!"

"Ah, kamu! Bisa ngelawak juga ternyata."

"He ... He ... He....!" Nao tertawa kecil.

"Ya ampun, Cin. Ketawanya renyah banget !!! Rahimku jadi anget," celetuk Asri

"Yaudah yuk, Nao! Kita masuk!" ajak Imelda. Nao pun segera masuk ke dalam rumah.

la berjalan mengikuti Tante-tante girang di hadapannya. Hingga langkah mereka pun sampai di ruangan tengah. Nao duduk di salah satu bagian sofa. Ia dikerubungi
oleh teman-teman Imelda. Ibarat Nao seperti makanan yang lezat, yang tak sabar untuk segera mereka makan.

"Kamu masih kuliah?" tanya Arini.

"Masih, Tante."

"Jurusan apa?"

"Hukum."

"Wouw, bisa jadi koki, dong!"
Nao pun tetawa kecil mendengar ucapan Siti.

"Dia kuliah hukum, Dodol! Apa hubungannya sama koki !!" umpat Siti.
"Oh, maksudku, bisa jadi pengacara dong!"

"Amin!" balas Nao.

"Kamu masih muda. Berapa usia kamu?" Kali ini Sari lah yang bertanya.

"Dua puluh, Tante."

"Wow, masih muda. Udah punya pengalaman belum? Jangan-jangan keok di ranjang. Atau enggak, durasinya cuma sekejap!"

Lagi-lagi Nao tertawa kecil.

"Saya bisa membuat Tante berjam-jam tak mau keluar dari kamar"

"Ouwww ... Benarkah?"

"Tante ingin mencoba?" tanya Nao dengan nada suara yang menggoda.

"Boleh."

"Jangan dulu, lah. Kita asik-asikkan aja dulu di sini!" protes Arini.

"Iya, bener. Nanti habis itu baru kita bergilir cobain servisannya dia!" tambah Astuti membenarkan ucapan Arini.

"Kita bikin permainan aja, buat seru-seruan!" sahut Imelda memberi ide.

"Seru-seruan gimana?"

"Kita bergilir kasih uang Nao. Dan Nao harus ngelakuin apa yang kita mau," jelas Imelda.

"Wow seru! Aku setuju."

"Aku juga setuju."

"Gimana, Nao? Kamu bersedia? Kami mau kan, ngelakuin apapun untuk kami?" tanya Imelda terhadap Nao.

"Baik, Tante."

Semua nampak girang mendengar jawaban Nao. Semua duduk melingkar di atas karpet besar, termasuk Nao. Mereka semua antusias untuk melakukan permainan yang sebetulnya hanya untuk mengeksplor tubuh Nao. Laki-laki pemuas Tante girang yang
dengan mudah mau melakukan apapun hanya demi uang.

"Mulai dari siapa?" tanya Arini.

"Kita pake ini aja?" Imelda memperlihatkan botol kosong yang kemudian ia putar untuk menunjukkan siapa yang lebih dulu mengawali permainan ini.

"Aaaaaa, aku duluan!" teriak girang Astuti begitu ujung botol mengarah padanya.

Astuti pun segera merogoh beberapa lembar uang dari dalam tas yang ia bawa. Lalu kemudian ia memetakannya di tengah-tengah keberadaan posisi melingkar mereka.

"Aku ingin kamu bertelanjang dada, Nao!" titah Astuti dengan begitu bersemangat.

Semua pun bersorak girang mendengar hal tersebut. Nao hanya tersenyum. Tetapi kemudian, ia benar-benar melepas t-shirt yang di kenakannya. Tubuh atletis nya pun segera terlihat di depan para Tante girang.

Maka semua pun terperangah. Mereka
nampak kegerahan. Hingga cara duduk mereka menjadi sedikit gusar.

"Mantap Cin! Nggak cuma tampan, tetapi rupanya badannya juga bagus " celetuk Siti.

"Bener. Aku jadi nggak sabar pengen booking dia," tambah Sari.

"Aku akan memutar lagi botolnya!" tutur Imelda yang kembali menggerakkan botol di tangannya.

Dan kali ini giliran Siti yang mendapat giliran.

"Bolehkah aku memegang dadamu, Nao?" tanya Siti sambil meletakkan beberapa uang seratus ribuan ke tengah-tengah posisi mereka.

"Boleh, Tante!" jawab Nao.

Dan semua pun histeris mendengarnya.

Nao segera berdiri, begitu pun Siti. Mereka
berposisi saling berhadap-hadapan. Lalu setelah itu, Nao nampak meraih jemari Siti untuk ia arahkan ke permukaan kulit dada dan perutnya.

Siti nampak terperangah begitu jari-jarinya
mengelus badan kotak-kotak milik Nao
.
"Ahhhh .... Pengen!" teriak yang lainnya mirip kayak gadis ABG.

Selang beberapa saat, Nao dan Siti pun
kembali ke posisi semula. Maka permainan segera berlanjut. Dan begitu botol diputar, rupanya mengarah pada Imelda.

"Aku ingin kamu melepas celana panjangmu juga, Nao!" titah Imelda.

Semuanya pun semakin besorak girang.

"Baik Tante." Nao segera melaksanakan apa yang diperintahkan.

la melepas celana jens yang semula ia
kenakan hingga hanya bersisa celana boxer ketat yang membentuk lekuk tubuhnya. Memperlihatkan boKong sintalnya dan kejantanan yang terlihat begitu menantang.

Semua lagi-lagi histeris melihat pemandangan tersebut. Pemandangan yang menurut mereka begitu seru dan mampu menghibur mereka kali ini.

Selanjutnya semua pun mendapat giliran untuk memberikan perintah kepada Nao. Ada yang meminta untuk dipeluk, dicium, dan juga keinginan untuk memegang bagian sensitif Nao.

Lalu akhirnya, terakhir adalah giliran Andin. Botol yang diputar Imelda akhirnya mengarah pada wanita yang sedari tadi tak
banyak bicara tersebut. Sikap yang menunjukkan bahwa ia tak seberani teman-temannya yang lain.

"Kau ingin apa, Ndin dari Nao?" tanya Imelda ke arah Andin.

"Aku tak ingin apa-apa. Aku hanya akan memberi dia uang saja." Andin meletakkan beberapa lembar uang miliknya.

"Nggak boleh gitu, dong. Peraturan permainan ini, kamu harus memerintahkan sesuatu kepada Nao!" protes Sari.

"Tetapi aku tak ingin apa-apa dari dia," jawab Andin.

"Ayolah, Ndin! Nggak seru kalau kamu kayak gini. Minta apa aja, kek. Nao pasti mengabulkannya."

"Iya, Ndin. Kasih dia perintah apa aja! Terserah!"

"Betul, Ndin!"

Semuanya terkesan memaksa. Maka Andin pun terdiam. la berusaha berpikir apa yang harus ia perintahkan kepada Nao. Dan akhirnya, ia pun mendapatkannya.

"Aku ingin kamu mengelus kepalaku!" titah Andin.

Sebuah perintah yang membuat lainnya begitu tercengang. Karena perintah Andin termasuk sesuatu yang begitu aneh.

"Nggak salah, cuma gitu doang, Ndin?" tanya Imelda begitu terheran.

"Ya, aku hanya ingin itu saja" jawan Andin yakin.

Nao segera beranjak dari posisi duduknya yang semula. la berjalan ke arah Andin. Lalu kemudian ia duduk tepat di hadapan Andin.

Tangannya menjulur ke kepala Andin. Sebuah elusan lembut pun benar-benar Nao
lakukan.

"Seperti inikah, Tante!" lirih Nao sembari tersenyum ke arah Andin.

Senyuman yang entah mengapa tiba-tiba
membuat dada Andin jadi berdesir tak karuan.

"Y-ya, seperti ini," jawab Andin terbata.

Dan lagi-lagi Nao tersenyum kecil. Tetapi kali ini sambil menatap lekat-lekat ke arah kedua netra Andin, yang membuat Andin pun semakin gugup di hadapan laki-laki tersebut.

"Sudah cukup!" ucap Andin.

Maka Nao pun beranjak. la kembali ke posisi duduknya yang semula.

"Nao, sewaktu-waktu kamu bisa free kan? Aku ingin booking kamu secepatnya, " tanya Siti.

"Free Tante. Hanya saja kalau pagi saya harus kuliah," jawab Nao.

"Kamu punya kartu nama? Biar kami bisa mudah untuk hubungi kamu. Atau langsung datang ke tempatmu buat jemput kamu," sahut Imelda.

"Punya, Tante." Nao segera membagikan kartu nama miliknya kepada semua Tante-tante haus belaian di hadapannya.

"Tetapi kamu bisa nggak misal buat langganan salah satu dari kami?" Astuti melemparkan pertanyaan.

"Maksud Tante?"

"Ya. Misal kami ingin memelihara kamu. Jadi kamu tak perlu freelance-an seperti ini," jelas Astuti.

"Saya akan sangat berterima kasih jika ada yang mau memelihara saya," jawab Nao dengan begitu gamblang.

"Aku mau, Nao! Aku akan memberikan uang untuk kamu setiap bulannya!" sahut Siti.

"Dengan aku saja, Nao!" ucap Sari.

"Tak hanya memberikanmu uang bulanan, aku juga akan memberikan barang-barang apa pun yang kamu mau," terangnya.

"Aku juga akan membayarkan biaya kuliah kamu, Nao!" Arini ikut menyahut.

"Sama aku saja, Nao!"

"Aku saja Nao."

Semua berebut ingin menggunakan jasa Nao. Karena hampir semua tertarik dengan fisik dan pembawaan Nao yang begitu sopan terapi menggoda.

"Di antara kami semua, mana yang akan kamu pilih, Nao? Keputusan ada di tangan kamu," ucap Imelda.

"Bolehkah saya memikirkannya terlebih dahulu. Karena jujur, saya begitu bingung memilih di antara Tante-tante yang ada di sini," tutur Nao.

"Baik, Nao. Kami akan memberikan waktu kamu buat berpikir," balas Imelda.

Dan sepertinya semuanya pun setuju dengan ucapan tersebut.

Setelah mereka bosan hanya bermain-main di dalam rumah, mereka semua berniat untuk pergi ke luar. Entah hanya berbelanja di mall, atau sekedar ke salon kecantikan untuk melepas penat.

"Kamu menemukan barang bagus kayak gitu di mana, Mel ?" tanya Siti begitu mereka semua hampir masuk ke dalam mobil.

"Semalam aku bertemu dia di club. Karena masih muda, yaudah aku embat aja," jawab Imelda sembari menghidupkan mesin mobilnya.

Dan semua pun seketika tetawa mendengarnya.

"Aku suka dengan model-model brondong seperti dia. Sepertinya nggak akan menuntut yang aneh-aneh!" sahut Astuti.

"Betul. Dia juga sopan anaknya. Dan yang terpenting imut-imut banget!" Sari juga ikut menimpali.

"Andin!" Imelda tiba-tiba memanggil Andin yang tengah duduk di jok paling belakang.

"Ya?"

"Kamu nggak kepikiran ingin bermain-main dengan Brondong seperti kita-kita! Asik lho! Kita benar-benar jadi fresh karena mereka."
Andin nampak tercekat mendengar pertanyaan tersebut.

"Andin mana mungkin mau!" sahut Sari.

"Kehidupan rumah tangganya kan udah bahagia. Udah sempurna banget. Dia punya suami yang baik, kaya. Apalagi yang dibutuhkan Andin. Memangnya kita
wanita-wanita yang kesepian, butuh belaian."

Andin spontan meremas ujung rok yang ia kenakan ketika mendengar ucapan tersebut. Karena sesungguhnya, apa yang temannya bicarakan itu sangatlah lain dari kenyataannya.

Andin sama sekali tak bahagia, kehidupan rumah tangganya jauh dari kata sempurna. Tentu saja akibat suami yang selalu
bersikap dingin padanya. Andin hanya melemparkan senyum ke arah teman-temannya.

"Ahhh gawat!" Andin tiba-tiba tersentak.

"Ada apa, Ndin?" tanya kompak teman-temannya.

"Tasku ketinggalan di rumah kamu, Mel."

"Yaudah. Kita putar arah aja, kembali ke sana."

"Nggak usah!" cegah Andin.

"Kenapa?" Imelda nampak bingung.

"Aku turunin aja disini. Aku akan merumahmu naik taksi"

"Aku anterin aja, Ndin. Kita nggak pa-pa kok balik arah dulu," ucap Imelda.

"Iya. Nggak pa-pa kok, Ndin. Kita kan harus
sama-sama," tambah Siti.

"Tak perlu. Aku naik taksi saja. Lagi pula, aku habis ini mau langsung pulang, kok." Andin tetap bersikeras.

"Lho kenapa?" Semuanya terheran.

"Hari ini sebenernya hari anniversary-ku dengan Mas Bima. Mungkin malam nanti kita akan merayakannya. Jadi aku mau cepat-cepat pulang, mau mempersiapkan
diri," jelas Andin.

"Dih! Bikin iri kamu, Ndin. Kapan ya kita punya suami kayak Bima!" celetuk yang lainnya.

Dan lagi-lagi Andin pun hanya tersenyum kecil menanggapinya.

Sesaat kemudian mobil pun segera berhenti. Andin benar-benar turun. Ia segera menghadang taksi yang kebetulan melintas di hadapannya. Taksi yang akan mengantarkannya kembali ke rumah Imelda.


***

Nao mengenakan pakaiannya kembali setelah semua orang telah pergi termasuk Imelda si Tuan rumah. Mereka semua bersenang-senang di luar setelah bosan hanya bermain-main di tempat ini.

Drrrrrt..Drrrtttt.

Handphone Nao tiba-tiba bergetar. Ada sebuah pesan masuk di layar benda pipihnya tersebut.

[Nao! Temui aku sekarang!]

Membaca pesan tersebut, Nao nampak menghela nafas. Wajahnya murung. la seperti sedang mendapatkan berita yang begitu buruk.

Hampir ia memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku celana, tetapi getaran yang seperti tadi terjadi kembali.

[Aku akan membayarmu dua kali lipat.]

Itu lah isi pesan yang dikirimkan oleh orang yang sama dengan pengirim pesan yang baru saja.

Lagi-lagi Nao seperti tak memperdulikannya. Kali ini, dia benar-benar memasukkan handphonenya ke dalam kantong celana yang ia kenakan, lalu kemudian ia segera meneruskan aktivitasnya yang semula.

Nao berjalan ke arah tumpukan uang yang beberapa saat lalu sengaja para Tante itu letakkan di atas karpet. Uang untuk membayar jasa Nao karena telah menuruti
semua keinginan mereka. la berjongkok di depannya. Dengan sangat hati-hati,
Nao memunguti uang-uang tersebut. Dan tiba-tiba saja

Tes....

Satu butiran bening tak terasa menetes dari kedua netra Nao. Sebuah bukti dari perasaan hatinya yang sesungguhnya.

Tap... Tap ... Tap ....

Terdengar suara langkah kaki. Nao pun refleks menengok ke arah sumber suara tersebut. Rupanya ada seseorang yang tiba-tiba datang. Sosok Andin yang kini tengah berdiri di ambang pintu ruangan tengah.

"Maaf. Aku mau mengambil tasku yang ketinggalan!" tutur Andin sambil menunjuk tas merah miliknya yang bertengger di sofa.

Nao pun hanya tersenyum menanggapi ucapan tersebut. Meski bekas air matanya masih nampak terlihat dan mungkin telah diketahui juga oleh Andin. Tetapi Andin tak berani bertanya apapun.

la hanya berjalan menuju ke sofa untuk mengambil tas miliknya. Lalu setelah itu, ia pun melenggang begitu saja dari hadapan Nao.

****

Nao berdiri di depan pintu sebuah kamar hotel. Dari sorot matanya ia masih bimbang untuk menekan bel di hadapannya. Walaupun sesaat kemudian hal tersebut akhirnya ia lakukan juga.

Selang beberapa detik, pintu pun terbuka. Nampak seorang wanita hanya mengenakan jubah handuk di tubuhnya terlihat tersenyum ke arah Nao.

"Akhirnya kau ke sini juga, Nao!" celetuk wanita bernama Renata tersebut.

"Rupanya uang masih bisa membeli harga dirimu!"

Renata menyeringai sambil melipat tangannya di depan perutnya. Nao hanya terdiam. la tak bisa berkata-kata untuk menyangkal. Karena pada kenyataannya apa
yang dikatakan wanita itu memang benar adanya.

Harga dirinya telah lama dimusnahkan oleh uang.

"Masuklah!" titah Renata.

Nao pun segera menuruti apa yang diperintahkan wanita tersebut. Nao segera meletakkan tas kuliahnya di sebuah meja
yang tersedia. Lalu kemudian ia berdiri tepat di hadapan Renata yyang sudah terduduk di atas ranjang.

"Saya harus melakukan apa, Tante?" tanya Nao.

Dari nada suaranya ia telah begitu pasrah.

"Lepaskan seluruh bajumu" perintah Renattta.

Nao pun benar-benar melepas satu persatu baju yang ia kenakan. Mulai dari flanel, lalu t-shirt di dalamnya. Kemudian celana panjang yang ia pakai, dan terakhir dalaman yang semula menutupi bagian sensitifnya.

Kini Nao benar-benar polos di hadapan Renata. Renata lagi-lagi tersenyum menyeringai. la begitu puas, ternyata Nao masih seperti yang dulu. Seorang bocah
yang begitu patuh, mirip sekali dengan binatang peliharaan yang sewaktu-waktu dapat menghibur dirinya.

"Kemarilah!" pinta Renata.

Nao pun berjalan mendekat. Sedang Renata segera berdiri untuk menyamai posisi Nao saat ini.

"Aku benar-benar menyukaimu, Nao. Tak ada orang yang bisa menggantikanmu. Mereka tak ada yang seperti dirimu," tutur Renata sembari mengelus wajah Nao dengan jari-jarinya.

Lagi-lagi Nao hanya terdiam. Tak ada ekspresi apapun di wajahnya. Renata berjalan ke arah meja yang bertengger tak jauh dari keberadaannya. Sebuah meja di mana terdapat tas besar miliknya berada.

Renata mengambil sesuatu dari tas tersebut. Rupanya sebuah tali panjang bewarna hitamlah yang kini berada di genggamannya.

"Kemarikan tanganmu!" perintah Renata begitu ia sampai di hadapan Nao kembali.

Nao pun segera mengulurkan kedua tangannya. Renata bergegas
mengikat kedua tangan tersebut. Nao sama sekali tak melawan. Karena sepertinya ia sudah hafal dengan kebiasaan kliennya yang satu ini. Seorang wanita langganannya yang sudah sering membooking dirinya hanya untuk kepuasan seks yang menyimpang

Renata selalu menggunakan kekerasan. Karena dengan cara itu lah satu-satunya yang dapat memuaskan dirinya.

"Sekarang tidurlah di atas ranjang ini, Nao!" ucap Renata.

Nao pun naik ke atas ranjang. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tersebut dalam kondisi kedua tangannya yang terikat ke depan.

Lagi-lagi Renata menyeringai puas. Ia pun kemudian kembali ke arah tas besar miliknya. Kali ini ia mengambil sebuah cambuk bewarna hitam. Cambuk yang akan digunakannya untuk menyakiti Nao sebelum berhubungan seks dengan laki-laki muda
tersebut.

"Kau sudah siap, Nao?" tanya Renata.

"Ya, Tante!" jawab Nao.

la segera memejamkan matanya. Dan kemudian beberapa canbukan pun harus ia terima dengan begitu menyakitkan.

To be continued ....
 
Bimabet
Antara Andin dan Nao sama-sama punya sisi kelam yg mungkin akan menyatukan mereka berdua - Andin hadir sebagai wanita kesepian yg masih butuh disentuh, sedangkan Nao adalah pemuda tampan tapi terhinakan sebagai seorang gigolo.

Cerita ini menjadi menarik, karena sepertinya tidak mudah buat Andin menerima kehadiran Nao - tidak seperti temen-temen Andin lainnya yg lebih agresif. Butuh sebuah moment, entah itu seperti apa...? Sepertinya ini lah inti dari judul cerita ini.

So... Cerita ini sungguh layak untuk dinantikan lanjutannya.

Nice story suhu @Ruang_imajinasi
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd