Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT IMMORAL PERVERSION (racebannon)

Feel dramanya mantap mengena bnget..makasih update nya suhu
 
Kayaknya sinta dalam tekanan orang lain, jd harus patuh dgan perintah yg ngancam, klo nggak akan terjadi sesuatu yg buruk ama dia,
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
:ampun::ampun:
bukanya nyama ratain sih..
tapi cwe yg terjun ke dunia itu rata2 karena kemalasanya + pengen enak dpt duit lah..
mana lah ada cwe model gitu yg mau di srh pensiun pindah kerja halal yg gajinya sebulan cm butuh sejam dia ngangkang..
di dunia nyata pun yg mau pensiun trus kerja halal gaji nurah ya cm yg dah ga laku lg lah..
klau yg msh oke mah cm mau pensiun klau dpt om2 kaya yg mau nyimpen n miara dia aja tuh pastinya. .
so.. kalau mnrt ane sih si tokoh utama di story ne bner2 naif n cenderung bego jg kali ya.. Hahaha
Di tunggu hu lanjutanya....
:cendol::cendol::cendol::semangat::semangat::semangat:
 
Khasnya om rb di setiap cerita,suka pengen ngebego2in tokoh utama,tapi terus penasaran n kecanduan buat baca,wkwk..
Nice update om..
 
Bimabet
IMMORAL PERVERSION - PART 13

----------------------------------------------------


Kecewa.

Setelah hari itu, aku sepertinya sudah beberapa hari ini, bahkan mungkin seminggu dua minggu, tidak mendengar kabar Sinta. Pesan tidak dibalas, telepon tidak diangkat.

Ini gila. Aku sudah kehilangan muka berkali-kali di depan temanku, dan aku sudah dalam posisi yang benar-benar marah pada dirinya. Siapa yang tidak marah? Niat dan usaha untuk membantunya sudah kukerahkan semaksimal mungkin, tapi dia selalu menghindar dan menghilang.

Entah kenapa.

Dan dalam posisi ini, aku sudah tidak tahu lagi harus mencarinya kemana. Ada beberapa pikiran yang tercetus, untuk menghubungi lagi teman-teman bejatku yang dulu, tapi rasanya ragu. Bukankah aku sudah bukan bagian dari mereka lagi?

Yang pasti, aku semakin penasaran dan semakin ingin mengarahkan Sinta ke jalan yang benar.

Kita lihat saja nanti.

----------------------------------------------------
----------------------------------------------------
----------------------------------------------------


49324410.jpg

Rey

Aku duduk berhadapan dengan orang ini. Setelah berkutat sana sini, akhirnya aku bisa mengontak salah satu mantan temanku ini.

Ya, mantan teman. Aku sudah tidak menganggap mereka temanku lagi, begitu juga dengan mereka. Mungkin. Yang pasti, suasana pertemuan antara aku dan Rey tidak begitu kondusif. Kami tidak bertukar sapa dan tidak bertukar senyum. Kami hanya diam, saling berhadapan di meja kecil di depan minimarket itu.

Di sekeliling kami, banyak orang nongkrong. Suasana begitu ramai dan tak nyaman.

“Jadi, mau apa setelah lama ngilang?” tanya Rey di tengah suasana riuh ini.
“Kan udah gue bilang…”
“Sinta?”
“Yep”
“Lupain aja, gue udah lama gak ketemu dia” jawab Rey pelan, dengan tatapan canggung.

“Yang bener?”
“Gue brengsek tapi bukan tukang bohong” jawabnya.

Kami terdiam beberapa saat lagi.

“Jadi, siapa yang masih suka make Sinta dari kalian?”
“Siapa lagi?”
“Siapa lagi gimana?”
“Tanto doang”

“Oh ya?” balasku dengan pelan dan tak antusias.

“Ada apa sebenernya? Coba gue tebak… Lo mau nyelametin Sinta kan?” balas Rey, atas jawaban singkatku.

“Gak salah”
“Jujur aja, di grup kita foto-foto Sinta masih beredar dikit-dikit. Tanto yang share”
“Hmmm…”

“Gak lama setelah Tanto kirim video ke elo dari HP Sinta, itu terakhir kali kita semua ketemu sama dia” jelas Rey.
“Kalau di PIK, itu tempat siapa?”
“Gak tau, setau gue itu kenalannya Eddy ama Tanto sih… Kenapa emang?”

“Gue pernah jemput Sinta disitu”
“Ngapain?” Rey tampak bingung.
“SInta yang minta”

“Oh, jadi dia udah punya germo sekarang….” Ledek Rey pelan, tanpa ekspresi berarti. Dan aku juga tidak merasa diledek, jadi aku tak bereaksi apapun.

“Dia sekarang jadi dandan, dan barang-barangnya mahal” sambungku.
“Masa?” tanya Rey. “Pantesan agak beda dikit kalo di foto” balasnya.

“So?”
“So gimana sih?” Rey tampak bingung.
“Cariin gue akses ke Sinta, please”

“Buat apa?”

“Gue gak mau dia kerja kayak gitu terus….” Balasku polos.
“Kenapa gak orang lain aja?”
“Maksudnya?”

“Kenapa mesti Sinta? Prostitute yang butuh duit dan terpaksa jual diri kan banyak? Bahkan mungkin banyak yang lebih kasian dari Sinta…” sambar Rey.

‘Itu…”
“Itu kenapa?”
“Ya kalo itu…”

“Lo suka ama dia?”
“…..”

Aku diam. Aku menatap Rey dalam-dalam sambil membakar rokok.

“Suka, jelas” Rey membuang matanya sambil menyambung kalimatku yang terputus.
“Enggak” balasku pelan.
“Kalo gak suka ngapain seniat ini?”

“Itu….”
“Ah… Gila lo, jatuh cinta sama perek”
“Gue gak jatuh cinta ama dia…”

“Terserah….” Sambung Rey. “Di mata gue sepertinya lo suka ama ni anak”
“Terserah juga” jawabku.

Kami saling terdiam lagi. Asap rokokku membumbung tinggi ke udara. Suasana Jakarta malam yang biasanya gerah, kini mendadak terasa dingin.

“Oke, gue coba cari tau kalo gitu”
“Thanks”
“Satu syarat tapi” Rey membetulkan posisi duduknya.
“Apaan?”

“Jangan main sok pahlawan…. Gue Cuma cari akses buat lo ketemu dia, tapi jangan jadi pahlawan kesiangan, oke?” syarat dari Rey terdengar mengganggu di telingaku.

“Gue ga ngerti maksudnya apa….” Balasku.

“Bilang aja iya, biar gampang”
“Iya” aku menyerah.

“Oke…. Tunggu kabar dari gue…. Gue cabut ya bentar lagi, rasanya aneh udah lama ga ketemu elo, terus bahas ginian”
“Gak masalah” balasku.

Aku benar-benar butuh ini. Mudah-mudahan Rey bisa jadi jawaban atas pertanyaanku sekarang. Terserah syaratnya apa. Yang penting aku bisa menemukan Sinta. Harusnya tidak sulit, tidak bertindak seperti hero buat Sinta. Yang kulakukan wajar, hanya mengarahkannya ke jalur yang benar.

Karena, jika terus-terusan seperti ini, keinginan Sinta untuk kuliah dan membantu keluarganya bisa melenceng. Melenceng jauh, dan tak pernah tercapai.

We’ll see.

----------------------------------------------------
----------------------------------------------------
----------------------------------------------------


10 hari.

10 hari aku menunggu, dan sekarang aku berada di dalam mobil bersama Rey. Rey yang menyetir. Mobil ini menuju ke satu daerah perumahan elit di Jakarta Utara. Pantai Indah Kapuk.

Tempat itu.

Rumah mewah itu.

Kami berdua terdiam selama perjalanan. Aku menghabiskan waktu yang sia-sia dalam perjalanan ini dengan memeriksa handphoneku terus-terusan. Nihil pesan dari Sinta. Rasanya setelah kejadian dia kabur dari café itu, tidak ada pesan lain lagi yang masuk dari dirinya. Bahkan beberapa hari ini, sapaanku tidak ada centang dua lagi. Alias tidak masuk sama sekali ke aplikasi pesan singkat di ponsel milik Sinta.

Mobil ini bau rokok.

Langit Jakarta mendung.

Aspal jalanan berasa begitu berat.

Suasana seperti sedang tidak mendukung.

Rasanya seperti ingin muntah. Aku tidak bisa membayangkan apapun. Isi kepalaku kosong. Jangan jadi pahlawan kesiangan, kata Rey waktu itu. Dan oleh karena itu juga, aku memilih untuk diam saja. Aku tak berusaha mengajak Rey bicara hal-hal penting, apalagi yang menyangkut Sinta.

Sekarang aku hanya bisa menarik nafas panjang saat mobil ini mulai mendekat ke tempat itu. Rumah yang sama. Tempat dimana aku menjemput Sinta pada malam itu. Sinta yang sedang mabuk. Sinta yang bau alkohol. Sinta yang habis disetubuhi.

“Pake masker elo” tegur Rey. Aku menelan ludah. Bukan apa-apa, tapi Rey memperingatkanku untuk menjaga privasiku. Aku tidak begitu paham, kenapa aku harus menjaga privasi. Yang kubayangkan, mungkin kami hanya akan menjemput Sinta yang habis ber”tugas” di rumah itu.

5-ciri10.jpg

Mobil Rey berhenti tepat di depan gerbang. Satpam menghampiri jendela samping.

“Malem Pak” sapa Rey.
“Mau cari siapa ya?” tanya Pak Satpam yang tampak menyeramkan itu.
“Ini pak”

Rey memperlihatkan layar handphonenya. Entah apa isinya. Aku diam saja sambil menatap ke satpam lain yang sedang mengelus-ngelus seekor anjing yang besar. Entah jenis apa. Yang pasti terlihat menakutkan.

“Oh, oke pak, tamunya ibu ya?”
“Iya” balas Rey pelan, tanpa membuka maskernya.
“Silakan masuk”

Sang satpam membuka pintu gerbang rumah yang megah itu. Mobil Rey berjalan pelan, merayap di jalan kecil yang ada di dalam halaman rumah itu. Dengan gerakan yang canggung, Rey mengarahkan mobilnya ke arah basement.

Aku tidak sempat melihat-lihat ke sekitar, tapi rumah ini sangatlah megah.

“Ntar ada Tanto di dalem” suara pelan Rey memecah keheningan.
“Kenapa emang?”
“Kalo gue saranin, selain jangan lepas masker, lo jangan nyapa dia”
“Kenapa?”
“Gak ada alasan. Pokoknya jangan nyapa” sambung Rey.

“Hmmm…. Ok”

Basement kecil itu diisi oleh beberapa mobil. Sebagian adalah mobil mewah yang mentereng. Ada beberapa motor besar di sana. Aku menelan ludah. Rumah siapa ini? Siapa pemilik semua kendaraan ini? Kalau memang kita hanya menjemput Sinta, tentunya kita tidak harus sampai masuk.

“Sip, beres parkirnya” Rey menarik nafas panjang. “Turun”
“Oke”

Kami berdua turun. Gerakan kami sama-sama canggung.

Rey tampak memeriksa handphonenya sejenak sambil mengunci mobilnya.

“Sini” Rey memberiku isyarat untuk mengikutinya. Kami berdua berjalan pelan ke sebuah lift kecil. Rey menekan tombolnya, dan langsung terbuka. Kami lantas masuk.

Tak butuh waktu lama untuk mencapai lantai dasar. Kami keluar dari lift, dan kemudian bergegas menuju ke arah luar, tepatnya ke belakang rumah ini. Di belakang rumah megah ini ada sebuah paviliun dua lantai. Luasnya cukup untuk jadi rumah bagi dua keluarga sekaligus.

Kami menyusuri sebuah kolam renang yang luas untuk bisa mencapai paviliun tersebut.

Siapapun yang memiliki rumah ini, bisa dipastikan kalau uangnya kemungkinan besar tidak berseri.

Di depan paviliun itu, ada dua orang satpam yang berjaga. Rey menghampiri mereka berdua, dan lagi-lagi dia menunjukkan layar handphonenya. Seorang satpam mengangguk. Dan dia membukakan pintu paviliun, dan dia mempersilahkan kami berdua masuk.

Aku kaget.

Di dalam paviliun itu sudah ada banyak orang. Sekitar dua puluhan orang. Tak tahu jumlah aslinya berapa. Tata ruang paviliun ini sangat mewah. Ada seorang bartender bermasker yang sedang meracik minuman di bar. Beberapa orang ada di sana, sambil merokok ataupun minum-minuman keras.

Di tengah paviliun itu ada deretan sofa-sofa besar yang terlihat mahal. Dan ada sebuah kasur dengan seprai hitam di tengah deretan sofa itu. Aku menelan ludahku. Rasanya menakutkan.

Sebagian besar dari lelaki-lelaki ini menggunakan masker, dan yang lebih mengerikannya, sebagian besar dari mereka hanya mengenakan pakaian dalam saja.

Aku dan Rey duduk di bar, di pojokan. Kami berdua diam. Rey dengan sopan menolak tawaran minuman dari bartender.

Suasananya, buatku terasa mencekam. Tidak ada obrolan yang bisa kudengar. Kalaupun ada Tanto, aku tidak bisa mengenali satu persatu muka para lelaki ini. Karena cahaya lampu cukup redup dan temaram. Lagipula, sebagian besar memakai masker.

Asap rokok cukup membuat ruangan ini berbau menyengat.

Aku celingukan. Mencoba mencari muka yang familiar, namun nihil.

Tak berapa lama, yang kutakutkan terjadi. Dari sebuah pintu di ujung ruangan, seorang laki-laki yang terlihat cukup tampan dan berpakaian rapih, keluar. Di belakangnya ada dua orang perempuan.

Perempuan yang memakai lingerie warna hitam terlihat begitu cantik. Rambutnya panjang, kulitnya begitu putih. Sekilas, dia terlihat seperti bintang film mandarin. Kuterka, umurnya mungkin sudah cukup dewasa, yakni sekitaran 40an tahun.

Perempuan itu menggandeng seorang perempuan muda. Perempuan muda itu hanya mengenakan pakaian dalam berwarna merah terang. Badannya mungil dan menggemaskan. Rambutnya dipotong bob, cukup segar dan imut. Wajahnya terlihat makin manis dengan riasan yang ringan.

clarit10.jpg

Sinta.

Aku menggenggam tanganku erat-erat. Rey melirik ke arahku, memastikan agar aku tidak berbuat bodoh.

Sang lelaki tampan itu mengeluarkan sebuah pil dari dalam saku celananya. Dia memberikannya pada Sinta. Sinta meminumnya dengan gerakan pelan. Sang perempuan dewasa yang menuntun Sinta, memberikan sebotol minuman keras pada Sinta. Sinta menenggaknya, membantu mengalirkan pil tersebut ke dalam tenggorokannya.

Sinta lantas bersimpuh.

“Malam semuanya” sang perempuan menyapa kami semua. Semua lelaki membalas sapaannya dengan antusias, kecuali aku dan Rey.

“Sebagian besar dari yang dateng ini baru ya….” Sambung perempuan itu. “Beberapa ada yang Ivonne kenal…”

Ok, namanya Ivonne.

“Malam ini, kayaknya bakal seru nih….” Dia mengelus rambut Sinta, yang duduk di atas kasur, dengan tatapan yang terlihat agak kosong. “Sinta, coba bilang ke mereka semua, malem ini Sinta mau apa?”

Aku menelan ludah. Aku menatap wajah Sinta dengan begitu tegang.

Sinta mendadak tersenyum. Senyuman manisnya yang innocent. Aku jarang sekali melihatnya tersenyum.

Sinta lalu menjilat jari Ivonne dengan tatapan agak bernafsu.

“Sinta mau kontol…”

Dan jantungku rasanya berhenti berdegup.

----------------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd