Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT In Too Deep (NO SARA)

Apakah perlu ditambah bumbu-bumbu incest di cerita ini atau tidak?


  • Total voters
    537
  • Poll closed .
-Youre Gonna Go Far, Kid-

Hani


Kak Alliya


Mamah


======

Sekarang sudah hari Jum'at, dan siang nanti aku akan kerumah Abbi untuk bertemu dengan tamu Abbi yang datang dari Inggris ini. Namun seperti biasa, sebelum kesana, aku berada di lapangan. Bukan sebagai pemain, namun sebagai pelatih untuk tim anak-anak. Aku juga tidak sendirian, aku ditemani dengan kak Liya yang memang pekerjaannya dengan sistem WFH, dan Alif yang sama sepertiku belum mendapatkan pekerjaan.


Setelah latihan diselesaikan, kami bertiga pun tidak langsung beranjak pulang, namun kami mengobrol sambil sarapan di warung bubur dekat sini.


"Lu belom ada yang diterima sama sekali, Lip?" Tanyaku ke Alif.


"Udah dapet si, Bay, cuma masalahnya kalo dipikir-pikir kejauhan, gaji gua pasti abis buat transpor sama makan siang juga disana" Jelasnya.


"Lu juga belom dapet, Bay?" Balik tanyanya.


"Beloman, Lip, gua ampe nge-apply jadi koki di beberapa restoran aja masih belom ada yang tembus" Jelasku.


"Sedihnya abis lulus begini emang, ya" Balas Alif, dan aku hanya mengangguk.


"Nggak papa, ini cuma prosesnya aja, kok, yang penting sabarr" Ucap kak Liya menyemangati kami berdua.


"Halahh, gampang kak Liya ngomong begitu, kak Liya kan langsung ditawarin kerja dari sebelum lulus juga" Balasku sewot.


"Lah kan kamu juga, Bay, kamunya aja yang arogan masih mau ngejar jadi apa tau itu scouting-scouting" Balik balas kak Liya.


"Lagian lu juga maksain, Bay, di Indonesia budaya pake scouter tuh masih belom kentel, mereka lebih ke ngundang orang-orang yang mau trial, salah ngambil langkah lu" Lanjut Alif yang membuatku berpikir.


Memang benar kata Alif, aku salah mengambil jalan. Aku terlalu terpana dengan kehidupan sebagai scouter di luar negeri sampai lupa kalau budaya di negeri ku sendiri saja tidak seperti itu. Lagipula juga, impianku untuk menjadi pemain bola sudah mati karena Ayah melarangku untuk bermain di kompetisi profesional. Baginya, hal itu merupakan taruhan yang cukup besar untuk masa depanku. Mungkin memang benar aku harus memikirkan hal ini kembali.


"Iya sih, ya" Jawabku pendek.


"Udah, Bay, jangan maksain, itu kantor aku masih ada lowongan loh, dapet lah kamu pasti" Ucap kak Liya.


"Nanti dulu lah ya, kak, mungkin aku perlu waktu buat mikir dulu" Jelasku, dan kak Liya mengangguk paham.


Setelah kami selesai makan, Alif langsung bergegas pulang kerumahnya yang jaraknya dari lapangan lebih jauh daripada aku dan kak Liya. Sementara aku yang searah dengan kak Liya pun pulang bersamaan berjalan kaki.


"Eh iya, Bay, itu beneran kamu disuruh nikah sama Abbi-nya Hani?" Tanya kak Liya.


"Hah? Lanturan siapa itu?"


"Nggak tau, kemaren ayah aku cerita begitu ke aku sama ibu aku, kan aku juga ikutan kaget" Jelasnya.


"Oalahh, nggak kok, kak, Abbi cuma minta tolong aku temenin tamunya doang, itu mas Ikhsan yang nggak jelas" Balasku.


"Oooh, kirain kan mau ngejar aku sama mas Surya juga" Jawab kak Liya.


"Hah? Maksudnya?"


"Iyaaa, jadi, mas Surya katanya mau bulan ini bawa orangtuanya ke rumah aku, terus mas Surya juga bilang target dia tahun ini udah minimal lamaran, kan dia udah mau 30 tahun juga, nggak mau ketuaan katanya" Jelas kak Liya.


"Oalahh, ciee bentar lagi dihalalin" Ledekku.


"Hahahaha, iya lah, Bay, kan udah harus serius juga diumur segini" Jawabnya.


"Berarti aku udah nggak bisa main sama ini, dong?" Balasku, dan aku langsung memegang pantanya.


"Eh! Ih Bayu bener-bener ya, ya jelas nggak boleh lah, kalo mau, nikahin aku aja jangan nikahin Hani" Balasnya meledekku, namun aku hanya membalasnya dengan tawaan.


Singkat cerita, kami sudah sampai dirumah kak Liya, dan sebelum aku pulang, kak Liya juga menawarkanku untuk mampir sebentar.


"Mampir nggak, Bay?" Tawarnya.


"Aduh, nggak deh, kak, udah jam segini, kan mau sholat Jum'at juga" Tolakku, dan kak Liya pun paham dan aku langsung pulang kerumahku untuk beberes.


------


Setelah berpamitan dengan Mamah, aku langsung bergegas ke rumah Hani karena takut aku akan sampai disana kesorean. Jam 2 tepat aku sampai disana, dan sepertinya tamu Abbi sudah sampai. Akupun langsung memarkirkan mobilku, dan setelah itu aku langsung beranjak ke depan pagar dan memencet bel. Kupikir, Ummi atau Abbi yang akan membukakan pagar. Namun ternyata...


"Loh, Hani?" Ucapku yang terkejut karena Hani sekarang sedang berada di rumahnya.


"Haloo sayangg, pasti kamu kaget ya ngeliat aku" Balasnya yang langsung memelukku.


"Kaget dongg, kok kamu nggak ngabarin kalo kamu pulang?" Tanyaku.


"Iyaa, kemaren Abbi cerita, terus aku kan Jum'at sama senin kelas cuma 2, yaudah aku pulang aja sekalian nemenin kamu" Jelasnya.


"Terus aku juga udah izin sama mamah kamu buat nginep hari ini, kata mamah kamu boleh, katanya aku tidur di kamar Bella aja" Lanjut Hani.


"Oalahh, okedehh kalo begitu, nanti malem mau maraton film?" Ajakku.


"Boleh, boleh, tapi kita masuk dulu ayok, udah nungguin tuh tamunya Abbi" Jawabnya, dan aku dan Hani langsung beranjak memasuki rumah.


Kami pun langsung memasuki rumah, dan aku langsung melihat Abbi sedang berbincang dengan tamunya. Namun, ketika aku menyadari siapa tamu Abbi ini, aku benar-benar terdiam terkejut, seolah aku berubah menjadi patung.


Is that... Could it be...?


Aku yang terdiam shock pun mengambil perhatian Abbi dan temannya, dan teman Abbi ini langsung bertanya kepadaku.


"What's the matter, son? You look like you've seen a ghost" Ucapnya kepadaku.


Benar dugaanku, dia adalah Benedikt Stefaniak. Dia adalah chief scout dari tim Chelsea yang sudah menjabat selama kurang lebih 8 tahun. Nama dia mulai naik daun dikarenakan meski pemain temuan dia sedikit, namun semua pemain temuannya sangat potensial dan memiliki prospek yang cerah.


(P.s.: once again, ini fictional, purely karangan dari ane, dan tiap Bayu bercakapan dengan Benedikt, mereka ngobrol pake bahasa inggris but I can't be bothered to write it on english)


"Bagaimana aku tidak kaget, ada Benedikt Stefaniak di depan aku sekarang" Jawabku dengan bahasa inggris juga.


"Hahahaha, kamu mengenalku, toh? Baik kalau begitu, perkenalkan, Benedikt Stefaniak, Chief Scout Chelsea FC" Ucapnya mengajakku berkenalan.


"Bayu Aji Dirgantara, manager dan scouter tim sepakbola SMA-ku" Jawabku yang tak mau kalah menandingi pak Benedikt.


"Hahahaha, ternyata kamu benar toh, dia bekerja di bidang sepakbola juga" Ucapnya ke Abbi.


"That's right, sir, some say he's good at his job too" Ucap Hani.

"Tapi kalau kamu yang berbicara seperti itu, apakah sudah pasti perkataanmu tidak bias? Jelas kamu pacarnya" Balas pak Benedikt.

"Well, aku tidak sepenuhnya bias, di kampus kami pun banyak yang mengakui tentang keahlian dan kejagoannya saat bermain" Puji Hani.

"The thing is, dear, bermain bola dan menjadi manager atau scouter adalah dua hal yang berbeda, menjadi pemain bola yang hebat belum tentu menjamin kesuksesannya ketika bekerja di luar lapangan" Jelas pak Ben ke Hani yang membuat Hani terdiam, mungkin dia masih belum paham juga kenapa pak Ben berbicara seperti itu.

"Ummm, jadi sekarang apa yang bisa kubantu, pak?" Ucapku bertanya.


"Tidak susah kok, nak, aku mau minta tolong kepadamu untuk mengantarku ke sekolah sepakbola yang menurutmu merupakan yang terbaik di kota ini" Jelasnya, well that wasn't a hard request at all.


Akupun langsung berpikir, dan yang langsung terbesit di kepalaku adalah sekolah sepakbola yang diikuti oleh Rafael yang tidak terlalu jauh dari sini. Sekolah itu memang terkenal mahal, dan fasilitasnya juga tidak ada yang bisa menandingi.


"Oh, aku tau, apa kita berangkat sekarang?" Tanyaku, dan tanpa berpikir lama, aku, Hani, dan pak Benedikt pun langsung berangkat ke tempat itu.


-----


Dijalan, kami pun juga berbincang panjang. Pak Ben bercerita tentang perjalanannya dari menjadi pengamat di tim kecil negara asalnya di Polandia, sampai di tahap dimana dia sudah digaji sampai terkadang menyentuh ratusan ribu poundsterling di tim besar eropa. Aku juga bercerita kalau aku memang sejak SMP suka mengamati sepakbola, dan pak Benedikt juga menanyakan metodeku dalam menganalisa, namun sepertinya dia tidak terlalu terkesan dengan penjelasanku.

Singkat cerita, kami sudah sampai di sekolah bola ini, dan pak Benedikt pun langsung mengamati sekitar, bahkan sampai segi parkiran pun dia amati juga. Setelah itu, aku dan Hani mengajak pak Benedikt berjalan-jalan mengelilingi sekitar sekolah sepakbola ini. Kebetulan sekali sedang ada jadwal latihan, jadi kami bisa memperhatikan permainan mereka.


Tentu saja pihak dari sekolah bola ini kebingungan melihat keberadaan kami bertiga padahal kami tidak memiliki anak/adik yang mengikuti sekolah sepakbola ini, dan setelah aku menjelaskan ke pelatih siapa pak Benedikt, dia pun langsung antusias bersemangat dan menyuruh anak didiknya bermain dengan semaksimal mungkin.


Mereka pun melakukan pemanasan, dan kami bertiga menonton di pinggir lapangan. Baru ketika aku melihat ke samping kanan, aku melihat orang yang sangat tidak ingin kulihat di tempat ini. Rivalku, musuh bebuyutanku, mantan dari mantan pacarku.


"Oh no, Rafael ada disini" Ucapku pelan.


"Loh, Rafael siapa?" Tanya Hani.


"Dia bisa dibilang musuh aku selama SMA, dan dia masih benci sama aku sampe sekarang" Jelasku.


Baru ketika aku mengatakan itu, tiba-tiba Rafael melihat kearahku dan dia pun langsung berdiri menghampiriku dengan raut wajah menantang. Damn why do even I brought Mr. Benedikt here in the first place?


Aku juga tidak mungkin menghindari, dan kini kami sudah berdekatan. Rafael pun langsung menyapaku, namun dengan nada yang mengintimidasi.


"Eh, Bayu, ngapain lu disini? Ini siapa, Bay? Cantik banget" Ucapnya sambil menunjuk Hani.


"Han, kenalin, ini Rafael, rival aku pas SMA, Raf, ini Benedikt Stefaniak, chief scout Chelsea" Jelasku.

"Oalah, lu ngerebut cewek siapa lagi, Bay? Hey, cewek, jangan mau sama dia, dia tukang tikung" Ucap Rafael ke Hani, benar dugaanku, dia masih salty dengan kejadian Claudia.

Setelah itu, aku menjelaskan kenapa kami ada disini, dan tentu saja dia langsung berantusias ingin memperlihatkan adiknya yang sedang bermain pula.


"Oooh, kalau begitu, coba bapak lihat adikku, dia merupakan hot stars di sekolah ini, woy Romeo!! Kesini!!" Ucapnya memanggil adiknya Romeo yang masih berada di kelas 3 SMA.


Adiknya pun menoleh kepadaku, dan tatapannya berubah menjadi sangat tajam dan dia berlari kencang kearah kami. Namun aku salah, dia berlari kencang kearahku. Aku tidak menduga kalau dia akan melakukan ini, tapi dia langsung memukulku hingga aku terjatuh.


*BUGG...*


Setelah dia memukulku, Rafael pun langsung sigap memisahkanku dengan Romeo, dan Hani langsung mengecek keadaanku.


"Rom, lu kenapa, si?!" Tanya Rafael ke adiknya.


"Dia Bayu, kan?! Dia yang bikin lu nggak jadi pemain bola, kan?!" Teriak Romeo, dia sepertinya sangat marah karena aku sudah 'menghancurkan' karir kakaknya.


"Eh, eh, ini ada apa, sih?! Bayu punya salah sama kalian berdua??" Tanya Hani.


"Diem, lu!! Lu ngapain mau ikut campur sama urusan kita?!?!" Teriak Romeo ke Hani, namun Hani tidak terintimidasi sama sekali.


"Ya lu juga ngapain ikut campur sama urusan gua?! Udah jaga sikap lu!! Lu diliatin scouter loh ini" Ucap Rafael mengingatkan Romeo, dan Romeo pun langsung ciut ketika pak Benedikt melihat kearahnya dengan tatapan tajam.


"Oh, oalah, maaf pak, saya kelewatan" Ucap Romeo ke pak Benedikt.


"It's okay, silahkan lanjut pemasanan" Jawabnya singkat.


Pertandingan pun dimulai, dan aku langsung memerhatikan pertandingan bersama dengan pak Benedikt, Hani, dan Rafael. Selama pertandingan, Rafael selalu berkata ke pak Benedikt tentang betapa bagusnya permainan Romeo. Sebenarnya juga tindakan Rafael ini pointless, kan dia kesini hanya untuk mengamati kualitas sekolah sepakbolanya.


"Coba lihat adikku, pak, orang-orang juga sering memuji adikku tentang betapa indahnya nya dia dalam membawa bola" Ucap Rafael ke pak Benedikt.


"Hmmm, begitu, ya? Bagaimana menurutmu, Dirgantara?" Balas pak Benedikt bertanya kepadaku, dan akupun langsung memindahkan perhatianku menuju ke Romeo.


Aku pun mulai mengamati Romeo, dan aku langsung mengabaikan Rafael yang tidak berhenti mengagung-agungkan Romeo.


Rafael memang benar terkait Romeo. Dalam urusan menggiring bola, tidak ada yang bisa mengalahkan Romeo. Terlebih juga Romeo punya benefit di tubuhnya yang pendek dan pergerakannya yang sangat lincah. Rasanya dia bermain seperti Arjen Robben, namun, ada beberapa hal yang janggal dengan permainan Romeo di pandanganku.


Kulihat Romeo menggiring bola ke bagian pinggir kotak pinalti, dan kemudian dia menusuk kedalam melewati defender, dan dia langsung menembak bola kearah ujung gawang dan terjadi gol.


"See? Sudah kubilang adikku benar-benar jago, dia merupakan pemain kunci yang bisa diandalkan" Ucap Rafael, dan pak Benedikt hanya tersenyum mendengarnya.


Memang aku juga terpukau melihat build-up nya sebelum tercipta gol, namun aku tidak melihat kejadian itu hanya sekali, tapi berkali-kali. Bahkan dari sekian banyak skenario, hanya satu yang berbuah gol, sisanya bolanya melayang entah ke atas atau samping gawang. Tidak ada yang mengarah ke dalam gawang selain gol itu.


Romeo juga tidak pernah memberikan umpan silang, padahal Striker tim Romeo cukup tinggi dan reaksinya juga bagus. Dia juga terlihat selalu bermain sendiri, sangat jarang kulihat dia mengoper bola dan dia malah memaksakan diri, padahal selalu ada alternatif lain seperti memberi strikernya umpan setelah menusuk dari luar, atau mengoper ke bek sayap dan membiarkan dia mengumpan silang kedalam kotak pinalti.


"Bagaimana menurutmu, Dirgantara? Apakah Rafael benar?" Tanya pak Benedikt kepadaku.


"Nope, permainan dia sangat tidak efektif, dia juga sangat selfish" Jawabku spontan yang membuat Rafael terkejut.


"Apa maksud lu, Bay?" Tanya Rafael.


"Menurutku pak Benedikt, memang benar Romeo sangat enak dilihat dalam membawa bola, namun ada beberapa kendala yang menggangguku," Jelasku.


"Dia cuma punya satu gaya main: menusuk dari sayap, dan shooting setelahnya, dan itupun hanya satu dari sekian banyak yang berbuah gol," Lanjutku yang membuat Rafael terdiam.


"Selain itu, decision making-nya juga perlu dipertanyakan, dia juga tidak bisa memanfaatkan keuntungan strikernya yang tinggi, dan dia selalu menggiring bola ke bagian pinggir yang malah membuang-buang waktu padahal ada keputusan yang lebih baik, dan ketika sudah menusuk pun Romeo bermain seolah tidak ada pilihan lain selain menembak-" Kembali jelasku, dan Rafael sepertinya sudah sangat kesal mendengar perkataanku dan memotong penjelasanku.


"Bay, Bay, Bay, apa maksud lu, si? Lu pengen ngejatohin adek gua juga? Lu nggak puas ngejatohin gua dulu?!" Ucapnya emosi.


"Bro, please, gua ga bilang kalo adek lu jelek, gaya main dia aja yang nggak efektif" Jawabku.


"Pak Benedikt, nggak mungkin ucapan Bayu itu bener, kan? Jelas-jelas adik saya sangat hebat bisa melewati dua-tiga orang dalam sekali giringan meski nggak banyak yang berbuah gol" Tanya Rafael.


"Kalo emang jagonya dribble doang mah suruh aja adek lu jadi Free-styler, ngapain jadi pemain bola" Ucapku menyindir, dan Rafael pun terlihat sangat emosi dan ingin memukulku, namun pak Benedikt langsung menahan tubuh Rafael.


"Nak, tenangkan dirimu sejenak, ucapan Bayu ada benarnya, meskipun adikmu mempunyai banyak talenta di dalam dirinya, adikmu tidak bermain untuk tim melainkan untuk dirinya sendiri, tetapi semua itu masih bisa diasah," Ucap pak Benedikt menjelaskan.


"Namun, ada satu hal yang Bayu tinggalkan dan itu bisa sangat berpengaruh: Attitude. Attitude adikmu perlu dipertanyakan, terlihat saat dia berlari memukul Bayu, dia sangat tempramen, dan kecuali hal ini berasal dari dalam hati adikmu sendiri, akan susah baginya untuk berubah dan hal ini juga akan berdampak ke karirnya, kamu tidak perlu menyalahkan Bayu, ucapan Bayu ada benarnya" Kembali jelas pak Benedikt, namun Rafael pun tetap mendekatkan dirinya kepadaku.


"Bay, dengerin gua, kalo sampe adek gua juga nggak jadi pemain profesional gara-gara lu, gua acak-acak hidup lu" Ucap Rafael pelan di depan wajahku, dan Rafael pun langsung pergi meninggalkan kami berdua.


Setelah itu, aku dan pak Benedikt kembali berbincang dan pak Benedikt juga memberiku pertanyaan seputar apa yang kuamati di pertandingan kali ini, dari salah satu pemain yang ditunjuk olehnya, sampai ke gaya permainan dari kedua tim. Tentu saja aku harus memberikan impression yang baik kepada pak Benedikt karena hey ho, dia Benedikt Stefaniak, jelas aku harus memberi impression yang baik.


Pertandingan pun selesai, dan Rafael dengan sigap langsung menyuruh Romeo untuk mengemas barang-barangnya dan beranjak pulang. Sementara aku, Hani dan pak Benedikt langsung beranjak pergi setelah pertandingannya selesai.


Setelah itu, pak Benedikt pun bertanya kepadaku dimana restoran terenak yang berletak di kota ini. Aku sudah mempunyai ide untuk mengajaknya ke warteg, namun Hani dan supir kami malah tertawa-tawa, padahal kenapa tidak? Pak Benedikt harus merasakan keindahan dari sebuah warteg.


Jelas ideku ditolak mentah-mentah, dan akhirnya Hani nengajak pak Benedikt menuju ke restoran mewah yang terletak tak jauh dari lokasi kami sekarang.


Kami pun makan bersama dengan pak Benedikt, dan selama makan, kami juga sekedar mengobrol santai dan membahas seputar tentang sepakbola. Pak Benedikt ternyata sangat ramah. Selain itu, dia juga kembali bertanya kepadaku tentang hasil pengamatanku tadi, dan tentu saja aku kembali menjabarkan hasil pengamatanku dengan seksama.


Selain itu, tidak begitu banyak pembicaraan penting diantara kami, namun ada satu ucapan dari pak Benedikt yang terngiang-ngiang di kepalaku.


"Nak, kamu mempunyai raw talent yang sangat baik untuk orang seusiamu. Jika kamu terus mengasah dan mengembangkan bakatmu itu, you could be a hell of a scouter" Jelasnya yang membuatku terpana, SEORANG BENEDIKT STEFANIAK BERKATA SEPERTI ITU KEPADAKU?!?


Kami pun kini sudah selesai makan, dan setelah itu pak Benedikt memutuskan untuk kembali ke hotelnya, sementara aku dan Hani diantarkan oleh supirnya kembali ke rumah Hani.


Setelah kami sampai dirumah Hani, aku juga memutuskan untuk segera pulang supaya terhindar dari macet, dan Hani pun juga ikut denganku karena dia juga ingin menginap.


Sepanjang jalan, Hani pun bertanya kepadaku tentang apa yang terjadi denganku dan Rafael di masa lampau, sehingga Rafael bisa menjadi sangat membenciku, dan sepanjang jalan ini pula aku menjelaskan semuanya.


"Jadi kamu ngancurin karir dia?" Tanyanya.


"Nggak begitu juga sih, waktu itu kebetulan ada pihak tim profesional yang nontonin dia buat ngambil keputusan akhir pas final turnamen bola, nah Rafael kalah, terus kata orang-orang, aku yang bener-bener bikin Rafael mainnya jadi jelek sampe ujungnya tim itu nggak narik Rafael" Jelasku.


"Loh kok begitu? Terus adeknya kenapa? Kok bisa dia ikutan benci sama kamu?" Kembali tanyanya.


"Mungkin dia juga kecewa kan impian kakaknya ancur sama orang yang bahkan nggak tertarik jadi pemain bola" Kembali jelasku, dan Hani hanya tertawa sebelum Hani menyandarkan kepalanya di bahuku.


"Sayang"


"Iya, kenapa?"


"Aku kangen banget sama kamu" Ucapnya lembut.


"Aku juga kangen kok sama kamu sayang, it's okay, kan sebentar lagi kamu lulus juga" Jawabku sambil mengelus-rlus pahanya.


"Iyaa, aku cuma kayak lagi kangen aja, nggak ada yang kelonin aku kalo aku lagi nggak bisa tidur, nggak ada yang suka tiba-tiba beliin makan, nggak ada yang suka tiba-tiba ngajak keluar jalan-jalan kalo lagi bosen, ngga ada..."


"Ngga ada apa lagi?" Tanyaku.


"Nggak ada yang suka godain aku sampe aku jadi 'kepengen', hehe" Ucapnya dengan nada menggoda.


"Yaampunn hahaha, emang kenapa?? Kamu lagi kepengen??" Tanyaku.


"Nggak bisa sayang, aku lagi nggak bisa seks sekarang" Ucapnya.


"Loh kenapa?"


"Aku lagi halangan, sayang" Ucapnya.


"Yahh, nggak tepat waktu banget nih dateng bulannya" Balasku kecewa.


"Hahahaha, jadi kamu marah nihh aku pulangnya pas lagi dateng bulan??" Tanyanya.


"Nggak kok, nggak, kan lagi kaya jarang aja sekarang kita dapet momen berduaan gini, tapi malah nggak bisa sampe 'itu'" Jawabku.


"Hahahaha, iya yah, apalagi kita juga udah nggak ketemu 3 bulan, nggak papa ya sayang, kita nggak seks dulu, lagipula..."


"Lagipula apa?"


"Momen yang indah nggak selalu harus ada seks di dalamnya, kan?" Ucap Hani sambil menggenggam tanganku, dan Hani tiba-tiba mencium pipiku.


Akhirnya, akupun luluh dengan perlakuan Hani ini. Rasanya mau sesedih apapun aku, semarah apapun aku, atau se frustasi apapun aku, ciuman pipi dari Hani bisa menetralisir itu semua. Hani kini sudah benar-benar menjadi 'penenang dan penyemangat' dalam hidupku. Just a simple kiss on a cheek and it could wipe away all of my bad feelings.


Singkat cerita, kini kami sudah sampai dirumah, dan aku dan Hani pun langsung bersalim dengan Ayah dan Mamah yang sudah pulang.

"Ehh calon mantu tante udah datengg" Ucap Mamah ke Hani.

"Ihh tante jangan ngomong gitu ahh, jadi malu akuu" Jawab Hani yang membuat Mamah dan Ayah tertawa.

"Hahahahah, yaudahh Hani naik ke kamar Bella sana, taro dulu tasnya" Ucap Ayah, dan Hani pun menurut dan langsung beranjak ke lantai atas memasuki kamar Bella, dan setelah menaruh tasnya, Hani bergabung bersamaku, Ayah, dan Mamah.

"Jadi gimana tadi, kak? Tamu Abbi-nya Hani itu siapa?" Tanya Ayah kepadaku.

"Chief scout nya Chelsea, Yah, aku juga nggak nyangka banget Abbi bisa kenal sama dia" Jawabku, dan Ayah pun bertanya kepadaku apa saja yang tadi kami lakukan.

Akupun menceritakan semuanya, dari aku yang terdiam seperti patung ketika bertemu pak Ben, bahkan sampai kejadian aku dipukul oleh Romeo. Ayah pun terkejut bagaimana ceritanya masalah lamaku bisa kembali datang, but it is what it is.

"Ehiya, Yah, terus kata pak Ben nya juga, dia bilang kalo aku punya bakat jadi scouter" pamerku ke Ayah.

"Yaiyalah, kamu dari SMP aja emang udah kaya begitu, kak" Balas Ayah yang membuat aku dan Mamah tertawa, sebelum akhirnya pembicaraan ini masuk ke tahap yang lebih serius.

"Tapi kak, kamu yakin kalo kamu masih mau ngejar jadi pencari bakat?" Tanya Ayah kepadaku.

"Hmmm, emang juga sebenernya aku udah mulai ngerasa aku kaya nyapein diri doang sih, Yah, cuma denger pak Ben ngomong kayak gitu, aku ngerasa kalo aku dapet momentum, Yah" Jelasku.

"Tapi kak..." Ucap Ayah yang kupotong.

"Ayah, nggak papa kok, aku juga udah siap gamble di kondisi kaya gini" Potongku.

"Tapi gambling kamu ini beneran bahaya resikonya, kak," Balas Ayah.

"Okelah mungkin kalau sukses, kamu bisa jadi orang kaya, terus kamu mungkin bisa jadi pencari bakat timnas, tapi worst case scenarionya itu kamu paling cuma ngelatih di sekolah bola lokalan" Lanjutnya yang membuatku, Hani, dan Mamah tertawa terbahak-bahak.

"Ihh Om jahat banget anaknya sendiri kok dibilangin begitu??" Ucap Hani setelah selesai tertawa.

"Ah udah biasa disini mah, Han, udah kebal aku" Jawabku.

"Hahahaha, iyaa itu emang gambaran kasarnya aja, tapi kamu paham kan sama maksud Ayah?" Tanya Ayah kepadaku.

"Iyaa paham aku kok, Yah, aku udah siap buat ngambil resiko itu juga, kok" Jawabku.

"Kamu siap kalo misal sampe kamu tua kerjaan kamu cuma ngelatih SSB di lapangan komplek?" Tanyanya.

"Ya nggak mungkin lah, Yah, lagian kalo misalnya aku bisa manfaatin situasi sama nge-blow up kejadian aku ketemu pak Ben tadi, bisa lah minimal sekolah bola yang bagusan dikit, dari situ makin lama makin naik kan bisa aja, Yah" Jelasku pede, meskipun aku tidak tahu bagaimana kebenarannya.

"Padahal kalo kamu mau kerja di tempat Ayah juga pasti bisa langsung dimulusin ke jabatan yang tinggi, kak" Ucap Mamah berusaha meyakinkanku untuk bekerja di kantor Ayah saja.

"Ya nggak bisa gitu dong, Mah, kalo ada yang ternyata lebih pantes dari aku buat di jabatan itu gimana?" Jawabku.

"Jadinya kamu beneran mau terus coba cari kerja di dunia bola?" Kembali tanya Ayah.

"Setidaknya aku udah nyoba, Yah, daripada aku nggak nyoba sama sekali kan" Ucapanku mengutip perkataan Hani saat kelulusanku, dan Hani tersenyum mendengar perkataanku.

"Yah yaudah lah kalo begitu kak, Ayah juga nggak mau maksa kehendak kamu, kamu udah dewasa, kamu udah harus independen, cuma pasti Ayah sama Mamah akan terus dukung kamu kok, kak, oke?" Ucap Ayah meyakinkanku.

Singkat cerita, kami sudah selesai mengobrol, dan aku dan Hani langsung beranjak ke lantai atas menuju kamar. Sesampainya di kamar, aku langsung membuka hapeku sejenak sambil merebahkan diriku, dan aku melihat hapeku dipenuhi dengan notifikasi dari Inst*gram dimana akunku dikaitkan dengan banyak postingan oleh beberapa temanku. Akupun penasaran dan aku membuka apa postingan itu, dan ternyata beberapa temanku mentautkan akunku di sebuah postingan foto aku, Hani, dan pak Benedikt di restoran tadi. Bahkan Adi pun menghubungiku via DM mengekspresikan keterkejutannya.

"GILAAA LU GIMANA CARANYAA BISA MAKAN SAMA DIAAA" isi dari chat Adi yang juga tak percaya karena aku dan Adi memang mengikuti karir pak Benedikt selama beberapa tahun belakangan.

Akupun langsung menjelaskan ke Adi bagaimana caranya aku bisa berada di meja yang sama dengannya, dan Adi juga makin tidak percaya. Akupun juga masih tidak percaya sampai sekarang. Aku tau Abbi memang sangat sukses dan mempunyai banyak koneksi, namun aku tidak menyangka kalau koneksi Abbi bisa sampai segila ini. His juice is such a different breed.

Akupun menyudahi kegiatanku, dan berhubung sudah mau maghrib, aku memutuskan untuk mandi. Akupun langsung membuka seluruh pakaianku dan berniat untuk membuka pintu. Namun pintu ini seperti dikunci dari dalam.

"Bayuu, hayoo jangan bandell" Ucap Hani dari dalam kamar mandi.

"Kamu mandi, sayang?" Tanyaku.

"Iyaaa, masih lama juga kayaknya" Jawabnya, dan aku akhirnya terpaksa harus mandi di kamar mandi luar.

-----

Malamnya, kami makan malam bersama. Benar-benar sudah tidak ada kecanggungan diantara Hani dan keluargaku. Rasanya, Hani sudah menjadi seperti bagian dari keluargaku. Mamah pun juga sepertinya sudah merasakan Hani dapat seolah menjadi pengisi ruang kosong di keluarga kami berhubung Bella masih kuliah. Sepertinya memang aku dan Hani sudah ditakdirkan untuk bersama, or is it just my crazy wild thoughts? Damn, I don't even know, tapi lebih baik bagiku untuk menikmati saja momen ini.

Baru ketika aku berpikiran seperti itu, tiba-tiba Mamah bertanya kepadaku.

"Jadi kapan mau nikah sama Hani, kak?" Tanyanya yang membuatku dan Hani tersedak, dan Ayah tertawa terbahak-bahak.

"UHUK!! UHUK!! Yaampun Mamahh nggak ada basa-basi nya pisan" Jawabku.

"Iya nih, Tante, sampe keselek kita berdua" Lanjut Hani yang membuat Mamah ikut tertawa.

"Ya kan bagusan to the point, kan? Kan Mamah juga pengen kaya temen-temen Mamah ceritain cucu-cucu nya kalo lagi ngumpul" Jelas Mamah yang langsung kubantah.

"Yaiyalah, Mamah mainnya sama dokter-dokter veteran, Mamah aja masih muda kalo dibandingin sama temen-temen Mamah" Bantahku.

"Hahahahaha, lagian aku sama Bayu juga udah sepakat kok tante kalo kita pengen kumpulin uang yang banyak dulu baru nikah" Jawab Hani melanjuti penjelasanku, dan kami lanjut mengobrol tentang topik yang lain setelah itu.

-----

Setelah selesai makan, Mamah kembali ke kamar dan Ayah langsung beranjak ke ruang kerjanya, sementara aku dan Hani langsung beranjak naik ke kamarku. Di kamarku, kami tidak melakukan banyak hal, hanya bermain game di PS-ku dan setelah kami bosan, kami mengganti kegiatan menjadi menonton film.

Selama menonton film, Hani tidak pernah lepas dari pelukanku dan Hani juga tidak pernah melepaskan pelukannya. Hani juga terlihat sangat nyaman di dalam posisi cuddling seperti ini.

"Aku kangen banget kaya begini tau" Ucapnya.

"Aku juga kok, kan kalo dulu mah tinggal kamu ke kontrakan atau aku ke apartemen, sekarang harus naik pesawat atau kereta dulu" Jawabku yang membuat Hani tersenyum.

Pandanganku pun juga sudah mulai tidak fokus menuju ke film yang sedang kami tonton, melainkan lebih ke perempuan cantik nan imut yang sedang memelukku ini. Pipinya yang chubby terlihat seperti ingin tumpah ketika dia menaruh kepalanya diatas dadaku. Akupun tidak tahan dan aku langsung mencium keningnya.

*Ccupphh...*

Hani pun terkejut karena aku tiba-tiba mencium keningnya, namun keterkejutannya hanya sesaat karena Hani juga senang ketika kucium, dan Hani makin mempererat pelukannya. Setelah itu, tanganku yang daritadi berada di bahu Hani pun kuturunkan, dan aku iseng mencolek-colek payudaranya dari luar kaus yang dia gunakan.

"Ummhh..." Suara yang Hani buat, entah karena risih atau karena terangsang.

Sepertinya Hani tidak keberatan, dan aku yang seperti mendapat lampu hijau pun kembali melakukan kegiatanku ini. Akupun mulai memindahkan telapak tanganku ke payudaranya, dan langsung kutaruh disana. Hani juga tidak berkomentar apa-apa, mungkin dia membiarkanku.

Akupun mulai meremas-remas kecil payudaranya, dan terasa napas Hani mulai memberat. Aku yang sudah berpikiran kalau Hani tidak keberatan pun mulai meremas payudaranya makin kencang.

"Ummhh..." Desahnya pelan.

Aku terus menggrepe payudaranya yang masih tertutupi piyamanya ini, dan setelah cukup lama, akhirnya Hani pun menggenggam tanganku yang berada di payudaranya.

"Sayanggg udahh ihh" Ucapnya dengan nada manja.

"Kenapaa??"

"Aku lagi nggak mau ajaa" Jawab Hani.

Percuma juga kalau aku masih memaksakan kehendakku. Dia sedang tidak ingin, ditambah dia sedang berhalangan. Bisa berabe aku kalau emosinya terpancing.

"Iya dehh, nurut akuu" Ucapku pasrah, dan Hani pun langsung mengangkat tanganku dari payudaranya dan menaruhnya diatas pipinya.

"Mainin yang ini aja heheheh" Suruhnya, dan aku yang gemas dengan perlakuannya pun langsung mencubit-cubit pipinya.

Cubitanku pun sepertinya terlalu keras karena akhirnya Hani juga merasa sakit saat kucubit.

"Ihh nggak usah kenceng-kenceng jugaa" Protesnya, dan Hani langsung memindahkan kepalanya dan kini dagunya dia taruh di dadaku.

"Ayo dong sayang, cobaa ditahan nafsunyaa, nanti kalo aku kerja-kerja diluar negeri gitu gimana? Ayo pokoknya bisa ditahan ayok" Ucapnya.

"Kalo cium boleh, nggak?" Tanyaku iseng.

Kupikir Hani akan marah karena aku masih ngeyel, atau menyemangatiku lagi untuk menahan nafsuku, namun ternyata...

*Ccupphh...*

Hani tiba-tiba menciumku di bibir, meski hanya sejenak. Setelah itu, Hani langsung kembali menggenggam tanganku dan mengarahkannya ke pipinya, dan dia langsung memberiku instruksi untuk mengelus-elus pelan pipinya.

Hani pun juga melakukan hal yang sama sekarang. Hani langsung memindahkan tangannya dan menaruhnya di pipiku. Perlahan pula Hani mendekatkan tubuhnya, hingga kami bertatapan sangat dekat. Setelah itu, tak butuh waktu lama bagi kami untuk mulai berciuman.

*Ccupphh... Ccupphh.... Ccupphh...*

Kami berciuman lembut, dan tangan Hani mulai dia pindahkan ke dadaku, dan aku juga ingin melakukan hal yang sama. Namun, Hani langsung menahan tanganku dengan tangan yang satunya. Sepertinya Hani memang sangat suka ketika pipinya dielus lembut seperti ini.

*Ccupphh... Ccupphh... Ccupphh...*

Aku pun langsung memindahkan posisi kami supaya kami tertidur berhadapan, dan setelah itu aku langsung memeluk tubuhnya tanpa melepaskan ciumanku.

*Ccupphh... Ccupphh...*

Hani yang makin larut pun berusaha untuk membuka kausku, dan aku sedikit mengangkat tubuhku untuk memudahkan dan kini aku telanjang dada. Aku juga ingin melakukan hal yang sama, namun tiba-tiba Hani melepaskan ciumanku dan menahan tanganku.

"Kenapa, sayang?"

"Jangan kejauhann yaaa" Pintanya.

"Ih kan aku udah telanjang dada gini, biar adil dong" Belaku, dan Hani pun akhirnya paham.

"Ihh, iya dehh, tapi nggak boleh jauh-jauh yaa" Jawabnya, dan Hani langsung membuka piyamanya dan sekarang Hani hanya menyisakan BH nya.

"BH-nya sekalian dongg"

"Iyaa dehh sayangg, banyak request nya nihh" Balas Hani, dan dengan sigap Hani langsung membuka BH nya.

Setelah kami berdua sudah telanjang dada, kami kembali berciuman, dan ciuman kali ini rasanya lebih nikmat karena kulit tubuh kami bersentuhan menambahkan sensasi sedang bugil.

*Ccupphh... Ccupphh... Ccupphh...*

Setelah cukup lama kami berciuman, Hani melepaskan pagutannya. Dilihat dari wajahnya, sepertinya dia sudah mengantuk.

"Kamu ngantuk?" Tanyaku.

"Iyaaaa.... Mau bobooo..." Balasnya dengan manja seperti anak kecil.

"Yaudahh pindah ke kamar Bella nya sekarang ajaa" Jawabku.

"Nggak mauuu... Maunya disini ajaaa..." Tolaknya.

"Loh nanti kalo Ayah sama Mamah ngecek keatas gimana??" Tanyaku.

"Nanti pas subuh pindahhh... Udahh kesini ihh, udah malem tauu" Jawabnya memintaku untuk tidak beranjak.

"Kamu mau sambil dipeluk tidurnya?"

"Iyaaaa"

Akhirnya aku tidak jadi beranjak ke mejaku, dan aku langsung kembali menidurkan diriku disamping Hani. Hani pun langsung memeluk tubuhku erat-erat dan menjadikan lengan atasku sebagai bantal.

"Kamu kayaknya kalo diluar kayak dewasa banget, pas ketemu aku langsung keliatan banget manjanya" Ucapku meledek.

"Eheheheh, gapapaa kan sama pacar sendiri manja-manjaannya emang kamu nggak suka??" Tanyanya kepadaku.

"Hahaha, nggak papa kok, gemes juga aku ngeliat kamu manja begini" Jelasku, dan aku langsung mencium keningnya untuk menunjukkan kegemasanku.

Hani pun langsung memelukku sangat erat, dan aku juga mulai memeluknya supaya Hani makin merasa nyaman, dan tak butuh waktu lama bagi kami berdua untuk mengantuk.

"Good night, sayang"

"Good night, mimpi indah ya"

------

Tiba-tiba, teleponku berdering. Aku dan Hani pun terbangun karena suara deringnya yang cukup kencang. Aku langsung melihat jam dan sekarang sudah jam dua pagi.

"Ahhhh siapa sihh yang nelepon pagi-pagi begini???" Ucap Hani kesal karena tidurnya terganggu.

Akupun langsung beranjak mengambil hapeku, dan kulihat ternyata yang meneleponku adalah Abbi.

"Eh, ini Abbi sayang" Ucapku, dan Hani yang kaget pun langsung menutup mulut, setelah itu barulah aku mengangkat teleponnya.

"Assalamu'alaikum, Bi?" Sapaku.

"Wa'alaikumsalam nak, kamu udah tidur, ya?" Tanyanya.

"Heheheheh, iya, Bi"

"Hani udah tidur juga?"

"Udah kok Bi, dia tidur di kamar adek aku, mau aku panggilin?" Balasku berbohong.

"Eh, nggak, nggak usah, Abbi cuma mau nitip pesan dari pak Ben, dia cuma pengen mastiin apa kamu udah buka e-mail kamu atau belum" Jelasnya, memang aku dan pak Ben tadi bertukar e-mail, tapi buat apa dia menghubungiku?

"Umm, belom, Bi, ada apa, ya?" Tanyaku.

"Yasudah nak, kalau kamu mau, coba buka e-mail kamu sekarang, atau nanti pagi juga nggak papa" Jawabnya, dan Hani pun memberiku gimmick untuk beranjak membuka e-mail ku.

"Oh, iya Bi, sebentar ya" Jawabku, dan aku langsung beranjak ke laptopku dengan rasa tegang.

Akupun langsung menyalakan laptopku, dan aku langsung membuka e-mail, namun sebelum aku membuka e-mail ku, Abbi memanggilku lagi.

"Bay"

"Iya, Bi?"

"Pokoknya, apapun yang terjadi, tolong ingat satu hal, Abbi hanya berusaha untuk membantu semua anak-anak Abbi untuk mencapai impiannya" Jelasnya yang membuatku bingung.

"Hah? Maksudnya gimana, Bi? Bi? Abbi??" Tanyaku, namun tiba-tiba Abbi mematikan teleponnya.

"Kenapa sayang?" Tanya Hani.

"Kata Abbi, Abbi cuma berusaha buat ngebantu semua anaknya mencapai impiannya, whatever that means" Balasku, dan aku langsung membuka e-mail ku.

Benar saja, terdapat e-mail dari pak Ben yang berada di paling atas, dan aku langsung membuka e-mail itu tanpa membaca judulnya.

"Tolong bacain dong, sayang, aku nggak keliatan kalo baca dari sini" Pinta Hani, dan aku hanya mengangguk dan memulai membaca e-mail dari pak Ben.

"Kepada yang terhormat Bayu Aji Dirgantara, setelah aku berangkat jauh-jauh dari London menuju Indonesia, dan berhubung aku hanya diminta tolong oleh seorang teman untuk melihatmu, ekspektasiku tidak bisa kutaruh tinggi-tinggi," Ucapku mendikte.

"Sebelumnya, aku hanya berpikir kalau kamu hanya seorang small-timer yang hanya mengandalkan analisis dari video-video Y*utube, namun ketika aku melihat caramu menganalisis, caramu menjabarkan, dan pengambilan keputusanmu, aku tahu kamu mempunyai bakat yang terpendam di dunia ini" Lanjutku.

"Kamu mempunyai raw potential yang bahkan tidak dimiliki oleh beberapa scouter-scouter terbaik di eropa, meski pengambilan keputusanmu masih terdapat banyak hit and miss, namun dengan arahan dan didikan dari orang yang tepat, seperti yang kubilang, you'll be a hell of a scouter" Kembali lanjutku, dan aku tidak langsung membaca paragraf berikutnya.

"Sayanggg, kok aku jadi deg-degan beginii??" Ucap Hani yang merasa tegang, dan aku juga bahkan saking tegangnya aku tidak bisa menengok kearah Hani atau beranjak dari kursiku.

"Udah segitu doang isi e-mailnya?" Tanya Hani, dan setelah Hani bertanya, aku langsung melanjutkan membaca.

"Oleh karena itu, I would like to offer you...." Lanjutku, dan aku benar-benar terkejut sampai aku bergetar begitu hebat tak kuat membaca bagian berikutnya.

Hani yang khawatir dengan keadaanku pun akhirnya beranjak dari tidurnya, dan Hani langsung berdiri di sampingku untuk membaca bagian yang belum kuselesaikan tadi. Hani membacanya dalam hati, dan setelah selesai, kulihat juga Hani sama terkejutnya denganku.

"HAHH?!?!" Teriak kami berdua bersamaan.

'I would like to offer you a job as my personal assistant. Aku percaya, aku bisa membantumu untuk nengasah potensi yang kamu punya sampai kamu bisa menjadi scouter kelas dunia. Don't worry about anything, because I'll take you under my wing, son'

-To be Continued-
 
Malam, all! Mungkin sebelum kita masuk lebih dalam lagi ke last chapter ini, ane ingin memberi sedikit info tentang last chapter ini buat suhu-suhu sekalian kalau mungkin di last chapter ini, ane bakal kurang nambahin ekse dan lebih fokus ke jalan cerita, so I hope you all won't mind with it. Semoga sukses dan sehat selalu di RL!! :Peace:
 
Malam, all! Mungkin sebelum kita masuk lebih dalam lagi ke last chapter ini, ane ingin memberi sedikit info tentang last chapter ini buat suhu-suhu sekalian kalau mungkin di last chapter ini, ane bakal kurang nambahin ekse dan lebih fokus ke jalan cerita, so I hope you all won't mind with it. Semoga sukses dan sehat selalu di RL!! :Peace:
selama jalan ceritanya asik, dimaklumin kalo gue mah hahaha
 
Bimabet
Makasih updatenya

Yah terjawab sudah pertanyaan sebelumnya

Updatean kali ini seperti teaser aja buat cerita selanjutnya setelah ini tamat.

Ga banyak yang spesial sih di update kali ini. Cuma hubungan antara Bayu dengan Rafael dan Romeo ini bisa jadi konflik yang bakal terjadi di Final chapter sih. Ya tapi itu tergantung TS sih hehehe, ane cuma nebak-nebak aja.

Bayu udh dapat kesempatan nih buat ngembangin kemampuan menjadi scouter. Dukungan dari orang tua dan Hani sudah dapat juga, tinggal bayu nentuin pilihan. Ini bakal jadi pilihan yang cukup berat, kalau nerima tawarin dari pak Ben berarti Bayu harus pergi keluar negeri. Jadi apa bayu siap berpisah dengan keluarga dan hani

Note : #TeamUmmi #TeamBella #TeamHani bakal sedih nih kalau bayu keluar negeri.:D

Ditunggu kelanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd