Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT In Too Deep (NO SARA)

Apakah perlu ditambah bumbu-bumbu incest di cerita ini atau tidak?


  • Total voters
    537
  • Poll closed .
Hampir ke baca sih si Farhan sih pelakunya. Wanita bercadar nya si istri Farhan. Cowo yg ada di video nya parhab sama adeknya.
 
-It's Everyone's Game-

Hani


Bella


Ina


Sindy


=====

Kini, kami sudah sampai di rumah sakit, dan Adi, Hani, dan Arya langsung ditangani oleh pihak rumah sakit. Aku, Rama, dan Andre juga langsung pergi untuk mengurusi semuanya, dan ketika semuanya telah selesai, aku menunggu di depan ruangan dimana mereka menaruh Hani dan Arya.

Aku juga sudah menghubungi Abbi dan Ummi, dan mengetahui anaknya tertembak oleh senjata api, Abbi yang masih berada di jalan tol saat aku mengabari pun langsung buru-buru menuju ke rumah sakit.

Saat ini, Rama juga sedang ditangani karena tangannya patah, dan saat ini disini hanya ada aku, Ina, Andre, dan Bella. Ina duduk disampingku sementara Bella dan Andre terlihat saling merangkul dan sedang tertidur. Ina pun juga tertidur dengan menaruh kepalanya di pundakku, sementara aku masih terjaga.

Aku benar-benar takut dan khawatir dengan kondisi Hani, Rama, dan Adi yang bahkan sampai sekarang belum ada pemberitahuan lagi dari dokter.

Singkat cerita, akhirnya Rama mendatangi kami, dan dia langsung melihat ke Ina yang sedang tertidur.

"Ina udah lama tidurnya, Bay?" Tanya Rama yang kulihat sudah dipasangkan gips di tangan kirinya.

"Baru si, Ram"

Rama pun mengangguk, dan Rama langsung duduk di sampingku.

"Udah, lu tidur dulu aja, biar gantian gua yang nungguin" Ucap Rama.

"Nggak, Ram, santai, lagian juga gua nggak bisa tenang, Ram" Jawabku.

"Yaudah, kalo gitu lu urusin dulu itu luka, Bay, bahaya kalo infeksi" Balasnya.

"Nggak, Ram, yang penting bagi gua sekarang cuma kondisi Hani dulu" Jelasku.

Setelah aku mengatakan itu, aku juga melihat Sindy yang baru saja keluar dari IGD dimana Adi ditempatkan.

"Adi gimana?" Tanya Rama.

"Udah sadar, kok, kata dokternya juga dia nggak kenapa-napa, tapi Adi tadi bilang kepalanya masih sakit banget" Jelas Sindy.

"Yah, Alhamdulillah dah, yang penting Adi udah sadar sekarang" Ucap Rama lega.

"Yaudah, Bayu, kamu gantian gih minta diurusin luka kamu, bisa bahaya loh" Suruh Sindy.

"Nggak usah, cuma luka begini doang, udah berenti ngucur kok darahnya" Jelasku.

"Yaudah kalo gitu, sebentar ya" Balas Sindy, dan setelah itu Sindy beranjak keluar dan kembali masuk membawa kotak first aid.

"Udah, sini, biar luka kamu diobatin dulu" Ucapnya, dan Sindy langsung membuka kotaknya dan mengobati lukaku.

Singkat cerita, kini lukaku sudah diobati, dan Sindy pun akhirnya memutuskan untuk menjaga Adi di dalam, meninggalkan kami berlima disini.

Tak lama setelah itu juga, terdengar suara orang berlari, dan seketika kami berlima langsung tersadar dan melihat kearah suara itu berasal, dan ternyata yang berlari adalah Ummi dan Abbi.

"BAYUU!! HANI SAMA ARYA BAIK-BAIK AJA, KAN?!" teriak Ummi sembari berlari kearahku.

"Belom tau, Mi, belom ada dokter yang keluar dari ruangan" Jelasku.

"Bagaimana semuanya bisa terjadi, nak? Ada apa?" Tanya Abbi kepadaku.

"It all happened so fast, Bi, aku sama Rama sama Ina abis nganter Hani pulang, abis pulang kejadian begini" Jelasku yang kemudian disusul dengan anggukan Abbi.

"Bi, selama ini kita salah, Arya bukan dalangnya" Lanjutku.

"Apa maksud kamu, nak?"

"Aku ngeliat pake mata aku sendiri Arya ngomong sama dalang dari semua ini, tapi aku nggak bisa kenalin dia" Jelasku, dan Rama pun langsung ikut beranjak berdiri.

"Apa om juga pernah nanya-nanya ke Arya tentang orang yang terlibat, om?" Tanya Rama.

"Abbi dan teman kalian Surya sudah berusaha untuk menanyakan hal ini ke Arya, namun jawaban Arya selalu 'semuanya sudah selesai', jadi kami hanya bisa mengandalkan hape Arya yang tertinggal saat Bayu menghancurkan kamar Arya, dan itupun hasilnya masih nihil" Jelas Abbi.

"Yaudah, kalo gitu mending kita nunggu Arya siuman, baru abis itu kita tanyain ke dia" Ujar Rama.

"Tapi kamu nggak papa kan, Bay?? Kamu nggak diapa-apain kan sama mereka??" Tanya Ummi.

"Yah, semuanya kenapa-napa, Mi," Balasku.

"Kepala aku luka sampe ngucur darah banyak, tangan Rama patah, Adi nggak sadarin diri, Hani sama Arya belom ada kabar, cuma Andre doang yang baik-baik aja karena dia sambil bawa ambulans jadi datengnya telat" Jabarku.

Baru setelah aku mengatakan itu, terdengar suara pintu terbuka, dan kami langsung memindahkan perhatian kami semua ke arah dari sumber suara itu yang dimana ternyata dia adalah dokter yang menangani Hani dan Arya.

"Dokter, gimana kondisi kedua anak saya, dok?!" Tanya Ummi yang langsung menghampiri dokter tersebut.

"Alhamdulillah, putri Ibu baik-baik saja, meski terdapat banyak luka di tubuhnya, anak Ibu hanya tidak sadarkan diri karena kelelahan, dan juga dipengaruhi oleh lukanya" Jelas dokter yang membuat kami semua lega.

Akhirnya, aku sudah kembali tenang. Aku lega mendengar kabar kalau Hani baik-baik saja. Lagipula juga masuk akal, kami semua beranjak pergi bermain dari pagi, dan baru beranjak pulang malam. Perlahan, kegundahan yang ada di hatiku pun mulai sirna.

"Tapi mohon maaf, putra anda... Tidak bisa diselamatkan" Lanjut sang dokter.

*DEGG...*

"Mak... Mak... Maksud dokter..." Ucap Ummi terbata-bata.

"Putra anda... Sudah tidak bersama kita disini"

Dengan spontan pun, aku yang baru saja merasakan sedikit ketenangan, bersama Rama dan Andre, kami bertiga langsung beranjak kedepan dokter itu, sementara Ummi dan Abbi terdiam kaku.

"DOK, GAMUNGKIN, DOK!! ARYA MASIH SADARIN DIRI PAS KITA BAWA KESINI, DOK!!" teriakku, Rama dan Andre spontan.

"Mohon maaf, tapi peluru itu mengenai bagian-bagian yang fatal yang sudah tidak bisa ditahan rasa sakitnya oleh saudara Arya, dan dengan berat hati, kami juga harus menyampaikan bahwa sudah terlambat bagi saudara Arya untuk bisa diselamatkan" Jelas dokternya.

"Dan juga, kalau memang tidak terlambat, dikarenakan lukanya yang sangat fatal, treatment-nya juga hanya akan membuatnya menjadi lebih nyaman sampai ajalnya tiba" Lanjut dokternya.

Mendengar penjelasan dari dokter itu pun, kami benar-benar terpukul. Andre langsung menempelkan tangan dan kepalanya ke tembok, aku langsung menutup mulut dan hidungku dengan tanganku selagi berbalik badan, dan Rama juga langsung memegang kepalanya frustasi karena kami terlambat.

Selain itu, Ina juga sama sepertiku langsung menutupi wajahnya dengan tangannya, dan mendengar penjelasan dokter, Ummi langsung terjatuh dari pijakannya seolah tak percaya, dan Bella yang terkejut pun langsung beranjak ke Ummi yang kini sudah duduk di lantai sembari memegang kepalanya.

"Mohon maaf, kami sudah berusaha semampu kami" Lanjut sang dokter, setelah mendengar ucapan sang dokter, Ummi tak kuasa menahan tangisnya dan Ummi langsung menangis kencang.

Melihat kondisi Ummi pun, Abbi ikut berlutut, dan Ina juga ikut menenangi Ummi, sementara aku, Rama, dan Andre saling menatap.

Kita kalah, kalah telak. Mereka membawa kemenangan sepenuhnya ke pihak mereka. Arya sudah dinyatakan meninggal, setelah berusaha untuk melindungiku dan Hani dari tembakan. Yang membuat situasi lebih buruk, kini setelah Arya meninggal, kita kehilangan seluruh jejak pelaku karena kita tidak bisa mencari tahu lagi siapa pelakunya.

"Ohiya, sesaat sebelum dia menghembuskan nafad terakhirnya, dia mengucapkan 'kak Hani... kak Bayu... Maaf....'" Lanjut dokternya.

Mendengar ucapannya, pikiranku begitu terkecamuk. Ini tidak seharusnya terjadi. Arya harusnya masih bersama dengan kami disini. Ini semua terjadi hanya karena rasa bersalah Arya yang sudah menyakiti kakaknya sendiri.

"ARRRGHHHHH!!!!" Teriakku begitu marah, karena aku tidak terima ini semua terjadi.

Aku yang begitu frustasi ini pun langsung menempelkan kepalaku di tembok bersamaan dengan kedua tanganku. Rama juga langsung terjatuh dan duduk tersandar di tembok selagi memegangi kepalanya.

Meski aku tidak melihat kearah mereka, aku mendengar Ummi yang masih menangis kencang, dan Bella dan Ina pun perlahan juga mulai ikut menangis melihat Ummi yang seperti ini.

Namun, selagi aku masih berada di posisi ini, aku merasakan ada yang mendekat kearahku, dan orang itu langsung menepuk-nepuk pundakku.

"Kamu nggak perlu merasa bersalah, nak, mungkin memang sudah begini jalannya" Ucap orang itu, yang aku langsung mengenali suaranya.

"Bi... Arya meninggal demi bisa ngelindungin aku sama Hani, Bi.... Arya--" Balasku lirih, namun Abbi langsung memotong ucapanku.

"Sudah, nak... Tidak perlu merasa bersalah... Itu sudah menjadi pilihan Arya untuk melindungi kalian berdua... Ini bukan salah kamu ataupun Arya..." Jelas Abbi, yang kemudian langsung berjalan ke dokter tadi.

"Sekarang, dimana jenazah anak saya, pak?" Tanya Abbi.

"Sekarang, jenazah anak bapak sedang berada di proses pengurusan, dan ketika semuanya sudah siap, jenazah sudah siap untuk diantarkan" Jelasnya.

"Dan bagaimana dengan kondisi putri saya? Apakah putri saya harus dirawat inap?" Kembali tanya Abbi.

"Putri bapak baik-baik saja, hanya perlu istirahat selagi menunggu lukanya sembuh, tapi lebih baik putri bapak berada di penanganan kami sampai dia sadarkan diri" Lanjut jelas dokternya.

"Baik kalau begitu, pak, terimakasih banyak" Balas Abbi, dan setelah itu, Abbi kembali berbalik kepada kami.

"Bayu, apa Abbi boleh minta tolong temani Hani disini sampai dia siuman?" Tanya Abbi kepadaku.

"Iya, Bi"

"Baik kalau begitu, dan sebelumnya untuk teman-teman Bayu dan Hani, apa Abbi bisa minta bantuannya untuk membantu menyiapkan seluruh yang perlu disiapkan di rumah Abbi?" Kembali tanya Abbi ke yang lain.

"Iya, Abbi, kita pasti bantu kok" Ucap Bella, dan setelah itu Abbi berjalan ke arah Ummi yang masih belum berhenti menangis.

"Ummi, ayo kita siap-siap juga" Ucap Abbi ke Ummi.

"Hikss... Hiksss.... Bii... Arya, Bii... Hiksss... Hiksss.... Aryaaa...." Ucap Ummi terisak.

"Iya Ummi... Arya sudah tidak ada... Ayo, kita juga perlu temani Arya sampai dia tiba dirumah, ya?" Balas Abbi, dan perlahan, Ummi pun mulai berdiri meski tak berhenti menangis.

Sekian waktu kami menunggu, dan jenazah Arya sudah bisa dibawa ke rumah duka. Sesuai dengan perintah Abbi, aku menunggu Hani disini bersama dengan Sindy yang juga sedang menunggu Adi, sedangkan yang lain berangkat menuju ke rumah Abbi.

------

Sudah berjam-jam aku menunggu disamping ranjang Hani, namun, Hani masih belum siuman. Adi juga sudah mulai membaik kondisinya, dan aku sudah menyuruh mereka untuk menyusul kerumah Hani untuk membantu atau pulang supaya Adi bisa beristirahat, namun, Adi dan Sindy bersikeras untuk tetap menemaniku disini dan kini mereka berdua sedang berada di luar.

Tanganku tak berhenti menggenggam tangannya Hani, dan kepalaku terus kutaruh diatas perutnya. Meski rasanya aku merasakan beberapa rasa sakit di sekujur tubuhku dan aku benar-benar kelelahan, namun kekhawatiranku dengan kondisi Hani tetap membuatku terjaga.

Sampai akhirnya... Aku merasakan ada yang mengelus-elus kepalaku.

Aku yang terkejut pun langsung mengangkat kepalaku, dan melihat Hani yang sudah siuman, rasanya aku merasakan kelegaan di sekujur tubuhku.

"Akhirnya kamu sadar jugaaa..." Ucapku begitu lega yang kembali menaruh kepalaku di perutnya.

"Ini... Dimana??...." Tanyanya lirih.

"Kita lagi di rumah sakit, kamu pingsan tadi" Jelasku.

"Berarti... Semua yang aku liat tadi... Itu bukan mimpi??..." Kembali tanyanya lemas, dan aku tak menjawabnya, meski Hani tahu apa jawabannya.

Hani pun terus mengeluskan tangannya di kepalaku, dan setelah aku mengangkat kepalaku, Hani memindahkan tangannya kd tanganku yang sedang menggenggam tangan satunya.

"Bay..." Ucapnya lirih.

"Kamu... Nggak... Papa, kan??..."

"Aku nggak kenapa-napa, kok, yang penting kamu udah sadarin diri, aku udah lega" Jawabku yang membuatnya tersenyum meski wajahnya masih terlihat sangat lemas.

"Kondisi Arya... Gimana??... Dia... Baik-baik aja, kan?...." Tanya Hani, yang seketika memberikan beban yang sangat berat kepadaku.

Aku tidak kuat jika aku harus memberitahukan ini kepada Hani, dan aku hanya terdiam bingung ingin melakukan apa. Namun, keheninganku pun juga membuat Hani makin khawatir.

"Sayang... Ade aku... Nggak kenapa-napa, kan??...." Kembali tanya Hani, dan akhirnya, tidak ada yang bisa kulakukan selain berterus terang kepadanya.

"Arya... Meninggal..." Ucapku yang terlihat membuatnya sangat terkejut.

"Arya... Meninggal... Masang badan pas ada yang nembak kearah kita..." Lanjutku, dan perlahan, terlihat Hani mulai meneteskan air mata.

"Kamu yang kuat, ya..." Kembali ucapku mempererat genggamanku di tangannya.

"Hiksss... Hiksss..." Tangisnya meski terdengar begitu pelan.

"Aku... Bahkan belom bisa... Ngeliat kalian berdua akur... Hiksss... Hiksss... Aku... Cuma pengen... Kamu bisa deket sama Arya... Kaya aku sama Bella... Hiksss... Hiksss..." Ucapnya terisak dengan suara yang kecil.

"Han...." Ucapku terus

"Hikss... Hiksss... Bayy.... Arya nggak salah apa-apa... Arya nggak pantes jadi korban dari ini semua... Hikss... Hikssss..." Kembali ucapnya terisak.

"Han... Arya... Juga terlibat sama ini semua..."

Tentu saja, ucapanku membuatnya sangat terkejut, dan seketika, tangisannya terhenti.

"Mak... Sud kamu??..." Tanyanya terbata-bata.

"Arya... Orang yang naro spycam diatas kamar kamu... Dia juga orang yang make semua uang kamu... Semuanya dia lakuin... Karena dia benci sama aku sama Abbi yang ngebuat dia merasa terbuang..." Jelasku, dan perlahan, tangisannya mulai kembali.

"Hikss... Hiksss..."

"Tapi... Akhirnya dia sadar... Kalo dia udah salah besar kalo dia udah nyakitin kamu, kakaknya... bahkan sampe detik terakhir pun, dia selalu ngomong 'maaf kak, maaf kak'..." Lanjutku, dan meski tangisannya belum sirna, Hani terus mengelus-elus kepalaku.

"Hiksss... Hiksss... Sayang..." Ucapnya lembut.

"Iya??..."

"Hiksss... Hiksss... Maafin adek aku yaa..."

"Aku udah maafin Arya semenjak dia sadar kalo nyakitin kamu itu salah kok" Ucapku sembari mengelus-elus kepalanya, dan terlihat senyumannya meski air matanya masih terus mengalir.

"Aku mau ke dokter dulu, ya, aku mau nanya dulu apa kamu udah boleh dibawa pulang atau belum" Kembali ucapku, dan Hani hanya mengangguk sebelum aku beranjak menuju ke dokter.

-----

Setelah mendapat persetujuan dari dokter pun, akhirnya kami diperbolehkan untuk membawa Hani pulang. Meski juga Hani sudah bisa dibawa pulang, Hani masih perlu dirawat jalan karena di kondisinya yang seperti ini, akan sangat rentan baginya untuk terkena penyakit.

Karena Hani ingin terus berada di dekatku pun, Sindy lah yang membawa mobilku dan Adi duduk di bangku depan, sementara Hani dan aku duduk di belakang. Hani pun juga tak pernah melepaskan genggaman tangannya pada tanganku dan kepalanya terus menyandar di pundakku.

Sepanjang jalan sejauh ini, tak ada dari kami yang berbicara. Sindy selalu fokus melihat kearah jalan dan menggunakan GPS untuk menunjukkan jalan ke rumah Hani, sementara Adi yang duduk di bangku depan tertidur.

Keheningan ini berlangsung cukup lama, sampai akhirnya, Hani mulai membuka mulutnya.

"Bay..."

"Iya, sayang?"

"Apa... Itu... Hukuman Abbi... Berhubungan sama ini semua??..." Tanyanya, yang sangat berat bagiku untuk menjawab ini semua.

"Sayang... Jawab..." Kembali ucapnya.

"Pretty much" Jawabku singkat.

"Dan... Apa kamu tau... Tentang ini semua??..." Kembali tanyanya.

"....iya...."

Hani tidak bereaksi apa-apa mendengar jawabanku, dan tangannya makin erat menggenggam tanganku, dan tangan yang satunya lagi dia gunakan untuk mengelus-elus tanganku yang masih menggandengnya.

Entah apakah dia akan menangis lagi atau tidak, tapi yang kutahu pasti Hani pasti sangat terpukul mengetahui aku dan Abbi menutupi ini semua darinya.

"Sayang..." Ucapnya lirih, dan aku hanya menjawab dengan menatap kearahnya meski tatapan Hani masih mengarah ke depan jalan.

"Tolong... Kedepannya... Jangan ada rahasia lagi, ya??..." Lanjutnya.

"Iyaa sayang, ccupphh" Jawabku yang kemudian mengecup kepalanya yang masih tertutupi oleh jilbabnya.

------

Singkat cerita, kini kami sudah sampai dirumahnya, dan tentu saja, terlihat keramaian dari depan layaknya ada seseorang yang baru saja meninggal, dan dengan terus membopong Hani yang masih sangat lemas, kami memasuki rumah.

Baru ketika kami memasuki ruang tamu, kami bisa langsung melihat di ruang TV, terdapat banyak orang yang sedang melantunkan do'a kepada Arya yang tubuhnya yang sudah tak bernyawa berada di depan mereka.

Tanpa berbicara pun, Hani yang selagi tadi masih menggandeng tanganku pun berjalan menuju ke Arya yang sudah terbaring kaku, dan setelah kami berada di sampingnya, Hani langsung duduk disamping tubuhnya.

Hani pun langsung melepas gandengannya, dan tangannya langsung dia gunakan untuk mengelus-elus wajah adiknya yang sudah tiada.

"Dek..." Ucapnya lirih, dan kemudian Hani langsung melepas semua tangisnya dan menangis di dada Arya.

"Hikss... Hikssss... Dekkk.... Hiksss... Hiksss... Adekk.... Hiksss... Hiksss... Maafinn kakak yaa.... Hikss... Hiksss..." Isaknya, dan akupun ikut duduk disampingnya berusaha menenangkannya.

"Hiksss... Hiksss... Maafinn kakak ya dekkk... Hiksss... Hiksss... Kakak udah gabisaa... Jagain kamu... Hiksss... Hiksss..." Kembali ucapnya terisak selagi aku terus mengelus-elus punggungnya.

Melihat kondisi Hani yang seperti ini pun, Abbi yang sedari tadi terus berada disamping Ummi juga mulai beranjak mendekatiku dan Hani, dan Abbi juga ikut menenangkan Hani.

"Ssshh... Kakak... Udah... Bukan kakak kok yang nggak bisa jagain Arya... Tapi Arya yang berhasil jagain kakak sama Bayu... Udah... Kakak jangan merasa bersalah..." Ucap Abbi berusaha menenangkan anaknya.

"Ini udah jadi pilihan Arya... Untuk bisa ngelindungin kalian berdua... Arya sayang banget sama kamu kak... Makanya dia berani mengorbankan dirinya demi keselamatan kamu..." Lanjut Abbi.

Berbagai upaya kami lakukan untuk menenangkan Hani, namun hasilnya tetap nihil, Hani masih terus menangis. Akhirnya pun, tanpa mengeluarkan ucapan, Abbi memberi gimmick kepadaku untuk mengajak Hani beranjak ke kamarnya.

"Sayang... Ayo kita ke kamar dulu, yuk, kamu kan juga perlu istirahat..." Ajakku.

Perlu beberapa kali cobaan sampai akhirnya Hani mulai mengangkat kepalanya dari dada Arya, dan perlahan, Hani kutuntun untuk berdiri dan beranjak menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Sesampainya di kamar Hani pun, sesaat setelah aku menutup pintu, Hani langsung memeluk tubuhku tak berhenti menangis.

"Hiksss... Hiksss... Sayangg... Hiksss... Hiksss..." Ucapnya terisak.

Aku hanya membiarkannya menangis sesenggukan, dan aku ikut memeluk tubuhnya supaya dia bisa merasa lebih nyaman, dan tanganku juga tak berhenti mengelus-elus punggungnya.

Aku tidak mengatakan sepatah katapun, aku bingung harus melakukan apa. Aku hanya bisa membiarkannya menangis sampai dirinya lega.

Namun, tidak terlihat adanya tanda kalau Hani lega, dan sudah nyaris 10 menit kami berpelukan seperti ini, aku memutuskan untuk memindahkan Hani ke kasur.

Aku langsung melepas pelukanku, meski Hani belum melepaskan pelukannya. Setelah itu, aku mulai mengangkat tubuhnya, dan sembari membawa Hani, aku beranjak ke kasur besarnya.

Akupun langsung merebahkan tubuhnya di kasur, dan supaya tidurnya bisa lebih nyaman, perlahan aku membuka jilbabnya, dan setelah itu aku juga perlahan membuka celana jins-nya yang cukup ketat. Dengan ini, tubuhnya juga bisa lebih leluasa. Hani pun juga sepertinya paham dengan apa yang sedang kulakukan, sehingga Hani hanya terdiam seolah membiarkan.

Kini, Hani hanya mengenakan celana dalam serta hoodie yang kupakaikan karena pakaiannya yang dipenuhi sobekan yang membuat kulit mulus dan lukanya terlihat. Setelah itu, aku duduk disampingnya di tepi kasur sembari mengelus-elus kepalanya.

Hani juga menggenggam tanganku yang belum berhenti mengelus-elus rambutnya, dan masih terlihat raut sedihnya meski kini Hani sudah berhenti menangis.

"Istirahat, ya" Ucapku pelan tak melepaskan tanganku, dan Hani hanya mengangguk.

Melihat Hani yang sudah siap untuk istirahat ini pun, aku juga berniatan untuk beranjak pergi karena aku juga perlu istirahat, namun ketika aku baru sedikit mengangkat tubuhku, Hani langsung menarik tanganku, seolah tidak ingin aku pergi.

"Kamu mau aku disini aja?" Tanyaku, dan lagi-lagi Hani hanya menjawabnya dengan mengangguk.

Akhirnya, aku juga tidak bisa menolak permintaannya, dan aku juga ikut membuka celanaku sehingga kini hanya tersisa sebuah boxer dan kaus pada tubuhku.


Setelah itu juga, aku langsung merebahkan diriku tepat disamping tubuhnya, dan baru ketika aku merebahkan diriku, Hani kembali memeluk tubuhku.


Akupun juga ikut memeluk tubuhnya, dan kini kami tertidur saling berhadapan. Sembari memeluk tubuhnya juga aku mengelus-elus kepalanya dan memainkan poninya, sementara Hani terus mengelus-elus pipiku.


Cukup lama kami seperti ini, sampai akhirnya aku tidak tahan melihat kemanisan wajahnya dan aku mencium bibirnya lembut. Awalnya Hani terkejut, namun perlahan Hani mulai membalas ciumanku, dan kini kami berciuman lembut.


*Ccupphh... Ccupphh... Ccupphh...*


Sekitar 2 menit kami berciuman, dan setelah selesai, kami kembali bertatapan sembari saling mengelus wajah kami, dan semakin lama kami semakin nyaman. Hani pun menyudahi perlakuannya dan memelukku begitu erat seolah tak ingin aku pergi jauh darinya, sementara aku tak berhenti mengelus-elus kepalanya yang juga membantu Hani merasa nyaman, dan tak lama setelah Hani tertidur, aku juga tertidur.


-----
(Malamnya)


Layaknya ada seseorang yang meninggal, malamnya dilanjuti dengan tahlilan. Cukup banyak orang juga disini, seperti beberapa tetangga, beberapa kerabat Abbi dan Ummi, dan lainnya. Namun, beberapa dari kami yang masih disini seperti aku, Adi, Rama, Bella, Andre, Ina dan Sindy memisahkan diri dan kini kami berada di samping kolam renang.


Hani juga tidak pernah lepas dariku. Dari ketika kami bangun dari tidur kami, Hani benar-benar tidak pernah berjarak lebih dari dua meter dariku. Bahkan ketika mandi pun kami tidak berhenti berdekatan, lanjut ke pemakaman, dan sampai saat ini, Hani masih terus berada di dekatku.


Kini kami juga sedang menyantap hidangan restoran jepang yang baru saja kami beli lewat delivery, dan aku juga menyuapi Hani yang masih murung semenjak pagi tadi.


"Ini, ayo buka mulutnya, aaa" Ucapku sembari menyodorkan makanannya menggunakan sumpit, namun Hani menggeleng-gelengkan kepalanya.


"Kenapa?? Ini belom abis loh" Tanyaku, namun tidak dia jawab.


"Kamu udah kenyang?" Kembali tanyaku, dan Hani hanya mengangguk.


Hani tidak mengeluarkan suaranya sama sekali, dari ketika dia bangun sampai saat ini. Bahkan, terakhir aku mendengar suaranya adalah saat pemakaman Arya, dan itupun hanya suara tangisan. Hani juga terlihat sangat murung, yang juga mulai mengkhawatirkan.


Karena Hani juga sudah tidak ingin melanjutkan makannya pun, aku langsung menaruh makannya di meja disamping kami, dan aku langsung duduk disampingnya meski aku bahkan belum memakan bagianku.


Hani pun langsung menaikkan kakinya ke sofa, dan setelah menyilangkan kakinya, Hani langsung memelukku lagi.


"Kok tumben kamu makannya sedikit? Biasanya kalo makan ini kamu makannya bisa nambah" Tanyaku sembari merangkulnya, namun tidak Hani jawab.


"Haniii... Kok kamu daritadi diem aja, sihh?? Ayo ngomongg dongg ngomongg" Sambung Sindy, namun dengan cepat kami semua langsung mengingatkannya dengan berbisik supaya tidak Hani dengar.


"Ehh Sin jangan kayak gitu ngomongnyaa" Bisik Rama yang sedang duduk disampingku, dan kemudian Sindy pun sadar dan langsung menutup mulutnya.


"Sayang..." Ucapku pelan.


"Kalo kamu begini terus... Arya juga pasti disana kecewa loh ngeliat kamu begini..." Lanjutku sembari mengelus-elus pundaknya.


"Arya juga akhirnya lega... Dia bisa ngeliat kamu ketawa lagi... Bisa ngeliat kamu happy lagi... Jangan malah jadi ngebikin Arya sedih lagi lohh..." Sambungku, dan terlihat Hani tersenyum kecil meski suaranya masih belum keluar suara dari mulutnya.


Akhirnya pun, keheningan kembali tercipta. Namun keheningan itu tidak bertahan lama sampai mang Ucup datang menghampiri kami.


"Kenapa, mang?" Tanyaku yang masih merangkul Hani.


"Anu mas... Di depan teh... Aya polisi nyariin mas Bayu sama yang lain..." Ucap mang Ucup.


"Mas Surya, mang?" Tanya Rama.


"Bukan atuh, mas Rama, mas Surya teh yang sering ketemu sama Abbi, kan?" Jelas mang Ucup, dan mendengar penjelasan mang Ucup, kami semua langsung saling bertatapan.


Loh, kenapa bukan mas Surya yang datang? Kan dia yang mengetahui ini semua. Bahkan ketika setelah insiden kemarin pun, mas Surya adalah orang yang kuhubungi, sehingga harusnya kalau memang ada sesuatu, harusnya dia yang kesini, tapi kenapa ini malah orang lain?


"Yaudah, sebentar ya mang," Balasku ke mang Ucup.


"Sayang, aku kedepan dulu sebentar, ya, kamu disini sama yang cewek-cewek dulu" Ucapku ke Hani, namun Hani menggelengkan kepalanya sembari menggenggam tanganku erat.


"Kamu mau ikut kedepan?" Kembali tanyaku, dan lagi-lagi, Hani tidak mengeluarkan suara sama sekali dan hanya mengangguk.


"Yaudah, yuk" Ajakku, dan kemudian kami beranjak berdiri, dan yang lain juga memutuskan untuk ikut.


Dengan melewati jalan samping rumah, kami pun beranjak ke depan rumah Hani, dan kami bisa langsung melihat ada dua pria berbadan cukup besar yang juga berseragam sedang menunggu di depan, dan kami langsung beranjak menuju ke mereka.


"Permisi, pak, apa bapak rekannya mas Surya?" Tanyaku ke mereka, namun mereka tidak menjawab pertanyaanku.


"Saudara Bayu Aji Dirgantara, saudara Rama Putra Wijaya, dan saudara Andre, kalian bertiga harus ikut dengan kami" Ucap salah satu dari mereka out of the blue yang mengejutkan kami.


"Umm... Mohon maaf, maksudnya ikut dengan bapak itu apa, ya?" Tanya Rama.


"Saudara-saudara sekalian kami tangkap" Jelasnya, dan seketika kami makin terkejut mendengar ucapan mereka.


Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba malah kami yang tertangkap?


"Loh, loh, loh, dalam rangka apa kita ditangkep, pak?" Kembali tanya Rama.


"Atas dugaan terhadap pembunuhan dari saudara Arya Khairun dan pemerkosaan terhadap saudari Hanindya nur Khairunnisa"


*DEGG...*


Apa yang baru saja terjadi?


"Loh, loh, pak, kita yang justru malah ngelawan pembunuh sama pemerkosanya, pak!" Balasku membantah penjelasan mereka.


"Tidak perlu membantah! Sekarang, kalian ikut kami ke kantor!" Jawab mereka.


"Nggak, nggak, nggak, saya mau liat surat penangkapannya dulu kalo gitu" Balas Rama.


"Anda tidak punya hak untuk banyak minta!!" Jawab salah satu pihak berwajib ini.


"Ya yaudah kalo gitu kita juga nggak mau ikut bapak kalo bapak nggak mau ngunjukin surat penangkapannya, pak!" Kembali balas Rama, dan akhirnya terjadi argumen panjang.


Selagi Rama dan Andre berseteru dengan kedua orang ini, aku terus memutar kepalaku. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Bagaimana caranya malah kami yang menjadi terdakwa atas semua ini?


Ini semua rasanya tidak masuk akal. Kalau hanya aku yang ditangkap, itu lebih logis karena aku sudah banyak melakukan hal buruk untuk bisa menemukan siapa pelakunya, namun ketika Rama dan Andre yang juga ikut tertangkap, terlebih atas tuduhan pembunuhan Arya dan pemerkosaan Hani, semua ini tidak masuk akal.


Tapi tunggu sebentar, kenapa Andre menjadi terlibat? Andre tidak berada disana saat terjadi penembakan, karena disana hanya ada aku, Adi, dan Rama. Selain itu, ketika kami menyerang Rafael pun, Andre juga sedang bersama Bella. Kalau begitu, kenapa Andre yang ikut menjadi tersangka, bukan Adi?


"SUDAH, SUDAH, KALAU KALIAN TIDAK BISA KOOPERATIF, MAKA KAMI TIDAK TAKUT UNTUK MEMBAWA KALIAN DENGAN PAKSA!!" teriak salah satu dari orang ini yang kemudian menarik perhatian orang didalam, dan kemudian Abbi dan beberapa orang beranjak keluar.


"Ada apa ini?!" Teriak Abbi menghampiri kami yang sedang melawan mereka yang berusaha menangkap kami.


"Selamat malam, pak, kami disini untuk menangkap ketiga pria ini atas pembunuhan dan pemerkosaan, pak" Jelasnya.


"Loh, tidak mungkin! Yang bapak tangkap adalah saksi dari pembunuhan anak saya, dan korban dari pemerkosaannya pun sekarang ada di depan bapak!" Kembali ucap Abbi membela kami.


"Mohon maaf, pak, tapi kami hanya menjalankan tugas kami" Balasnya.


"Tapi bila bapak ingin menangkap mereka pun, pasti ada SOP penangkapannya, kan?! Apa yang bapak lakukan sekarang ini sesuai dengan yang tertera di SOP?!" Kembali tanya Abbi dengan nada cukup tinggi.


"Mohon maaf, tapi ini bukan urusan bapak"


"JELAS INI URUSAN SAYA!! SAYA MELIHAT MEREKA YANG TERLUKA PARAH SETELAH BERUSAHA MENANGKAP PELAKUNYA, DAN SEKARANG MEREKA JUGA YANG KALIAN TANGKAP SEBAGAI TERSANGKA?!" Teriak Abbi mengejutkan kami.


"Baik kalau begitu, coba perlihatkan surat penangkapannya!!" Lanjut Abbi.


"Maaf, kami tidak membawa surat penangkapan, lagipula, kami tidak perlu surat penangkapan itu karena kami bisa mengingat secara detil isi dari surat tersebut, sekarang, jangan protes dan tutup mulut bapak sebelum kami buat malam bapak menjadi lebih buruk dari ini!!" Jawabnya, yang kembali menyulut emosi Abbi.


"TAPI BAPAK MELAKUKAN ITU SUDAH MELENCENG DARI SOP YANG TERTERA!! TIDAK ADA SURAT PENANGKAPAN, MEMPERLAKUKAN TERSANGKA DENGAN KASAR, DAN BAHKAN PENANGKAPAN APA YANG HANYA DILAKUKAN OLEH DUA ORANG?!?" kembali teriak Abbi.


Mendengar ucapan Abbi pun, kembali mencerahkan pikiranku. Ini semua rasanya aneh, bahkan mereka juga tidak ada yang mengeluarkan borgol saat mereka ingin menahan Rama dan Andre dan mereka hanya berusaha menarik tangannya.


Perlahan juga, terbesit sesuatu di pikiranku. Kenapa ketika mereka menyebut namaku, Rama, Hani, dan Arya mereka menyebutnya dengan nama lengkap, tapi ketika menyebut nama Andre, mereka hanya menyebut nama panggilannya saja?


Akhirnya, mendengar teriakan Abbi pun, mereka tidak bisa berkutik, dan mereka langsung beranjak 'mundur', dan ketika mereka 'mundur', kini giliranku untuk bertindak.


"Bi, udah jangan dilanjutin, biar aku aja, tolong jagain Hani dulu, ya" Ucapku mencoba menenangkan Abbi, dan karena Hani daritadi begitu erat memegang tanganku, cukup sulit untuk memisahkan Hani denganku.


"Yaudah, kalo gitu biar saya yang nanya sekarang, seperti yang dijelaskan sama bapak tadi, kenapa bapak melakukan penangkapan tidak sesuai dengan SOP yang ada?" Tanyaku.


"Ya bukannya sudah jelas? Situasi di lapangan terkadang tidak mendukung untuk bertindak sesuai dengan SOP" Jawabnya.


"Tapi kita juga cuma minta liat surat penangkapannya doang, loh, kita nggak ngeberontak dengan kekerasan, kita cuma ingin liat surat penangkapan yang harusnya bapak bawa dalam proses penangkapan" Jelasku, yang membuat mereka terbata-bata ingin menjawab.


"Selain itu, siapa yang melaporkan kami? Karena kalau bapak lihat, Andre kondisinya masih baik-baik saja, karena Andre tidak ada disana, melainkan Adi teman saya yang berada di sana disaat kejadian penembakan, berarti ada kesalahan suspect atau ini semua dilakukan dengan sengaja, kan?" Lanjutku, yang makin membuat mereka gelisah, dan membuat yang lain terkejut.


"Nggak bisa jawab? Kalo gitu, pertanyaan simpel deh," Sambungku.


"Siapa nama panjang dari Andre? Kenapa ketika bapak manggil Andre, hanya dengan nama panggilan sedangkan ketika memanggil yang lain, bapak menggunakan nama lengkap kami? Bukannya tadi bapak yang bilang bapak inget secara detil isi dari SOP yang harusnya bapak bawa tadi?" Kembali tanyaku.


Ketiga pertanyaanku ini sebenarnya memang terdengar konyol, namun bahkan kedua orang ini tidak bisa menjawab pertanyaanku, melainkan malah menjadi goyah dan terlihat kegelisahan yang sangat mendalam di wajah mereka. Melihat kondisi mereka yang seperti ketakutan ini pun, aku bisa langsung menyimpulkan,


Kalau mereka bukanlah polisi, dan mereka adalah salah satu dari pelaku yang ada di kejadian penembakan.


"Nganter nyawa lu kesini?" Ucapku dengan nada yang sangat rendah sehingga makin mengintimidasi.


Akhirnya, mereka benar-benar tersudut, dan kemudian, mereka tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau entah darimana, dan orang yang berada di depanku langsung menghunuskan pisaunya tepat ke perutku.


"BANGSAT!!!" teriak orang yang berada di depanku, namun aku yang lebih cepat bisa langsung memukul kencang pergelangan tangannya yang menggenggam pisau, dan pisaunya langsung terjatuh.


Setelah aku menjatuhkan pisaunya pun, akhirnya berbondong-bondong orang yang melihat kami langsung berdatangan mendekati kedua pelaku dan memukuli mereka di tempat.


"JADI DIA PELAKUNYA?!? RASAIN NIH!!" teriak salah satu orang.


*BUGGG... BUGGG... BUGGG...*


Sekitar 10 orang lebih mengeroyok mereka hingga mereka babak belur, dan ketika aku ingin beranjak memukuli orang itu juga...


"BAYU, HANI, BAY!!!" teriak Sindy yang membuatku terkejut.


Akupun dengan cepat langsung menoleh kebelakang, dan aku langsung melihat Hani yang terduduk di tanah dengan napas yang memburu dan terlihat wajahnya begitu tegang dan berkeringat.


"HANII!!!" teriakku sembari memutar badan dan mendekati tubuhnya.


"Hani tiba-tiba jatoh pas ngeliat orang tadi mau nusuk kamu, Bayy!!" Jelas Sindy, yang membuatku makin panik.


Dengan cepat pula, aku langsung mengangkat tubuh Hani, dan aku langsung berlari ke dalam dan membawanya ke kamarnya.


Aku juga langsung merebahkan tubuhnya di kasur, dan aku langsung mencari obat yang harus dia minum ketika gejala seperti ini kembali kambuh.


Dengan cepat pun, aku menemukannya, dan aku langsung mengambil air dari dispenser di dalam kamarnya. Setelah itu, aku langsung memberikan semua ini ke Hani.


"Sayang, diminum dulu obatnya, oke?!" Ucapku, dan Hani juga dengan cepat langsung meminum obatnya.


Setelah meminum obatnya pun, perlahan nafasnya mulai kembali normal, dan raut wajahnya sudah tidak setegang saat sebelum dia meminum obatnya.


"Gimana??? Kamu udah enakan??" Tanyaku begitu khawatir, dan baru ketika aku bertanya, Hani tiba-tiba memelukku.


"Hiksss... Hikss.... Sayangggg.... Akuu takuttt.... Hiksss... Hiksss...." Ucapnya yang sudah mulai mengeluarkan suara.


"Hiksss... Hikssss... Pas dia mau nusukin piso ke kamu... Aku pikir aku bakal kehilangan kamu juga malem ini... Hiksss... Hikssss..." Lanjutnya sembari menangis.


"Ssshhh... Ssssshh... Aku baik-baik aja kok... Ini aku masih ada sama kamu, kan??" Ucapku berusaha menenangkannya, dan perlahan, tangisannya hilang sembari tubuhnya juga perlahan melepas pelukannya.


"Aku nggak kenapa-napa kok sayang... Kamu nggak perlu khawatir, oke??..." Kembali ucapku, namun tidak Hani jawab.


Perlahan, akupun kembali merebahkan tubuhnya, dan aku langsung menyuruhnya untuk istirahat.


"Kamu istirahat dulu sekarang yaa, biar bisa lebih tenang juga" Ucapku sembari mengelus-elus kepalanya.


"Kamu... Mau kemana??..." Ucapnya lirih.


"Aku mau kebawah lagi, kita masih perlu nanganin orang tadi, kan" Jawabku, dan Hani kemudian langsung menggenggam tanganku.


"Sayang... Jangan sampe kamu kenapa-napa ya..." Ucapnya.


"Aku bakal baik-baik aja, kok, kamu nggak perlu khawatir, oke?" Jawabku, san setelah itu aku mengecup keningnya.


"Good night, sayang"


"Good night"


Setelah Hani memejamkan matanya, aku langsung beranjak pergi meninggalkan Hani, dan aku kemudian beranjak keluar. Setelah aku keluar dari kamar Hani pun, aku tidak langsung beranjak kebawah, melainkan terdiam di depan pintu kamarnya.


Pikiranku benar-benar kacau. Kalau 'mereka' sudah berani mengambil tindakan sampai mendatangi kami, berarti situasi semakin berbahaya sekarang. Entah apa lagi rencana mereka, yang jelas kini kami sudah berada di babak akhir permainan, dan di situasi seperti ini, harus ada yang mengambil resiko untuk memenangkan 'permainan'. Mereka juga mengambil resiko, namun, kami bisa menangkap mereka, dan kami bisa kembali mendekatkan diri ke dalang dari semua ini setelah mereka nyaris tidak tersentuh semenjak kematian Arya.


Aku benar-benar jauh dari kata tenang, dan pikiranku kembali berkecamuk. Bahkan, ketika ada yang menelepon hapeku saja aku langsung terkejut.


Dering hapeku berbunyi, dan aku yang terkejut pun langsung mengambil hapeku dari dalam kantong celanaku. Sudah nyaris seharian aku tidak menyentuh hapeku, pasti notifikasinya sudah meledak.


Setelah mengambil hapeku, aku langsung melihat siapa yang berusaha untuk menghubungiku.


"Pak Ben?"


Dengan cepat pun, aku langsung mengangkat teleponnya.


"Selamat sore, nak, apa aku mengganggu?" Ucapnya lewat telepon.


"Malam, pak, yah kebetulan kondisi disini sedang kacau, aku saja baru membuka hapeku ini" Jawabku.


"Apakah ini ada hubungannya dengan berita terkait pembunuhan dan pemerkosaan yang kamu terlibat?" Kembali tanya pak Ben.


"Loh, how do you know?" Balik tanyaku.


"Berita itu sudah tersebar sampai kesini, nak, apalagi kamu juga pernah bekerja dibawah arahan saya, jelas beritanya akan tersebar cepat" Jelas pak Ben.


"Iya sih, kalau begitu, ada apa ya, pak?" Kembali tanyaku.


"Nak... Kita dalam masalah besar"


"Mak... Sud... Bapak??..."


======
[Adi's POV]


"Ini pasti ulahnya mas Farhan, pasti ini!!" Ucap Rama yang sedang berdebat dengan Andre.


"Nggak mungkin lah!! Mas Farhan kan udah nyelesain masalahnya sama Bayu, pasti ini kerjaannya Rafael!" Balas Andre.


"Lah lu tau darimana kalo mas Farhan udah nggak punya masalah sama Bayu lagi?! Dia aja sekarang udah ngilang nggak tau kemana!!" Jawab Rama.


"Tapi nggak masuk akal, Ram! Rafael lebih relevan masalahnya daripada mas Farhan, masalah Bayu sama Rafael kan juga baru-baru ini, kan?!" Tanya Andre.


"Lu tau darimana kalo Rafael yang ngelakuin ini semua?! Lu aja nggak ada pas kita datengin Rafael!!" Jelas Rama yang membuat Andre terdiam, dan Bella yang sudah tidak tahan dengan perseteruan mereka pun langsung memisahkan mereka berdua.


"Kak Rama, kak Andre, udah ih! Jangan malah berantem pas lagi kondisi kayak gini!!" Ucap Bella.


"Sorry, Bel, tapi gua udah nggak tahan, si tai ini nggak pernah ikut kalo kita lagi nyari masalah, sekarang dia punya audacity buat ikut nunjuk siapa pelakunya!" Jawab Rama.


"Kalo bukan Bayu yang nyuruh gua jagain Bella, pasti gua ikut sama kalian! Lu juga lupa siapa yang bawa ambulans kemaren, hah?!" Tanya Andre, yang membuat emosi Rama sedikit menurun.


"Bener itu, Bel?" Tanya Rama, dan Bella hanya mengangguk.


"Udah, udah, Ram, lu juga jangan kebawa emosi, kan dua orang tadi lagi diinterogasi sama bapak-bapak juga" Ucapku menenangkan Rama, dan akhirnya suasana menjadi semakin kondusif.


Di saat seperti ini, hanya aku yang bisa kuandalkan. Rama, Andre, dan Bayu terkadang tidak bisa menahan emosinya, dan hanya aku yang bisa tetap tenang dan berpikir jernih di kondisi seperti ini.


Setelah pengeroyokan tadi, kedua orang yang diduga sebagai anak buah dari dalang ini semua sudah akan dibawa ke polisi, namun Abbi meminta untuk menginterogasi mereka terlebih dahulu, karena dengan ini, kami bisa menemukan siapa pelakunya.


Kami yang muda-muda pun juga ingin ikut serta, namun para bapak-bapak mengatakan kalau lebih baik mereka yang menangani ini karena mereka sudah lebih dewasa.


Tak lama setelah semuanya sudah kembali kondusif, ada seorang yang mengenakan seragam lagi sedang berjalan ke arah kami, namun kali ini yang datang adalah orang yang lebih familiar.


"Mas Surya? Kok sendiri? Kak Liya kemana?" Tanyaku selagi mas Surya berjalan mendekat.


"Alliya sedang tidak boleh banyak beraktivitas, lagipula saya juga hanya ingin memberi sedikit informasi ke ayahnya Hani, tidak ada balasan sama sekali saat saya menghubunginya lewat chat" Jelas mas Surya.


"Suasana lagi keruh disini, mas, Abbi juga lagi sama Ummi, Ummi lagi shock banget ngeliat anaknya meninggal" Balas Bella.


"Iya, tau saya kok, tadi Ucup juga beritahu saya katanya ada orang yang menyamar menjadi polisi berusaha nangkep kalian, kan?" Jawab mas Surya.


"Iya, mas, sekarang lagi diinterogasi juga dia" Jawabku.


"Apa orangnya mau mas bawa ke kantor?" Sambung Rama.


"Tidak, tidak usah, saya serahkan ini ke kalian, karena kami juga sudah harus mengambil tindakan," Jawab mas Surya.


"Kita sudah tahu dimana lokasi dari dalangnya" Lanjutnya yang membuat kami semua terdiam.


"Gimana caranya?" Tanyaku.


"Salah satu dari anak buah mereka yang bekerja di hotel ditemukan meninggal, dan untungnya, hape dari almarhum masih bisa diamankan, dan terlihat juga history teleponnya dengan banyak nomor asing" Jelas mas Surya.


"Terus?"


"Nomornya cukup banyak, dan kami mencoba melacak dimana posisi hape itu berada" Lanjut mas Surya.

"Apa nomernya udah kelacak sampe sekarang dimana lokasinya?" Tanya Andre.


"Tidak, semua nomor itu hanya menelepon almarhum sekali, setelah itu tidak terlacak lagi nomer tersebut" Jawab mas Surya.


"Tapi, kita bisa mengetahui dimana lokasi terakhir nomor itu berada" Lanjutnya.


Akhirnya, pencarian kami kini bisa dipersempit, dan perlahan, lokasi dan identitas dari sang pelaku bisa ditemukan. Ini merupakan langkah yang sangat besar.


"Lokasinya memang tidak precise, tapi lokasinya selalu berada di dalam sekian radius dari lokasi ini" Jelas mas Surya sembari menunjukkan sebuah gambar seperti peta.


"Titik merah yang kamu lihat, itu adalah lokasi terakhir dimana nomor itu ditemukan" Kembali jelas mas Surya.


"Tapi apa mas yakin kalo ini pelakunya? Kalo ternyata ini cuma temennya yang tinggal di daerah situ gimana?" Tanya Rama.


"Tidak, kami sudah yakin seratus persen, karena ada satu lagi clue yang mengarah ke lokasi ini" Jawab mas Surya.


"Clue apa lagi?"


"Beberapa waktu yang lalu, terdapat sebuah insiden pembunuhan saat pembegalan terhadap sebuah jurnalis yang bernama Daniel A." Jelas mas Surya.


"Terus?"


"Awalnya investigasi kasus ini dilakukan secara terpisah, namun, ada sebuah clue yang mengarah ke kasus ini" Lanjutnya.


"Jurnalis ini adalah orang yang menulis artikel tentang Bayu dan Hani yang terekspos menjadi korban dari pemerkosaan dan video yang viral itu" Jelas mas Surya.


*DEGG...*


Berarti... Dia juga...


"Dan ketika kami mencari informasi dari hapenya yang ditemukan di TKP, dengan pola yang sama, kami juga menemukan banyak history telepon dan lokasinya yang juga berada di radius yang sama" Lanjut mas Surya.


"Terus, apa polisi udah tau gimana pola dari semua tindakannya?" Tanyaku ke mas Surya.


"Iya, sepertinya ini merupakan permainan psikologi, mereka secara bertahap menghancurkan Bayu secara perlahan, dimulai dari merusak kebahagiaan Bayu dengan menyebar video Hani, menghancurkan psikologi Hani di depan Bayu, meneror keluarganya, dan yang terakhir ada di kejadian ini" Jelas mas Surya.


Yaampun, ini sangat berbeda dengan semua orang-orang yang pernah bermasalah dengan Bayu sebelumnya. Mereka benar-benar ingin merusak Bayu sampai ke otak dan sepertinya mereka sudah berhasil.


"Sekarang, Bayu ada dimana?" Tanya mas Surya.


"Tadi Bayu ngebawa Hani ke kamarnya abis Hani panic attack nya kambuh lagi, mas, paling masih disana" Jawab Sindy.


"Baiklah kalau begitu, tolong kalian juga jangan biarkan Bayu sendiri ya, karena dari yang saya lihat, mereka sudah mulai 'masuk' ke dalam kepala Bayu" Pesan mas Surya.


"Maksud mas?"


"Sangat terlihat Bayu benar-benar tidak bisa menjaga emosinya belakangan ini, dan dia bisa menggila, ini menandakan kalau psikologi Bayu juga sudah terlihat adanya pembelokan" Jelas mas Surya.


Benar juga, ketika aku dan Rama menemani Bayu ke Rafael saja, aku tidak pernah melihat Bayu se-emosi itu. Saat kejadian dengan mas Farhan pun, Bayu masih bisa menggunakan akal sehatnya. Tapi yang sekarang benar-benar beda. Rasanya, inner demon dalam diri Bayu sudah keluar dari belenggunya.







Tunggu, tunggu... Inner demon?


"Eh, Ram, Bel, kalian inget nggak kejadian Bayu dipukulin satu geng suruhan Rafael pas SMA?" Tanyaku.


"Hah? Yang waktu abis final turnamen, kak?" Balik tanya Bella.


"Iya, kalian inget nggak cerita orang-orang yang Bayu udah jadi kaya orang kesetanan sampe satu geng rata sama dia sendiri?" Kembali tanyaku, dan seketika, Bella dan Rama pun langsung tersentak kaget.


"Berarti..."


"Inner demon-nya Bayu udah keluar lagi setelah sekian lama" Jelasku.


Ini sudah pasti. Bagaimana tidak? Bayu sudah melalui banyak hal di kasus ini, dan orang sewaras apapun pasti akan kacau juga pikirannya jika berada di posisi Bayu sekarang.


Bayu sudah sangat marah besar, dan kalau kami berusaha menghentikannya, Bayu hanya akan menganggap kami sebagai halangan yang akan dia tembus.


"Makanya, saya kan juga mengingatkan jangan biarkan Bayu sendirian di kondisi seperti ini, supaya kalian juga bisa mengontrol emosinya" Jelas mas Surya.


"Yaudah, kalau begitu urusan saya disini juga sudah selesai, segera beritahu informasi ini ke Bayu dan ayahnya Hani, dan kalau nama pelakunya sudah keluar, segera hubungi saya" Ucap mas Surya, dan setelah urusannya selesai, mas Surya pun langsung pamit pergi untuk kembali ke kantor.


"Now what?" Tanya Andre.


"Siapa yang mau ngasih tau informasi ini ke Bayu?" Lanjut tanya Sindy, dan selagi kami berpikir, tiba-tiba Ina berteriak.


"EH, EH, KALIAN, LIAT INI DEH!!" teriak Ina.


"Ya ampun, Na, kenapa lu teriak-teriak, si?!" Ucapku yang tersentak kaget.


"Ih... Kalian... Liat ini..." Jawab Ina, dan Ina pun memberikan hapenya kepadaku.


Setelah aku mengambil hapenya pun, aku langsung melihat sebuah artikel yang baru saja Ina baca. Dan baru ketika aku membaca judulnya, aku langsung merasakan kepanikan dan ketakutan yang begitu mendalam di sekujur tubuhku.


"NEGOSIASI KONTRAK BAYU AJI DENGAN LEGIA WARZAWA TERPUTUS"


Oh tidak, apa yang sebenarnya terjadi?


Akupun dengan cepat langsung membaca seluruh isi dari artikel pendek ini, dan terdapat beberapa pernyataan dari Benedikt Stefaniak yang benar-benar membuat tubuhku gemetar.


"Negosiasi kontrak terpaksa harus diputus karena pihak tim tidak bisa menerima image Bayu Aji yang terlibat dengan kriminal menjadi orang yang akan menjadi image scouter pemain-pemain muda" Jelas pak Ben.


"Selain itu, dengan situasi yang seperti ini, akan sulit baginya untuk bekerja di bidang scouting lagi"


*DEGG...*


"Ram... Bayu nggak jadi direkrut Legia Warzawa..." Ucapku menjelaskan apa yang baru saja kubaca.


"HAH?! KOK BISA?!?" teriak Rama.


"Katanya, image Bayu udah terlalu jelek untuk jadi representatif pihak scouting, apalagi Bayu kan fokusnya lebih ke akademi, mereka mikir kalo Bayu bukan orang yang baik dalem bidang ini, dan pak Ben juga udah bilang bakal susah bagi Bayu buat kerja jadi scouter lagi" Jelasku, dan seketika, Rama dan Andre terdiam kaku, sedangkan Bella tiba-tiba langsung menangis kencang.


"Ram... Bayu pasti lagi stres banget sekarang..." Kembali ucapku, dan baru ketika aku mengucapkan itu, mang Ucup terlihat mendatangi kami beranjak masuk kedalam rumah.


"Loh, darimana aja, mang?" Tanyaku.


"Ini, tadi teh, mas Bayu nelpon mang Ucup, katanya mas Bayu teh minta tolong beliin rokok" Jawab mang Ucup.


*DEGGG...*


Oh tidak... Ini sudah terlalu parah.


Aku mengenal Bayu nyaris seumur hidupku, dan aku yang paling tahu bagaimana Bayu akan bertindak. Bayu memang tidak merokok, namun dia hanya merokok jika dia sedang mengalami stres yang begitu berat sama seperti saat keberangkatan Claudia ke Spanyol saat itu. Ini sudah sangat berbahaya.


"Loh, Bayu ngerokok?" Tanya Sindy kebingungan, namun tidak ada yang menjawab.


Aku dan Rama pun saling melihat satu sama lain, dan kami bisa langsung memahami kalau ini sudah menjadi situasi yang darurat.


"Mang Ucup, biar saya aja yang ngasih rokoknya ke Bayu" Ucapku.


"Bayu sekarang ada dimana, mang?" Tanya Rama.


"Mas Bayu teh lagi di balkon, mas"


"Yaudah, biar kita yang kasih rokoknya ke Bayu, ya" Pintaku, dan mang Ucup hanya menurut dan memberikanku rokok serta koreknya.


Sesampainya di balkon pun, aku langsung melihat terdapat sebuah meja kecil yang sudah terbelah menjadi dua, dan aku langsung melihat Bayu yang sedang melihat kearah tembok di depan kami.


"Bay" Panggilku, dan Bayu tidak menengok, tapi Bayu hanya mengangkat kepalanya.


"Dua orang tadi baik-baik aja?" Tanya Bayu tanpa menengok kearah kami berdua.


"Nggak tau, Bay, kita nggak boleh ikut nginterogasi, katanya kita yang bocah-bocah nggak usah ikut campur" Jawab Rama, dan kami kini sudah berada di sebelah Bayu.


"Nih, Bay, rokok lu, awas ketauan Hani" Ucapku memberikan rokoknya, dan dengan cepat, Bayu langsung mengambil sebatang dan membakar rokok itu.


"Bay, lokasi dari dalangnya udah ketemu" Ucapku menceritakan ke Bayu.


"Tapi nggak guna kalo kita belom tau siapa pelakunya, kan?" Tanya Bayu kepadaku.


"Yah, tapi setidaknya radius lokasi nya bisa jadi makin sempit, kan?" Balas Rama, dan Bayu hanya mengangguk paham.


"I'm done for" Ucapnya setelah menghisap rokoknya.


"Mimpi gua udah rusak karena semua ini, udah kelar gua, gua nggak bakal bisa balik jadi scouter lagi" Lanjutnya, dan Rama langsung mengelus-elus pundak Bayu berusaha menenangkannya.


"Bayy, udah lu jangan pesimis gitu, masih banyak kok tim lain di luar sana yang pasti mau nerima lu" Ucap Rama berusaha menyemangati Bayu.


"Abis apa yang bakal gua lakuin ke pelakunya setelah pelakunya ketemu, apa lu yakin gua bakal bisa lari dari masalah yang udah gua buat?" Kembali tanya Bayu yang membuat Rama terdiam.


"Nggak bisa selamanya gua lari dari masalah ini, Ram, gua pasti bakal kena karma dari apa yang udah gua buat" Lanjut Bayu.


"Bayy, udah lu nggak usah aneh-aneh dulu, Bay" Ucapku berusaha menenangkan Bayu.


"Nggak, Di, mereka udah ngambil resiko dateng ke muka kita, dan kita juga udah harus ngambil resiko juga" Jelas Bayu.


"Resiko apa?"


"Kalo gua harus mati demi bisa nyelametin kalian" Jelas Bayu yang membuatku dan Rama tergetar.


"Bay..." Ucap Rama pelan yang terdengar getarannya.


"It's okay, Ram, ini resiko yang udah siap gua ambil" Potong Bayu.


"Bay, nggak usah aneh-aneh deh lu, buat apa lu ngorbanin diri lu sendiri kalo ujung-ujungnya lu mati sebelum bahkan lu bisa ke mereka?" Tanyaku yang begitu takut melihat Bayu yang sudah sebelok ini.


"Nggak, kok, gua nggak bakal mati sebelum gua bisa mastiin dia mati atau udah di tangan yang berwajib, karena kalo gua mati, bisa jadi mereka bakal terus ngedatengin kalian dan ngeganggu hidup kalian," Jawab Bayu.


"Mereka udah ngambil banyak hal dari gua, dan sekarang, kalian adalah hal terakhir yang gua punya dan gua bakal ngelakuin apapun demi kalian bisa baik-baik aja" Lanjutnya yang lagi-lagi membuatku bergetar.


Bayu benar-benar sudah rusak sampai ke dalam, dan kalau kami berusaha menahannya pun ada kesempatan yang lebih besar kalau Bayu akan menghajar kami juga, dan yang terpenting bagi kami sekarang adalah memastikan Bayu baik-baik saja.


"Iya, gapapa kalo lu mau ngejalanin rencana lu, tapi yang pasti kita pasti bakal nemenin lu, oke?" Ucapku ke Bayu yang membuatnya terkejut.


"Mau gimana juga, lu kawan gua, dan gua bakal terus ngebantu lu layaknya kawan" Lanjutku yang membuat Bayu tersenyum.


"Makasih banyak ya, bro" Ucapnya sembari menepuk-nepuk pundak kami berdua.


"Yaudah, sekarang tinggal nyari tau siapa dalang dibalik ini semua" Ucap Rama.


"You know what? Selama gua sendirian disini, gua kepikiran sesuatu" Jawab Bayu.


"Apaan, Bay?" Tanyaku bingung.


"Kenapa mereka ngincer Andre yang nggak ada disana? Padahal kan kita bertiga yang berantem" Tanya Bayu kepadaku.


"Iya juga si, kan Adi yang ada disana pas kita berantem lawan mereka" Jawab Rama.


"Iya, kan? Terus mereka juga nggak nyebut nama panjang Andre, tapi mereka nyebut nama panjang kita berdua" Jelas Bayu.


"Kebetulan aja kali Bay kalo yang ini mah, lu tau kan nama belakang Andre susah banget disebutnya" Jawab Rama.


"Tapi kalo cuma dia sendiri doang, aneh Ram, bener" Balasku.


"Terus apa pikiran lu ini ngarah ke satu hal lain?" Tanya Rama.


"Iya, ada, mereka juga ngajak Rafael buat ikut serta ke rencana mereka, yang juga musuh lama gua" Jelas Bayu.


"Terus?"


"Dia nggak ngajak mas Farhan, dia nggak ngajak Andre, dia nggak ngajak mas Rizky, cuma ngajak Arya sama Rafael" Lanjut Bayu.


"Terus apa?" Tanya Rama.


"Ada persamaan antara kita sama Rafael, Ram, kita semua ada di kota yang sama, di lingkungan yang sama, di SMA yang sama" Jelas Bayu.


"Ini juga ngedukung pikiran gua kenapa nama panjang Andre nggak disebut, karena mereka nggak tau mau nyari informasi dari mana, apalagi di sosmednya, Andre nggak nyantumin nama panjangnya" Lanjutnya.


"Berarti maksud lu..." Ucapku yang kemudian Bayu potong lagi.


"Nggak cuma itu, kenapa Adi nggak ditangkep juga ada alesannya" Lanjut Bayu.


"Apa lagi? Lu ditinggal setengah jam-an aja bisa mikir sejauh ini, Bay" Ucap Rama.


"Lu tau nggak apa kesamaan antara kita bertiga yang dipanggil tadi?" Tanya Bayu ke Rama.


"Apaan??"


"..... Bella"


Jawaban Bayu membuatku benar-benar bingung. Apa mungkin Bayu benar-benar sudah tidak sehat di kepala? Penjelasan dari Bayu benar-benar sangat all over the place, dan sekarang dia membawa-bawa adiknya sendiri?


"Bay, halu kayaknya lu ini, kok tiba-tiba jadi Bella?" Tanyaku yang benar-benar sangat kebingungan.


"Di, lu nyadar nggak, tiga orang yang pengen mereka tangkep itu tiga orang yang paling deket sama Bella? Gua kakaknya, Andre pacarnya, Rama juga lebih deket sama adek gua daripada lu," Jelas Bayu.


"Selain itu, ada kejanggalan juga kenapa kamar Bella baik-baik aja tapi ruangan lain dirumah gua ancur sama mereka" Lanjut Bayu.


"Abis itu, abis denger pembicaraan mereka, tujuan mereka ngelakuin ini mau bales dendam, dan dari yang udah gua jabarin, ini semua ada hubungannya sama gua sama Bella, yang juga lingkungannya nggak jauh dari kita" Jelas Bayu yang seketika membuat bulu kudukku berdiri dan membuat Rama terdiam kaki.


"Berarti... Maksud lu... Dia??..." Ucap Rama terbata-bata.


"Well, kita belom tau pasti, kan? Ayo kita pastiin" Ajak Bayu, dan Bayu langsung beranjak keluar dari balkon.


Kami yang tahu mau kemana Bayu pun langsung mengikutinya, dan ketika melewati dapur, Bayu berhenti sejenak.


"Kenapa, Bay?" Tanyaku.


"Duluan aja" Jawabnya singkat, namun tetap kami tunggu.


Bayu pun juga akhirnya pasrah, dan aku langsung melihat Bayu membawa beberapa air mineral botol ukuran seliter.


"Buat apaan?" Tanya Rama.


"Liat aja" Kembali jawabnya singkat, dan kami langsung beranjak menuju ke gudang di samping kolam renang dimana mereka menyekap dua orang tadi.


Sesampainya disana pun, kami langsung memasuki ruangan ini, dan kami langsung melihat kedua orang imposter ini diikat di sebuah kursi, dan mereka kini sudah ditelanjangi hanya menyisakan sehelai celana dalam, dan salah satunya juga sudah tidak sadarkan diri.


"Heh, ngapain kalian?! Udah biar kita aja yang ngurus!!" Ucap seorang bapak.


"Maaf, biar kita yang ngelanjutin ini sekarang" Jawab Bayu.


"Udahh kalian masih bocah, biar kita yang dewasa aja yang ngurus ini!!" Balasnya.


"Tapi kalo bapak nggak tau apa-apa tentang masalah ini, bapak juga nggak bakal bisa nyari informasi kan, pak? Udah biar kita yang ngelanjutin" Jawabku mendiamkan mereka.


Akhirnya mereka pun keluar, dan bersamaan dengan mereka keluar, Andre bersama dengan perempuan-perempuan memasuki gudang.


"Udah, biar gua yang nanya, oke?" Pinta Bayu, dan aku hanya mengangguk membiarkannya mendekati orang itu.


Orang itu sudah begitu babak belur, luka menjalar di sekujur tubuhnya, dan dilihat dari tampangnya juga, dia sudah sangat kelelahan.


Bayu pun dengan cepat langsung merendahkan dirinya disamping orang ini, dan Bayu langsung menaruh wajahnya tepat di depan wajah orang ini.


"Perasaan tadi tampangnya galak, kok jadi lembek gini sekarang?" Ucap Bayu ke orang itu, namun orang itu tidak menjawab perkataan Bayu.


"Gua akuin, nyali lu gede juga dateng kesini pura-pura jadi polisi, tapi kita nggak bego, paham?" Kembali ucap Bayu yang tidak digubris.


Setelah itupun, Bayu langsung berlutut, dan dia langsung membuka botol yang baru saja dia bawa tadi dan dia langsung menyodorkan botol itu ke mulut tersangka ini.


"Nih, minum dulu, cape kan lu pasti?" Tanya Bayu, dan akhirnya, orang ini mengeluarkan suaranya.


"Hhhh... Hhhhh... Lu pikir... Dengan ngebaikin kita... Kita bakal ngasih tau lu info? Hhh... Hhhh... Kita punya sumpah... Kalo kita lebih baik mati... Daripada ngebeberin informasi..." Ucapnya terengah-engah.


"Udah lu nggak usah protes, minum dulu aja" Jawab Bayu.


Jujur, aku benar-benar kebingungan dengan sikap Bayu sekarang. Kenapa Bayu menjadi baik begini? Aku sudah mengira kalau Bayu akan kelewat batas saat melakukan ini, namun Bayu malah memberinya minum.


Tapi, entah kenapa, aku bisa menjadi lebih tenang, akhirnya Bayu bisa menggunakan akal sehatnya dengan memperlakukan orang ini dengan baik, bahkan Bayu juga dengan lemah lembut memegangkan botolnya. Bayu benar-benar diluar dugaan.


Namun baru ketika kami menduga seperti itu....



*BRUKKK...*


*BUGGGG....*


"UHUK... AKHHHHHHH..."


Bayu langsung menarik anak kursinya hingga dia terpelanting ke belakang, dan dengan kondisi mulut yang masih penuh air, Bayu juga menginjak perutnya sembari menarik anak kursinya yang membuat orang ini mengeluarkan segala air yang berada di mulutnya.


"SIAPA BOS LU, HAH?! LU NGGAK USAH HALU MIKIR GUA BAKAL BAIKIN LU ATAS APA YANG UDAH LU LAKUIN!!" teriak Bayu.


"Hhhh... Hhhh... Mati aja lu sana..." Jawab orang ini, dan dengan cepat, menggunakan tumit kakinya, Bayu menendang kening orang ini yang kepalanya sedikit terangkat sehingga kepalanya terbentur kencang.


Ini sudah kelewatan, dan kalau Bayu terus begini, orang ini bisa mati terbunuh.


"BAY, JANGAN KELEWATAN, BAY!! DIA UDAH NGGAK SADARIN DIRI ITU!!" teriakku mengingatkannya.


Namun, Bayu tidak mendengar, dan Bayu langsung menarik kembali orang ini hingga posisinya sudah kembali duduk.


"JANGAN PURA-PURA PINGSAN LU!! GUA TAU LU MASIH SADAR!!" Kembali teriak Bayu.


"Bay, Bay, ini kayaknya pingsan beneran, Bay" Ucap Andre, namun tidak Bayu gubris.


"Ram, korek, Ram" Pinta Bayu, dan karena akan berbahaya bagi kami juga untuk menolak, Rama langsung memberikan koreknya.


Bayu pun langsung menggunakan korek itu untuk kembali membakar rokoknya, dan setelah rokoknya menyala, alih-alih menikmati rokok itu, Bayu menggunakan bara api di ujung rokoknya dan mengoles-oles ujung rokok yang masih menyala itu ke luka-luka di tubuh orang ini.


Tentu saja, rasanya pasti sangat perih, dan benar dugaan Bayu, orang ini masih sadarkan diri, dan dia langsung berteriak tidak karuan.


"AAAAAKHHHHH.... AAAAAKKKHHHH.... AAAAAAKKKKHHH..." teriak orang itu selagi Bayu mengoleskan rokoknya ke luka di sekujur tubuh orang itu.


Ini sangat mengerikan, yang tadinya interogasi kini menjadi sebuah siksaan. Bahkan, Sindy dan Ina tidak kuat melihatnya dan mereka membalikkan badan mereka, sementara Bella memeluk lengan Andre begitu erat dan mengumpat dibalik lengannya.


Akhirnya, rokoknya bisa bertahan sampai akhir, dan ketika Bayu baru ingin membakar sebatang lagi, orang ini langsung menahan tangan Bayu.


"Hhhh... Hhhh... Pakk... Tolong... Bunuh saya saja... Saya sudah tidak kuat dengan siksaan ini... Tolong pak..." Ucapnya lirih, namun Bayu berpikir sebaliknya.


"Oh, nggak kok, gua nggak bakal ngebunuh lu," Jawab Bayu yang membuatku lega.


"Gua bakal nyembuhin lu, dan ketika lu udah sembuh, gua bakal ngulang perbuatan gua ke lu sampe lu ada di posisi ini lagi, dan gua bakal sembuhin lu lagi, dan akan terus berulang, gua nggak akan berenti ngelakuin ini, paham?!" Ucap Bayu yang membuatku menjadi makin panik dengan kondisi psikologis Bayu ini.


Tak disangka, orang ini ternyata ketakutan setengah mati mendengar jawaban Bayu, dan akhirnya mereka menangis kencang.


"Hiksss.. Hiksss.... Pakk ampunin kami pak.... Kami minta ampun... Kami cuma anak buah yang disuruh sama bos kami...." Ucapnya terisak.


"Iya, gua bakal ngebiarin lu hidup, kalo lu mau ngejawab pertanyaan gua dan jangan bergerak sedikitpun" Jawab Bayu.


"Yang pertama: kenapa kalian ngelakuin ini?" Mulai Bayu.


"Hhhh... Hhhh... Kami semua ini sekelompok begal dan perampok rumah... Awalnya, bos kami adalah orang yang selalu kami peras selagi dia masih menjadi copet di jalanan... Dan kami tiba-tiba kecolongan sampai akhirnya dia bisa memutar keadaan dan ngejadiin kami babu mereka..." Jelasnya.


"Hhhh... Hhhh... Semenjak itu, kami berdua melindungi bos kami... Dan kami mulai melakukan operasi perampokan bersama dengan bos... Dengan bos yang menjadi mata kami untuk mencari rumah dengan loot yang bagus... Dan kami juga membegal untuk menambah pemasukan..." Lanjut orang ini.


"Terus?"


"Akhirnya... Kami mulai memperkuat tim kami hingga menjadi tujuh orang... Dan kurang lebih 6 bulan yang lalu... Bos bilang ke kami... Ada perampokan bertahap yang bisa ngebuat kita makin kaya..." Jelasnya.

"Namun... Setelah berbagai persiapan dan belum memulai... Kami mulai sadar kalau ini bukan perampokan... Tapi ajang balas dendam..." Lanjutnya menjelaskan.

"Oke, pertanyaan kedua: apa kalian berdua orang yang udah merkosa pacar gua?" Kembali tanya Bayu.

"Hhhh... Hhhh... Iyaa... Awalnya... Kami juga keberatan... Karena kalau urusan ngentot... Kita bisa nyari cewek lain... Kita lebih butuh uang daripada kepuasan... Tapi akhirnya bos ngambil uang dari rekening Nisa sebagai ganti pendapatan perampokan..." Jelasnya memanggil Hani sebagai Nisa.

"Apa dia juga pernah make pacar gua?" Kembali tanya Bayu.

"Hhhh... Hhhh... Nggak... Dia nggak pernah ngaceng bahkan ngeliat kita ngewein Nisa..." Jelas orang itu yang membuatku bingung.

Kok bisa? Meskipun memang fantasi orang berbeda-beda, bagaimana mungkin ada orang yang bahkan tidak ada hasrat sama sekali untuk melakukan itu? Apalagi perempuan yang jadi korban adalah orang secantik Hani. Sepertinya ada yang salah.

"Hhhh... Hhhh... Itu semua... Karena perlahan kita sadar... Kalo bos udah bener-bener nggak sehat di kepala..." Lanjutnya, yang menjawab pertanyaan di kepalaku.

"Define 'nggak sehat di kepala' kaya gimana" Ucap Bayu menyuruh dia menjelaskan.

"Dia benar-benar terobsesi dengan membalas dendam ke bapak... Dan dia benar-benar terobsesi dengan satu perempuan... Dan cuma perempuan itu yang bisa memunculkan hasrat di dalam dirinya... Bahkan dengan hanya melihat fotonya aja... Bos bisa berdiri keras..." Jelasnya.

"Siapa cewek itu?" Kembali tanya Bayu.

Orang itu tidak menjawab dengan ucapan, tapi dia menjawab dengan menunjuk jarinya kearah kami, dan setelah kuperhatikan arahnya, jari itu menunjuk kepada....




..... Bella.

Namun, Bayu benar-benar tidak main-main dengan ucapannya, dan dia langsung menginjak lengan bawah orang itu begitu kencang, sampai bahkan gagang kursi kayunya patah.

*KRAKKK...*

"AKHAKHHHHHH...." jerit orang itu merasakan sakit yang begitu dalam.

"UDAH GUA BILANG KAN, JANGAN GERAK SEDIKITPUN, LU MASIH NGEBANTAH?!" teriak Bayu begitu kesetanan, namun orang itu masih terus mengerang kesakitan.

"Oke, pertanyan terakhir:" Ucap Bayu sembari menatap kearah orang itu yang juga menatap kearah Bayu tidak berdaya.

"Derrick kan dalang dari ini semua?"

-To be Continued-
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd