Orang tua Pulang ziarah
Setiap hari aku dan Amira rutin melakukan hubungan badan paling banyak 3 kali serta paling sedikit 2 kali dalam sehari. Baik disaat mandi bareng berawal dari sabunan, lalu dilanjutkan ngentot sambil berdiri dengan sebelah kaki Amira di angkat dan aku dari belakang menggenjotnya. Kadang Amira dilantai beralaskan handuk lalu aku menyetubuhinya dengan gaya misionaris, gaya ini paling aku sukai karena lebih dalam kontolku menekan mulut rahimnya.
Saat di dapur ketika Amira sedang memasak, terlebih dahulu aku memeluknya dari belakang, lalu aku bantu adikku memasak seperti sepasang suami istri yang baru menikah penuh perhatian. Sebelumnya aku tidak berani melakukannya meskipun dulu hanya pura-pura memijiti pundaknya saja. Amira langsung mengomeliku dengan bilang nyari kesempatan. Tapi kini Amira diam saja meskipun aku meremas payudaranya.
"Lagi masak apa istriku?" Kataku sambil merangkul pinggangnya yang ramping. Tidak ada salahnya aku memanggilnya istri kerena kami sudah melakukan hubungan selayaknya suami istri.
"Masak tumis toge, kak.."
"Wah! Bagus tuh buat menambah hormon.. kakak bantuin ya?" Kataku menawarkan diri.
"Iya, boleh. Ternyata kakak tau juga ya? toge bisa menambah hormon? Kirain gak tau nutrisi makanan? Hehee!" Ucap adikku menyindir. Kali ini aku tidak menganggap serius ejekannya, malah aku anggap sebagai candaan yang membuat suasana menjadi semakin akrab.
"Kalau masalah vitamin dan nutrisi buat kejantanan mah kakak tahu, dek. Itu sangat penting.. " jawabku sambil mencubit pipinya dengan gemas. Seperti pengantin yang baru menikah aku romantis romantisan dengan Amira. Amira memiliki daya tarik yang sangat kuat, sehingga hawanya itu selalu saja ingin terus berdekatan bahkan selalu menjurus ke arah seksual.
Lalu aku menghentikan sebentar aksiku meremas payudaranya dan memilih membantu membersihkan piring yang kotor di sampingnya. Amira sempat melemparkan senyuman manis kepadaku tatkala aku ikut membantu pekerjaan rumahnya.
Ketika masakannya sudah matang, satu momen yang tidak pernah aku dapatkan semenjak kami pisah kamar adalah Amira menganggap ku benar-benar ada untuknya. Kami semakin lengket dan saling menghargai sejak melakukan persetubuhan itu. Sampai-sampai hal sepele seperti dia meminta pendapatku untuk mencicipi tentang rasa masakannya, membuatku merasa Amira pandai sekali membuat hatiku senang
"Kak, ini cobain masakan aku gimana rasanya?" Ucap Amira menyodorkan sesendok kuah yang sebelumnya dia tiupin terlebih dahulu olehnya.
"Hhmm.. enak sayang. Kamu pandai banget memasak.." kataku sambil membelai rambutnya yang lurus dan hitam. Adikku Terlihat sangat senang dimanjakan seperti itu, sambil tersenyum dia menggeser dari posisinya berdiri agar tubuhnya mendekat denganku.
"Amira tidak pernah sebahagia ini sebelumnya kak, sejak kita melakukan itu, Amira gak mau jauh dari kakak. Amira merasa nyaman didekat kakak." Ucapnya menoleh ke arahku yang berada disampingnya. Amira menjadi semakin manja, padahal adikku ini sudah bukan anak kecil lagi. Dia sudah dewasa. Usianya beda 4 tahun denganku.
"Kakak juga berpikir begitu, dek. Merasakan hal yang sama. Kakak terharu kamu baik sekali sama kakak yang sudah memberikan kakak mahkota berharga kamu. Kakak janji akan berubah demi kamu." Kataku lalu mengecup kepalanya sebagai bentuk dari rasa sayangku padanya.
Rupanya perlakuan spesialku menyentuh hati Amira, setelah masakannya matang dan dimatikan kompornya. Amira membalikkan tubuhnya lalu meraih leherku, "kak, Amira menyesal, kenapa gak dari dulu kita begini? Aku capek kalau ribut terus, kak.." Ucap Amira merapatkan tubuhnya kepadaku. Bibirnya terlihat sedikit menganga lalu berdiri dengan jari kakinya, Amira memegang kedua pipiku lalu diciumnya bibirku beberapa saat. Aku pun semakin menahan pinggangnya agar Amira semakin merapat.
"Iya kakak juga menyesal, sayang. Mungkin ini sudah saatnya kita saling memahami. Belum terlambat kok untuk berubah." jawabku yang langsung mengecup bibirnya. Lalu Amira pun membalas ciumanku lagi hingga terjadilah apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang kakak adik.
Meskipun sedang di dapur. Birahi kami langsung terpancing dengan nafsu yang meluap-luap hingga aku dan Amira melakukan persetubuhan lagi. Lantai yang bersih dijadikan sebagai tempat kami memadu kasih menanamkan benih-benih cintaku. Amira terlihat bahagia ketika aku melepaskan banyak sekali sperma yang mengisi rahimnya. Dia membalasku dengan pelukan hangat serta ciuman yang lembut lalu mengucapkan terima kasih.
Di lain hari ketika di ruang tamu pun saat nonton tv kami melakukannya lagi, Amira duduk di pangkuanku saling berhadapan dengan alat kelamin kami saling menyatu. Tidur pun kami tidak lagi di kamar yang berbeda, aku dan Amira akan tidur bersama. Kami sudah seperti sepasang pengantin baru yang haus akan kehangatan dan nafsu seks yang tinggi. Tidak peduli dengan resiko yang akan menimpa kami berdua, kami akan tetap hidup bersama dan akan terus melakukannya.
Ketika kedua orang tua kami datang. Aku, Amira bertingkah seperti biasanya untuk menghilangkan rasa curiga dari ayah dan ibu. Kami tidak memperlihatkan kemesraan apalagi berhubungan badan. Karena bagaimanapun menurut saya sebagai pelaku incest itu benar, tetap saja dimata kedua orang tuaku salah besar. Demi menjaga nama baik keluarga terutama Amira, kami berdua berusaha menjaga rahasia besar ini.
"Ayah ibu udah datang? Sama siapa? Kok gak ngasih kabar?" Kataku pada ibu lalu membawa barang bawaannya. Padahal dalam hati aku berharap mereka lama berziarah nya.
"Ayah sama ibu dipesanin ojol oleh panitia, di. Tadinya mau menghubungi kamu takut kamu nya lagi sibuk. Kasian nanti adik kamu kenapa-kenapa sendirian dirumah." Jawab ibu yang terlihat kelelahan lalu kami duduk di ruang tengah.
"Gimana? Kamu sama Amira, gak ribut kan?" Tanya ayah kepadaku yang kebetulan Amira pun datang menyuguhkan air minum untuk mereka.
"Tidak, yah. Amira dan kak Ardi baik-baik aja kok. Kalau kak Ardi usil, gak bakalan Amira kasih lagi.." ucap adikku yang membuat kedua orangtuaku kebingungan.
"Di kasih apa Amira?" Tanya ibu penasaran apa maksud dari perkataannya itu. Aku pun sempat kaget. Kok bisa keceplosan begitu.
"Itu... Mmmm.. nasi goreng buatan Amira Bu. Sejak ibu gak ada, kak Ardi minta terus!" Jawab adikku mencari alasan yang membuat ibu dan ayah tidak menangkap maksud omongannya. Namun kedua orang tuaku menganggap tidak terlalu penting ucapan adikku itu.
"Ohh.. kirain apa. Tapi Amira, ibu perhatikan kamu agak berbeda ya? Kayak kurang darah.. iya kan yah??" Tanya ibu meminta pendapat ayah setelah memperhatikan Amira yang berbeda.
"Iya .. memang terlihat pucat. Mau diperiksa ke dokter Amira?" Tanya ayah menyarankan.
"Akh! Gak usah yah. Cuman kurang darah makan daun singkong juga sembuh.." jawab Amira santai.
"Ya sudah, ayah mau istirahat dulu. Cape jalan-jalan terus!" Kata ayah bangkit dari kursi lalu masuk ke kamarnya.
"Amira? Yakin kamu gak apa-apa nak?" Kata ibu memastikan dan merasa khawatir. Naluri seorang ibu memang sangat peka kepada anaknya.
"Beneran Bu. Ibu tidak liat amira sedang bahagia begini? L" Ucap Amira yang menghampiri ibu lalu memeluknya manja.
"Wah! Syukurlah kalau kamu bahagia Amira. Ibu juga ikut senang. Ternyata itu hanya perasaan ibu aja berpikir yang aneh-aneh. Oiya, kamu gak di apa-apain kan sama Ardi?" Tanya ibu masih menginterogasi. Padahal tadi ku kira sudah selesai ibu ngomongnya.
"Di apain apanya Bu? Gak di apa-apain kok. Selama kita berdua di rumah Kakak baik sama Amira.. iya kan kak Ardi?" Tanya Amira kepadaku agar membantu meyakinkan ibu.
"Iya Bu. Ardi gak ngapa-ngapain Amira." Kataku menjelaskan.
Ibu tidak melanjutkan lagi obrolannya yang sebenarnya membuatku takut jika ibu merasa ada sesuatu yang janggal. Untungnya semua baik-baik saja, sampai seminggu setelah orang tuaku ada di rumah. Aku tidak bisa menyetor sperma kepada adikku, karena ibu selalu ada di rumah menonton tv juga duduk di teras depan sebentar lagi masuk ke dalam. Kalau pun aku memaksa untuk melakukannya, bisa saja ibu pulang lalu memergoki aku yang sedang menyetubuhi Amira. Pahitnya aku bisa dipenjara 15 tahunan untuk kasus ini. Akh!
Sedangkan ayah mencari nafkah menjadi tukang cukur di pasar. Buka jam 9 pagi pulang jam 8 malam. Kadang tak menentu jika sedang tidak ramai yang datang atau sedang tidak enak badan. Penghasilan jadi tukang cukur di pasar lumayan besar, sehari ayah bisa mengantongi uang 200 ribu. Saat sedang ramai nyampe juga 500 ribu perharinya.
Jadi aku saat sedang dirumah hanya curi kesempatan saja paling mencium Amira, meremas payudaranya serta meraba belahan memeknya terus bekasnya aku pindahkan ke kontolku.
Adikku hanya tersenyum saja melihat tingkahku yang terlihat lucu dimatanya. Kadang dia suka usil, sengaja memperlihatkan belahan pantatnya setelah mandi dengan mengangkat bagian bawah handuknya sampai pinggul, lalu dia melenggak-lenggok didepan ku terus berlari ke kamarnya sambil tertawa.
Andai saja ibu tidurnya dikamar setiap malam, mungkin aku punya kesempatan untuk bersetubuh dengan adikku. Aku pun baru sadar, sejak kapan kedua orang tuaku jarang tidur bersama. Pernah suatu waktu ketika aku masih di ruang tengah menonton film di tv tabung 24 inchi yang sudah jadul. Ibu keluar kamar dengan penampilan yang berantakan, serta berkeringat. Padahal di kamarnya ada kipas angin. Ibu melewati ku dan menyapaku dengan raut wajah yang datar seperti ada yang dipendamnya, kejadian itu sudah sangat lama, sampai suatu malam terulang lagi momen itu.
"Ardi. Kamu belum tidur? Tumben tidak biasanya kamu gak kelayapan malam?" Sapa ibu kepadaku yang sedang menonton tv. Ku lihat penampilan ibu seperti biasa berkeringat, berantakan dengan kain sarung yang dililitkan di tubuhnya.
"Belum ngantuk Bu. Iya Ardi sedang tak ingin berbaur dengan teman-teman." Jawabku pada ibu yang sebenarnya aku sedang mumet hanya ingin ngentot sama Amira, adikku.
"Tapi sekarang ibu perhatikan kamu sedikit berubah, di. Sudah lebih baik dari sebelumnya. Apa yang membuatmu berubah seperti ini, di?" Tanya ibu yang biasanya ke kamar mandi malah duduk disamping ku. Karena duduknya terlalu dekat, kedua payudaranya ibu terlihat berkilauan diterpa sinar lampu neon yang menerangi ruang tengah. Saking putih dan padatnya urat-urat payudara ibu sampai terlihat menghiasi keduanya.
"Ini semua karena Amira, Bu. Ardi sebagai kakaknya harus memberi contoh yang baik aja. Ngomong-ngomong ibu kenapa? Tiap kita bertemu seperti ini dan terus berulang, ibu terlihat tidak bersemangat?" Tanyaku pada ibu yang sesekali ku lihat ibuku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, seakan menerima atau pasrah dengan masalah yang sedang dihadapinya. Namun ibu selalu tidak memberitahukannya masalah itu dan ibuku hanya menganggap aku belum mengerti terhadap masalah yang di pendam nya.
"Ibu gak apa-apa, di. Ini hanya masalah pribadi ibu dan ayahmu saja.. rasanya aneh jika ibu membicarakannya sama kamu." Keluh ibu yang seperti ditahan perasaan itu.
Namun, tiba-tiba aku seperti mendapat ide gila yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Kesempatan ini, yaitu masalah ibu akan aku manfaatkan untuk mendapat perhatiannya. Aku akan menjadi lebih respek dan menjadi pendengar yang baik untuk ibu.
"Mungkinkah aku bisa menyetubuhi ibuku sendiri? Seperti di cerita-cerita sedarah yang pernah aku baca.." batinku dalam hati sembari melihat lekuk tubuh ibuku yang menurutku lumayan jika di coba.
"Kalau Ardi boleh tahu masalahnya itu ada di ayah atau di ibu sendiri Bu? Maaf kalau lancang, Ardi anak ibu juga tidak tega kalau hanya ibu sendiri yang menanggung derita itu. Kapan-kapan kita saling bercerita dilain waktu ya Bu? Mudah-mudahan beban di hati ibu menjadi ringan dengan berbagi..." Kataku membujuk ibu yang sesekali terlihat menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Sambil tersenyum dan menggelengkan kepala ibu menoleh kepadaku.
"Benar dugaan ibu. Kamu udah beda sekarang udah berubah, di. Lebih mengerti apa yang ibu rasakan. Jangan-jangan kamu salah minum obat ya? Jadi perhatian begini sama ibu??" Ucap ibuku sambil menyentuh keningku dengan bagian belakang telapak tangannya. Dikiranya aku sakit panas atau over dosis gara-gara salah minum obat, sehingga aku dianggap gangguan jiwa. Akh! Parah nih ibuku!.
"Lha?! Emang ibu gak tau dari dulu Ardi perhatian lho sama ibu? Ibu gak merasa emang?" Mulai aku menggoda ibuku yang masih tetap teguh pada prinsipnya jika pada diriku ada yang aneh.
"Nggak! Kamu sering melawan omelan ibu. Mana mungkin kamu perhatian sama ibu? Kalau dikasih tau malah ngelawan ibu.. Terus kamu susah di nasehatinnya kalau jangan main kelayapan malam sama teman-teman mu itu." Keluh ibu panjang lebar mengatakan sebagian dari beban masalahnya itu kepadaku.
Aku sempat merenungi apa yang barusan dikatakan ibu ternyata ada benarnya juga. Aku terlalu mementingkan kawan-kawan ku yang selalu menemani mereka mabuk-mabukan. Sehingga ibu mengira aku tidak memperhatikannya.
"Iyaa Ardi salah, selalu menyusahkan ibu. Ardi paham sekarang Ardi tidak memperhatikan ibu. Maafin Ardi ya Bu? Ardi menyesal, Ardi akan berubah mulai hari ini." Kataku yang langsung memegang tangannya lalu menciumnya. Tangan ibu mengusap kepalaku lalu ibuku berkata dengan lembut.
"Gpp. Manusia pasti berubah, di. Ibu senang sekali kita sudah lama tidak mengobrol seperti ini. Rasanya beban dipikiran ibu sedikit terasa ringan ada kamu yang mendengarkan" ungkap ibu yang terlihat mulai tenang.
"Sama Bu. Jika ibu berkenan dan ada kesempatan untuk curhat. Ardi siap berbagi masalah dengan ibu, intinya Ardi ada di pihak ibu.." Mulai aku menggoda ibuku sedikit demi sedikit.
Ehh.. ibu malah mencubit hidungku sambil tertawa ibuku berkata tanpa melepaskan cubitannya.
"Kamu Ardi. Dari mana kamu belajar merayu ibu? Heh! Dasar anak nakal. Bukannya sama pacarnya malah ibunya juga yang di godain. Ardi... Ardi...! Kamu lucu." Kata ibuku menggeleng kepala sambil tersenyum manis.
"Emang rayuanku gak mempan ya, Bu? Padahal udah mati-matian itu. Tapi kena dong sedikit di hati ibu? Hehee!" Jawabku sambil nyengir menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Hmmm...
Menyentuh sih dikit!
Astaghfirullah ardi! Ibu lupa belum bersihin mem.." kata ibu tidak melanjutkan omongannya sambil pergi ke arah kamar mandi. Sekilas aku lihat bagian pantat ibu basah, tapi bukan air namun seperti lendir.