lanjutan-------------------------
“Tung..”
Pukul 21 malam lewat beberapa menit BBM di hp-ku bergetar tanda ada notifikasi baru. Aku memang lebih suka menyetel hapeku dengan getar saja. Nada dering termasuk hal yang norak menurut persepsiku.
“Kamu jahat, Kang” begitu tulisan di BBM ku. Ku perhatikan pengirimnya. Ani.
“What…?? Hellow…ada apa bu?” segera ku balas chat itu dengan nada sedikit becanda. Agak lama aku menunggu sampai hp ku bergetar kembali.
“Kamu tadi nyentuh bagian sensitifku”
Deg….masa sih? Setahuku tangan kananku memegang betis kirinya dan tangan kiriku memegang telapaknya. Aku duduk bersila. Jadi bagian mana tubuhku yang menyentuhnya? Lebih baik ku diamkan BBM itu tanpa ku balas.
Ku perhatikan ternyata hamper semua orang telah tidur di rumah ini, termasuk istri dan anakku di kamar depan. Aku yang memang tidak terbiasa tidur bila bukan di rumahku segera beranjak untuk pulang ke rumah yang jaraknya sekitar 500m dari rumah mertua.
Baru saja aku menghidupkan motor matic ku, tiba-tiba Ani muncul di pintu.
“Kang, mau kemana?”
“Mau pulang. Ngantuk”
“Aku ikut, bisa?
Wow. Aku langsung serasa terbang. GR
“Mau BAB. Itu toiletnya di belakang mampet. Yang di samping gak ada pintunya”
Oh. Mau BAB toh. Aku kira ada apa.
“Ya udah. Ayo.”
“Tungguin aku pake jilbab dulu”
Tidak beberapa lama dia muncul dengan mengenakan jaket casual dan jilbab kecil untuk menutupi rambutnya yang panjang sebahu. Iparku ini bukan orang yang terlalu ketat menerapkan aturan keyakinannya sehingga dia mengenakan jilbab hanya untuk bepergian saja.
Kami tiba di rumah mungilku. Baru saja membuka kunci rumah, Ani langsung nyelonong ke toilet. Mungkin sudah sangat kebelet. Sekitar limat menit kemudian dia sudah selesai menunaikan hajatnya. Aku sudah menyiapkan teh hangat di meja. Kami duduk terdiam dalam lamunan masing-masing. Hingga akhirnya Ani mulai bersuara.
“Tadi kamu pegang betisku. Itu sensitif banget” kata Ani. Aku jadi ngeh, kalau betis termasuk titik rangsangnya.
“Ya, maaf toh…aku kan gak tau” ucapku membela diri.
“Tapi kalo udah begini kan repot. Mana papanya Faqih udah tidur, lagi” Ani sewot. Kami kembali terdiam. Dalam diam kami yang entah berapa lama itu aku serasa mendengar dengusan nafasnya yang berat. Entah iblis dari mana yang merasukiku hingga aku kemudian mengajaknya berbincang yang justru semakin membakar syahwatnya.
To be Continued.....