PART 5: Revelations
Aku termenung bersandar di samping mobilku sambil menghisap rokok yang baru saja kubakar. Aku memilih untuk memarkir mobilku di pojokan, jauh dari keramaian wota-wota yang berkerumun. Hari ini terasa panjang, tapi setidaknya rasa rinduku sudah terpuaskan.
“Boleh pinjem korek?”
“Vin?” Viny menghampiriku, sebatang rokok sudah berada di antara telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Ia sudah mengenakan pakaian biasa, kaos putih longgar dengan celana denim khaki.
“Eh, aneh ya? Hehe.”
“Engga sih, gak takut diliatin orang?”
“Engga, lagian di sini sepi.”
Aku menawarkan korek yang kuambil dari kantong celanaku. Viny menyalakan rokoknya dan menghisap beberapa kali, memastikan rokok itu benar-benar menyala dengan sempurna. Bisa dipastikan Viny sudah lama merokok dari caranya membakar rokok.
Aku hanya bisa memandanginya, lalu ia mengembalikan korekku.
“Kenapa? Aneh ya liat member ngerokok?”
“Kaget aja Vin. Gak nyangka aja.”
“Gue ngerokok udah lama kok.”
“Manajemen tau?”
Dia hanya mengangguk sambil menarik hisapan panjang dari rokoknya.
“Pfuhhh…” Bau rokok menyengat ini terasa kontras keluar dari parasnya yang cantik. “Berarti lu fans ya?”
Aku spontan mengangkat alisku. “Iya gue fans. Lu gak takut gue sebarin ini?”
“Lu butuh bayaran buat tutup mulut?”
“Gue nanya doang. Lagian gue bukan tipe fans kaya gitu.”
Viny menatap mukaku lama. “Gue kaya pernah liat lu, dimana ya?” Katanya sambil mengacungkan rokoknya ke arahku.
“Pas HS kali.”
“Bukan, di luar HS juga gue sering liat lu.”
Viny kembali menghisap rokoknya. “Oiya, lu pacarnya Aya kan, yang sering dipanggil ‘kakak’ itu, siapa, Jerry?”
Aku menyembunyikan rasa terkejutku. “Pacar?”
“Iya. Lu sering anter jemput Aya kan.”
“I-iya sih, tapi…”
“Udah, aman kok.”
Aku bingung. Sejak kapan aku menjadi pacar adikku sendiri?
“Gue bakal tutup mulut asal lu gak bego. Lu sebagai fans harusnya tau kan.” Viny seakan menyindir dirinya sendiri.
“Bentar! Kayanya ini salah paham. Lu dapet kabar darimana?”
“Lah, Aya sendiri kok yang bilang. Apa lu gak nganggep dia?”
Aku terkejut lagi. Kali ini tidak dapat menahan ekspresi wajahku yang kebingungan.
“Vin! Gue emang kakaknya Aya! Mungkin bukan kakak kandung, tapi gue emang dari kecil udah bareng sama dia.”
Kali ini berbalik Viny yang terlihat kebingungan. Rokok di mulut Viny tak jadi dihisapnya.
“Gue anak pungut tapi gue sayang sama keluarga gue yang sekarang. Termasuk sama Aya.”
Viny menjetikkan rokoknya dan membuang abu yang menggantung dari ujung rokok itu.
“Oke. Anggep aja gue percaya sama lu. Intinya gue minta lu jagain Aya, dia butuh support, bukan gombalan semu. Abis ini Yona bakal last show duluan dan kapten bakal balik ke gue, jadi udah tanggung jawab gue buat jagain anak tim.”
“Iya gue bakal jagain Aya terus kok.”
Viny tersenyum, ia membuang rokoknya. “Gak usah tegang dong, baru digertak dikit doang.”
“Yaelah Vin, coba lu dituduh jadi pacarnya adek lu sendiri, ya tegang lah.” Aku membuka bungkus rokokku dan menawarkan Viny sebelum mengambil sebatang untuk diriku sendiri.
“Gue juga sebenarnya kesini buat ngomongin satu hal lain. Yupi.”
Aku tak jadi menyalakan rokok yang sudah berada di antara kedua bibirku ini.
“Gak usah kaget. Yupi udah cerita malem itu juga.”
Viny mencabut rokok dari mulutku. Yang menempel di bibirku kini adalah bibir Viny. Kami mulai berciuman. Kami saling melumat bibir, rasa dan aroma rokok yang biasanya membekas tak bisa mengalahkan rasa manis bibir Viny.
Viny melepaskan ciumannya. Bibirnya menuju ke telingaku, sementara tangannya mengelus selangkanganku. “Mobil lu, sekarang.” Bisiknya.
Tak usah disuruh dua kali, aku langsung membuka kunci pintu mobil. Kami berdua masuk ke kursi tengah. Viny mendorongku untuk berbaring dan kami lanjut berciuman. Lidah kami tak mau ketinggalan.
“Buka semua ya.” Viny melepas pakaian yang dikenakannya satu per satu, aku juga melakukannya. Mataku tak berpaling dari Viny, bagaimana ia dengan anggunnya melepas bajunya meski dalam situasi sempit seperti ini, lalu kulitnya yang putih mulus perlahan terungkap dibalik pakaiannya itu. Bra Viny dilepasnya, dan payudaranya yang ternyata lebih besar dari dugaanku pun nampak jelas di mataku. Penisku menegang sendiri, Viny kemudian melepas celana dalamnya. Vagina Viny tampak sangat rapat dengan bulu-bulu yang sepertinya ia rawat sehingga tidak lebat.
“Vin, lu sebenernya mau ngapain sih?” Aku masih bingung, rasa penasaranku tak terpenuhi. Semua ini terjadi terlalu cepat.
“Gue penasaran. Yupi cerita kalo lu enak banget.” Setelah menjawabku Viny langsung mengocok penisku yang sudah menegang melihat Viny yang telanjang bulat.
“Eh tunggu, Yupi cerita apa?” Aku menarik diri tapi tak berguna karena sudah tak ada tempat untuk mundur lagi.
“Banyak tanya deh. Yupi tuh hyper. Udah sering main sama cowo, sama cewe juga, dan jarang banget yang bisa muasin dia, dan lu salah satunya.” Viny mulai mengocok penisku pelan, tangannya terasa sangat halus, jari-jarinya lihai bermain di penisku. Bisa dipastikan Viny sudah berpengalaman.
“Kalo Yupi aja puas, gimana gue.” Viny menghentikan kocokannya dan langsung melahap penisku. “Hmmph…” Mulut Viny penuh, kepalanya digoyangkan naik turun sambil menghisap penisku kuat-kuat. Gila! Aku dioral oshiku sendiri.
“Ahhh… Vin…” Aku belum siap menghadapi permainan mulut dan lidah Viny.
“Pahhh…” Viny melepaskan mulutnya dari penisku. “Langsung aja ya, gue udah basah. Waktu kita juga dikit.”
Viny beranjak menunggangiku sementara aku memposisikan diri agar lebih nyaman berbaring di kursi belakang mobilku yang tidak terlalu lebar ini.
Tanganku memegangi pinggang Viny, dia lalu menggesek penisku dengan vaginanya yang ternyata memang sudah basah.
Slebb…
“Mmhh…” Viny menahan desahannya sambil menggigit bibir. Aku merasakan tiap sudut vagina Viny menjepit penisku erat-erat. Ia mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun, badannya condong ke depan, tangannya menumpu di dadaku. Aku masih terpana.
“Ahh… sshhh… lu gede banget sih Jer.” Viny sekarang bergoyang memutar dan menyamping.
“Ohh… ini mah… lu yang sempit Vin…” Tangan kananku kini meremas payudara kiri Viny dan memainkan putingnya yang kecil.
“Pantess… ajahh… ahh… Yupi nyariin lu mulu… sampe coli juga mikirin lu… mmh…”
Aku beranjak duduk lalu menjilati dan menghisap puting Viny bergantian. Viny mempercepat goyangannya. Lengannya dilingkarkan di leherku, tangannya menarik kepalaku ke dadanya.
“Auhh… Ahh… Mmmh…” Desahan Viny tak lagi ditahannya, entah mobil ini cukup kedap suara atau tidak untuk meredam desahannya yang keras.
“Ngghh… Gue keluar… Aaaaaaahhhh!” Sekujur tubuh Viny menegang, ia menghentikan gerakannya dan membiarkan penisku masuk dalam-dalam menyentuh mulut rahimnya. Kurasakan penisku tersiram cairan hangat. Mulut Viny menganga, matanya terpejam menikmati tiap detik orgasmenya.
“Ayo Vin… hah… hah… gue dikit lagi…”
Setelah orgasme Viny reda, ia mencabut penisku dan mulai mengocoknya lagi di depan mukanya, lidahnya menjulur menyentuh kepala penisku. “Tenang aja, gue gak akan bikin lu kentang.”
Penisku dijilati Viny sambil ia mengocok penisku semakin cepat. “Vin… Nggh…” Aku memegangi kepala Viny, Viny kini kembali mengulum penisku, lidahnya menjilati tiap jengkal penisku dari dalam mulutnya. Aku tak dapat menahan lagi.
“Vin! Aaahhh…” Crot crot crot crot
4, 5, 6 kali spermaku menyembur di dalam mulut Viny. Viny menelan spermaku, lalu menghisap sisa-sisanya dari penisku.
Aku kembali terbaring, napasku ngos-ngosan. Kulihat Viny sedang mengelap tubuhnya dengan tisu yang ada di mobilku.
“Gue akuin, gue gak pernah orgasme sehebat tadi.”
“Lu udah sering Vin?”
“Iya, dulu waktu kena… ya lu tau lah, skandal itu.”
“Lu juga enak banget Vin, gue gak nyangka bisa ngentot sama oshi sendiri.”
Viny berhenti. “Serius?”
Aku mengangguk. “Dari lu masih trainee. Lu oshi pertama gue, dan gak pernah ganti.”
“Makasih ya.” Nada Viny berubah lembut, seperti sedang berada di atas panggung atau di bilik handshake. Viny lalu menyodorkan hapenya ke mukaku. “Tulis nomer lu.”
Aku mengetikkan nomerku di hape Viny dan mengembalikannya. “Nanti gue telpon, lu save nomer gue juga ya.”
“Kok… tapi kenapa?”
“Gue butuh orang yang udah tau aslinya gue tapi tetep support gue di sisa waktu sampai last show nanti. Mungkin buat setelah gue bener-bener grad juga.” Viny tersenyum kecil. Senyum yang kukenal selama ini. “Or maybe I’m just addicted to you.”
“Gimana pun, gue bakal nyari lu kok. Thanks again.” Kata Viny sembari membuka pintu dan berjalan keluar dari mobilku.
Aku buru-buru membersihkan tubuh dan interior mobil sebisaku. Aku bergegas masuk ke dalam gedung. Masih sempat, pengumuman baru dimulai. Aku menyaksikan satu per satu peringkat disebutkan, lalu peringkat ke-4. Nurhayati. Aku sendiri tak percaya, adik kecil manjaku itu bisa menempati posisi yang cukup tinggi, bahkan melebihi oshiku sendiri. Acara kemudian berjalan seperti yang kalian tau. Peringkat 3 sampai 1 diumumkan, diikuti sorakan wota-wota yang kegirangan. Aku menunggu Aya pulang, siapa lagi yang akan mengantarnya pulang.
Aya menghampiri mobilku, kulihat ia berjalan keluar dari dalam gedung. Ia mendekat, senyum lebarnya makin terlihat ketika ia memasuki mobil.
Aku tak bisa menahan senyumku sendiri melihat Aya begitu bahagia. “Selamat Ya!” Aku menyambutnya dengan pelukan. Aya membalas pelukanku.
“MAKASIIH KAKAAAK! AKU SENENG BANGET TAU GA SI…”
“Ssst… udah malem ih, kamu ribut banget.”
“Ya kan lagi seneng, lagi bahagia gitu.” Aya mengendus-endus tubuhku yang masih dipeluknya. “Ih kakak bau, gak mandi ya?”
“Enak aja.” Aya melepas pelukannya.
“Yaudah ayo pulang.”
Indahnya senyum manismu~
Dalam mimpiku~
Hapeku berdering. Ya, Suzukake Nanchara adalah nada deringku. Kenapa? Karena sebelum kejadian malam ini aku tak pernah menyangka bisa mengenal Viny sedekat ini, dan melakukan… ya kalian tau sendiri lah, hehe.
“Angkatin dulu dong.” Kataku sibuk mengemudikan mobil. Aku menyerahkan hapeku kepada Aya.
“Nomer doang kak. Aku loudspeaker aja ya.” Aya mengaktifkan loudspeaker lalu mengangkat panggilan itu.
“Halo.”
“Halo, siapa?” Jawabku.
“Viny, save nomer gue ya. Bye.” Telpon terputus.
Aya menatapku heran. “Kak?”