Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
PART 21: Love of My Life

Well, well, well.


"Where... am I?"


You're clueless again... how typical of you.


"Just tell me!"


How shall I put this together, hmm?


"I am in one of those dreams again, am I?"


Right now? Technically, yes. But you are not sleeping.


"I am not sleeping?"


See, you got no clue at all...


"Just explain!"


Well, you're fully awake right now.


"And?"


This is all in your head. You're daydreaming.


"How?"


This is getting old, good sir. Feel that sensation between your legs?


Suara itu perlahan memudar, menggema di dalam otakku detik demi detik sebelum akhirnya aku tersadar.


Uap...


Shower...


Air hangat...


Jinan?


*


Sensasi guyuran air shower yang hangat membasuh tubuh telanjangku. Napasku berat, tertahan sosok Jinan yang sedang kupeluk dari belakang dan tubuhnya kudorong ke dinding. Kedua tanganku tengah meremas-remas payudara Jinan yang padat. Kedua paha Jinan mengapit penisku yang sudah tegang karena kugesek-gesekkan di bibir vaginanya. Sekujur tubuh Jinan gemetaran. Matanya tertutup, entah karena siraman air shower di wajahnya atau takut menatapku. Dengan sangat pelan-pelan kugesekkan kembali penisku di sepanjang bibir vaginanya yang tebal, membuat paha Jinan menegang dan menutup selangkangannya sehingga penisku makin terjepit.


"Nnggghhh..." Jinan menahan desahannya sendiri, bibir bawahnya ia gigit erat sementara matanya tertutup. Satu tangannya menumpu di dinding, yang satu lagi sedang berusaha menarik tanganku dari payudaranya.


"Kak... jangan, please..." Ujar Jinan pelan.


"Mmmhm? Mmmh..." Kubalas permintaan Jinan dengan menciumi lehernya. Rangsangan halusnya kulit Jinan pada bibirku membuatku ketagihan. Kembali kugesekkan penisku di vagina Jinan yang memang sebelumnya sudah basah.


"Ahh...kak... ngghh... Jer..." Jinan melepaskan cengkeramannya di pergelangan tanganku.


"Iya, Nan?" Bisikku di telinganya yang kemudian kuemut.


Mata Jinan masih terpejam, ia mengerutkan dahi mencoba menahan rangsangan yang kuberikan.


"Kak... stop... udah, kak..." Jinan kelabakan dan napasnya tak beraturan, semakin jelas saat ia berbicara.


"Stop apanya?" Tangan kiriku melepaskan payudara Jinan dan berjalan turun menyusuri perut dan pinggulnya hingga sekarang berada di selangkangan Jinan.


"Nggghh... ini..." Jinan menggigit bibir bawahnya, entah sadar atau tidak, pinggulnya kini bergerak untuk mencari dan menggesekkan vaginanya dengan penisku.


"Ini?" Kupilin puting Jinan bersamaan dengan klitorisnya sementara penisku semakin dalam dan cepat meraba-raba bibir vaginanya.


"Ahh!" Jinan akhirnya tak kuasa menahan desahannya sendiri. Tubuhnya menggelinjang karena semua rangsangan yang kuberikan.


"Hahhh... ahhh... kak Jer!" Jinan mencoba menarik tanganku dari selangkangannya yang malah membuatku semakin cepat memainkan klitorisnya.


"Kenapa, Nan?" Kudorong penisku masuk sedikit lagi hingga dihentikan selaput dara Jinan.


"Ahhh... ssshhh... jangan..." Gerak pinggul Jinan bertentangan dengan apa yang ia katakan. Kepala penisku digesek-gesek di dalam vagina Jinan mengikuti goyangan pinggulnya.


Perlahan ciumanku turun dari telinga ke leher, lalu pundak dan kemudian ke punggung Jinan. Sensasi lembutnya kulit tubuh Jinan di bibirku membuatku semakin bernapsu.


"Aahh..."
"Ahhh..."


Desah kami bersamaan.


"Kak... please..." Ucap Jinan pelan. Ia membuka mata dan menoleh ke arahku sambil menggigit bibir bawahnya.


"Iya?" Kubalas tatapan Jinan tanpa sedikitpun menghentikan gerakan pinggul dan jariku.


"Aaahh... ahh... mmmhhh..." Jinan makin tak bisa mengontrol dirinya, pergelangan tanganku kembali digenggamnya tapi alih-alih menarik dan menghalau, Jinan malah mendorong tanganku untuk lebih memainkan klitorisnya.


"Aakkkhh... nggh... ahh... kak Jer..." Mulut Jinan sedikit terbuka sambil menatapku pasrah, wajahnya merah semerahnya.


Kupilin klitorisnya dengan cepat hingga kemudian tubuh Jinan mengejang.


"Aaah... ooohh... fuuuck kak Jer aaaaahhh mmmhh!"


Jinan menyambar bibirku bersamaan dengan orgasmenya. Kami berciuman sementara tubuhnya gemetar hebat, penis dan jariku dibasahi cairan orgasme Jinan.


"Nan... mmh..." Jinan melumat bibirku dengan liar seraya ia menikmati orgasmenya ini. Di tengah-tengah cumbuan ini ia berbalik arah menghadapku, kedua lengannya dilingkarkan di leherku.


Kuangkat kedua paha Jinan dan menggendongnya keluar kamar mandi sambil tetap berciuman. Kurebahkan Jinan di atas kasur dan aku di atasnya. Tubuh kami berdua yang baru saja keluar dari shower segera membasahi sprei kasurku. Kulanjutkan mencumbu bibir Jinan yang masih menutup matanya sejak tadi.


"Mmmhh... clp... clp... nggh... kak..." Jinan mendorong pundakku dan bibir kami terpisah. "Bentar... ambil napas dulu."


Aku tersenyum memandangi wajah Jinan yang sekarang sedang ngos-ngosan karena ciuman dan orgasmenya tadi.


"Tadi katanya stop, jangan." Ucapku sambil tertawa kecil.


"Huft..." Jinan tersenyum. "Aku sok kuat... aku selama ini denial sama perasaanku sendiri. Tapi sekarang aku sadar... To love at all is to be vulnerable."


Kubalas senyum Jinan, kedua lengannya kembali melingkar di leherku. Mataku ditatapnya dalam-dalam, lalu setetes air mata jatuh dan mengalir di pipinya. Jinan lalu menarik kepalaku mendekat dan kami bercumbu kembali, kali ini dengan sangat pelan namun tak kalah panas dengan sebelumnya. Kami terhanyut hingga tak tahu sudah berapa lama saling berpagutan mesra.


"Clp... clp... clp..."


Decak bibir kami adalah satu-satunya suara di dalam kamarku saat ini. Sensasi lembut bibir Jinan membuatku tak bosan-bosan melumatnya, Jinan juga membalas ciumanku, sesekali pula lidah kami saling mencari.


"Chup..." Kutarik bibirku dari bibir Jinan dengan satu kecupan terakhir.


"Hah... hah... hah..."


Kami sama-sama kehabisan napas. Jinan kembali tersenyum menatapku yang sedari tadi masih setengah menindih tubuhnya.


"Inget ga, Nan?"


"Inget apa?"


"Dulu... lo minta diajarin sesuatu."


Jinan memalingkan wajahnya dari tatapanku, pipinya memerah karena mengingat apa yang kumaksud.


"Masih mau diajarin?"


Jinan melirikku dari samping dan mengangguk kecil, wajahnya makin memerah.


Mendapat persetujuan seperti itu, aku langsung menyambar leher Jinan yang Kukecup sembari perlahan turun ke tulang selangka lalu bongkahan dadanya. Kupijat dan kukecup pelan kedua payudara Jinan sebelum akhirnya aku melahap putingnya.


"Ahhh... kak... ahhhh..." Jinan tak lagi menahan desahnya. Ia menggeliat menikmati isapan dan jilatanku pada putingnya sambil rambutku dijambaknya pelan.


Ciumanku kian turun dari payudaranya yang tetap kuremas hingga sekarang ke perut lalu ke pahanya yang montok itu.


"Ehhh! Mmh... kak ngapain?! Uhh..." Jinan melenguh saat aku mulai menciumi paha bagian dalam dan kemudian selangkangannya.


Tak kujawab pertanyaan Jinan. Kini kepalaku sudah berada di antara kedua pahanya. Vagina Jinan benar-benar berada tepat di depan batang hidungku. Jinan semakin gelisah saat wajahku semakin dekat dengan vaginanya. Aku mulai dengan mengecup bibir vagina Jinan pelan sambil mengusap pinggul dan perutnya agar Jinan tak terlalu tegang dan menikmati perlakuanku. Kujulurkan lidahku ke klitorisnya dan mulai menjilat.


"Aaaahh... kak! Ahhh! Enaaak..." Jinan kembali menjambak rambutku, kini sedikit lebih kencang.


Tanganku kembali ke payudara Jinan dan memilin kedua putingnya sementara jilatan dan isapanku di vaginanya semakin kencang.


"Kak! Aaahh ahhh aahhhh... nggghhh aku keluar! Ahhh..." Jinan mengangkat pinggulnya, reflek kujauhkan wajahku dan duduk di hadapan Jinan yang tengah orgasme lebih lama dari sebelumnya. Cairan orgasme Jinan merembes di bibir vaginanya dan menetes ke sprei.


"Hah... hah... hah... hah..." Jinan memegangi payudaranya sendiri sambil masih kehabisan napas dan menikmati sisa-sisa orgasmenya tadi.


Kutarik tubuh Jinan mendekat hingga penisku kini mengacung tegak di depan vaginanya.


Jinan masih terkulai lemas, ia menatapku nanar, pandangannya berpindah dari wajah ke penisku lalu kembali lagi.


Kutuntun penisku hingga menyentuh bibir vagina Jinan.


"Nan?" Aku menoleh dan menatap wajah Jinan.


Jinan tak menjawabku, ia hanya balik menatap mataku dengan sayu lalu mengangguk.


Pelan-pelan kumasukkan kepala penisku hingga kembali menyentuh selaput dara Jinan. Kutoleh kembali wajahnya, Jinan masih memandangiku namun kini napasnya semakin memburu, sama sepertiku.


"I want you, kak Jerry." Ujar Jinan lirih lalu kemudian menutup matanya, menahan sakit yang ia tahu akan datang sebentar lagi.


Kutarik napas dalam-dalam dan kulihat situasiku saat ini. Aku sedang akan mengambil perawan teman adikku yang sudah lama memendam rasa dan birahinya padaku, sementara di sisi lain rumah ini ada adikku yang sama sekali tak tahu kelakuan bejat kakaknya.

ME8VTF_t.jpg


Jinan yang telanjang bulat kini terlentang dan mengangkang di depanku. Aku menelan ludah melihat indahnya tubuh Jinan yang tak berbusana. Tak bisa lagi aku menahan diri untuk mencicipi tiap jengkal tubuhnya. Kudorong penisku masuk perlahan.


"sssshh..." Jinan meringis, kugenggam kedua tangannya dan berusaha menenangkan Jinan.


"Fuuck... Nan lu... aah..." Kurasakan penisku menembus selaput daranya sehingga kini sebagian penisku sudah berada di dalam liang kenikmatan Jinan. Orang pertama yang melakukannya.


"Hahhh... ahhh..." Jinan terbelalak, tanganku reflek diremasnya. "Hahh... penuh banget..."


"Lo yang... ahhh sempit, Nan..." Aku diam untuk beberapa saat lalu menarik penisku keluar dan kemudian masuk lagi pelan-pelan lebih dalam berulang kali hingga akhirnya penisku sudah terbenam di dalam liang senggama Jinan.


Jepitan vagina Jinan semakin rapat makin aku memasukinya. Kulepas tangan Jinan dan memegangi pinggangnya.


"Ahh... Nan... gua goyang ya..." Kataku sambil langsung memaju-mundurkan pinggulku, tak menunggu persetujuan Jinan lagi.


"Iy-... ahhhh ahh ahh..." Jinan mendesah di tiap sodokan penisku ke dalam vaginanya. Sesekali ia menengok ke bawah seperti penasaran apa yang terjadi di sana, lalu Jinan kembali menatapku.


Ahh... ahhh ahhh kak Jer! Teruss!" Pinta Jinan.


Menyadari Jinan tak lagi merasakan sakit, kupercepat tempo permainanku sedikit demi sedikit. Tak sejenakpun aku berhenti menggenjot Jinan, pinggulku seakan bergerak sendiri.


"Ngggh... ahhh ahhh ahhh ahhh!" Wajah Jinan kembali memerah bersamaan dengan desahannya yang makin keras. Jinan menggigit bibir bawahnya.


"Ahh... hahh... ahhh, Nan... gila lu... ahhh..." Racauku yang sudah kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. Kubelai rambut Jinan lalu dengan setengah menindih tubuhnya kami berciuman.


"Ahhh... clp... clp... ahh... clp... hahh... mmmhh..." Jinan mendesah di tiap sela kuluman bibir dan permainan lidahnya. Pipiku dirabanya lalu kedua lengannya dilingkarkan di leherku.


Kami berciuman penuh napsu sedang genjotanku semakin kupercepat.


"Clp... hahhh... hahhhh... ngghh aaahhhh kak Jerry!" Jinan melepas ciuman kami lalu menarik dan memelukku erat. Tubuhnya menegang dan bisa kurasakan penisku tersiram cairan kenikmatan Jinan. Kuhentikan genjotanku dan kutarik penisku keluar perlahan.


Plop!


Suara penisku yang akhirnya keluar dari vagina Jinan.


"Aahhh... hahhh... enak banget... lebih enak daripada mimpi." Ujarnya tepat di telingaku.


"Lo mimpiin gua, Nan? Mimpi basah? Nakal banget lo..." Balasku di telinga Jinan.


Kulepaskan diriku dari pelukan Jinan dan kembali berlutut di posisi missionary tadi. Penisku masih tegak setegaknya bersandar di paha Jinan yang wajahnya masih merah karena orgasme tadi, mungkin juga karena malu karena dia ketahuan memimpikanku.


"Di mimpi itu... kita pake gaya apa?" Tanyaku menggoda Jinan.


"Bego! Malah nanyain..." Jinan tak berani menatapku, ia malah memainkan jarinya. "Aku... nungging..."


Alisku naik dan aku tersenyum. "Doggy maksudnya?"


"Hah? Do-... apa?" Jinan kebingungan dengan istilah yang baru kusebut.


"Ya itulah... mau reka ulang mimpinya ga?" Senyumku makin lebar. Tanpa menunggu jawaban Jinan langsung saja kutarik dan kuputar pinggulnya agar menungging di depanku.


"Eh eh! Kak Jer ngapain?!" Protes Jinan yang tidak mencoba melawanku entah karena lemas atau memang masih denial.


Tanpa basa-basi langsung kutuntun penisku masuk kembali ke vagina Jinan yang masih sangat becek.


"Aahhhh... gede banget... penuh banget kak..." Puji Jinan yang sekarang bertumpu dengan siku dan lututnya di atas kasurku.


"Gimana? Udah mirip?" Tanyaku yang hanya dibalas anggukan lemas dari Jinan.


Kuremas bongkahan bokong dan pahanya yang montok itu. Tanganku kemudian mengenggam pinggulnya lagi sebelum akhirnya aku mulai bergerak bersenggama dengan Jinan dalam posisi doggy ini.


Plok plok plok plok plok


"Ahhh ahhh ahhh ahhh ahhh."


Bermenit-menit kugenjot Jinan yang hanya bisa mendesah keenakan menerima hujaman penisku. Desahannya bersahut-sahutan dengan suara hantaman pahaku ke bokong Jinan yang kata orang merupakan aset utamanya itu. Tubuh kami yang basah kuyup karena air shower kini sudah berganti basah karena keringat hasil permainan kami sedari tadi.


"Ahhh... iyaa... gituu, teruuus! Ngghh ahhh ahhh ahh..." Racau Jinan yang sekarang sudah tak lagi bertumpu dengan sikunya, ia menoleh ke belakang dan menatapku penuh napsu.


"Ooh, Nan... ahhh enak banget lo ahhh..."


Plak plak


Kutampar bokong Jinan beberapa kali lalu kucondongkan badanku ke depan. Dengan satu tangan kuremas payudara Jinan sementara tangan satunya kuselipkan di selangkangannya yang basah. Bersamaan dengan genjotanku, kini aku juga memilin puting dan memainkan klitoris Jinan.


"Aaaahh... nggghh... ahhh ahhh ahhh ahhh... kak! Sumpaaaah... mimpi aku... ahhh... jadi beneran." Jinan semakin meracau, ia tak cukup kuat menghadapi semua rangsangan yang aku berikan.


"Sssshhh sempit banget... ooh gue mau keluar... aaahhh..."


Plok plok plok plok


Kembali kupegangi pinggul Jinan dan kupercepat hujaman penisku ke vaginanya yang masih tidak berubah rapatnya.


"Aaahh... kak jangan cepet gitu-... aaaahhhhh nggghh!" Jinan orgasme kembali, ia mendesah hingga hampir berteriak sampai harus menggigit bantal.


"Ooh, Nan! Memek lo... Aaaaah!" Penisku kembali merasakan hangatnya cairan orgasme Jinan bersamaan dengan vaginanya yang berkedut seakan mengisap penisku. Kucabut penisku tepat waktu.


Crot crot crot crot crot.


Entah berapa kali semburan spermaku yang keluar dan mendarat di bokong dan punggung Jinan. Yang kutahu pasti kali ini lebih banyak dari saat aku ejakulasi dengan Mira tadi. Setelah menyeka spermaku di tubuh Jinan, Kurebahkan diri di sampingnya yang kini sudah tengkurap sedangkan aku terlentang, kami sama-sama ngos-ngosan.


Jinan bangun dan beranjak dari kasurku setelah entah berapa menit kami hanya berdiam diri.


Plak!


Sebuah tamparan pelan mendarat di pipiku, lebih untuk menyadarkanku dari lamunan daripada untuk menyakitiku.


"Aku baru konser malah dibikin makin capek!"


Plak!


Kali ini tamparan Jinan sedikit lebih sakit.


"Aku lagi mandi malah dinakalin! Harus mandi lagi nih!"


Aku menutup mata dan bersiap untuk tamparan ketiga tapi tidak ada tamparan yang menyusul, Jinan justru mengecup pipiku lalu kemudian bibirku.


"Makasih, kak. Makasih untuk malam ini, makasih udah buat aku jadi wanita sepenuhnya, makasih untuk semua yang kakak pernah lakuin buat aku..." Jinan tersenyum manis sekali saat aku akhirnya membuka mataku. "Makasih udah jadi kak Jerry."


Aku tak bisa menjawab Jinan. Kupandangi wajahnya yang tersenyum bahagia. Ia kemudian berjalan kembali ke kamar mandiku.


"Jangan diganggu lagi!" Katanya sesaat sebelum menutup dan mengunci pintu kamar mandi.


Berhubungan seks dua kali berturut-turut dalam semalam menguras tenagaku. Aku dengan sangat cepat mulai terlelap dan tertidur.


*


*


*


February 15th, 2020
07:48



"Hoaaaam..." Aku menguap sambil melihat jam di hape dan menuruni tangga.


Dari dapur sudah terdengar suara-suara Aya yang sedang menyiapkan sarapan seperti biasa, kuputuskan untuk menengok apa yang sedang ia kerjakan.


"Eh kak Jer tumben bangun." Aya menoleh, ia sedang menyiapkan nasi goreng untuk sarapan.


"Kapan sih kakak pernah telat bangun?" Kuacak-acak rambutnya.


"Ih! Tiap mau nganter aku pasti telat bangun kok!" Aya kembali fokus ke pekerjaannya tadi.


"Ya, belum bikin teh kan?" Tanyaku sembari menuang segelas air untukku dari dispenser. Aku melihat tiga gelas kosong di counter samping Aya.


"Belum... mau sekarang?"


"Kakak kopi aja."


"Ih banyak mau, cium dulu." Aya menyodorkan pipi kirinya.


"Hadeh." Protesku sebelum melangkah ke depan dan mencium pipi kirinya "Mwah. Udah kan?"


Aya menoleh dan menyodorkan pipi kanannya.


"Mwah."


Aya lalu menyodorkan bibirnya dan berjinjit.


Kukecup bibir Aya, ia lalu menarik kepalaku dan kami saling bercumbu.


"Clp... clp... clp..."


Decak bibir kami memenuhi dapur, semenit berlalu sebelum kusudahi ciuman ini.


"Udah?" Kutanya tepat di depan wajahnya.


Aya mengangguk dan tersenyum. Ia berbalik dan kembali sibuk dengan masakannya. Kuremas pantatnya sembari berjalan pergi ke depan tv.


Tak berapa lama kemudian Jinan datang bersamaan dengan Aya yang membawa secangkir kopi untukku. Mereka saling menyapa kemudian Aya langsung kembali ke dapur sementara Jinan menoleh ke arahku sambil tersenyum. Senyum yang sama seperti semalam. Senyum bahagianya yang sudah berhasil melepas semua beban perasaan yang sedari dulu tak mampu ia ungkap.


Kubalas senyum Jinan. Itu saja. Tak ada kata-kata di ruang tengah ini. Kami hanya berbalas senyum namun seakan telah bertukar ribuan kata. Hanya satu yang aku pertanyakan.


'Apakah yang aku lakukan ini benar?'
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd