Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Istri Yang Tergadai [Drama & Pemaksaan]

Apa balasan yg setimpal buat Hendra ?


  • Total voters
    375
menarik ceritanya
 
Episode 4
Aturan Yang Berlaku



" Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga."

"Begitulah bunyi pasal 1 dalam Undang-undang no. 23 tahun 2004." Adit menjelaskan padaku.

Oooh ada ya undang-undang yang begitu ? Baru tahu kalau ternyata negara ini mengatur dan melindungi seorang istri didalam rumah tangga hingga terbit aturan seperti itu.

Aku manggut-manggut.

"Kok kamu tahu, sayang ?" Tatapku pada matanya.

Adit nyengir.

Oh iya, sejak malam itu di Bogor aku memanggil Pak Adit dengan panggilan 'sayang' karena aku telah resmi menjadi kekasihnya.

Kekasih gelapnya.

Atas dukungan kekasih gelapku, aku mengadukan suamiku ke pihak berwajib.
Dosakah aku ? aku tak tahu.

Semua petugas membantu, mendukungku.
Mereka sangat menghormati Bang Napit yang menjadi pengacara atas permintaan Adit, dan biaya ditanggung oleh Adit.

Dan sekarang, aku diajak ke sebuah tempat di sekitar Cawang, Sebuah kecamatan di Jakarta Timur. Katanya aku akan dipertemukan dengan Hendra yang sudah ditangkap. Aku datang dengan didampingi Bang Napit, pengacara yang dibayar oleh Adit.

Kupikir aku akan dibawa ke sebuah kantor milik pihak berwajib, tapi ternyata tidak.

Tempat itu adalah sebuah pondokan tersembunyi.

Tempat kencan.

Kenapa pertemuannya disini ? Aku bingung, ragu, dan curiga.

Aku dilarang bersuara oleh Bang Napit karena strateginya nanti aku mendengarkan dulu pengakuan dari Hendra pada saat pemeriksaan.

Kami duduk diam diluar kamar, tanpa suara.

Biar aku jelaskan bagaimana situasi di pondokan tersebut.

Pondokan tersebut berupa bangunan-bangunan kecil yang terpisah-pisah. Setiap pondokan terdiri dari kamar yang difasilitasi oleh sebuah garasi yang dilengkapi rolling door. Jadi, jika ada pasangan kencan yang menyewa tempat tersebut, mereka akan tersembunyi.

Di teras depan setiap pondokan ada sepasang kursi santai.

Disitulah aku duduk berdampingan dengan Bang Napit yang menempelkan telunjuk ke bibirnya, tanda aku dilarang berbicara.

Dari dalam kamar terdengan suara.


"...... ngga pernah Pak. Istri saya yang kabur meninggalkan saya Pak. Saya ngga pernah mukul dia Pak. Sumpah."

Aku tertegun, itu suara Hendra. Dia menyangkal perbuatannya.

"Jangan bohong mas ! Ini pengaduan resmi dari istri sampeyan loh, masa dia bohong." Terdengar suara keras dan serak dari seorang petugas.

"Sumpah pak, dia ninggalin saya karena dia selingkuh sama boss-nya Pak." Hendra terdengar menyalahkanku.

Emosiku naik.

Bang Napit pengacaraku memberi kode agar aku tenang.

"YANG BENER KAMU !" Terdengar suara yang begitu galak.

"Sumpah Pak demi Tuhan saya ngga pernah kasar sama dia." Suara Hendra lagi, dan dari suaranya dapat kusimpulkan bahwa dia sedang ketakutan.

Hah ! Rasain.
Beraninya sama perempuan yang lemah aja !
Giliran ketemu orang galak Hendra malah mencicit.
Emosiku naik lebih tinggi.

Bang Napit menekan bahuku, melarangku berdiri atau masuk kesana.

"Saya rajin ngaji dari kecil pak, sumpah, betulan, tanya sama temen-temen saya kalau ngga percaya pak. Masa saya menyiksa istri saya pak...."

Hendra mulai berbicara ngelantur. Orang ketakutan memang seperti itu ya ? Alasan yang nggak nyambung juga diomongin.

"Terus ini hasil visum dokter menyatakan istrimu banyak luka dan lebam di seluruh badannya. Kamu bisa jelaskan kenapa bisa begini ?" Bentak seorang petugas lagi.

Hendra diam, tak menjawab.

"Mendan, ini hasil pemeriksaan handphone tersangka." Terdengar suara yang berbeda.

"Yaudahlah, ngga penting itu." Suara komandan.

"Siappp mendan.... tapi ini penting mendan..." Katanya.

"Coba sini liat, ada apa ?" Nah itu suara komandan yang mau lihat hasil pemeriksaan handphone si Hendra.

Hening beberapa menit.

"Laki-laki edan kamu, Bah !!!!" Suara komandan membentak Hendra, rupanya komandan ini orang dari Sumatera Utara.

"KAMU JUAL ISTRI KAMU ???" Suara itu makin kencang.

PLEPAK !

"Aduh.... ampun pak." Suara Hendra seperti tikus. Mencicit.

"Adun, kamu jemput orang ini nanti, rupanya ada direktur di sebuah perusahaan terlibat kegiatan jahat." Komandan memerintah anak buahnya.

Wah, makin terbuka kejahatan Hendra. Kasus ini makin panas.

"Laki-laki tak bermoral !"

BLEPAK !

(Para pembaca, bedakan suara plepak dan blepak, kalau plepak saja artinya masih enteng, tetapi kalao blepak pakai 'b' itu artinya sudah tamparan keras bertenaga).

"Ampun pak...." Cicitan Hendra lagi.

"Kamu akan kena hukuman berlapis. Bisa mati di penjara nanti kamu. Penjahat kelamin itu penjahat paling hina di tahanan, bakal jadi bulan-bulanan." Komandan menakut-nakuti.

Tak terdengar suara jawaban Hendra, hanya terdengar dia terisak-isak.
Dasar jago kandang.

"Saya mau ngeroko dulu." Kata komandan. Dia keluar dari pintu lalu menyalakan rokok di teras.

Beliau berpaling ke arahku, menyadari kehadiran aku dan Bang Napit. Dia tak bicara, hanya menangkupkan dua telapaknya tanda salaman jarak jauh denganku.

Tiba-tiba...

Braaaaaaaaaaaaakkkkkkk

Pintu terbanting.

Sesosok bayangan hitam berkelebat keluar dari pondokan.

Hendra kabur, lari secepat kilat.

Kami semua bengong terkaget-kaget, tapi komandan segera mengambil HT.

"Buluk... monitor ? tersangka kabur ke gerbang depan."

Pelarian Hendra tak berselang lama. Dia tertangkap oleh petugas yang sedang nongkrong bersama sekuriti pondokan.

Hendra digelandang masuk ke pondokan lagi sambil terpincang-pincang dan terseok-seok, dia melirikkan pandang ke arahku.

"Bundaaa.... ampun bundaaa....." Lelaki yang masih sah jadi suamiku itu memohon-mohon sambil air matanya bercucuran.

Dua petugas anak buah komandan menggelandang Hendra kedalam, diikuti komandan.

"Bugilin, biar ngga kabur." Kata komandan.

"Ampun paaak... jangan paaak." Hendra lagi.

BLEPAK.

BUKKKKK.

DZIGGGG.

Hendra terdengar melolong-lolong.

"Celana dalemnya juga lepasin, Luk !" Komandan memerintah Buluk, anak buahnya yang tadi menangkap Hendra waktu kabur.

Hendra mencicit cicit lagi meminta ampun.

Ada rasa tak tega yang kurasakan.

"Apa harus sampe begitu, Bang Napit ?" tanyaku sama pengacaraku.

"Biar dia ngga kabur, mbak. Sudah biarkan saja itu urusan yang berwajib." Katanya.

Baru juga Bang Napit bilang begitu, tiba-tiba Hendra terlihat lari lagi dari dalam pondokan.
Dia berusaha kabur lagi. Telanjang bulat.

Sesosok tubuh tegap mengejarnya dan menjatuhkan Hendra yang telanjang bulat ke jalanan pondok yang berkerikil.

"Nekat kamu ya, masih aja berusaha lari." Buluk menggelandang Hendra balik lagi kedalam pondokan.

GLEPAKKKKKK !!.

(Suara tamparan itu adalah glepak pakai 'g' bukan lagi pakai 'b' yang adalah pukulan terkuat)

"uwooooooookk..... uwooook....." Hendra muntah.

"Jangan pak.... ampun... jangan disetrum...." pintanya.

Hah ? Setrum ?


Zzzzzzzzzzzzzzzzz
Terdengar dengungan.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA" Terdengar teriakan setinggi langit.

Aku dan Bang Napit berpandangan. Dia mengangkat bahu, lalu merokok lagi.

"Tititnya juga tuh..." Kata komandan.

"jangan pak jangan tolong ampun ya tuhan ampunnnnn."

ZZZZZZZZZZZZZZZZZ

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA"

Bang Napit menarik tanganku menjauh, masuk ke mobil.

"Kita tinggalkan mereka dulu, takutnya mbak Billa ngga kuat. Biar sisaurusan ini saya yang urus. Yang penting mbak Billa tahu bahwa Hendra sudah ditangani." Jelas Bang Napit.

Tak lama kemudian kami melaju.

Aku menangis, tak menyangka atas kejadian tadi.

Biar gimanapun, Hendra adalah ayahnya Rendi.


**********


Diambil dari berita HARIAN KOMPOS ONLINE sebulan kemudian :

"Pengadilan Negeri memutuskan bahwa lelaki berinisial H (29) yang menjadi terdakwa tindakan kekerasan didalam rumah tangga dinyatakan bebas demi hukum. Keputusan hakim menjadi kontroversi namun hakim beralasan bahwa para petugas yang menangani kasus tersebut telah menyalahi prosedur hukum acara.

Sementara itu tersangka kedua yang terlibat dalam kejahatan tersebut hanya dikenakan wajib lapor.

Hakim menyatakan bahwa hal ini semoga menjadi pelajaran bagi para petugas penegak hukum agar tetap menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku"


**********

"Bajingan !" Seru Adit sambil membanting rokok yang tengah dihisapnya ke lantai berkarpet.

Kupungut rokok yang masih menyala itu, bagaimana kalau ruangan hotel ini kebakaran ? Pasti pihak hotel akan menuntut.

Kami sudah dua malam menghabiskan waktu di hotel bintang lima di sebuah pantai di Anyer. Untuk yang belum tahu, Anyer adalah pantai yang berhadapan langsung dengan Selat Sunda. Hotel berarsitektur Mediteranian ini memiliki pantai pasir tepat di halaman belakangnya.

Kata Adit sih pergi kesini untuk mendinginkan suasana hati yang panas sambil mengajak Rendi berlibur. Aku setuju saja. Kapan lagi aku bisa ngajak Rendi menginap di hotel segini mahalnya ?

Aku menghiburnya dengan memeluk lengan kekarnya yang hitam terbakar matahari.
Di tempat tidur, Rendi tengah asik nonton film kartun.

Berita diatas membuat Hendra kesal, tetapi yang membuatnya marah adalah keputusan hakim pengadilan agama yang tidak mengabulkan permohonanku untuk bercerai dengan Hendra.

Hakim menyatakan bahwa Hendra sebagai suami tidak mau menjatuhkan talak dan memilih untuk rujuk. Hakim juga menasihatiku bahwa sebaiknya aku sebagai istrinya tidak menuntut cerai dari suami yang sedang sakit.

Memanglah keadaan Hendra saat terbebas dari tahanan dalam keadaan yang menghawatirkan. Satu lututnya patah, berikut dua jari kiri dan kanan.

Tapi aku masih kesal karena Pak Dhani terbebas pula dari jeratan hukum.

"Sekarang aku harus gimana, Bella ? suamimu tak mau melepaskan." Adit geram.

Kami berdiam diri.

Tak tahu bagaimana.

"Mungkin ini nasib kita......." Ujarku lemah.

Kami berdiam diri lagi.

"Kamu percaya dengan cinta kita ?" Tanya Adit.

Aku mengangguk.

"Kamu masih ingin melanjutkan hubungan kita ?" Didalam pertanyaannya ada satu harapan yang tak ingin aku patahkan.

Aku mengangguk.
"Tapi secara hukum, aku masih istrinya Hendra."

Tak ada solusi.

"Bella, berjanjilah. Kalau keadaan memungkinkan, kita akan bersatu."

Lelaki jantan berusia 40an itu kenapa jadi begitu baper ? Tak kusangka bahwa dibalik kejantanannya lelaki itu sangat melankolis.

Aku juga sayang padanya, tetapi nasib berkata lain.

"Kita harus pasrah pada nasib." Hanya itu yang bisa dilakukan perempuan, bukan ?

"Kalau kamu menyerah, silahkan. Tapi aku akan tetap berusaha dengan caraku." Jawab Adit.

Aku tak ingin memperpanjang perdebatan itu, jadi kucoba menghiburnya.

Dengan sebuah pelukan, aku memulainya.

Awalnya Adit tak merespon, tetapi setelah kubuka bajuku dan berdiri di hadapannya dengan hanya celana dalam dan bra merk "Kiki de Montparnasse" yang dibelikan Adit dari Paris, perhatiannya mulai tertuju pada tubuhku.

Kiki de Montparnasse, kata Adit adalah oleh-oleh untukku tetapi merupakan hadiah terindah untuk dia sendiri. Bingung kan ?

Tapi, underwear seksi ini memang sangat nyaman dan membuat tubuhku menjadi begitu indah dipandang mata. Pantas saja harganya mahal.

Aku melangkah, dan duduk di pangkuannya sambil memeluk dirinya yang kecewa.

Kami berpagutan bibir.

"Sayang, kamu ingin bercinta dengan cara apa ? aku akan melakukannya buat kamu."

Aku akan memberikan kenangan yang terbaik untuknya sebagai hadiah yang tak akan terlupakan.

"Ini kesempatan terakhir kita sebelum aku kembali ke Hendra besok pagi."

Adit memandangku.

"Kamu mau menikmati aku seperti apa, sayang ?" tanyaku lagi.

Adit memandangku berlama-lama, lalu berbisik di telingaku.

Aku memandangnya takjub, benarkah dia ingin itu ?

"Bener ?" tanyaku tak percaya. Dia mengangguk.

"OK." Kataku sambil hati berdebar membayangkan permintaannya yang nakal.

Aku turun dari pangkuannya untuk mengambil handuk di kamar mandi. Kulilitkan di tubuhku yang tak lelah-lelah dipandangi oleh Adit. Tapi Adit menggelengkan kepala waktu handuk itu terlilit di tubuhku. Dia memberi kode.

Kubuka lagi handuk itu dan kusampirkan pada pundak. Dadaku yang indah kututupi sebagian dengan handuk. Namun demikian, bagian bawah tubuhku terpampang begitu nyata, siap menjadi santapan pandangan. Hanya tertutupi oleh sebuah panties dengan desain yang begitu menggoda.

"Rendi.... berenang yuk." Anak itu langsung melompat dari tempat tidur.

"Benang mbun... itut.... itut...." katanya.

Aku dan Adit berjalan kaki berdampingan keluar kamar dan menyusuri lorong hotel. Tangan Adit melingkar di pinggangku yang terbuka. Rendi berlari duluan ke arah lift.

Aku hanya mengenakan bra dan panties dari Kiki de Montparnasse yang indah.

Sepanjang perjalanan menuju kolam renang yang ada diantara tower hotel, beberapa pasang mata mengikuti kami. Tamu dan pegawai hotel lelaki menatap lekat tubuhku yang hanya mengenakan underwear Kiki de Montparnasse warna putih dengan bra sewarna. Tiga wanita cemberut sambil berusaha memalingkan wajah suami atau entah pacar mereka.

Kami pamer kemesraan pada dunia.

Sinar mentari sore menyinari tubuh lencirku, menambah berkilaunya kulitku yang putih dan mulus. Bak pereagawati pada fashion show, aku melenggok.

Adit tersenyum, pamer pada seluruh penghuni hotel bahwa wanita cantik mulus dengan tubuh indah ini adalah miliknya.

Miliknya, sampai sore ini.

Dan Adit tak menyia-nyiakan sedikit kesempatan yang dimilikinya untuk memilikiku. Senyumannya tersungging terus selama kami melangkah menuju kolam renang. Jemarinya meremas pinggangku yang telanjang. Ada rasa risih dengan pandangan orang-orang terhadap tubuhku. Tetapi aku sudah berjanji untuk mengikuti segala keinginan lelaki disampingku ini.

Harus kuakui, ada semacam rasa bangga 'dimiliki' oleh Adit. Dan akupun ingin pamer pada sekelilingku bahwa lelaki inilah yang 'memilikiku'. Debaran jantung dan rasa malu makin kencang karena adit memamerkanku ibarat trophy.

Tapi aku menikmati. Menikmati fikiran bahwa orang lain berkhayal tentang tubuh mulusku. Menikmati orang lain berhasrat menikmati tubuhku. Dan aku tahu, Adit tak akan membiarkan seseorang menjamahku dan menikmati sesuatu yang menjadi miliknya.

Kolam renang tak berisi siapapun kecuali dua bapak yang tengah duduk merokok dibawah payung bergambar sebuah bintang merk minuman terkenal. Obrolan mereka langsung berehenti ketika kami lewat. Sudah pasti mata mereka memandangi pantatku yang lewat di depan hidungnya.

"Ayang.... malu....." Bisikku manja.

"Kenapa malu.... harusnya perempuan secantik ini bangga." Bisik adit juga.

"Bapak-bapak itu ngeliatin terus." Kuadukan mereka, dan aku tahu sebetulnya Adit juga menyadari itu.

"Sebentar, biar aku hajar mereka." Kata Adit melepaskan pelukannya di pinggangku.

Hah ?

Aduh gimana ini, kok dia serius sih ?

"Sayang....." Panggilku berusaha menariknya kembali tetapi adit tetap melangkah menuju dua bapak tadi.

Aku bingung harus bagaimana, akhirnya kukejar Rendi dan memegang lengannya.

Kalau sampai Adit menghajar dua bapak itu karena memandangku penuh nafsu, sebetulnya kan bukan salah dua bapak itu. Tapi salah aku sendiri, dan salah adit juga karena dia yang meminta aku begini.

Adit sampai di depan dua bapak yang duduk merokok di pinggir kolam itu.

Mampus aku, pasti kejadiannya bakal memalukan.

"Boleh pinjam koreknya Pak ?" tanya adit sambil mengeluarkan sebatang rokok.

Dua bapak itu kaget dengan pertanyaannya. Dua-duanya langsung merogoh saku celana masing-masing.

"Ini... ini... silahkan...." Dua duanya sama-sama mengasongkan korek api gas. Adit memilih salah satunya untuk menyalakan rokok.

Nafasnya berhembus, mengepulkan segumpal asap yang menebal.

"Berdua aja nih pak ?"
Ngapain sih Adit berbasa-basi ? Lagian dia ngagetin aja kirain beneran bakal menghajar dua bapak tadi.

"Ah nggak... itu istri saya lagi beli baju pantai buat oleh-oleh." Katanya menunjuk ke arah pantai. Beberapa warung memang menjual cinderamata.

"Anaknya ganteng sekali, seperti bapaknya." Kata bapak yang koreknya dipakai Adit.
"Cantik seperti ibunya. Perempuan kan anaknya pak ?" Tangkis bapak yang satu lagi sekaligus bertanya.

Rendi memang wajahnya mirip aku, terlebih rambutnya yang hitam lebat dibiarkan panjang. Seringkali orang menyangka Rendi ini anak perempuan.

"Terima kasih koreknya pak."
"Ooo iyaaa... ndak apa-apa, silahkan."

Adit kembali menghampiriku untuk melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Iiih ayang, ngapain sih tadi." Kucubit pinggangnya. Adit hanya tertawa-tawa kesenangan.

"Nyebur yuk." Katanya sambil menggendong Rendi.

Byur.

Rendi tertawa kesenangan. Aku mengikuti mereka masuk ke kolam dengan menyampirkan dulu handuk ke sebuah kursi santai.

Byur.

Adit menyambutku dengan sebuah pelukan.

"Brrr...... dingin...." Air kolam itu dingin walaupun tersengat matahari.

"Sini aku angetin." Adit merengkuh pinggangku lagi dan menarik ke arahnya. Kami berpelukan bertiga. Rendi asik menepuk-nepuk air.

Dua bapak yang sedang merokok memandangi kami lekat, tak bergeming dari tempatnya.

Adit menyerahkan Rendi padaku, dan dia beberapa kali berenang bolak-balik.

"Ayo sana berenang." Katanya setelah selesai.

"Takut yang...." Aku takut celana dalam yang kukenakan melorot karena ini betulan celana dalam, bukan bikini untuk berenang. Adit tertawa setelah kujelaskan.

"Gapapa.... gak keliatan walaupun melorot." Katanya. Aku tetap enggan, dan hanya berdiri di kolam sambil menggendong Rendi yang bermain air.

Adit mendekat, merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Rasa hangat perlahan menjalari kami berdua.

"Ahhhhhhhhhh....." aku mengeluh ketika secara tiba-tiba adit mencium bibirku yang dingin.

Aku melirik dua bapak yang masih duduk di bawah payung pinggir kolam. Kami bertatapan mata, tetapi mereka kemudian melengos malu.

"Malu yang..." Aku berbisik ke telinga Adit, tetapi Adit malah sengaja memalingkan wajahku lagi menghadapnya.

Bibirnya mengecup bibirku, lekat. Tak perduli jika dua bapak atau seribu bapak memperhatikan kami. Aku membalasnya.

"Ngh...." Aku mengerang tertahan.

Serrrr.

Kehangatan menyeruak. Dinginnya air kolam tergantikan oleh kehangatan kulit Adit yang bersentuhan denganku. Rasanya ternyata berbeda ketika kulit kami bersentuhan di luar air. Hangatnya lebih berasa.


Rendi mencipratkan air ke muka Adit.
"Iiih... nakaaaal....." Aku bersuara cukup lantang pada Rendi karena kaget. Tapi aku jadi malu karena dua bapak tadi kembali memandang kami.

"Tuh kan kamu bikin bapak-bapak itu curiga, disangkanya diapa-apain sama aku." Kata Adit menggoda.

Kucubit pinggangnya.

"Aaaaaah....." Teriaknya.

Aku memelototinya.
"Teriakan kamu bikin mereka tambah curiga !" Desisku.

Adit hanya tertawa, tapi tangannya yang ada di pinggangku turun kebawah.
Meremas buah pantatku.

"Ayang...!" Seruku tertahan, dan dia tetap tertawa cengengesan sambil terus meremas.

Telapak tangan Adit terasa hangat sekali.

"Nakal....." bisikku pura-pura marah, padahal suka.

Telapak tangan itu masuk ke balik celana dalamku, dan meremas dari sana.

Dua bapak-bapak sekilas terlihat saling pandang sambil tersenyum. Mungkin mereka membicarakan kami.

Adit makin menggila.
Pelukan di pinggangku makin erat. Wajahnya memasang muka lucu pada Rendi, tetapi telapak tangannya yang menyelinap ke balik celana dalamku sekarang merasuk ke belahan pantat.

Kupukul manja dadanya.
"Ayang.... jangan !"

Tetapi Adit tak menggubris.
Jari tengahnya menyelinap, menyentuh lobang pantatku.
Kupelototi lagi dia, tetapi dia pura-pura tidak melihatku malahan memasang muka lucu pada Rendi.

Sebel.

Tapi aku berdebar-debar bahagia.

"Rendi seneng ?" Tanya Adit menggoda Rendi. Aku yang mengangguk karena aku tahu sebetulnya pertanyaan itu buat aku.

"Nih cium mbun nih.... kaya gini." Adit mencium pipiku, diikuti Rendi.

Paha Adit menggelisir ke pahaku, masuk saling menjepit.
Kurasakan getara-getaran dari bergelisirnya kulit paha kami merayap membuatku hangat.

"Nih peluk mbun ya...." Adit melepaskan pelukannya pada Rendi hingga Rendi akhirnya hanya memelukku. Kedua tanganku menggendongnya.

"Ahhhh...." Nafasku tertahan, merasakan telapak tangan Adit pindah dari bongkahan pantatku menuju ke depan.

Satu jemarinya menyelinap.

"Basah, embun......" Bisiknya.

Aku menyergahnya.
"Ya iyalah.... didalem aer pasti basah !"

Dan dia tertawa tawa hingga kolam yang hanya berisi kami bertiga airnya bergoyang-goyang membentuk gelombang.

Jarinya mengelusi celah dibalik celana dalam Kiki de Montparnasse.

"Anget banget." Katanya. Aku sibuk menggendong Rendi yang bergerak-gerak kekiri kekanan berkecipakan air kolam.

Jemari Adit bergoyang perlahan, lalu berkecipakan cepat di sela-sela selangkanganku.

"Nghhh......" erangku karena jari Adit masuk cukup dalam, mungkin dua buku jari.

"Kayanya enak banget didalem..... licin anget nih." Aku tak menjawab komentarnya tentang bagian dalam selangkanganku melainkan kulirik dua bapak diatas. Mereka melengos lagi.

Adit makin merapat, kurasakan kejantanannya mengeras menyentuh pahaku.

"Boleh ngga ?" Bisikannya yang hangat terasa di telingaku.

"Mau bali ke kamar ?" Tanyaku menawarkan.

"Mau disini." Jawabnya. Aku memandangnya tak percaya.

"Katanya kamu mau nurutin semua keinginan aku." Adit menghentikan gerakan jarinya.

"Ada orang...." Aku melirik lagi ke dua bapak tadi, yang tertangkap basah memandangi kami. Mereka melengos lagi.

"Biarin." Jawab Adit sambil tangannya sekarang menyibak celana dalam yang kukenakan dari samping.

"Akkkkh...." Kejantanannya ternyata dikeluarkan dari bawah celana renangnya.

Aku kaget merasakan ujungnya menempel di bibir vaginaku. Kejantanan Adit keras dan dingin bagai sebatang besi.

"Boleh ya ?"

"Jang....."

Plep.

"Ya ampun.... anget banget sayang." Komentar Adit.

Adit menarik tubuhku agar tak menjauh.

Slep.

Diam-diam, ternyata vaginaku licin oleh cairan kewanitaanku. Kejantanan Adit yang berukuran jumbo melesak. Mata Adit menjadi sayu.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Begah rasanya vaginaku, bagai makan kekenyangan.

SLEB.

Pantat Adit bergoyang menyentak, membuat kejantanannya menancap hampir 3/4. Kedua kakiku lemas dibuatnya. Vaginaku megap-megap berusaha menelan kejantanannya yang keras dan dingin bak gagang besi.

Air kolam beriak.

"Ehem....." Satu dari bapak diatas berdehem.

Adit menyentak lagi.

SLEBB !.

Riakan air kolam berubah menjadi gelombang.
Kejantanan Adit menancap makin dalam membuatku luluh tak bertenaga. Pelukanku pada Rendi mengendur.

"Hmph...." Adit menahan tubuh Rendi yang hampir jatuh terlepas kedalam air.

"Dalemnya lembut dan hangat, embun." Adit melukiskan dengan kata-kata apa yang sedang dia rasakan.

"Aku janji untuk memiliki kamu seorang, embun...." Bisiknya mesra.

Diraihnya dua kakiku lalu dilingkarkan di pinggangnya. Selangkangan kami menyatu erat.
Sekarang dia bergoyang maju mundur perlahan agar tak menimbulkan gelombang air di kolam, namun demikian air tetap beriak dengan berirama.

"Uhu uhu uhu." Bapak yang berkumis terbatuk-batuk.

Matahari bergerak makin surut ke barat. Sinarnya yang berwarna jingga menimpa tubuh kami yang sedang dilanda asmara. Dua bapak berpura-pura menikmati mentari yang sedang tenggelam. Padahal kami tahu, mereka sedang menikmati adegan dua manusia yang tengah memadu cinta didalam kolam.

Adit menggoyangku perlahan namun melesak dalam, membuat aku semakin kehilangan tenaga.
Untungnya Adit paham apa yang sedang terjadi pada aku kekasih gelapnya. Dia meraih tubuh Rendi lalu didudukkan di pinggir kolam, kedua kakinya berkecipakan bermain air.

Adit melepas kejantanannya.

Plop

Tubuhku dibalikkan, menghadap Rendi. Kedua tanganku diarahkan untuk memeluk Tubuh Rendi yang berhadapan denganku.

Adit memeluk dari belakang. Sebelah tangannya bergerilya, dan aku hanya bisa memandang celana dalamku yang kini mengambang berayun dalam gelombang.

Sleb

"Arrgh...." posisi ini luar biasa nikmat dan tidak membuat aku kecapean menggendong Rendi.

Sleb sleb sleb sleb.

Gilaaaaa.....

Adit tak perduli kalau kami sedang dipandangi dua bapak yang menikmati persetubuhan kami di kolam berpemandangan sunset jingga menyala.

"Ehek... ehek... ehek... " Tak mampu aku menahan rintihan. Kejantanannya yang maksimal membuat celah vaginaku meregang sampai lebar.

Air kolam bergelombang kian kencang.

Kecipak kecipak kecipak kecipak.

Tubuh dua bapak menegang kaku dengan nafas tertahan.

"Aku ngga kuat, ayang..." rintih lemah bisikanku menikmati gocekannya.

Adit menghunjam tajam, lalu diam di sudut paling dalam.

"Aku ..... sampai......" Bisikku.

Pantat adit memutar, membuat ujung kejantanannya didalam tubuhku ikut berputar.
Disitulah Kejantanan Adit menyenggol sesuatu yang membuat aku melayang.

Air menggelombang, seirama dengan gelombang orgasme yang datang menghadang.

"Ngggggh....... nggghhhh.... nggghhh.... " Bibirku merintih-rintih menikmati orgasme yang begitu kuat, disaksikan dua bapak yang ikut menarik nafas lega dan duduk bersandar pada kursi.

"Aku juga keluar..... embun...." Adit mengerang.

sroooooot..... srooooot.... srooooot....

Didalam sana rahimku merasakan kehangatan yang dimuncratkan oleh kejantanan Adit.

Adit memeluk tubuh aku dan Rendi sekaligus.

Kami menikmati kedutan demi kedutan atas kenikmatan dari pertemuan dua bagian sensitif kami. Aku yang berada di dalam air merasa lebih basah dari yang seharusnya. Basah sekali bagian luar dan dalam tubuhku.

"You are wonderful." Kata Adit sambil mengecup bahuku, bersamaan dengan menghilangnya mentari di tengah laut Selat Sunda.

Kami terus berpelukan, hinggga air kolam tak bergoyang.

"Naik ke kamar ?" Tanya Adit. Aku mengangguk.

Dan kami melangkah bertiga melewati dua bapak yang masih tetap duduk dengan celana membentuk tenda.

"Mari, bapak-bapak....." Sapa Adit basa basi.

Dua bapak tak menjawab karena saat itu mereka melihat cairan kental mengalir dari sela celana dalamku di sepanjang paha.


Bersambung ke

5. Jebakan Betmen
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd