Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Istri Yang Tergadai [Drama & Pemaksaan]

Apa balasan yg setimpal buat Hendra ?


  • Total voters
    374
Episode 5
Jebakan Betmen



Mentari baru setinggi tiang listrik yang bayangannya menimpa pintu rumah kontrakan petak berwarna kelabu penuh coretan. Dua menit sudah aku berdiri dengan sebuah perang di hati.

Masuk ? tidak ? masuk ? tidak ?

"Eeeeh Rendi udah balik. Kemana aja ?" Suara abang sayur yang menjadi langganan ibu-ibu di kampung ini terdengar menyapa. Aku tak menjawab, begitu juga Rendi yang asik menjilati es krim yang sempat dibeli di warung depan gang.

"Bunda Rendi udah kaya artis nih sekarang.Badannya lebih berisi, tambah ehem.... apalagi pakai setelan model korea begini.... kerja dimana emang sekarang Bun ?" Komentar abang sayur nyinyir dan genit. Kebiasaan gaul dengan ibu-ibu.

"Ngga kerja." Aku menjawabnya singkat.

"Kirain jadi LC.... " Katanya sambil mendorong gerobak sayurnya ke arah tempat mangkalnya.

Aku kaget dengan komentarnya. Aku pasti sudah jadi bahan gosipan ibu-ibu tetangga.

Klotrak.
Pintu terbuka.

Sesosok tubuh gemuk ibu setengah baya muncul dari dalam rumah. Dia memandangku lekat dari kepala hingga ujung kaki.

Ibu mertuaku.

Tatapannya sinis.

"Masuk..... ibu sebentar lagi pulang. Suami kamu di kamar." Katanya sembari menekankan kata-kata 'suami' seolah berusaha mengingatkan bahwa aku masih menjadi istri dari anaknya.

Aku menarik tangan Rendi untuk masuk kedalam rumah, melewati mertuaku yang tetap berdiri di dekat pintu. Kuraih tangan ibu mertuaku untuk kucium, tetapi dia menepisnya.

Isi rumah terasa harum parfum, sama dengan parfum yang dipakai ibu mertua. Tumben pakai parfum, mungkin mau menjenguk suaminya di lembaga pemasyarakatan yang terkenal banyak memenjarakan pejabat-pejabat korupsi.

"Hendraaaaa.... ibu pergi dulu nengokin Bapak." Mertuaku berteriak.

Benar perkiraanku, ibu mau ke penjara.

Pintu ditutup dengan sebuah bantingan. Keangkuhan ibu mertuaku tak pernah hilang walaupun dia sudah bukan orang kaya lagi.

"Rendiii... sini duduk deket ayah." Terdengar suara Hendra didalam kamar. Kubiarkan Rendi masuk menemui ayahnya.

"Waaah... anak ayah balik ke rumah.... enak ya nginep di hotel terus tiap hari ?" Ada nada sindiran dalam pertanyaan Hendra.

Aku masuk kedalam tanpa berkata-kata.

"Anak ayah sekarang gemuk nih... tapi nanti kurus lagi... Rendi ngga jadi orang kaya lagi....." Suamiku itu menebarkan sindiran sambil tertawa.

"Bikinin sarapan dong, gua lapar." Dia melirik sambil memerintah.

Aku tak menjawab ataupun mengerjakan perintahnya, melainkan membuka sebuah lemari plastik di sudut ruangan, mengambil baju daster.

Di hadapan Hendra yang terlentang tanpa daya, kubuka baju dress beratasan putih dengan bawahan rok biru muda 20cm diatas lutut dihiasi berbunga-bunga kecil dengan perlahan seakan pamer. Dress ini pemberian Adit.

"Bagus banget baju lu." Komentar Hendra tak kupedulikan.

Dengan memunggungi Hendra perlahan kubuka ritzluiting baju di punggungku. Tanganku yang meraih bagian punggung membuat bawahan dressku terangkat hingga keatas. Aku yakin mata Hendra sedang melekatkan pandang ke pahaku yang mulus.

Dengan sekali tarikan, dress itu turun meluncur ke lantai membuat seluruh tubuhku memamerkan segala keindahannya.

Berikutnya kupungut dress yang sudah ngelumbruk di bawah kakiku. Lututku sedikit menekuk, badanku condong ke depan agak membungkuk. Sekilas aku melirikkan mata ke arah Hendra di tempat tidurnya. Benar dugaanku, matanya menatap bokongku yang nungging tertuju ke arahnya. Pakaian dalamku sekarang bagus-bagus, tak seperti dulu lagi. Adit mengeluarkan tak sedikit uang untuk meng-upgrade penampilanku.

Tanganku meraih tumpukan dress di bawah kaki, menaruhnya diatas lemari plastik. Dengan cara yang juga perlahan tubuhku masuk kedalam daster batik rumahan yang telah belel.

Gontai kutingggalkan kamar menuju ke bagian rumah petak paling belakang, yaitu dapur sempit yang bersebelahan dengan kamar mandi tanpa pintu, diikuti oleh pandangan Hendra.

"Cepetan gua laper." Perintahnya.

Aku tak menggubris perintahnya dan kulakukan pekerjaanku di dapur dengan santai. Biarlah lelaki yang mengaku masih menjadi suamiku itu belajar bersabar. Aku melawannya dengan caraku yang tak tergesa.

Hendra hanya memandang sepiring nasi yang kuletakkan di lantai tepat di samping kepalanya yang tiduran di kasur tanpa ranjang. Kasur busa yang telah menipis itu dari awal pernikahan kami memang hanya digelar di lantai.

"Kok nasi doang ?" Matanya memandang tajam.

"Ga ada apa-apa di dapur buat dimasak." Jawabku ketus.

"Ya lu beli lah."

"Mana duitnya ?" pintaku.

"Ya dari elu dong, kan gua ngga bisa kerja."

"Gua ngga punya duit, tadi abis buat jajan Rendi." Sekarang aku sudah ber-elu-gua dengannya.

"Gua ngga percaya."

"Terserah." Aku menggamit tangan Rendi dan menuntunnya ke ruang depan, tetapi tangan Hendra menghalangi.

"Beneran ?"
Aku mengangguk menjawabnya. Sesaat Hendra berdiam diri menatap nasi tanpa lauk.

"Lu kerja lah." Katanya sambil mengambil nasi itu lalu disuapnya ke mulut.

"Kan lu yang ngotot tetep jadi suami gua, ya lu yang kerja lah cari duit." Nah Rasain serangan kata-kataku yang tajam.

Dia menatapku tajam sambil menelan nasi tanpa rasa itu.

"Oooh.... jadi lu pengen tetep cerai, terus sekarang nyalahin gua karena gua ngga bisa kerja ? Liat tangan sama kaki gua, anjing. Mana bisa gua kerja dengan keadaan begini ? Ini gara-gara elu juga gua sampe begini"

"Terserah." Jawabku lagi sambil menarik tangan Rendi tak ingin meladeni tuduhannya yang menyakitkan.

Aku dan Rendi meninggalkan Hendra yang membanting sepiring nasi yang belum habis dimakannya itu ke lantai hingga berhamburan.

"Taaiiiiii. Anjing lu lonte !" Dia terus berteriak di belakang punggungku dan aku terus melangkah keluar rumah menuju rumah tetangga terdekatku, si Ani.

Ani menyambutku sambil nyerocos.

"Eh Billa.... geblek lu ya, ngapain balik lagi kesini ?"
"Lu ini bego apa ngga punya otak ?"
"Kebangetan lu jadi perempuan mauuuu aja balik lagi."
"Bego ama baik itu bedanya banyak..."

Terserahlah apa kata orang, termasuk kata tetanggaku ini.
Aku kembali kesini dengan berbekal rencana.


Dua hari kemudian aku menikmati ocehan Hendra yang marah-marah dan merajuk karena tak ada apapun yang bisa dimakan kecuali nasi putih. Telingaku seakan mendengar lagu terindah dan kudengarkan sepenuh hati. Sukurin.... tau rasa..... padahal akupun tersiksa.

Bagaimana dengan Rendi ? tenang aku sudah menitipkannya pada Ani yang akhirnya memaklumi kepulanganku setelah kujelaskan rencana yang kumiliki.

"Ya lu minta aja duit sama emak lu. Kan itu bukan emak gua." Suatu ketika kujawab Hendra yang menyuruhku meminta uang pada ibunya. Aku yakin, ibunyapun sedang kesulitan ekonomi.

"Atau lu ngutang dulu deh ke warung beli ind*mi sama rokok." Dia terus memutar otak untuk memaksaku mencari makanan dan rokok.

"Ngga ada yang mau ngasih utangan lagi." Singat padat jawaban yang kuberi.


Hal seperti itu terus berlangsung hingga seminggu.

Sampai Hendra memanggilku.

"Lu ambilin duit dong di ATM." Katanya.

Duit di ATM darimana ? semua uangku yang di ATM pasti sudah dihabiskannya.

"Tadi gua pinjem 200 ribu sama temen." Seakan tahu apa yang ada di fikiranku.

Temen ? ada juga temennya yang punya uang dan berbaik hati ngasih utangan. Jelas saja aku heran karena sejauh pengetahuanku Hendra hanya berteman dengan orang-orang yang kerja serabutan. Uang segitu pasti takkan rela mereka pinjamkan pada Hendra yang kemungkinan besar tak mampu membayar.

"Kenalan baru gua di internet." Katanya lagi tanpa ditanya.

Ooh... ada juga orang bego di internet yang mau minjemin duit ke orang yang ngga baru dikenal.


Dan setelah sebulan, sebersit rasa penyesalan menyelinap di hatiku. Rencanaku untuk membalas dendam pada Hendra dengan membiarkannya kelaparan tak membuahkan hasil. Aku tak habis fikir, darimana dia selalu mendapat uang padahal sehari-hari hanya ada di tempat tidur. Paling jauh juga dia ke kamar mandi sambil terseok seok menggunakan tongkat. Tidak mungkin dia selalu mendapat pinjaman dari teman-temannya. Aku mengutuki diri sendiri karena kalah strategi.

Strategi bodoh, fikirku.

Yang lebih membuatku khawatir adalah karena Hendra sudah berangsur-angsur pulih. Kalau sampai kondisinya balik kembali seperti sedia kala, aku akan benar-benar dibuat kesulitan.

Sejauh ini aku berhasil untuk menghindari permintaan Hendra yang meminta 'jatah'. Biarpun aku (terpaksa) masih menjadi istrinya tetapi kepulanganku kesini bukan untuk benar-benar menjadi istrinya yang siap melakukan hubungan suami istri lagi. Aku datang kembali ke rumah ini hanya untuk sekedar memenuhi wejangan pak Hakim penggadilan agama yang tak mengabulkan permohonan untuk cerai. Dan aku berharap dengan strategiku dapat membuat Hendra menyerah hingga aku diceraikannya sukarela.

Sekarang aku menyadari betapa bodoh dan lugunya rencanaku itu. Aku sekarang terjebak di sarang singa yang sebentar lagi akan sembuh.

"Gua masih punya hak sama elu." Katanya suatu malam ketika aku berada jauh-jauh darinya.

Aku tahu dia sedang sange.

"Perempuan yang menolak diajak berhubungan sama suami itu calon penghuni neraka." Katanya mengutip dalil agama secara sembarangan.

"Gua juga punya hak yang ngga pernah lu penuhin." Aku menjawabnya ketus.

"Eh lonte, gua sekarang udah bisa ngasih duit buat nafkahin elu." Hendra melotot.

Dan memang benar, sebulan ini dia berhasil untuk selalu mendapatkan uang. Bukan hanya untuk makan atau beli token listrik, bahkan untuk quota internet dan bayar kontrakanpun berhasil dia dapatkan. Apa dia menang lotre ?

Aku terdiam, tak mampu menjawab lagi kata-katanya.

"Cepetan sini, anjing !"

Tak bergeming, aku tetap duduk di sudut kamar bersama dengan Rendi yang sedang mencoret-coret buku tulis bekas.

Hendra, dengan mulut berbisa terus mengata-ngataiku. Tetapi apa yang bisa dia perbuat ? Dia tak mungkin bisa memaksaku melayaninya seperti dulu lagi. Tangan dan kakinya yang patah dalam proses interogasi petugas penegak hukum tak akan mampu mencekik, menendang, atau menonjok lagi.

"Lu bisa nolak gua sekarang, tapi selamanya lu bakal tetep jadi bini gua." Ancamnya.

Akhirnya Hendra menyerah atas ketidakmauanku untuk memberikan 'jatah' untuknya. Dia bangkit perlahan dari kasur busa untuk terpincang-pincang pergi ke kamar mandi. Aku memperhatikannya berjalan terseok-seok. Selama inipun aku tak pernah membantunya untuk pergi ke kamar mandi. Dia biasa berjalan menggunakan bantuan sebuah tongkat. Tetapi hari ini, tongkat itu tak digunakannya lagi.

Dia sebentar lagi sembuh, batinku.

Di kamar mandi kudengar suara Hendra merintih-rintih menuntaskan hasratnya yang semakin menggunung bertumpuk-tumpuk tak pernah tersalurkan.

Dalam hal ini, aku merasa puas karena berhasil membuat Hendra pusing tujuh keliling menyiksanya secara tak langsung. Dulu, setiap hari dia memuaskan hasratnya mengecap kenikmatan yang diberikan tubuhku. Tak terbayang sebetapa besarnya dia mendamba untuk menikmatiku lagi. Sejauh ini dia hanya bisa berlaku seperti kucing sakit yang tak mampu menerkam tikus yang setiap saat lalu lalang di depan matanya.

Adit, sedang apakah kamu ?
Tiba-tiba fikiranku melayang pada Adit.
Aku kangen pelukannya, aku kangen suaranya yang berat serta dalam namun menenangkan, aku kangen sama...... ahh.....

Wajahku memerah sendiri mengingatnya.

Kubuka handphone dengan penuh harap semoga ada satu pesan darinya. Tapi nihil.

Ahhh.... apakah dia melupakanku ?

Sayang, aku terjebak disini tanpa daya.


**********


Bersambung ke
6. Keadilan
 
Episode 6
Keadilan


"Keadilan tak pernah berjalan,
Sebelum kita semua mengamuk di jalan"

(Quotes oleh Ajat Surajati)


Seekor laba-laba hitam merayap turun dari sudut ruang depan kontrakan. Binatang berkaki delapan itu lebat oleh bulu hitam pada sekujur tubuhnya. Bulu halus di sekujur tubuhku jadi meremang. Dia menggerakkan kakinya perlahan, menuruni dinding kusam.

Hap.

Laba-laba hitam lompat menerkam laba-laba kecil yang kakinya bergerak-gerak tak mampu melawan. Mata laba-laba hitam itu berwarna hijau terang. Sambil mengunyah mangsanya, mata laba-laba hitam terarah padaku.

Dia menyesap mangsanya sambil kami beradu pandang.

Laba-laba hitam dengan perlahan menjatuhkan mangsanya yang telah kering kerontang. Dan sekarang dia merayap lagi untuk turun hingga ke lantai. Jantungku berdentang, nafasku memburu kencang. Laba-laba mendekati kakiku, lalu merayap naik ke sepanjang betis.

Tenagaku hilang seakan lumpuh tanpa tulang. Dan tubuhku hanya diam menanti nasib menghadang. Laba-laba itu terus merayap, menuju lutut dan dia diam disana sebelum melanjutkan. Sekarang Binatang berbulu itu merayap lagi perlahan di pahaku menebarkan rasa geli dan seram.

Jangan.... Jangan kesana, binatang jahanam !

Batinku berteriak.

"Aaaaah...... !"

Dan aku membuka mata di ruang depan kontrakan yang gelap.

Mimpi sialan, kutukku.

Tetapi masih ada rasa geli di selangkanganku. Aku kaget saat kulihat laba-laba berbulu hitam yang sangat besar, sebesar bola basket, sedang menyesapi selangkanganku yang terkangkang.

"Aaaaaahhhhhhh !" Teriakku lantang.

Laba-laba itu menghentikan sesapannya, dan bangkit perlahan. Tubuhnya yang berbulu hitam bergerak dan... Wajah Hendra menatapku dengan sorot mata menyalang.

"Diam !" Katanya.

Sesuatu berkilat di matanya. Kilatan nafsu terpendam.
Dan sesuatu yang lain berkilat di tangannya. Sebuah pisau dapur mengancam.
Tenagaku hilang.

Sudah kusadari bahwa kejadian ini pasti akan datang kalau Hendra sudah sembuh. Nafsu syahwatnya yang terkekang berbulan-bulan tak mampu lagi ditahan oleh tubuhnya yang telah berangsur-angsur sembuh.

Hendra mengangkat kepalanya lebih tinggi dari selangkanganku. Matanya yang nyalang berubah sayu ketika dia menghirup celana dalamku yang telah terlepas dan berada di gengamannya. Aku menutup pahaku dengan cepat, tetapi tak lebih cepat dari tangannya yang melempar celana dalamku yang tengah dihirupnya ke lantai untuk kemudian kedua tangannya menahan kedua pahaku agar tetap terkangkang.

Pisau dapur jatuh tergeletak di dekat pahaku.

Mulut Hendra bersarang dengan jalang. Bak iblis sedang menghirup darah perawan.

"Jangaaaannnnn !" Rintihku.

Kedua kakiku memberontak menendang-nendang, juga kedua tanganku meradang memukuli kepalanya.

"Hmmmmm slurp slurp slurp" Lidahnya menggerayang ke celah yang dalam.

Tubuhku mengejang dan menggeliat berusaha menghindar.
Nyaris saja tubuhku bisa lepas, tetapi tubuh Hendra tiba-tiba menindihku dengan cepat, pisau dapur telah kembali di tangannya dan menempel di leherku. Bagian bawah tubuhnya ada diantara kedua pahaku, dan ini adalah posisi terlemah dari perempuan. Kalau sudah dalam keadaan begini, tak mungkin lagi melawan.

"Lu masih jadi bini gua.... jadi diam, atau gua bunuh lu !" Seakan sudah menjadi kebiasaan, Hendra selalu mengancam.

Aku tak mau lagi jatuh dalam pengaruh ancamannya. "Lebih baik lu bunuh gua sekarang !" Kataku sambil mengeluarkan segala tenaga yang tersisa. Tubuh Hendra terdorong ke samping, di dekat Rendi yang sedang tidur terlelap.

Mata Hendra makin tajam penuh dendam. Aku, tak mau lagi ditakut-takutinya.

Mati ? Matilah.

Menyadari kenekatanku, Hendra tak kalah gila. Pisau dapur dengan perlahan turun, menempel pada leher Rendi. Anaknya.

Gilakah suamiku ?
Aku pasrah menyerah jika dia membunuhku, tapi jangan sakiti anakku yang juga anaknya.

"Ayah macam apa kamu ?" Tanyaku tajam.

"Makanya, diem. Lagian gua cuman nuntut hak gua." Katanya sambil perlahan melepaskan pisau dari leher Rendi. Pisau itu kembali mengarah pada leherku. Aku diam ketika tubuhku yang tengah terduduk direbahkan.

Hendra memerosotkan celananya diantara kangkangan pahaku. Kejantanannya telah tegak.

Aku memejamkan mata, menanti serangan itu datang tatkala tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.

tok tok tok

Hendra diam.

tok tok tok

"Siapa ?" tanya Hendra. Tapi tak ada jawaban.

tok tok tok.

Sambil menatapku dan memberi kode untuk menutupi tubuhku dengan selimut, Hendra berdiri dan menaikkan celananya yang tadi telah diturunkan.

"Siapa sih ?" tanya Hendra sambil membuka kunci pintu.

Brak.

Pintu langsung terbuka, dan tiga orang masuk kedalam. Dua diantaranya langsung memegangi lengan Hendra dan menelikungnya.

Sambil menutup pintu, sesosok pria gemuk berbicara.
"Lu, masih punya utang sama gua."

Aku mengenal suaranya walaupun ruangan hanya remang-remang.

Cetrak, saklar lampu dihidupkan. Mataku berkejap-kejap silau oleh lampu yang dinyalakan.

Pak Dhani !
Batinku menyebutkan nama lelaki itu.

Dia datang dengan dua orang bertubuh hitam gempal penuh otot, berambut keriting.

"Balikin duit gua !" Katanya.

Dua lelaki yang menelikung Hendra mengencangkan telikungannya.

Krek.

"Aaaaawwwwwwwww" Hendra merintih karena tangannya yang baru saja sembuh dipatahkan lagi.

"Duit hasil gadai bini lu masih 8 juta belom gua ambil jatahnya. Ditambah lagi buat ngurusin kasus kita kemaren. Lu pikir pengadilan ngebebasin kita karena apa ?" Pak Dhani membentak-bentak.

"Ampun pakkkkkk. Saya ga punya aduuh.... uaaaang." Hendra mencicit.

"Jadi laki ga becus apa-apa aja lu belagu." Salah satu dari dua orang yang gempal itu kembali menelikung lebih kencang.

Krak.

"AaaaaAAAaaaaAAAAaaaaAAA"
Hendra terkaing-kaing seperti anjing digebuk.


Pak Dhani terkekeh menikmati suara kaing-kaing yang dikeluarkan Hendra karena tangannya yang satu lagi patah.

"Jadi lu mau bayar semua utang lu pake apa ?" Pak Dhani memaksa bertanya pada Hendra yang sedang kesakitan. Hendra tak mampu menjawab.

"Ngga bisa bayar pake duit ? trus pake apa ?" Matanya memandang ke arahku.

Aku menarik selimutku lebih tinggi di dada walaupun aku tahu bahwa selimut saja tak akan mampu melindungiku.

"Jawab, ****** !" Dua lelaki itu berbicara bersamaan. Tetapi Hendra tak mampu menjawab.

"Jadi bayarnya pake apa ? apa gua yang tentuin ?" Pak Dhani kembali bertanya sambil mendudukkan tubuhnya di lantai dekat pintu. Rumah kontrakanku memang tak ada kursi.

Hendra mengangguk lemah, diikuti cekakakan Pak Dhani yang puas tertawa. Pandangannya tertuju ke arahku.

Setannnn lu Hendraaaaaa.... hidup lu bikin masalah terusss... gua yang jadi korban lagiii.
Aku mengutuki Hendra dalam hati. Jemariku makin erat memegang selimut.


Tapi Pak Dhani hanya duduk di lantai.

"Sikat bro !" Katanya pada dua lelaki itu. Dan dua lelaki gempal itu terkekeh kekeh sambil cengengesan.

"Rejeki nih." Komentar salah satu diantaranya.

"Lu dulu apa gua dulu ?" Yang satu lagi bertanya.

"Gua dulu." Jawabnya.

Mereka tertawa.

Aku meringkuk di sudut ruangan, makin mengencangkan pegangan pada selimut.

Tiba-tiba dua lelaki gempal itu menyeret Hendra masuk ke kamar.

"Jebolin bo'ol nya bro." Kata Pak Dhani sambil tertawa ngakak. "Dua om itu preman, tapi demen pintu belakang karena kelamaan di penjara." Katanya padaku sambil mengedipkan sebelah matanya.

Hah ?
Aku melongo.

Dan di dalam kamar, Hendra melolong-lolong meminta ampun.


**********


Setengah jam yang mengerikan akhirnya berlalu. Hendra dipapah keluar kamar dalam keadaan telanjang tak mampu berjalan. Matanya mendelik menggamarkan horror yang tadi diterimanya. Sebulir darah mengalir di pahanya. Ia tak mampu bergerak ketika kedua lelaki gelap itu menjatuhkannya di lantai.

"Mantap bro... perawan" Dua lelaki itu terkekeh.

"Sekarang giliran gua ngambil jatah pembayaran." Pak Dhani bangkit menghampiriku yang meringkuk di sudut ruangan. Tangannya menarik selimut yang menutupi tubuhku.

"Ayo Billa cantik.... kenapa kamu menghilang dari kantor ? Saya kangen kamu." Katanya.

Tengah kami tarik menarik selimut, pintu terbuka.

Brak !

"Berhenti, atau saya tembak kalian !"

Semua pandangan kami tertuju ke arah pintu yang telah terbuka lebar. Satu moncong pistol mengarah kedalam. Sesosok tubuh yang menggenggamnya memasuki rumah kontrakan yang kini penuh orang.

Adit melangkah masuk menghampiriku, berdiri diantara aku dan mereka yang ingin berbuat tak senonoh.

"Kamu ngga apa-apa, Bella ?" Adit bertanya tanpa melepaskan pandangan dan todongan senjata dari tiga lelaki bejat yang sedang kaget.

"Wah wah wah...... sang pangeran datang." Sindir Pak Dhani. "Tau rasa nanti kalau istri dan mertuamu tau."

"Silahkan kasih tau. Tak ada pengaruhnya untuk saya." Jawab Adit.

"Bro... sikat, itu pistol bohongan." Perintah Pak Dhani pada dua preman gempal anak buahnya.

Secepat kilat dua lelaki gempal itu bergerak, tetapi...

Darrr !
Darrr !

Dua peluru bersarang di dada kedua lelaki gempal yang sekarang berdiri tertahan sambil memandangi dadanya yang bolong.

Pak Dhani memandang penuh kekagetan.

"Pistol beneran......" Desahnya.

Darrrr !
Satu tembakan terakhir mengenai bahu Pak Dhani yang kemudian terjatuh ke lantai.

Aku berteriak histeris menyaksikan. Rendi terbangun dan menangis ketakutan.

"Angkat tangan semua !!!!" Sebuah suara di pintu mengancam.

"Lepaskan senjata, atau kami tembak !" Suara itu diikuti beberapa sosok berseragam masuk ke rumah kontrakan petak kecil yang sekarang makin sesak.

Adit menaruh pistolnya ke lantai dengan perlahan. Kedua tangannya lalu terangkat. Sekilas kulihat bibirnya tersenyum seakan tak peduli kalau dia menghadapi ancaman tuduhan pembunuhan.

"Kalau aku dipenjara, kamu pergi ke villa bambu atau villa bata. Lanjutkan hidupmu Bella, segala kebutuhanmu untuk melanjutkan hidup sudah aku siapkan disana." Adit berbisik.

Bersambung ke

Bagian 3 :
Utama
 
Bagian 3 : Utama

"Looking for tomorrow set you free from yesterday,
Giving up your sorrow is the key to find your way."



Lagu berjudul "It's your dream" dari handphoneku samar-samar menemani kami. Pandanganku terus mengikuti Rendi yang bermain di halaman villa bambu. Sudah tiga bulan kami berdua tinggal disini, di sebuah kampung terpencil di kaki Gunung Halimun yang dingin.

Aku masih tak percaya akan apa yang telah terjadi. Adit menepati janjinya untuk membalaskan dendam dengan mengorbankan dirinya. Dia juga menepati ucapannya bahwa segalanya telah tersedia untukku disini. Aku tinggal melanjutkan hidupku, membesarkan Rendi.

Sebuah pepatah Sunda kuno yang sering kudengar terngiang di telingga.

Nista,
Maja,
Utama.

Hidup berawal dari "Nista", dan perjuangan hidup menuntun menuju "Maja" (pengucapan 'Madya' dalam bahasa Sunda kuno), dan akhirnya tinggal menunggu "Utama".

Akan kutunggu Adit, sang Utama-ku dengan penuh kesetiaan.

TAMAT

Desember kelabu 2022, di kaki Gunung Halimun.
 
Catatan akhir

Para pembaca sekalian, karena cerita ini tak terlalu banyak peminatnya maka saya memutuskan untuk menyudahinya dengan segera agar saya dapat melaju ke tulisan berikutnya yang lebih baik.

Saya ucapkan terimakasih pada anda semua para suhu penjaga forum tercinta yang sudah membaca sampai dengan akhir.

Semoga cerita saya berikutnya bisa lebih baik. Saya sangat menghargai saran dari anda semua mengenai genre cerita yang sebaiknya saya tulis untuk karya berikutnya.

Terima kasih
Bang Ajat
 
Wah sayang tamat nya dipercepat padahal aku pingin baca konflik yg berkepanjangan suhu, tapi teu nanaonlah aslina aluuusss ceritana mantaplah pokoknamah..
Hatur nuhun pisan update terakhirna n selamat atas gelar "TAMAT" na..
Mugi sehat n dilancarkeun di RL na kangge suhu @AjatSurajati2 sakulawargi aamin🤲🤲
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd