Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Istriku Widya dan Para Preman Yang Menjadikannya Budak Seks

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Part 08

Parjo memasangkan kalung di leher istriku yang masih berbalut jilbab. Entah dari mana ia dapat kalung seperti itu. Ia juga memasangkan rantai besi ke kalung itu. Sehingga leher Widya sekarang seperti mempunyai tali kekang.

Baru lima menit yang lalu Parjo dan Widya selesai bersetubuh. Kini Parjo menyuruh istriku untuk keluar kamar, bukan dengan berjalan kaki. Tapi dengan merangkak seperti anjing. Celana dalam lingerie merah yang ia gunakan tadi sudah dilepas. Hingga sekarang Widya tidak lagi mengenakan apa-apa kecuali jilbab di kepalanya.

“Ayo, tadi kamu bilang titit suamimu kecil kan? Sekarang minta maaf sama suami kamu non. Jadi istri yang baik buat suami kamu.” Kata Parjo.

Widya merangkak dengan tali kekang di lehernya. Payudaranya yang bertindik itu nampak bergoyang-goyang dan menggantung dengan indahnya. Widya kemudian mencium kakiku sambil meminta maaf.

“Maafkan aku ya pah.” Kata Widya istriku.

Sejujurnya, aku tak tahu harus berkata apa. Aku ingin marah, namun tak bisa. Melihat istriku sekarang ini bersimpuh telanjang bulat seperti budak. Aku justru merasa terangsang berat.

“Istri binal kayak gini memang harus dihukum.” Kata Parjo kemudian.

Entah darimana ia juga mendapatkan sebuah cambuk. Cambuk itu ia gunakan untuk melecut punggung dan pantat Widya. Tidak terlalu keras sebenarnya. Goresannya hanya menimbulkan sedikit guratan merah di kulit istriku.

“Ampun, jangan.” Rintih Widya.

Tapi Parjo terus saja melecut-lecutkan cambuk itu ke punggung Widya. Hingga semburat merah yang tadi hanya nampak samar-samar, kini terlihat semakin jelas.

“Ayo, kita jalan-jalan keluar! Kamu harus ikut juga!” Kata Parjo kepadaku.

Parjo menyeret Widya dengan rantai yang terpasang di lehernya. Tanpa penolakan, Widya mengikuti Parjo merangkak ke luar rumah.

Aku sempat tersentak, tunggu, Widya keluar rumah dengan keadaan seperti itu? Bagaimana jika sampai ada tetangga yang melihat. Atau bagaimana jika sampai ada yang memergoki dan melaporkan kejadian ini kepada yang berwajib?

Kompleks rumahku memang masih sepi. Rumah-rumah dibangun secara jarang dan berjarak cukup jauh satu sama lain. Hari memang sudah malam sekarang dan bisa jadi tidak ada orang yang berjalan-jalan keluar rumah. Tapi tetap saja, aku merasa khawatir.

Aku ikuti Parjo dan Widya keluar rumah. Benar saja, Widya tanpa malu-malau mengikuti Parjo keluar dari pagar. Ia merangkak seperti anjing. Sedangkan Parjo berjalan santai dengan menarik tali kekang yang ada di leher istriku.

“Ah ini bisa jadi hiasan bagus.” Kata Parjo.

Ia memungut sebuah lonceng kecil yang memang ada di pagar rumahku. Lonceng itu hanyalah sebuah hiasan saja sebenarnya. Tapi Parjo kemudian memasang lonceng itu di cincin yang ditindik di kelentit Widya. Dan lonceng itu jadi bergeremincing setiap kali Widya bergerak.

Gemerincing lonceng itu memang terdengar lirih. Tapi tetap saja, di malam yang sepi seperti ini, gemrincing itu bisa saja terdengar dari jarak yang lumayan jauh. Aku jadi semakin was-was jika Widya sampai terpergok orang dalam keadaan memalukan seperti ini.

Di sisi lain, aku sangat terangsang dengan pemandangan ini. Melihat Widya telanjang bulat merangkak di jalan paving kompleks perumahan ini membuat kontolku meronta-ronta di dalam celana.

“Ayo, jalan terus non!” Perintah Parjo.

Parjo memerintah Widya untuk terus merangkak sambil melecuti punggungnya dengan cambuk. Tidak hanya itu, Parjo juga tak segan menarik-narik tali kekang di leher istriku hingga membuatnya hampir terjatuh.

“Sekarang giliran kamu, aku serahkan hukuman untuk non sama kamu.” Kata Parjo kepadaku di sebuah persimpangan jalan.

Aku kaget, Parjo tiba-tiba menyerahkan tali kekang untuk kalung rantai Widya kepadaku. Ia juga memberikan pecut yang ia genggam.

“Kamu bisa aja lanjutin hukuman Non Widya, atau bisa juga pulang ke rumah. Itu terserah kamu. Untuk sekarang, nasib Non Widya ada benar-benar di genggaman tanganmu.” Kata Parjo kepadaku.

Di hadapanku sekarang memang terbentang dua arah jalan. Ke kanan itu artinya balik ke kompleks rumahku. Atau ke kiri, arah yang justru menjauh dari kompleks. Aku bimbang, tiba-tiba diberi pilihan seperti itu. Tapi entah mengapa, di dalam hatiku aku ingin menghukum istriku lebih jauh lagi.

Ctarr! Tanganku secara otomatis mencambuk punggung Widya. “Ayo, jalan lagi lonte!”

“Ah iya tuan, ampun, aku akan jalan.” Kata Widya.

Ada rasa puas ketika Widya mulai jalan merangkak lagi atas perintahku. Selama ini, ia sudah jarang mendengar perintahku sebagai suami. Tapi kini, ia merangkak telanjang seperti wanita binal sesuai dengan perintah yang aku berikan.

“Ayo, lebih cepat lonte!” Ctarr! Kataku memerintah Widya sambil melecut punggungku.

Lecutanku nampak lebih keras dari lecutan-lecutan Parjo. Semburat merah yang dihasilkan lebih kelihatan jelas. Widya juga melenguh lebih keras ketika aku lecut.

Jantungku berdegup sangat kencang. Meskipun menghukum Widya, tapi ada rasa was-was juga jika apa yang kita lakukan ini sampai ketahuan orang. Apa yang akan orang bilang jika sampai kita terpergok warga? Seorang suami gila yang menggiring istrinya untuk merangkak telanjang di jalan?

Di ujung jalan terdapat sebuah taman. Aku minta Widya untuk merangkak ke taman itu. Ia menurut tanpa sekalipun membantah perintahku.

Dari belakang, aku bisa melihat dengan jelas kulit mulus tubuh Widya. Tubuhnya yang tidak gemuk dan tidak kurus itu benar-benar menggairahkan. Payudaranya yang menggantung indah itu nampak ingin diremas-remas. Sementara itu lubang dubur dan vaginanya nampak terlihat jelas dari belakang, seolah meminta untuk ditusuk-tusuk.

Dari lubang vagina, merembes cairan-cairan kental. Cairan itu membasahi tindik cincin yang terpasang di kelentit istriku. Cairan itu juga membasahi lonceng yang sengaja Parjo pasang di tindik cincin Widya.

“Nah, sekarang istirahat dulu.” Kataku kepada Widya.

“Terimakasih tuan.” Kata istriku.

Ia nampak cukup letih berjalan merangkak seperti itu. Telapak tangannya memerah, dan lutunya juga mengalami hal yang sama. Jalan paving yang keras itu membuat kulitnya sedikit lecet. Keringat juga nampak membasahi sekujur tubuhnya, termasuk juga jilbab yang ia kenakan.

Aku giring Widya ke sebuah kolam. Di dalam kolam itu nampang terdapat beberapa ikan hias, namun tidak bisa jelas terlihat. Airnya agak keruh dan sepertinya jarang dibersihkan.

“Kalau capek, sekarang minum dulu.” perintahku.

Dengan kaki, aku mendorong kepala Widya mendekat ke kolam.

“Tuan, apa, jangan tuan.” Kata Widya. Ketika ia sadar aku menyuruhnya minum air kolam itu.

“Kenapa? Kalau anjing biasa aja minum air kayak gini!” Kataku dengan agak menghardik.

Parjo yang ada tidak jauh dariku nampak senyum-senyum saja. Ia bahkan sesekali merekam adegan ini dengan kamera handphone miliknya. Aku tak peduli, sudah banyak rekaman Widya dan aku di kamera handphone miliknya. Tambah satu tak membuatku lebih khawatir.

Akhirnya, Widya menuruti perintahku. Ia tundukan kepalanya dan meminum air di kolam itu seperti anjing. Ya, ia minum seperti anjing dengan menjulur-julurkan lidahnya ke air kolam.

Puas sekali rasanya bisa menghukum Widya seperti itu. Aku juga merasa terangsang sekali melihat kondisi istriku sekarang. Kontolku sudah mengeras maksimal di balik celanaku. Rasanya, aku ingin menyetubuhinya sekarang juga.

“Ayo, sekarang merangkak ke kursi taman itu!” perintahku lagi.

Widya merangkak ke sebuah kursi taman yang berbuat dari logam. Kursi itu nampak agak basah karena tadi sempat hujan.

“Sekarang duduk, dan buka selangkanganmu lebar-lebar!” perintahku.

Dengan sedikit malu-malu, Widya duduk dan membuka kakinya di atas kursi itu. Widya tak berani menatap mataku. Aku bisa melihat dengan jelas jika cairan bening mengalir dengan deras dari lubang kemaluan istriku. Itu tandanya jika ia teransang juga dengan hinaan demi hinaan yang aku berikan.

Lonceng kecil yang terpasang di tindik cincin itil Widya aku lepas. Kemaluannya yang mulus tanpa bulu itu terpampang sudah sekarang. Tato yang ada di atas memek istriku malah membuatnya semakin menggairahkan. Mulus sekali memek istriku, bentuknya masih padat meskipun banyak dipakai preman-preman seperti Parjo.

Dengan kedua tangan, aku buka labia Widya. Dari sana aku bisa melihat bagian dalam kemaluan istriku yang berwarna kemerah mudaan. Sungguh sangat menggairahkan sekali.

Ah ya, ini bisa dibilang pertama kali aku liat lagi bagian dalam memek istriku setelah sekian lama. Ya aku memang sering melihatnya telanjang dan aku sering melihatnya disetubuhi oleh para preman itu. Tapi aku jarang melihat bagian dalam memek istriku setelah peristiwa ia diperkosa dulu. Sungguh bahagia rasanya, aku seperti punya kendali penuh atas tubuh istriku yang selama ini direnggut oleh para preman.

Tanpa berlama-lama lagi, aku melepas celana. Kontolku yang sudah tegang itu berdiri dengan kokohnya.

Bless, aku masukan kontolku ke memek Widya. Kontolku yang kecil itu dengan mudah masuk ke memek Widya yang sudah merasakan berkali-kali disetubuhi kontol raksasa. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak menyetubuhi istriku sendiri. Namun memeknya masih terasa sama seperti dulu. Hangat dan terasa begitu menggigit.

“Ah enak, memek kamu enak lonte!” Kataku dengan otomatis.

Aku tak tahu mengapa aku mengatakan kalimat itu kepada istriku sendiri. Aku melihat, ada nanar di mata Widya, seperti ia mau menangis.

Tapi aku tak peduli, aku genjot kemaluan istriku yang sudah lembab itu. Aku juga tak peduli jika memek itu tadi dinikmati oleh Parjo. Aku tak peduli cairan lembek di memek istriku ini sekarang cairan lubrikasi dari dirinya sendiri atau peju Parjo yang bercampur aduk.

Aku lihat Widya meliriku, ia melirik dengan tatapan yang aneh. Aku menyodok memeknya dengan penuh semangat, tapi ia tak sedikitpun bergeming. Tidak ada lenguhan, tidak ada ekspresi khas wanita yang sedang disetubuhi laki-lakinya. Ia hanya diam, ia tak bereaksi, seolah sodokan-sodokanku itu tak ada rasanya baginya.

Di dalam diriku merasa marah, aku teringat bagaimana Widya mengeliat-geliat disetubuhi Parjo. Ia juga melenguh-lenguh seperti pelacur murahan ketika disetubuhi Kusni dan teman-temannya. Ia seperti ketagihan kontol para preman itu. Tapi ketika bersetubuh denganku, Widya hanya diam, membisu. Seoalah kontolku tidak bisa lagi memuaskannya.

Aku coba lebih keras lagi menyetubuhi Widya. Aku sodok kontolku hingga penggulku merasa kaku. Tapi sekali lagi tak ada tanggapan berarti dari Widya. Ia hanya menatapku kosong, seolah tak merasakan apa-apa dari sodokanku. Tak ada desahan sama sekali yang keluar dari mulut istriku. Tak ada ekspresi sange yang muncul di wajahnya. Aku hanya mendengar suara tumbukan pinggulku dengan selangkangan Widya. Dan sedikit suara decitan kursi taman yang terbuat dari besi ini.

“Ah, ayo lonte, ayo, bilang kontolku enak!” Kataku kepada Widya.

Tapi tak ada reaksi apapun dari Widya kecuali tubuhnya yang bergerak mengikuti irama sodokan kontolku.

“Ayo lonte, lonte murahan, lonte kampungan!” Kataku mencai maki istriku sendiri.

Aku terus menyodok kontolku, meskipun pinggulku sudah terasa sakit sekali. Aku ingin Widya melenguh-lenguh seperti ketika ia disetubuhi Parjo dan Preman2 itu. Aku mau ia tunduk kepadaku. Tapi semua itu nampaknya sia-sia. Aku tak mampu seperti para preman itu. Aku lemah, dan tak lama setelah itu, peju dari dalam kontolku menyembur keluar di dalam rahim Widya.

Srooot, srroot, sroot, cairan pejuku menyembur dengan derasnya.

Widya tak bergeming sedikitpun, ia juga tak mengucapkan satu patah katapun.

Ketika aku mencabut kontolku dari memeknya, Widya hanya menatapku secara hampa.

Darahku semakin mendidih, aku ingin marah dan menampar istriku. Aku ingin ia tunduk di bawahku, aku ingin ia jadi budak milik-ku, bukan budak milik para preman itu.

Tapi apa daya, aku tak bisa memuaskan istriku sendiri. Apalagi setelah ia merasakan kontol-kontol besar para preman itu.

‘Klontang!’ Sebuah logam jatuh tiba-tiba mengagetkan aku dan Widya.

Di taman itu ternyata ada sosok lain selain kami bertiga. Pria itu berpakaian dekil, ia baru saja menjatuhkan mangkuk logam ke atas paving.

“Ka, kalian, apa yang kalian lakukan?” Kata pria dekil itu.

Pria dekil itu sekilas nampak seperti tunawisma yang memang sering mangkal di taman-taman kota. Pakaiannya compang-camping dan tubuhnya seperti tak terawat. Tubuhnya nampak sedikit tambun dan besar.

Aku kaget bukan main tertangkap basah di tempat umum seperti ini. Penisku masih meggantung basah setelah menyetubuhi Widya. Sementara itu Widya masih mengangkang lebar. Kemaluannya terbuka dengan cairan sperma miliku yang merembes keluar dari kemaluannya.

“Oii, ada yang mesum di sini, oiii!” Teriak Laki-laki dekil itu tiba-tiba.

Aku panik bukan main kalau sampai digerebek orang banyak, nama baik keluargaku bisa tercoreng. Bisa saja, aku dan Widya akan diarak oleh warga dalam keadaan bugil. Bahkan beritanya bisa tersebar ke seantero media sosial.

“Tunggu, jangan teriak!” Kataku.

Si lelaki dekil itu diam sejenak, tapi tidak lama ia teriak lagi.

“Oii, ada orang mesum, ada orang ngentot!” Teriaknya.

“Diam, Jangan teriak lagi!” Kataku. “Kalau kamu diam, ini lonte bakal sepong kontolmu!” Kataku secara hampir otomatis.

Widya nampak kaget mendengar perkataanku. Jangankan Widya, akupun kaget. Aku tak mengira sampai hati menyuruh istriku sendiri untuk menyepong seorang tunawisma.

“He? Bener? Haha, bolehlah kalau gitu.” Kata tunawisma dekil itu.

Tanpa babibu, pria itu membuka celananya. Kemaluannya nampak dekil sekali dan tidak terawat.

“Ayo lonte, sini, sepong kontolku!” Kata tunawisma itu.

Widya tidak berkata apa-apa, ia menuruti perintah tunawisma itu. Ia mendekat ke tunawisma itu dan mulai menjilati kontol dekil si tunawisma.

“Wah, enak, enak banget seponganmu.” Kata si tunawisma. “Jarang-jarang ada lonte pakai jilbab kayak gini.”

Aku hanya tertegun melihat istriku menyepong tunawisma dekil yang mungkin sudah tidak mandi berhari-hari. Ia jilati kontol yang berwarna hitam pekat itu, dengan bulu kemaluan lebat tidak tercukur. Kontol tunawisma itu lumayan besar, hampir sebesar kontol Parjo.

Widya menyepong kontol si tunawisma dengan nyaris tanpa rasa jijik. Padahal kontol itu dipenuhi dengan kerak-kerak putih karena jarang dibersihkan. Dari jauh saja, bau badan si tunawisma itu bisa aku cium. Aku tidak bisa membayangkan apa yang Widya cium dari jarak dekat.

Aku tidak lagi melihat Parjo, ia menghilang sejak aku ngentot Widya di kursi taman tadi. Apakah si tunawisma ini segaja dipanggil oleh Parjo? Atau hanya kebetulan aja dia muncul?

“Enak banget non seponganmu, ahhh sedepp!” Kata si tunawisma.

Slurrphh! Slurrph! Suara sepongan Widya ketika ketika kontol besar itu mulai masuk ke dalam mulutnya.

“Iya gitu non, sepong terus non, uhhh enak, manteb banget non!” Kata si tunawisma.

Mulut Widya terlihat membuka lebar sekali supaya kontol itu bisa masuk. Air liur-nya nampak sudah menetes-netes, mungkin bercampur juga dengan cairan-cairan pre-cum dari kontol si tunawisma. Cairan itu mengalir hingga membasahi jilbab dan payudara istriku.

“Ah, ijin aku remas-remas ya non lonte teteknya!” Kata Tunawisma itu.

Widya hanya menjawab dengan sedikit anggukan kepala.

Si tunawisma nampak senang sekali meremasi payudara Widya. Tangannya yang kotor dan dekil itu meremas payudara istriku seperti meremas adonan kue. Ia meremasnya cukup kencang hingga membuat Widya sendiri mengeluh-lenguh.

“Ouugghh hmmmpphh!” rintih Widya.

Si tunawisma itu duduk di kursi taman, ia kemudian meminta Widya untuk melanjutkan menyepong kontolnya. Tapi ia juga meminta Widya untuk mejepit kontolnya dengan kedua payudaranya.

Kontol si tunawisma itu cukup panjang ukurannya. Meskipun sudah dijepit payudara istriku tapi batangnya masih belum tenggelam seutuhnya. Sisa batang kontol itu Widya emut dengan lembut.

“Emang enak seponganmu non. Siapa nama kamu non? Kita belum kenalan nih.” Kata si tunawisma. “Namaku Sukmo.” Kata dia.

“Uggh, ooompph, namaku Widya.” Kata istriku sambil tetap menyepong kontol Sukmo.

“Nama yang cantik.” Kata Sukmo, “Secantik orangnya.” tambahnya lagi.

Sukmo mengangkat kepala Widya dan kemudian menciumnya. Lidah mereka saling beradu seperti sepasang kekasih. Tampak tak ada perlawanan sama sekali dari istriku ketika lidah Sukmo mengaduk-aduk mulutnya.

“Non cantik-cantik gini kok ngelonte sih?” Tanya Sukmo.

Widya tak menjawab, yang ia lakukan justru mengelus-elus kontol Sukmo dengan tangannya.

“Haha, kalau ndak mau jawab sih gak papa non.” Kata Sukmo. “Sini, masukin non, aku sudah tidak tahan lagi.” Tambah Sukmo.

Widya diminta mengangkangi kontol Sukmo. Dan pelan-pelan kontol tunawisma itu mulai merangsek masuk ke memek istriku.

Aku terkejut, aku sama sekali tidak meminta Widya untuk ngentot dengan tunawisma itu. Aku hanya ingin istriku menyepong tunawisma itu agar ia tutup mulut. Bukan bersetubuh dengan pria yang dekil ini.

“Oh, memek kamu sempit non, enak banget.” Kata Sukmo.

“Ah, iya, urrgghh!” rintih Widya merasakan memeknya kembali dijejali kontol besar.

“Enak mana non? Kontol saya atau kontol orang yang di sana itu.” Kata Sukmo menunjuk kepadaku.

Widya tidak menjawab, ia justru mulai menggoyang pinggulnya.

“Enak kontol saya ya non. Buktinya non mulai goyang sendiri ini.” Ejek Sukmo.

Widya hanya menjawab dengan anggukan lemah. Ia nampak konsetrasi menikmati kontol Sukmo yang menjejali memeknya. Kontol Sukmo ketika sudah tegang maksimal memang tidak sepanjang kontol Parjo. Tapi ukurannya bisa dibilang lebih gemuk dan besar.

“Kontol saya besar ya non? Lebih besar dari cowok di sana itu? Kontolnya kecil non, mana bisa buat non puas.” Katanya mengejekku.

“Iya, kontolnya kecil, lebing enak kontol Mang Sukmo.” Kata Widya dengan lirih.

“Hahaha, bener kan. Enak kontol saya, apa saya bilang!” Kata Sukmo.

Aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Widya ini. Parjo dan kawan-kawan memang sering mengejek ukuran kemaluanku. Tapi Widya tidak pernah mengucapkan itu sebelumnya. Baru kali ini saja, ia berkata kalau kemaluanku kecil.

“Ternyata non pakai tato ya di perut? Udah ditindik teteknya, perutnya di tato juga, ah ini kelentit non ditindik cincin juga. Non binal banget!” Kata Sukmo.

“Iya, ah, aku binal, aku binal. Ah ah ah!” Rintih Widya sambil terus menggoyangkan pinggulnya.

Bunyi kecipok tumbukan kelamin Widya dan Sukmo terdengar sangat keras. Widya terus menggoyangkan kontol besar itu di dalam memeknya. Ia seolah tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Dan yang jelas, ia tak peduli dengan keberadaanku.

Hampir tanpa sadar, aku mengarahkan handphone untuk merekam persetubuhan Widya dengan Sukmo. Aku mungkin mulai kehilangan kewarasanku. Aku rekam persetubuhan istriku sendiri dengan seorang tunawisma yang sama sekali tidak kita kenal.

Tidak hanya merekam, aku juga merasa terangsang melihat persetubuhan itu. Kontolku yang sampai sekarang masih telanjang, kondisinya sudah kembali berdiri maksimal. Aku benar-benar terangsang melihat Widya bersetubuh dengan orang yang dekil dan kotor seperti Sukmo.

“Liat tuh non, dia rekam kita.” Kata Sukmo.

Widya melirik ke arah kamera handphone. Aku bisa melihat dengan jelas ekspresi sange di wajahnya. Dan Widya sama sekali tidak berusaha menutupinya. Ia terus goyangkan pinggulnya sambil menatap ke kamera. Seolah menantang aku yang merekam dengan kamera ini untuk bisa lebih baik dari si pemulung tua dekil ini.

Slurrpph sluurrp, si tunawisma dekil itu mengenyot payudara Widya. “Ndak cuma enak diremes-remes non, dikenyot-kenyot juga enak tetek non ini. Beruntung banget saya bisa rasain badan non!” Ungkap Sukmo.

“Iya, urrghh.” Rintih Widya. “Sedot Mang, sedot tetek Widya.” Kata istriku sedikit mulai menimpali kata-kata Sukmo.

Slurrph, sluuurrph, “Iya non, enaknya tetek non ini. Padet, putih, sekel. Ngimpi apa semalem aku ini.” Kata Sukmo.

Sukmo menyedot-nyedot payudara Widya sambil terus bersetubuh. Widya menaik turunkan pinggulnya agar kontol besar Sukmo itu mengaduk-aduk memeknya. Cairan lubrikasi sudah mengalir kemana-mana. Membasahi selangkangan Widya, Sukmo, dan bahkan kursi tempat mereka beradu badan.

Mereka bersetubuh dalam keadaan WOT selama lebih dari 15 menit. Widya bahkan sampai sempat mengalami sekali orgasme ketika itu. Tubuhnya melengking diatas pangkuang Sukmo. Ia mengerang seperti wanita murahan.

Bosan dalam posisi WOT, Sukmo menyuruh Widya untuk menungging. Tangannya bertumpu pada bangku taman sementara bagian belakang punggungnya terbuka lebar bagi Sukmo. Payudara Widya menggantung bebas tanpa ada penghalang.

Sukmo kembali menjejalkan kontolnya ke dalam memek Widya. Dan tanpa menunggu lama-lama, ia sodok-sodok vagina istriku. Sukmo cengkram pinggul Widya untuk membantunya mengatur tempo sodokan. Namun ia juga sesekali menampari pantat Widya hingga nampak berkas-berkas merah disana.

“Enak banget non, nyodok non Widya dari belakang kayak gini.” Seru Sukmo.

Kontol Sukmo yang besar merangsek masuk begitu dalam di rahim Widya. Aku bisa melihat vagina istriku kembang kempis menerima sodokan Sukmo. Cairan-cairan kental mengalir dengan deras keluar dari dalamnya. Entah cairan apa saja yang mengalir keluar itu. Bisa saja itu cairan orgasme Widya, atau campuran spermaku tadi.

“Ayo, sini rekam lebih jelas!” Kata Sukmo menyuruhku untuk mendekat. Ia tidak risih direkam sambil bersetubuh seperti itu.

Sodokon Sukmo semakin lama semakin liar. Widya sampai harus kehilangan kontrol atas tubuhnya.

“Non enak banget sih badan non, urggh, aku mau keluar, keluarin di mana non?” Tanya Sukmo.

Dengan suara terengah-engah Widya hanya jawab “Terserah, suka-suka Mang Sukmo aja.” Kata istriku.

“Wah, hehe, kalau gitu saya keluarin di dalem ya non, biar non hamil anak saya!” Kata Sukmo.

“Terserah Mang, saya tidak peduli. Aku mau sampe juga, kita sampai bareng Mang!” Jerit Widya sambil terus melenguh-lenguh karena sodokan kontol Sukmo.

“Oke non, kita sampai bareng ya non! Ayo non, kita sampai bareng!” Kata Sukmo. Ia mempercepat tempo sodokannya hingga bunyi tumbukan kelaminnya dan istriku terdengar membahana.

“Uhhh iya, aku mau sampai Mang, aku mau sampai!” Jerit Widya.

Tak berapa lama kemudian, Widya dan Sukmo mencapai orgasme secara bersamaan. Sukmo menumpahkan sperma kentalnya ke dalam rahim istriku. Banyak sekali cairan kental itu, sebagian bahkan sampai meluber keluar dari lubang vagina Widya.

Si Tunawisma itu pergi setelah menikmati tubuh Widya. Ia biarkan istriku terkulai lemah di bangku taman. Tubuhnya penuh keringat dan berantakan sekali. Serta dari dalam vaginanya-nya mengalir cairan kental milik Sukmo.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd