Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Istriku Widya dan Para Preman Yang Menjadikannya Budak Seks

Part 02

Setelah hampir 30 menit perjalanan, mobil kijang kuno inipun berhenti. Rupanya mobil ini berhenti di sebuah rumah tua yang kotor seperti gudang. Widya, istriku diminta turun lebih dulu. Sementara aku masih dibiarkan terikat di belakang mobil kijang ini.

Screenshot-2022-12-05-215646.jpg

Illustrasi Widya

Aku merasa khawatir dengan kondisi Widya, apa yang akan mereka lakukan kepadanya. Hanya saja, aku tak mendengar suara apapun dari istriku. Bahkan selama perjalanan panjang ini, ia tidak mengucapkan satu patah katapun.

Aku hanya sempat mendengar suara decapan becek. Entah dari mana suara itu? Apakah itu suara Widya? Atau suara dari tempat lain? Aku juga sempat mendengar seperti lenguhan, tapi aku tak bisa memastikan apakah itu suara Widya apa bukan.

Cukup lama aku ditinggalkan di dalam mobil itu, hingga Kunto kembali ke mobil untuk menjemputku.

“Ayo bangun!” Perintahnya.

Mataku masih berkunang-kunang dan perutku masih terasa cukup sakit. Mungkin karena jengkel aku bangun secara lambat, Kunto kembali memukulku. Pukulannya mendarat di punggungku dan membuatku tersungkur di atas tanah.

“Uhuuk, urrggh!” Lenguhku.

“Dasar laki-laki payah!” Kata Kunto.

Ia menendangku tepat di perutku yang masih sakit.

“Hentikan, hentikan.” rintihku meskipun suaraku tidak terdengar jelas karena mulutku disumpal oleh kain.

Kunto nampak menikmati kesakitan yang aku alami. Entahlah, mungkin ia punya kelainan seperti itu.

Plukkk! Ia menjatuhkan sebuah benda tepat di hadapanku. Benda itu adalah kain yang tadi ada di dalam mobil. Kain itu memang Kunto ambil dan sempat ia cium-cium aromanya.

Di dalam mobil tadi, aku tidak bisa melihat dengan jelas kain apa itu. Tapi sekarang, dengan diterangi lampu rumah tua, aku bisa melihat benda itu dengan cukup jelas.

“Kamu tahu ini apa?” Tanya Kunto.

Ternyata kecurigaanku benar adanya. Kain itu adalah celana dalam wanita. Celana dalam istriku Widya. Celana dalam itu basah dan becek. Penuh dengan cairan yang lengket.

Aku shock melihat celana dalam itu. Jadi, semenjak di dalam mobil tadi, para preman itu sudah melepas celana dalam istriku?

“Wangi ini kancut istrimu!” Kata Kunto sambil mengibarkan celana dalam itu dengan kedua tangannya.

Aku bisa melihat, bercak cairan itu tepat ada di bagian tengah celana dalam. Tepat di bagian kemaluan istriku jika ia memakainya.

“Kamu mau tau apa yang terjadi dengan istrimu di dalem mobil tadi?” Kata Kunto.

Jujur saja, aku tak tahu harus menjawab apa. Tubuhku tegang bukan main. Aku merasa eneg, membayangkan Widya dipermainkan oleh para preman-preman itu.

“Aku akan cerita, tapi kamu tidak boleh marah atau berontak. Kalau sampai kamu marah atau berontak, maka kamu akan kami bunuh. Istrimu juga akan kami bunuh juga. Tapi ya mungkin kita bisa senang-senang dulu sebelum dia mati.” Kata Kunto dengan enteng. Seolah nyawaku dan istriku itu bukan apa-apa buatnya. “Gimana, kamu mau mendengar ceritaku?”

Aku hanya bisa menjawab dengan diam. Aku benar-benar binggung, tak bisa bereaksi dalam keadaan seperti ini. Harusnya aku marah, dan memberontak. Tapi nyaliku ciut di hadapan para preman ini.

Bukkkk!!

Kunto kembali menendang tubuhku. Kali ini tendangannya mendarat tepat di buah zakarku. Aku melenguh kesakitan, rasanya buah zakarku seperti mau pecah.

“Kalau ditanya itu jawab, minimal pakai anggukan kepala.” Kata Kunto.

Aku hampir seketika menganggukan kepala. Rasa sakit di sekujur tubuhku, terutama di buah zakarku, membuat kepalaku tidak bisa berfikir dengan jernih.

“Nah gitu donk,” Kata Kunto. “Nih ciumin cangcut istrimu nih.” Kata Kunto. “Padahal baru di grepe-grepe bentar aja, dia udah basah kayak gini? Istrimu itu benar-benar gampang banget terangsang. Udah cantik, hijaber, gampang dirangsang lagi. Kombinasinya pas bener.” Kata Kunto.

Jantungku seketika mau berhenti mendengar hal itu. ‘Di grepe-grepe? Jadi selama di mobil istriku digrepe-grepe sama mereka?’ Kataku dalam hati. (tanda petik satu ‘ mulai sekarang artinya kata-kata dalam hati - tidak diucapkan secara kencang).

“Pasti kamu jarang belai-belai istrimu ya? Makanya dia kayak cewek jablay. Digrepe dikit aja udah basah banget cangcut-nya. Bener ya? Kamu jarang ngasih jatah ke istri?”

Aku masih shock mendengar itu, ‘selama di jalan Widya di grepe-grepe sama preman?’

Bukkkkk!!

Kunto menendang perutku lagi. “Kalau ditanya itu jawab!” Teriak Kunto.

Aku melenguh kesakitan menerima tendangan Kunto. Perutku benar-benar sakit bukan main. Aku jawab pertanyaan Kunto tadi dengan anggukan kepala. Memang benar jika aku dan Widya cukup jarang berhubungan badan. Paling hanya seminggu sekali, itupun ketika aku tidak capek setelah pulang kerja. Awal-awal menikah, kami cukup rutin berhubungan, mungkin 2 kali dalam seminggu. Tapi sekarang, pekerjaanku di kantor cukup banyak menyita waktu dan tenagaku.

“Sudah aku duga!” Kata Kunto. “Suami model kayak kamu pasti lebih seneng kerja di kantor daripada nyenengin istri.” Tambahnya.

Aku tahu, pernyataan Kunto itu ada benarnya. Semenjak aku setahun ini aku sangat sibuk dengan perkerjaan. Ditambah lagi, aku kecewa karena sampai sekarang belum dikaruniai anak. Hal itu membuat aku semakin minder untuk meminta Widya berhubungan badan.

“Kamu tau, istrimu tadi banjir banget, padahal Bos Parjo awalnya cuma belai-belai mekinya dari luar.” Kata Kunto sambil jongkok tepat di depan wajahku. “Istrimu sampai nunduk nahan nikmat dibelai kayak gitu. Kasihan bener dia, jarang banget dibelai suaminya. Makanya dibelai-belai preman kayak kami dikit aja udah sange benget.” tambahnya.

Aku benar-benar tak percaya mendengar itu. Apakah Widya semudah itu takluk ke tangan preman-preman ini?

“Teteknya istrimu juga kenyal banget. Belum pernah aku rasain tetek sekenyal itu.” Kata Kunto. “Padahal, aku cuma remes-remes dari kursi belakang. Bayangin gimana Bos Parjo atau Kusni yang remes-remes tetek istrimu dari depan? Pasti jauh lebih kenyal lagi. Istrimu cuma bisa merem melek, rasain teteknya diremes ama tangan-tangan kasar preman kayak kita-kita ini. Pasrah banget dia, sama sekali ndak nolak waktu teteknya kita remasin.”

Telingaku terasa panas mendengar kata-kata Kunto. Jantungku juga berdegup dengan kencang. Perutku terasa mual, membayangkan Widya istri tercintaku dilecehkan oleh preman-preman seperti mereka ini.

Widya wanita yang alim, sehari-hari memakai jilbab untuk menutupi aurat. Tapi hari ini ia digerayangi orang yang bukan muhrimnya. Bahkan ia mengalaminya tepat di hadapanku.

Rasanya aku ingin marah, aku ingin mengumpat. Tapi aku takut membuat Kunto murka dan kembali memukuliku. Atau bahkan lebih parah lagi, ia bakal membunuhku dan istriku.

Aku merasa tak berdaya, hanya bisa mendengarkan cerita Kunto sambil terikat di atas tanah. Tubuhku tegang mendegar ceritanya. Awalnya aku mengira, aku tegang karena marah. Tapi aku sadar, kemaluanku juga menjadi tegang. Bahkan batang kemaluanku seperti memberontak ingin keluar dari celana.

“Karena basah, cangcut istrimu dicopot sama Bos Parjo!” Tambah Kunto. “Istrimu sama sekali ndak melawan waktu cangcut-nya dilepas. Bahkan ia angkat pantatnya waktu kita narik cangcut-nya di dalem mobil.” Kata Kunto.

Aku tambah tegang mendengar kata-kata Kunto. Jadi selama lebih dari setengah jam di mobil tadi, istriku tidak pakai celana dalam sama sekali? Dan para preman itu bisa menjamah area pribadinya secara bebas tanpa penghalang?

“Bos Parjo bilang, memek istrimu tembem, dan bersih banget tanpa jembut sama sekali. Pas sesuai selera Bos Parjo.” Kata Kunto.

Memang benar, Widya selalu mencukur bulu-bulu kemaluan dan bahkan bulu ketiaknya. Kebiasaan itu ia lakukan bahkan sebelum menikah denganku. Ia selalu ingin bersih, karena ia anggap kebersihan itu sebagian dari kepercayaannya. Tapi aku sama sekali tak menyangka, memek bersih istriku itu kini dijamah oleh tangan-tangan kasar para preman ini.

“Pasti istrimu suka dikobel-kobel sama Bos Parjo dan Kusni. Jari-jari mereka itu besar-besar kayak sosis. Kulitnya juga kasar banget penuh kapal.” Kata Kunto sambil ketawa. “Pantes aja, istrimu terus aja belingsatan bukan main selama di mobil. Aku juga ikut rangsangin istrimu itu, aku remas-remas teteknya yang bulet banget. Kenyal banget tetek istrimu. Kayak adonan kue, kamu pasti jarang ya remesin tetek istrimu. Apalagi ngobel-ngobel memeknya?”

Sekali lagi, aku jawab pertanyaan Kunto itu dengan anggukan kepala. Kali ini anggukan kepalaku lemah sekali. Moralku jatuh, mendengar istriku kini sudah dilecehkan habis-habisan oleh para preman ini.

Memang benar, aku jarang sekali meremasi payudara istriku. Ketika bercinta dengan Widya, aku biasa melakukannya dengan cara yang sangat konservatif. Aku memang sering membelai-belai payudaranya yang membuat indah itu. Tapi jarang sampai meremas-remasnya. Aku takut itu akan menyakiti istriku.

Aku juga jarang mengobel-ngobel kemaluan Widya. Paling hanya membelai lembut di sekitar bibir vaginanya. Sekedar membuat bibir vagina itu cukup basah sebelum melakukan penetrasi. Aku tidak pernah memasukan jariku terlalu dalam.

“Wah, kenapa ini, kamu konak denger cerita istrimu kita emeg-emeg?” Kata Kunto.

Ia rupanya sadar, kemaluanku berdiri tegak dibalik celanaku. Aku merasa malu sekali, harusnya aku menyelamatkan istriku dari belenggu para preman ini. Tapi yang ada sekarang malah aku merasa terangsang.

“Hahaha, dasar suami pecundang. Sini, lepas aja celanamu!” Teriak Kunto.

Ia dengan kasar melucuti celana yang aku pakai. Tanganku dan mata kakiku yang terikat membuatku tak bisa menghalaunya. Dengan cepat, kemaluanku sudah menyembul keluar dari celana yang aku pakai. Benar saja, memang kemaluanku sudah berdiri dengan maksimal.

“Apa ini? Titit anak-anak? Haha kecil banget kontol kamu! Pantes aja istrimu diem aja kita lecehin. Pasti dia ndak pernah puas main sama kamu!” Hardik Kunto.

Entah apa salahku, mengapa aku harus menerima penghinaan ini. Aku tidak pernah menyakiti orang lain, aku juga tidak pernah punya niatan buruk terhadap orang lain. Mengapa hari ini tiba-tiba nasibku begitu buruk?

Kunto terus melucuti celanaku. Ia sempat melepas ikatan di kakiku agar celanaku bisa lepas seluruhnya.

Sreet, sreet, Kunto mengesek-gesekan sepatu sandal dekilnya ke kemaluanku. “Udah ngaceng maksimal toh ini? Hahaha, kecil banget ini mah. Mana puas istrimu dientot ini.” Kata Kunto.

Aku seharusnya marah, tapi entah mengapa tubuhku menjadi kelu.

Kunto panggil salah satu temannya yang bernama Somad. Ia tunjukan kemaluanku yang ereksi itu kepada Somad. Mereka berduapun tertawa terbahak-bahak mengejek ukuran kemaluan. Bahkan tak segan mereka memotret kemaluanku itu dengan kamera handphone.

“Kontol Bos Parjo jauh lebih gedhe dari ini. Istrimu bakal lebih puas sama dia dari pada titit kecil ini.” Ungkap Somad.

“Jangankan pakai kontol, tadi istrimu aja 2x ngecrot dikobel-kobel pakai jari Bos Parjo. Pasti kamu ndak pernah kan bikin istrimu orgasme pas ngentot? Kontol mini gini, mana bisa bikin cewek-cewek orgasme. Paling juga istrimu pura-pura puas.” Tambah Kunto.

Shock sekali rasanya mendengar kata-kata Kunto. ‘Dua kali orgasme?’ selama ini bahkan tak sekalipun istriku bisa mencapai puncak ketika kita berhubungan badan.

‘Widya, ada apa denganmu? Apa yang terjadi denganmu.’ Kataku dalam hati.

“Mau liat lagi apa istrimu sekarang? Dia kayaknya suka banget sama punya Bos Parjo.” Bisik Somad ke dekat telingaku.

Mataku langsung terbelalak mendengar kata-kata Somad. ‘Suka banget sama punya Bos Parjo?’ Apa maksudnya? Lagi apa Widya sekarang? Aku tidak mau memikirkan kemungkinan terburuk dari apa yang dilakukan istriku sekarang. Tapi mau tidak mau aku terus terpikir akan hal itu. Pikiranku itu justru membuat tubuhku semakin tegang. Dan kemaluanku semakin keras berdiri.

“Liat tuh, titit mungil itu tambah ngaceng.” Kata Somad. “Tapi percuma, mau sengaceng apapun, titit-nya tetep aja mungil.” Tambah Somad sambil tertawa terbahak-bahak.

“Ayo, ikut kita.” Kata Kunto.

Kunto dan Somad menyeret tubuhku. Badanku masih sakit semua karena dihajar Kunto tadi. Aku nyaris tidak mampu berdiri. Tapi meskipun badanku babak belur, kemaluanku masih tetap berdiri dengan tegaknya. Bahkan aku nyaris lupa, apakah aku pernah ereksi sehebat ini dalam hidupku.

Vila itu benar-benar sudah tua dan tidak terawat. Mungkin sudah puluhan tahun tidak ditinggali.

Tepat di depan pintu masuk vila, aku bisa melihat seonggok kain berwarna krem. Kain itu nampak sangat mencolok dibandingkan benda-benda berdebu lain di teras vila.

‘I itu, tidak mungkin, kain itu?’

Kain itu tidak lain adalah kebaya gamis yang dikenakan oleh Widya tadi. Jika kain itu teronggok begitu saja di sini? Lalu Widya sekarang pakai apa? Ditambah lagi ia juga sudah tidak menggenakan celana dalam.

Pikiranku berkecamuk bukan main. Walaupun sebenarnya, aku sudah paham kemungkinan terburuk yang bisa terjadi kepada istriku saat ini. Hanya saja, kepalaku masih berusaha untuk berfikir naif. Aku masih mencoba berfikir positif jika hal terburuk itu tidak akan dan tidak pernah terjadi kepada istriku.

“Lihat itu, baju istrimu tergeletak di situ. Jadi kamu paham kan sekarang istrimu gimana?” Kata Somad.

“Tadi Bos Somad ciumin istrimu di sini, bayangin, istri hijaber diciumi preman yang bukan suaminya di tempat terbuka gini. Ndak pakai baju lagi. Hahaha!” Tambah Kunto.

Mual sekali aku mendengar kata-kata mereka. Istriku yang alim itu, kini sudah dijamah oleh preman-preman ini? Istriku yang selama ini selalu menjaga diri dan auratnya. Kini dilecehkan dan dikotori oleh tangan-tangan yang tidak berhak atas tubuhnya.

Cruutt!

Entah kenapa, cairan pre-cum keluar dari lubang kemaluanku. Aku tidak mengalami orgasme, tapi mengalami pre-cum yang sangat dahsyat. Bahkan mungkin sedikit spermaku ikut keluar dari kemaluanku.

“Hahaha, liat tuh, ngecrit dia!” Ejek Kunto.

“Cowok letoy banget, danger cerita kalau istrinya di grepe-grepe orang malah ngecrit!” Tambah Somad.

Aku malu sekali, hingga tak mampu menegakkan kepala. Harga diriku runtuh, baik sebagai seorang laki-laki maupun sebagai seorang suami.

Kunto dan Somad mengajaku masuk ke ruang tamu villa. Di sana ada Tono, si cungkring dengan gigi tongos. Ia nampak sedang merokok dan di meja depannya terdapat beberapa botol bir.

“Wah ngapain tuh, dah nggak pake celana!” Ejek Tono kepadaku.

“Suami lembek ini Ton. Denger istrinya di grepe-grepe, malah ngaceng dia. Haha, biar dia liat lagi apa istrinya sama si bos.” Kata Kunto.

Di meja yang terdapat bir itu, nampak juga sebuah bra. Sekali lagi aku masih mencoba berfikir naif, jika bra itu bukan milik Widya istriku. Tapi siapa lagi? Semua orang di ruangan ini laki-laki.

“Ayo masuk!” Kata Somad.

Mereka membawaku ke sebuah kamar tidak jauh dari ruang tamu di depan.

Begitu masuk kamar, lututku langsung terasa lemas. Aku jatuh tersimpuh di atas lantai melihat apa yang terjadi di kamar itu. Aku sudah berusaha terus berfikir naif dan positif. Tapi melihat apa yang ada di kamar itu, seluruh harapanku pupus sudah.
 
Lanjuut hu..
Jangan biarkan kentang ini merajalela...
Semangat.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd