Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Izinkan Aku Memilih

Karakter Wanita Favorit

  • Winda

    Votes: 248 41,2%
  • Zahra

    Votes: 64 10,6%
  • Hani

    Votes: 34 5,6%
  • Zakiyah

    Votes: 37 6,1%
  • Devi

    Votes: 2 0,3%
  • Mira

    Votes: 20 3,3%
  • Yanti

    Votes: 8 1,3%
  • Kintan

    Votes: 31 5,1%
  • Nayla

    Votes: 58 9,6%
  • Rina

    Votes: 46 7,6%
  • Sandra

    Votes: 15 2,5%
  • Novi

    Votes: 9 1,5%
  • Fatma

    Votes: 14 2,3%
  • Angel

    Votes: 16 2,7%

  • Total voters
    602
  • Poll closed .
Baru ini baca cerita macem novel gini, semua perasaan jd campur aduk. The best pokoknya suhu..

Ada permintaan ni hu kalo emng ini part latest, mungkin bisa lebih dijabarin kasusnya kaya apa n ada gitu si faza sama rina macem waktu faza sama winda gitu hahaha
 
Bakal buat cerita yg lain nya ga nih suhu kalo yg ini udh tamant?
tak tahu om haha
Baru ini baca cerita macem novel gini, semua perasaan jd campur aduk. The best pokoknya suhu..

Ada permintaan ni hu kalo emng ini part latest, mungkin bisa lebih dijabarin kasusnya kaya apa n ada gitu si faza sama rina macem waktu faza sama winda gitu hahaha
ya semoga terjawab di update an nanti haha
 
Part 31

Beberapa hari kemudian, aku telah selesai melaksanakan ujian komprehensif dan juga kini aku mengurus dokumen untuk mendapatkan gelar sarjanaku. Lelah sekali rasanya karena dokumen yang dibutuhkan sangat banyak dan harus bolak-balik bagian pusat administrasi dan kampus karena ada saja kekurangan dokumen. Saat ini aku benar-benar merindukan sosok Rina. Entah kenapa. Padahal dalam beberapa hari terakhir aku selalu menghubunginya dan kami bercerita panjang lebar hingga telingaku terasa panas karena terlalu lama terpapar radiasi yang berasal dari handphone.

Rina sedikit terharu dengan pengakuanku di sebuah video yang merupakan kado ulang tahunnya beberapa hari lalu. Ia senang karena akhirnya ia mengetahui semua hal tentang diriku dan alasan-alasan mengapa aku selalu bersikap sedikit aneh terhadapnya dalam beberapa minggu kami berpacaran. Rina juga memaklumi bahwa aku masih belum bisa melupakan kenangan Winda. Rina benar-benar tabah dan kuat.

Aku kembali ke rumah kosku saat matahari sudah berada di penghujung hari dan aku segera menjatuhkan diriku di kasur. HP-ku berdering dan aku langsung mengangkat telefon itu tanpa melihat siapa yang menelfon”

“halo zaaaa” suara seorang wanita di seberang sana.

“eh rina. maaf rin. aku baru pulang.” Aku langsung mengubah posisi tubuhku dari yang rebahan malas, menjadi duduk di pinggiran kasurku.

“huuuuu. Lemes banget sih za? Kenapa?”

“capek rin haha. Tadi ngurus wisuda riweh sekali haha”

“emang riweh za haha. Makanya dicicil pas kamu udah sidang”

“yaah. Gasempet rin, tau sendiri kamu, aku sibuknya kayak apa haha”

“halah, kamu tuh gak sibuk za, tapi sok sibuk haha”

“aku harus menyibukkan diri rin. kamu lagi jauh. Kepikiran terus”

“halaaahh gombal aja hahaha”

Kami melanjutkan obrolan ke topic yang sangat tidak jelas. Kesana kemari mencari alamat dan akhirnya diaakhiri oleh Rina yang mengeluarkan suara menguap dan akhirnya kami merampungkan sesi telfon pada malam hari ini.

Aku meletakkan handphone ku dan aku rebahan kembali di kasurku. Kepalaku sekali lagi memutar semua kenangan indah-ku bersama Winda. Aku langsung menggelengkan kepalaku karena aku tidak mau terlarut lagi di kenangan itu. Kenangan yang indah itu harus bisa kubuang karena aku sudah memiliki penggantinya. Aku tak mau menyakiti-nya lebih jauh lagi.

Aku memutuskan untuk menghubungi seseorang. Seseorang yang memulai ini semua. Seseorang yang jika saja aku tidak bertemu dengannya maka kehidupanku yang seperti ini tidak akan ada.

“halo zah” ucapku saat seseorang di ujung sana mengangkat telefonku.

“halo faza. kenapa? Tumben nelfon?” suaranya pelan namun tegas.

“aku mau minta maaf zah” ucapku lemah. Aku tidak tau kenapa kata itu yang pertama kali muncul.

“buat apa?” suaranya masih tegas.

“buat semuanya. Semua yang udah aku lakukan ke kamu. Pertemuan kita…..” ucapanku dipotong.

“maksudnya? Kenapa dengan pertemuan kita?”

“kalo saja kita ga ketemu zah. kalo saja kita engga satu kelompok saat ospek. Kalo saja aku engga merkosa kamu dulu zah. Semua ini gabakal terjadi”

“hei za! Kamu kenapa sih?” suaranya mulai tinggi.

Aku menggelengkan kepalaku. Hal yang tidak dilihat oleh lawan bicaraku.

“si badan babi yang tidak tau diri ya emang aku zah”

“ZA! Kamu kenapa!?”

“aku cuman mau minta maaf atas apa yang aku lakuin ke kamu zah. Harusnya aku gak ngelakuin itu dulu. Harusnya kita gausah ketemu”

Aku menekan tombol merah di layar handphone ku. Aku masih sedikit mendengar lawan bicaraku terus berbicara namun aku abaikan dan aku langsung terlelap tidur menuju alam mimpi. Bodoh memang.

*****
Hari ini, tepatnya pagi ini aku sedang bersiap-siap untuk mengikuti upacara pelepasan wisudawan yang dilakukan di salah satu gedung serbaguna kampusku. Orang tua-ku bersama Rani datang dua hari lalu dan Rina akhirnya bertemu dengan orang tua-ku dan mereka langsung akrab. Apalagi dengan Rani yang sudah pergi bersama Rina saat malam sebelum upacara pelepasan. Aku juga sudah berkenalan dengan orang tua Rina. Mereka tampak bersahabat dan saat kami mengobrol juga tidak ada tanda-tanda bahwa mereka tidak menyukaiku. Obrolan mengalir bak sungai Musi.

Upacara berlangsung membosankan karena isinya hanya mendengarkan orang-orang yang berada di atas panggung berbicara dan aku sibuk mengobrol bersama teman-temanku yang juga mendapatkan gelarnya bersamaan denganku.

Tak terasa satu per satu nama para wisudawan dan wisudawati dipanggil ke depan untuk menyalami para petinggi kampus. Butuh waktu lama bagi kampusku untuk dipanggil dan aku melanjutkan obrolanku bersama teman-temanku. Dan beberapa menit kemudian tibalah saatnya namaku dipanggil dan aku berjalan ke depan menyalami para petinggi dan aku langsung menghampiri orang tuaku.

“bu nunggu rina sebentar ya”

Ibu ku mengangguk dan dia melanjutkan obrolan bersama orang tua lainnya.

Selagi menunggu nama Rina disebut. Aku didatangi oleh para adik kelasku yang masuk ke dalam gedung itu. Mereka mengucapkan selamat kepadaku dan juga kepada teman-temanku yang lain. Kami semua lalu dibawa keluar oleh para adik kelas dan kami berfoto bersama. Banyak sekali foto yang diambil dan dengan berbagai pose juga tentunya. Kemudian mereka satu persatu memberikan kado kepadaku dan juga kepada teman-temanku yang lain. Aku sangat senang menerimanya karena aku tidak menyangka mereka sudah menyiapkan hal ini.

“ka, ini dari aku sama Wisti. Wistinya gabisa dateng. lagi ada kuliah” ucap Ayu memberikan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado berwarna pink. Lucu sekali.

“oohh iyaa. bilangin makasih yaa yu haha”

Aku juga mendapatkan kado dari Nadya, Wati, Nura, Andi, Galih dan masih banyak lagi yang datang. Bungkusnya pun lucu-lucu sekali. Mereka sangat niat dalam menyiapkan kado ini.

Setelah semua selesai, mereka semua berpamitan dan aku kembali masuk ke dalam gedung. Persis setelah aku masuk ke dalam gedung nama Rina dipanggil dan mataku mengikutinya berjalan. Dari mulai ia berdiri dari kursinya hingga akhirnya ia turun dari panggung itu. Aku segera meletakkan semua kado yang aku dapatkan di dekat orang tuaku lalu menghampirinya dan langsung memeluknya. Rina meminta kami berfoto menggunakan toga ini dan juga dilanjutkan prosesi foto keluarga kami. Lucu sekali melihatnya.

Beberapa hari kemudian, saat orang tuaku dan Rina harus kembali ke ibu kota, aku mendapatkan bisikan dari ibuku bahwa mereka sudah membicarakan mengenai pernikahan kami. Menurut ibuku, tahun depan adalah penikahan Rani dengan pacarnya sekarang dan setelah pernikahan Rani, mereka akan langsung menyiapkan segala hal untuk pernikahanku bersama Rina. Awalnya aku menolak karena yang aku inginkan adalah menikah setelah mendapatkan pekerjaan yang tetap dengan gaji yang menjanjikan. Lagipula pendapatanku dari editing foto dan video belum bisa menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan. Namun hal itu ditolak oleh ibuku. Biaya pernikahan sudah dibicarakan oleh kedua keluarga dan mereka siap untuk menanggung sisanya.

Aku belum bisa kembali bersama orang tuaku ke ibukota karena aku masih harus mengurusi beberapa hal khusunya urusan organisasiku. Mereka maklum dan mereka malah menyuruhku untuk mencari pekerjaan di kota ini jika memang ada. Lagipula urusan di ibukota bisa ditangani oleh kedua orang tuaku dan Rani sehingga mereka kurang membutuhkanku di sana.

Beberapa hari kemudian, aku mulai mengirim beberapa barangku yang sekiranya sudah tidak diperlukan lagi kembali ke rumahku di ibukota. Rina sudah kembali lagi ke kota asalnya karena dia dibutuhkan di rumahnya membantu ibunya.

Aku juga mendengar kabar Hani dan Zahra sudah kembali ke kota asalnya setelah semua prosesi upacara wisuda selesai. Hani mendatangiku saat aku sedang keluar membeli sesuatu untuk orang tuaku. Ia berkata bahwa aku tidak akan bisa ia lupakan walaupun semua sikapku terhadapnya buruk. Menurutnya, aku sudah membuatnya mengenal pait manisnya jatuh cinta. Pait manisnya mencintai dan dicintai. Kami berciuman, untung saja tidak ada orang disekitar kami. Zahra berusaha menelfonku namun selalu aku reject telfonnya. Aku paling merasa bersalah kepada Zahra. Aku tidak mau mendengar suaranya saat ini. Campur aduk rasanya. Maafkan aku ya Zahra. Semoga kamu bahagia dengan pasangan yang akan mencintaimu dengan tulus kelak. Mira, Yanti, Devi, Virzha dan Anton juga sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Mengadu peruntungan. Mungkin saja bisa mendapatkan pekerjaan di kotanya. Tama dan Dimas juga sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Ya kini aku sendirian. Aku memang berbohong kepada orang tuaku tentang urusan itu. Mereka tidak seharusnya tahu tentang kelakuan anaknya yang kurang ajar dan tak tahu diri ini. Maafkan aku ya pak bu, ran. Maaf karena tidak menjadi keluarga yang baik.

Hari ini. Tepatnya pagi ini. Aku sudah membulatkan tekadku untuk segera menyelesaikan perkara ini. Aku tidak peduli dengan konsekuensi yang akan aku dapatkan. Bayang-bayang Winda benar-benar menyiksaku. Aku tidak tahan lagi. Aku mengambil sebuah jaket yang merupakan hadiah ulang tahun dari Winda. Aku masih saja menyimpannya. Sungguh bodoh. Lalu aku mengeluarkan motorku dan menyalakan mesinnya. Kutunggu sebentar agar mesinnya panas dan setelah dirasa cukup aku langsung memacu kendaraanku menuju suatu tempat. Tempat yang memang sudah seharusnya kudatangi beberapa bulan lalu.

Beberapa jam kemudian.

Aku sudah sampai ke suatu tempat. Hamparan tanah dengan dengan susunan batu nisan rapi berjejer di atasnya. Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di pemakaman itu. Mencoba mengingat-ingat dimana dahulu Winda dikuburkan. Setelah bertanya dengan seseorang penjaga yang ada di tempat ini, ia lalu membuka sebuah buku dan akhirnya aku diantarkannya menuju tempat yang sudah dimaksud. Tak butuh waktu lama akhirnya aku menemukan sebuah batu nisan yang bertuliskan nama “Azwinda Nursyifa binti Sulaiman”. Aku lalu mengucapkan terimakasih kepada seseorang yang mengantarkanku ke tempat ini dan ia segera menjauh dari tempatku.

Aku duduk persis di sebelah batu nisan itu dan tak terasa aku mengeluarkan air mataku. Kepalaku aku tundukkan ke batu nisan itu hingga dahiku menempel di batu nisan itu.

“winda. Maafkan aku. Aku belum bisa lupa. Semua kenangan kita selalu berputar di kepalaku. Rina bisa membuatnya menghilang, tapi hanya saat ia bersamaku. Saat ia sudah tidak bersamaku, saat aku sedang sendirian, otakku selalu memutar semua kenangan. Dari saat tiap pagi selalu membangunkanku, kamu merawat diriku saat aku sakit. Saat kamu tertawa bahagia melihat tingkah konyolku. Senyuman itu tak akan bisa dan tidak mungkin bisa aku lupakan win…”

“maaf win. Betapa bodohnya aku malah sempat berpikiran bahwa apakah sebaiknya memang aku tidak usah mengenalmu saja. aku pria yang tidak tahu diri. Kedekatan kita saja bermulai dari hal yang seharusnya tidak aku lakukan kepadamu. Walaupun kamu selalu bilang bahwa kamu tidak apa-apa, tapi hal itulah yang paling aku sesali seumur hidupku. Betapa bodohnya aku sempat berpikir hal itu”

“aku ingin membalas perkataanmu dulu win. Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah menjadi pasangan yang buruk bagi kamu. kamu gatau bahkan selama berpacaran denganmu, aku juga bermain dengan wanita lain. Aku benar-benar tak tahu diri”

“satu lagi. Kamu juga bagian terindah di dalam hidupku. Tiap malam, tiap aku selesai menelfon Rina atau pergi dengannya, aku selalu pergi keluar melihat bulan. Aku selalu yakin bahwa ketika melihat bulan, aku bisa melihatmu”

“aku sempat membaca beberapa kutipan, ‘ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu’. Aku tidak pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh, hati itu sudah rusak. Tidak utuh lagi. Winda. Izinkanlah aku untuk membuat hati baru. Hati yang benar-benar baru. Aku ingin memberikan setengah hatiku yang sudah kamu ambil kepadamu, saat ini juga. sehingga aku benar-benar bisa fokus membuat hati yang baru. Tidak terdistraksi dengan hati yang sudah rusak”

“aku juga berterima kasih karena kamu sudah mencintaiku dengan caramu, terimakasih udah mengisi hari-hari ku, berbagi cerita denganku. Dan juga terimakasih karena sudah menjadi bagian terindah di hidupku. Maaf karena aku harus bisa melupakanmu”

Kepalaku aku naikkan. Air mata segera aku basuh dan hilangkan dari mataku. Perasaanku lega sekali. Tanganku membelai batu nisan yang bertuliskan nama Winda dan aku tersenyum memandangi batu nisan itu. “terimakasih ya win” ucapku dalam hati.

Memang sebuah kekeliruan yang sudah aku perbuat selama ini. Tiap hari siang dan malam, pagi dan sore aku melakukan semua hal yang aku bisa untuk dapat melupakan sosok Winda di hidupku. Aku melupakan sesuatu hal yang sangat penting. Bukan melupakan yang jadi perkaranya, tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka di akan bisa melupakan. Tapi jika seseorang tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.

Beberapa saat kemudian, saat aku bersiap untuk meninggalkan tempat itu, Mba Resti yang merupakan kakak Winda bersama dengan suaminya dan anaknya yang sangat lucu datang ‘menjenguk’ Winda. Mereka sedikit terkejut karena melihatku. Lebih terkejut lagi melihat keadaan mataku yang memang tidak bisa ditutupi telah mengelurkan air matanya. Ia menanyakan keadaanku dan kabarku. Mereka juga mengajakku untuk membaca ayat-ayat suci dan aku mengikutinya. Beberapa menit kemudian, kami selesai dan mereka mengajakku ke kediamannya. Aku menolak dengan alasan akan merepotkan dan berdalih juga sedang buru-buru akan ada urusan yang mengharuskanku kembali ke kota asalku. Mereka lalu mengucapkan hati-hati di jalan dan aku langsung kembali ke kota asalku. Urusanku sudah selesai.

*****
Siang hari

Setibanya di gapura kampusku, aku memutuskan untuk tidak kembali ke kosanku. Ada tempat yang harus aku kunjungi terlebih dahulu. Aku lalu membelokkan kemudiku menuju sebuah kompleks perumahan.

Aku berhenti di sebuah rumah. Rumah yang aku tahu dari Tama dan Dimas yang pernah menemani Zahra ke sini. Aku segera membuka gerbang depan dan langsung menuju pintu depan. Aku menggedor pintu rumah itu dengan keras. Namun tidak ada yang merespon. Aku terus-terusan menggedor pintu itu dan akhirnya seseorang membuka pintu itu. Seseorang yang sangat aku kenal. Seseorang yang seharusnya berada di dalam penjara.

Toni terkejut melihatku, ia langsung membanting pintu itu namun aku bisa menahannya. Kami saling mendorong pintu itu namun tenagaku lebih besar. Aku berhasil membuka pintu itu. Aku melihatnya berlari masuk ke dalam rumah itu.

“hei pengecut. Sini kau!” teriakku di tengah-tengah rumah itu.

Dari arah pintu yang berada di depanku, melayang sebuah kelereng dengan kecepatan tinggi mengarah kepadaku. Untung saja aku sempat menghindar, jika aku terlamat sedikit saja, mataku mungkin sudah menjadi korbannya. Beberapa buah kelereng terus berterbangan kearahku namun aku sudah memiliki tempat perlindungan. Yaitu sofa yang berada di ruangan itu. Aku juga memunguti kelereng yang jatuh di dekatku, jaga-jaga untuk senjata pembalasan.

Beberapa saat kemudian, kelereng sudah tidak lagi melayang dari dalam kamar itu. Aku keluar dari tempat persembunyianku mengantungi beberapa buah kelereng. Aku berjalan pelan-pelan berjaga-jaga akan ada serangan kejutan lain.

Saat aku sampai persis di depan pintu itu, seseorang menerjangku dari dalam pintu itu membuat tubuhku ambruk dan ditindih olehnya.

“mau apa kau ke sini!?” ucap Toni bersiap memukul kepalaku.

*BRUGGG*

Untung saja kepalaku menghindar persis tinjunya akan mengenai kepalaku. Tinjunya mendarat persis di sebelah kepalaku dan kulihat ekspresi wajahnya seperti menahan sesuatu. Kupikir pasti sakit rasanya memkul sebuah lantai keramik dengan tangan kosong ditambah dengan kekuatan seperti itu. Untung saja tangannya tidak retak. Kakiku aku gunakan untuk menendangnya dan ia langsung pergi menjauh dariku. Aku dengan cekatan melempar dua buah kelereng dan BINGGO! Kedua kelereng itu telak mengenai kepalanya dan ia jatuh ambruk di depan pintu depan sambil tangannya memegangi kepalanya.

“dimana Jordi?” ucapku menjambak rambutnya dari belakang.

Toni diam saja. tangannya sibuk mencoba melepaskan genggaman tanganku dari rambutnya. Tanganku yang satunya segera menepisnya. Sekali lagi kutanyai dia dan dia hanya diam. Aku yang tidak sabar lalu menghempaskan kepalanya ke lantai dan menarik rambutnya lagi. Kulihat ia sudah semakin kalem setelah kuhempaskan wajahnya ke lantai.

“dimana Jordi?!” tanyaku sekali lagi.

Toni masih diam saja dan sekali lagi kuhempaskan wajahnya ke lantai. Dia masih diam. Aku kembali menghempaskan wajahnya lagi berkali-kali hingga bentuknya sudah tidak karuan. Biru lebam di sekujur wajahnya dan darah segar keluar dari hidung dan mulutnya. Aku menyerah. Aku kembali menghempaskan wajahnya, lalu kubalikkan tubuhnya menjadi terlentang dan kutendang kepalanya hingga ia pingsan. Aku pergi dari rumah itu.

Saat aku menyalakan mesin motorku yang aku letakkan di sebuah warung agak jauh dari rumah itu, aku melihat sebuah mobil yang sangat familiar. Mobil yang pernah mengantarkanku untuk menyerang orang yang ada di dalam rumah itu. Mobil itu berhenti di depan rumah itu dan seseorang keluar dari dalam mobil itu.

Aku mematikan kembali mesin motorku, dan aku langsung menghampiri rumah itu sekali lagi. Aku berdiri di depan pintu saat orang itu memeriksa tubuh Toni. Saat kepalanya ia tolehkan kearah pintu depan, wajah terkejut yang sangat aku inginkan itu muncul di wajahnya.

“hei. Rindu aku?” ucapku dan aku langsung menerjang orang itu memukuli kepalanya hingga warna biru muncul. Tanganku sakit.

Jordi terlentang tidak berdaya di bawahku. Tangannya merentang dan dengan lemas jatuh di lantai. Wajahnya penuh dengan perpaduan warna biru dan merah. Tubuhnya sudah tidak berdaya.

“apa alasan lo!” sekali lagi aku memukul wajahnya. Ia hanya tertawa. Tawa yang sedikit membuatku ngeri.

“lo mau alasan?” ucapnya. “gak nyadar juga salah lo apa?” lanjutnya. Jordi lalu menendang bagian belakang kepalaku membuatku menyingkir dari tubuhnya.

“ini alasan gue!!” Ia bangkit dan langsung menerjangku. Aku yang masih merasa sedikit pusing karena bagian belakang kepalaku ia tendang, tidak bisa menghindar dari terjangannya. Sekarang giliran dia yang memukuli wajahku hingga mengeluarkan perpaduan warna merah dan biru.

“lo itu…. pecundang kayak gue… harusnya lo nyadar… kalo lo itu pecundang…” ucapnya saat memukuli wajahku.

Aku menyilangkan tanganku persis di depan wajahku untuk menangkis pukulannya. Dia masih saja memukuliku hingga tangankupun muncul rona berwarna biru.

“dan lo juga.... udah…. Ngambil… cewek yang…. Gue…. Cinta….” Ucapannya melemah menandakan tenaganya juga sudah mulai habis.

Pukulannya melemah. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kaki ku menendang tubuhnya dan ia jatuh terjerembab di depanku. Aku bangkit dan membalas pukulannya lagi. Kali ini dia benar-benar merentangkan tangannya tanda dia sudah kehabisan tenaga.

“asal lo tau…. Zahra duluan…. Yang…. Godaian guee…. Kalo ajaa…. Dia gak godain gue….. gue juga…. gaakan merkosa dia….” Aku masih terus memukuli wajahnya menggunakan sisa tenagaku. Dia hanya diam saja. mungkin sudah pingsan.

Setelah puas memukulinya, aku beranjak dari tubuhnya dan tubuhku ambruk. Lelah sekali. Tanganku kurasakan sangat lengket karena darah yang menempel di tanganku. Aku membalikkan tubuhku menjadi telentang dan melihat langit-langit ruangan itu. Aku menolehkan kepalaku menuju tubuh Jordi. Tubuh yang terbaring lemah yang bagian kepala higga dadanya berlumuran darah.

Beberapa saat kemudian, aku masih terbaring lemas di lantai ruangan itu dan sebuah bayangan menutupi cahaya matahari yang berasal dari pintu depan. Aku menolehkan kepalaku ke arah yang dimaksud dan aku mendapati saudara kembar seseorang yang sedang kehilangan kesadarannya itu berdiri di sana. Dengan ekspresi wajah yang tak kalah terkejutnya. Aku lalu berusaha bangkit namun ia segera menerjangku. Aku masih lemas tapi dia menyerangku dengan membabi buta. Darah kurasakan keluar dari pelipisku, dahi, hidung dan mulut. Semuanya yang ada di kepalaku mengeluarkan darahnya lagi. Pandanganku kabur dan kulihat ia mengatakan sesuatu namun tidak ada suara yang bisa kudengar saat ini. Aku hanya bisa melihatnya menggerakkan bibirnya. Mengucapkan kata yang aku tidak paham maksudnya apa. Pandanganku gelap dan aku tidak sadarkan diri.

*****

Aku terbangun di sebuah kasur yang keras. Pandanganku masih kabur namun bisa kulihat ruangan tempatku berbaring memiliki suasana yang tidak nyaman.

“hai Faza. sudah baikkan?” ucap seseorang wanita yang menggunakan pakaian putih. Kutebak dia suster atau perawat disini.

“ini dimana?” ucapku dengan suara serak.

“kau jangan memaksakan diri. Kamu sedang berada di rumah sakit kepolisian. Kamu---“ ucapannya kupotong.

“yang benar saja… aaahhh” aku berusaha bangkit namun tubuhku kesakitan akibatnya. Rasa nyeri masih di sekujur badan.

“kamu ditahan atas tuduhan penganiayaan”

“yang benar saja…. aaahhh” tubuhku langsung nyeri saat aku mencoba bergerak.

“pengadilanmu akan dilakukan besok dan orang terdekatmu sudah menyiapkan seorang pengacara”

“siapa itu?”

“aku tidak tahu siapa namanya, yang jelas dia adalah orang yang kau jadikan wallpaper handphone mu”

Aku terbaring lemas. Makin lemas bahwa Rina yang membantuku. Aku pesimis dengan hasil itu. Mau sehebat apapun pengacara yang dipakai oleh Rina, dia tidak akan bisa mengalahkan Jordi. Orang itu dan kembarannya tau semua fakta yang sudah aku lakukan. Dan itu semua adalah fakta. Bukan hanya sebuah tuduhan semata.

“mau ku panggilkan orang itu?” tanya suster itu. Aku menganguk kecil.

Suster itu keluar setelah melakukan sesuatu kepada selang infusku. Cukup lama aku menunggu. Aku hanya memandangi langit-langit ruangan yang berwarna putih tulang itu. Di sebelahku ada sebuah meja yang berisikan remot-remot. Mungkin untuk mengatur suhu ruangan dan mengatur kasur yang aku tumpangi ini. Di hadapanku ada sebuah kursi. Kursi kosong yang terbuat dari kayu yang mungkin digunakan untuk para penjenguk duduk memperhatikan pasien.

Beberapa saat kemudian Rina datang. Ia melihatku dengan ekspresi sedihnya. Ia memelukku namun aku meringis karena masih kesakitan. Ia meminta penjelesan mengenai apa yang aku lakukan. Aku lalu menjawab dengan sejujur-jujurnya tidak ada yang kurang dan tidak ada yang lebih. Rina menangis. Hatiku hancur. Bagaimana mungkin bisa melihat wanita yang kau sayangi menangis di hadapanmu. Aku berusaha menenangkannya dengan berusaha membelai kepalanya namun ia menolak. Ia masih terus menangis sambil menggenggam erat tanganku. Berusaha menguatkanku.

“za. Aku gak siap nunggu 20 tahun” ucapnya tiba-tiba.

“maksudnya?” Aku sedikit terkejut. Bukankah penganiayan maksimal hanya 10 tahun penjara? Apalagi aku tidak sampai membunuhnya, tidak mungkin hukumanku sampai 20 tahun.

“tuduhanmu bertambah. Pemerkosaan dan penganiayaan. Bukan hanya satu kasus, tapi dua kasus. Saksi sudah dipanggil dan sudah sampai”

Aku semakin lemas tak berdaya. Aku tidak percaya bahwa kemungkinan terburuk yang akan terjadi kepadaku benar-benar terjadi. Memang mungkin sudah saatnya kebusukanku keluar ke permukaan. Aku penasaran siapa yang akan menjadi saksi.

“Zahra, Hani, Nayla. Semua perempuan yang kamu ceritakan di videomu itu za” ucapnya. “pengacaraku juga sudah menyiapkan saksi”

Aku semakin tidak percaya. Mungkin jika Nayla dan Zahra aku masih percaya. Hani? Tidak mungkin! Kita baikkan dan dia sama sekali tidak merasa dia korban pemerkosaanku walaupun memang faktanya mengatakan hal itu. Namun, bagaimana mungkin?

“siapa itu?” aku tersadar dari lamunanku.

“entahlah. Dia temanku dan dia tidak dibayar. Ia ingin pengalaman”

“maaf ya za. Aku gabisa nemenin kamu lebih lama lagi. Besok mungkin terakhir kali aku nemenin kamu. orang tuaku marah banget saat tau kamu jadi tahanan kemarin. mereka gamau punya mantu kayak gitu. maaf banget zaa. aku gabisa nemenin kamu lagi. Berbagi cerita lagi sama kamu. becandaan lagi tiap malem sama kamu. Maaf ya za”

Sekali lagi aku merasakan dunia seakan runtuh. Mendengar kalimat Rina seolah memporak porandakan hatiku yang sedang dibangun untuknya. Keputusan untuk membuat hati baru sirna sudah. Kini aku tidak memiliki apapun. Rina hanya menangis terisak aku hanya bisa menangis… dalam diam.

Keesokan harinya. Kondisiku sudah lebih baik. Aku dibawa oleh petugas di ruangan itu menuju ke sebuah ruangan lain. Rungan itu memiliki pintu depan yang berwarna coklat muda senada dengan dinding di sekitarnya. Di dalam ruangan itu sudah terduduk rapi banyak sekali orang. Aku dibawa ke sebuah meja dan dibelakangku, di bangku belakangku sudah ada Rina. Kami hanya dibatasi oleh sekat setinggi kurang lebih setengah meter yang terbuat dari kayu. Rina masih sedih. Di seberangku kulihat Jordi sudah duduk di mejanya ditemani oleh seseorang yang kutebak adalah pengacaranya. Ia melirikku dan dia tersenyum menang.

Semua orang berdiri saat hakim memasukin ruangan. Dia membacakan aturan-aturan sidang, membacakan sumpah diatas kitab suci dan sidang dimulai dari pengacara Jordi menanyaiku beberapa pertanyaan.

Pertanyaan-pertanyaan yang semakin menjatuhkanku. Dan sebenarnya aku ingin menyerah saja dan sidang ini tidak perlu dilanjutkan. Namun pengacaraku tidak menginginkan hal itu. Ia terus saja membela-ku dengan mendatangkan beberapa saksi, saksi yang bahkan tidak aku kenal.

Saat ini giliran pihak Jordi yang memanggil saksi dan aku dikejutkan bahwa orang yang dijadikan saksi oleh mereka bukanlah Zahra, Hani dan Nayla. Melainkan Tina, Dewi dan satu lagi wanita yang aku tidak ketahui. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi ketiga orang itu. Permainan yang sangat licik dilakukan oleh mereka. Aku berteriak bahwa mereka pembohong, namun aturan sidang tidak memperbolehkan terdakwa berbicara sebelum diizinkan. Diriku semakin terpuruk. Saksi palsu mereka menambahkan cerita bohong. Cerita mengenai janin yang digugurkan. Cerita itu makin memperburuk keadaan. Aku membalikkan badan dan melihat Rina. Dia menangis. Kali ini sudah bukan terisak lagi. Namun lebih besar. Dia menangis sendirian. Aku semakin tidak tahan.

“INTERUPSI PAK KETUA!! SAYA MENGAKU. HENTIKAN INI SEMUA!!” Aku berdiri mengangkat tangan. Ruangan mendadak hening. Semua orang menatapku dengan tidak percaya. Pengacaraku yang mulanya berdiri tegap percaya diri, saat ini terduduk lemas dikursinya.

Pak hakim ketua langsung berbisik dengan beberapa hakim yang ada di mejanya. Menimbang-nimbang. Beberapa menit terasa satu tahun saat para hakim berbisik satu sama lain. Tidak ada yang mengetahui keputusannya.

*TOKTOKTOK*

Hakim ketua memperingatkan agar suasana rungan itu tetap kondusif seperti semula.

Hakim ketua membacakan keputusan. Semuanya tegang. Kecuali diriku. Aku siap. Dihukum matipun aku siap. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Kejahatan yang aku lakukan minimal mendapatkan ganjaran setara 20 tahun penjara. Bayangkan saja umurku sudah 24 tahun. Ditambah 20 tahun sudah 44 tahun. Bakal jadi apa aku di usia 44 tahun yang merupakan seorang mantan narapidana?

“dua puluh lima tahun penjara” ucap Hakim ketua lantang.

Suasana di ruangan itu hening dan hanya terdengar tiga ketukan palu yang disuarakan oleh hakim ketua. Semua orang disana riuh kembali saat hakim membacakan berita acara. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan ruangan itu kemudian diikuti oleh orang lainnya.

“za. Maaf” ucap Rina ikut meninggalkanku.

Saat ini ada beberapa petugas yang datang menghampiriku membawaku ke sebuah tempat. Tempat yang akhirnya aku datangi. Memang sudah sepantasnya aku datang ke sana. Tindakanku yang tidak bertanggung jawab memang pantas mendapatkan ganjaran seperti ini. Oh tidak. Bukannya aku memikirkan keadaanku selanjutnya setelah aku keluar nanti, malah saat ini otakku memutar semua kenangan yang sudah aku lalui selama aku duduk di bangku kuliah. Dari mulai Zahra, Hani, Winda, teman-teman organisasiku, Zakiyah, Devi, Yanti, Mira, Virzha, Anton dan sahabatku Tama dan Dimas, semua kenangan itu muncul di kepalaku. Seperti gulungan film memutar film yang ada di dalamnya. Selama perjalanan ternyata teman-temanku menonton jalannya sidang. Aku berpapasan dengan mereka namun aku maupun mereka tidak bisa mengatakkan hal apapun.

Aku dimasukkan ke dalam sebuah mobil yang akan membawaku ke sebuah tempat. Sekali lagi kepalaku memutar kenangan. Kali ini kenangan tentang Rina. Wanita yang dipertemukan kepadaku saat aku sedang dititik terendah di hidupku. Dia yang menemaniku, menggantikan sosok Winda yang hilang. Dia yang bersamaku saat sosok Winda hilang. Dia yang berbagi cerita denganku saat sosok Winda hilang. Semua kenangan itu berputar tidak ada satupun yang kurang. Maafkan aku Rina. Aku memang bukan pasangan yang baik untukmu.

Mobil itu berhenti di sebuah kawasan dan berhenti di sebuah gedung yang terlihat tua. Aku digiring masuk oleh petugas di sana. Digiring menuju sebuah ruangan kecil yang hanya berisi ranjang dan toilet. Aku dimasukkan ke dalam ruangan itu dan pintu yang membatasi ruangan itu dengan dunia luar dibanting dengan keras oleh sang petugas. Dikuncinya dan mereka meninggalkanku sendirian.

Maafkan aku pak, bu, tidak menjadi anak yang baik bagimu. Maafkan aku.

Maafkan aku Winda dan Rina. Mantan kekasihku. Terimakasih atas pelajaran yang sudah diberikan kepadaku. Terimakasih atas pengalaman yang tidak akan terlupakan. Pengalaman mencintai dan dicintai. Pengalaman menyayangi dan disayangi. Pengalaman meninggalkan dan ditinggalkan.

~~~~~~~~~~~​
 
EPILOG

Di suatu ruangan yang cukup luas. Dimana di sudut ruangan itu terdapat sebuah kasur yang diatasnya sudah ada dua insan sedang menikmati masa istirahatnya. Sang pria sedang membelai kepala sang wanita dengan lembut dan dengan perasaan hangat.

“keren banget sih bikin ceritanya” wanita itu sedang memegang secarik kertas dengan banyak tinta hitam menghiasi kertas itu. “walaupun banyak adegan mesumnya, aku terharu loh bacanya” lanjut wanita itu masih terus membolak-balikkan kertas itu.

“iya laah. Siapa dulu yang bikin hahaha”

“mulai deh haha. Kukira ini cerita kamu loh. Persis banget nama karakternya sama jalan ceritanya, eehh Zahra diperkosa, ngaco emang kamu. Ditambah aku dibikin meninggal lagi. Dasarr jahat banget. Terus tamatnya ngenes banget lagi. Ini si Rina ikut-ikutan ninggalin sih haha. Jahat banget. Tapi ini pas KKN gak beneran pesta sex kan?”

“hahahhaa. Engga laah. Biar seru ajaa”

“baiknya yaa kamu ilangin deh adegan mesumnya terus bikin happy ending lah. Orang-orang suka sama happy ending, jangan ngenes ngenes amat. Abis itu kontak siapa kek, banyak kan temenmu yang udah kerja di penerbitan?”

“gak ah. Males. Ini tuh cerita gajelas tau. Aku bikin buat nyenengin orang-orang yang baca aja haha”

“dasar. Ngumpulnya aja sama orang-orang yang gak bener”

“enak aja, aku gapernah kumpul. Aku cuman anggota forum doang. Gak pernah lebih”

“tetep aja. Sini HP-mu. Aku mau hapus semua akunmu yang ada di sana”

“yaelah apaan sih hahaha. orang aku juga cuman buka cerita-cerita aja, gak pernah buka gambar atau video. Kan udah ada kamu”

“dihh sembarangan kamu ya haha”

Mereka berdua tertawa. Tak lama kemudian, suara tangisan bayi menyeruak di dalam kamar itu. Mereka berdua bangun dan langsung menghampiri sebuah kotak yang ukurannya sekitar 0.5m x 1m yang di dalamnya sudah terbangun seorang bayi perempuan berusia 1 tahun. Air mata bayi itu keluar dan tangisannya kian membesar saat sang wanita mengangkat tubuhnya dan membawanya ke atas kasur.

“utuk utuk utuk. Kenapa anak mama?. Laper? Utuk utuk utuk” Wanita itu menyingkap kausnya dan langsung memberikan ‘makanan’ kepada bayinya.

“mah. Aku juga mau dong” ujar sang pria yang rebahan di samping tubuh sang wanita. Sang pria di jitak dengan keras dan sang pria hanya bisa mengaduh. Mereka berdua tertawa bahagia. Kehadiran sang buah hati selama satu tahun belakangan semakin menambah kebahagiaan pasangan ini.

Sang buah hati itu bernama Zananda Nursyifa. Nama yang berasal dari gabungan nama kedua orang tuanya. Nama belakang sengaja diambil dari nama belakang sang ibu karena bayi itu merupakan anak perempuan.


TAMAT
 
Bimabet
Akhirnya tamat jugaaa ahahaha.

Ya semoga pada suka sama endingnya dan epilog yang sedikit dipaksakan keberadaannya hahahahaha.

Setahun lebih cerita ini mulai mengudara di forum tercinta ini, seneng sekali akhirnya punya alur yang bisa membuatnya tamat walaupun agak maksa. Tapi gapapalah, buat pelajaran karena ini pertama kali ane nulis cerita yang agak panjang. jadinya mohon pemakluman saja haha.

yang nanya, bakal ada cerita lagi ga selain ini, ya tinggal tunggu aja. ane sih udah bikin prolognya cuman ya ane masih bingung mau dibawa kemana itu tokoh hahaha.

Sudahlah. cukup sekian basa-basinya. yang jelas ane seneng banget cerita ini akhirnya tamat haha.

ENJOY!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd