Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 14-A
ARAH




Bagaimanakah kehidupan manusia?
Seperti setetes embun atau bagai satu kilatan petir?
- Ryūnosuke Akutagawa






Mentari mulai beranjak naik dan hawa mulai panas.

Panase jan ra umum kata orang Jawa. The hot is not public kata orang Jawa mbois tur nginggris yang belum kenal Google Translate.

Meski musim penghujan belum berlalu, setidaknya hari ini terang sangat berkuasa di atas langit kota. Geliat kehidupan yang membutuhkan cerahnya cahaya matahari beranjak laku tanpa henti, memanfaatkan aji mumpung kondisi langit yang sedang terang. Pekerjaan pun dilakukan sepenuh hati. Meski panas terasa dan peluh deras mengalir, bukan alasan untuk berhenti bekerja demi mendapatkan sewakul nasi.

Termasuk di sebuah kawasan terbuka yang terletak di perbatasan kota menuju ke arah timur.

Bambang Jenggo sedang asyik duduk-duduk di pinggiran bak truk pengangkut paving block atau konblok. Dia mengamati para pekerja yang tengah menurunkan alas konkrit itu di sudut halaman untuk ditumpuk sebelum nantinya diletakkan di area yang sudah dipetakan menggunakan benang dan pancang. Lokasi ini kelak akan menjadi halaman parkir sebuah SD swasta di perbatasan kota. Kedua bodyguard setianya – Alang Kumitir dan Tunggul Seto terlihat tak jauh di belakang truk, sedang jagongan sembari minum kopi dalam gelas plastik di bawah sebuah pohon rindang.

Sebagai mandor proyek peletakan paving block, memang sudah menjadi tugas dan kewenangan Bambang Jenggo untuk memastikan semua pekerjaan dilakukan dengan baik.

Sebagian lahan sudah dibuka – padat, bersih dan diratakan dengan stamper. Tentu tanah yang rata saja tidak cukup, untuk memastikan bahwa lahan siap guna maka harus dilapisi lagi dengan tanah urug yang dituang hingga lapisan tanah benar-benar padat dan rata. Proses ini penting untuk memastikan agar tanah aman sebelum konblok dipasang dan tidak turun hingga menyebabkan paving block anjlok atau bergelombang.

Sementara itu di pinggiran halaman parkir dipasang pula kanstin beton sebagai pembatas antara lahan yang akan digunakan dan area taman – sekaligus mengunci posisi paving block supaya tidak mudah tergeser. Setelah pemetaan dan batas usai dibentangkan, beberapa pekerja mulai memasang unit-unit konblok dengan gerak langkah maju ke depan.

Bambang Jenggo menguap. Sementara pekerjanya membanting tulang, ia malah mengantuk. Hari ini sungguh hari yang membosankan. Hawa udara yang panas tapi semilir dijadikan alasan oleh Bambang untuk berleha-leha. Sang pimpinan RKZ itu pun membuka ponselnya demi menonton ciwi-ciwi bergoyang Toktik. Sembari menonton, Bambang Jenggo mulai makan cakwe goreng.

Semua tenang, semua senang. Semua berjalan dengan lancar.

Tapi keadaan itu tak bertahan lama.

Tiba-tiba saja ada angin kencang yang muncul begitu saja di hari yang kering. Muncul lalu tenang kembali. Angin yang bukan angin.

Bambang Jenggo tersenyum.

Sesosok pria berpakaian hitam tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya. Kedua bodyguard Bambang Jenggo terkejut karena mereka kecolongan oleh kecepatan sang pria yang kini duduk di samping sang pimpinan. Tapi sang bos kemudian mengayunkan tangan dengan santai, satu tanda supaya mereka tidak perlu mendekat. Alang Kumitir dan Tunggul Seto berpandangan, yakin nih? Tidak mau dibantu? Tapi mereka tahu bos mereka pasti tengah merencakan sesuatu, kedua orang itu tetap bersiap. Mereka tetap maju untuk berjaga-jaga.

“Aku sudah menunggumu.” kata Jenggo sambil menggeser layar smartphone ke atas tanpa mempedulikan sosok di sebelahnya. Ia masih menikmati Toktik di layar smartphone, dia menggeser ke atas dengan cepat karena tidak berminat kalau yang goyang cowok. “Sedikit agak lambat dari perkiraanku semula. Sepertinya faktor umur juga berpengaruh besar.”

“Langsung saja tidak perlu basa-basi. Kembalikan dia dan kalian akan aman-aman saja.” ancam sang pria yang baru datang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Sulaiman Seno – sang Jagal.

“Sesuai dengan perjanjian - ini klausul kedua dari kontrak kita. Sudah kubilang kamu tidak boleh ikut campur dalam masalah ini. Sudah aku peringatkan bukan? Ikuti saja aturannya dan...”

“Aku bisa membawa yang lain ke kalian tanpa perlu turun tangan sendiri.”

“Hahaha. Kalau sudah begitu terus kalian mau apa? Kalian pikir kami akan membuka mulut kalau kalian siksa? Kalian pikir kami bakal bilang di mana kami menyekap sang tuan putri? Kami mending mati sambil membawa rahasia daripada menyerah.” Jenggo mencibir, ia melirik ke arah Jagal. “Begitupun kamu bukan? Kamu juga tidak ingin bertindak macam-macam - seperti misalnya mengingkari kontrak – karena kalau sampai kamu mengingkari kontrak maka... yah, intinya kamu tidak ingin semua teman-teman di penjara celaka karena ulahmu.”

“Bangsat.”

“Sering banget dipanggil begitu. Kayaknya jadi satu julukan yang tidak asing buat aku. Sudah banyak yang bilang aku ini bangsat - mungkin memang benar kalau aku ini sebenarnya bangsat. Jadi terbiasa dipanggil begitu, akrab rasanya. Tapi kalau pak Zein disebut Raja Selatan, dan katakanlah Om Janu jadi Kaisar Utara – maka karena kami dari RKZ hanyalah anjing-anjing jalanan tanpa tempat kekuasaan tetap seperti mereka, mungkin aku bisa disebut Si Bangsat - Raja Para Anjing. Hahaha.”

“Berhenti bacot. Apa maumu? Pak Zein tidak akan tinggal diam kalau sampai….”

“Pak Zein? Pak Zein?! Jangan bikin aku ketawa. Dia tidak akan bisa apa-apa kalau tidak tahu posisi di mana anaknya berada. Dia akan tunduk di bawah kakiku!” Jenggo menutup aplikasi toktik, membuka aplikasi file manager – lalu membuka folder video untuk mencari satu rekaman. Saat video itu mulai bermain di aplikasi media, Ia menunjukkan pada sang Jagal. “Dia akan aman-aman saja kalau kamu juga tidak berulah.”

Jagal terbelalak. Dalam video itu, terlihat Nada sedang meringkuk di ujung sebuah ruangan tertutup dengan jendela berteralis rapat. Ia terlihat sedang menangis sesunggukan. Ada piring dan gelas berserakan di dekat meja. Sepertinya Nada baru saja mengamuk. Wajar saja.

Jenggo menarik ponselnya kembali.

Dengan marah sang Jagal berdiri. “Bajingan! Bebaskan dia! Apa yang kamu pikir kamu laku...”

“Halah! Kami tidak melakukan apa-apa yang buruk padanya! Jangan khawatir! Dia sudah dikasih makan cukup, dikasih minum cukup, ruangan ber-ac, tempat sejuk, dan akses ke kamar mandi pribadi! Semua aman, semua tersedia! Kami di RKZ justru kebanyakan hidup lebih parah dari dia! Makanya jangan macam-macam kalau tidak ingin hal-hal buruk terjadi!” Bambang Jenggo membalas Jagal dengan tatapan mata tajam dan ucapan ketus. “Denger baik-baik ya, bajingan. Tetap lakukan perintahku sesuai perjanjian kita semula dan sumpah akan aku pastikan - nih, aku sudah sumpah ya, akan aku pastikan kalau gadis itu tidak akan kenapa-kenapa. Semua akan aman. Tapi kalau sampai ada satu – satu saja kesalahan yang kamu lakukan atau kalian dari JXG lakukan yang membuat kami dari RKZ terancam, maka gadis itu akan menerima akibatnya. Aku yakin sekali JXG sebenarnya juga belum tahu kalau RKZ yang berulah, kan?”

“Bangsat! Kalau kalian menyakiti sehelai saja rambut gadis itu – akan kuhabisi seluruh anggota RKZ dengan tanganku sendiri,” ancam sang Jagal dengan wajah makin mendekat pada Jenggo. Keduanya beradu tatapan mata. “Salah langkah kalian dengan mengambil gadis itu. Kalian sedang menggali lubang sendiri. Bahkan ketika gadis itu nantinya selamat sekalipun, JXG akan terus mengingat apa yang telah kalian perbuat dan membalasnya berkali-kali lipat. Selamat, mulai sekarang kalian sudah menjadi mayat yang tinggal menggali kubur.”

“Heheheh. Justru kamu yang salah langkah.” Jenggo terkekeh, wajahnya lantas berubah menyeramkan. Ia menatap Jagal dengan tatapan sadis. “JXG belum tahu siapa penculik tuan putrinya dan kalaupun mereka tahu... kamu pikir kami tidak siap? Kami punya backup yang tidak akan kamu sangka-sangka. Tapi itu tidak perlu diperbincangkan sekarang, yang perlu diperbincangkan adalah kita berdua sudah punya perjanjian, sudah punya kontrak, dan aku sedang menunggu kamu memenuhi perjanjian kita.”

Sang Jagal menggeram sambil melepas kacamata hitam yang ia kenakan. “Akan aku bawakan bocah sial itu kepada kalian secepatnya.”

“Nah gitu! Bawakan bocah itu padaku dan akan aku jelaskan persyaratan-persyaratan apa saja yang harus JXG penuhi untuk menebus gadis yang kami tahan. Setelah itu semua dipenuhi barulah sang putri akan kami bebaskan tanpa tergores sedikit pun, gores lho ya bukan colek, kalau colek mungkin sudah beberapa kali, kekekek. Becanda saja - jangan khawatir, kami tidak berminat untuk membuat kota jadi medan laga saat ini – apapun yang kami minta tak akan menyebabkan perang terjadi. Entah kalau beberapa saat lagi. Kekekek.”

Jagal berdiri sembari menggemeretakkan gigi. “Akan aku bawa bocah itu pada kalian hari ini juga.”

Jenggo tertawa. “Elok, begitu baru jagoan. Hahahaha.”

Setelah meloncat turun dari truk, Jagal mengenakan kembali kacamatanya. Tanpa menengok dan melihat ke arah Jenggo, sang Jagal berjalan menuju motornya yang diparkir di luar.

Bambang Jenggo terkekeh melihat kepergian sang Jagal, “Aku berikan satu tips lagi mumpung aku sedang good mood hari ini. Kalau aku sarankan sih sebaiknya kamu lebih cepat bergerak, karena hari ini bocah itu bakal ada di lapangan UTD di ringroad. Dia dengan bodohnya sedang mempertaruhkan sesuatu di Tarung Antar Wakil dengan Dinasti Baru. Mudah-mudahan kamu tidak terlambat.”

Jagal mendengus dan meninggalkan Bambang Jenggo yang lantas tertawa-tawa dengan jumawa.

Alang Kumitir melayang ringan untuk sampai di samping sang bos. Dia mendekat untuk berbisik, “apa yang dia inginkan, Bos? Apakah ada yang perlu kami kerjakan?”

“Tidak ada. Tidak ada. Santai saja kalian.” Jenggo menyeringai. “Bocah Aliansi sialan yang kemarin hari menghajar anak-anak RKZ itu akan segera menerima buah arogansinya. Berani-beraninya ngajak suloyo dengan RKZ. Siap-siap aja dengan segala konsekuensi manis yang akan diterima.”

“Siap, Bos.”

Satu cakwe masuk ke mulut Bambang Jenggo. Keningnya berkerut. Dia tiba-tiba tersenyum saat satu ide terbersit di benaknya. “…atau… kita bisa bikin situasinya lebih menarik lagi.”

“Maksudnya, Bos?”

“Galung, Gamal, dan Agun kemarin sempat kena hajar telak oleh si bocah sialan itu. Sekarang saatnya kita membalasnya dengan lebih manis lagi, a surprise counter attack – si bodoh itu tidak akan pernah mengira kita sebenarnya tahu siapa dia dan bagaimana latar belakangnya. Heheheh.”

“Bagaimana kita akan membalasnya?”

“Kumpulkan mereka dan perintahkan ketiganya untuk menuju ke lokasi tempat kita menculik sang tuan putri, ada kafe di sana yang kalau tidak salah namanya The Donut’s Pub.”

“Siap, Bos. Apa yang harus mereka lakukan di sana?”

“Bakar. Bakar tempat itu sampai habis tak berbekas. Heheheh.”

Alang Kumitir sedikit terkejut, tapi ia kemudian tersenyum dan mengangguk. Setelah menjura Ia pun melesat pergi meninggalkan orang yang hari ini memanggil dirinya sendiri si Bangsat Raja Para Anjing itu dalam penjagaan karibnya yaitu Tunggul Seto.

Satu cakwe kembali lenyap di mulut Bambang Jenggo yang makan dengan lahap. Sembari ongkang-ongkang kaki, bayangan si bangsat itu pun melayang ke sosok yang sebenarnya belum pernah ia temui secara langsung. Tapi karena dia sudah menghancurkan peluang RKZ untuk merekrut orang-orang Aliansi, maka pembalasan harus dua kali lipat lebih kejam. Selain dibawa ke depannya oleh sang Jagal, bocah busuk itu juga harus tahu bagaimana rasanya dihancurkan luar dalam.

Jenggo kembali tertawa.

Dia menatap ke langit, dan mengelap keringat dengan kaus yang ia kenakan.

Hari ini panas sekali ya, bocah busuk? Tapi ini masih belum apa-apa.

Bersiaplah menghadapi balasan RKZ.

Panasnya akan jadi neraka di bumi untukmu.





.::..::..::..::.





Tabuhan genderang dari galon kosong terdengar hingga jauh, terompet dibunyikan meski belum saatnya berganti kalender. Suasana panas kian memanas di lapangan basket Universitas Teknologi Digdaya, tempat Tarung Antar Wakil sedang dilangsungkan. Pertarungan pertama antara Dinasti Baru dan Aliansi dimenangkan oleh Aliansi saat Nanto mengkanvaskan Sukrex Badak dengan sekali pukul. Tapi pertarungan baru sepertiga jalan.

Saatnya pertarungan kedua.

Di sisi Dinasti Baru, Om Martoyo Kimpling sudah berdiri gagah – penampilannya garang dengan kumis tebal hampir menutup lingkar bibir sampai ke janggut. Rambut panjang warna hitam diseling keperakan dikuncir di belakang dengan ikatan kepang tali. Tato gurita merah menjalar di lengan nampak saat ia melepas jaket berwarna hijau dan hitam yang sering digunakan oleh ojek online. Slayer kebanggaan berwarna biru diikat di dahi.

Di sisi Aliansi, Nanto masih berdiri tegap dan menantang, bersiap dengan garang.

Tak jauh dari posisi Nanto berada, Hageng dan Deka berdiri mengamati.

“Saatnya pertarungan kedua.” Deka bersidekap. Ribuan pikiran berputar di otaknya bagaikan mesin yang sedang menggerus kayu. “Kalau ini diselesaikan juga oleh Nanto, maka kita akan menang telak. Jadi pertarungan ketiga dengan Amar tidak akan menjadi hal yang penting lagi.”

“Zebentar... zebentar... zebenarnya bagaimana zih aturan Tarung Antar Wakil yang zekarang ini? Tiga lawan tiga, kan?” Hageng bertanya-tanya, “Jadi kalau Nanto menang melawan Om Kimpling, bukannya kedudukan 2-0 dan pertarungan zudah berakhir? Itu kan artinya kita zudah menang. Begitu kan? Atau aku ada yang zalah tangkap?”

“Bener kok. Itu tidak salah,” angguk Deka. “Kedudukan sekarang 1-0, kalau Nanto menang lagi maka kedudukan jadi 2-0 untuk Aliansi, secara matematis percuma melakukan pertandingan berikutnya. Sisa pertarungan terakhir biasanya tidak dilakukan karena tim yang menang sudah jelas. Tapi ada juga kalanya tim yang kalah tetap ingin melakukan pertarungan terakhir untuk menjaga harga diri, kalah 1-2 terdengar lebih gagah dan punya makna secara mental dibandingkan kalah telak 0-2 kan? Tapi ini sangat jarang terjadi. Biasanya kalau sudah 2-0 ya sudah.”

“Bagaimana dengan Dinazti Baru?”

“Mengingat ego mereka, ada kemungkinan Dinasti Baru akan meminta pertarungan terakhir tetap diadakan demi harga diri. Tapi ini kemungkinan saja, aku juga tidak tahu seperti apa keputusan mereka nanti. Jadi ini semua masih perkiraan ya, perkiraan seandainya Nanto bisa mengalahkan Om Kimpling.”

“Begitu ya... tapi dengan kondizi zaat ini apa yang menurutmu akan terjadi? Zi Nanto katanya mau melahap zemua pertarungan. Itu nantinya bagaimana ya?” tanya Hageng lagi. “Zeandainya dia kalah melawan Om Kimpling apakah dia tetap akan maju di pertarungan berikutnya?”

“Nah itu dia. Ini pertama kalinya ada orang yang akan maju di tiga pertarungan. Kalau memang Nanto menang melawan Om Kimpling dan pertandingan ketiga tetap diadakan, maka dia akan maju lagi untuk melawan Amar Barok pada pertarungan harga diri Dinasti Baru. Itu kalau menang ya. Bagaimana kalau Nanto kalah? Kalau Nanto kalah melawan Om Kimpling, maka dia tetap akan maju lagi melawan Amar Barok meski sudah kalah di pertarungan sebelumnya. Intinya, meski dia kalah atau menang, dia tetap akan maju di pertarungan ketiga.”

“Weladalah. Kok edan ya?”

Kandani og. Ga tau apa yang dipikirin si munyuk itu, meski aku yakin dia mampu melakukannya.”

“Aku juga yakin.”

“Jadi kita seharusnya tidak khawatir.”

“Iya…” suara Hageng terdengar gamang. “Zeharusnya kita tidak khawatir.”

“Iya.”

Ndez,” Hageng menundukkan kepala. Ia memainkan kakinya di tanah. “Zudah berapa kali kita dibantu oleh zi Bengal? Zudah berapa kali dia menyelamatkan kita? Entah dari pertarungan di medan laga atau di pertarungan hidup?”

“Sudah berkali-kali. Udah tidak terhitung berapa kalinya. Itu sebabnya aku akan tetap berada di sampingnya, tidak peduli apapun yang terjadi. Hutangku padanya terlalu banyak.”

“Kita zemua di Lima Jari merazakan hal yang zama. Kita akan zelalu berada di zizinya apapun yang terjadi. Hidup atau mati.” Hageng mengangkat kepalanya dan tersenyum menatap si Bengal dari kejauhan, “Itu zebabnya aku tidak akan membiarkan dia menanggung zemuanya zeorang diri. Kita ini berlima, bukan hanya zatu jari.”

“Ha? Apa maksudmu?”

Tangan kiri Hageng naik dan menepuk pundak Deka, raksasa itu tertawa. Deka membelalakkan mata karena dia merasakan ada yang berubah di wajah sang T-Rex, wajah yang penuh tekad, wajah yang sepertinya akan melakukan sesuatu yang nekat. Tapi saat Deka benar-benar tersadar, ia tak sanggup mencegah pemuda bertubuh besar itu melesat masuk ke arena. “Ha… Hageng?”

“Pertarungan sudah siap dimulai? Gimana kabarnya, Om?” tanya Ableh Ndaho pada Om Kimpling yang disertai dengan senyum hangat. “Apakah perwakilan Dinasti Baru sudah siap? Kalian harus menang di pertarungan kali ini untuk mengejar ketinggalan.”

“Tentu saja sudah siap. Bocah itu tak akan bisa dengan mudah menggertak Dinasti Baru.” Sang tetua mengangguk. “Kabarku baik-baik saja, le. Piye kabarmu? Kalian kerja dengan bagus di sini. UTD jadi ngetop buat lokasi Tarung Antar Wakil yang bijak dan adil.”

“Hahaha. Terima kasih, Om. Wah jadi gimana gitu rasanya kumpul sama alumni Talatawon. Hahaha.” Ableh Ndaho tertawa ringan untuk basa-basi – Om Kimpling memang dulunya juga anggota Talatawon generasi-generasi awal. Bisa dibilang jadi salah satu pendirinya.

Tak berapa lama kemudian Ableh Ndaho berpaling ke arah si Bengal, “Bagaimana dengan perwakilan Aliansi? Apakah sudah siap? Kalian butuh memenangkan pertarungan ini untuk menuntaskan perlawanan Dinasti Baru.”

“Sudah si…” Nanto baru saja hendak menjawab ketika tiba-tiba saja…

“Tunggu dulu!”

Hageng berdiri di depan si Bengal dengan gagah dan menebar senyumannya. Dia melambaikan tangan ke seluruh penonton. Suaranya lantang terdengar tanpa megaphone. “Halo zemuanya! Perkenalkan aku Hageng, mahazizwa Unzakha dan anggota perkumpulan petani hidroponik di RT zetempat. Keahlianku zelain mukbang juga bikin puizi dan pantun! Berikut adalah pantun untuk hari ini! Makan di zaung ngerujak kedondong. Yang tarung ganti dong.”

Massa pun heboh dengan kemunculan sang petarung baru.

Teriakan pendukung dari kubu Aliansi, terutama dari massa Sonoz membahana, mereka bersorak-sorai karena sang wakil ketua yang sosoknya konyol itu akhirnya nongol juga. Dengan bangga yel-yel Sonoz diteriakkan dan dikumandangkan. Sang prajurit Sonoz akan tampil di arena untuk menjadi wakil dari mereka semua!

Nyuk! Apa-apaan kamu ini? Kenapa tiba-tiba saja…?” perkataan Nanto dihentikan oleh telapak tangan besar Hageng tepat di depan wajahnya. “Nyuk…?”

Hageng menarik tangannya dari depan wajah si Bengal dan tersenyum dengan riang. “Aku tahu kamu zebenarnya ingin mengambil zemua pertarungan hari ini karena meraza kezal telah diremehkan oleh Om BMW. Betul begitu kan? Kamu juga ingin bertarung zeorang diri karena hendak melindungi kami dari nazib yang tidak menyenangkan dihajar oleh orang-orang dari Dinazti Baru. Apakah betul pemikiranku?”

Nyuk, biarkan aku melawan dia dan semua ini akan berakhir dengan cepat. Jadi maksudku...”

“Mazalahnya bukan zoal cepat atau lambat, bukan zoal menang atau kalah, dan bukan zupaya kami ini zelamat dari hukuman orang-orang Dinazti Baru. Bukan zoal itu. Mazalahnya adalah... mazalahnya adalah kamu juga melakukan hal yang zama. Bukankah itu itu sama saja artinya kamu juga meremehkan kemampuan kami, Nyuk? Zama zaja artinya kamu tidak percaya dengan kemampuan kami? Kami memang tidak zehebat kamu, tapi kami ingin diakui. Bukan oleh mereka, tapi oleh dirimu.” Hageng menatap Nanto dengan tegas. Tangannya yang besar diletakkan lembut di atas pundak sang sahabat. “Kita zemua zudah berzama-zama zejak lama. Tidak terhitung berapa kali kita zemua bertarung berzama, mempertaruhkan zegalanya demi Lima Jari, demi berzamamu. Kami berempat akan zelalu mendukungmu tanpa zyarat apapun. Tapi kami juga tidak ingin dianggap zebagai bayangan yang akan zelalu membebanimu dan haruz teruz-meneruz kamu lindungi. Tidak zeperti itu ceritanya. Kami ingin berguna. Kami ingin berjalan di zizimu. Zejajar. Tidak di belakang dan berlindung di balik punggungmu. Kami ingin ada di zampingmu. Kami biza dan kami ingin buktikan. Bukan dengan kemampuan, tapi dengan niat.”

Nyuk…”

“Jangan khawatirkan kami. Kalah atau menang itu hal biaza. Kalau mereka mengalahkan kita, itu artinya kita hanya haruz meninggalkan Alianzi dan bergabung dengan Dinazti Baru. Hanya begitu zaja kan? Bukan mazalah bezar. Ziapa tahu kita justru biza menebarkan nilai-nilai yang baik di Dinazti Baru nantinya – zeperti yang kita lakukan di Zonoz dan DoP. Ziapa tahu kelak kita juztru akan membantu membawa Dinazti Baru keluar dari kehidupan malam yang kelam dan bergabung kembali dengan Alianzi.”

“Ya nggak begitu juga caranya kan? Kita masih bisa memenangkan pertarungan ini dan…”

Nyuk.” Hageng sekali lagi menepuk pundak sang sahabat. “Aku kazih zatu rahazia bezarku. Kalau ada zatu hal yang aku impikan zelama ini, hal itu adalah zaat kamu biza memandangku dengan bangga dan tidak dengan zebelah mata. Aku mungkin kalah, aku mungkin bakal dihukum habiz-habizan, terkapar, pingzan, bonyok atau apalah, tapi peduli zetan – aku hanya ingin bertarung dengan zeluruh kekuatan yang aku punya untuk membantumu. Kalau aku kalah, ya berarti memang hanya zegini kemampuanku. Tapi kalau aku biza menang… ya itu memang sudah zepantaznya karena aku kan keren abiz. Haruz diakui, ye kan?”

Nanto tertawa. Dia akhirnya menarik napas panjang dan memukul pelan pundak Hageng. “Yakin?”

“Yakin seyakin-yakinnya. Percayalah padaku. Aku pazti akan memberikan yang terbaik. Zeratuz zepuluh perzen.”

“Aku akan selalu percaya padamu, Nyuk. Selalu.” Si Bengal menarik napas panjang dengan berat, tapi kemudian dia mengangguk sembari tersenyum. “Baiklah kalau itu yang kamu minta. Aku minta maaf kalau tadi aku agak arogan. Sebenarnya aku hanya…”

Wez cukup. Tidak uzah dilanjutkan, aku zudah paham kok. Ini zaatnya aku gelut. Kamu minggir dulu zana zama Deka. Jangan lupa zizakan aku cemilan.”

Nanto tertawa dan mengangguk. Ia pun melangkah ke pinggir untuk menemui Deka. Sebelumnya Ia memanggil Ableh Ndaho dan memberikan tanda - tangannya diputar ke depan bergantian di depan dada, menandakan ada pergantian petarung.

Ableh Ndaho geleng-geleng kepala, ini lebih gila lagi. Mengganti personil yang kuat ke personil yang lebih lemah tepat sebelum pertarungan dilakukan. Apa-apaan ini? Aliansi dan Lima Jari bisa membuatnya gila hari ini. Tapi ya sudah – itu kemauan mereka, jadi sebaiknya dia umumkan saja.

Woro-woro. Woro-woro. Bagi yang tadi sudah naruh taruhan, sebaiknya ditarik kembali karena kali ini kita ada pergantian petarung!” kata Ableh Ndaho mengumumkan. “Nanto dari Aliansi dan Lima Jari akan digantikan oleh wakil pimpinan Sonoz yaitu… sopo mau jenenge? Siapa tadi namanya? Tumpeng?

“HAGENG! Hageng! Kok biza tumpeng dari mana coba?!” sang T-Rex protes.

“Ah… iya, kok bisa jadi Tumpeng ya? Apakah ini yang namanya lapar? Siang ini ga ada yang bawa nasi bungkus apa ya? Panitia laper jadi suka ngelantur.” Ableh Ndaho merevisi pengumumannya. “Woke! Maaf tadi ada interupsi… wakil dari Aliansi dan Lima Jari yaitu… Sugeng!

“Minta amplop! Lha kok malah Zugeng. HAGENG woy HAGENG!!”

“Eh apa sih? Yang jelas ngomongnya… Kotang Ireng!?

Hageng menepuk jidatnya. “Guzti paringono zabar. HAGEEEENG!”

Ableh Ndaho manggut-manggut, sepertinya dia akhirnya mengerti nama si T-Rex dengan benar. “Woalah ya… yaa… Hahahaha. Efek ngelih iki, Dab. Sori lah ya, berulang kali kepleset lidahnya karena perut belum direkondisi dan refurbish. Dari Aliansi dan Lima Jari… ini diaaa… Bandeng!!”

“Tobaaaaaaat!” Hageng mengangkat kedua tangannya ke udara dan geleng-geleng kepala. “Puja kerang ajaib! Hageng! Hageng! Ha a ge e eng. Hageng.”

“Hageng! Hageng! Hahahaha. Halah cuma keliru sedikit tadi. Ya ya… ini dia Hageng!” kali ini Ableh Ndaho bener.

Om Kimpling maju ke tengah lapangan. Begitu pula Hageng. Keduanya saling bertatapan, saling senyum, saling menilai lawan. Massa bersorak-sorai dengan dukungan mereka. Hageng adalah sosok populer di Sonoz, sehingga massa Aliansi pun riuh rendah. Sebagaimana dukungan untuk Om Kimpling yang makin lama makin kencang. Siapa yang tidak mengenal pentolan utama NWO?

“Hageng namamu, Le?

“Iya, Eyang.”

“Asem. Aku belum setua itu. Panggil saja Om.”

“Nggak ah, kezannya genit kalo panggil Om. Beraza zeperti dedek-dedek melambai.”

“Bajilak. Lawak kowe kih.” Om Kimpling tertawa. “Ya wes. Terserah mau panggil apa. Yang penting jangan panggil sayang. Karena kamu bukan Via Valen dan aku bukan NDX AKA.”

“Bagaimana kalau panggilnya Beb aja?”

“Wasu!” Om Kimpling tertawa, tapi dia kemudian mendengus. Dia tidak merasakan Ki atau aura apapun keluar dari sosok sang T-Rex. Jadi hanya petarung kosongan saja? “Mudah-mudahan kemampuanmu sebocor lambe-mu, le. Sebenarnya aku tidak ingin menghajar anak muda bau kencur seperti kamu, meski badanmu gede, tapi level kita jelas jauh berbeda.”

“Buktikan zaja, Mr Crab.”

“Wahahaha. Wasu! Ha mesti to. Mesti tak buktekke! Sudah pasti bakal aku buktikan seberapa…”

“Heeeaaaaaaaaaaaahhh!!”

Hageng melontarkan satu pukulan tangan kanan dengan teramat kencang dan penuh tenaga secara tiba-tiba. Tanpa ancang-ancang, tanpa kuda-kuda, tanpa permisi. Arena sudah digelar, mau sampai kapan basa-basi? Langsung saja kirim kepalan ke arah target dengan niat utuh dan percaya diri!

Om Kimpling terhenyak kaget.

Sempatkah dia mengelak?





.::..::..::..::.





Ada suasana sunyi, sepi, senyap, dan hening di sebuah meja makan kecil di stand bakso dan siomay Grazz yang ada di lantai bawah Gilaria Mal yang ada di tengah kota. Kontradiktif dengan suasana ramai di sekitar mereka yang hiruk pikuk.

Ada musik yang diputar kencang, ada beberapa orang yang lalu-lalang, ada suara orang menawarkan makanan, ada anak kecil ribut minta mainan, dan ada pengguna meja lain yang tengah berbincang dengan suara kencang.

Singkat kata, suasana di meja lain jauh lebih hidup dibandingkan di meja makan kecil di sudut dekat dengan ekskalator.

Tiga wanita duduk saling acuh tak acuh, tak saling pandang, tak ingin menyapa, pura-pura tak menyadari kehadiran satu dan yang lain. Padahal baru saja mereka makan bakso bersama, tapi tetap saja ketiganya saling cuek. Sementara satu orang lagi bingung harus ngapain menghadapi ketiga wanita itu.

Adalah Hanna yang sampai bingung harus ngapain. Dia diundang sebagai penengah di permasalahan yang terjadi di hari yang serba mengejutkan, makjegagig, dan makbedunduk ini. Tapi ya gimana kalau semuanya tetap diam membeku begini? Seperti es batu dituang ke freezer di tengah padang es kutub utara. Es harus dicairkan dan dia harus membantu, karena dia tahu permasalahan di lingkaran wanita di sekitar Mas Nanto ini hanya bisa diselesaikan oleh mereka sendiri.

Hanna sebenarnya tidak paham kalau saat ini dia sedang berhadapan dengan mantan, selingkuhan, dan kekasih resmi dari Nanto. Belum lagi seandainya dia mengakui kalau dia sendiri sebenarnya juga punya perasaan sayang ke si Bengal. Tambah repot kan? Hanna jadi geleng-geleng kepala. Apa sih makannya si fakboi satu itu sampai-sampai semua cewek ini jadi terkintil-kintil? Semacam pemilik harem saja. Asem.

Nganu... semua sudah selesai makan ya? Apa bisa kita mulai ngobrolnya? Sepertinya ada masalah kesalahpahaman beruntun di antara kalian bertiga dan mungkin juga saya yang mau tidak mau harus diselesaikan. Siapa tahu hari ini kita bisa menemukan pangkal masalahnya, bisa saling memahami satu sama lain, dan bisa menyelesaikan permasalahan yang ada di antara kita supaya semua kesalahpahaman dapat dibenahi. Termasuk saya nih, mungkin ada juga yang salah paham sama saya.” Pancing Hanna, dia mencoba memulai percakapan. Tidak nyaman juga berlama-lama diam begini.

“Oke. Oke. Daripada kelamaan, aku yang akan mulai duluan,” Ara mengambil posisinya. Kebetulan dia duduk di antara Asty dan Kinan. Dengan nada yang ketus ia mulai bertanya, “Kalau dengan Kinan sebenarnya aku tidak ada masalah. Tapi aku ada satu pertanyaan yang mengganjal pagi ini dengan yang satu orang lagi. Bagaimana ceritanya sampai-sampai seorang Ibu Asty yang terhormat, guruku dulu – guru BK SMA CB yang paling cantik dan seksi yang sudah menikah dengan satu anak – bisa-bisanya datang ke kontrakan mantan muridnya di satu pagi hanya untuk mengajaknya sarapan? Sungguh sebuah effort luar biasa bukan untuk seseorang dengan jabatan seperti Bu Asty? Sangat mencurigakan. Aku mencium adanya udang di dalam bakwan.”

“Eh… eh… kok gitu ya ngomongnya? Ara jangan mulai kurang ajar ya. Begini-begini aku kan mantan guru kamu.” Asty akhirnya membalikkan badan untuk menatap Ara secara langsung meski dia sendiri bingung harus mencari alasan apa. Sudah pasti alasannya dibuat-buat, sedari tadi dia sebenarnya sedang mencari alasan untuk menjelaskan kenapa pagi-pagi datang ke kontrakan Nanto, emang dasar sial yang ada malah si mantan dan si pacar. “Aku datang pagi-pagi untuk...”

Mata tajam Ara dan Bu Asty saling tatap.

“Untuk bilang sayang?” cibir Kinan. “Kayak di WA, kan? Manggilnya sayang. Mesra banget. Mana ada guru yang panggil muridnya pakai sayang-sayang. Kalau sampai ada guru yang begitu – besoknya dilaporin ke KPAI. Saya juga sering mengajar anak-anak jalanan, Bu. Saya juga sering memanggil anak-anak dengan sebutan sayang – tapi karena mereka masih usia dasar, bukan yang udah segede Mas Nanto. Kesannya genit sih, Bu.”

“Duh, Kinan. Aku ini memang akrab sama anak-anak SMA CB, semuanya aku kenal baik. Tentu saja paling akrab sama Lima Jari – karena mereka bandelnya ampun-ampun. Nanto dan kawan-kawannya itu bisa setiap hari masuk BK, ini Ara tahu kok. Nanto sebenarnya anak baik dan bertanggung jawab, kami sering berbincang bersama, aku juga akrab dengan mendiang ibunya. Karena Nanto dan aku sering ngobrol, kami jadi menganggap satu sama lain sebagai kakak dan adik.”

“Aku ga pernah denger ada adik cewek panggil kakak cowok pake sebutan sayang,” cibir Kinan lagi. “Geli aja dengernya.”

“Aku manggil adekku juga adek aja. Bukan sayang.” Ara menambahkan untuk memojokkan bu Asty.

“Haduuuuh kalian ini.” Asty mulai bingung. Kenapa juga tadi dia mau diajak ke sini untuk klarifikasi sih? Kan gawat jadinya ini, mana mainnya keroyokan pula. Aduuuh. Jadi harus bagaimana ini? Apakah ini yang disebut gangbang? Eh. Lho kok malah jadi ngelantur. “Aku harus jelasin gimana? Sungguh tidak begitu ceritanya.”

“Jadi sebenarnya ibu ini hubungannya sama Nanto apa? Apakah kalian sepasang kekasih? Jujur aja deh, bu. Supaya saya juga lega dengernya.” Mata Kinan berkaca-kaca, tangannya digenggam erat oleh Hanna. “Saya rela kalau memang dia lebih sayang dan cinta sama ibu. Tapi tolong jangan bohongi saya. Saya paling benci dibohongi.”

Ara dan Asty sama-sama menatap Kinan dengan iba.

Mungkin meraka yang salah.

Kinan jelas tidak salah. Dia hanya bingung. Begitu banyak wanita di sekeliling Nanto, sehingga perasaannya pun jadi terombang-ambing. Pagi ini saja dia harus berulangkali makan hati. Pertama karena Ara nginep di kontrakan si Bengal dan setelah itu ada bu Asty. Kinan harus jadi benar-benar sabar untuk menghadapi semua ini. Nanto juga kenapa sih tidak bisa menjaga sedikit perasaan kekasihnya?

Hanna meremas tangan Kinan. Dia berbisik perlahan, “jangan terlalu stress. Ingat kondisi kamu.”

Kinan mengangguk.

“Baiklah. Baiklah. Mari kita saling jujur saja. Setelah ini barangkali kita bisa menemukan penyelesaiannya. Aku yang pertama akan mulai cerita dengan jujur dari hati ke hati.” Sekali lagi Ara yang pertama kali membuka diri. “Jujur... aku memang pernah sayang sama Nanto. Kami pacaran cukup lama selama SMA, bahkan ibu guru kita tercinta yang harum namanya di depan ini juga tahu itu...”

“Aish.. Ara...” Asty mendesah.

Ara melanjutkan, “...beliau juga tahu seperti apa kami dulu pacarannya. Sayangnya kami berpisah tidak baik-baik. Kami berpisah karena dia menganggap kami sudah tak lagi selevel tingkat taraf hidupnya. Dia juga mengira akan selamanya tinggal di desa, dan aku di kota. Itu perpisahan yang sangat menyakitkan karena sepihak. Dia mencampakkanku. Butuh waktu lama untuk bisa move-on.”

Kinan dan Hanna menyimak. Asty menunduk sambil memainkan jarinya.

“Setelah perpisahan yang menyakitkan itu... aku tidak berniat untuk buru-buru mencari pasangan lagi. Aku bahkan tidak ingat seberapa lama kemudian, barulah Mas Deka mendekati dan menembakku.” Ara meneguk ludah, “dan aku menerimanya. Aku berharap bisa move-on dan perlahan-lahan menerima Mas Deka apa adanya. Aku berharap bisa belajar mencintainya seperti dulu aku mencintai Nanto. Singkat cerita, beberapa tahun berjalan, kami akhirnya tunangan. Aku merasa sudah mulai tenang... sampai Nanto kemudian kembali lagi ke kota.”

Ara menatap Kinan dengan mata berkaca-kaca. “Bayangkan perasaanku melihatnya kembali ke kota dan bertindak seolah alasan-alasan yang dia ucapkan saat memutuskan hubungan kami secara sepihak itu tidak ada artinya lagi. Jadi apa alasan dulu kami putus? Hanya karena dia tidak mau repot? Hanya karena dia bosan? Egois sekali. Sakit kan rasanya? Apalagi setelah munculnya Nanto, Mas Deka juga mendadak berubah, kepercayaan dirinya agak berkurang karena muncul Nanto yang lebih hebat darinya dan amat dia idolakan. Entah kenapa Mas Deka juga jadi dekat dengan cewek lain – satu hal yang sebelumnya sama sekali belum pernah ia lakukan saat Nanto masih di desa.”

“Lho? Mas Deka yang deket sama cewek, kok dihubunginnya ke Mas Nanto? Jangan salahin Mas Nanto, dong.” Kinan cemberut.

Ara meringis. “Iya... iya... Nah, pada akhirnya – belum lama ini, aku dan Mas Deka sepakat kami akan break sejenak dari hubungan kami. Sama-sama mencari tahu arti kehadiran sosok masing-masing dalam hidup. Jika memang kami benar-benar saling membutuhkan, maka kami akan kembali bersatu dan melanjutkan pertunangan ini. Tapi jika ternyata kami tidak jodoh... ya... sudah... nasi sudah menjadi bubur ayam pakai kecap dan sambal pedes.”

Kinan memegang tangan Ara. “Yang sabar ya, Kak. Mudah-mudahan hubungan kalian berdua kembali membaik.”

Ara mengangguk, “Begitu banyak yang aku pikirkan saat ini sampai aku bingung tidak tahu lagi kemana aku harus curhat. Orang yang aku anggap sangat dekat tentunya adalah Lima Jari, terutama Nanto dan Bian. Tapi Bian sedang bermasalah dengan lokasi jasad mendiang Roy. Jadi aku putuskan untuk mengunjungi Nanto malam-malam karena kebingungan. Maafkan aku ya, Kinan. Bukan maksudku untuk bikin kamu jealous atau apa. Tapi murni karena aku bingung saja.”

“Iya Kak.” Kinan mengangguk. “Aku juga bingung karena... ya siapa sih yang rela ada orang satu tempat dengan cowoknya. Mohon dipahami juga ya.”

“Selama Kinan ada di sisi Nanto, aku akan selalu mendukungmu.” Ara tersenyum, “jangan khawatir. Aku tidak akan merebutnya dari sisimu. Aku rasa si Bengal juga sudah move-on dariku. Jadi posisimu aman, sayang.”

“Syukurlah.” Kinan akhirnya tersenyum.

“Tapi awas hati-hati. Namanya juga mantan. Siapa tahu aku bisa merebutnya kembali. Jangan main-main denganku, ya? Kan ada kata pepatah tuh: teklek kecemplung kalen, ketimbang golek aluwung balen.”

“Kak Araaaaaa!”

Ara tertawa sambil menggenggam jemari Kinan.

Hanna menarik napas lega, satu masalah sudah beres.

Ara lalu berpaling ke Asty yang menunduk. “Nah aku sudah blak-blakan, tidak ada lagi yang disembunyikan dari kalian bertiga. Sekarang bola ada di tangan ibu guru BK kita yang cantik dan seksi ini. Apa alasannya genit ke murid sendiri? Ga pernah ngaca ya? Di rumah sudah ada suami, sudah ada anak, nekat banget datengin kontrakan bekas bocahnya sendiri. Ih, geli ga sih? Pengen dilaporin ke suaminya?”

Asty menghela napas panjang, “Aku sebenarnya tidak perlu menjelaskan apa-apa pada kalian. Kalau memang kalian maunya julid aja ya udah. Sudah jijik sama aku kan? Jadi lebih baik aku pulang saja.”

Asty sudah siap berdiri ketika tangan Hanna mencegahnya.

“Ara... ga boleh gitu ah, semua yang ada di meja ini berhak menceritakan fakta dari sisi mereka. Supaya tidak lagi ada kesalahpahaman.” Hanna tersenyum mencoba meredakan ketegangan. ia pun meminta mantan guru BK itu untuk kembali ke posisi semula. “Silakan duduk kembali, Bu. Kami akan mencoba mendengarkan dengan baik.”

Asty mendengus kesal, tapi ia pun duduk kembali. Ia melirik ke depan, pandangan Ara dan Kinan masih belum ramah.

“Hrmph.” Ara mendengus kesal karena gagal menyerang.

Kinan tetap cemberut.

Asty menarik napas panjang dan memejamkan mata, mengatur diri agar tenang dan membangkitkan kepercayaan diri. Semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik kok. Ia membuka mata dan menatap Ara, Kinan, dan Hanna dengan tenang dan berani – kedudukannya sebagai Guru BK, usianya yang lebih tua, dan statusnya yang sudah berkeluarga seharusnya menjadikan kedewasaannya lebih valid. Jadi kenapa harus takut? Hadapi saja semua. Hadapi, bukan lari. Meski ada yang tetap harus disembunyikan, tapi tidak ada salahnya membuka yang bisa dibuka.

Keberanian diri berlipat menjadikan Asty merasa tak perlu takut menghadapi ketiga gadis cantik yang lain supaya urusan juga cepat selesai. Tapi Si Nanto itu brengsek juga, bisa-bisanya ngumpulin cewek cakep segini banyak.

“Baiklah.” Asty berdehem. “Mungkin aku memang kebablasan saat memberikan julukan sayang ketika melakukan chat dengan si Bengal – apalagi mengingat posisi kami sebelumnya sebagai guru dan murid. Tapi itu sebenarnya hanya main-main saja tanpa tendensi apapun, jadi terima kasih sudah mengingatkan, akan aku ubah cara panggilnya dengan yang lebih normal dan nyaman didengar – terutama untuk menghormati Kinan. Itu yang pertama. Yang kedua, sekali lagi karena aku menghormati Kinan – maka dengan ini aku minta maaf secara langsung kalau sebelumnya kedekatanku dengan Nanto yang lebih dari sekedar guru dan murid menjadikan hubunganku dan Kinan – dan kalian semua - menjadi tidak baik. Kinan... aku sungguh berharap kalian berdua langgeng dan awet sampai nanti waktunya mengikat janji suci. Kinan gadis yang baik, pasangan yang tepat untuk Nanto. Jaga dia baik-baik ya, pastikan dia selalu di jalan yang lurus.”

Kinan menunduk. Hanna mengelus punggung sang sahabat.

“Nah yang ketiga, adalah alasan kenapa aku bertemu berulang kali dengan dia akhir-akhir ini. Yang ini rasa-rasanya kalian paham alasannya. Kalian tentu tahu kalau Nanto itu bocah yang spesial yang tidak perlu aku jelaskan di mana letak ke-spesial-annya bahkan dibandingkan anak Lima Jari yang lain. Kalian yang juga dekat dengannya pasti tahu kalau dia punya sesuatu. Nah, karena alasan itulah aku melacak keberadaan si Bengal dan berusaha memintanya membantuku menangani satu masalah, satu kasus.”

“Kasus?” Hanna mengerutkan kening. “Kasus apa?”

“Aku harap kalian semua merahasiakan apa yang hendak aku ceritakan ini, karena sifatnya sensitif.” Asty berhenti sejenak untuk menatap wajah ketiga gadis di depannya yang berubah menjadi serius. Mereka semua mengangguk.

Asty melanjutkan lagi, “Jadi beberapa saat yang lalu – sebelum aku berhenti jadi guru BK di CB, aku hampir diperkosa oleh salah satu guru baru di sana. Itu sebabnya aku resign dari pekerjaan semula dan sekarang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga biasa. Kejadian itu benar-benar bikin aku trauma, apalagi jika ketemu dengan orangnya langsung. Karena si pelaku ternyata lolos dari jeratan hukum apapun, hanya di-skors pendek saja. Kepala sekolahnya memang brengsek.”

Hanna, Kinan, dan Ara sama-sama terkejut mendengar penjelasan Asty.

“Di-diperkosa?” Ara terbelalak. “Bagaimana mungkin seorang guru SMA CB bisa...”

“Dia guru baru, guru olahraga. Kamu belum mengenalnya, Ara.”

Kinan ikut shock. “B-Bu Asty... aku minta maaf karena tadi sudah...”

“Tidak apa-apa... tidak apa...” Asty tersenyum ramah pada Ara dan Kinan. “Jadi aku tentu marah saat Kepala Sekolah SMA CB ternyata justru melindungi si busuk ini daripada menyelamatkanku dari peristiwa yang mengerikan itu. Itu sebabnya aku resign. Tapi masalah belum berhenti karena si busuk ini ternyata terus menerus mengejar dan menerorku. Entah bagaimana caranya dia punya resource dan backup yang cukup kuat untuk terus menerus lolos dari semua masalah dan menghantui orang-orang yang ia incar.”

“Siapa namanya, Bu?” tanya Kinan. “Kenapa tidak ke polisi? Kenapa ke Mas Nanto?”

“Seperti yang sudah aku bilang, backup dia banyak sampai ke pihak yang berwajib. Karenanya solusi yang bisa aku bayangkan hanya Nanto.”

Kinan manggut-manggut, wajar sih, tapi tidak legal.

Hanna bergerak secara tidak nyaman, gelisah, dan melirik ke kanan kiri.

Kinan mengerutkan kening melihatnya. “Kenapa, Kak?”

Nganu... maaf... tapi... tapi aku agak kebelet pipis, apa bisa ngobrolnya kita lanjutkan nanti lagi?” tanya Hanna dengan kocak. “Maaf, beneran maaf. Udah ditahan-tahan sedari tadi.”

Kinan, Hanna, dan Asty tertawa.

“Ayo, deh.” Asty berdiri dan mengajak Hanna, “aku juga pengen ke belakang sebentar. Nanti balik ke sini lagi.”

Ara mengangguk dan ikut berdiri, “aku juga ikut. Kinan?”

“Aku nggak, Kak. Aku di sini aja.”

“Oke. Kita ke belakang sebentar yaa,” ujar Ara.

Kinan mengangguk.

Posisi kamar kecil tidak begitu jauh dari lokasi mereka sekarang duduk. Hanya tinggal sedikit melalui empat unit resto, belok ke kiri maka sudah terlihat di mana toilet berada. Seperti biasa, bilik toilet pria dan wanita bersampingan di satu tempat.

Ketiga wanita itu pun masuk ke dalam.




Sekitar lima menit kemudian, Asty menjadi yang pertama kali keluar. Ia menunggu Hanna dan Ara selesai di depan pintu toilet, sembari membuka smartphone dan mengirimkan pesan singkat ke suaminya dan pembantu di rumah.

Saat itulah ada kejadian yang tidak disangka-sangka di pagi yang serba mengejutkan, makjegagig, dan makbedunduk itu. Memang bukan harinya Asty sih, bertubi-tubi masalah menyerangnya hari ini.

“Pucuk dicinta ulam pun tiba, kalau memang sudah jodoh tak akan lari kemana. Ini mungkin yang disebut takdir.” Terdengar satu suara pria yang parau. “Sama sekali tidak menyangka ternyata akan bertemu di sini, sayang. Aku rindu sekali padamu.”

Suara parau seorang pria yang paling dibenci oleh Asty saat ini.

Suara Reynaldi.

Ia berbalik badan dan benar – Rey ada di belakangnya. Pemuda itu sepertinya baru saja keluar dari kamar kecil juga. Asty menggelengkan kepala tanda tak percaya dan buru-buru bergegas untuk kabur dari sergapan sang durjana dengan panik. Tapi dengan sigap Rey mengejar Asty dan mencengkeram pergelangan tangannya.

“Eits! Mau lari kemana?”

Asty menatapnya dengan pandangan ngeri, ia mencoba meronta. “Lepaskan! Lepaskan aku! Lepaskan atau aku teriak!”

Reynaldi buru-buru menyeret Asty ke kamar kecil pria. “Ayo kita bersenang-senang dulu. Kamu boleh teriak-teriak sesukamu kalau sudah merasakan kont...”

Jbooooookghh!

Reynaldi terlempar dan terjerembab ke depan.

Satu tendangan kencang yang tidak diduga-duga melesat menghunjam ke dadanya.

Asty yang sempat tertarik tangannya juga ikut jatuh, tapi ada tangan yang membantunya berdiri. Tangan milik Ara.

“Satpaaam! Satpaaaaam! Tolong! Ada orang kurang ajaaar!” teriak Hanna yang baru saja menendang Reynaldi sampai terjatuh. Lumayan juga kemampuan yang sempat diajarkan oleh Om Janu padanya selama di desa.

Rey mendesis marah, ia buru-buru berdiri dan mengedipkan mata sambil tersenyum pada Hanna, Ara, dan Asty. “Tiga bidadari. Asyik sekali. Suatu saat nanti, kalian akan merasakan bagaimana nikmatnya ngentot sama aku. Hahahaha.”

“Satpaaaaam!” teriak Asty.

Rey mengayunkan tangannya tanda cuek, dan segera keluar ke pintu yang menuju tempat parkir. Banyak orang yang datang mengerumuni mereka, tapi Rey sudah tak nampak lagi.

Ketika suasana terasa tenang, ketiga wanita jelita itu pun buru-buru kembali ke Kinan yang kebingungan. Rey juga sudah lenyap.

“Ada apa? Ada apa?” Kinan kebingungan.

“Kita harus segera pergi dari sini, orang itu psikopat. Dia akan menghalalkan segala cara untuk menyakitiku atau mungkin juga menyakiti kalian. Jangan pernah bertemu dengannya lagi. Amit-amit.” ucap Asty mencoba memberi peringatan tentang Rey. Dengan satu napas panjang, mantan guru BK itu mengatakan yang sejujurnya, “Itulah dia, laki-laki yang tempo hari berusaha memperkosaku. Sama sekali tidak menyangka ketemu dia di sini. Aduuuh pait, pait, pait. Itu tadi yang namanya Reynaldi.”

Ara terbelalak. “Dia!? Dia itu yang namanya Reynaldi?”

Sembari mengingat sosok Reynaldi yang baru saja meninggalkan area makan, tunangan Deka itu segera merangkai benang dan simpul. Reynaldi – guru olahraga, ganteng tapi cabul, suka perkosa cewek. Semuanya masuk ke sosok yang pernah diceritakan oleh Rania padanya. Jangan-jangan dia orang yang sama seperti yang dimaksud oleh Rania? Jangan-jangan dia yang bertanggung jawab terhadap kematian Roy? Inikah orangnya yang mereka cari selama ini?

Ara segera bertindak.

“Kita harus cepat! Tidak boleh buang waktu. Ada kemungkinan itu orang yang sama yang mencelakai Roy dan tahu di mana jasadnya berada.” Ara mengomando, “Bu Asty, aku minta ibu ikut aku untuk ketemu dengan Rania – kita akan mencocokkan data tentang Reynaldi. Seharusnya memang bisa lewat VC saja, tapi sepertinya lebih pasti kalau ketemuan langsung. Kebetulan Rumah Sakit tempat kerja Rania tidak jauh dari sini. Mudah-mudahan saja dia sedang shift jaga. Kalau memang benar dia orangnya – kita punya petunjuk yang tepat dan memberitahukannya ke Lima Jari.” Gadis itu mengatur strategi.

Hanna dan Kinan saling berpandangan, mereka juga sudah mendengar kabar tentang sahabat Nanto itu, kalau memang ternyata benar orang ini yang mereka cari-cari selama ini, maka mereka bisa membantu Nanto dan Lima Jari!

Ara menatap Asty. “Ibu ikut aku ya. Ini masalah nasib mendiang Roy.”

“Baiklah. Mudah-mudahan aku bisa membantu.”

“Kalian berdua – Hanna dan Kinan, coba pelan-pelan amati kepergian Reynaldi, perhatikan dari jauh dan hati-hati. Pastikan dia tidak mengikuti kami berdua, pastikan juga dia tidak tahu kalian mengamatinya. Dia butuh dijauhkan dari Bu Asty. Aku tidak ingin dia tahu kalau kita semua punya koneksi dengan Rania juga.”

“Baik, Kak.” Kali ini Kinan mengangguk dan setuju dengan usulan Ara. Kalau sudah begini, mereka berempat jadi kompak. Saat menghadapi musuh yang sama, lawan pun bisa jadi kawan. The enemy of your enemy is a friend.

“Hanna?”

“Siap.” Hanna juga mengangguk.

Kinan dan Hanna segera bangkit dan akan mencoba mengawasi sang durjana yang diperkirakan masih berada di basement parkir, sementara Asty dan Ara naik ke atas menuju ke lobby untuk buru-buru memesan taksi online demi menuju ke Rumah Sakit tempat Rania bekerja. Semua benang bundet dan tali simpul yang ruwet ini akan segera terurai. Mereka akan segera tahu bagaimana nasib Roy sesungguhnya dan siapa yang bertanggung jawab!

Di basement dua, Hanna dan Kinan berjalan bersama di parkiran mobil. Ruang parkir sebenarnya tidak terlalu luas, tapi juga entah kenapa teramat sepi siang ini – mungkin karena masyarakat lebih tertarik dengan mal-mal baru yang lebih besar, Gilaria memang termasuk mal lama di kota. Beberapa mobil berkumpul di spot yang dekat dengan lift dan tangga turun, sementara ruang yang lebih luas dibiarkan kosong.

“Kemana dia tadi?” tanya Hanna celingukan.

Kinan menggelengkan kepala. “Tidak kelihatan ya? Tidak ada siapa-siapa sama sekali di sini. Jangan-jangan sudah pergi? Aku sih belum lihat orangnya seperti apa.”

Hanna menggangguk dan merangkul Kinan. “Omong-omong, bagaimana keadaanmu? Menyelesaikan masalah seperti tadi tidak berat kan? Jangan kepikiran terlalu banyak.”

“Tidak sih. Untungnya kita semua mencapai kesepahaman.”

“Memang kamu lah yang paling berhak jalan sama Mas Nanto, sayang. Mas Nanto sendiri juga jelas-jelas memilih jalan sama kamu. Jadi jangan khawatir. Aku pasti akan mendukungmu.” Hanna tersenyum, meski dalam hati ia sebenarnya sedikit merasa sedih karena juga menaruh asa pada si Bengal. Di sisi lain, Hanna sebenarnya kasihan dengan Kinan. “Ngomong-ngomong... apakah kamu sudah bilang sama dia soal yang pernah kita bicarakan di desa tempo hari?”

Kinan menunduk, “Belum. Belum ada kesempatan.”

“Lho? Gimana sih? Harusnya lebih cepat. Ini keadaan yang tidak main-main dan tidak biasa-biasa saja lho. Bagaimana kondisimu?”

Kinan menyentuh dada kiri atasnya. “Jujur rasanya mau copot, detaknya tidak normal. Deg-degan banget. Aku harus bagaimana ya? Aku takut dia tidak akan sanggup menerima kenyataan. Kalau...”

Hanna menggeleng kepala. “Jangan takut. Bicarakan baik-baik dengannya. Semua pasti ada solusinya, yang penting dicoba dulu.”

Kinan mengangguk sedih. “Aku takut dia akan... ini kan bukan berita baik...”

“Yang penting bicara dulu. Kamu sudah ke dokter?”

Kinan menggeleng lagi. “Aku takut.”

“Duh gimana sih, lebih cepat lebih baik. Sampaikan saja apa keluhan-keluhanmu. Mudah-mudahan semua akan menjadi lebih baik kalau cepat ditangani dan...” Hanna terhenti di depan sebuah mobil yang amat ia kenali. “Eh, mobil ini kan mobil...”

Ck!

Tangan Hanna dicengkeram tiba-tiba oleh seorang pria! Mengetahui bahaya yang tiba-tiba, Hanna mendorong Kinan sampai terjatuh untuk menyelamatkannya.

Hanna berteriak. Ia mencoba melawan, tapi pria yang mencengkeram pergelangan tangannya jauh lebih kuat. Sepertinya ada tenaga dalam yang terlibat. Dengan cekatan orang itu menyeret Hanna menjauh dari Kinan. Hanna meronta-ronta sebisanya. Sayang ia tidak diajarkan bagaimana melepaskan diri dari cengkraman tangan pengguna Ki.

Hanna menatap sengit sang lelaki yang telah mencengkeram tangan dan menyeretnya.

Orang itu... Reynaldi.

“Aku paling benci ditolak apalagi ditendang sama cewek – seharusnya hari ini aku bisa bersenang-senang dengan wanita idamanku, tapi kamu gagalkan. Mungkin seharusnya aku mengejar dia sampai dapat. Tapi hari ini pengecualian karena kamu sangat cantik, aku jadi tergoda. Badanmu yang seksi itu sepertinya enak dientotin dan lezat dijilatin. Kalau Asty menolakku, maka kamu cocok menggantikannya seharian ini. Ikut aku, sayang. Akan aku berikan kenikmatan yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya.” Reynaldi tersenyum. Ia mencengkeram pergelangan tangan Hanna dengan kencang dan menariknya ke arah mobil sang durjana.

Hanna berteriak, ia berusaha meronta, tapi tangannya dipelintir ke belakang oleh Rey.

Hanna menatap ke arah Kinan yang tergeletak di lantai parkir.

Kinan terbelalak menyaksikan apa yang terjadi begitu cepatnya. Ia buru-buru berdiri dan mengejar Rey yang melarikan Hanna, tapi sebelum sampai di posisi di mana keduanya berada, seorang pria sudah terlebih dahulu mencengkeram pundak Reynaldi.

“Lepaskan dia, bangsat.”

Pria itu berdiri tegap dengan wajah geram. Dengan tanpa takut menatap dan menantang langsung sang durjana. “Tenanglah Hanna. Aku di sini.”

Rey mendengus kesal, ia menyalakan Ki-nya. “Beneran cari mati.”

“Untuk terakhir kalinya. Lepaskan dia.”

Kedua pria itu berhadapan.

Rey belum melepaskan tangan Hanna.

Kinan bingung harus bagaimana. Jantungnya berdetak amat cepat. Lebih cepat, lebih cepat lagi, terlalu cepat. Lalu semuanya menjadi gelap.

Kinan ambruk dan pingsan.





BAGIAN 14-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 14-B
 
BAGIAN 14-B
ARAH






Om Kimpling terhenyak kaget dengan serangan tiba-tiba dari sang T-Rex, sekonyong-konyong dia pun mengangkat kedua lengannya untuk membuat pagar pertahanan. Garangan kribo satu ini bahkan tidak melakukan ancang-ancang apapun untuk melepas pukulannya! Petarung dari mana dia?

Bldddmmmhhh!

Lengan Om Kimpling disambar satu sengatan yang teramat dahsyat, tubuhnya bergetar dan ia terdesak mundur sampai satu meter ke belakang! Kampret! Tiba-tiba saja sudah menyerang sekuat ini! Untung saja pukulan Hageng tidak dilapisi oleh tenaga Ki macam apapun, sehingga pertahanan ala kadarnya dari Om Kimpling masih bisa kuat menahan serangan sang T-Rex.

Meski tanpa Ki, hantaman dari Hageng masih cukup menyengat.

Terdesak ke belakang, Om Kimpling mencoba menahan kakinya yang terseret di lantai lapangan agar tetap bertahan dan tidak terjungkal ke belakang. Kampret. Bisa-bisanya dia dibikin kelabakan begini oleh bocah yang ngomong s saja tidak bisa!

Om Kimpling tidak terima ia dihentak sebegitu mudahnya! Ha wegah no! Padakke opo e su!

Bos NWO itu segera memutar badan, melompat kecil untuk memberikan ekstra putaran, dan melakukan pukulan dengan posisi punggung tangan membelakang. Posisi backhand.

Saatnya menghajar!

Jbooooookghh!

Alih-alih masuk – satu pukulan kencang dari Hageng justru melesak masuk ke wajah Om Kimpling yang terbuka tanpa pertahanan! Tubuh sang raksasa itu terbang dengan setengah lompatan bagaikan sedang melakukan lompat halang rintang untuk menjemput wajah Om Kimpling dengan satu pukulan yang sudah dipersiapkan sejak sebelum melakukan lompatan.

Itulah Superman’s punch – satu hantaman kencang yang membuat pipi sang tetua melesak ke dalam karena besarnya kekuatan yang disematkan. Sekali lagi sang pimpinan NWO terlempar ke belakang!

Tapi lagi-lagi Om Kimpling hanya terseret mundur, tidak sampai terjatuh. Secara seimbang tubuh sang tetua mampu bertahan. Tentu dia justru menjadi semakin geram. Dia ini pimpinan NWO! Anak cabang dari Dinasti Baru! Kelompok yang berkuasa di kawasan tengah! Masa iya bisa dipukul mundur dua kali sama bocah kribo bau kencur!?

Dua kali lho ini! Dua kali!!

Tidak akan terjadi lagi!

Om Kimpling membuka saluran Ki-nya dengan segera, ia menundukkan badan dengan posisi menyamping, kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang. Kepala diputar ke arah kiri, sejajar dengan posisi arah jari kaki. Mata memandang ke depan untuk memperhatikan pergerakan lawan, sementara tangan bergerak lembut di samping badan seperti sedang memetik senar gitar atau kecapi. Tapi bukan memetik senar yang sebenarnya sedang ia lakukan, sang pemuka NWO itu bagaikan sedang memilin sesuatu yang tak nampak.

Hageng yang melihat gerakan tangan Om Kimpling merasa heran dengan kuda-kuda yang tak wajar itu. Apa yang sedang dia rencanakan? Hageng mencoba berhati-hati, berjalan zigzag agar tak mudah dihembus tenaga dalam apapun. Ya, pasti itu tenaga dalam. Sialnya dia masih belum bisa merasakan aura Ki apapun. Jangankan aura Ki, Aura Kasih juga dia belum pernah lihat.

Meskipun bergerak zigzag, tapi Om Kimpling sudah memperkirakan gerakan Hageng – dia sudah banyak makan asam garam dan bukan kali ini saja dia berhadapan dengan lawan yang bergerak dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan. Sang tetua memutar tangan yang tadinya tertelungkup mengarah ke bawah untuk memilin sesuatu yang tak kelihatan, menjadi menghadap ke atas. Lalu dikatupkannya ujung depan ruas atas jari tengah dan bagian dalam ruas atas jempol. Gerakan seperti hendak menembakkan sesuatu yang berukuran sebesar kelereng dengan jarinya. Kedua tangan bersiap saat Ki mulai dikumpulkan.

Jari-jemari tangan Om Kimpling pun segera beraksi!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Bak menembakkan peluru berkecepatan tinggi, Sentakan Ki berukuran kecil memberondong tubuh Hageng melalui jentikan jari Om Kimpling. Inilah salah satu andalan sang pimpinan NWO, jurus variasi Sentakan Ki versi mini dengan kuantitas mengerikan, bagaikan berondongan peluru dari senapan mesin – jurus Amukan Sejuta Lebah.

Meski sudah berusaha bergerak menghindar sebisa mungkin, tapi dengan tubuh besarnya yang tidak terlalu lincah Hageng tak dapat mengelak! Ke kiri kena lengan! Ke kanan kena paha! Lalu kiri lagi, kena di dada, kena di pundak, paha, kaki, kaki, kaki, kaki, wajah, pundak, dada, ulu hati, Hageng tak kuasa maju ke depan!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Hageng terdorong ke belakang! Kalau terkena berulang kali bisa-bisa Sentakan Ki berukuran kecil ini sanggup merobohkan Hageng yang bertubuh bongsor! Benar saja! Hageng kena di paha! Lalu di dada! Di pundak! Kena lagi! Lagi! Lagi! Lagi! Lagi!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Kaki yang berulang kali tersambar akhirnya luruh ke bawah. Hageng hampir saja ambruk. Dia dapat bertahan dengan satu kaki masih tegap. Tangan sang T-Rex kini murni digunakan sebagai pertahanan dengan disilangkan di depan wajah dan dada.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Sang tetua tidak memberikan kesempatan sedikitpun pada Hageng untuk maju ke depan. Seakan-akan tenaga Ki-nya tidak habis-habis! Sang T-Rex melirik lagi ke depan melalui sela-sela jemari sebagai pelindung diri, adakah kesempatan untuknya menyerang?

Om Kimpling akhirnya berhenti memberondong. Kedua tangannya sudah luruh ke bawah.

Sekarang!

Hageng melaju dengan kencang ke depan, tangan kiri dibentangkan untuk menyambar leher, bersiap untuk melakukan clothesline! Berlari sekencang mungkin dengan langkah kakinya yang lebar, si bongsor Hageng dapat mempersingkat jarak dengan cepat, empat meter, tiga, dua, satu.

Kena?

Om Kimpling merunduk. Bentangan tangan Hageng tak kena. Clothesline-nya gagal.

“Nnggg.” Om Kimpling mendengung.

Tepat di saat Hageng melaluinya, sang tetua menyiapkan kepalan tangan yang sudah dibalut Ki terpusat dengan getaran hebat. Begitu jarak terpaut satu meter, Om Kimpling menarik tangannya ke belakang sedikit, memutarnya semakin kencang, dan meledakkannya tepat di saat tubuhnya dan Hageng sejajar. Rusuk sang raksasa jadi sasaran pukulan Sengatan Lebah Maut.

Bldddmmmhhh!

Hageng terpental ke belakang dengan satu pukulan kencang. Tubuh raksasanya sampai terbang karena kerasnya benturan. Sang T-Rex terbanting berulang di pelataran lapangan basket hingga akhirnya berhenti dan telentang.

Om Kimpling mengejar, tidak akan dia membiarkan Hageng bangkit kembali.

Meski tubuh remuk redam, tapi bukan Hageng namanya kalau menyerah begitu saja. Rusuknya nyeri bukan kepalang, entah ada yang patah, retak, atau hanya ngilu yang luar biasa terasa. Tapi dia harus bangkit. Dari posisi terlentang di atas lapangan, dia memutar badan sekuat tenaga meski ngilu bukan main rasanya. Kakinya yang panjang diputar dan dalam satu putaran kaki, Hageng sudah bangkit kembali tepat pada saat Om Kimpling datang menerjang.

Kaget karena Hageng kembali berdiri, Om Kimpling menghindari serangan langsung dari sang T-Rex dengan bergerak ke samping kiri. Justru itu yang dicari si kribo. Ia memutar badan ke kanan dan melewati Om Kimpling yang kini berada di depan dan memunggunginya!

Tangan Hageng masuk dengan cepat ke bawah lengan Om Kimpling, dikait di belakang wajah, mengunci sang tetua dalam posisi Full Nelson. Dari belakang lengan Hageng masuk di antara ketiak Om Kimpling, lalu naik ke atas untuk menjepit lengan dengan mengait jemari di belakang kepala belakang sang tetua.

Saat Om Kimpling sudah tak mampu lagi bergerak, kaki kiri Hageng maju ke depan kaki sang lawan, dan menyapukan kaki kiri itu ke bagian selangkangannya, seperti sedang mengengkol ke belakang dengan cepat – gerakan ini secara efektif mendorong tubuh Om Kimpling untuk ambruk ke depan dan membenturkan wajahnya tepat di alas keras lapangan basket. Eksekusi teknik skull crashing finale!

Atau setidaknya begitu rencananya.

Tepat sebelum Hageng mengayunkan kaki, Om Kimpling melemparkan kepalanya ke belakang.

Jddddgkkkkh!!

Kepala keduanya berbenturan. Dua-duanya berteriak kesakitan. Kuncian Hageng di lengan sang lawan terlepas. Saat itulah siku tangan kanan Om Kimpling bergerak mundur, melesak ke rahang kanan sang T-Rex.

Jddddgkkkkh!!

Hageng terlempar ke samping kiri, kunciannya sudah benar-benar lepas. Matanya berkunang-kunang saat sodokan siku tangan Om Kimpling barusan masuk. Puyeng sekali rasanya. Mau tidak dirasakan tapi kok tetap terasa. Meski terlempar, Hageng tetap bertahan tanpa terjatuh.

Nnnnngggggg.”

Om Kimpling bergerak cepat dan kembali mengeluarkan suara dengungan. Tangannya lagi-lagi terkepal dengan pusaran tenaga Ki terpusat dalam genggaman. Sengatan Lebah Maut beraksi kembali. Tubuhnya berputar dan satu hantaman melesat bak rudal ke wajah sang T-Rex.

Bldddmmmhhh!

Darah muncrat. Kepala Hageng terlontar ke belakang. Tertatih ia mencoba bertahan. Om Kimpling ingin menyelesaikan sesegera mungkin. Yang seperti ini harus dibombardir sampai tuntas!

Nnnnngggggg.”

Dengungan maut menyertai putaran tangan kanan Om Kimpling yang makin buas. Sengatan Lebah Maut terus melaju mencari mangsa. Ledakan hantaman dituntaskan ke wajah sang T-Rex.

Bldddmmmhhh!

Masuk. Sekali lagi.

Bldddmmmhhh!

Masuk lagi. Terus lanjutkan! Jangan berhenti!

Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh!

Kepala Hageng terus menerus dihujani pukulan kencang oleh Om Kimpling. Wajahnya sudah berubah sembab, matanya makin lama makin tak dapat melihat jelas karena bengkak mulai terbentuk di sekeliling kelopak. Tubuhnya terhuyung-huyung, kepalanya pusing bukan kepalang, seperti ada dengungan bunyi microphone yang feedback dalam telinganya.

Kaki Hageng secara refleks melangkah ke belakang, kaki yang tadi dihujani sengatan bertubi juga seakan sudah tak kuat berdiri.

Hageng teringat ucapan Simon saat mengajarkannya Pukulan Geledek. Atur napas dengan baik. Buka saluran Ki, alirkan ke seluruh tubuh, benamkan sebagian besar di kepalan hingga ke lengan, lalu lepaskan dengan satu lecutan kencang. Hageng yang terhuyung-huyung mencobanya. Menyalurkan Ki, ke tangan, ke lengan, lalu lepaskan.

Tepat pada saat Om Kimpling menarik tangan untuk melepaskan satu lagi Sengatan Lebah Maut, kepalan Hageng datang menerjang. “Heaaaaaaaaaaaa!!”

Jbooooooookghhh!

Om Kimpling terdorong ke belakang, wajahnya terbongkar, darah muncrat dari mulutnya. Seperti halnya sang lawan yang menghujaninya dengan pukulan, kini giliran Hageng yang mengayunkan kedua tangan dengan membabi-buta. Kanan, kiri, kanan, kiri.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!”

Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh!

Bak lontaran roket yang terbang dari kedua tangan, pukulan Hageng menukik dan menghunjam tepat sasaran. Wajah Om Kimpling yang sejak awal tidak jelas makin tidak karuan. Sang pimpinan NWO terdesak mundur. Kuat sama kuat!

Langkah kaki Om Kimpling bergoyang saat mundur, tapi sepertinya dia jauh lebih kuat dari Hageng. Karena setelah badai pukulan menerjang, dia masih tetap dapat berdiri tegap sedangkan sang T-Rex mulai goyang.

Nnnngggggg!

Bldddmmmhhh!

Satu pukulan menuntaskan tekad Hageng untuk memborbardir sang lawan. Hantaman telak yang melesak dari bawah masuk ke rahang membuat Hageng bagai masuk ke dalam kegelapan. Otaknya seakan berhenti berfungsi dan sang raksasa itu ambruk ke belakang.

Blmm.

Om Kimpling berdiri kokoh di hadapan Hageng yang tumbang. Napasnya satu dua, ia terengah, gerakannya patah-patah. Dengan berdiri susah payah, sang pimpinan NWO mencoba mengamati lawan yang sepertinya sudah pasrah. Masihkah dia mampu bangkit? Akankah dia menyerah?

Tidak semudah itu.

Terdengar suara tawa.

Tangan Hageng bergerak, menapak ke bawah, dan menggunakannya sebagai tumpuan untuk bangkit berdiri. Dengan napas terengah-engah, Hageng bangkit dengan gagah. Bibirnya yang sudah berdarah tersenyum tanpa ada tanda-tanda ingin menyerah kalah.

“Begitu saja kemampuan Om? Puas? Begitu sudah?”

“Heaaaaaaaaaarrrghh!”

Dipancing oleh Hageng, Om Kimpling berteriak kencang, membentangkan kelima jemari tangan kanannya, lalu melecutkan lengan kanan sekuat tenaga ke arah sang T-Rex. Amukan Sejuta Lebah muncul kembali! Kali ini lima tembakan sekaligus!

Kelimanya mengarah ke kaki kiri Hageng yang goyah.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

“Haaaaaaaaargh!” Sembari berteriak kesakitan Hageng luruh ke bawah. Kaki kirinya sudah tak lagi kuat menyangga.

Saat itulah tiba-tiba terdengar bunyi dengungan dari atas. “Nnnnnnngggg.”

Bldddmmmhhh!

Sekali lagi wajah Hageng terhampar kepalan tangan penuh energi Ki yang menukik ke bawah dengan kencang dan membongkar wajahnya. Hageng terbanting jatuh. Wajahnya terantuk kerasnya lapangan. Ia terjatuh dengan menelungkup. Om Kimpling maju ke depan secepatnya. Dia tidak mau lengah lagi seperti tadi. Kakinya melesat.

Bkghhh!

Kepala Hageng jadi sasaran dan langsung kena. Tidak ada perlawanan. Pastikan sekali lagi.

Bkghhh!

Pastikan terus. Sekali lagi. Dua. Tiga. Empat. Lima. Injakan demi injakan menghujani wajah sang T-Rex.

Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh!

“Huff... huff...”

Om Kimpling amat puas dengan tendangan-tendangannya, ia pun mundur dengan napas yang tak teratur. Kelihatannya Hageng sudah benar-benar tak lagi bergerak. Sudah selesai sepertinya. Massa pendukung kedua belah pihak terdiam dengan aksi Om Kimpling saat menuntaskan Hageng. Mereka bahkan tidak tahu apakah Hageng hidup atau mati.

Nanto dan Deka menyaksikan dengan penuh kekhawatiran. Apa yang terjadi pada Hageng?

Sang tetua NWO mendengus, kepalan tangan kanannya diangkat ke atas. Sorak-sorai pasukan Dinasti Baru terdengar membahana. Kemenangan di tangan! Dengan ini kedudukan berubah menjadi...

“Tunggu... dulu... belum...”

Om Kimpling terbelalak.

Hageng kembali berdiri bak seorang monster. Senyum menyeringai di wajah sang T-Rex mengembang lebar. Tubuhnya sudah terlihat lusuh, lemas, dan lemah. Kakinya bergoyang hebat dan dicoba ditahan sekuat tenaga. “Apa... cuma... zegitu... saja...? Aku... bahkan belum... mengeluarkan... andalan... baru...”

“Kamu ini....” Om Kimpling tidak habis pikir, bukankah lebih baik rebah saja daripada menerima hajaran lagi? Kekuatan mereka tidak setara!

Nnnnggggggg!

Bldddmmmhhh!

Langsung on point. Kepalan tangan Om Kimpling melesat tepat lurus ke depan, mendarat dengan kecepatan tinggi di wajah Hageng yang tak sempat melakukan apa-apa.

Sang T-Rex terlempar ke belakang dan kembali ambruk.

“Huff... huff...” Om Kimpling mulai kelelahan. Seharusnya lawannya sudah tidak sanggup lagi berdiri. Seharusnya Hageng sudah benar-benar selesai sekarang. Seharusnya. Pukulan terakhir tadi lepas dan meledak telak dengan tepat sasaran.

Sudah.

Pasti sudah.

Dengan ini sudah selesai.

Om Kimpling menyaksikan dengan ngeri saat melihat telapak tangan Hageng bergerak, dengan mantap tangan itu menapak di lapangan, dan sekali lagi menggunakannya sebagai tumpuan untuk mengangkat tubuhnya berdiri.

Kembali Om Kimpling mundur menjauhi sang T-Rex. Dia geleng-geleng kepala. Mau berapa kali lagi? Dengan ancang-ancang seadanya, Om Kimpling melesat ke depan untuk menyerang. Kembali jemari tangan kanan dibentangkan lalu dilecutkan ke depan.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Lima sentakan ki kecil melesat dan masuk menghujani badan sang T-Rex yang terpental-pental ke belakang tanpa daya. Tubuhnya pasti sudah mulai susah digerakkan. Lima serangan itu masuk ke dada, pundak, lengan, dan rusuk Hageng yang sejak awal sudah terluka. Menambah limbung tubuhnya yang sudah tak lagi kuat berdiri.

Nnnnggggggg!

Pukulan pamungkas Sengatan Lebah Maut dikerahkan sang tetua! Kali ini pasti selesai!!

Jbooooookkkkgh! Krrrkkkgh!

Kepalan tinju Om Kimpling ternyata disambut juga... oleh kepalan tinju kiri Hageng!

“Haaaaaaaaaaargh!”

Keduanya terlontar ke belakang dengan jari tangan seakan retak karena berbenturan dengan kerasnya. Tapi ada perbedaan, Om Kimpling melapisi tinjunya dengan Ki, sementara Hageng masih menggunakan pukulan yang mentah. Sang T-Rex terlontar lebih jauh dengan tangan berasa sangat ngilu, tangan itu mulai membengkak.

Setelah sempat terguling beberapa kali, Hageng kembali berdiri.

Sang raksasa itu terengah-engah. Kenapa belum keluar juga? Dia sudah berusaha keras membuka keran Ki-nya agar mengalir ke seluruh tubuh, tapi tidak juga muncul. Kenapa? Apa yang salah? Ki-nya sudah jelas tidak tersegel, ini semua karena ia memang belum bisa mengaktifkannya. Sang T-Rex kebingungan sembari menatap kepalan tangannya. Apakah ada langkah yang belum ia lakukan? Latihan yang belum ia jalankan? Laku yang belum ia amalkan? Kenapa Ki-nya tidak bisa muncul dengan sempurna? Bagaimana caranya? Dia harus bagaimana lagi?

Deka dan Nanto menatap Hageng dari kejauhan. Mereka tahu apa yang dia rasakan.

“Itu adalah salah satu kelemahan Hageng,” ungkap Deka. “Dia masih belum bisa mengeluarkan dan menyalurkan tenaga Ki dengan baik. Mungkin karena selama ini memang bukan itu fokus latihannya. Dia terbiasa dengan teknik gulat bebas, bukan pengaturan energi Ki. Belum balance antara yin dan yang. Tenaga dalam dan teknik luar.”

Nanto mengangguk, “Aku juga menyadarinya, keran Ki-nya belum terbuka, bukan karena ditutup, tapi karena memang belum ada kerannya.”

Di tengah arena, Hageng kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia menjadi satu-satunya yang tidak bisa mengeluarkan tenaga Ki dengan natural? Apakah ini karena kebodohannya? Apakah ini karena dia tidak memiliki guru? Satu-satunya tempat dia belajar adalah Simon – dan untuk mempelajari Pukulan Geledek dia harus mengeluarkan Ki. Sesuatu yang hingga saat ini justru sangat susah ia lakukan.

“Haaaaaaaaaaaaaaarrrghhhhh!!!”

Dengan rasa putus-asa yang makin merajam di dalam dadanya, Hageng berteriak kesal. Kedua tangannya dikepalkan dengan geram. Kecewa pada dirinya sendiri yang tak mampu meningkatkan level secara mandiri. Piye to ikih carane?

Om Kimpling mengerutkan kening melihat lawannya bertingkah-laku aneh. “Kenapa lagi kamu?”

Hageng tersenyum, “Zebentar. Ini ceritanya ada drama di pertarungan ini, Om. Biarkan aku menikmati zebentar zaja putuz aza yang azukampret ini zupaya terlihat keren dan punya peranan bezar dalam perkembangan ke depannya.”

“Heleh. Munyuk. Kenapa harus putus asa? Hanya gara-gara Ki-mu masih belum mengalir lancar? Sejak tadi kamu terus menerus menunjukkan determinasi yang luar biasa. Meski jatuh, tapi selalu bangkit. Itu hebat banget! Masa hal yang begini saja justru bikin kamu putus asa?” Om Kimpling mendengus, karena ia bisa merasakan apa sebenarnya masalah Hageng. Aura Ki si bongsor kribo itu masih belum stabil, kadang muncul lebih sering lenyap. Itu menyebabkan semua serangannya tak sempurna dan hasilnya mentah. Jika ini pertarungan tanpa Ki, Hageng bisa menang – sayangnya ini pertarungan yang sudah naik level. “Jangan khawatir. Ki itu bisa dilatih, jadi tidak ada alasan bagi anak muda sepertimu untuk putus asa. Masa depan masih cerah, masih banyak kesempatan untuk belajar. Contohnya mudah, lihat aku. Aku ini cuma orang kasar yang doyan wedokan – hidupku ini njelehi. Ra umum eleke ra umum wasu-ne. Tapi semua kesulitan yang menerpaku aku anggap sebagai batu loncatan untuk naik jenjang, aku tidak pernah sekalipun menyerah atau putus asa. Prinsipku simpel, kalau orang lain bisa – aku pasti bisa.”

Hageng menunduk dan terkekeh pelan. Apa-apaan ini? Malah dikasih wejangan sama lawan. Semenyedihkan inikah dia? Ayo Hageng, ini bukan dirimu! Kamu selalu optimis dan tidak akan pernah menyerah dalam kondisi apapun! Kamu pasti bisa.

“Bersiaplah.” Tiba-tiba saja Om Kimpling mengejar posisi Hageng.

Hageng terkejut karena serangan itu sangat mendadak.

Karena tidak akan siap untuk mundur atau menyerang balik saat menerima serangan tiba-tiba itu, maka Hageng pun memilih pose bertahan. Ia memiringkan tubuh dan meringkuk – bagai pertahanan seekor kura-kura yang masuk ke tempurung. Sayangnya dengan begitu, bagian belakangnya terbuka tanpa pertahanan.

Telapak tangan Om Kimpling menyambar punggung sang T-Rex.

Bldmmmmmmmm!

“Haaaaaaaaaaaaaaarrrghhhhh!!!”

Hageng bagaikan disambar listrik ribuan volt. Ia mengejang dan terdorong ke depan dengan satu hentakan. Tubuh bongsor sang T-Rex terguling-guling ke depan, hingga akhirnya tak bergerak beberapa saat lamanya dengan posisi tertelungkup ke bawah.

Massa yang sejak tadi saling berbalas dukungan pun terdiam kembali.

Apakah sudah benar-benar selesai sekarang?

“Hageng…” Deka yang melihat tubuh kawannya tak bergerak sudah siap berlari menuju Hageng, namun ia terhenti setelah lengannya ditahan oleh Nanto.

Si Bengal menatap tak berkedip ke tengah lapangan dan menggeleng. “Jangan. Ini berbeda. Hageng tidak akan hancur semudah itu. Tidak dengan cara ini.”

Deka mengerutkan kening. Berbeda? Apanya yang berbeda!? Hageng sudah terkapar tak berdaya. Mereka harus segera…

Tiba-tiba terdengar teriakan membahana. Semua anggota Aliansi bersorak-sorai. Deka memindahkan pandangannya ke tengah lapangan, dan ia sungguh terkejut. Hageng kembali berdiri tegap dan menantang di depan hadapan Om Kimpling!

“A-apa yang terjadi?” si Gondes bertanya-tanya.

“Aura-nya…” ucap Nanto.

“Aura? Kenapa aura si Hageng?”

“Ki-nya sudah menyala.”

“Heh?”

“Pukulan demi pukulan Om Kimpling ibarat trigger yang ternyata mampu membuka Ki yang tersimpan dalam diri Hageng – terutama yang terakhir tadi.”

Persis seperti apa yang dikatakan oleh si Bengal, Hageng merasa ada rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, membuatnya merasa rileks, tenang, sekaligus bertenaga. Tapi berbeda dari sebelum-sebelumnya, energi ini terasa aktif, hidup, dan mengalir lancar tanpa henti. Hentakan pukulan dari Om Kimpling ternyata berhasil memberikan jalan bagi Ki yang selama ini gagal ia aktifkan.

Jadi seperti ini rasanya memiliki tenaga dalam?

Ohohoho!

Hageng menatap ke arah Om Kimpling dan berucap, “Terima kazih, Om. Tidak menyangka zama zekali kalau pukulan-pukulan dari Om juztru membuatku zeperti ini. Ki-ku jadi aktif.”

“Heheh. Iyakah? Ha… ya… ya... aku sebenarnya juga tidak menyangka, tujuanku mau menang saja. Tapi baguslah. Kamu tidak perlu lagi putus asa dan kita bisa bertarung dengan lebih adil. Tugasmu sekarang adalah mengembangkan dan meningkatkan apa yang kamu miliki, karena toh apa yang kamu miliki itu sebenarnya masih sangat mentah. Ki-mu sudah menyala, tapi masih sangat redup.”

“Coba sajaaaa!” Hageng dengan bersemangat melompat sekuat tenaga, dengan bekal Ki yang ia miliki, Hageng membungkus tangannya menggunakan tenaga dalam. Saatnya mengeluarkan jurus baru dengan nama yang maksa yang ia ciptakan!

Pukulan Palu Dewa Petir!!

Sentakan energi Ki dan hantaman kencang dari Hageng bertemu dengan kekuatan pertahanan dari Om Kimpling.

Blddddmmmmmm!!!

Meski sudah dilapis Ki, tapi pertemuan energi yang terjadi masih tidak setara.

Ki milik Om Kimpling jelas jauh lebih kuat dan terlatih. Hageng terlontar ke belakang. Ia terbanting, terguling, dan terjerembab. Tubuhnya terseret ke belakang agak jauh. Dengan tangan kiri yang sigap, Hageng mencengkeram lapangan basket sekuat tenaga agar tidak terlempar terlalu jauh. Kekuatan Ki yang melindungi tangan membuat jemari Hageng lebih kuat.

Setelah berhenti terseret, Hageng kembali bangkit. Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, Ia berlari sekuat tenaga, kembali meloncat dan melontarkan kembali pukulannya dengan tangan kanan. “Zekali lagi!”

Blddddmmmmmm!!!

Tak disangka, kali ini pukulan Hageng berhasil menembus lengan Om Kimpling yang disilangkan sebagai pertahanan. Menyeruak dari samping, Hageng menghajar rahang sang tetua yang tidak siap. Om Kimpling pun terlontar ke kanan, tapi lagi-lagi dengan langkah kaki tegap, pria utama di NWO itu masih sanggup bertahan tanpa terjatuh.

Om Kimpling memutar badan dan melecutkan punggung tangannya ke arah Hageng, lagi-lagi serangan backhand.

Jbkgh!

Hageng mencengkeram pergelangan tangan Om Kimpling dan menahannya tepat sebelum mengenai rusuk yang tadi sempat dilukai. Sang tetua NWO gagal menyerang Hageng kali ini. Hageng mengunci tangan sang lawan, lalu melompat dan menjejakkan dua kaki sekaligus ke badan Om Kimpling!

Double drop kick!

Bkkkkkkghhh! Bkkkkkkghhh!


Om Kimpling tersentak ke belakang dan terjerembab hampir empat meter jaraknya. Ia jatuh telentang. Demikian juga Hageng yang terjatuh usai menyarangkan tendangannya. Dua-duanya sama-sama terkapar.

Suasana sepi.

Semua menatap ke arena.

Teriakan berkumandang.

Om Kimpling menjadi petarung pertama yang bangkit, sang T-Rex menyusul tak lama kemudian. Wajah keduanya sama-sama sudah lelah dan letih. Keduanya sudah mencapai taraf energi paling penghabisan.

Terutama sang T-Rex. Hageng sudah kehabisan tenaga, tenaga murni maupun tenaga Ki sama-sama sudah terkuras. Dia tidak akan mampu lagi mengeluarkan Ki – apalagi Ki yang ia miliki masih sangat ranum. Beruntung dia masih bisa berdiri tegap meski dengan tubuh bergetar kencang, keseimbangannya sudah kacau. Om Kimpling ini memang hebat, kepalannya bukan kaleng-kaleng.

“Masih bisa berdiri? Ajaib! Sekali lagi!” Om Kimpling menggelengkan kepala melihat Hageng yang masih bisa bertahan.

Om Kimpling kembali datang dengan satu pukulan kencang, seluruh Ki dikumpulkan dalam genggaman. Yang satu ini bakal membuat Hageng luluh lantak bak terkena jentikan jari Thanos! Bahkan Om Kimpling pun sebenarnya sudah amat kepayahan. Meski ngomong besar, inilah serangan terakhirnya. Seluruh tenaganya sudah habis!

Swsssh.

Pukulan Om Kimpling dihentikan tepat di posisi di mana Hageng semula berada tanpa mengenai apa-apa. Dengan sekuat tenaga, sang tetua menghentikan pukulannya. Bagaikan ada putaran waktu yang berhenti mendadak.

Sang T-Rex hanya tertawa. Dia sudah tak sanggup lagi bertahan, tubuhnya luruh ke tanah dan iapun duduk bertongkat lutut. Ia sudah terlalu lemas. Bahkan sebelum pukulan Om Kimpling sampai, dia sudah luruh ke bawah.

Pemuda bongsor itu geleng-geleng kepala. “Zudah cukup zepertinya. Zudah.”

Om Kimpling mengangguk. “Sudah cukup. Kamu luar biasa.”

Hageng tertawa lagi, tapi kali ini ambruk ke belakang dengan berdebam. Ia terengah-engah, tenaganya sudah habis. Baik tenaga luar maupun Ki yang baru sekali ini dapat ia keluarkan. Suatu saat kelak dia akan melatihnya agar lebih mampu bertahan, tapi hari ini?

Dia kalah.

Hageng melambaikan tangan pada Ableh Ndaho.

“Petarung dari kubu Aliansi sudah kehabisan tenaga sepertinya. Apakah dia menyerah?” tanya Ableh Ndaho untuk memastikan. “Apakah ini berarti Om Kimpling memenangkan pertarungan kedua hari ini?”

Hageng yang sudah terbaring di lantai lapangan basket mengangguk. Ia melirik ke arah Nanto dan Deka yang sama-sama mengangguk dan tersenyum. Mereka berdua mengangkat jempol mereka pada Hageng. Ketiganya sama-sama tertawa.

Seluruh massa yang hadir pun riuh. Pasukan Dinasti Baru berteriak dengan kencang dan sorak-sorai akan kemenangan mereka. Dengan ini kedudukan berubah menjadi 1-1 dan hasil akhir masih belum bisa terbaca dengan jelas. Kemenangan masih bisa menjadi milik siapapun.

Hageng terbaring dengan napas kembang-kempis. Tenaganya sudah terkuras banyak dan ternyata itu masih belum cukup untuk menjatuhkan sang lawan. Om Kimpling memang lawan yang cukup kuat dan level sang T-Rex belum bisa menyamainya untuk saat ini. Dia masih harus banyak belajar. Alih-alih dapat mengeluarkan Ki, ia justru harus dibantu oleh Om Kimpling untuk dapat mengeksekusinya

Hageng jadi geli sendiri. Tadi dia terlalu pede. Sekarang ambruk di tengah lapangan sembari menatap langit siang.

Sial.

Level mereka memang benar-benar masih belum seimbang.

Dia harus mengakui dia kalah.

Tentu saja pertarungan kali ini bukan pertarungan sia-sia, selain sekarang sudah bisa mengakses Ki, dia juga mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Terutama pelajaran bahwa tak selamanya kekuatannya bisa menyelesaikan segalanya karena saat kita merasa kuat, akan ada lagi orang yang lebih kuat dan lebih hebat.

Hageng menatap langit di atas kepalanya. Dia masih terkapar sembari menatap angkasa yang indah ketika tiba-tiba saja ada satu tangan besar menyeruak di atas wajahnya.

“Kamu luar biasa.” ternyata Om Kimpling yang mengulurkan tangan, “meski kalah, kamu sudah memberikan perlawanan yang hebat. Mengagumkan sekali. Aku salut padamu, le.”

Hageng terkekeh dan menerima uluran tangan Om Kimpling. Dia pun ditarik Om Kimpling hingga berdiri sambil tertawa terbahak. “Hahaha, zayang aku zudah mengecewakan kelompokku. Aku kalah telak, Om. Zelamat, kemampuan Om memang lebih mantap jiwa.”

“Mengecewakan kelompokmu? Dengan bertarung habis-habisan seperti tadi? Seharusnya mereka bangga, bukan kecewa. Kamu luar biasa.”

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Terdengar teriakan membahana dari kelompok Aliansi – terutama dari Sonoz. Ya, mereka semua menyaksikan pertempuran antara sang T-Rex berkepala kribo lawan Om Kimpling dan semuanya sepakat kalau Hageng sudah memberikan yang terbaik. Meski kalah, dia sudah membuktikan diri sebagai laki-laki dan pimpinan Sonoz sejati, sudah sepatutnya mereka bangga dengan sang T-Rex.

Hageng tertawa mendengar yel-yel itu berkumandang.

Dia berjalan ke arah Nanto dan Deka sembari mengangkat kepalan tangan tinggi di udara sambil tertatih-tatih karena ia sudah teramat lemas.

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Teriakan dari Aliansi makin membulat, semuanya membanggakan kiprah sang T-Rex, tidak ada satupun yang mencela meski dia kalah pada pertarungan kali ini dan membuat kedudukan menjadi imbang satu lawan satu. Itu hanya berarti pertarungan ketiga akan diadakan. Tidak masalah kalah, yang penting dia sudah menunjukkan harkat dan martabat Sonoz, Lima Jari, dan Aliansi.

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Hageng tertawa dan geleng-geleng kepala karena yel-yel masih saja riuh.

Jalannya mendadak oleng karena tubuhnya tidak seimbang, tapi dia tak sampai terjatuh karena Om Kimpling langsung memapahnya. Lawan Hageng itu ikut tertawa dan mengayunkan tangannya yang bebas sembari memberikan semangat pada anggota Aliansi. “Terus! Lanjutkan! Berikan semangat padanya! Dia berhak mendapatkannya! Terus!”

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Tak hanya kawan dan anggota Aliansi saja yang berteriak, kini giliran anggota-anggota Dinasti Baru ikut-ikutan memberi semangat pada Hageng dengan meneriakkan namanya, Om Kimpling kembali mengayunkan tangannya pada anggota Dinasti Baru untuk mengapresiasi perjuangan sang pemuda kribo yang terus saja tertawa itu.

Sang tetua NWO memapah Hageng keluar dari arena.

Nanto dan Deka tertawa bersama sembari bertepuk tangan. Luar biasa memang sang T-Rex, dia sanggup membuka mata Aliansi dan Dinasti Baru yang masih meragukan semangat Lima Jari, membuat mereka bangga, sekaligus kagum secara bersamaan tanpa ada dendam.

“Dia hebat.” Kata Om Kimpling pada Nanto dan Deka.

“Kami tahu, Om.” Jawab Deka. “Terima kasih sudah membawanya kemari.”

Om Kimpling mengangguk dan kembali ke arah rombongan Dinasti Baru dengan satu tangan terangkat. Tandanya ia baru saja meraih kemenangan. Sorak-sorai Dinasti Baru makin membahana.

“Maaf. Aku gagal.” Kata Hageng pada kedua sahabatnya.

Nanto menepuk pundak Hageng dan memberikan sebotol air kemasan sebagai pengusir dahaga. “Bodo amat dengan kemenangan apapun, kamu sudah bikin bangga kita semua, Dab. Aku bener-bener kagum sama kamu.”

“Hahaha.”

“Edan, Dab. Edan.” Deka mengangkat dua jempolnya ke atas.

“Hahaha.” Hageng terbatuk. “Aku butuh…”

“Butuh apa? Perban? Bet@dine? Mana yang terluka paling parah? Biar aku…” Deka buru-buru mendekat ke arah Hageng. Jangan-jangan ada luka dalam? Tapi yang sebelah mana? Badannya remuk redam begini.

“Aku butuh mie ayam ceker. Zuper pedaz biar melek.”

Wasu.” Deka mundur dan bersungut-sungut, kirain butuh apaan, jebul mung ngelih.

Deka pun memanggil empat orang anggota Aliansi, dua orang untuk merawatnya, dan dua orang lagi untuk secara spesial membelikan Hageng makanan.

Setelah urusan Hageng selesai, Deka kembali berdiri di samping Nanto yang tengah mengamati arena. Keduanya harus kembali ke kenyataan yang mesti dihadapi sekarang. Pertarungan belumlah usai. Kedua sahabat itu saling bertatapan seakan hendak menghadapi penghakiman.

“Kedudukan sekarang satu-satu. Kamu tahu apa artinya itu kan?” tanya Deka.

Nanto mengangguk.

Ia mengalihkan pandangan ke arah Amar Barok yang sedang menatapnya balik dari tengah arena.

Siapa yang berikutnya akan turun?





.::..::..::..::.





Pasat terbangun dengan kepala nyut-nyutan dan pusing yang teramat sangat, di kepalanya sekarang bagaikan ada pertarungan abadi antara King Kong lawan Godzilla, Son Goku lawan Jiren, atau tim bubur diaduk lawan tim bubur tidak diaduk. Sebuah pertarungan yang membagongkan. Pusingnya berasa kambing banget kayak odading Mang Ole.

Di saat-saat seperti ini entah kenapa lagi-lagi Pasat teringat pada pesan dari Ki Kadar – sang Guru Rambut Perak yang pernah memberikan pesan yang berkesan padanya mengenai teknik bangun tidur. Saat itu di suatu pagi, sang pemuda berambut coklat mengeluh sakit kepala usai bangun mendadak dari tidurnya. Karena sering merasakannya, dia pun mencoba berkonsultasi dengan sang guru.

“Guru, kenapa ya kalau bangun tidur seringkali langsung tiba-tiba merasa pusing? Unyeng-unyeng terasa seperti ada yang ngebor. Ini bukan pertamakalinya.”

Ki Kadar memberikan masukan, “Kalau kepala sering terasa pusing atau berkunang-kunang seperti itu, maka sebaiknya kamu jangan buru-buru bangun. Cobalah bertahan sejenak untuk tetap berada dalam posisi berbaring sampai kondisi stabil – kalau orang Jawa bilang – sampai nyawane kumpul. Kenapa? Supaya menghindari penurunan tekanan darah secara tiba-tiba.

“Pada saat posisi badan dalam keadaan berbaring, buka mata perlahan, rasakan aliran darah lancar mengalir ke seluruh tubuh dengan seimbang. Jika sudah terasa demikian, barulah bangkit perlahan-lahan, jangan menyentak dan terburu-buru. Saat berbaring aliran darah akan mengalir lancar ke seluruh bagian tubuh. Jika kita kemudian berdiri secara mengagetkan, maka aliran darah akan mendadak turun dan terkonsentrasi ke kaki. Keadaan ini membuat refleks sistem syaraf atau sistem pengendalian syaraf akan terganggu.”


Mengingat itu, pemuda berambut coklat itu pun lantas tetap berbaring meski sudah sadar. Ia menyentuh dan memijat kepalanya sebentar sebelum berani membuka mata. Saat membuka mata-pun masih terasa berat, seakan-akan kelopak matanya sedang di-gondeli oleh si gajah Dumbo, emaknya Dumbo, bapaknya Dumbo, pakliknya Dumbo yang obesitas, dan teman-teman karawitan si Dumbo yang masing-masing memanggul bedug paling gede sekecamatan. Nyut-nyutan di kepala bak sinaran kunang-kunang di sawah kala malam. Silih berganti dan terasa berat. Cahaya yang menerpa pun jadi silau yang teramat memedihkan.

“Uff.”

Harus membiasakan diri. Pemuda berambut coklat itu pun mencoba berulang kali mengejapkan mata. Berharap cahaya yang awalnya menyilaukan perlahan-lahan bisa berubah menjadi terang yang jauh lebih normal jika dia mencobanya sedikit-sedikit.

Apa yang terjadi? Kenapa dia berada di sini?

Ingatannya mulai terkumpul dan terbentuk. Apa hal terakhir yang dia ingat? Dia di sini karena pingsan setelah dipukul oleh Sentakan Ki sang Jagal dan terlempar hingga jatuh ke sungai. Eh, tapi bukankah seharusnya dia sudah jadi bubur dan tercerai-berai di bebatuan yang ada di sungai? Jarak antara makam dan sungai sangat tinggi. Rasanya tidak mungkin ia akan selamat tanpa luka atau patah tulang.

Jadi... bagaimana mungkin dia bisa selamat?

Ketika perlahan-lahan membuka mata dan pendar cahaya mulai bisa ia terima dengan normal, Pasat akhirnya dapat melihat keadaan sekitar.

Dia berada di sebuah ruangan yang kotor, berdebu, dan singup – disebut tak terawat barangkali mungkin lebih tepat. Dengan debu teronggok tebal di berbagai posisi, ruangan ini rasanya lebih pantas disebut gudang daripada sebuah kamar – meski sebenarnya ruangan ini cukup rapi dengan barang-barang berada di posisinya tanpa tersentuh. Cat tembok mulai terkelupas karena dinding lembab tak lagi mampu menahan lekatan. Cahaya matahari masuk dari sela-sela koran yang menutup sebuah bidang jendela besar. Pembaringannya juga bukan pembaringan yang terawat baik. Siapapun yang tinggal di sini, orangnya sangat mencintai debu atau sangat-sangat miskin sehingga tidak punya sapu dan kemoceng.

Siapa yang mau tinggal di sini?

Bangkit dari pembaringan, Pasat mulai berjalan menuju jendela yang terang – hendak melihat di mana dia sebenarnya. Tapi karena kepalanya masih sangat berat dan pusing, pemuda berambut coklat itu pun kembali jatuh terduduk di tepian pembaringan. Sepertinya kondisinya belum stabil.

“Ku… ku… ku… duduk di situ, istirahat dulu. Mau pergi silakan. Mau pulang silakan. Mau ini itu, tidak ada yang menahan. Ku… ku… ku…”

Siapa yang berbicara?

Pasat memicingkan mata dan menguatkan pendengaran. Ada gesekan seseorang dengan dinding yang terdengar. Menyeramkan sekaligus membuat penasaran.

Suara yang menyeramkan itu rupanya terdengar dari pojok ruangan. Di sana juga ada satu jendela yang terbuka. Saat Pasat memusatkan pandangan barulah ia dapat melihat dengan jeals. Ternyata di sana ada seseorang yang jongkok di kusen jendela dan memandang ke dalam ruangan dengan senyum menyeringai.

Bajingak! Ngaget-ngageti, su!

Tapi... orang inikah yang telah menyelamatkannya dari maut?

“Te-terima kasih sudah menyelamatkanku…” Pasat mengucek mata dan mencoba berdiri kembali, ia berjalan mendekat ke arah suara untuk berusaha melihat lebih jelas lagi siapa sebenarnya orang itu. Tapi saat ia benar-benar bisa melihat sosok di ujung ruangan, ia ternyata tak siap dengan pemandangan yang ia lihat di depan matanya.

Pasat mundur beberapa langkah dengan kaget.

Pemuda berambut coklat itu terhenyak saat melihat wajah sang penyelamat ternyata lumayan medeni. Wajah yang rasa-rasanya tak akan dicintai oleh ibu sendiri karena teramat menyeramkan, dengan luka berbentuk senyuman melebar dari ujung pipi kanan ke pipi kiri. Jahitan tak sempurna di kulit wajah pucat membuat tampang sang pria penyelamat Pasat terlihat tragis.

Tapi bukan itu yang membuat Pasat terkejut.

Bukan wajah horor itu.

Bukan wajah yang mengerikan yang sang pemuda berambut coklat mundur teratur. Bukan. Dia terhenyak mundur karena dia mengenali wajah itu di balik tampilan luarnya yang menyeramkan.

Dia mengenalinya.

Pasat terbata-bata. “Ka-kamu…”

Pasat tak akan salah mengenali, meski dengan senyum menyeramkan itu, meski dengan wajah pucat tanpa ekspresi, meski dengan tubuh yang sudah kurus dan tak terbentuk sempurna lagi. Pasat hapal betul dengan wajah yang tak sempurna itu, wajah yang teramat ia kenal.

“Ku… ku… ku… ku…” sang pria ganjil bergoyang-goyang sembari jongkok santai di tepian jendela bak seekor monyet di atas kayu. “Ada setan main kartu. Siapa aku? Aku hantu. Ku… ku… ku…”

Pasat yang awalnya mundur akhirnya berjalan perlahan menuju sang pria ganjil. Pandangannya yang kabur menatap penyelamatnya yang tak terlihat jelas. Dia ingin sekali lagi memastikan. Ya, benar. Dia tidak salah! Dia mengenali sosok itu!

“Ka-kamu… kamu kan…”

Sang pria ganjil menengok ke arah luar, menggerakkan hidung seperti tengah mencium sesuatu, lalu tersenyum ke arah Pasat – dan dengan tiba-tiba saja meloncat keluar dari jendela!

“Ku... ku... ku... kalau sudah waktuku, ku tak mau seorang kan mengadu... ku... ku... ku...”

Sang pria ganjil lenyap dari pandangan.

“Tungguuuu!” Pasat tertatih mencoba mengejar.

Namun saat ia sudah sampai di jendela, sang pria ganjil sudah tak lagi ada di sana.

Ajaibnya, mereka ternyata berada di sebuah gedung tua yang terletak di tepi sebuah tebing. Di bawah sana ada sungai yang mengalir. Pria ganjil itu… tidak mungkin turun ke arah sungai di bawah karena posisinya sangat terjal, tapi tidak mungkin juga terbang. Kemana dia pergi?

Pasat bertanya-tanya dalam heran. Lokasi ini – Pasat mencoba mengamati tempatnya berada sekarang… sepertinya dia sedang berada di tepian Sungai Tjedo, di dekat penjual bunga-bunga di belakang Gereja Kutoanyar. Jendela tepat menghadap ke arah sungai, artinya tidak ada kemungkinan si wajah setan tadi terjun ke bawah. Satu-satunya kemungkinan adalah dia naik ke atas.

Ketika memutar kepala untuk melihat ke atas, sosok ganjil itu sudah lenyap entah kemana.

Tapi benar kan hal yang ia lihat?

Pasat rasanya tak mungkin salah.

Orang itu… pria bak setan dengan wajah yang menyeramkan itu… sudah pasti dia adalah Mas Dika! Suami mendiang Mbak Priska, kakak ipar yang selama ini ia pikir sudah meninggal.

Mas Dika masih hidup!





.::..::..::..::.





“Dari Dinasti Baru – orang yang akan menyelesaikan pertarungan hari ini adalah... Amar Barok!!” teriak Ableh Ndaho melalui megaphone. Suara berkumandang disambut oleh teriakan gegap gempita penonton Tarung Antar Wakil terutama dari kubu Dinasti Baru. Siapa yang tidak mengenal Amar Barok? Sang Panglima paling populer dari kelompok tengah kota itu.

Amar Barok menggoyangkan kepalanya dan berdiri tenang di tengah lapangan.

Tepat seperti yang sudah disampaikan oleh pria gagah itu, dia akan menjadi petarung ketiga Dinasti Baru. Siapakah yang akan menjadi petarung ketiga dari pihak Lima Jari?

Kedudukan sekarang satu-satu. Kemenangan bagi Dinasti Baru sudah bisa dipastikan jika si Bengal tidak turun lagi karena tidak ada seorang pun di roster jajaran Lima Jari ataupun Aliansi yang setara dengan si Bengal atau setara dengan sang Panglima. Itu menyebabkan Amar yakin sekali bagaimana pertarungan ini akan berakhir. Beda urusan kalau Nanto yang turun, karena pertarungan akan menjadi tidak menentu dan tidak akan diketahui siapa yang akan menang.

Sesosok pemuda dari Aliansi turun ke arena.

Bukan kejutan ketika kemudian yang muncul dari sisi Lima Jari adalah Deka. Amar geleng-geleng kepala dan bersidekap. Kenapa dia tidak heran?

“Wakil dari Lima Jari dan Aliansi – Deka!” pengumuman dari Ableh Ndaho berkumandang dengan gemuruh di sisi Aliansi dan tawa di sisi Dinasti Baru. Lagi-lagi bukan lawan yang seimbang, turunnya Nanto di pertarungan pertama bisa menjadi blunder, dengan begini kedudukan bisa jadi 1-2 untuk Dinasti Baru.

Tapi pertemuan Amar dan Deka membuat beberapa orang kemudian berbisik-bisik. Ini adalah pertemuan dan pertarungan abang adek yang sepertinya sudah ditakdirkan karena mereka berdua berdiri di sisi yang berlawanan. Lebih ngeri lagi, hasil pertarungan mereka akan menentukan jalur yang akan ditempuh oleh kedua kubu di kemudian hari.

“Sudah kuduga kamu yang akan turun, Kun.”

“Tidak perlu basa-basi, Mas. Sepertinya sudah lama kita berdua tidak sparring. Sekarang waktu yang tepat.” Deka meringis, “aku tidak akan memaafkanmu kalau hari ini kamu mengalah. Bertarunglah dengan kekuatanmu yang sesungguhnya. Jangan dikurangi dan jangan disembunyikan. Bertarunglah dengan sungguh-sungguh, karena aku juga akan serius.”

“Tidak ada rencana untuk mengurangi atau menyembunyikan kekuatanku. Kamu yang seharusnya berhati-hati karena aku akan menyelesaikan pertarungan hari ini secepatnya.” Amar melakukan peregangan tangan dan kaki untuk melemaskan otot. Dia melirik ke arah Deka yang juga melakukan hal yang sama. Sang kakak diam-diam tersenyum, tapi kemudian menghapus senyum di wajahnya sebelum Deka bisa melihat. Ia lantas berdiri dengan tegap dan berucap tegas, “Kita di sini bukan sebagai kakak dan adik, tapi sebagai perwakilan kelompok masing-masing. Ingat itu baik-baik dan lakukan secara maksimal karena banyak yang dipertaruhkan.”

“Sudah pasti.”

Amar mendengus, sejuta memori tentang sang adik berputar dalam benaknya. Saat mereka masih kecil dulu, saat berebut sebatang gulali, saat berebut sekotak bakpia, saat berebut sebotol carica, mereka memang sering berebut – dan sebagai yang lebih besar Amar selalu mengalah. Seumur hidup dia selalu mengalah pada Deka. Dia tidak pernah mengenyam bangku kuliah karena Amar tahu orangtuanya yang susah payah menabung lebih ingin Deka yang berkuliah – sedangkan Amar yang mandiri akhirnya memilih membuka bengkel dengan uang yang ia kumpulkan sendiri.

Seumur hidupnya ia selalu mengalah – bahkan ketika hal itu menyerempet ke wanita yang ternyata sama-sama mereka cintai.

Tapi tidak hari ini. Untuk pertamakali dalam hidupnya, Amar tidak akan mengalah.

“Aku akan memberikan waktu lebih untuk mundur dan mengaku kalah. Lakukan sekarang juga sebelum semuanya terlambat. Anggap saja ini belas kasihan karena hubunganku dengan kalian, menyerahlah sebelum kita melakukan pertarungan sebagai jalan terakhir,” ucap Amar.

“Jangan main-main, Mas.” Deka mencibir, “bukan hanya kamu yang punya kelompok untuk dibela. Aku tidak akan selangkahpun mundur kalau itu sudah berkaitan dengan Nanto dan yang lainnya.”

“Ya sudah kalau begitu. Sepertinya tidak akan ada yang bisa merubah pikiranmu.” Amar Barok sudah hendak membalik badan ketika kemudian ia tiba-tiba saja mengacungkan jari dan kembali mendekat ke arah Deka. “Aku punya satu hal lagi yang akan membuat pertarungan kita menjadi semakin berwarna. Bagaimana kalau kita tambahkan satu pertaruhan lagi?”

“Pertaruhan apa?”

Amar tersenyum, “Kita akan melakukan semuanya secara seimbang. Win some lose some. Yang menang pada pertarungan kali ini akan kehilangan sesuatu dan yang kalah akan memenangkan sesuatu. Siapapun yang menang hari ini berarti dia telah mengangkat derajat kelompoknya tinggi-tinggi, tapi karena sudah menang, maka dia akan kehilangan kesempatan untuk mengejar Dinda. Dia yang menang akan mundur dan mengalah pada yang kalah untuk mendapatkan cinta Dinda. Bagaimana?”

Jantung Deka seakan terhenti mendadak. Si Gondes pun geleng-geleng kepala, “Sial. Usulan macam apa itu? Jangan pertaruhkan Dinda! Tadi katanya harus membedakan pertarungan hari ini sebagai kakak dan adik, bertarung demi kelompok. Lalu kenapa tiba-tiba mencampurkan masalah pribadi dan...”

“Kamu takut? Kalau kamu kalah – kamu justru akan mendapatkan Dinda dan aku akan mundur.”

Gemblung! Edan! Jadi aku harus mengorbankan Lima Jari demi Dinda? Mana ada cerita begitu!”

“Bingung? Takut?”

Deka mendengus, “Siapa yang takut?! Aku cuma tidak mau Dinda disangkutpautkan dengan urusan kelompok kita ini!”

Amar tersenyum. Mudah sekali memancing emosi Deka. Ia pun mempersiapkan kuda-kuda. Ki-nya menyala, pertahanan super Perisai Genta Emas sudah aktif. “Usulan yang menguntungkan sekaligus merugikan bukan? Bagaimana, Kun? Aku hanya akan melayanimu bertarung dengan syarat itu.”

Deka tidak mau kalah, dia juga mempersiapkan kuda-kuda yang sama untuk menyalakan Perisai Genta Emas. Dua jurus pertahanan yang sama digelar meski berbeda level penguasaannya, sekarang bergantung pada kemampuan menyerang masing-masing. Siapa yang lebih mampu memanfaatkan pertahanan super untuk mengendalikan serangan? Deka jelas tidak takut. Justru sekaranglah saatnya. Saat yang paling tepat untuk membuktikan siapa di antara mereka berdua yang lebih baik.

“Yang menang akan kalah dan yang kalah akan menang. Aku tidak akan mundur selangkahpun. Baiklah aku setuju dengan pertaruhannya!”

“Bagus! Bersiaplah!”

Nanto menyaksikan pertarungan antara kakak beradik itu dari kejauhan. Apapun hasilnya, nasib Lima Jari sepertinya akan berubah ke arah yang tidak mereka ketahui. Dia bukannya meremehkan Deka, tapi seperti yang sudah dibuktikan oleh Hageng – ada perbedaan kemampuan antara mereka dan Dinasti Baru. Meski Nanto tidak mau mengakuinya secara jujur di depan Deka dan Hageng, karena khawatir mereka akan turun semangatnya, tapi sudah jelas kemampuan kedua sahabatnya itu memang masih di bawah Dinasti Baru.

Hageng sudah dipertemukan dengan kenyataan pahit. Sekarang sepertinya Deka juga punya masalah yang sama. Dia masih harus belajar banyak untuk bisa mengejar kemampuan sang kakak. Nanto bisa merasakan besaran Ki yang berbeda dari keduanya saat mengaktifkan Perisai Genta Emas. Nyala Ki dari Amar jauh lebih besar dari si Gondes.

Sial. Bagaimana caranya membantu Deka tanpa turun ke arena secara langsung ya? Pikiran Nanto melanglangbuana. Sepertinya hanya ada satu cara untuk membantu Deka. Berdoa dan berharap yang terbaik.

Tkk. Tkk.

Pundak Nanto ditepuk oleh seseorang dari belakang. Si Bengal menengok untuk melihat siapa yang telah menepuk pundaknya. Dia berhadapan dengan seseorang yang tidak asing – seseorang yang pernah ia lihat di suatu tempat. Seseorang berpakaian serba hitam.

“Akhirnya aku menemukanmu,” desis sang Jagal sembari mencengkeram pundak Nanto. “Saatnya kita bicara.”

Nanto mengerutkan kening. Siapa ya orang ini? Dia capet-capet kelingan, agak inget-inget dikit pernah bertemu dengannya. Tapi di mana?

Lalu yang lebih penting lagi adalah... ada apa lagi ini? Apa yang terjadi?

“Bolehkah saya minta anda untuk melepaskan tangan dari pundak saya dengan baik-baik? Ataukah harus dengan...?”

“Dengan apa?”

Si Bengal membalikkan badan. Dia dan sang Jagal saling bertatapan sengit.

Ki keduanya menyala.





BAGIAN 14-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 15
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 14-B
ARAH






Om Kimpling terhenyak kaget dengan serangan tiba-tiba dari sang T-Rex, sekonyong-konyong dia pun mengangkat kedua lengannya untuk membuat pagar pertahanan. Garangan kribo satu ini bahkan tidak melakukan ancang-ancang apapun untuk melepas pukulannya! Petarung dari mana dia?

Bldddmmmhhh!

Lengan Om Kimpling disambar satu sengatan yang teramat dahsyat, tubuhnya bergetar dan ia terdesak mundur sampai satu meter ke belakang! Kampret! Tiba-tiba saja sudah menyerang sekuat ini! Untung saja pukulan Hageng tidak dilapisi oleh tenaga Ki macam apapun, sehingga pertahanan ala kadarnya dari Om Kimpling masih bisa kuat menahan serangan sang T-Rex.

Meski tanpa Ki, hantaman dari Hageng masih cukup menyengat.

Terdesak ke belakang, Om Kimpling mencoba menahan kakinya yang terseret di lantai lapangan agar tetap bertahan dan tidak terjungkal ke belakang. Kampret. Bisa-bisanya dia dibikin kelabakan begini oleh bocah yang ngomong s saja tidak bisa!

Om Kimpling tidak terima ia dihentak sebegitu mudahnya! Ha wegah no! Padakke opo e su!

Bos NWO itu segera memutar badan, melompat kecil untuk memberikan ekstra putaran, dan melakukan pukulan dengan posisi punggung tangan membelakang. Posisi backhand.

Saatnya menghajar!

Jbooooookghh!

Alih-alih masuk – satu pukulan kencang dari Hageng justru melesak masuk ke wajah Om Kimpling yang terbuka tanpa pertahanan! Tubuh sang raksasa itu terbang dengan setengah lompatan bagaikan sedang melakukan lompat halang rintang untuk menjemput wajah Om Kimpling dengan satu pukulan yang sudah dipersiapkan sejak sebelum melakukan lompatan.

Itulah Superman’s punch – satu hantaman kencang yang membuat pipi sang tetua melesak ke dalam karena besarnya kekuatan yang disematkan. Sekali lagi sang pimpinan NWO terlempar ke belakang!

Tapi lagi-lagi Om Kimpling hanya terseret mundur, tidak sampai terjatuh. Secara seimbang tubuh sang tetua mampu bertahan. Tentu dia justru menjadi semakin geram. Dia ini pimpinan NWO! Anak cabang dari Dinasti Baru! Kelompok yang berkuasa di kawasan tengah! Masa iya bisa dipukul mundur dua kali sama bocah kribo bau kencur!?

Dua kali lho ini! Dua kali!!

Tidak akan terjadi lagi!

Om Kimpling membuka saluran Ki-nya dengan segera, ia menundukkan badan dengan posisi menyamping, kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang. Kepala diputar ke arah kiri, sejajar dengan posisi arah jari kaki. Mata memandang ke depan untuk memperhatikan pergerakan lawan, sementara tangan bergerak lembut di samping badan seperti sedang memetik senar gitar atau kecapi. Tapi bukan memetik senar yang sebenarnya sedang ia lakukan, sang pemuka NWO itu bagaikan sedang memilin sesuatu yang tak nampak.

Hageng yang melihat gerakan tangan Om Kimpling merasa heran dengan kuda-kuda yang tak wajar itu. Apa yang sedang dia rencanakan? Hageng mencoba berhati-hati, berjalan zigzag agar tak mudah dihembus tenaga dalam apapun. Ya, pasti itu tenaga dalam. Sialnya dia masih belum bisa merasakan aura Ki apapun. Jangankan aura Ki, Aura Kasih juga dia belum pernah lihat.

Meskipun bergerak zigzag, tapi Om Kimpling sudah memperkirakan gerakan Hageng – dia sudah banyak makan asam garam dan bukan kali ini saja dia berhadapan dengan lawan yang bergerak dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan. Sang tetua memutar tangan yang tadinya tertelungkup mengarah ke bawah untuk memilin sesuatu yang tak kelihatan, menjadi menghadap ke atas. Lalu dikatupkannya ujung depan ruas atas jari tengah dan bagian dalam ruas atas jempol. Gerakan seperti hendak menembakkan sesuatu yang berukuran sebesar kelereng dengan jarinya. Kedua tangan bersiap saat Ki mulai dikumpulkan.

Jari-jemari tangan Om Kimpling pun segera beraksi!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Bak menembakkan peluru berkecepatan tinggi, Sentakan Ki berukuran kecil memberondong tubuh Hageng melalui jentikan jari Om Kimpling. Inilah salah satu andalan sang pimpinan NWO, jurus variasi Sentakan Ki versi mini dengan kuantitas mengerikan, bagaikan berondongan peluru dari senapan mesin – jurus Amukan Sejuta Lebah.

Meski sudah berusaha bergerak menghindar sebisa mungkin, tapi dengan tubuh besarnya yang tidak terlalu lincah Hageng tak dapat mengelak! Ke kiri kena lengan! Ke kanan kena paha! Lalu kiri lagi, kena di dada, kena di pundak, paha, kaki, kaki, kaki, kaki, wajah, pundak, dada, ulu hati, Hageng tak kuasa maju ke depan!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Hageng terdorong ke belakang! Kalau terkena berulang kali bisa-bisa Sentakan Ki berukuran kecil ini sanggup merobohkan Hageng yang bertubuh bongsor! Benar saja! Hageng kena di paha! Lalu di dada! Di pundak! Kena lagi! Lagi! Lagi! Lagi! Lagi!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Kaki yang berulang kali tersambar akhirnya luruh ke bawah. Hageng hampir saja ambruk. Dia dapat bertahan dengan satu kaki masih tegap. Tangan sang T-Rex kini murni digunakan sebagai pertahanan dengan disilangkan di depan wajah dan dada.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Sang tetua tidak memberikan kesempatan sedikitpun pada Hageng untuk maju ke depan. Seakan-akan tenaga Ki-nya tidak habis-habis! Sang T-Rex melirik lagi ke depan melalui sela-sela jemari sebagai pelindung diri, adakah kesempatan untuknya menyerang?

Om Kimpling akhirnya berhenti memberondong. Kedua tangannya sudah luruh ke bawah.

Sekarang!

Hageng melaju dengan kencang ke depan, tangan kiri dibentangkan untuk menyambar leher, bersiap untuk melakukan clothesline! Berlari sekencang mungkin dengan langkah kakinya yang lebar, si bongsor Hageng dapat mempersingkat jarak dengan cepat, empat meter, tiga, dua, satu.

Kena?

Om Kimpling merunduk. Bentangan tangan Hageng tak kena. Clothesline-nya gagal.

“Nnggg.” Om Kimpling mendengung.

Tepat di saat Hageng melaluinya, sang tetua menyiapkan kepalan tangan yang sudah dibalut Ki terpusat dengan getaran hebat. Begitu jarak terpaut satu meter, Om Kimpling menarik tangannya ke belakang sedikit, memutarnya semakin kencang, dan meledakkannya tepat di saat tubuhnya dan Hageng sejajar. Rusuk sang raksasa jadi sasaran pukulan Sengatan Lebah Maut.

Bldddmmmhhh!

Hageng terpental ke belakang dengan satu pukulan kencang. Tubuh raksasanya sampai terbang karena kerasnya benturan. Sang T-Rex terbanting berulang di pelataran lapangan basket hingga akhirnya berhenti dan telentang.

Om Kimpling mengejar, tidak akan dia membiarkan Hageng bangkit kembali.

Meski tubuh remuk redam, tapi bukan Hageng namanya kalau menyerah begitu saja. Rusuknya nyeri bukan kepalang, entah ada yang patah, retak, atau hanya ngilu yang luar biasa terasa. Tapi dia harus bangkit. Dari posisi terlentang di atas lapangan, dia memutar badan sekuat tenaga meski ngilu bukan main rasanya. Kakinya yang panjang diputar dan dalam satu putaran kaki, Hageng sudah bangkit kembali tepat pada saat Om Kimpling datang menerjang.

Kaget karena Hageng kembali berdiri, Om Kimpling menghindari serangan langsung dari sang T-Rex dengan bergerak ke samping kiri. Justru itu yang dicari si kribo. Ia memutar badan ke kanan dan melewati Om Kimpling yang kini berada di depan dan memunggunginya!

Tangan Hageng masuk dengan cepat ke bawah lengan Om Kimpling, dikait di belakang wajah, mengunci sang tetua dalam posisi Full Nelson. Dari belakang lengan Hageng masuk di antara ketiak Om Kimpling, lalu naik ke atas untuk menjepit lengan dengan mengait jemari di belakang kepala belakang sang tetua.

Saat Om Kimpling sudah tak mampu lagi bergerak, kaki kiri Hageng maju ke depan kaki sang lawan, dan menyapukan kaki kiri itu ke bagian selangkangannya, seperti sedang mengengkol ke belakang dengan cepat – gerakan ini secara efektif mendorong tubuh Om Kimpling untuk ambruk ke depan dan membenturkan wajahnya tepat di alas keras lapangan basket. Eksekusi teknik skull crashing finale!

Atau setidaknya begitu rencananya.

Tepat sebelum Hageng mengayunkan kaki, Om Kimpling melemparkan kepalanya ke belakang.

Jddddgkkkkh!!

Kepala keduanya berbenturan. Dua-duanya berteriak kesakitan. Kuncian Hageng di lengan sang lawan terlepas. Saat itulah siku tangan kanan Om Kimpling bergerak mundur, melesak ke rahang kanan sang T-Rex.

Jddddgkkkkh!!

Hageng terlempar ke samping kiri, kunciannya sudah benar-benar lepas. Matanya berkunang-kunang saat sodokan siku tangan Om Kimpling barusan masuk. Puyeng sekali rasanya. Mau tidak dirasakan tapi kok tetap terasa. Meski terlempar, Hageng tetap bertahan tanpa terjatuh.

Nnnnngggggg.”

Om Kimpling bergerak cepat dan kembali mengeluarkan suara dengungan. Tangannya lagi-lagi terkepal dengan pusaran tenaga Ki terpusat dalam genggaman. Sengatan Lebah Maut beraksi kembali. Tubuhnya berputar dan satu hantaman melesat bak rudal ke wajah sang T-Rex.

Bldddmmmhhh!

Darah muncrat. Kepala Hageng terlontar ke belakang. Tertatih ia mencoba bertahan. Om Kimpling ingin menyelesaikan sesegera mungkin. Yang seperti ini harus dibombardir sampai tuntas!

Nnnnngggggg.”

Dengungan maut menyertai putaran tangan kanan Om Kimpling yang makin buas. Sengatan Lebah Maut terus melaju mencari mangsa. Ledakan hantaman dituntaskan ke wajah sang T-Rex.

Bldddmmmhhh!

Masuk. Sekali lagi.

Bldddmmmhhh!

Masuk lagi. Terus lanjutkan! Jangan berhenti!

Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh!

Kepala Hageng terus menerus dihujani pukulan kencang oleh Om Kimpling. Wajahnya sudah berubah sembab, matanya makin lama makin tak dapat melihat jelas karena bengkak mulai terbentuk di sekeliling kelopak. Tubuhnya terhuyung-huyung, kepalanya pusing bukan kepalang, seperti ada dengungan bunyi microphone yang feedback dalam telinganya.

Kaki Hageng secara refleks melangkah ke belakang, kaki yang tadi dihujani sengatan bertubi juga seakan sudah tak kuat berdiri.

Hageng teringat ucapan Simon saat mengajarkannya Pukulan Geledek. Atur napas dengan baik. Buka saluran Ki, alirkan ke seluruh tubuh, benamkan sebagian besar di kepalan hingga ke lengan, lalu lepaskan dengan satu lecutan kencang. Hageng yang terhuyung-huyung mencobanya. Menyalurkan Ki, ke tangan, ke lengan, lalu lepaskan.

Tepat pada saat Om Kimpling menarik tangan untuk melepaskan satu lagi Sengatan Lebah Maut, kepalan Hageng datang menerjang. “Heaaaaaaaaaaaa!!”

Jbooooooookghhh!

Om Kimpling terdorong ke belakang, wajahnya terbongkar, darah muncrat dari mulutnya. Seperti halnya sang lawan yang menghujaninya dengan pukulan, kini giliran Hageng yang mengayunkan kedua tangan dengan membabi-buta. Kanan, kiri, kanan, kiri.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!”

Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh!

Bak lontaran roket yang terbang dari kedua tangan, pukulan Hageng menukik dan menghunjam tepat sasaran. Wajah Om Kimpling yang sejak awal tidak jelas makin tidak karuan. Sang pimpinan NWO terdesak mundur. Kuat sama kuat!

Langkah kaki Om Kimpling bergoyang saat mundur, tapi sepertinya dia jauh lebih kuat dari Hageng. Karena setelah badai pukulan menerjang, dia masih tetap dapat berdiri tegap sedangkan sang T-Rex mulai goyang.

Nnnngggggg!

Bldddmmmhhh!

Satu pukulan menuntaskan tekad Hageng untuk memborbardir sang lawan. Hantaman telak yang melesak dari bawah masuk ke rahang membuat Hageng bagai masuk ke dalam kegelapan. Otaknya seakan berhenti berfungsi dan sang raksasa itu ambruk ke belakang.

Blmm.

Om Kimpling berdiri kokoh di hadapan Hageng yang tumbang. Napasnya satu dua, ia terengah, gerakannya patah-patah. Dengan berdiri susah payah, sang pimpinan NWO mencoba mengamati lawan yang sepertinya sudah pasrah. Masihkah dia mampu bangkit? Akankah dia menyerah?

Tidak semudah itu.

Terdengar suara tawa.

Tangan Hageng bergerak, menapak ke bawah, dan menggunakannya sebagai tumpuan untuk bangkit berdiri. Dengan napas terengah-engah, Hageng bangkit dengan gagah. Bibirnya yang sudah berdarah tersenyum tanpa ada tanda-tanda ingin menyerah kalah.

“Begitu saja kemampuan Om? Puas? Begitu sudah?”

“Heaaaaaaaaaarrrghh!”

Dipancing oleh Hageng, Om Kimpling berteriak kencang, membentangkan kelima jemari tangan kanannya, lalu melecutkan lengan kanan sekuat tenaga ke arah sang T-Rex. Amukan Sejuta Lebah muncul kembali! Kali ini lima tembakan sekaligus!

Kelimanya mengarah ke kaki kiri Hageng yang goyah.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

“Haaaaaaaaargh!” Sembari berteriak kesakitan Hageng luruh ke bawah. Kaki kirinya sudah tak lagi kuat menyangga.

Saat itulah tiba-tiba terdengar bunyi dengungan dari atas. “Nnnnnnngggg.”

Bldddmmmhhh!

Sekali lagi wajah Hageng terhampar kepalan tangan penuh energi Ki yang menukik ke bawah dengan kencang dan membongkar wajahnya. Hageng terbanting jatuh. Wajahnya terantuk kerasnya lapangan. Ia terjatuh dengan menelungkup. Om Kimpling maju ke depan secepatnya. Dia tidak mau lengah lagi seperti tadi. Kakinya melesat.

Bkghhh!

Kepala Hageng jadi sasaran dan langsung kena. Tidak ada perlawanan. Pastikan sekali lagi.

Bkghhh!

Pastikan terus. Sekali lagi. Dua. Tiga. Empat. Lima. Injakan demi injakan menghujani wajah sang T-Rex.

Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh!

“Huff... huff...”

Om Kimpling amat puas dengan tendangan-tendangannya, ia pun mundur dengan napas yang tak teratur. Kelihatannya Hageng sudah benar-benar tak lagi bergerak. Sudah selesai sepertinya. Massa pendukung kedua belah pihak terdiam dengan aksi Om Kimpling saat menuntaskan Hageng. Mereka bahkan tidak tahu apakah Hageng hidup atau mati.

Nanto dan Deka menyaksikan dengan penuh kekhawatiran. Apa yang terjadi pada Hageng?

Sang tetua NWO mendengus, kepalan tangan kanannya diangkat ke atas. Sorak-sorai pasukan Dinasti Baru terdengar membahana. Kemenangan di tangan! Dengan ini kedudukan berubah menjadi...

“Tunggu... dulu... belum...”

Om Kimpling terbelalak.

Hageng kembali berdiri bak seorang monster. Senyum menyeringai di wajah sang T-Rex mengembang lebar. Tubuhnya sudah terlihat lusuh, lemas, dan lemah. Kakinya bergoyang hebat dan dicoba ditahan sekuat tenaga. “Apa... cuma... segitu... saja...? Aku... bahkan belum... mengeluarkan... andalan... baru...”

“Kamu ini....” Om Kimpling tidak habis pikir, bukankah lebih baik rebah saja daripada menerima hajaran lagi? Kekuatan mereka tidak setara!

Nnnnggggggg!

Bldddmmmhhh!

Langsung on point. Kepalan tangan Om Kimpling melesat tepat lurus ke depan, mendarat dengan kecepatan tinggi di wajah Hageng yang tak sempat melakukan apa-apa.

Sang T-Rex terlempar ke belakang dan kembali ambruk.

“Huff... huff...” Om Kimpling mulai kelelahan. Seharusnya lawannya sudah tidak sanggup lagi berdiri. Seharusnya Hageng sudah benar-benar selesai sekarang. Seharusnya. Pukulan terakhir tadi lepas dan meledak telak dengan tepat sasaran.

Sudah.

Pasti sudah.

Dengan ini sudah selesai.

Om Kimpling menyaksikan dengan ngeri saat melihat telapak tangan Hageng bergerak, dengan mantap tangan itu menapak di lapangan, dan sekali lagi menggunakannya sebagai tumpuan untuk mengangkat tubuhnya berdiri.

Kembali Om Kimpling mundur menjauhi sang T-Rex. Dia geleng-geleng kepala. Mau berapa kali lagi? Dengan ancang-ancang seadanya, Om Kimpling melesat ke depan untuk menyerang. Kembali jemari tangan kanan dibentangkan lalu dilecutkan ke depan.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Lima sentakan ki kecil melesat dan masuk menghujani badan sang T-Rex yang terpental-pental ke belakang tanpa daya. Tubuhnya pasti sudah mulai susah digerakkan. Lima serangan itu masuk ke dada, pundak, lengan, dan rusuk Hageng yang sejak awal sudah terluka. Menambah limbung tubuhnya yang sudah tak lagi kuat berdiri.

Nnnnggggggg!

Pukulan pamungkas Sengatan Lebah Maut dikerahkan sang tetua! Kali ini pasti selesai!!

Jbooooookkkkgh! Krrrkkkgh!

Kepalan tinju Om Kimpling ternyata disambut juga... oleh kepalan tinju kiri Hageng!

“Haaaaaaaaaaargh!”

Keduanya terlontar ke belakang dengan jari tangan seakan retak karena berbenturan dengan kerasnya. Tapi ada perbedaan, Om Kimpling melapisi tinjunya dengan Ki, sementara Hageng masih menggunakan pukulan yang mentah. Sang T-Rex terlontar lebih jauh dengan tangan berasa sangat ngilu, tangan itu mulai membengkak.

Setelah sempat terguling beberapa kali, Hageng kembali berdiri.

Sang raksasa itu terengah-engah. Kenapa belum keluar juga? Dia sudah berusaha keras membuka keran Ki-nya agar mengalir ke seluruh tubuh, tapi tidak juga muncul. Kenapa? Apa yang salah? Ki-nya sudah jelas tidak tersegel, ini semua karena ia memang belum bisa mengaktifkannya. Sang T-Rex kebingungan sembari menatap kepalan tangannya. Apakah ada langkah yang belum ia lakukan? Latihan yang belum ia jalankan? Laku yang belum ia amalkan? Kenapa Ki-nya tidak bisa muncul dengan sempurna? Bagaimana caranya? Dia harus bagaimana lagi?

Deka dan Nanto menatap Hageng dari kejauhan. Mereka tahu apa yang dia rasakan.

“Itu adalah salah satu kelemahan Hageng,” ungkap Deka. “Dia masih belum bisa mengeluarkan dan menyalurkan tenaga Ki dengan baik. Mungkin karena selama ini memang bukan itu fokus latihannya. Dia terbiasa dengan teknik gulat bebas, bukan pengaturan energi Ki. Belum balance antara yin dan yang. Tenaga dalam dan teknik luar.”

Nanto mengangguk, “Aku juga menyadarinya, keran Ki-nya belum terbuka, bukan karena ditutup, tapi karena memang belum ada kerannya.”

Di tengah arena, Hageng kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia menjadi satu-satunya yang tidak bisa mengeluarkan tenaga Ki dengan natural? Apakah ini karena kebodohannya? Apakah ini karena dia tidak memiliki guru? Satu-satunya tempat dia belajar adalah Simon – dan untuk mempelajari Pukulan Geledek dia harus mengeluarkan Ki. Sesuatu yang hingga saat ini justru sangat susah ia lakukan.

“Haaaaaaaaaaaaaaarrrghhhhh!!!”

Dengan rasa putus-asa yang makin merajam di dalam dadanya, Hageng berteriak kesal. Kedua tangannya dikepalkan dengan geram. Kecewa pada dirinya sendiri yang tak mampu meningkatkan level secara mandiri. Piye to ikih carane?

Om Kimpling mengerutkan kening melihat lawannya bertingkah-laku aneh. “Kenapa lagi kamu?”

Hageng tersenyum, “Zebentar. Ini ceritanya ada drama di pertarungan ini, Om. Biarkan aku menikmati zebentar zaja putuz aza yang azukampret ini zupaya terlihat keren dan punya peranan bezar dalam perkembangan ke depannya.”

“Heleh. Munyuk. Kenapa harus putus asa? Hanya gara-gara Ki-mu masih belum mengalir lancar? Sejak tadi kamu terus menerus menunjukkan determinasi yang luar biasa. Meski jatuh, tapi selalu bangkit. Itu hebat banget! Masa hal yang begini saja justru bikin kamu putus asa?” Om Kimpling mendengus, karena ia bisa merasakan apa sebenarnya masalah Hageng. Aura Ki si bongsor kribo itu masih belum stabil, kadang muncul lebih sering lenyap. Itu menyebabkan semua serangannya tak sempurna dan hasilnya mentah. Jika ini pertarungan tanpa Ki, Hageng bisa menang – sayangnya ini pertarungan yang sudah naik level. “Jangan khawatir. Ki itu bisa dilatih, jadi tidak ada alasan bagi anak muda sepertimu untuk putus asa. Masa depan masih cerah, masih banyak kesempatan untuk belajar. Contohnya mudah, lihat aku. Aku ini cuma orang kasar yang doyan wedokan – hidupku ini njelehi. Ra umum eleke ra umum wasu-ne. Tapi semua kesulitan yang menerpaku aku anggap sebagai batu loncatan untuk naik jenjang, aku tidak pernah sekalipun menyerah atau putus asa. Prinsipku simpel, kalau orang lain bisa – aku pasti bisa.”

Hageng menunduk dan terkekeh pelan. Apa-apaan ini? Malah dikasih wejangan sama lawan. Semenyedihkan inikah dia? Ayo Hageng, ini bukan dirimu! Kamu selalu optimis dan tidak akan pernah menyerah dalam kondisi apapun! Kamu pasti bisa.

“Bersiaplah.” Tiba-tiba saja Om Kimpling mengejar posisi Hageng.

Hageng terkejut karena serangan itu sangat mendadak.

Karena tidak akan siap untuk mundur atau menyerang balik saat menerima serangan tiba-tiba itu, maka Hageng pun memilih pose bertahan. Ia memiringkan tubuh dan meringkuk – bagai pertahanan seekor kura-kura yang masuk ke tempurung. Sayangnya dengan begitu, bagian belakangnya terbuka tanpa pertahanan.

Telapak tangan Om Kimpling menyambar punggung sang T-Rex.

Bldmmmmmmmm!

“Haaaaaaaaaaaaaaarrrghhhhh!!!”

Hageng bagaikan disambar listrik ribuan volt. Ia mengejang dan terdorong ke depan dengan satu hentakan. Tubuh bongsor sang T-Rex terguling-guling ke depan, hingga akhirnya tak bergerak beberapa saat lamanya dengan posisi tertelungkup ke bawah.

Massa yang sejak tadi saling berbalas dukungan pun terdiam kembali.

Apakah sudah benar-benar selesai sekarang?

“Hageng…” Deka yang melihat tubuh kawannya tak bergerak sudah siap berlari menuju Hageng, namun ia terhenti setelah lengannya ditahan oleh Nanto.

Si Bengal menatap tak berkedip ke tengah lapangan dan menggeleng. “Jangan. Ini berbeda. Hageng tidak akan hancur semudah itu. Tidak dengan cara ini.”

Deka mengerutkan kening. Berbeda? Apanya yang berbeda!? Hageng sudah terkapar tak berdaya. Mereka harus segera…

Tiba-tiba terdengar teriakan membahana. Semua anggota Aliansi bersorak-sorai. Deka memindahkan pandangannya ke tengah lapangan, dan ia sungguh terkejut. Hageng kembali berdiri tegap dan menantang di depan hadapan Om Kimpling!

“A-apa yang terjadi?” si Gondes bertanya-tanya.

“Aura-nya…” ucap Nanto.

“Aura? Kenapa aura si Hageng?”

“Ki-nya sudah menyala.”

“Heh?”

“Pukulan demi pukulan Om Kimpling ibarat trigger yang ternyata mampu membuka Ki yang tersimpan dalam diri Hageng – terutama yang terakhir tadi.”

Persis seperti apa yang dikatakan oleh si Bengal, Hageng merasa ada rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, membuatnya merasa rileks, tenang, sekaligus bertenaga. Tapi berbeda dari sebelum-sebelumnya, energi ini terasa aktif, hidup, dan mengalir lancar tanpa henti. Hentakan pukulan dari Om Kimpling ternyata berhasil memberikan jalan bagi Ki yang selama ini gagal ia aktifkan.

Jadi seperti ini rasanya memiliki tenaga dalam?

Ohohoho!

Hageng menatap ke arah Om Kimpling dan berucap, “Terima kazih, Om. Tidak menyangka zama zekali kalau pukulan-pukulan dari Om juztru membuatku zeperti ini. Ki-ku jadi aktif.”

“Heheh. Iyakah? Ha… ya… ya... aku sebenarnya juga tidak menyangka, tujuanku mau menang saja. Tapi baguslah. Kamu tidak perlu lagi putus asa dan kita bisa bertarung dengan lebih adil. Tugasmu sekarang adalah mengembangkan dan meningkatkan apa yang kamu miliki, karena toh apa yang kamu miliki itu sebenarnya masih sangat mentah. Ki-mu sudah menyala, tapi masih sangat redup.”

“Coba sajaaaa!” Hageng dengan bersemangat melompat sekuat tenaga, dengan bekal Ki yang ia miliki, Hageng membungkus tangannya menggunakan tenaga dalam. Saatnya mengeluarkan jurus baru dengan nama yang maksa yang ia ciptakan!

Pukulan Palu Dewa Petir!!

Sentakan energi Ki dan hantaman kencang dari Hageng bertemu dengan kekuatan pertahanan dari Om Kimpling.

Blddddmmmmmm!!!

Meski sudah dilapis Ki, tapi pertemuan energi yang terjadi masih tidak setara.

Ki milik Om Kimpling jelas jauh lebih kuat dan terlatih. Hageng terlontar ke belakang. Ia terbanting, terguling, dan terjerembab. Tubuhnya terseret ke belakang agak jauh. Dengan tangan kiri yang sigap, Hageng mencengkeram lapangan basket sekuat tenaga agar tidak terlempar terlalu jauh. Kekuatan Ki yang melindungi tangan membuat jemari Hageng lebih kuat.

Setelah berhenti terseret, Hageng kembali bangkit. Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, Ia berlari sekuat tenaga, kembali meloncat dan melontarkan kembali pukulannya dengan tangan kanan. “Zekali lagi!”

Blddddmmmmmm!!!

Tak disangka, kali ini pukulan Hageng berhasil menembus lengan Om Kimpling yang disilangkan sebagai pertahanan. Menyeruak dari samping, Hageng menghajar rahang sang tetua yang tidak siap. Om Kimpling pun terlontar ke kanan, tapi lagi-lagi dengan langkah kaki tegap, pria utama di NWO itu masih sanggup bertahan tanpa terjatuh.

Om Kimpling memutar badan dan melecutkan punggung tangannya ke arah Hageng, lagi-lagi serangan backhand.

Jbkgh!

Hageng mencengkeram pergelangan tangan Om Kimpling dan menahannya tepat sebelum mengenai rusuk yang tadi sempat dilukai. Sang tetua NWO gagal menyerang Hageng kali ini. Hageng mengunci tangan sang lawan, lalu melompat dan menjejakkan dua kaki sekaligus ke badan Om Kimpling!

Double drop kick!

Bkkkkkkghhh! Bkkkkkkghhh!


Om Kimpling tersentak ke belakang dan terjerembab hampir empat meter jaraknya. Ia jatuh telentang. Demikian juga Hageng yang terjatuh usai menyarangkan tendangannya. Dua-duanya sama-sama terkapar.

Suasana sepi.

Semua menatap ke arena.

Teriakan berkumandang.

Om Kimpling menjadi petarung pertama yang bangkit, sang T-Rex menyusul tak lama kemudian. Wajah keduanya sama-sama sudah lelah dan letih. Keduanya sudah mencapai taraf energi paling penghabisan.

Terutama sang T-Rex. Hageng sudah kehabisan tenaga, tenaga murni maupun tenaga Ki sama-sama sudah terkuras. Dia tidak akan mampu lagi mengeluarkan Ki – apalagi Ki yang ia miliki masih sangat ranum. Beruntung dia masih bisa berdiri tegap meski dengan tubuh bergetar kencang, keseimbangannya sudah kacau. Om Kimpling ini memang hebat, kepalannya bukan kaleng-kaleng.

“Masih bisa berdiri? Ajaib! Sekali lagi!” Om Kimpling menggelengkan kepala melihat Hageng yang masih bisa bertahan.

Om Kimpling kembali datang dengan satu pukulan kencang, seluruh Ki dikumpulkan dalam genggaman. Yang satu ini bakal membuat Hageng luluh lantak bak terkena jentikan jari Thanos! Bahkan Om Kimpling pun sebenarnya sudah amat kepayahan. Meski ngomong besar, inilah serangan terakhirnya. Seluruh tenaganya sudah habis!

Swsssh.

Pukulan Om Kimpling dihentikan tepat di posisi di mana Hageng semula berada tanpa mengenai apa-apa. Dengan sekuat tenaga, sang tetua menghentikan pukulannya. Bagaikan ada putaran waktu yang berhenti mendadak.

Sang T-Rex hanya tertawa. Dia sudah tak sanggup lagi bertahan, tubuhnya luruh ke tanah dan iapun duduk bertongkat lutut. Ia sudah terlalu lemas. Bahkan sebelum pukulan Om Kimpling sampai, dia sudah luruh ke bawah.

Pemuda bongsor itu geleng-geleng kepala. “Zudah cukup zepertinya. Zudah.”

Om Kimpling mengangguk. “Sudah cukup. Kamu luar biasa.”

Hageng tertawa lagi, tapi kali ini ambruk ke belakang dengan berdebam. Ia terengah-engah, tenaganya sudah habis. Baik tenaga luar maupun Ki yang baru sekali ini dapat ia keluarkan. Suatu saat kelak dia akan melatihnya agar lebih mampu bertahan, tapi hari ini?

Dia kalah.

Hageng melambaikan tangan pada Ableh Ndaho.

“Petarung dari kubu Aliansi sudah kehabisan tenaga sepertinya. Apakah dia menyerah?” tanya Ableh Ndaho untuk memastikan. “Apakah ini berarti Om Kimpling memenangkan pertarungan kedua hari ini?”

Hageng yang sudah terbaring di lantai lapangan basket mengangguk. Ia melirik ke arah Nanto dan Deka yang sama-sama mengangguk dan tersenyum. Mereka berdua mengangkat jempol mereka pada Hageng. Ketiganya sama-sama tertawa.

Seluruh massa yang hadir pun riuh. Pasukan Dinasti Baru berteriak dengan kencang dan sorak-sorai akan kemenangan mereka. Dengan ini kedudukan berubah menjadi 1-1 dan hasil akhir masih belum bisa terbaca dengan jelas. Kemenangan masih bisa menjadi milik siapapun.

Hageng terbaring dengan napas kembang-kempis. Tenaganya sudah terkuras banyak dan ternyata itu masih belum cukup untuk menjatuhkan sang lawan. Om Kimpling memang lawan yang cukup kuat dan level sang T-Rex belum bisa menyamainya untuk saat ini. Dia masih harus banyak belajar. Alih-alih dapat mengeluarkan Ki, ia justru harus dibantu oleh Om Kimpling untuk dapat mengeksekusinya

Hageng jadi geli sendiri. Tadi dia terlalu pede. Sekarang ambruk di tengah lapangan sembari menatap langit siang.

Sial.

Level mereka memang benar-benar masih belum seimbang.

Dia harus mengakui dia kalah.

Tentu saja pertarungan kali ini bukan pertarungan sia-sia, selain sekarang sudah bisa mengakses Ki, dia juga mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Terutama pelajaran bahwa tak selamanya kekuatannya bisa menyelesaikan segalanya karena saat kita merasa kuat, akan ada lagi orang yang lebih kuat dan lebih hebat.

Hageng menatap langit di atas kepalanya. Dia masih terkapar sembari menatap angkasa yang indah ketika tiba-tiba saja ada satu tangan besar menyeruak di atas wajahnya.

“Kamu luar biasa.” ternyata Om Kimpling yang mengulurkan tangan, “meski kalah, kamu sudah memberikan perlawanan yang hebat. Mengagumkan sekali. Aku salut padamu, le.”

Hageng terkekeh dan menerima uluran tangan Om Kimpling. Dia pun ditarik Om Kimpling hingga berdiri sambil tertawa terbahak. “Hahaha, zayang aku zudah mengecewakan kelompokku. Aku kalah telak, Om. Zelamat, kemampuan Om memang lebih mantap jiwa.”

“Mengecewakan kelompokmu? Dengan bertarung habis-habisan seperti tadi? Seharusnya mereka bangga, bukan kecewa. Kamu luar biasa.”

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Terdengar teriakan membahana dari kelompok Aliansi – terutama dari Sonoz. Ya, mereka semua menyaksikan pertempuran antara sang T-Rex berkepala kribo lawan Om Kimpling dan semuanya sepakat kalau Hageng sudah memberikan yang terbaik. Meski kalah, dia sudah membuktikan diri sebagai laki-laki dan pimpinan Sonoz sejati, sudah sepatutnya mereka bangga dengan sang T-Rex.

Hageng tertawa mendengar yel-yel itu berkumandang.

Dia berjalan ke arah Nanto dan Deka sembari mengangkat kepalan tangan tinggi di udara sambil tertatih-tatih karena ia sudah teramat lemas.

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Teriakan dari Aliansi makin membulat, semuanya membanggakan kiprah sang T-Rex, tidak ada satupun yang mencela meski dia kalah pada pertarungan kali ini dan membuat kedudukan menjadi imbang satu lawan satu. Itu hanya berarti pertarungan ketiga akan diadakan. Tidak masalah kalah, yang penting dia sudah menunjukkan harkat dan martabat Sonoz, Lima Jari, dan Aliansi.

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Hageng tertawa dan geleng-geleng kepala karena yel-yel masih saja riuh.

Jalannya mendadak oleng karena tubuhnya tidak seimbang, tapi dia tak sampai terjatuh karena Om Kimpling langsung memapahnya. Lawan Hageng itu ikut tertawa dan mengayunkan tangannya yang bebas sembari memberikan semangat pada anggota Aliansi. “Terus! Lanjutkan! Berikan semangat padanya! Dia berhak mendapatkannya! Terus!”

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Tak hanya kawan dan anggota Aliansi saja yang berteriak, kini giliran anggota-anggota Dinasti Baru ikut-ikutan memberi semangat pada Hageng dengan meneriakkan namanya, Om Kimpling kembali mengayunkan tangannya pada anggota Dinasti Baru untuk mengapresiasi perjuangan sang pemuda kribo yang terus saja tertawa itu.

Sang tetua NWO memapah Hageng keluar dari arena.

Nanto dan Deka tertawa bersama sembari bertepuk tangan. Luar biasa memang sang T-Rex, dia sanggup membuka mata Aliansi dan Dinasti Baru yang masih meragukan semangat Lima Jari, membuat mereka bangga, sekaligus kagum secara bersamaan tanpa ada dendam.

“Dia hebat.” Kata Om Kimpling pada Nanto dan Deka.

“Kami tahu, Om.” Jawab Deka. “Terima kasih sudah membawanya kemari.”

Om Kimpling mengangguk dan kembali ke arah rombongan Dinasti Baru dengan satu tangan terangkat. Tandanya ia baru saja meraih kemenangan. Sorak-sorai Dinasti Baru makin membahana.

“Maaf. Aku gagal.” Kata Hageng pada kedua sahabatnya.

Nanto menepuk pundak Hageng dan memberikan sebotol air kemasan sebagai pengusir dahaga. “Bodo amat dengan kemenangan apapun, kamu sudah bikin bangga kita semua, Dab. Aku bener-bener kagum sama kamu.”

“Hahaha.”

“Edan, Dab. Edan.” Deka mengangkat dua jempolnya ke atas.

“Hahaha.” Hageng terbatuk. “Aku butuh…”

“Butuh apa? Perban? Bet@dine? Mana yang terluka paling parah? Biar aku…” Deka buru-buru mendekat ke arah Hageng. Jangan-jangan ada luka dalam? Tapi yang sebelah mana? Badannya remuk redam begini.

“Aku butuh mie ayam ceker. Zuper pedaz biar melek.”

Wasu.” Deka mundur dan bersungut-sungut, kirain butuh apaan, jebul mung ngelih.

Deka pun memanggil empat orang anggota Aliansi, dua orang untuk merawatnya, dan dua orang lagi untuk secara spesial membelikan Hageng makanan.

Setelah urusan Hageng selesai, Deka kembali berdiri di samping Nanto yang tengah mengamati arena. Keduanya harus kembali ke kenyataan yang mesti dihadapi sekarang. Pertarungan belumlah usai. Kedua sahabat itu saling bertatapan seakan hendak menghadapi penghakiman.

“Kedudukan sekarang satu-satu. Kamu tahu apa artinya itu kan?” tanya Deka.

Nanto mengangguk.

Ia mengalihkan pandangan ke arah Amar Barok yang sedang menatapnya balik dari tengah arena.

Siapa yang berikutnya akan turun?





.::..::..::..::.





Pasat terbangun dengan kepala nyut-nyutan dan pusing yang teramat sangat, di kepalanya sekarang bagaikan ada pertarungan abadi antara King Kong lawan Godzilla, Son Goku lawan Jiren, atau tim bubur diaduk lawan tim bubur tidak diaduk. Sebuah pertarungan yang membagongkan. Pusingnya berasa kambing banget kayak odading Mang Ole.

Di saat-saat seperti ini entah kenapa lagi-lagi Pasat teringat pada pesan dari Ki Kadar – sang Guru Rambut Perak yang pernah memberikan pesan yang berkesan padanya mengenai teknik bangun tidur. Saat itu di suatu pagi, sang pemuda berambut coklat mengeluh sakit kepala usai bangun mendadak dari tidurnya. Karena sering merasakannya, dia pun mencoba berkonsultasi dengan sang guru.

“Guru, kenapa ya kalau bangun tidur seringkali langsung tiba-tiba merasa pusing? Unyeng-unyeng terasa seperti ada yang ngebor. Ini bukan pertamakalinya.”

Ki Kadar memberikan masukan, “Kalau kepala sering terasa pusing atau berkunang-kunang seperti itu, maka sebaiknya kamu jangan buru-buru bangun. Cobalah bertahan sejenak untuk tetap berada dalam posisi berbaring sampai kondisi stabil – kalau orang Jawa bilang – sampai nyawane kumpul. Kenapa? Supaya menghindari penurunan tekanan darah secara tiba-tiba.

“Pada saat posisi badan dalam keadaan berbaring, buka mata perlahan, rasakan aliran darah lancar mengalir ke seluruh tubuh dengan seimbang. Jika sudah terasa demikian, barulah bangkit perlahan-lahan, jangan menyentak dan terburu-buru. Saat berbaring aliran darah akan mengalir lancar ke seluruh bagian tubuh. Jika kita kemudian berdiri secara mengagetkan, maka aliran darah akan mendadak turun dan terkonsentrasi ke kaki. Keadaan ini membuat refleks sistem syaraf atau sistem pengendalian syaraf akan terganggu.”


Mengingat itu, pemuda berambut coklat itu pun lantas tetap berbaring meski sudah sadar. Ia menyentuh dan memijat kepalanya sebentar sebelum berani membuka mata. Saat membuka mata-pun masih terasa berat, seakan-akan kelopak matanya sedang di-gondeli oleh si gajah Dumbo, emaknya Dumbo, bapaknya Dumbo, pakliknya Dumbo yang obesitas, dan teman-teman karawitan si Dumbo yang masing-masing memanggul bedug paling gede sekecamatan. Nyut-nyutan di kepala bak sinaran kunang-kunang di sawah kala malam. Silih berganti dan terasa berat. Cahaya yang menerpa pun jadi silau yang teramat memedihkan.

“Uff.”

Harus membiasakan diri. Pemuda berambut coklat itu pun mencoba berulang kali mengejapkan mata. Berharap cahaya yang awalnya menyilaukan perlahan-lahan bisa berubah menjadi terang yang jauh lebih normal jika dia mencobanya sedikit-sedikit.

Apa yang terjadi? Kenapa dia berada di sini?

Ingatannya mulai terkumpul dan terbentuk. Apa hal terakhir yang dia ingat? Dia di sini karena pingsan setelah dipukul oleh Sentakan Ki sang Jagal dan terlempar hingga jatuh ke sungai. Eh, tapi bukankah seharusnya dia sudah jadi bubur dan tercerai-berai di bebatuan yang ada di sungai? Jarak antara makam dan sungai sangat tinggi. Rasanya tidak mungkin ia akan selamat tanpa luka atau patah tulang.

Jadi... bagaimana mungkin dia bisa selamat?

Ketika perlahan-lahan membuka mata dan pendar cahaya mulai bisa ia terima dengan normal, Pasat akhirnya dapat melihat keadaan sekitar.

Dia berada di sebuah ruangan yang kotor, berdebu, dan singup – disebut tak terawat barangkali mungkin lebih tepat. Dengan debu teronggok tebal di berbagai posisi, ruangan ini rasanya lebih pantas disebut gudang daripada sebuah kamar – meski sebenarnya ruangan ini cukup rapi dengan barang-barang berada di posisinya tanpa tersentuh. Cat tembok mulai terkelupas karena dinding lembab tak lagi mampu menahan lekatan. Cahaya matahari masuk dari sela-sela koran yang menutup sebuah bidang jendela besar. Pembaringannya juga bukan pembaringan yang terawat baik. Siapapun yang tinggal di sini, orangnya sangat mencintai debu atau sangat-sangat miskin sehingga tidak punya sapu dan kemoceng.

Siapa yang mau tinggal di sini?

Bangkit dari pembaringan, Pasat mulai berjalan menuju jendela yang terang – hendak melihat di mana dia sebenarnya. Tapi karena kepalanya masih sangat berat dan pusing, pemuda berambut coklat itu pun kembali jatuh terduduk di tepian pembaringan. Sepertinya kondisinya belum stabil.

“Ku… ku… ku… duduk di situ, istirahat dulu. Mau pergi silakan. Mau pulang silakan. Mau ini itu, tidak ada yang menahan. Ku… ku… ku…”

Siapa yang berbicara?

Pasat memicingkan mata dan menguatkan pendengaran. Ada gesekan seseorang dengan dinding yang terdengar. Menyeramkan sekaligus membuat penasaran.

Suara yang menyeramkan itu rupanya terdengar dari pojok ruangan. Di sana juga ada satu jendela yang terbuka. Saat Pasat memusatkan pandangan barulah ia dapat melihat dengan jeals. Ternyata di sana ada seseorang yang jongkok di kusen jendela dan memandang ke dalam ruangan dengan senyum menyeringai.

Bajingak! Ngaget-ngageti, su!

Tapi... orang inikah yang telah menyelamatkannya dari maut?

“Te-terima kasih sudah menyelamatkanku…” Pasat mengucek mata dan mencoba berdiri kembali, ia berjalan mendekat ke arah suara untuk berusaha melihat lebih jelas lagi siapa sebenarnya orang itu. Tapi saat ia benar-benar bisa melihat sosok di ujung ruangan, ia ternyata tak siap dengan pemandangan yang ia lihat di depan matanya.

Pasat mundur beberapa langkah dengan kaget.

Pemuda berambut coklat itu terhenyak saat melihat wajah sang penyelamat ternyata lumayan medeni. Wajah yang rasa-rasanya tak akan dicintai oleh ibu sendiri karena teramat menyeramkan, dengan luka berbentuk senyuman melebar dari ujung pipi kanan ke pipi kiri. Jahitan tak sempurna di kulit wajah pucat membuat tampang sang pria penyelamat Pasat terlihat tragis.

Tapi bukan itu yang membuat Pasat terkejut.

Bukan wajah horor itu.

Bukan wajah yang mengerikan yang sang pemuda berambut coklat mundur teratur. Bukan. Dia terhenyak mundur karena dia mengenali wajah itu di balik tampilan luarnya yang menyeramkan.

Dia mengenalinya.

Pasat terbata-bata. “Ka-kamu…”

Pasat tak akan salah mengenali, meski dengan senyum menyeramkan itu, meski dengan wajah pucat tanpa ekspresi, meski dengan tubuh yang sudah kurus dan tak terbentuk sempurna lagi. Pasat hapal betul dengan wajah yang tak sempurna itu, wajah yang teramat ia kenal.

“Ku… ku… ku… ku…” sang pria ganjil bergoyang-goyang sembari jongkok santai di tepian jendela bak seekor monyet di atas kayu. “Ada setan main kartu. Siapa aku? Aku hantu. Ku… ku… ku…”

Pasat yang awalnya mundur akhirnya berjalan perlahan menuju sang pria ganjil. Pandangannya yang kabur menatap penyelamatnya yang tak terlihat jelas. Dia ingin sekali lagi memastikan. Ya, benar. Dia tidak salah! Dia mengenali sosok itu!

“Ka-kamu… kamu kan…”

Sang pria ganjil menengok ke arah luar, menggerakkan hidung seperti tengah mencium sesuatu, lalu tersenyum ke arah Pasat – dan dengan tiba-tiba saja meloncat keluar dari jendela!

“Ku... ku... ku... kalau sudah waktuku, ku tak mau seorang kan mengadu... ku... ku... ku...”

Sang pria ganjil lenyap dari pandangan.

“Tungguuuu!” Pasat tertatih mencoba mengejar.

Namun saat ia sudah sampai di jendela, sang pria ganjil sudah tak lagi ada di sana.

Ajaibnya, mereka ternyata berada di sebuah gedung tua yang terletak di tepi sebuah tebing. Di bawah sana ada sungai yang mengalir. Pria ganjil itu… tidak mungkin turun ke arah sungai di bawah karena posisinya sangat terjal, tapi tidak mungkin juga terbang. Kemana dia pergi?

Pasat bertanya-tanya dalam heran. Lokasi ini – Pasat mencoba mengamati tempatnya berada sekarang… sepertinya dia sedang berada di tepian Sungai Tjedo, di dekat penjual bunga-bunga di belakang Gereja Kutoanyar. Jendela tepat menghadap ke arah sungai, artinya tidak ada kemungkinan si wajah setan tadi terjun ke bawah. Satu-satunya kemungkinan adalah dia naik ke atas.

Ketika memutar kepala untuk melihat ke atas, sosok ganjil itu sudah lenyap entah kemana.

Tapi benar kan hal yang ia lihat?

Pasat rasanya tak mungkin salah.

Orang itu… pria bak setan dengan wajah yang menyeramkan itu… sudah pasti dia adalah Mas Dika! Suami mendiang Mbak Priska, kakak ipar yang selama ini ia pikir sudah meninggal.

Mas Dika masih hidup!





.::..::..::..::.





“Dari Dinasti Baru – orang yang akan menyelesaikan pertarungan hari ini adalah... Amar Barok!!” teriak Ableh Ndaho melalui megaphone. Suara berkumandang disambut oleh teriakan gegap gempita penonton Tarung Antar Wakil terutama dari kubu Dinasti Baru. Siapa yang tidak mengenal Amar Barok? Sang Panglima paling populer dari kelompok tengah kota itu.

Amar Barok menggoyangkan kepalanya dan berdiri tenang di tengah lapangan.

Tepat seperti yang sudah disampaikan oleh pria gagah itu, dia akan menjadi petarung ketiga Dinasti Baru. Siapakah yang akan menjadi petarung ketiga dari pihak Lima Jari?

Kedudukan sekarang satu-satu. Kemenangan bagi Dinasti Baru sudah bisa dipastikan jika si Bengal tidak turun lagi karena tidak ada seorang pun di roster jajaran Lima Jari ataupun Aliansi yang setara dengan si Bengal atau setara dengan sang Panglima. Itu menyebabkan Amar yakin sekali bagaimana pertarungan ini akan berakhir. Beda urusan kalau Nanto yang turun, karena pertarungan akan menjadi tidak menentu dan tidak akan diketahui siapa yang akan menang.

Sesosok pemuda dari Aliansi turun ke arena.

Bukan kejutan ketika kemudian yang muncul dari sisi Lima Jari adalah Deka. Amar geleng-geleng kepala dan bersidekap. Kenapa dia tidak heran?

“Wakil dari Lima Jari dan Aliansi – Deka!” pengumuman dari Ableh Ndaho berkumandang dengan gemuruh di sisi Aliansi dan tawa di sisi Dinasti Baru. Lagi-lagi bukan lawan yang seimbang, turunnya Nanto di pertarungan pertama bisa menjadi blunder, dengan begini kedudukan bisa jadi 1-2 untuk Dinasti Baru.

Tapi pertemuan Amar dan Deka membuat beberapa orang kemudian berbisik-bisik. Ini adalah pertemuan dan pertarungan abang adek yang sepertinya sudah ditakdirkan karena mereka berdua berdiri di sisi yang berlawanan. Lebih ngeri lagi, hasil pertarungan mereka akan menentukan jalur yang akan ditempuh oleh kedua kubu di kemudian hari.

“Sudah kuduga kamu yang akan turun, Kun.”

“Tidak perlu basa-basi, Mas. Sepertinya sudah lama kita berdua tidak sparring. Sekarang waktu yang tepat.” Deka meringis, “aku tidak akan memaafkanmu kalau hari ini kamu mengalah. Bertarunglah dengan kekuatanmu yang sesungguhnya. Jangan dikurangi dan jangan disembunyikan. Bertarunglah dengan sungguh-sungguh, karena aku juga akan serius.”

“Tidak ada rencana untuk mengurangi atau menyembunyikan kekuatanku. Kamu yang seharusnya berhati-hati karena aku akan menyelesaikan pertarungan hari ini secepatnya.” Amar melakukan peregangan tangan dan kaki untuk melemaskan otot. Dia melirik ke arah Deka yang juga melakukan hal yang sama. Sang kakak diam-diam tersenyum, tapi kemudian menghapus senyum di wajahnya sebelum Deka bisa melihat. Ia lantas berdiri dengan tegap dan berucap tegas, “Kita di sini bukan sebagai kakak dan adik, tapi sebagai perwakilan kelompok masing-masing. Ingat itu baik-baik dan lakukan secara maksimal karena banyak yang dipertaruhkan.”

“Sudah pasti.”

Amar mendengus, sejuta memori tentang sang adik berputar dalam benaknya. Saat mereka masih kecil dulu, saat berebut sebatang gulali, saat berebut sekotak bakpia, saat berebut sebotol carica, mereka memang sering berebut – dan sebagai yang lebih besar Amar selalu mengalah. Seumur hidup dia selalu mengalah pada Deka. Dia tidak pernah mengenyam bangku kuliah karena Amar tahu orangtuanya yang susah payah menabung lebih ingin Deka yang berkuliah – sedangkan Amar yang mandiri akhirnya memilih membuka bengkel dengan uang yang ia kumpulkan sendiri.

Seumur hidupnya ia selalu mengalah – bahkan ketika hal itu menyerempet ke wanita yang ternyata sama-sama mereka cintai.

Tapi tidak hari ini. Untuk pertamakali dalam hidupnya, Amar tidak akan mengalah.

“Aku akan memberikan waktu lebih untuk mundur dan mengaku kalah. Lakukan sekarang juga sebelum semuanya terlambat. Anggap saja ini belas kasihan karena hubunganku dengan kalian, menyerahlah sebelum kita melakukan pertarungan sebagai jalan terakhir,” ucap Amar.

“Jangan main-main, Mas.” Deka mencibir, “bukan hanya kamu yang punya kelompok untuk dibela. Aku tidak akan selangkahpun mundur kalau itu sudah berkaitan dengan Nanto dan yang lainnya.”

“Ya sudah kalau begitu. Sepertinya tidak akan ada yang bisa merubah pikiranmu.” Amar Barok sudah hendak membalik badan ketika kemudian ia tiba-tiba saja mengacungkan jari dan kembali mendekat ke arah Deka. “Aku punya satu hal lagi yang akan membuat pertarungan kita menjadi semakin berwarna. Bagaimana kalau kita tambahkan satu pertaruhan lagi?”

“Pertaruhan apa?”

Amar tersenyum, “Kita akan melakukan semuanya secara seimbang. Win some lose some. Yang menang pada pertarungan kali ini akan kehilangan sesuatu dan yang kalah akan memenangkan sesuatu. Siapapun yang menang hari ini berarti dia telah mengangkat derajat kelompoknya tinggi-tinggi, tapi karena sudah menang, maka dia akan kehilangan kesempatan untuk mengejar Dinda. Dia yang menang akan mundur dan mengalah pada yang kalah untuk mendapatkan cinta Dinda. Bagaimana?”

Jantung Deka seakan terhenti mendadak. Si Gondes pun geleng-geleng kepala, “Sial. Usulan macam apa itu? Jangan pertaruhkan Dinda! Tadi katanya harus membedakan pertarungan hari ini sebagai kakak dan adik, bertarung demi kelompok. Lalu kenapa tiba-tiba mencampurkan masalah pribadi dan...”

“Kamu takut? Kalau kamu kalah – kamu justru akan mendapatkan Dinda dan aku akan mundur.”

Gemblung! Edan! Jadi aku harus mengorbankan Lima Jari demi Dinda? Mana ada cerita begitu!”

“Bingung? Takut?”

Deka mendengus, “Siapa yang takut?! Aku cuma tidak mau Dinda disangkutpautkan dengan urusan kelompok kita ini!”

Amar tersenyum. Mudah sekali memancing emosi Deka. Ia pun mempersiapkan kuda-kuda. Ki-nya menyala, pertahanan super Perisai Genta Emas sudah aktif. “Usulan yang menguntungkan sekaligus merugikan bukan? Bagaimana, Kun? Aku hanya akan melayanimu bertarung dengan syarat itu.”

Deka tidak mau kalah, dia juga mempersiapkan kuda-kuda yang sama untuk menyalakan Perisai Genta Emas. Dua jurus pertahanan yang sama digelar meski berbeda level penguasaannya, sekarang bergantung pada kemampuan menyerang masing-masing. Siapa yang lebih mampu memanfaatkan pertahanan super untuk mengendalikan serangan? Deka jelas tidak takut. Justru sekaranglah saatnya. Saat yang paling tepat untuk membuktikan siapa di antara mereka berdua yang lebih baik.

“Yang menang akan kalah dan yang kalah akan menang. Aku tidak akan mundur selangkahpun. Baiklah aku setuju dengan pertaruhannya!”

“Bagus! Bersiaplah!”

Nanto menyaksikan pertarungan antara kakak beradik itu dari kejauhan. Apapun hasilnya, nasib Lima Jari sepertinya akan berubah ke arah yang tidak mereka ketahui. Dia bukannya meremehkan Deka, tapi seperti yang sudah dibuktikan oleh Hageng – ada perbedaan kemampuan antara mereka dan Dinasti Baru. Meski Nanto tidak mau mengakuinya secara jujur di depan Deka dan Hageng, karena khawatir mereka akan turun semangatnya, tapi sudah jelas kemampuan kedua sahabatnya itu memang masih di bawah Dinasti Baru.

Hageng sudah dipertemukan dengan kenyataan pahit. Sekarang sepertinya Deka juga punya masalah yang sama. Dia masih harus belajar banyak untuk bisa mengejar kemampuan sang kakak. Nanto bisa merasakan besaran Ki yang berbeda dari keduanya saat mengaktifkan Perisai Genta Emas. Nyala Ki dari Amar jauh lebih besar dari si Gondes.

Sial. Bagaimana caranya membantu Deka tanpa turun ke arena secara langsung ya? Pikiran Nanto melanglangbuana. Sepertinya hanya ada satu cara untuk membantu Deka. Berdoa dan berharap yang terbaik.

Tkk. Tkk.

Pundak Nanto ditepuk oleh seseorang dari belakang. Si Bengal menengok untuk melihat siapa yang telah menepuk pundaknya. Dia berhadapan dengan seseorang yang tidak asing – seseorang yang pernah ia lihat di suatu tempat. Seseorang berpakaian serba hitam.

“Akhirnya aku menemukanmu,” desis sang Jagal sembari mencengkeram pundak Nanto. “Saatnya kita bicara.”

Nanto mengerutkan kening. Siapa ya orang ini? Dia capet-capet kelingan, agak inget-inget dikit pernah bertemu dengannya. Tapi di mana?

Lalu yang lebih penting lagi adalah... ada apa lagi ini? Apa yang terjadi?

“Bolehkah saya minta anda untuk melepaskan tangan dari pundak saya dengan baik-baik? Ataukah harus dengan...?”

“Dengan apa?”

Si Bengal membalikkan badan. Dia dan sang Jagal saling bertatapan sengit.

Ki keduanya menyala.





BAGIAN 14-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 15
Makasih banyak Subes @killertomato .... saking senengnya ucapi makasih dulu baru otw baca 🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙇‍♂️🙇‍♂️🙇‍♂️🙇‍♂️🙇‍♂️
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd