BAGIAN 14-A
ARAH
Bagaimanakah kehidupan manusia?
Seperti setetes embun atau bagai satu kilatan petir?
- Ryūnosuke Akutagawa
Mentari mulai beranjak naik dan hawa mulai panas.
Panase jan ra umum kata orang Jawa.
The hot is not public kata orang Jawa
mbois tur nginggris yang belum kenal
Google Translate.
Meski musim penghujan belum berlalu, setidaknya hari ini terang sangat berkuasa di atas langit kota. Geliat kehidupan yang membutuhkan cerahnya cahaya matahari beranjak laku tanpa henti, memanfaatkan aji mumpung kondisi langit yang sedang terang. Pekerjaan pun dilakukan sepenuh hati. Meski panas terasa dan peluh deras mengalir, bukan alasan untuk berhenti bekerja demi mendapatkan
sewakul nasi.
Termasuk di sebuah kawasan terbuka yang terletak di perbatasan kota menuju ke arah timur.
Bambang Jenggo sedang asyik duduk-duduk di pinggiran bak truk pengangkut
paving block atau konblok. Dia mengamati para pekerja yang tengah menurunkan alas konkrit itu di sudut halaman untuk ditumpuk sebelum nantinya diletakkan di area yang sudah dipetakan menggunakan benang dan pancang. Lokasi ini kelak akan menjadi halaman parkir sebuah SD swasta di perbatasan kota. Kedua
bodyguard setianya – Alang Kumitir dan Tunggul Seto terlihat tak jauh di belakang truk, sedang
jagongan sembari minum kopi dalam gelas plastik di bawah sebuah pohon rindang.
Sebagai mandor proyek peletakan
paving block, memang sudah menjadi tugas dan kewenangan Bambang Jenggo untuk memastikan semua pekerjaan dilakukan dengan baik.
Sebagian lahan sudah dibuka – padat, bersih dan diratakan dengan
stamper. Tentu tanah yang rata saja tidak cukup, untuk memastikan bahwa lahan siap guna maka harus dilapisi lagi dengan tanah urug yang dituang hingga lapisan tanah benar-benar padat dan rata. Proses ini penting untuk memastikan agar tanah aman sebelum konblok dipasang dan tidak turun hingga menyebabkan
paving block anjlok atau bergelombang.
Sementara itu di pinggiran halaman parkir dipasang pula kanstin beton sebagai pembatas antara lahan yang akan digunakan dan area taman – sekaligus mengunci posisi
paving block supaya tidak mudah tergeser. Setelah pemetaan dan batas usai dibentangkan, beberapa pekerja mulai memasang unit-unit konblok dengan gerak langkah maju ke depan.
Bambang Jenggo menguap. Sementara pekerjanya membanting tulang, ia malah mengantuk. Hari ini sungguh hari yang membosankan. Hawa udara yang panas tapi semilir dijadikan alasan oleh Bambang untuk berleha-leha. Sang pimpinan RKZ itu pun membuka ponselnya demi menonton ciwi-ciwi bergoyang Toktik. Sembari menonton, Bambang Jenggo mulai makan cakwe goreng.
Semua tenang, semua senang. Semua berjalan dengan lancar.
Tapi keadaan itu tak bertahan lama.
Tiba-tiba saja ada angin kencang yang muncul begitu saja di hari yang kering. Muncul lalu tenang kembali. Angin yang bukan angin.
Bambang Jenggo tersenyum.
Sesosok pria berpakaian hitam tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya. Kedua
bodyguard Bambang Jenggo terkejut karena mereka kecolongan oleh kecepatan sang pria yang kini duduk di samping sang pimpinan. Tapi sang bos kemudian mengayunkan tangan dengan santai, satu tanda supaya mereka tidak perlu mendekat. Alang Kumitir dan Tunggul Seto berpandangan, yakin nih? Tidak mau dibantu? Tapi mereka tahu bos mereka pasti tengah merencakan sesuatu, kedua orang itu tetap bersiap. Mereka tetap maju untuk berjaga-jaga.
“Aku sudah menunggumu.” kata Jenggo sambil menggeser layar
smartphone ke atas tanpa mempedulikan sosok di sebelahnya. Ia masih menikmati Toktik di layar
smartphone, dia menggeser ke atas dengan cepat karena tidak berminat kalau yang goyang cowok. “Sedikit agak lambat dari perkiraanku semula. Sepertinya faktor umur juga berpengaruh besar.”
“Langsung saja tidak perlu basa-basi. Kembalikan dia dan kalian akan aman-aman saja.” ancam sang pria yang baru datang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Sulaiman Seno – sang Jagal.
“Sesuai dengan perjanjian - ini klausul kedua dari kontrak kita. Sudah kubilang kamu tidak boleh ikut campur dalam masalah ini. Sudah aku peringatkan bukan? Ikuti saja aturannya dan...”
“Aku bisa membawa yang lain ke kalian tanpa perlu turun tangan sendiri.”
“Hahaha. Kalau sudah begitu terus kalian mau apa? Kalian pikir kami akan membuka mulut kalau kalian siksa? Kalian pikir kami bakal bilang di mana kami menyekap sang tuan putri? Kami mending mati sambil membawa rahasia daripada menyerah.” Jenggo mencibir, ia melirik ke arah Jagal. “Begitupun kamu bukan? Kamu juga tidak ingin bertindak macam-macam - seperti misalnya mengingkari kontrak – karena kalau sampai kamu mengingkari kontrak maka... yah, intinya kamu tidak ingin semua teman-teman di penjara celaka karena ulahmu.”
“Bangsat.”
“Sering banget dipanggil begitu. Kayaknya jadi satu julukan yang tidak asing buat aku. Sudah banyak yang bilang aku ini bangsat - mungkin memang benar kalau aku ini sebenarnya bangsat. Jadi terbiasa dipanggil begitu, akrab rasanya. Tapi kalau pak Zein disebut
Raja Selatan, dan katakanlah Om Janu jadi
Kaisar Utara – maka karena kami dari RKZ hanyalah anjing-anjing jalanan tanpa tempat kekuasaan tetap seperti mereka, mungkin aku bisa disebut
Si Bangsat -
Raja Para Anjing. Hahaha.”
“Berhenti bacot. Apa maumu? Pak Zein tidak akan tinggal diam kalau sampai….”
“Pak Zein? Pak Zein?! Jangan bikin aku ketawa. Dia tidak akan bisa apa-apa kalau tidak tahu posisi di mana anaknya berada. Dia akan tunduk di bawah kakiku!” Jenggo menutup aplikasi toktik, membuka aplikasi
file manager – lalu membuka folder video untuk mencari satu rekaman. Saat video itu mulai bermain di aplikasi media, Ia menunjukkan pada sang Jagal. “Dia akan aman-aman saja kalau kamu juga tidak berulah.”
Jagal terbelalak. Dalam video itu, terlihat Nada sedang meringkuk di ujung sebuah ruangan tertutup dengan jendela berteralis rapat. Ia terlihat sedang menangis sesunggukan. Ada piring dan gelas berserakan di dekat meja. Sepertinya Nada baru saja mengamuk. Wajar saja.
Jenggo menarik ponselnya kembali.
Dengan marah sang Jagal berdiri. “Bajingan! Bebaskan dia! Apa yang kamu pikir kamu laku...”
“Halah! Kami tidak melakukan apa-apa yang buruk padanya! Jangan khawatir! Dia sudah dikasih makan cukup, dikasih minum cukup, ruangan ber-ac, tempat sejuk, dan akses ke kamar mandi pribadi! Semua aman, semua tersedia! Kami di RKZ justru kebanyakan hidup lebih parah dari dia! Makanya jangan macam-macam kalau tidak ingin hal-hal buruk terjadi!” Bambang Jenggo membalas Jagal dengan tatapan mata tajam dan ucapan ketus. “Denger baik-baik ya, bajingan. Tetap lakukan perintahku sesuai perjanjian kita semula dan sumpah akan aku pastikan - nih, aku sudah sumpah ya, akan aku pastikan kalau gadis itu tidak akan kenapa-kenapa. Semua akan aman. Tapi kalau sampai ada satu – satu saja kesalahan yang kamu lakukan atau kalian dari JXG lakukan yang membuat kami dari RKZ terancam, maka gadis itu akan menerima akibatnya. Aku yakin sekali JXG sebenarnya juga belum tahu kalau RKZ yang berulah, kan?”
“Bangsat! Kalau kalian menyakiti sehelai saja rambut gadis itu – akan kuhabisi seluruh anggota RKZ dengan tanganku sendiri,” ancam sang Jagal dengan wajah makin mendekat pada Jenggo. Keduanya beradu tatapan mata. “Salah langkah kalian dengan mengambil gadis itu. Kalian sedang menggali lubang sendiri. Bahkan ketika gadis itu nantinya selamat sekalipun, JXG akan terus mengingat apa yang telah kalian perbuat dan membalasnya berkali-kali lipat. Selamat, mulai sekarang kalian sudah menjadi mayat yang tinggal menggali kubur.”
“Heheheh. Justru kamu yang salah langkah.” Jenggo terkekeh, wajahnya lantas berubah menyeramkan. Ia menatap Jagal dengan tatapan sadis. “JXG belum tahu siapa penculik tuan putrinya dan kalaupun mereka tahu... kamu pikir kami tidak siap? Kami punya
backup yang tidak akan kamu sangka-sangka. Tapi itu tidak perlu diperbincangkan sekarang, yang perlu diperbincangkan adalah kita berdua sudah punya perjanjian, sudah punya kontrak, dan aku sedang menunggu kamu memenuhi perjanjian kita.”
Sang Jagal menggeram sambil melepas kacamata hitam yang ia kenakan. “Akan aku bawakan bocah sial itu kepada kalian secepatnya.”
“Nah gitu! Bawakan bocah itu padaku dan akan aku jelaskan persyaratan-persyaratan apa saja yang harus JXG penuhi untuk menebus gadis yang kami tahan. Setelah itu semua dipenuhi barulah sang putri akan kami bebaskan tanpa tergores sedikit pun, gores lho ya bukan colek, kalau colek mungkin sudah beberapa kali, kekekek. Becanda saja - jangan khawatir, kami tidak berminat untuk membuat kota jadi medan laga saat ini – apapun yang kami minta tak akan menyebabkan perang terjadi. Entah kalau beberapa saat lagi. Kekekek.”
Jagal berdiri sembari menggemeretakkan gigi. “Akan aku bawa bocah itu pada kalian hari ini juga.”
Jenggo tertawa. “
Elok, begitu baru jagoan. Hahahaha.”
Setelah meloncat turun dari truk, Jagal mengenakan kembali kacamatanya. Tanpa menengok dan melihat ke arah Jenggo, sang Jagal berjalan menuju motornya yang diparkir di luar.
Bambang Jenggo terkekeh melihat kepergian sang Jagal, “Aku berikan satu tips lagi mumpung aku sedang
good mood hari ini. Kalau aku sarankan sih sebaiknya kamu lebih cepat bergerak, karena hari ini bocah itu bakal ada di lapangan UTD di
ringroad. Dia dengan bodohnya sedang mempertaruhkan sesuatu di
Tarung Antar Wakil dengan Dinasti Baru. Mudah-mudahan kamu tidak terlambat.”
Jagal mendengus dan meninggalkan Bambang Jenggo yang lantas tertawa-tawa dengan jumawa.
Alang Kumitir melayang ringan untuk sampai di samping sang bos. Dia mendekat untuk berbisik, “apa yang dia inginkan, Bos? Apakah ada yang perlu kami kerjakan?”
“Tidak ada. Tidak ada. Santai saja kalian.” Jenggo menyeringai. “Bocah Aliansi sialan yang kemarin hari menghajar anak-anak RKZ itu akan segera menerima buah arogansinya. Berani-beraninya
ngajak suloyo dengan RKZ. Siap-siap aja dengan segala konsekuensi manis yang akan diterima.”
“Siap, Bos.”
Satu cakwe masuk ke mulut Bambang Jenggo. Keningnya berkerut. Dia tiba-tiba tersenyum saat satu ide terbersit di benaknya. “…atau… kita bisa bikin situasinya lebih menarik lagi.”
“Maksudnya, Bos?”
“Galung, Gamal, dan Agun kemarin sempat kena hajar telak oleh si bocah sialan itu. Sekarang saatnya kita membalasnya dengan lebih manis lagi,
a surprise counter attack – si bodoh itu tidak akan pernah mengira kita sebenarnya tahu siapa dia dan bagaimana latar belakangnya. Heheheh.”
“Bagaimana kita akan membalasnya?”
“Kumpulkan mereka dan perintahkan ketiganya untuk menuju ke lokasi tempat kita menculik sang tuan putri, ada kafe di sana yang kalau tidak salah namanya
The Donut’s Pub.”
“Siap, Bos. Apa yang harus mereka lakukan di sana?”
“Bakar. Bakar tempat itu sampai habis tak berbekas. Heheheh.”
Alang Kumitir sedikit terkejut, tapi ia kemudian tersenyum dan mengangguk. Setelah menjura Ia pun melesat pergi meninggalkan orang yang hari ini memanggil dirinya sendiri
si Bangsat Raja Para Anjing itu dalam penjagaan karibnya yaitu Tunggul Seto.
Satu cakwe kembali lenyap di mulut Bambang Jenggo yang makan dengan lahap. Sembari ongkang-ongkang kaki, bayangan si bangsat itu pun melayang ke sosok yang sebenarnya belum pernah ia temui secara langsung. Tapi karena dia sudah menghancurkan peluang RKZ untuk merekrut orang-orang Aliansi, maka pembalasan harus dua kali lipat lebih kejam. Selain dibawa ke depannya oleh sang Jagal, bocah busuk itu juga harus tahu bagaimana rasanya dihancurkan luar dalam.
Jenggo kembali tertawa.
Dia menatap ke langit, dan mengelap keringat dengan kaus yang ia kenakan.
Hari ini panas sekali ya, bocah busuk? Tapi ini masih belum apa-apa.
Bersiaplah menghadapi balasan RKZ.
Panasnya akan jadi neraka di bumi untukmu.
.::..::..::..::.
Tabuhan genderang dari galon kosong terdengar hingga jauh, terompet dibunyikan meski belum saatnya berganti kalender. Suasana panas kian memanas di lapangan basket Universitas Teknologi Digdaya, tempat
Tarung Antar Wakil sedang dilangsungkan. Pertarungan pertama antara Dinasti Baru dan Aliansi dimenangkan oleh Aliansi saat Nanto mengkanvaskan Sukrex Badak dengan sekali pukul. Tapi pertarungan baru sepertiga jalan.
Saatnya pertarungan kedua.
Di sisi Dinasti Baru, Om Martoyo Kimpling sudah berdiri gagah – penampilannya garang dengan kumis tebal hampir menutup lingkar bibir sampai ke janggut. Rambut panjang warna hitam diseling keperakan dikuncir di belakang dengan ikatan kepang tali. Tato gurita merah menjalar di lengan nampak saat ia melepas jaket berwarna hijau dan hitam yang sering digunakan oleh ojek online.
Slayer kebanggaan berwarna biru diikat di dahi.
Di sisi Aliansi, Nanto masih berdiri tegap dan menantang, bersiap dengan garang.
Tak jauh dari posisi Nanto berada, Hageng dan Deka berdiri mengamati.
“Saatnya pertarungan kedua.” Deka bersidekap. Ribuan pikiran berputar di otaknya bagaikan mesin yang sedang menggerus kayu. “Kalau ini diselesaikan juga oleh Nanto, maka kita akan menang telak. Jadi pertarungan ketiga dengan Amar tidak akan menjadi hal yang penting lagi.”
“Zebentar... zebentar... zebenarnya bagaimana zih aturan
Tarung Antar Wakil yang zekarang ini? Tiga lawan tiga, kan?” Hageng bertanya-tanya, “Jadi kalau Nanto menang melawan Om Kimpling, bukannya kedudukan 2-0 dan pertarungan zudah berakhir? Itu kan artinya kita zudah menang. Begitu kan? Atau aku ada yang zalah tangkap?”
“Bener kok. Itu tidak salah,” angguk Deka. “Kedudukan sekarang 1-0, kalau Nanto menang lagi maka kedudukan jadi 2-0 untuk Aliansi, secara matematis percuma melakukan pertandingan berikutnya. Sisa pertarungan terakhir biasanya tidak dilakukan karena tim yang menang sudah jelas. Tapi ada juga kalanya tim yang kalah tetap ingin melakukan pertarungan terakhir untuk menjaga harga diri, kalah 1-2 terdengar lebih gagah dan punya makna secara mental dibandingkan kalah telak 0-2 kan? Tapi ini sangat jarang terjadi. Biasanya kalau sudah 2-0 ya sudah.”
“Bagaimana dengan Dinazti Baru?”
“Mengingat ego mereka, ada kemungkinan Dinasti Baru akan meminta pertarungan terakhir tetap diadakan demi harga diri. Tapi ini kemungkinan saja, aku juga tidak tahu seperti apa keputusan mereka nanti. Jadi ini semua masih perkiraan ya, perkiraan seandainya Nanto bisa mengalahkan Om Kimpling.”
“Begitu ya... tapi dengan kondizi zaat ini apa yang menurutmu akan terjadi? Zi Nanto katanya mau melahap zemua pertarungan. Itu nantinya bagaimana ya?” tanya Hageng lagi. “Zeandainya dia kalah melawan Om Kimpling apakah dia tetap akan maju di pertarungan berikutnya?”
“Nah itu dia. Ini pertama kalinya ada orang yang akan maju di tiga pertarungan. Kalau memang Nanto menang melawan Om Kimpling dan pertandingan ketiga tetap diadakan, maka dia akan maju lagi untuk melawan Amar Barok pada pertarungan harga diri Dinasti Baru. Itu kalau menang ya. Bagaimana kalau Nanto kalah? Kalau Nanto kalah melawan Om Kimpling, maka dia tetap akan maju lagi melawan Amar Barok meski sudah kalah di pertarungan sebelumnya. Intinya, meski dia kalah atau menang, dia tetap akan maju di pertarungan ketiga.”
“Weladalah. Kok edan ya?”
“
Kandani og. Ga tau apa yang dipikirin si
munyuk itu, meski aku yakin dia mampu melakukannya.”
“Aku juga yakin.”
“Jadi kita seharusnya tidak khawatir.”
“Iya…” suara Hageng terdengar gamang. “Zeharusnya kita tidak khawatir.”
“Iya.”
“
Ndez,” Hageng menundukkan kepala. Ia memainkan kakinya di tanah. “Zudah berapa kali kita dibantu oleh zi Bengal? Zudah berapa kali dia menyelamatkan kita? Entah dari pertarungan di medan laga atau di pertarungan hidup?”
“Sudah berkali-kali. Udah tidak terhitung berapa kalinya. Itu sebabnya aku akan tetap berada di sampingnya, tidak peduli apapun yang terjadi. Hutangku padanya terlalu banyak.”
“Kita zemua di Lima Jari merazakan hal yang zama. Kita akan zelalu berada di zizinya apapun yang terjadi. Hidup atau mati.” Hageng mengangkat kepalanya dan tersenyum menatap si Bengal dari kejauhan, “Itu zebabnya aku tidak akan membiarkan dia menanggung zemuanya zeorang diri. Kita ini berlima, bukan hanya zatu jari.”
“Ha? Apa maksudmu?”
Tangan kiri Hageng naik dan menepuk pundak Deka, raksasa itu tertawa. Deka membelalakkan mata karena dia merasakan ada yang berubah di wajah sang T-Rex, wajah yang penuh tekad, wajah yang sepertinya akan melakukan sesuatu yang nekat. Tapi saat Deka benar-benar tersadar, ia tak sanggup mencegah pemuda bertubuh besar itu melesat masuk ke arena. “Ha… Hageng?”
“Pertarungan sudah siap dimulai? Gimana kabarnya, Om?” tanya Ableh Ndaho pada Om Kimpling yang disertai dengan senyum hangat. “Apakah perwakilan Dinasti Baru sudah siap? Kalian harus menang di pertarungan kali ini untuk mengejar ketinggalan.”
“Tentu saja sudah siap. Bocah itu tak akan bisa dengan mudah menggertak Dinasti Baru.” Sang tetua mengangguk. “Kabarku baik-baik saja,
le.
Piye kabarmu? Kalian kerja dengan bagus di sini. UTD jadi ngetop buat lokasi
Tarung Antar Wakil yang bijak dan adil.”
“Hahaha. Terima kasih, Om. Wah jadi gimana gitu rasanya kumpul sama alumni Talatawon. Hahaha.” Ableh Ndaho tertawa ringan untuk basa-basi – Om Kimpling memang dulunya juga anggota Talatawon generasi-generasi awal. Bisa dibilang jadi salah satu pendirinya.
Tak berapa lama kemudian Ableh Ndaho berpaling ke arah si Bengal, “Bagaimana dengan perwakilan Aliansi? Apakah sudah siap? Kalian butuh memenangkan pertarungan ini untuk menuntaskan perlawanan Dinasti Baru.”
“Sudah si…” Nanto baru saja hendak menjawab ketika tiba-tiba saja…
“Tunggu dulu!”
Hageng berdiri di depan si Bengal dengan gagah dan menebar senyumannya. Dia melambaikan tangan ke seluruh penonton. Suaranya lantang terdengar tanpa
megaphone. “Halo zemuanya! Perkenalkan aku Hageng, mahazizwa Unzakha dan anggota perkumpulan petani hidroponik di RT zetempat. Keahlianku zelain mukbang juga bikin puizi dan pantun! Berikut adalah pantun untuk hari ini! Makan di zaung ngerujak kedondong. Yang tarung ganti dong.”
Massa pun heboh dengan kemunculan sang petarung baru.
Teriakan pendukung dari kubu Aliansi, terutama dari massa Sonoz membahana, mereka bersorak-sorai karena sang wakil ketua yang sosoknya konyol itu akhirnya nongol juga. Dengan bangga yel-yel Sonoz diteriakkan dan dikumandangkan. Sang prajurit Sonoz akan tampil di arena untuk menjadi wakil dari mereka semua!
“
Nyuk! Apa-apaan kamu ini? Kenapa tiba-tiba saja…?” perkataan Nanto dihentikan oleh telapak tangan besar Hageng tepat di depan wajahnya. “
Nyuk…?”
Hageng menarik tangannya dari depan wajah si Bengal dan tersenyum dengan riang. “Aku tahu kamu zebenarnya ingin mengambil zemua pertarungan hari ini karena meraza kezal telah diremehkan oleh Om BMW. Betul begitu kan? Kamu juga ingin bertarung zeorang diri karena hendak melindungi kami dari nazib yang tidak menyenangkan dihajar oleh orang-orang dari Dinazti Baru. Apakah betul pemikiranku?”
“
Nyuk, biarkan aku melawan dia dan semua ini akan berakhir dengan cepat. Jadi maksudku...”
“Mazalahnya bukan zoal cepat atau lambat, bukan zoal menang atau kalah, dan bukan zupaya kami ini zelamat dari hukuman orang-orang Dinazti Baru. Bukan zoal itu. Mazalahnya adalah... mazalahnya adalah kamu juga melakukan hal yang zama. Bukankah itu itu sama saja artinya kamu juga meremehkan kemampuan kami,
Nyuk? Zama zaja artinya kamu tidak percaya dengan kemampuan kami? Kami memang tidak zehebat kamu, tapi kami ingin diakui. Bukan oleh mereka, tapi oleh dirimu.” Hageng menatap Nanto dengan tegas. Tangannya yang besar diletakkan lembut di atas pundak sang sahabat. “Kita zemua zudah berzama-zama zejak lama. Tidak terhitung berapa kali kita zemua bertarung berzama, mempertaruhkan zegalanya demi Lima Jari, demi berzamamu. Kami berempat akan zelalu mendukungmu tanpa zyarat apapun. Tapi kami juga tidak ingin dianggap zebagai bayangan yang akan zelalu membebanimu dan haruz teruz-meneruz kamu lindungi. Tidak zeperti itu ceritanya. Kami ingin berguna. Kami ingin berjalan di zizimu. Zejajar. Tidak di belakang dan berlindung di balik punggungmu. Kami ingin ada di zampingmu. Kami biza dan kami ingin buktikan. Bukan dengan kemampuan, tapi dengan niat.”
“
Nyuk…”
“Jangan khawatirkan kami. Kalah atau menang itu hal biaza. Kalau mereka mengalahkan kita, itu artinya kita hanya haruz meninggalkan Alianzi dan bergabung dengan Dinazti Baru. Hanya begitu zaja kan? Bukan mazalah bezar. Ziapa tahu kita justru biza menebarkan nilai-nilai yang baik di Dinazti Baru nantinya – zeperti yang kita lakukan di Zonoz dan DoP. Ziapa tahu kelak kita juztru akan membantu membawa Dinazti Baru keluar dari kehidupan malam yang kelam dan bergabung kembali dengan Alianzi.”
“Ya nggak begitu juga caranya kan? Kita masih bisa memenangkan pertarungan ini dan…”
“
Nyuk.” Hageng sekali lagi menepuk pundak sang sahabat. “Aku kazih zatu rahazia bezarku. Kalau ada zatu hal yang aku impikan zelama ini, hal itu adalah zaat kamu biza memandangku dengan bangga dan tidak dengan zebelah mata. Aku mungkin kalah, aku mungkin bakal dihukum habiz-habizan, terkapar, pingzan, bonyok atau apalah, tapi peduli zetan – aku hanya ingin bertarung dengan zeluruh kekuatan yang aku punya untuk membantumu. Kalau aku kalah, ya berarti memang hanya zegini kemampuanku. Tapi kalau aku biza menang… ya itu memang sudah zepantaznya karena aku kan keren abiz. Haruz diakui, ye kan?”
Nanto tertawa. Dia akhirnya menarik napas panjang dan memukul pelan pundak Hageng. “Yakin?”
“Yakin seyakin-yakinnya. Percayalah padaku. Aku pazti akan memberikan yang terbaik. Zeratuz zepuluh perzen.”
“Aku akan selalu percaya padamu,
Nyuk. Selalu.” Si Bengal menarik napas panjang dengan berat, tapi kemudian dia mengangguk sembari tersenyum. “Baiklah kalau itu yang kamu minta. Aku minta maaf kalau tadi aku agak arogan. Sebenarnya aku hanya…”
“
Wez cukup. Tidak uzah dilanjutkan, aku zudah paham kok. Ini zaatnya aku gelut. Kamu minggir dulu zana zama Deka. Jangan lupa zizakan aku cemilan.”
Nanto tertawa dan mengangguk. Ia pun melangkah ke pinggir untuk menemui Deka. Sebelumnya Ia memanggil Ableh Ndaho dan memberikan tanda - tangannya diputar ke depan bergantian di depan dada, menandakan ada pergantian petarung.
Ableh Ndaho geleng-geleng kepala, ini lebih gila lagi. Mengganti personil yang kuat ke personil yang lebih lemah tepat sebelum pertarungan dilakukan. Apa-apaan ini? Aliansi dan Lima Jari bisa membuatnya gila hari ini. Tapi ya sudah – itu kemauan mereka, jadi sebaiknya dia umumkan saja.
“
Woro-woro. Woro-woro. Bagi yang tadi sudah naruh taruhan, sebaiknya ditarik kembali karena kali ini kita ada pergantian petarung!” kata Ableh Ndaho mengumumkan. “Nanto dari Aliansi dan Lima Jari akan digantikan oleh wakil pimpinan Sonoz yaitu…
sopo mau jenenge? Siapa tadi namanya?
Tumpeng?”
“HAGENG! Hageng! Kok biza tumpeng dari mana coba?!” sang T-Rex protes.
“Ah… iya, kok bisa jadi Tumpeng ya? Apakah ini yang namanya lapar? Siang ini ga ada yang bawa nasi bungkus apa ya? Panitia laper jadi suka ngelantur.” Ableh Ndaho merevisi pengumumannya. “Woke! Maaf tadi ada interupsi… wakil dari Aliansi dan Lima Jari yaitu…
Sugeng!”
“Minta amplop! Lha kok malah Zugeng. HAGENG woy HAGENG!!”
“Eh apa sih? Yang jelas ngomongnya…
Kotang Ireng!?”
Hageng menepuk jidatnya. “
Guzti paringono zabar. HAGEEEENG!”
Ableh Ndaho manggut-manggut, sepertinya dia akhirnya mengerti nama si T-Rex dengan benar. “Woalah ya… yaa… Hahahaha. Efek
ngelih iki,
Dab. Sori lah ya, berulang kali kepleset lidahnya karena perut belum direkondisi dan
refurbish. Dari Aliansi dan Lima Jari… ini diaaa… Bandeng!!”
“Tobaaaaaaat!” Hageng mengangkat kedua tangannya ke udara dan geleng-geleng kepala. “Puja kerang ajaib! Hageng! Hageng! Ha a ge e eng. Hageng.”
“Hageng! Hageng! Hahahaha. Halah cuma keliru sedikit tadi. Ya ya… ini dia Hageng!” kali ini Ableh Ndaho bener.
Om Kimpling maju ke tengah lapangan. Begitu pula Hageng. Keduanya saling bertatapan, saling senyum, saling menilai lawan. Massa bersorak-sorai dengan dukungan mereka. Hageng adalah sosok populer di Sonoz, sehingga massa Aliansi pun riuh rendah. Sebagaimana dukungan untuk Om Kimpling yang makin lama makin kencang. Siapa yang tidak mengenal pentolan utama NWO?
“Hageng namamu,
Le?”
“Iya, Eyang.”
“Asem. Aku belum setua itu. Panggil saja Om.”
“Nggak ah, kezannya genit kalo panggil Om. Beraza zeperti dedek-dedek melambai.”
“Bajilak. Lawak kowe kih.” Om Kimpling tertawa. “Ya wes. Terserah mau panggil apa. Yang penting jangan panggil sayang. Karena kamu bukan Via Valen dan aku bukan NDX AKA.”
“Bagaimana kalau panggilnya Beb aja?”
“Wasu!” Om Kimpling tertawa, tapi dia kemudian mendengus. Dia tidak merasakan Ki atau aura apapun keluar dari sosok sang T-Rex. Jadi hanya petarung kosongan saja? “Mudah-mudahan kemampuanmu sebocor
lambe-mu,
le. Sebenarnya aku tidak ingin menghajar anak muda bau kencur seperti kamu, meski badanmu gede, tapi level kita jelas jauh berbeda.”
“Buktikan zaja, Mr Crab.”
“Wahahaha.
Wasu! Ha mesti to.
Mesti tak buktekke! Sudah pasti bakal aku buktikan seberapa…”
“Heeeaaaaaaaaaaaahhh!!”
Hageng melontarkan satu pukulan tangan kanan dengan teramat kencang dan penuh tenaga secara tiba-tiba. Tanpa ancang-ancang, tanpa kuda-kuda, tanpa permisi. Arena sudah digelar, mau sampai kapan basa-basi? Langsung saja kirim kepalan ke arah target dengan niat utuh dan percaya diri!
Om Kimpling terhenyak kaget.
Sempatkah dia mengelak?
.::..::..::..::.
Ada suasana sunyi, sepi, senyap, dan hening di sebuah meja makan kecil di stand bakso dan siomay
Grazz yang ada di lantai bawah
Gilaria Mal yang ada di tengah kota. Kontradiktif dengan suasana ramai di sekitar mereka yang hiruk pikuk.
Ada musik yang diputar kencang, ada beberapa orang yang lalu-lalang, ada suara orang menawarkan makanan, ada anak kecil ribut minta mainan, dan ada pengguna meja lain yang tengah berbincang dengan suara kencang.
Singkat kata, suasana di meja lain jauh lebih hidup dibandingkan di meja makan kecil di sudut dekat dengan ekskalator.
Tiga wanita duduk saling acuh tak acuh, tak saling pandang, tak ingin menyapa, pura-pura tak menyadari kehadiran satu dan yang lain. Padahal baru saja mereka makan bakso bersama, tapi tetap saja ketiganya saling cuek. Sementara satu orang lagi bingung harus ngapain menghadapi ketiga wanita itu.
Adalah Hanna yang sampai bingung harus ngapain. Dia diundang sebagai penengah di permasalahan yang terjadi di hari yang serba mengejutkan,
makjegagig, dan
makbedunduk ini. Tapi ya gimana kalau semuanya tetap diam membeku begini? Seperti es batu dituang ke
freezer di tengah padang es kutub utara. Es harus dicairkan dan dia harus membantu, karena dia tahu permasalahan di lingkaran wanita di sekitar Mas Nanto ini hanya bisa diselesaikan oleh mereka sendiri.
Hanna sebenarnya tidak paham kalau saat ini dia sedang berhadapan dengan mantan, selingkuhan, dan kekasih resmi dari Nanto. Belum lagi seandainya dia mengakui kalau dia sendiri sebenarnya juga punya perasaan sayang ke si Bengal. Tambah repot kan? Hanna jadi geleng-geleng kepala. Apa sih makannya si fakboi satu itu sampai-sampai semua cewek ini jadi terkintil-kintil? Semacam pemilik harem saja. Asem.
“
Nganu... semua sudah selesai makan ya? Apa bisa kita mulai ngobrolnya? Sepertinya ada masalah kesalahpahaman beruntun di antara kalian bertiga dan mungkin juga saya yang mau tidak mau harus diselesaikan. Siapa tahu hari ini kita bisa menemukan pangkal masalahnya, bisa saling memahami satu sama lain, dan bisa menyelesaikan permasalahan yang ada di antara kita supaya semua kesalahpahaman dapat dibenahi. Termasuk saya nih, mungkin ada juga yang salah paham sama saya.” Pancing Hanna, dia mencoba memulai percakapan. Tidak nyaman juga berlama-lama diam begini.
“Oke. Oke. Daripada kelamaan, aku yang akan mulai duluan,” Ara mengambil posisinya. Kebetulan dia duduk di antara Asty dan Kinan. Dengan nada yang ketus ia mulai bertanya, “Kalau dengan Kinan sebenarnya aku tidak ada masalah. Tapi aku ada satu pertanyaan yang mengganjal pagi ini dengan yang satu orang lagi. Bagaimana ceritanya sampai-sampai seorang Ibu Asty yang terhormat, guruku dulu – guru BK SMA CB yang paling cantik dan seksi yang sudah menikah dengan satu anak – bisa-bisanya datang ke kontrakan mantan muridnya di satu pagi hanya untuk mengajaknya sarapan? Sungguh sebuah
effort luar biasa bukan untuk seseorang dengan jabatan seperti Bu Asty? Sangat mencurigakan. Aku mencium adanya udang di dalam bakwan.”
“Eh… eh… kok gitu ya ngomongnya? Ara jangan mulai kurang ajar ya. Begini-begini aku kan mantan guru kamu.” Asty akhirnya membalikkan badan untuk menatap Ara secara langsung meski dia sendiri bingung harus mencari alasan apa. Sudah pasti alasannya dibuat-buat, sedari tadi dia sebenarnya sedang mencari alasan untuk menjelaskan kenapa pagi-pagi datang ke kontrakan Nanto, emang dasar sial yang ada malah si mantan dan si pacar. “Aku datang pagi-pagi untuk...”
Mata tajam Ara dan Bu Asty saling tatap.
“Untuk bilang sayang?” cibir Kinan. “Kayak di WA, kan? Manggilnya sayang. Mesra banget. Mana ada guru yang panggil muridnya pakai sayang-sayang. Kalau sampai ada guru yang begitu – besoknya dilaporin ke KPAI. Saya juga sering mengajar anak-anak jalanan, Bu. Saya juga sering memanggil anak-anak dengan sebutan sayang – tapi karena mereka masih usia dasar, bukan yang udah segede Mas Nanto. Kesannya genit sih, Bu.”
“Duh, Kinan. Aku ini memang akrab sama anak-anak SMA CB, semuanya aku kenal baik. Tentu saja paling akrab sama Lima Jari – karena mereka bandelnya ampun-ampun. Nanto dan kawan-kawannya itu bisa setiap hari masuk BK, ini Ara tahu kok. Nanto sebenarnya anak baik dan bertanggung jawab, kami sering berbincang bersama, aku juga akrab dengan mendiang ibunya. Karena Nanto dan aku sering ngobrol, kami jadi menganggap satu sama lain sebagai kakak dan adik.”
“Aku ga pernah denger ada adik cewek panggil kakak cowok pake sebutan sayang,” cibir Kinan lagi. “Geli aja dengernya.”
“Aku manggil adekku juga adek aja. Bukan sayang.” Ara menambahkan untuk memojokkan bu Asty.
“Haduuuuh kalian ini.” Asty mulai bingung. Kenapa juga tadi dia mau diajak ke sini untuk klarifikasi sih? Kan gawat jadinya ini, mana mainnya keroyokan pula. Aduuuh. Jadi harus bagaimana ini? Apakah ini yang disebut
gangbang? Eh. Lho kok malah jadi ngelantur. “Aku harus jelasin gimana? Sungguh tidak begitu ceritanya.”
“Jadi sebenarnya ibu ini hubungannya sama Nanto apa? Apakah kalian sepasang kekasih? Jujur aja deh, bu. Supaya saya juga lega dengernya.” Mata Kinan berkaca-kaca, tangannya digenggam erat oleh Hanna. “Saya rela kalau memang dia lebih sayang dan cinta sama ibu. Tapi tolong jangan bohongi saya. Saya paling benci dibohongi.”
Ara dan Asty sama-sama menatap Kinan dengan iba.
Mungkin meraka yang salah.
Kinan jelas tidak salah. Dia hanya bingung. Begitu banyak wanita di sekeliling Nanto, sehingga perasaannya pun jadi terombang-ambing. Pagi ini saja dia harus berulangkali makan hati. Pertama karena Ara nginep di kontrakan si Bengal dan setelah itu ada bu Asty. Kinan harus jadi benar-benar sabar untuk menghadapi semua ini. Nanto juga kenapa sih tidak bisa menjaga sedikit perasaan kekasihnya?
Hanna meremas tangan Kinan. Dia berbisik perlahan, “jangan terlalu stress. Ingat kondisi kamu.”
Kinan mengangguk.
“Baiklah. Baiklah. Mari kita saling jujur saja. Setelah ini barangkali kita bisa menemukan penyelesaiannya. Aku yang pertama akan mulai cerita dengan jujur dari hati ke hati.” Sekali lagi Ara yang pertama kali membuka diri. “Jujur... aku memang pernah sayang sama Nanto. Kami pacaran cukup lama selama SMA, bahkan ibu guru kita tercinta yang harum namanya di depan ini juga tahu itu...”
“Aish.. Ara...” Asty mendesah.
Ara melanjutkan, “...beliau juga tahu seperti apa kami dulu pacarannya. Sayangnya kami berpisah tidak baik-baik. Kami berpisah karena dia menganggap kami sudah tak lagi selevel tingkat taraf hidupnya. Dia juga mengira akan selamanya tinggal di desa, dan aku di kota. Itu perpisahan yang sangat menyakitkan karena sepihak. Dia mencampakkanku. Butuh waktu lama untuk bisa
move-on.”
Kinan dan Hanna menyimak. Asty menunduk sambil memainkan jarinya.
“Setelah perpisahan yang menyakitkan itu... aku tidak berniat untuk buru-buru mencari pasangan lagi. Aku bahkan tidak ingat seberapa lama kemudian, barulah Mas Deka mendekati dan menembakku.” Ara meneguk ludah, “dan aku menerimanya. Aku berharap bisa
move-on dan perlahan-lahan menerima Mas Deka apa adanya. Aku berharap bisa belajar mencintainya seperti dulu aku mencintai Nanto. Singkat cerita, beberapa tahun berjalan, kami akhirnya tunangan. Aku merasa sudah mulai tenang... sampai Nanto kemudian kembali lagi ke kota.”
Ara menatap Kinan dengan mata berkaca-kaca. “Bayangkan perasaanku melihatnya kembali ke kota dan bertindak seolah alasan-alasan yang dia ucapkan saat memutuskan hubungan kami secara sepihak itu tidak ada artinya lagi. Jadi apa alasan dulu kami putus? Hanya karena dia tidak mau repot? Hanya karena dia bosan? Egois sekali. Sakit kan rasanya? Apalagi setelah munculnya Nanto, Mas Deka juga mendadak berubah, kepercayaan dirinya agak berkurang karena muncul Nanto yang lebih hebat darinya dan amat dia idolakan. Entah kenapa Mas Deka juga jadi dekat dengan cewek lain – satu hal yang sebelumnya sama sekali belum pernah ia lakukan saat Nanto masih di desa.”
“Lho? Mas Deka yang deket sama cewek, kok dihubunginnya ke Mas Nanto? Jangan salahin Mas Nanto, dong.” Kinan cemberut.
Ara meringis. “Iya... iya... Nah, pada akhirnya – belum lama ini, aku dan Mas Deka sepakat kami akan
break sejenak dari hubungan kami. Sama-sama mencari tahu arti kehadiran sosok masing-masing dalam hidup. Jika memang kami benar-benar saling membutuhkan, maka kami akan kembali bersatu dan melanjutkan pertunangan ini. Tapi jika ternyata kami tidak jodoh... ya... sudah... nasi sudah menjadi bubur ayam pakai kecap dan sambal pedes.”
Kinan memegang tangan Ara. “Yang sabar ya, Kak. Mudah-mudahan hubungan kalian berdua kembali membaik.”
Ara mengangguk, “Begitu banyak yang aku pikirkan saat ini sampai aku bingung tidak tahu lagi kemana aku harus curhat. Orang yang aku anggap sangat dekat tentunya adalah Lima Jari, terutama Nanto dan Bian. Tapi Bian sedang bermasalah dengan lokasi jasad mendiang Roy. Jadi aku putuskan untuk mengunjungi Nanto malam-malam karena kebingungan. Maafkan aku ya, Kinan. Bukan maksudku untuk bikin kamu
jealous atau apa. Tapi murni karena aku bingung saja.”
“Iya Kak.” Kinan mengangguk. “Aku juga bingung karena... ya siapa sih yang rela ada orang satu tempat dengan cowoknya. Mohon dipahami juga ya.”
“Selama Kinan ada di sisi Nanto, aku akan selalu mendukungmu.” Ara tersenyum, “jangan khawatir. Aku tidak akan merebutnya dari sisimu. Aku rasa si Bengal juga sudah
move-on dariku. Jadi posisimu aman, sayang.”
“Syukurlah.” Kinan akhirnya tersenyum.
“Tapi awas hati-hati. Namanya juga mantan. Siapa tahu aku bisa merebutnya kembali. Jangan main-main denganku, ya? Kan ada kata pepatah tuh:
teklek kecemplung kalen, ketimbang golek aluwung balen.”
“Kak Araaaaaa!”
Ara tertawa sambil menggenggam jemari Kinan.
Hanna menarik napas lega, satu masalah sudah beres.
Ara lalu berpaling ke Asty yang menunduk. “Nah aku sudah blak-blakan, tidak ada lagi yang disembunyikan dari kalian bertiga. Sekarang bola ada di tangan ibu guru BK kita yang cantik dan seksi ini. Apa alasannya genit ke murid sendiri? Ga pernah ngaca ya? Di rumah sudah ada suami, sudah ada anak, nekat banget datengin kontrakan bekas bocahnya sendiri. Ih, geli ga sih? Pengen dilaporin ke suaminya?”
Asty menghela napas panjang, “Aku sebenarnya tidak perlu menjelaskan apa-apa pada kalian. Kalau memang kalian maunya julid aja ya udah. Sudah jijik sama aku kan? Jadi lebih baik aku pulang saja.”
Asty sudah siap berdiri ketika tangan Hanna mencegahnya.
“Ara... ga boleh gitu ah, semua yang ada di meja ini berhak menceritakan fakta dari sisi mereka. Supaya tidak lagi ada kesalahpahaman.” Hanna tersenyum mencoba meredakan ketegangan. ia pun meminta mantan guru BK itu untuk kembali ke posisi semula. “Silakan duduk kembali, Bu. Kami akan mencoba mendengarkan dengan baik.”
Asty mendengus kesal, tapi ia pun duduk kembali. Ia melirik ke depan, pandangan Ara dan Kinan masih belum ramah.
“Hrmph.” Ara mendengus kesal karena gagal menyerang.
Kinan tetap cemberut.
Asty menarik napas panjang dan memejamkan mata, mengatur diri agar tenang dan membangkitkan kepercayaan diri. Semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik kok. Ia membuka mata dan menatap Ara, Kinan, dan Hanna dengan tenang dan berani – kedudukannya sebagai Guru BK, usianya yang lebih tua, dan statusnya yang sudah berkeluarga seharusnya menjadikan kedewasaannya lebih valid. Jadi kenapa harus takut? Hadapi saja semua. Hadapi, bukan lari. Meski ada yang tetap harus disembunyikan, tapi tidak ada salahnya membuka yang bisa dibuka.
Keberanian diri berlipat menjadikan Asty merasa tak perlu takut menghadapi ketiga gadis cantik yang lain supaya urusan juga cepat selesai. Tapi Si Nanto itu brengsek juga, bisa-bisanya ngumpulin cewek cakep segini banyak.
“Baiklah.” Asty berdehem. “Mungkin aku memang kebablasan saat memberikan julukan
sayang ketika melakukan
chat dengan si Bengal – apalagi mengingat posisi kami sebelumnya sebagai guru dan murid. Tapi itu sebenarnya hanya main-main saja tanpa tendensi apapun, jadi terima kasih sudah mengingatkan, akan aku ubah cara panggilnya dengan yang lebih normal dan nyaman didengar – terutama untuk menghormati Kinan. Itu yang pertama. Yang kedua, sekali lagi karena aku menghormati Kinan – maka dengan ini aku minta maaf secara langsung kalau sebelumnya kedekatanku dengan Nanto yang lebih dari sekedar guru dan murid menjadikan hubunganku dan Kinan – dan kalian semua - menjadi tidak baik. Kinan... aku sungguh berharap kalian berdua langgeng dan awet sampai nanti waktunya mengikat janji suci. Kinan gadis yang baik, pasangan yang tepat untuk Nanto. Jaga dia baik-baik ya, pastikan dia selalu di jalan yang lurus.”
Kinan menunduk. Hanna mengelus punggung sang sahabat.
“Nah yang ketiga, adalah alasan kenapa aku bertemu berulang kali dengan dia akhir-akhir ini. Yang ini rasa-rasanya kalian paham alasannya. Kalian tentu tahu kalau Nanto itu bocah yang spesial yang tidak perlu aku jelaskan di mana letak ke-spesial-annya bahkan dibandingkan anak Lima Jari yang lain. Kalian yang juga dekat dengannya pasti tahu kalau dia punya
sesuatu. Nah, karena alasan itulah aku melacak keberadaan si Bengal dan berusaha memintanya membantuku menangani satu masalah, satu kasus.”
“Kasus?” Hanna mengerutkan kening. “Kasus apa?”
“Aku harap kalian semua merahasiakan apa yang hendak aku ceritakan ini, karena sifatnya sensitif.” Asty berhenti sejenak untuk menatap wajah ketiga gadis di depannya yang berubah menjadi serius. Mereka semua mengangguk.
Asty melanjutkan lagi, “Jadi beberapa saat yang lalu – sebelum aku berhenti jadi guru BK di CB, aku hampir diperkosa oleh salah satu guru baru di sana. Itu sebabnya aku
resign dari pekerjaan semula dan sekarang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga biasa. Kejadian itu benar-benar bikin aku trauma, apalagi jika ketemu dengan orangnya langsung. Karena si pelaku ternyata lolos dari jeratan hukum apapun, hanya di-skors pendek saja. Kepala sekolahnya memang brengsek.”
Hanna, Kinan, dan Ara sama-sama terkejut mendengar penjelasan Asty.
“Di-diperkosa?” Ara terbelalak. “Bagaimana mungkin seorang guru SMA CB bisa...”
“Dia guru baru, guru olahraga. Kamu belum mengenalnya, Ara.”
Kinan ikut
shock. “B-Bu Asty... aku minta maaf karena tadi sudah...”
“Tidak apa-apa... tidak apa...” Asty tersenyum ramah pada Ara dan Kinan. “Jadi aku tentu marah saat Kepala Sekolah SMA CB ternyata justru melindungi si busuk ini daripada menyelamatkanku dari peristiwa yang mengerikan itu. Itu sebabnya aku
resign. Tapi masalah belum berhenti karena si busuk ini ternyata terus menerus mengejar dan menerorku. Entah bagaimana caranya dia punya
resource dan
backup yang cukup kuat untuk terus menerus lolos dari semua masalah dan menghantui orang-orang yang ia incar.”
“Siapa namanya, Bu?” tanya Kinan. “Kenapa tidak ke polisi? Kenapa ke Mas Nanto?”
“Seperti yang sudah aku bilang,
backup dia banyak sampai ke pihak yang berwajib. Karenanya solusi yang bisa aku bayangkan hanya Nanto.”
Kinan manggut-manggut, wajar sih, tapi tidak legal.
Hanna bergerak secara tidak nyaman, gelisah, dan melirik ke kanan kiri.
Kinan mengerutkan kening melihatnya. “Kenapa, Kak?”
“
Nganu... maaf... tapi... tapi aku agak kebelet pipis, apa bisa ngobrolnya kita lanjutkan nanti lagi?” tanya Hanna dengan kocak. “Maaf, beneran maaf. Udah ditahan-tahan sedari tadi.”
Kinan, Hanna, dan Asty tertawa.
“Ayo, deh.” Asty berdiri dan mengajak Hanna, “aku juga pengen ke belakang sebentar. Nanti balik ke sini lagi.”
Ara mengangguk dan ikut berdiri, “aku juga ikut. Kinan?”
“Aku nggak, Kak. Aku di sini aja.”
“Oke. Kita ke belakang sebentar yaa,” ujar Ara.
Kinan mengangguk.
Posisi kamar kecil tidak begitu jauh dari lokasi mereka sekarang duduk. Hanya tinggal sedikit melalui empat unit resto, belok ke kiri maka sudah terlihat di mana toilet berada. Seperti biasa, bilik toilet pria dan wanita bersampingan di satu tempat.
Ketiga wanita itu pun masuk ke dalam.
Sekitar lima menit kemudian, Asty menjadi yang pertama kali keluar. Ia menunggu Hanna dan Ara selesai di depan pintu toilet, sembari membuka
smartphone dan mengirimkan pesan singkat ke suaminya dan pembantu di rumah.
Saat itulah ada kejadian yang tidak disangka-sangka di pagi yang serba mengejutkan,
makjegagig, dan
makbedunduk itu. Memang bukan harinya Asty sih, bertubi-tubi masalah menyerangnya hari ini.
“Pucuk dicinta ulam pun tiba, kalau memang sudah jodoh tak akan lari kemana. Ini mungkin yang disebut takdir.” Terdengar satu suara pria yang parau. “Sama sekali tidak menyangka ternyata akan bertemu di sini, sayang. Aku rindu sekali padamu.”
Suara parau seorang pria yang paling dibenci oleh Asty saat ini.
Suara Reynaldi.
Ia berbalik badan dan benar – Rey ada di belakangnya. Pemuda itu sepertinya baru saja keluar dari kamar kecil juga. Asty menggelengkan kepala tanda tak percaya dan buru-buru bergegas untuk kabur dari sergapan sang durjana dengan panik. Tapi dengan sigap Rey mengejar Asty dan mencengkeram pergelangan tangannya.
“Eits! Mau lari kemana?”
Asty menatapnya dengan pandangan ngeri, ia mencoba meronta. “Lepaskan! Lepaskan aku! Lepaskan atau aku teriak!”
Reynaldi buru-buru menyeret Asty ke kamar kecil pria. “Ayo kita bersenang-senang dulu. Kamu boleh teriak-teriak sesukamu kalau sudah merasakan kont...”
Jbooooookghh!
Reynaldi terlempar dan terjerembab ke depan.
Satu tendangan kencang yang tidak diduga-duga melesat menghunjam ke dadanya.
Asty yang sempat tertarik tangannya juga ikut jatuh, tapi ada tangan yang membantunya berdiri. Tangan milik Ara.
“Satpaaam! Satpaaaaam! Tolong! Ada orang kurang ajaaar!” teriak Hanna yang baru saja menendang Reynaldi sampai terjatuh. Lumayan juga kemampuan yang sempat diajarkan oleh Om Janu padanya selama di desa.
Rey mendesis marah, ia buru-buru berdiri dan mengedipkan mata sambil tersenyum pada Hanna, Ara, dan Asty. “Tiga bidadari. Asyik sekali. Suatu saat nanti, kalian akan merasakan bagaimana nikmatnya ngentot sama aku. Hahahaha.”
“Satpaaaaam!” teriak Asty.
Rey mengayunkan tangannya tanda cuek, dan segera keluar ke pintu yang menuju tempat parkir. Banyak orang yang datang mengerumuni mereka, tapi Rey sudah tak nampak lagi.
Ketika suasana terasa tenang, ketiga wanita jelita itu pun buru-buru kembali ke Kinan yang kebingungan. Rey juga sudah lenyap.
“Ada apa? Ada apa?” Kinan kebingungan.
“Kita harus segera pergi dari sini, orang itu psikopat. Dia akan menghalalkan segala cara untuk menyakitiku atau mungkin juga menyakiti kalian. Jangan pernah bertemu dengannya lagi. Amit-amit.” ucap Asty mencoba memberi peringatan tentang Rey. Dengan satu napas panjang, mantan guru BK itu mengatakan yang sejujurnya, “Itulah dia, laki-laki yang tempo hari berusaha memperkosaku. Sama sekali tidak menyangka ketemu dia di sini. Aduuuh pait, pait, pait. Itu tadi yang namanya Reynaldi.”
Ara terbelalak. “Dia!? Dia itu yang namanya Reynaldi?”
Sembari mengingat sosok Reynaldi yang baru saja meninggalkan area makan, tunangan Deka itu segera merangkai benang dan simpul. Reynaldi – guru olahraga, ganteng tapi cabul, suka perkosa cewek. Semuanya masuk ke sosok yang pernah diceritakan oleh Rania padanya. Jangan-jangan dia orang yang sama seperti yang dimaksud oleh Rania? Jangan-jangan dia yang bertanggung jawab terhadap kematian Roy? Inikah orangnya yang mereka cari selama ini?
Ara segera bertindak.
“Kita harus cepat! Tidak boleh buang waktu. Ada kemungkinan itu orang yang sama yang mencelakai Roy dan tahu di mana jasadnya berada.” Ara mengomando, “Bu Asty, aku minta ibu ikut aku untuk ketemu dengan Rania – kita akan mencocokkan data tentang Reynaldi. Seharusnya memang bisa lewat VC saja, tapi sepertinya lebih pasti kalau ketemuan langsung. Kebetulan Rumah Sakit tempat kerja Rania tidak jauh dari sini. Mudah-mudahan saja dia sedang
shift jaga. Kalau memang benar dia orangnya – kita punya petunjuk yang tepat dan memberitahukannya ke Lima Jari.” Gadis itu mengatur strategi.
Hanna dan Kinan saling berpandangan, mereka juga sudah mendengar kabar tentang sahabat Nanto itu, kalau memang ternyata benar orang ini yang mereka cari-cari selama ini, maka mereka bisa membantu Nanto dan Lima Jari!
Ara menatap Asty. “Ibu ikut aku ya. Ini masalah nasib mendiang Roy.”
“Baiklah. Mudah-mudahan aku bisa membantu.”
“Kalian berdua – Hanna dan Kinan, coba pelan-pelan amati kepergian Reynaldi, perhatikan dari jauh dan hati-hati. Pastikan dia tidak mengikuti kami berdua, pastikan juga dia tidak tahu kalian mengamatinya. Dia butuh dijauhkan dari Bu Asty. Aku tidak ingin dia tahu kalau kita semua punya koneksi dengan Rania juga.”
“Baik, Kak.” Kali ini Kinan mengangguk dan setuju dengan usulan Ara. Kalau sudah begini, mereka berempat jadi kompak. Saat menghadapi musuh yang sama, lawan pun bisa jadi kawan.
The enemy of your enemy is a friend.
“Hanna?”
“Siap.” Hanna juga mengangguk.
Kinan dan Hanna segera bangkit dan akan mencoba mengawasi sang durjana yang diperkirakan masih berada di
basement parkir, sementara Asty dan Ara naik ke atas menuju ke lobby untuk buru-buru memesan taksi online demi menuju ke Rumah Sakit tempat Rania bekerja. Semua benang
bundet dan tali simpul yang ruwet ini akan segera terurai. Mereka akan segera tahu bagaimana nasib Roy sesungguhnya dan siapa yang bertanggung jawab!
Di
basement dua, Hanna dan Kinan berjalan bersama di parkiran mobil. Ruang parkir sebenarnya tidak terlalu luas, tapi juga entah kenapa teramat sepi siang ini – mungkin karena masyarakat lebih tertarik dengan mal-mal baru yang lebih besar,
Gilaria memang termasuk mal lama di kota. Beberapa mobil berkumpul di spot yang dekat dengan
lift dan tangga turun, sementara ruang yang lebih luas dibiarkan kosong.
“Kemana dia tadi?” tanya Hanna celingukan.
Kinan menggelengkan kepala. “Tidak kelihatan ya? Tidak ada siapa-siapa sama sekali di sini. Jangan-jangan sudah pergi? Aku sih belum lihat orangnya seperti apa.”
Hanna menggangguk dan merangkul Kinan. “Omong-omong, bagaimana keadaanmu? Menyelesaikan masalah seperti tadi tidak berat kan? Jangan kepikiran terlalu banyak.”
“Tidak sih. Untungnya kita semua mencapai kesepahaman.”
“Memang kamu lah yang paling berhak jalan sama Mas Nanto, sayang. Mas Nanto sendiri juga jelas-jelas memilih jalan sama kamu. Jadi jangan khawatir. Aku pasti akan mendukungmu.” Hanna tersenyum, meski dalam hati ia sebenarnya sedikit merasa sedih karena juga menaruh asa pada si Bengal. Di sisi lain, Hanna sebenarnya kasihan dengan Kinan. “Ngomong-ngomong... apakah kamu sudah bilang sama dia soal yang pernah kita bicarakan di desa tempo hari?”
Kinan menunduk, “Belum. Belum ada kesempatan.”
“Lho? Gimana sih? Harusnya lebih cepat. Ini keadaan yang tidak main-main dan tidak biasa-biasa saja lho. Bagaimana kondisimu?”
Kinan menyentuh dada kiri atasnya. “Jujur rasanya mau copot, detaknya tidak normal. Deg-degan banget. Aku harus bagaimana ya? Aku takut dia tidak akan sanggup menerima kenyataan. Kalau...”
Hanna menggeleng kepala. “Jangan takut. Bicarakan baik-baik dengannya. Semua pasti ada solusinya, yang penting dicoba dulu.”
Kinan mengangguk sedih. “Aku takut dia akan... ini kan bukan berita baik...”
“Yang penting bicara dulu. Kamu sudah ke dokter?”
Kinan menggeleng lagi. “Aku takut.”
“Duh gimana sih, lebih cepat lebih baik. Sampaikan saja apa keluhan-keluhanmu. Mudah-mudahan semua akan menjadi lebih baik kalau cepat ditangani dan...” Hanna terhenti di depan sebuah mobil yang amat ia kenali. “Eh, mobil ini kan mobil...”
Ck!
Tangan Hanna dicengkeram tiba-tiba oleh seorang pria! Mengetahui bahaya yang tiba-tiba, Hanna mendorong Kinan sampai terjatuh untuk menyelamatkannya.
Hanna berteriak. Ia mencoba melawan, tapi pria yang mencengkeram pergelangan tangannya jauh lebih kuat. Sepertinya ada tenaga dalam yang terlibat. Dengan cekatan orang itu menyeret Hanna menjauh dari Kinan. Hanna meronta-ronta sebisanya. Sayang ia tidak diajarkan bagaimana melepaskan diri dari cengkraman tangan pengguna Ki.
Hanna menatap sengit sang lelaki yang telah mencengkeram tangan dan menyeretnya.
Orang itu... Reynaldi.
“Aku paling benci ditolak apalagi ditendang sama cewek – seharusnya hari ini aku bisa bersenang-senang dengan wanita idamanku, tapi kamu gagalkan. Mungkin seharusnya aku mengejar dia sampai dapat. Tapi hari ini pengecualian karena kamu sangat cantik, aku jadi tergoda. Badanmu yang seksi itu sepertinya enak dientotin dan lezat dijilatin. Kalau Asty menolakku, maka kamu cocok menggantikannya seharian ini. Ikut aku, sayang. Akan aku berikan kenikmatan yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya.” Reynaldi tersenyum. Ia mencengkeram pergelangan tangan Hanna dengan kencang dan menariknya ke arah mobil sang durjana.
Hanna berteriak, ia berusaha meronta, tapi tangannya dipelintir ke belakang oleh Rey.
Hanna menatap ke arah Kinan yang tergeletak di lantai parkir.
Kinan terbelalak menyaksikan apa yang terjadi begitu cepatnya. Ia buru-buru berdiri dan mengejar Rey yang melarikan Hanna, tapi sebelum sampai di posisi di mana keduanya berada, seorang pria sudah terlebih dahulu mencengkeram pundak Reynaldi.
“Lepaskan dia, bangsat.”
Pria itu berdiri tegap dengan wajah geram. Dengan tanpa takut menatap dan menantang langsung sang durjana. “Tenanglah Hanna. Aku di sini.”
Rey mendengus kesal, ia menyalakan Ki-nya. “Beneran cari mati.”
“Untuk terakhir kalinya. Lepaskan dia.”
Kedua pria itu berhadapan.
Rey belum melepaskan tangan Hanna.
Kinan bingung harus bagaimana. Jantungnya berdetak amat cepat. Lebih cepat, lebih cepat lagi, terlalu cepat. Lalu semuanya menjadi gelap.
Kinan ambruk dan pingsan.
BAGIAN 14-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 14-B