Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Suwun hu.... mantab tenan

Nanto semakin sangar... udah buka gerbang ke berapa nih.... masa sebagai mc nanto kurang op.... musuhnya buanyak yg kuat kuat lah kalo mcnya masih cecereye lama naiknya selak ambyar koyo rengginang ke jagongan...remuk jum

Lanjuuuuutttttt
 
Ter
BAGIAN 5-B
LIHAT DENGAR RASAKAN






Jay menggelengkan kepala.

Ampuh. Sampeyan pancen ampuh,” pria antik itu mengacungkan jempolnya sambil telentang di atas aspal, wajahnya biru lebam di sana sini, tapi dia tetap ceria luar biasa. “Sungguh pantas jadi panglima kelompok sebesar Dinasti Baru.”

Sebelumnya Jay lagi-lagi terjerembab ke aspal jalan setelah mencoba menyerang Amar Barok yang tetap tak bergeming. Walaupun dikeroyok oleh belasan orang sekaligus, Amar tetap berdiri tanpa luka, tanpa gores, tanpa peluh. Hanya sekali meraung, mereka tengkurap dan telentang di jalan seperti ikan dijereng di tepi pantai.

“Berhubung sampeyan ampuh, aku tidak akan menyerah menjadikan sampeyan panglima RKZ. Kekekeke.” Jay berdiri kembali. Setiap kali jatuh, dia selalu kembali berdiri. Bagian itu cukup mengagumkan darinya. “Aku tak akan berhenti sampai misiku berhasil.”

“Tidak.” Amar Barok mendengus.

“Brom.” Panggil Jay.

“Jay.”

Brom yang sempat terjatuh agak jauh dari Jay segera berlari kencang. Persahabatan kedua sosok ini cukup unik karena mereka bagaikan bisa membaca pikiran masing-masing. Tidak perlu banyak percakapan keduanya langsung bisa menterjemahkan apa maksud sahabatnya. Brom melompat tinggi saat sudah mencapai jarak dua meter dari Amar, dia lalu mengumpulkan tenaga besar dalam dua kepalan yang saling menangkup. Lompatannya tinggi, serangannya bertenaga.

King Kong Punch!

Amar menggeleng kepala. Lagi-lagi jurus ini, sampai kapan sih mau dicoba? Apa ya tidak kapok-kapok?

Bmmm!

Lagi-lagi gagal. Brom terlontar ke belakang karena pertahanan super dari sang singa dari Dinasti Baru. Brom terguling dan terlempar jauh, tapi kali ini sempat dihentikan oleh Jay yang berada tak jauh darinya. Keduanya segera bangkit dan dukungan belasan anggota RKZ ikut membantu mereka. Bukannya geram karena gagal, baik Jay maupun Brom malah tertawa bersama.

Amar tertegun.

Bukan karena serangan yang datang silih berganti, tapi karena pukulan terakhir Brom terasa mengguncang tubuhnya. Gila. Apakah mungkin pertahanannya menurun atau memang Brom semakin lama bisa meningkatkan kekuatan pukulannya? Memang tidak baik bertahan terus menerus seperti ini.

Amar melirik ke ujung jalan, posisinya sudah jauh dari bengkel. Dengan sengaja ia memancing Jay, Brom, dan belasan anggota RKZ jauh dari tempat Dinda sembunyi. Mudah-mudahan Deka bisa menangani sisanya. Sejak tadi sudah bertahan dan mengalah, saatnya menyerang.

Amar yang sejak awal duduk santai segera berdiri, Ki-nya menyala.

Jay memukul pundak Brom saat melihat Amar yang berdiri, “bruh – lihat itu. Dia mulai berdiri.”

Brom nyengir lebar, “apa ini artinya dia mulai serius?”

“Pasti.”

“Hohoho! Mantap!” Brom mengangkat telapak tangannya yang segera di-tos oleh Jay.

Keduanya bersiap-siap untuk menghadapi Amar Barok. Belasan pasukan di belakang mereka juga bersiap. Tapi belum lagi mereka bergerak, terdengar teriakan-teriakan dari bagian belakang. Blokade RKZ ke jalur Jalan Manggar dibuka dengan paksa. Mereka berdua pun menjadi terpecah konsentrasinya.

“Hahahahaha! Pintu theater dua telah dibukaaaa! Yang zudah memiliki tiket tanda mazuk, harap zegera memazuki ruangan theater dua. Hahahaha.” seorang pria bertubuh raksasa dan berambut keriting ala flower datang dengan membanting satu persatu tubuh penjaga blokade jalan. “Ayo maju zemuaaaa! Zini zatu-zatu!”

Pria yang baru datang itu tentunya adalah Hageng - sang T-Rex dari Lima Jari, Aliansi, dan Sonoz. Pemuja puisi, makanan enak, dan gulat WWE.

Dua penjaga blokade roboh oleh Hageng.

Yang ketiga datang berlari untuk menyerang sang raksasa, begitu orang itu sampai di dekat Hageng, sang T-Rex malah berkelit ke samping kanan, memutar badan sehingga keduanya sama-sama menghadap ke arah yang sama, lalu merunduk, dan melingkarkan tangannya ke samping untuk mengunci pinggang belakang sang lawan.

Preman RKZ itu tentu terkejut dengan gerakan cepat Hageng dan berteriak-teriak, tapi terlambat. Sang T-Rex sudah berdiri sempurna dan kokoh, tangan kanannya mengunci pinggang, tangan kiri menggamit paha kiri sang lawan untuk mengangkatnya. Dengan cekatan Hageng melompat sembari mengangkat lawan tepat di tempat ia berdiri, dan menjatuhkan lawan ke aspal sekuat tenaga.

Sidewalk Slam!

Bruuuuukghhh!


Remuk punggung sang anggota RKZ! Dia mengaduh sembari berguling-guling memegang punggung.

Lawan berikutnya datang menyerang Hageng dengan berlari kencang. Dia mengudara dan bersiap untuk menghajar Hageng dari atas. Sang T-Rex tertawa-tawa saja, dia menyorongkan lengan tangan kanannya yang besar ke depan, hinggap tepat di bagian dada paling atas lawan – perbatasan antara dada dan leher.

“Hkghh!”

Sang lawan kaget dengan sergapan Hageng, ia terhenyak, napasnya tersedak. Belum lagi ia mengubah gerak, tubuhnya terangkat dan kakinya tak lagi bisa menapak. Hageng mengubah posisi lengan lawan ke atas pundak, mengangkat punggung sampai ke atas sebelum akhirnya membanting tubuh lawan dengan sekali sentak! Punggungnya terhampar aspal, terasa berderak, mengkhawatirkan karena terdengar bunyi krak.

Chokeslam!

Bruuuugkkkhhh!!


Empat lawan sudah ia selesaikan! Mana lagi!?

Sebenarnya Hageng tidak perlu meminta karena tak lama kemudian kroco-kroco RKZ segera menganggapnya ancaman dan mengerubutinya. Bagaimana sang T-Rex menghadapi banyak lawan sekaligus?

Tidak perlu sepertinya.

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar!

Bledaaaaaam! Bledaaaaaaaaaaaam!


Raungan Singa Emas yang dilepaskan Amar Barok menghempaskan lawan-lawan Hageng sekaligus kroco-kroco di hadapannya hanya dengan sekali tarikan. Para anggota RKZ bergelimpangan di aspal, ambruk tanpa daya. Hageng tertawa senang sembari mendekati Amar yang berdiri tegap.

“Wahahahahahah! Zukzez bezar! Memang mantep jurus zampeyan, Bang Amar! Keren abiz! Apakah tadi malam makan pete? Karena zecara ampuh biza menghazilkan damage yang luar biaza begini? Apakah efek yang zama juga biza dilakukan zetelah makan jengkol?”

“Hehe. Wedhus! Gimana kabare, Geng? Lama ga ketemu.”

Amar dan Hageng saling bersalaman. Semua anggota Lima Jari sering bermain ke rumah Deka, jadi otomatis mereka semua kenal dengan Amar Barok meski tidak terlampau akrab. Satu-satunya anggota Lima Jari yang sering membuat Amar Barok nyengir dan bisa santai hanyalah Hageng. Salah satu alasannya adalah karena Hageng punya gaya bicara khas dengan huruf Z yang selalu membuat Amar terkekeh.

“Ziapa mereka ini, Bang?”

“RKZ. Rekozo, rombongan begal yang katanya dibentuk sama orang-orang pendatang. Mereka tidak punya markas dan lebih sering beroperasi di ringroad selatan. Sangat meresahkan masyarakat karena aksi penjambretan dan kekerasan yang dilakukan tanpa mengenal dan memilih-milih korban.”

“Ringroad zelatan?”

“Betul, makanya aku heran kenapa mereka hari ini nongol di kawasan tengah. Entah ada agenda apa mereka ini. Bilang ke Nanto kalau dia harus berhati-hati saat berhadapan dengan RKZ, karena aku curiga dengan motif mereka. Benar-benar kelompok yang tidak jelas dan berbahaya, entah bagaimana caranya mereka bisa mengumpulkan anggota sebanyak ini dalam waktu singkat dan langsung punya punggawa-punggawa yang lumayan mumpuni.”

“Begitu ya.” Hageng manggut-manggut.

“Paham kan apa yang baru saja aku ceritakan?”

“Tidak zih.”

Wedhus.

“Wekekekekek.”

Percakapan keduanya terputus ketika serangan kembali datang. Kali ini dua punggawa RKZ yang secara langsung menyerang. Adalah Jay dan Brom yang mendekat kembali ke Amar Barok, masing-masing menyerang dari dua arah yang berbeda. Kanan dan kiri.

“Aku yang kiri!” Hageng melesat, ia mengincar Brom yang berbadan besar – cocok dijadikan sparring partner. Sang T-Rex berlari dan meloncat ke jalur Brom, dia tidak berlari begitu saja, Hageng berlari sembari sedikit menunduk, ia mengincar bagian tengah badan Brom. Brom yang tidak memperkirakan serangan Hageng tersentak oleh serangan sang T-Rex. Rusuknya bagai remuk total saat pundak Hageng datang seperti hendak mematahkannya hingga berkeping-keping. Rasanya bagai ditabrak truk.

Goldberg’s Spear!

Brom terhentak ke belakang, terdorong oleh kekuatan besar Hageng. Tentu dia tidak akan menyerah begitu saja! Saat terdorong ke belakang oleh kekuatan spear sang T-Rex, Brom melepaskan satu serangan andalan. “King Kong Punch!

Dua kepalan tangan disatukan, diangkat ke atas kepala, lalu dihantamkan ke bawah sekuat tenaga.

Blaaaaam!

Punggung Hageng tersambar serangan Brom dengan kencangnya. Sang T-Rex jatuh berdebam dan terguling bersamaan dengan punggung Brom terhampar aspal di belakang. Keduanya sama-sama terbanting ke bawah dengan keras.

Brom mengerang kesakitan sembari mengernyit dan memejamkan mata. Untuk pertama kalinya hari ini, dia tidak menebarkan senyuman. Dia berguling-guling sembari memegang punggung dengan lenguhan dan erangan menahan nyeri. Tapi serangan sekali saja tidak akan membuatnya terkapar tak berdaya. RKZ tidak akan jatuh dengan mudah. Jatuh sekali, bangkit dua kali.

Tangan kiri Brom menapak aspal jalan. Lalu tangan kanan. Lalu mengangkat badan sekuat tenaga. Dengan usaha keras dia mencoba bangkit.

Ada bayangan di depannya.

“Tetaplah di bawah, zobat.” Hageng menyeringai. Dia sudah berdiri gagah di depan Brom. Hageng mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi di samping dada, lalu memutar-mutarnya dengan jemari mengepal. Ia mempraktekkan penyaluran Ki seperti yang sempat diajarkan oleh Simon – memang tidak mudah dan tidak cepat dikuasai, dia juga tidak yakin serangannya akan bisa menghasilkan apa yang dia inginkan, tapi tidak ada salahnya mencoba. Ini dia serangan jurus barunya yang diberi nama super keren! Pukulan Palu Dewa Petir! Wuhu! Keren sekali namanya!!

“Heaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Hageng melepaskan kepalannya ke dada Brom.

Bk.

Ha?

Tangan Hageng menumbuk dada Brom dengan pelan.

Brom dan Hageng saling berpandangan. Rasa-rasanya ada yang aneh.

Krik. Krik. Krik.

“Kok tidak keluar ya?” Hageng bingung.

“Keluar apanya?” Brom juga bingung.

“Petir-petir gitu.”

“Memang bisa?”

“Zeharuznya zih biza kalau zezuai panduan. Pukulan ini pengembangan dari Pukulan Geledek yang zangat terkenal itu.”

“Ada yang salah mungkin caranya? Tapi masa iya keluar petir? Mengada-ada ah. Masa kayak komik? Harus menggabungkan Ki dan tenaga mentah dulu mungkin?”

“Iya ya? Kalau Ki zaja dengan pukulan pelan tidak biza?”

“Ya tidak bisa lah. Sepertinya harus pakai tenaga. Ki-nya disalurkan bersamaan dengan pukulan yang kencang. Kalau pelan begini kayak cuma nyolek aja kan? Ki juga harus disalurkan, seperti remote, baru bisa dipakai kalau menggunakan baterai. Jadi intinya, pukulannya harus kencang dan dibarengi aliran Ki besar pula.” Brom menjelaskan.

“Begitu ya?” Hageng manggut-manggut, “Ya... ya... zepertinya begitu baru benar.”

“Nah iya.”

“Brooooooooooooooom!!” Jay berteriak.

“Hageeeeeeeeeeeeeeng!!” Amar juga.

Brom dan Hageng menengok bersamaan ke arah Jay dan Amar sambil tersenyum, tapi ketika yang ditengok menatap mereka dengan pandangan marah, mereka sama-sama saling bertatapan kembali. Baik Brom maupun Hageng akhirnya tersadar kalau mereka sebenarnya berada di dua kubu yang berbeda dan melompat mundur berbarengan.

Koplak.

Brom yang pertama kali bergerak, ia segera berlari ke depan dan meloncat dengan satu tendangan terprojeksi ke arah wajah Hageng. Sang T-Rex tentu saja mengelak ke samping, menyiapkan kepalan tangan, dan memutar lengannya dengan kencang.

Hageng menumbuk punggung Brom sekuat tenaga.

Bkgh!

Brom terjorok ke depan. Kakinya menjejak dengan kencang, dan ia bisa berbalik cepat. Kepalannya dilontarkan berlawanan dengan jarum jam seiring putaran pinggangnya ke belakang, menghajar wajah Hageng! Pukulan cepat mengagetkannya. Sang T-Rex tergeser ke kanan.

Bkgh!

Hageng memutar kembali tangan kanannya, lalu melecutkannya ke wajah Brom yang belum sempurna berputar. “Ini juruz barukuuuuuuu!!!”

Beeeeekgh!

Brom terdorong lagi, tapi kakinya lagi-lagi teguh menapak. Tidak akan dia terjatuh oleh pukulan setengah matang seperti itu! Brom menatap Hageng dengan sengit, ia mengumpulkan tenaga besar di kepalan tangannya, lalu menghantam kencang dagu Hageng dengan satu pukulan sekuat mungkin!

“Jurus baru apaan! Yang tadi cuma pukulan biasa! Ini baru jurus mumpuni! King Kong Smash!

Buuuaaaakghhh!

Hageng terlontar ke belakang, ia jatuh berguling, dan berdebam. Sekujur badan nyeri bukan kepalang, rahang bagai hendak lepas, punggung terasa panas, tapi demi apa dia akan menyerah? Sang raksasa segera melompat untuk bangkit. Baru saja berdiri, dia sudah merasakan angin dari atas. Brom rupanya menggunakan kesempatan untuk melompat. Dua kepalan ditangkup, tangannya berada di atas, siap dihempaskan.

King Kong Punch!

Hageng tidak bergerak, bukan karena kagum atau terpaku – tapi karena ingin menerimanya secara langsung. Ia memutar-mutar tangan, menyiapkannya untuk satu ledakan. Jika Brom sepertinya sudah bisa mengalirkan Ki ke pukulannya – Hageng kebalikannya. Ada perbedaaan kemampuan diantara mereka. Yang Hageng miliki saat ini adalah semangat pantang menyerah.

Sang T-Rex melontarkan pukulan dengan kekuatan penuh!

“Heaaaaaaaaaaarrrrghhhh!”

Buuuaaaakghhh!

Pukulan Hageng telak mengenai wajah Brom, sesaat lebih cepat dibandingkan pukulan andalan Brom. Sang raksasa RKZ tumbang ke belakang setelah kepalan Hageng masuk ke pipi kirinya dengan telak. Pukulan Hageng jelas belum memiliki Ki, tapi yang namanya pukulan tetap saja sakit.

Brom tumbang. Ia mengernyit kesakitan dan berusaha keras berdiri.

Hageng berlari mendekat ke arah Brom yang tentu sudah bangkit kembali. Brom melayangkan pukulan tapi dengan mudah dihindari oleh sang T-Rex. Dia menunduk, mengelak, dan lepas dari sergapan sehingga kini berada tepat di belakang Brom. Begitu sampai di belakang Brom, Hageng melompat dan mengunci leher dan kepala sang lawan dengan menggunakan sepasang lengan berukuran ekstra miliknya.

Sleeper Choke Hold!

“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkgh!”

Tangan besar Hageng tidak main-main, ia menekan dan menguci leher Brom dengan sangat ketat. Suara sang King Kong yang tercekik tidak nyaman didengarkan. Hageng sebenarnya segan karena dia menganggap Brom tidak seburuk yang terlihat saat ini. Dia pasti punya cerita dan latar belakang yang menarik. Dengan sengaja, meski tetap menahan kepala lawan dengan kucian yang kuat – Hageng sedikit melonggarkan kunciannya pada leher agar Brom bisa berbicara dengan bebas.

“Ayolah. Aku tidak mau melakukan ini, kita bisa zaja zuatu zaat nanti bertemu di jalan dan minum wedang zecang atau minum zuzu kacang, atau leyeh-leyeh zambil makan zop ayam. Bagaimana kalau kita hentikan zaja zekarang zemuanya?” ucap Hageng yang berusaha keras menahan lengannya tetap berada di leher Brom. “Kamu zangat kuat, aku kagum. Di kezempatan lain, kita biza menjadi kawan.”

“Hehehehe, tidak ada sejarahnya RKZ menyerah. Kalau kami punya tujuan, maka kami akan memastikan tujuan itu tercapai – jika tidak tercapai, maka lebih baik kami mati mencoba mencapainya, daripada hidup tanpa mendapatkan hasil yang diinginkan.” Brom mencoba meronta dan menarik lengan Hageng yang membuat napasnya amat sesak. Apa yang diucapkan raksasa yang gemar senyum itu memang benar, itulah motto RKZ – lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercemin bangkai. “Kami punya kekuatan besar yang selama ini tersembunyi di bawah tanah, jauh dari hiruk pikuk semesta yang kalian kenal. Inilah saatnya kami tampil ke permukaan untuk membumihanguskan semua yang merasa hebat dan besar.”

“Lalu apa? Zemua itu fana dan tidak ada akhirnya. Yang bezar mengalahkan yang kecil, yang kuat mengalahkan yang lemah. Begitu teruz zampai zang zurya tak lagi berzinar. Itu zemua percuma. Di ataz langit pazti mazih ada langit.”

“Benar, tapi kamilah langit yang ada di atas kalian. Kalau kamu mengira ini kekuatan sesungguhnya dari RKZ, maka bersiaplah untuk terkejut. Karena kami akan mengagetkanmu dengan rencana besar kami di kemudian hari. Hehehe.” Tawa Brom tidak berlangsung lama, dia mulai sesak napas, gencetan lengan di lehernya yang tak kunjung lepas membuat pria yang terus saja tersenyum itu mulai memerah dan tenaganya mulai habis. Sepuluh detik masa kritis Brom dimulai dari sekarang!

“Waktunya bicara sudah habiz,” ujar Hageng, “zekarang waktunya tid...”

Heads up!

Hageng mendongak dan di depannya, sepasang tapak sepatu melaju kencang menuju ke wajahnya.

Buoooooogkkkkh!

Tendangan kaki ganda yang muncul tiba-tiba membuat Hageng terlempar ke belakang dan terguling. Kencangnya tendangan bahkan berhasil memecah bibir dan membuat hidungnya terbongkar meneteskan darah.

Terguling di aspal bukan hal yang menyenangkan. Hageng menggunakan kekuatan kakinya untuk kembali berdiri dan melompat ke depan. Sang T-Rex berdiri dengan dua kaki menapak kuat di atas aspal jalan. Dia tersenyum ke depan dan mendapati Jay tengah membantu Brom berdiri. Brom memegang lehernya yang kesakitan, ia memandang Hageng dengan pandangan sengit – tapi kemudian berubah ramah dan tersenyum lebar.

Huff. Ini bakal jadi pertarungan yang seimbang dan melelahkan. Para petarung dari kedua sisi sama sekali tidak tahu caranya mengalah dan menyerah.

Meski Jay dan Brom sama-sama tahu mereka tengah terjebak di antara Hageng dan Amar Barok dan bagaimana keduanya bukan lawan yang bisa dianggap remeh, sikap mereka berbanding terbalik dengan situasi yang tengah dihadapi. Jay tertawa-tawa, bahkan melakukan tos dengan Brom.

“Ini sangat seru!” ujar sahabat Brom itu.

Hageng mengerutkan kening.

Apa-apaan mereka ini?





.::..::..::..::.





Bian yang sedang dicari-cari oleh Roy ternyata sudah berada di sisi lain arena, ia tengah berhadapan dengan lawannya yang kesekian yang ternyata cukup alot. Keduanya sama-sama bertarung dengan tipe boxer, keduanya sama-sama mampu mengatasi gerakan andalan orang yang mereka hadapi. Meski kroco, tapi lawan Bian kali ini cukup membuatnya kerepotan. Gerakan lawan cukup tangkas dan susah ditebak – tapi susah bukan berarti tidak mungkin, masih ada kesempatan untuk menjatuhkannya.

Pukulan Bian kembali terelakkan ketika lawan menggoyang badan ke kanan kiri seperti petinju profesional.

Sang anggota RKZ mencoba merangsek maju usai Bian kehilangan momentum, tapi si bandel tetap di atas angin setelah dia berhasil mengubah langkahnya menjadi ganjil dan memutus ritme lawan. Tekniknya itu ternyata berhasil, langkah kaki lawan menjadi kagok.

Bian yang tahu lawan mulai kebingungan segera memanfaatkan situasi. Badannya terputar sedikit, ia memusatkan badai serangannya pada kaki yang kokoh dan putaran pinggang kencang. Satu back hook melesat dan menghajar pipi kanan sang anggota RKZ.

“Aku ingin begini!”

Jblagkkhh!

Lawan terdorong ke kiri, sempoyongan, oleng, tak lagi balance. Kesempatan buat Bian untuk menyusul serangan itu dengan jab ke wajah lawan. “Aku ingin begitu!!”

Jblagkkhh!

Serangan susulan itu membuat lawan yang ulet roboh ke belakang. Bian tak ingin lawan segera bangkit. Ia menyepak kepala sang anggota RKZ dengan kencang! Lalu lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. “Ingin ini ingin itu banyak sekali!!”

Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh!

Lawan Bian benar-benar sudah tak lagi berdaya. Wajahnya terbongkar dengan darah muncrat kemana-mana. Ia sudah finish dengan napas tersengal dan tubuh lemas.

Tapi satu terbilang, yang berikutnya datang, bagai kocheng oren sekampung yang datang untuk jatah ikan asin. Sang lawan yang baru datang langsung melompat untuk menyergap Bian. Si bandel tak siap menerima serangan yang tiba-tiba.

Buooogkh!

Bian terpapar, kepalan lawan masuk ke wajah, ia roboh, dan bibirnya pecah. Bajingaaaak. Si bandel sengaja membiarkan diri terjengkang dan tidak segera bangkit untuk memancing lawan datang. Benar saja, anggota RKZ benar-benar datang untuk menuntaskan pekerjaan. Tapi sang pekerjaan itu justru memanfaatkan kakinya untuk menyodok lutut sang lawan yang baru datang!

Keseimbangan lawan Bian hilang dan jatuh ke samping. Bian berguling dan menggeser badan untuk mendekati lawan. Ia menjambak rambut lawannya yang panjang dan melepaskan pukulan beruntun ke wajah tanpa sempat ditahan dengan lengan atau kaki. Tumbukan bertubi diledakkan.

Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh!

Begitu kencangnya pukulan Bian sampai-sampai tercerabut rambut sang lawan yang ia jambak. Lawan Bian pingsan dengan wajah penuh darah. Kepalan si bandel bercak merah tak karuan, dia mengelap tangannya ke baju putih lawan. Huff. Napas Bian mulai tersengal, sesak di dada sedikit terasa. Sompret, ia tak sempat lagi menghitung ini lawan yang ke berapa. Ia pun segera berdiri untuk mencari Roy.

Buooogkh!

Satu serangan kencang di wajah Bian menambah muncratnya darah di wajah si Bandel, hidungnya terpapar. Ia terlontar ke belakang dan jatuh terguling. Sungguh sangat telak serangan terakhir di wajah Bian. Yang baru datang untuk menyerang Bian bukan lagi kroco-kroco seperti sebelumnya. Dia adalah Agun – salah satu Capo RKZ yang punya peran seperti seorang kapten.

Bian yang terengah-engah kembali bangkit dengan mata nyalang. Si bandel gundul itu menghapus darah dengan punggung tangan, dan tersenyum sinis. “Datang tak diundang, pulang tak diantar. Orang seperti kamu lebih cocok ditanam di kuburan.”

“Bangsaaat! Masih saja bacot! Woryaaaaaaaaaaaaaa!!” Agun mendesak Bian.

Secara bentuk badan dan proporsi tubuh, Agun dan Bian bisa dibilang setara, dari tinggi, kegempalan, dan bentuk kepala yang sama-sama gundul. Bedanya, Agun mengenakan ikat kepala warna putih, dan tato di tubuh Bian lebih banyak. Secara kemampuan keduanya juga memiliki style bertarung yang hampir mirip – tipe boxer sama-sama menggunakan kepalan sebagai senjata.

Bian sedikit meremehkan kemampuan gerak Agun yang memiliki kesan lambat, padahal sesungguhnya cukup taktis. Dia tidak akan bergerak tanpa perhitungan, dan itu sangat efektif. Desir angin dan hembusan udara dingin pagi yang muncul bagai menghadapkan dua koboi di tengah jalan kota. Si kunyuk Agun punya pukulan yang kencang, keras, dan tajam.

Keduanya maju untuk beradu.

Lagi-lagi Agun lebih cepat, pukulannya telak mengenai hidung Bian yang sudah merah darah karena terbongkar. Si bandel mundul beberapa langkah, tapi segera menggoyang kepala dan maju untuk melepas jab kencang ke wajah Agun.

Jblagkkhh!

Begitu cepatnya tukar pukulan berlangsung sehingga keduanya tak sempat berimprovisasi atau menahan serangan lawan, Bian bahkan tak sempat mengeluarkan kalimat-kalimat khas-nya. Setiap pukulan Bian dibalas Agun, dan setiap sergapan Agun langsung dibalik oleh Bian. Seimbang adalah kata paling tepat menggambarkan kedua petarung. Hantam sekali balas sekali, begitu dijual langsung dibeli.

Napas Bian kembang kempis, untung Agun juga sama saja kondisinya. Keduanya sama-sama mundur beberapa langkah karena kelelahan.

Bian kembali menghapus darah yang makin deras menghias wajahnya. Hal yang sama juga terjadi pada Agun, dia melontarkan ludah bercampur darah. Bian mengangguk dan bersiap kembali dengan pose tinju, sebagaimana Agun melakukan hal yang sama. Keduanya saling pandang, saling lirik dan saling senyum sinis. Mengakui keunggulan dan kemampuan masing-masing.

Keduanya maju bersamaan, Agun menyerang terlebih dahulu. Pukulan beruntun bak senapan mesin. Setiap sergapan punya kekuatan besar dan sengatannya membuat beberapa kali Bian mundur karena perih. Sekali dua kali memang serangan Agun tak terhindarkan, namun di luar itu Bian berhasil menangkisnya.

Bian merubah strategi, dia tidak lagi bertukar pukulan, kali ini dia membiarkan Agun merasa di atas angin dengan sementara tidak membalas, dia ingin membiasakan diri dengan arus dan cara main sang lawan. Bangsat satu ini menyerbu bak seekor banteng menyerang matador, buas sekali. Tapi ada kalanya dia mengambil jeda untuk merubah posisi kaki dan jalur kepalan. Kenapa? Apa karena Kelelahan? Jeda itu bisa dimanfaatkan! Bian mulai membaca cara Agun bertarung dan menyusun rencana.

Dugaan Bian benar, tak lama setelah menyerang, Agun merubah posisi kaki, memberi jeda beberapa detik untuk Bian bersiap.

Beberapa saat kemudian si bandel menjalankan aksinya.

Usai jeda yang ia ambil, dua pukulan beruntun dilesakkan oleh Agun ke badan Bian, satu lagi ditepis dengan tangan, tapi yang satu lagi dihindarkan ke kiri. Tubuh sang punggawa RKZ itu lantas terjorok ke depan karena kekuatan pukulannya sendiri yang gagal menemui sasaran. Lutut Bian beraksi, merangsek masuk ke perut Agun.

“Hkghhhh!” Agun mundur beberapa langkah ke belakang dengan perut bak menelan granat tangan. Rupa-rupanya lutut Bian masuk dengan telak.

Bian tersenyum. Huff. Bagus, serangannya kena sasaran. Tinggal tindak lanjut! Bian maju menyerbu, kepalan tangannya kembali beraksi.

Jblagkh! Jblagkh!

Dua pukulan Bian kembali menyengat, Agun mulai goyah. Tubuhnya sempoyongan. Kalau ada kesempatan terbaik untuk Bian maka inilah saatnya! Bian mendekati Agun dan memberondongnya dengan pukulan bertubi ke arah wajah! “Boku woooo! Tsureteee! Susumeeeee!!!

Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh!

Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah.

Semua serangan Bian masuk, Agun benar-benar sudah kepayahan sehingga untuk mengangkat tangan demi melindungi diri pun tak dapat ia lakukan.

Agun akhirnya roboh di depan Bian yang tersengal-sengal.

Bian mendengus. “Player one wins.”





.::..::..::..::.





Deka menatap ngeri saat Gamal bersiap membuka pintu bengkel Amar.

Dia tidak bisa segera bertindak karena gelombang serangan Galung membuatnya makin jauh dari posisi semula. Bangsaaaaaat! Jangan sampai mereka dapat menemukan Dinda! Deka yang kehilangan fokus membuat serangannya mengendur.

Sbkgh! Sbkgh! Sbkgh!

Tiga sodokan tangan Galung membuat Deka terdesak ke tembok yang jauh dari bengkel. Meski perih tapi serangan itu tidak membuat Deka terluka berkat jurus pelindungnya yang nomor satu.

“Bukaaa bengkelnyaaaaaaaaa!!” teriak Galung sambil tertawa-tawa.

“Bangsaaaaaaaat!”

Deka mulai putus asa. Apalagi dia juga tak berhasil menemukan Amar dimana-mana. Kemana kakaknya itu? Sepertinya Amar sengaja menjauh dari bengkel agar dia dan Dinda dapat selamat. Tapi karena jumlah lawan terlalu banyak dan mereka menyebar, Deka tetap saja gagal melindungi Dinda.

“Bajingaaaaaaaaaan!!” Deka kebingungan.

Kalau saja kemampuan serangnya sepadan dengan kemampuan pertahanannya, maka dia tidak akan terdesak seperti ini. Beginilah kalau lalai berlatih. Dia harus benar-benar mempertimbangkan belajar dengan Pakdhe Wid setelah semua masalah ini selesai.

Pandangan mata Deka tak pernah lepas dari Gamal yang mulai berhasil membuka pintu bengkel. Dia makin khawatir saat Gamal masuk ke bengkel dan terdengar teriakan Dinda dari dalam. Deka mengamuk, tarian nunchaku-nya bak kesetanan. Tapi dia tetap tidak bisa melewati Galung yang ternyata cukup mumpuni, pantas saja dia didapuk menjadi seorang Capo.

“Hraaaaaaaaaaaaaghhhh!” Deka menyodok ke depan.

Sbkgh! Sbkgh! Sbkgh!

Galung kembali mendorongnya ke belakang.

Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya?

“Fokusmu seharusnya di sini. Bukan di sana.” Tukas Galung mengingatkan. “Mulai sekarang, biar kami yang mengurus lontemu.”

Deka tersedak saat kaki Galung menghunjam perutnya. Beruntunglah dia karena sekali lagi Perisai Genta Emas menyelamatkannya dari luka berat. Tapi Deka semakin terdesak dan sudah pasti tidak akan dapat menyelamatkan Dinda. Dia benar-benar putus asa.

Dia hanya bisa pasrah saat melihat tangan Dinda ditarik kasar oleh Gamal.

Seluruh nyawa Deka bagai lolos dari tubuhnya. Dia tidak akan pernah siapapun menyakiti orang yang dia sayangi, Dia tidak akan membiarkan Dinda disakiti Gamal seperti itu, tapi apapun yang ia lakukan rasanya percuma. Dia tidak bisa lepas dari Galung. Saat dia sudah sangat lemas, Perisai Genta Emas-nya mulai luntur.

Deka berteriak kesal.

Saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara lagi.

“Jangan khawatir. Serahkan padaku.”

Galung dan Deka sama-sama tertegun. Suara siapa barusan?

Kawulo namun saderma, mobah-mosik kersaing Hyang Sukmo.” Suara lirih itu tak terdengar siapapun. Sang bayangan melesat bak terbang meninggalkan Deka dan Galung.

Boom.

Mereka sama-sama menatap ke arah bengkel, seperti ada kelebat bayangan gelap yang bergerak teramat cepat menuju ke sana. Begitu cepatnya sehingga mereka sama sekali tidak dapat melihat sosok siapa itu.

Gamal yang sudah membuka rolling door bengkel mencoba menarik Dinda yang berjuang mati-matian dengan berpegang ke kaki meja bengkel. Untung saja meja itu cukup teguh membuat Dinda dapat bertahan sedikit lebih lama.

“Lepaskaaaan! Lepaasss!!” Dinda meronta, kakinya dijejak-jejakkan ke Gamal yang makin kesal.

“Dasar lonteeeeeeee!! Ayo keluaaaaaaar!!” Gamal memaki, pria berangasan itu mengangkat lengan dan siap memukul Dinda untuk menariknya keluar.

Tapi belum sempat ia melakukannya, sesosok bayangan bertopi muncul di hadapan Gamal. Preman itu terkesiap. Siapa orang ini...?

Angkara gung ing angga anggung gumulung.”

Bledaaaaaaam!

Gamal terlontar keluar dari bengkel hanya dengan satu pukulan ke dada. Ia terlempar sangat jauh, terguling, terlontar, dan terbanting berulang. Gamal terengah-engah saat menyadari dirinya sudah terkapar di aspal, ia mencoba bangkit tapi dadanya terasa amat sakit. Bibirnya juga pecah terantuk aspal berulang. Bajingaaaaan! Siapa orang itu!?

Begitu berdiri, ia menyaksikan pintu bengkel sudah ditutup kembali.

Ada satu sosok berdiri di sana.

Nanto.

Si Bengal membalik topi yang ia kenakan sehingga moncongnya berada di belakang, ia menekuk kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu menggemeretakkan jari-jemarinya dengan gerakan saling tangkup. Wajah tampannya yang bengal tersenyum bengis, membuat lawan kian jijik melihatnya.

Gamal mengelap darah yang mengucur dari bibirnya yang pecah dengan punggung tangan. Matanya nyalang ke sosok yang baru datang. Sok jagoan banget nih orang! Emang bisa apa dia? Yang barusan pasti cuma kebetulan! Tak akan ada dua kali!

Gamal terkekeh menganggap remeh, ia tersenyum sinis. “Kampret! Yang tadi tidak akan terulang lagi! Aku tidak akan lengah lagi! Cah ngendi kowe, nyuuuuuk!? Sopo jenengmu!? Siapa namamu!?”

“Namaku?” Nanto tersenyum, “Namaku Uvuvuvwevwevwe Onyetevwevwe Ugwemuhwem Osas.”

Gamal naik pitam, “Matamuuuu suuuuuuuu!!”

Sang preman RKZ bergerak maju, langkah kakinya zigzag. Ke kanan dan kiri, seperti kelinci berlari kegirangan di ladang wortel. Lompatannya tidak penuh, seakan hanya separuh saja ia menggunakan tenaga. Si Bengal geli melihatnya, mau nyerang aja kok repot amat. Nanto mempersiapkan diri, ia menggoyang kepalan. Untuk berhadapan dengan bedebah yang seperti ini dia tidak perlu membuka gerbang apapun. Gamal menyerang dengan gerakan yang terlalu terbuka, kemanapun ia menyerang, tubuhnya selalu memancarkan arah serangan. Telegraphic movement yang sangat terlihat.

Lihat saja sekarang, begitu sampai satu meter di depan Nanto, ia tiba-tiba menghentikan gerakan, tangan kanannya ditarik mundur, setengah badan atas berputar ke belakang, pinggang tetap pada posisinya – ini jelas menunjukkan arah serangan yaitu dari kiri...

Gampang sekali dibaca! Amatiran!

Awas kanan.

A-apa!? Gerbang pertama!? Nanto tertegun, secara reflek tangan kanannya terangkat untuk melindungi diri.

Benar saja. Meskipun gerakan tubuh dan posisi sang lawan seakan-akan menunjukkan bahwa dia akan menyerang bagian kanannya, tapi secara tiba-tiba kaki kiri Gamal naik ke atas tanpa kuda-kuda yang umum dan menghentak bagian kanan Nanto yang untungnya sudah mengangkat lengan sebagai perlindungan.

Bdkkkgh!

Lengan si bengal terhentak kuat, ia mundur setapak karena serangan tadi cukup tiba-tiba, tapi berkat mengangkat lengannya dia bisa bertahan. Gamal tentu saja terkejut bukan kepalang karena serangan mendadaknya gagal menemui sasaran. Bagaimana mungkin orang ini bisa menebak arah tendangannya? Hil yang mustahal! Tae gajah Bangkok! Gamal tidak terima! Ia meluncurkan serangan berikutnya dengan secepat mungkin sebelum orang ini sanggup menerka kembali!

Jika sebelumnya tendangan kaki kirinya gagal menemui sasaran, maka kali ini Gamal meluncurkan pukulan kanannya untuk menyerang. Tentu saja lagi-lagi pukulan itu hanya untuk mengelabui si Bengal, karena berikutnya kaki kiri Gamal kembali melaju kencang! Dia hendak menghancurkan selangkangan Nanto!

Tch. Stupid.”

Ha?

Gamal terbelalak saat menyadari kepalan tangan kanan si Bengal deras melaju ke arah wajahnya jauh lebih cepat dari serangannya yang manapun.

Bledaaaaaakghhh!

Gamal terlontar ke belakang dan terguling berulang.

“Kamu pikir serangan receh begitu bakal bisa digunakan berulang? Seamatir apa memangnya kamu ini?” Nanto menunduk seperti hendak berlari, lalu dalam sekejap mata sudah berada di sebelah Gamal. “Mereka yang beraninya mengeroyok biasanya cuma punya besar di bacot saja. Kucing kecil yang sok-sokan jadi macan.”

Gamal yang masih terbaring di aspal mencoba buru-buru bangkit dengan kesalnya. Niatnya tidak kesampaian. Tapak sepatu yang dikenakan si bengal langsung masuk ke wajahnya.

Jbkkkgghhh!

Gamal tersentak ke belakang, bagian belakang kepalanya terpapar aspal. Dia mencoba bergulir ke samping.

Sblkkghhhhkkk!

Sepakan kaki Nanto mampir ke wajah Gamal, menghajar kepalanya sekali lagi. Kepalanya terhempas aspal sangat kencang, membuat kepala teramat pening. Nanto mengejarnya tanpa ampun, si bengal melompat tinggi – begitu tinggi sehingga membuat Gamal terkejut. Dua kaki Nanto menyeruak masuk ke perut Gamal tanpa ampun. Punggawa RKZ itu terhenyak karena tulang rusuknya serasa remuk dihentak kekuatan besar dari atas.

“Haugkkkkkkhhhhh!”

Mulut Gamal mengeluarkan darah.

Nanto tidak berhenti.

Kakinya menginjak kepala Gamal sekali, dua kali, tiga, empat, lima, enam, tujuh kali!

Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh!

Sang punggawa RKZ itu habis.

“Hrr...” Gamal sudah tak mampu berucap, wajahnya terbongkar. Ia bahkan sudah tak lagi sadar ia di mana. Ia terkapar tak berdaya.

Sepertinya keduanya bukan lawan yang seimbang, Nanto dengan mudah dapat mengalahkan Gamal bahkan tanpa harus mengeluarkan Ki. Si bengal pun melangkah pergi meninggalkan Gamal yang sudah tak lagi dapat melawan dan terkulai lemas di atas aspal, hanya terdengar rintihan-rintihan pelan dari bibir.

Baru beberapa langkah Nanto berjalan untuk mendatangi rombongan RKZ yang bergerombol, tiba-tiba saja anggota-anggota RKZ itu membubarkan diri mereka. ada yang kabur menggunakan motor, ada yang langsung lari begitu saja. Nanto mengerutkan dahi. Apa gerangan yang terjadi? Mau kabur kemana orang-orang ini?

Sebagian yang terkapar segera dibantu untuk melarikan diri.

Ha?

Apakah sudah begini saja pertarungannya?

Kan dia baru datang?

“I-ini belum berakhir!” Gamal memaki sambil berjalan tertatih di kejauhan, ia bahkan harus dipandu oleh salah satu orang teman RKZ karena tak dapat melangkah dengan baik. Pria itu menatap Nanto dengan pandangan sengit. “Suatu saat nanti, akan aku buat kamu menyesal, bangsat! Ingat janjiku ini! Kita akan bertemu lagi dan di saat itu, akan kubuat kamu menyesal!!”

Mengagumkan bagaimana ia masih dapat berbicara dengan jelas padahal wajahnya banjir darah.

Gamal diboncengkan oleh rekannya dan mereka segera pergi dari tempat itu. Satu-persatu motor dan anggota RKZ pergi, entah apa yang terjadi karena mereka semua kabur dengan terburu-buru. Apa ada aparat datang?

Nanto menggaruk-garuk kepala. Kampret. Dia baru datang kok semua sudah pada kabur? Badalah. Masa cuma begini aja? Rugi bandar. Di tempat yang sama, sedikit jauh dari bengkel, Amar Barok dan Hageng juga ditinggalkan oleh Jay, Brom, dan kawanannya yang sejak tadi mengeroyok Amar tanpa hasil.

“Amar Barok. Kamu sangat menarik. Dikeroyok berapa orang pun tak tergoyahkan. Mantap jiwa sungguh.” Jay dan Brom berdiri di depan Amar dengan senyum aneh mereka. “Kami masih belum menyerah, suatu saat nanti kami harap kamu berdiri di sisi kami dan bukan melawan kami. Entah apakah itu artinya kami harus memaksa kamu atau kamu sendiri yang bersedia menyeberang ke RKZ. Hehehe. Sampai jumpa lagi, Amar.”

Amar mendengus. “Menyeberang ke RKZ? Jangan mimpi.”

“Ketua kami akan menemuimu, Amar. Bersiaplah. Ahhahahaha.” Jay tertawa-tawa sambil menaiki motornya bersama Brom. Mereka ikut dengan yang lain, pergi dari tempat itu secepat mereka datang. Suara tawa Jay masih terdengar bahkan ketika rombongan mereka lenyap di tikungan.

Amar menggelengkan kepala, dasar psikopat. Tidak ada gunanya memikirkan orang seperti dia, lebih baik merasa lega karena akhirnya gelombang serangan RKZ rampung juga. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba kabur. Dia sudah berusaha sebaik mungkin menjadikan dirinya target serangan yang tidak melawan demi menyelamatkan Deka dan Dinda.

Serangan dari RKZ pagi ini membuatnya berpikir. Mereka benar-benar kelompok yang misterius. Menyerang dengan model gerilya, bergerombol, main keroyok, datang dan pergi seenak wudel sendiri. Siapa mereka sebenarnya?

“Ma-Mas Amar tidak apa-apa?”

Suara seorang wanita mengagetkan Amar. Ketika dia berbalik, Dinda sudah berdiri di depannya. Amar lega melihat Dinda selamat. Tujuannya memilih lokasi yang makin jauh dari bengkel adalah untuk menjamin keselamatannya.

“Aku tidak apa-apa.” jawab Amar.

Dinda mendekat dan mengelap keringat dan luka Amar dengan tissue yang ia bawa. Amar tertegun sejenak, tapi kemudian terdiam. Ia menatap Dinda tanpa berkedip, dilihat dari jarak sedekat ini, gadis ini semakin bersinar kecantikannya, bahkan jika kondisinya kotor karena bersembunyi di bengkel yang punya banyak lelehan oli di sana sini.

Setelah beberapa saat, Amar memegang pergelangan tangan Dinda. Wajah gadis itu memerah, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, jarak mereka berdua sangat dekat.

“Sudah, cukup, aku tidak apa-apa.” kata Amar. “Pastikan Deka juga baik-baik saja.”

“I-iya, Mas.” Dinda mengangguk dan segera berbalik untuk menemui Deka.



Amar segera mengalihkan pandangan ke arah Deka dan kawan-kawannya. Lumayan juga mereka, sangat cepat bisa berkumpul di sini. Harus diapresiasi. Sang singa Dinasti Baru mendengus dengan senyum kecut dan berjalan menuju Nanto yang tengah beristirahat di tepian trotoar. Amar mengulurkan tangan, “terima kasih. Kalian lumayan juga.”

Nanto berdiri dan membalas salam dari Amar. “Sama-sama, Mas. Maaf aku agak telat, tapi yang lain sudah terlebih dahulu datang.”

Belum sempat berbicara banyak, tiba-tiba saja hadir motor-motor baru di tempat itu. Kedatangan mereka hanya terpaut beberapa saat dari kepergian RKZ, bisa jadi gara-gara mengetahui akan datangnya rombongan motor ini sehingga RKZ memutuskan untuk kabur. Dasar gerombolan banci pengecut!

Rombongan yang baru saja datang membawa pasukan untuk memenuhi jalanan, wajah mereka kesal dan ganas, seolah-olah tidak terima ada kelompok lain mengincar anggota utama kelompok mereka. Orang-orang ini tentunya adalah kawanan unit bermotor Dinasti Baru.

“Kalian terlambat,” Amar tersenyum. “Mereka sudah pergi dari sini.”

“Sengaja, Bang.” Sapa salah seorang anggota sambil memberikan salam pada Amar. Ia mengangkat botol minuman keras yang masih dibawa-bawanya. “Lotse lebih enak daripada perang. Kami juga tahu kamu tidak akan membutuhkan bantuan kalau hanya berhadapan dengan anakan kecoak.”

“Wasu.” Amar memukul ringan temannya itu.

Satu persatu anggota Dinasti Baru turun dari motor.

Lima Jari hanya menyaksikan kedatangan mereka dengan hati dan perasaan yang gamang.





.::..::..::..::.





Lobi hotel di Jalan Kalipenyu KM bawah nampak lengang, mungkin tingkat hunian hotel sedang rendah, jadi terasa sepi sekali. Tangga melingkar dari lobi menuju ke atas menjadi satu-satunya pemandangan menarik karena berada tepat di antara kursi tamu dan pintu masuk. Musik gamelan mengalun pelan membuat hati yang gersang bagai disiram air yang sejuk.

Seorang pria turun dari tangga yang melingkar dan berjalan pelan menuju kursi tamu, Adrian masih berkutat dengan laptopnya saat pria itu berdiri di hadapannya.

Adrian sontak terkejut. Siapa orang ini?

“Selamat pagi Pak Adrian.”

“Selamat pagi. Maaf, Bapak ini...?” Adrian tidak menduga akan menjumpai orang ini, dia berharap akan bertemu orang lain.

“Saya hanya perwakilan dari perusahaan kakak saya. Mohon maaf sebelumnya karena beliau tidak dapat hadir sehingga mewakilkan urusan ini ke saya. Beliau sedang pergi keluar kota untuk menghadiri acara keluarga, tapi seperti yang sudah disampaikan melalui meeting tempo hari, kami berjanji akan mengusahakan dana untuk membeli saham kepemilikan start-up yang keuangannya dikelola oleh Pak Adrian. Dengan investasi kami, kami berharap semua halangan dan kesulitan keuangan start-up Bapak dapat teratasi dan kita semua bisa melangkah menuju masa depan yang cerah dan menguntungkan.” Orang itu tersenyum sembari menyerahkan sebuah map. “Ini penawaran dan rencana kami, jika disetujui maka kami akan membeli sebagian besar saham perusahaan Bapak. Untuk pengaturan masalah finansial akan dibicarakan lebih lanjut lagi dengan dewan pimpinan kami nantinya.”

“Te-terima kasih banyak. Saya juga harus menyampaikan ini ke pimpinan.” Adrian benar-benar tak percaya dia akan bertemu dengan penyelamat yang tiba-tiba saja hadir seperti ini. Ini mukjizat! Perusahaannya masih bisa selamat setelah semua pemerasan yang dilakukan oleh Eva! Dia memasukkan proposal dari sang penyelamat ke dalam tas. “Semoga semua ini berjalan dengan baik. Terima kasih banyak, Pak...”

“Reynaldi. Panggil saja saya Rey.”

“Terima kasih Pak Rey.”

“Sama-sama.”

Rey tersenyum penuh arti saat melihat Adrian berkemas-kemas.

Jadi ini suamimu, Asty? Kota ini bukan kota yang teramat besar rupanya, karena kemanapun kita melangkah, kita akan bertemu dengan siapanya siapa. Tapi sungguh jodoh bukan kalau ternyata aku bertemu dengan suamimu? Bagaimana kalau kita jadikan permainan ini lebih menarik?

“Pak Adrian.”

“Ya, Pak Rey?”

“Pak Adrian sudah sarapan? Mari kita sarapan bareng. Ada beberapa hal yang sepertinya asyik kita bicarakan pagi ini. Saya lumayan tertarik bicara mengenai IT dan teknik kerja di perusahaan Bapak, mungkin bisa jadi pengetahuan dan masukan baru buat saya. Kita bisa sarapan di belakang, Pak. Restoran hotel ada di sana.”

“Ha? Oh... hmm... tapi tadi saya sudah sarapan dan...”

“Dimasakkan oleh Bu Asty ya? Hahaha.”

“Ha? I-iya...” Adrian mengerutkan kening, “Kok Bapak tahu nama istri saya?”

“Mungkin Bapak lupa kita pernah ketemu sekilas sewaktu Bapak menjemput Bu Asty di SMA CB. Saya kebetulan juga mengajar di SMA CB, Pak. Tapi kadang secara khusus seperti hari ini saya membantu usaha kakak saya.”

“Oooooh ya ya... mengajar di SMA CB? Wah kebetulan banget. Dunia ini ternyata tidak seluas yang kita perkirakan ya. Muter ke situ-situ juga orangnya.” Adrian berdiri setelah semuanya rapi dan dikemas.

Rey tertawa dan berjalan ke samping suami Asty itu. Dia mempersilakan Adrian untuk menuju ke restoran yang terletak di bagian belakang hotel.

“Sepertinya ini akan menjadi awal dari persahabatan yang luar biasa, Pak Adrian.”

“Mudah-mudahan Pak Rey.”

Rey menyeringai.





.::..::..::..::.





Pintu depan Ndalem Banjarjunut porak poranda. Pasukan penjaga gerbang terkapar tak berdaya. Sepagi ini pasukan KSN yang sudah resmi bubar dikagetkan serangan mendadak oleh orang yang tak dikenal. Siapa pula yang menyerang mereka?

Oppa, Roni, Amon, Kang Daan, Albino, dan Tedi Ganesha berjajar di depan rumah utama. Mereka sejak beberapa hari masih berada dalam kondisi kebingungan karena KSN dibubarkan dan secara tidak langsung harus bergabung di bawah PSG yang tentu saja menimbulkan gelombang pro dan kontra. Opsi pertama adalah bergabung dengan PSG, sedangkan opsi kedua adalah mendirikan kelompok baru yang jelas menentang Lek Suman dan PSG, opsi ketiga adalah bergabung dengan kelompok lain untuk menentang dominasi Aliansi di wilayah utara.

Lalu pagi ini, tiba-tiba saja, gerbang depan Ndalem Banjarjunut didobrak oleh seseorang tak dikenal.

Seseorang.

Apakah dia sendirian saja?

Pria itu berdiri tegak sambil menepuk tangannya yang berdebu dan tertawa keras-keras. Barisan penjaga gerbang dan pasukan KSN yang tak kurang dari sembilan orang terkapar di sekelilingnya, kalau tidak pingsan mereka hanya sanggup mengerang kesakitan tanpa sanggup berdiri.

“Hahahahaaha! Mana ketua kalian!? Aku mau bicara! Hahahahah.” Suara kencang menggetarkan seluruh kawasan. “Aku mau bicara! Hahahaha.”

Sosok pria yang baru datang punya rambut gondrong ndeso yang arah nyisirnya ga karuan, keriting tapi dipaksa gondrong sampai sebahu, entah keputusan apa yang membuatnya memiliki penampilan seperti itu, padahal sudah jelas tidak akan menambah ganteng wajahnya. Perawakan badannya juga tidak nyaman dipandang. Gempal, gemuk, bundar, dan pliket – kayak bakso urat. Sekilas lihat bisa dikira Ron Jeremy si legenda film porno, sekilas lihat lagi bisa dikira kepalanya ketempelan pohon cingcau rambat.

“Siapa lagi makhluk jadi-jadian ini?” desis Tedi Ganesha emosi. Dia memang beberapa hari ini ngamuk melulu, apalagi jika dipaksa masuk PSG yang jelas dia sendiri tidak ingin melakukannya. PSG jauh di selatan dan merupakan preman-preman yang beroperasi di pasar, bukan seperti mereka yang punya gaya intelek.

Oppa dan Amon yang tangannya masih dibalut perban maju bersamaan ke depan, si ganteng berkacamata menyambut kedatangan pria tersebut sementara para anggota KSN mengerubuti dan melingkari posisi sang pria nekat.

“Aku yang bertanggung jawab di sini, siapa kamu, dan apa maumu?” tanya Oppa dengan ketus. Dia sedang tidak ingin main-main. Urusan PSG sudah membuatnya pusing, dia juga termasuk salah satu orang yang menentang keputusan KSN bergabung ke PSG. Sekarang bukannya bertambah tenang, malah ada masalah baru dengan datangnya si bakso urat ini.

“Hahahahhhaahaha. Wah, kamu pimpinan KSN? Masih muda dan ganteng. Hahahaa.” Pria gempal itu menarik sebungkus permen karet Big Bolob dari kantong bajunya, membuang bungkusnya sembarangan, menelan permen dan berjalan ke depan Oppa tanpa rasa takut sedikitpun, mulutnya berkomat-kamit mengunyah permen karet. “Aku datang dengan maksud baik. Tapi teman-teman kalian di depan tadi malah menyerang, jadi aku sekedar mempertahankan diri saja. Maaf kalau membuat mereka terkapar, nanti biaya perawatan aku yang bayar. Hahahahaha. Namaku Bambang tapi teman-teman dari Wetan memberiku julukan Jenggo. Jadi panggil saja aku Bambang Jenggo... dan ini...”

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja di belakang Bambang Jenggo muncul dua orang lagi pria berbadan besar dan perkasa, di sebelah kanan dan kiri. Mereka seperti kembar, susah dibedakan jeleknya. Mana yang lebih buluk dari yang lain. Keduanya mirip seperti penjahat di film India, kulit gelap, berkumis tebal, badan gempal, senyum lebar gigi kuning, suka geleng-geleng kepala, dan mengenakan beanie hat atau kupluk dengan warna gelap.

“Ini adalah dua jenderalku, Alang Kumitir dan Tunggul Seto. Keduanya susah dibedakan ya? Mereka kembar identik. Identik sama gentong. Hahahahah.” Kembali Jenggo melucu tapi tidak ada seorang pun dari KSN yang tertawa, sebaliknya kedua gentong tertawa mengikuti sang pimpinan. “Ya... ya... mereka berdua Jenderal kepercayaanku. Mirip seperti posisimu sekarang, cah bagus.” Jenggo menunjuk ke arah Oppa sambil menyeringai. “Aku tahu kamu hanya pimpinan sementara saja setelah pimpinan kalian kaput. Kondisi kalian juga kalang kabut karena di utara Aliansi merajalela dan kalian akan segera ditelan jika tidak segera bergabung dengan PSG. Nah, aku datang untuk memberikan opsi berikutnya buat kalian. Kalian punya potensi yang besar.”

Oppa saling pandang dengan Roni dan Amon. Apa lagi maksud si bakso urat ini?

“Kalian tidak bisa terus menerus berlindung di bawah kelek Lek Suman. Ketiaknya bau amis, mending bergabung denganku dan menjadi kekuatan baru di kota. Kita tidak perlu markas, tidak perlu kandang. Kita bisa berpindah-pindah tempat sesuai kemana hati menginginkan.” Cerocos Jenggo tanpa henti. Ia mengunyah permen karetnya tanpa henti sambil menyebarkan seringai yang mengerikan. Wajahnya sebelas dua belas dengan Darsono, mengerikan dan menjijikkan, tapi memiliki nuansa kepemimpinan yang tidak bisa dipungkiri.

Oppa bimbang, siapa orang ini? Tiba-tiba saja menawarkan mereka opsi untuk bergabung? “Jangan bikin kami tertawa. PSG adalah kelompok besar di kota, kami jelas akan memiliki jejaring yang besar jika bergabung dengan PSG. Sedangkan kalian? Kami sama sekali tak mengenal kalian!”

Jenggo tertawa, “sebentar lagi kalian akan tahu betapa mengerikannya kekuatan kami. Ahahahahah. Kalian mau membuktikan? Boleh saja, silahkan berhadapan dengan dua jenderalku ini.”

“Dari tadi jenderal-jenderal melulu! Kamu itu siapa dari kelompok mana, bangsa...” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Tedi Ganesha tersentak dan terbang ke belakang. Dadanya disodok dengan kekuatan dahsyat yang tidak main-main. Ia terbanting dan terguling beberapa kali di tanah. Tedi mengejang sesaat sebelum mulutnya tersedak mengeluarkan darah.

Di posisi tempat Tedi Ganesha sebelumnya berdiri, kini hadir sosok Alang Kumitir. Posisinya setengah merunduk dengan lutut ditekuk, wajah serius, siku tangan menyorong ke depan. Siku tangan inilah yang tadi menghempaskan Tedi ke belakang.

“Ada lagi yang mau mencoba? Hahahahahah.” Jenggo tertawa, “Kum! Mundur! Kita negosiasi dulu!”

Hanya dengan sekejap mata, Alang Kumitir kembali berdiri di sisi Jenggo.

Jenggo berdehem. “Mungkin salahku tidak mengenalkan diri terlebih dahulu. Coba aku ulangi ya, supaya kalian lebih paham berhadapan dengan siapa. Aku Bambang Jenggo, di kiri ini Alang Kumitir, dan di kanan Tunggul Seto. Kami bertiga menawarkan kalian dari KSN untuk bergabung dengan Randupanji Kombat Zombies. Kami berjanji akan menyalakan obor yang diperlukan untuk membakar kota dan menghabisi semua kelompok, entah itu PSG, QZK, JXG, atau Aliansi sekalipun – kalau kalian hanya ingin berkuasa di utara, kenapa tidak sekalian saja menguasai seluruh kota? Hahahaha. Kamu – cah bagus, akan menjadi Jenderal ketigaku dan akan memimpin unit pasukan mudamu jika bersedia bergabung denganku. Yang tidak bersedia, boleh gabung ke PSG. Bagaimana? Hahahaha.”

“Randupanji Kombat Zombies? RKZ?” Oppa meneguk ludah.

“Seratus.” Jenggo tersenyum licik. “Minat?”

“Patut dipertimbangkan.” Kang Daan mengangguk setuju.

“Tidak mau! Jangan sampai mau, Oppa!” Tedi Ganesha yang tadi dipermalukan berdiri dengan sengit, “PSG saja aku tidak mau apalagi kelompok sirkus semacam RKZ! Aku lebih memilih membentuk kelompok sendiri atau hancur sekalian daripada bergabung dengan mereka! Kelompok ga jelas!”

“Tidak jelas? Hahahahaha.” Jenggo tertawa, “bagaimana kalau kami buktikan saja? Akhir-akhir ini JXG bergerak dengan gerilya, hanya mengeluarkan punggawa-punggawa mereka dan bertindak hati-hati. Tapi dalam waktu dekat – RKZ yang kamu bilang tidak jelas ini akan bisa memancing JXG turun gunung lebih cepat dan memporakporandakan PSG sampai tuntas. Untuk hal semacam itu tidak butuh waktu lama bagi kami, apalagi hanya menepuk lalat seperti Aliansi. Bagaimana? Hahahahaha.”

RKZ akan memancing JXG menghancurkan PSG? Apa maksudnya? Oppa berpikir keras, apa yang harus dilakukannya? Bergabung dengan RKZ berarti mengkhianati Lek Suman, tapi pimpinan RKZ ini bilang dia bisa mengadu domba PSG dan JXG untuk melakukan perang besar. Kalau bergabung dengan PSG, bukannya jadi aman, malah bisa-bisa dikorbankan saat perang melawan JXG.

Tedi yang sudah bisa kembali berdiri mendekati Oppa, demikian juga Kang Daan.

“Tidak ada salahnya mempertimbangkan penawarannya, Bos. Kita tidak perlu hijrah ke selatan hanya untuk jadi sapi perah yang terus menerus dipekerjakan oleh PSG,” ujar Tedi Ganesha, “apalagi kalau sampai PSG perang dengan JXG. Selatan akan membara. Tidak ada untungnya buat kita.”

Kang Daan menggeleng, “peperangan PSG dan JXG sudah tinggal tunggu waktu saja dengan muncul atau tidaknya RKZ. Mereka hanya memanfaatkan peluang di air keruh. Kita harus mengikuti apa kata Lek Suman, pengalamannya sudah pasti lebih banyak daripada kunyuk dengan rambut cingcau rambat ini. Jangan gegabah mengambil keputusan untuk kita semua.”

“Hahahahahahah. Silahkan ambil keputusan,” Jenggo menarik kartu dari kantung bajunya dan melemparkannya sembari mengedipkan mata ke Oppa.

Sbpb!

Lemparan kartu itu teramat kencang – begitu kencangnya sehingga kartu nama Jenggo bisa menancap di sebuah pohon. Ki yang ia miliki jelas bukan Ki main-main. Oppa menggelengkan kepala, dia tidak mengira level lawan-lawan yang dihadapi makin besar dan makin kuat. Salah pilih pohon tempat berlindung dan mereka akan tercerabut sampai ke akar-akarnya. PSG atau RKZ?

“Itu kartu namaku, ada nomer telepon yang bisa dihubungi di situ. Silahkan ambil keputusan secepatnya. Jika tidak menghubungi kami dalam seminggu ini – kita akan bertemu lagi di kesempatan lain sebagai lawan. Hahahahaha.” Jenggo menyeringai sambil menjilat bibirnya sendiri, “kalau ada sumur di ladang boleh kita menumpang mandi. Kalau ada cah bagus mandi, boleh kita ikut nyabuni. Hahahahahah.”

Oppa bergidik ngeri sekaligus jijik. Bangsat! Anjim! Jijay! Wedhus!

Ketiga orang aneh itu melangkah pergi dari Ndalem Banjarjunut. Sayup-sayup terdengar Jenggo mendendangkan lagu It’s Raining Men.

Pimpinan RKZ begini amat yak?

Oppa harus segera mengambil keputusan. Ia memandang satu persatu kawan-kawannya yang hadir pagi itu. “Bagaimana menurut kalian?”

Kang Daan dan Tedi Ganesha berhadapan. Keduanya saling mendekat dan saling pandang, masing-masing tahu kalau saling berbeda pendapat. Apalagi keputusan penting ini akan menempatkan mereka pada kelompok yang berbeda dan akan berseteru suatu saat nanti. Dua kubu sudah tercipta, KSN hanya tinggal ambil suara.

Oppa tahu jika dia tidak segera mengambil keputusan, ataupun jika dia salah mengambil keputusan, pasti KSN yang sudah tercerai berai ini akan terbagi-bagi. Dukungan dari Lek Suman dan PSG jadi harga yang harus ditebus.

Mana pilihan yang terbaik?

Don Bravo yang mengamati dari kejauhan hanya bersidekap sembari sesekali mengunyah bengkuang. Ia bersandar ke pagar dan duduk di lincak dengan santai. Kori duduk di sebelahnya.

“Bagaimana menurutmu, dab?” tanya Kori sembari tersenyum lebar.

Don Bravo terkekeh, “Apapun keputusan Oppa, KSN sudah pasti akan terbelah. Sebagian akan ke PSG, sebagian mungkin berminat ikut RKZ, sebagian lagi bisa jadi akan mencoba membuat kelompok sempalan-sempalan baru tapi pasti hanya akan habis tergerus masa. Aku malah penasaran kira-kira panjenengan akan melabuh kemana, dab. Terlalu misterius tidak akan baik untuk kesehatan, lambat laun siapa panjenengan akan terbongkar juga. Kekekeke. Ini bukan ancaman, ini kenyataan.”

Kori tertawa, ia menepuk pundak Don Bravo.

“Aku hanyalah Scooby-Doo yang diutus oleh monster untuk bersembunyi di belakang monster lain, mas dab. Kekekeke.” Kori mengangkat bahu, “aku sih masa bodoh. Semakin besar monster tempatku bersembunyi – justru semakin bagus. Mudah-mudahan Oppa bisa memutuskan dengan benar karena aku sudah tidak sabar melihat kelompok-kelompok besar ini saling bunuh. Kota bisa aman tanpa ada yang harus turun tangan.”

Don Bravo tersenyum sinis, “dasar oportunis. Kesempatan dalam kesempitan. Memanfaaatkan geliat dalam sempak kekecilan.”

Kori tertawa lagi.





.::..::..::..::.





Rupanya kedatangan rombongan motor NWO-lah yang akhirnya berhasil mengusir semua anggota RKZ yang lantas pontang panting melarikan diri ke segala arah. Situasi jelas sangat menguntungkan bagi Lima Jari dan Amar Barok. Entah bagaimana caranya, para petinggi RKZ sudah tahu lebih dulu mengenai kedatangan pasukan NWO, sehingga mereka dapat kabur lebih cepat dan meninggalkan kroco-kroco di belakang tunggang langgang masuk ke kampung-kampung.

Yang penting pertarungan hari ini sudah usai.

Motor-motor NWO diparkir di sepanjang jalan dengan sebagian besar anggotanya turun untuk berjaga dan membantu membersihkan area.

Lima Jari beristirahat di tepian trotoar sambil menarik napas lega. Akhirnya pertarungan yang menghancurkan semangat pagi itu usai juga.

Sebenarnya sudah bukan rahasia - tentu saja Amar Barok akan dibantu oleh Dinasti Baru! Itu sudah jelas, hanya tinggal tunggu waktu sebelum mereka datang – apalagi lokasi bengkel Amar ada di kawasan tengah yang tidak jauh dari basis operasi Dinasti Baru. Kedatangan mereka yang terlambat dapat juga dijadikan penunjuk kalau Amar Barok sangat dipercaya untuk bisa mengatasi orang-orang RKZ tanpa perlu bantuan pasukannya sendiri.

Amar Barok menepuk pundak Deka, “kalian tidak apa-apa?”

Deka membalas dengan tersenyum sinis dan memukul dada sang kakak. “Bangsat, jangan pernah sok jago di depanku lagi.”

Amar mengangguk, ia menarik bungkus rokoknya dan menarik sebatang. Korek api dinyalakan dan batang rokok itu segera menyala. Asap membumbung ke udara. “Tidak akan lagi. Sudah cukup pertarungan hari ini. Kami yang akan membersihkan jalan, kalian balik ke utara saja.”

Nanto dan kawan-kawan dari lima jari setuju.

Dinda duduk di dalam bengkel yang kini sudah dibuka kembali. Kedua kakak beradik itupun menatap sang gadis idaman dengan pandangan yang sama-sama lega, setelah semua yang terjadi tadi, yang paling penting adalah Dinda selamat.

“Kamu tidak apa-apa?” Deka mendekat ke arah Dinda dengan senyum lebar. Ia memegang tangan gadis itu erat. Dinda tersenyum dan mengangguk. Gadis itu berdiri dan menggandeng Deka ke arah Amar yang duduk di tepian trotoar sambil melihat rombongan NWO merapikan jalan di depan bengkelnya. Meski preman, mereka tetap punya aturan.

“Mas Amar, Mas Deka...” Dinda mendatangi pria gagah itu bersama Deka. Ia mengangkat tangan Amar dan menggenggamnya erat, Dinda kini menggandeng tangan kedua kakak beradik itu bersamaan. “...aku memutuskan untuk tetap...”

Belum sempat Dinda berucap, kalimatnya terpotong.

“Woy woy woy!” Bian menghampiri Deka, ia mendorong pundak sang sahabat. “Apa-apaan ini!? Siapa cewek ini? Mau kamu kemanakan Ara? He? Jangan macem-macem, Ndes! Ora well babar blas! Ara itu sudah kayak satu bagian dari kita! dia jari keenam, Ndes!”

“Bi, ini bukan saat yang tepat.”

“Saat yang tepat gimana?”

“Kamu memotong di saat yang salah, sumpah. Pasti nanti aku jelasin ke kalian semua. Biar Dinda bicara dulu, nanti aku akan...” Deka berusaha menenangkan Bian yang wajahnya berubah serius, dia melirik ke Dinda yang kembali khawatir melihat adu mulut Bian dan Deka.

“Mas... aku tidak mau kalian...”

“Tenang, Din. Aku yang akan menyelesaikan ini.” Deka berbalik untuk menatap teman-teman lima jarinya yang bertanya-tanya. “Kalian tenang, aku bisa menjelaskan semuanya. Tapi aku mohon beri aku waktu...”

“Kalau kami sih tidak butuh penjelasan.” Terdengar seseorang memotong kalimat Deka.

Jboooookghhhh!

Pukulan kencang mengarah ke wajah Roy. Dia terhempas ke belakang karena tidak mengira akan ada orang yang menyerang secara tiba-tiba. Semua anggota Lima Jari terkesiap karena terkejut. Bahkan Amar Barok pun terbelalak.

Tapi Roy sudah jatuh dan Lima Jari langsung bersiaga.

Edi Jerangkong berdiri di hadapan pasukan NWO yang berwajah buas. Mereka siap mendukung orang yang baru saja merobohkan Roy. “Kalian pikir pertarungan hari ini sudah selesai? Pertarungan hari ini justru baru dimulai, bangsaaaaaat!”

Roy dan Bian menggemeretakkan gigi hampir bersamaan, ini orang yang kemarin mereka habisi di warung lele. Tak disangka akan secepat ini berjodoh kembali dengan mereka.

Sepertinya pagi ini urusan masih panjang.

Edi berteriak kencang. “Heaaaaaaaaaa...”

Boom!

Edi Jerangkong terlempar ke belakang empat meter jauhnya dan terguling-guling. Wajahnya terantuk aspal berulang kali. A-apa yang barusan membuatnya terlempar? Edi Jerangkong berusaha bangkit untuk mengamati satu persatu anggota Lima Jari.

Roy? Bukan, dia baru mulai berdiri setelah tadi ia pukul.

Bian? Bukan, dia masih berdiri di dekat Deka dan Amar dan memasang kuda-kuda.

Deka? Bukan juga, dia baru saja melepaskan gandengannya dari cewek yang keluar dari bengkel dan sekarang memainkan double-stick-nya dengan wajah buas.

Hageng sang T-Rex? Raksasa itu berdiri dengan menggemeretakkan jari-jemarinya sambil mendengus kesal. Dia baru saja membantu Roy berdiri, jadi bukan dia.

Satu-satunya orang yang bisa melemparkannya adalah...

Nanto melangkah pelan dan berdiri di depan semua anggota Lima Jari. Wajahnya bengis mengerikan, matanya menatap tajam, tangannya terkepal. Dengan kemampuannya saat ini, Edi Jerangkong jelas tidak bisa merasakan aura Ki yang menyala hebat dari si Bengal.

Amar Barok menatap Nanto dengan wajah terkejut. Kemampuan bocah ini...

“Tidak ada.” bisik Nanto sambil menunjuk ke arah Edi Jerangkong, “Tidak ada orang yang dapat pergi dari tempat ini hidup-hidup setelah memukul temanku. Paham?”

Edi Jerangkong menggemeretakkan gigi dengan geram, mana bisa dia diam saja diancam seperti itu! Memangnya siapa mereka? Bocah kemarin sore sudah kurang ajar! Teriakan-teriakan anggota NWO yang tidak terima dengan perlakuan Lima Jari pada Edi Jerangkong membuat NWO langsung meradang.

Edi tersenyum sinis pada Nanto, ia mengayunkan tangan. “seraaaaaaaaaaaang!!”

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!!

Bledaaaaam! Bleddaaaaaaam! Bleddaaaaaaam!


Sentakan tenaga besar Raungan Singa Emas membentuk angin kencang yang membelah dan memisahkan pertarungan antara Lima Jari dan NWO, bebatuan terlempar kencang menimbulkan suara keras memekakkan. Nanto dan Edi sama-sama dipaksa mundur teratur.

“Apa-apan kalian ini!?” Amar Barok dengan kesal berdiri di tengah antara NWO dan Lima Jari. “Kita baru saja selesai melakukan pertarungan dengan RKZ! Bukannya memutuskan apa yang harus kita lakukan dengan bajingan-bajingan itu, sekarang malah bikin urusan tambah runyam dengan mereka yang sudah membantu kita! Kenapa NWO harus cari masalah dengan Aliansi?”

“Hah!? Aliansi? Kami tidak ada urusan dengan Aliansi! Persetan dengan mereka! Mereka ini kemarin menyerangku dan dua teman lain! Masa tidak dibalas?” Edi membalas dengan kesal sambil menunjuk ke arah Roy dan Bian.

“Pasti ada alasannya. Mereka tidak akan menyerangmu tanpa alasan!” Amar membela dan berdiri di depan Lima Jari, dia sempat melirik ke arah Roy dan Bian yang tak gentar ditantang oleh Edi Jerangkong. Amar kembali membalikkan badan dan menatap mata Edi dengan tajam, “aku kenal mereka sejak lama, jadi kalau ada apa-apa...”

“Bang Amar! Bocah itu juga yang kemarin hari bikin masalah dengan Om Kimpling dan unit Slayer Biru malam-malam!” anggota Slayer Biru yang pagi ini hadir mengingat Nanto yang pernah berurusan dengan NWO kala itu.

“Itu salah paham saja.” Amar mencoba memberikan alasan. “Aku juga hadir di sana, kan?”

“Amar.” terdengar sebuah suara yang berat dan tenang, suara yang membuat Amar Barok tertegun. “hanya karena mereka adikmu dan teman-temannya, bukan berarti kita akan selalu mengampuni mereka. Sudah dua kali kita dipecundangi tanpa bisa membalas, masa begitu terus? Kita juga punya harga diri yang harus ditegakkan, mau diletakkan di mana muka kita kalau harus terus menerus mengalah pada sekumpulan bocah seperti mereka? Kamu sebagai panglima Dinasti Baru seharusnya paham hal itu.”

Suara itu berasal dari sosok seorang pria yang baru hadir di arena. Kedatangannya disambut dengan diamnya seluruh anggota Dinasti Baru, mereka menyibakkan barisan untuk memberikan jalan bagi sang pria yang sangat dihormati itu. Ia berjalan dengan tenang setelah datang hanya dengan mengendarai sebuah vespa tua biru yang warnanya lapuk. Tidak ada seorang pun anggota Dinasti Baru yang berani menatap wajahnya, kecuali Amar dan Edi yang sama-sama terkejut melihat kehadirannya.

Amar segera menundukkan kepala, memberi hormat. “Salam, Ketua.”

Edi juga melakukan hal yang sama, dia sama sekali tidak menyangka pagi ini dia akan melihat sosok yang sangat diagung-agungkan oleh Dinasti Baru. Pria kurus berjuluk Jerangkong itu terbata-bata, “Se-selamat pagi, Ketua.”

Deka menghela napas panjang.

Gawat. Urusannya bakal tambah panjang dan gawat kalau ketua Dinasti Baru juga turun tangan. Mungkin ada baiknya kalau mereka minta maaf dan tidak menambah daftar panjang kesalahpahaman di antara NWO dan Aliansi. Ya, mungkin itu yang harus...

HAH!?

Deka terbelalak.

Semua orang terkejut ketika tiba-tiba saja Nanto berjalan santai dengan tangan diselipkan masuk ke saku celana menuju ke orang nomor satu Dinasti Baru. Si bengal menghentikan langkah sang ketua sebelum ia mencapai posisi Edi dan Amar, ia berdiri di tengah-tengah mereka.

Si bengal dan ketua Dinasti Baru beradu pandang, sikap mereka tenang, tapi sudah siap untuk sama-sama menantang.

Si Bengal menatap orang yang baru hadir tanpa rasa takut sedikitpun.

“Bo-bocah itu!” Amar mendesis ngeri.

“Nanto!” Deka dan kawan-kawan lima jari saling berpandangan.

Nanto tak tergoyahkan oleh apapun.

“Semua masalah berawal dariku, jadi aku yang akan bertanggung jawab, bukan Bang Amar, bukan teman-temanku.” Nanto berdiri tegap di depan sang ketua Dinasti Baru yang wajahnya masih ditutup slayer dan helm. “Aku yang mengawali, aku yang akan menyelesaikan.”

“Hahahaha, sudah siap mati sepertinya.” Sang ketua tertawa memperhatikan Nanto sembari melepas helm dan kain slayer-nya dengan tangan kanan. Matanya tajam menatap si bengal, sementara tangan kirinya terkepal. Ki-nya menyala. “Baiklah. Mari kita selesaikan.”

Nanto mengangguk.





BAGIAN 5-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6



BONUS KONTEN

[SPOILER="DIAGRAM KEANGGOTAAN KELOMPOK
Topppp,,terkental sejauh ini
 
Wkwkwwk..memang ruwet kalo urusan sama gentho2 senior, padahal nanto cs udah mbantu amar. Tapi mereka tetep ndak trimo kalo anak buah mereka pernah disikat tim aliansi.
Ternyata perang besar sudah akan dimulai, dan rkz adalah dalangnya..
Jozz tenan niki...

Terimakasih double updatenya master..
:ampun: :ampun::ampun:
 
BAGIAN 5-B
LIHAT DENGAR RASAKAN






Jay menggelengkan kepala.

Ampuh. Sampeyan pancen ampuh,” pria antik itu mengacungkan jempolnya sambil telentang di atas aspal, wajahnya biru lebam di sana sini, tapi dia tetap ceria luar biasa. “Sungguh pantas jadi panglima kelompok sebesar Dinasti Baru.”

Sebelumnya Jay lagi-lagi terjerembab ke aspal jalan setelah mencoba menyerang Amar Barok yang tetap tak bergeming. Walaupun dikeroyok oleh belasan orang sekaligus, Amar tetap berdiri tanpa luka, tanpa gores, tanpa peluh. Hanya sekali meraung, mereka tengkurap dan telentang di jalan seperti ikan dijereng di tepi pantai.

“Berhubung sampeyan ampuh, aku tidak akan menyerah menjadikan sampeyan panglima RKZ. Kekekeke.” Jay berdiri kembali. Setiap kali jatuh, dia selalu kembali berdiri. Bagian itu cukup mengagumkan darinya. “Aku tak akan berhenti sampai misiku berhasil.”

“Tidak.” Amar Barok mendengus.

“Brom.” Panggil Jay.

“Jay.”

Brom yang sempat terjatuh agak jauh dari Jay segera berlari kencang. Persahabatan kedua sosok ini cukup unik karena mereka bagaikan bisa membaca pikiran masing-masing. Tidak perlu banyak percakapan keduanya langsung bisa menterjemahkan apa maksud sahabatnya. Brom melompat tinggi saat sudah mencapai jarak dua meter dari Amar, dia lalu mengumpulkan tenaga besar dalam dua kepalan yang saling menangkup. Lompatannya tinggi, serangannya bertenaga.

King Kong Punch!

Amar menggeleng kepala. Lagi-lagi jurus ini, sampai kapan sih mau dicoba? Apa ya tidak kapok-kapok?

Bmmm!

Lagi-lagi gagal. Brom terlontar ke belakang karena pertahanan super dari sang singa dari Dinasti Baru. Brom terguling dan terlempar jauh, tapi kali ini sempat dihentikan oleh Jay yang berada tak jauh darinya. Keduanya segera bangkit dan dukungan belasan anggota RKZ ikut membantu mereka. Bukannya geram karena gagal, baik Jay maupun Brom malah tertawa bersama.

Amar tertegun.

Bukan karena serangan yang datang silih berganti, tapi karena pukulan terakhir Brom terasa mengguncang tubuhnya. Gila. Apakah mungkin pertahanannya menurun atau memang Brom semakin lama bisa meningkatkan kekuatan pukulannya? Memang tidak baik bertahan terus menerus seperti ini.

Amar melirik ke ujung jalan, posisinya sudah jauh dari bengkel. Dengan sengaja ia memancing Jay, Brom, dan belasan anggota RKZ jauh dari tempat Dinda sembunyi. Mudah-mudahan Deka bisa menangani sisanya. Sejak tadi sudah bertahan dan mengalah, saatnya menyerang.

Amar yang sejak awal duduk santai segera berdiri, Ki-nya menyala.

Jay memukul pundak Brom saat melihat Amar yang berdiri, “bruh – lihat itu. Dia mulai berdiri.”

Brom nyengir lebar, “apa ini artinya dia mulai serius?”

“Pasti.”

“Hohoho! Mantap!” Brom mengangkat telapak tangannya yang segera di-tos oleh Jay.

Keduanya bersiap-siap untuk menghadapi Amar Barok. Belasan pasukan di belakang mereka juga bersiap. Tapi belum lagi mereka bergerak, terdengar teriakan-teriakan dari bagian belakang. Blokade RKZ ke jalur Jalan Manggar dibuka dengan paksa. Mereka berdua pun menjadi terpecah konsentrasinya.

“Hahahahaha! Pintu theater dua telah dibukaaaa! Yang zudah memiliki tiket tanda mazuk, harap zegera memazuki ruangan theater dua. Hahahaha.” seorang pria bertubuh raksasa dan berambut keriting ala flower datang dengan membanting satu persatu tubuh penjaga blokade jalan. “Ayo maju zemuaaaa! Zini zatu-zatu!”

Pria yang baru datang itu tentunya adalah Hageng - sang T-Rex dari Lima Jari, Aliansi, dan Sonoz. Pemuja puisi, makanan enak, dan gulat WWE.

Dua penjaga blokade roboh oleh Hageng.

Yang ketiga datang berlari untuk menyerang sang raksasa, begitu orang itu sampai di dekat Hageng, sang T-Rex malah berkelit ke samping kanan, memutar badan sehingga keduanya sama-sama menghadap ke arah yang sama, lalu merunduk, dan melingkarkan tangannya ke samping untuk mengunci pinggang belakang sang lawan.

Preman RKZ itu tentu terkejut dengan gerakan cepat Hageng dan berteriak-teriak, tapi terlambat. Sang T-Rex sudah berdiri sempurna dan kokoh, tangan kanannya mengunci pinggang, tangan kiri menggamit paha kiri sang lawan untuk mengangkatnya. Dengan cekatan Hageng melompat sembari mengangkat lawan tepat di tempat ia berdiri, dan menjatuhkan lawan ke aspal sekuat tenaga.

Sidewalk Slam!

Bruuuuukghhh!


Remuk punggung sang anggota RKZ! Dia mengaduh sembari berguling-guling memegang punggung.

Lawan berikutnya datang menyerang Hageng dengan berlari kencang. Dia mengudara dan bersiap untuk menghajar Hageng dari atas. Sang T-Rex tertawa-tawa saja, dia menyorongkan lengan tangan kanannya yang besar ke depan, hinggap tepat di bagian dada paling atas lawan – perbatasan antara dada dan leher.

“Hkghh!”

Sang lawan kaget dengan sergapan Hageng, ia terhenyak, napasnya tersedak. Belum lagi ia mengubah gerak, tubuhnya terangkat dan kakinya tak lagi bisa menapak. Hageng mengubah posisi lengan lawan ke atas pundak, mengangkat punggung sampai ke atas sebelum akhirnya membanting tubuh lawan dengan sekali sentak! Punggungnya terhampar aspal, terasa berderak, mengkhawatirkan karena terdengar bunyi krak.

Chokeslam!

Bruuuugkkkhhh!!


Empat lawan sudah ia selesaikan! Mana lagi!?

Sebenarnya Hageng tidak perlu meminta karena tak lama kemudian kroco-kroco RKZ segera menganggapnya ancaman dan mengerubutinya. Bagaimana sang T-Rex menghadapi banyak lawan sekaligus?

Tidak perlu sepertinya.

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar!

Bledaaaaaam! Bledaaaaaaaaaaaam!


Raungan Singa Emas yang dilepaskan Amar Barok menghempaskan lawan-lawan Hageng sekaligus kroco-kroco di hadapannya hanya dengan sekali tarikan. Para anggota RKZ bergelimpangan di aspal, ambruk tanpa daya. Hageng tertawa senang sembari mendekati Amar yang berdiri tegap.

“Wahahahahahah! Zukzez bezar! Memang mantep jurus zampeyan, Bang Amar! Keren abiz! Apakah tadi malam makan pete? Karena zecara ampuh biza menghazilkan damage yang luar biaza begini? Apakah efek yang zama juga biza dilakukan zetelah makan jengkol?”

“Hehe. Wedhus! Gimana kabare, Geng? Lama ga ketemu.”

Amar dan Hageng saling bersalaman. Semua anggota Lima Jari sering bermain ke rumah Deka, jadi otomatis mereka semua kenal dengan Amar Barok meski tidak terlampau akrab. Satu-satunya anggota Lima Jari yang sering membuat Amar Barok nyengir dan bisa santai hanyalah Hageng. Salah satu alasannya adalah karena Hageng punya gaya bicara khas dengan huruf Z yang selalu membuat Amar terkekeh.

“Ziapa mereka ini, Bang?”

“RKZ. Rekozo, rombongan begal yang katanya dibentuk sama orang-orang pendatang. Mereka tidak punya markas dan lebih sering beroperasi di ringroad selatan. Sangat meresahkan masyarakat karena aksi penjambretan dan kekerasan yang dilakukan tanpa mengenal dan memilih-milih korban.”

“Ringroad zelatan?”

“Betul, makanya aku heran kenapa mereka hari ini nongol di kawasan tengah. Entah ada agenda apa mereka ini. Bilang ke Nanto kalau dia harus berhati-hati saat berhadapan dengan RKZ, karena aku curiga dengan motif mereka. Benar-benar kelompok yang tidak jelas dan berbahaya, entah bagaimana caranya mereka bisa mengumpulkan anggota sebanyak ini dalam waktu singkat dan langsung punya punggawa-punggawa yang lumayan mumpuni.”

“Begitu ya.” Hageng manggut-manggut.

“Paham kan apa yang baru saja aku ceritakan?”

“Tidak zih.”

Wedhus.

“Wekekekekek.”

Percakapan keduanya terputus ketika serangan kembali datang. Kali ini dua punggawa RKZ yang secara langsung menyerang. Adalah Jay dan Brom yang mendekat kembali ke Amar Barok, masing-masing menyerang dari dua arah yang berbeda. Kanan dan kiri.

“Aku yang kiri!” Hageng melesat, ia mengincar Brom yang berbadan besar – cocok dijadikan sparring partner. Sang T-Rex berlari dan meloncat ke jalur Brom, dia tidak berlari begitu saja, Hageng berlari sembari sedikit menunduk, ia mengincar bagian tengah badan Brom. Brom yang tidak memperkirakan serangan Hageng tersentak oleh serangan sang T-Rex. Rusuknya bagai remuk total saat pundak Hageng datang seperti hendak mematahkannya hingga berkeping-keping. Rasanya bagai ditabrak truk.

Goldberg’s Spear!

Brom terhentak ke belakang, terdorong oleh kekuatan besar Hageng. Tentu dia tidak akan menyerah begitu saja! Saat terdorong ke belakang oleh kekuatan spear sang T-Rex, Brom melepaskan satu serangan andalan. “King Kong Punch!

Dua kepalan tangan disatukan, diangkat ke atas kepala, lalu dihantamkan ke bawah sekuat tenaga.

Blaaaaam!

Punggung Hageng tersambar serangan Brom dengan kencangnya. Sang T-Rex jatuh berdebam dan terguling bersamaan dengan punggung Brom terhampar aspal di belakang. Keduanya sama-sama terbanting ke bawah dengan keras.

Brom mengerang kesakitan sembari mengernyit dan memejamkan mata. Untuk pertama kalinya hari ini, dia tidak menebarkan senyuman. Dia berguling-guling sembari memegang punggung dengan lenguhan dan erangan menahan nyeri. Tapi serangan sekali saja tidak akan membuatnya terkapar tak berdaya. RKZ tidak akan jatuh dengan mudah. Jatuh sekali, bangkit dua kali.

Tangan kiri Brom menapak aspal jalan. Lalu tangan kanan. Lalu mengangkat badan sekuat tenaga. Dengan usaha keras dia mencoba bangkit.

Ada bayangan di depannya.

“Tetaplah di bawah, zobat.” Hageng menyeringai. Dia sudah berdiri gagah di depan Brom. Hageng mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi di samping dada, lalu memutar-mutarnya dengan jemari mengepal. Ia mempraktekkan penyaluran Ki seperti yang sempat diajarkan oleh Simon – memang tidak mudah dan tidak cepat dikuasai, dia juga tidak yakin serangannya akan bisa menghasilkan apa yang dia inginkan, tapi tidak ada salahnya mencoba. Ini dia serangan jurus barunya yang diberi nama super keren! Pukulan Palu Dewa Petir! Wuhu! Keren sekali namanya!!

“Heaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Hageng melepaskan kepalannya ke dada Brom.

Bk.

Ha?

Tangan Hageng menumbuk dada Brom dengan pelan.

Brom dan Hageng saling berpandangan. Rasa-rasanya ada yang aneh.

Krik. Krik. Krik.

“Kok tidak keluar ya?” Hageng bingung.

“Keluar apanya?” Brom juga bingung.

“Petir-petir gitu.”

“Memang bisa?”

“Zeharuznya zih biza kalau zezuai panduan. Pukulan ini pengembangan dari Pukulan Geledek yang zangat terkenal itu.”

“Ada yang salah mungkin caranya? Tapi masa iya keluar petir? Mengada-ada ah. Masa kayak komik? Harus menggabungkan Ki dan tenaga mentah dulu mungkin?”

“Iya ya? Kalau Ki zaja dengan pukulan pelan tidak biza?”

“Ya tidak bisa lah. Sepertinya harus pakai tenaga. Ki-nya disalurkan bersamaan dengan pukulan yang kencang. Kalau pelan begini kayak cuma nyolek aja kan? Ki juga harus disalurkan, seperti remote, baru bisa dipakai kalau menggunakan baterai. Jadi intinya, pukulannya harus kencang dan dibarengi aliran Ki besar pula.” Brom menjelaskan.

“Begitu ya?” Hageng manggut-manggut, “Ya... ya... zepertinya begitu baru benar.”

“Nah iya.”

“Brooooooooooooooom!!” Jay berteriak.

“Hageeeeeeeeeeeeeeng!!” Amar juga.

Brom dan Hageng menengok bersamaan ke arah Jay dan Amar sambil tersenyum, tapi ketika yang ditengok menatap mereka dengan pandangan marah, mereka sama-sama saling bertatapan kembali. Baik Brom maupun Hageng akhirnya tersadar kalau mereka sebenarnya berada di dua kubu yang berbeda dan melompat mundur berbarengan.

Koplak.

Brom yang pertama kali bergerak, ia segera berlari ke depan dan meloncat dengan satu tendangan terprojeksi ke arah wajah Hageng. Sang T-Rex tentu saja mengelak ke samping, menyiapkan kepalan tangan, dan memutar lengannya dengan kencang.

Hageng menumbuk punggung Brom sekuat tenaga.

Bkgh!

Brom terjorok ke depan. Kakinya menjejak dengan kencang, dan ia bisa berbalik cepat. Kepalannya dilontarkan berlawanan dengan jarum jam seiring putaran pinggangnya ke belakang, menghajar wajah Hageng! Pukulan cepat mengagetkannya. Sang T-Rex tergeser ke kanan.

Bkgh!

Hageng memutar kembali tangan kanannya, lalu melecutkannya ke wajah Brom yang belum sempurna berputar. “Ini juruz barukuuuuuuu!!!”

Beeeeekgh!

Brom terdorong lagi, tapi kakinya lagi-lagi teguh menapak. Tidak akan dia terjatuh oleh pukulan setengah matang seperti itu! Brom menatap Hageng dengan sengit, ia mengumpulkan tenaga besar di kepalan tangannya, lalu menghantam kencang dagu Hageng dengan satu pukulan sekuat mungkin!

“Jurus baru apaan! Yang tadi cuma pukulan biasa! Ini baru jurus mumpuni! King Kong Smash!

Buuuaaaakghhh!

Hageng terlontar ke belakang, ia jatuh berguling, dan berdebam. Sekujur badan nyeri bukan kepalang, rahang bagai hendak lepas, punggung terasa panas, tapi demi apa dia akan menyerah? Sang raksasa segera melompat untuk bangkit. Baru saja berdiri, dia sudah merasakan angin dari atas. Brom rupanya menggunakan kesempatan untuk melompat. Dua kepalan ditangkup, tangannya berada di atas, siap dihempaskan.

King Kong Punch!

Hageng tidak bergerak, bukan karena kagum atau terpaku – tapi karena ingin menerimanya secara langsung. Ia memutar-mutar tangan, menyiapkannya untuk satu ledakan. Jika Brom sepertinya sudah bisa mengalirkan Ki ke pukulannya – Hageng kebalikannya. Ada perbedaaan kemampuan diantara mereka. Yang Hageng miliki saat ini adalah semangat pantang menyerah.

Sang T-Rex melontarkan pukulan dengan kekuatan penuh!

“Heaaaaaaaaaaarrrrghhhh!”

Buuuaaaakghhh!

Pukulan Hageng telak mengenai wajah Brom, sesaat lebih cepat dibandingkan pukulan andalan Brom. Sang raksasa RKZ tumbang ke belakang setelah kepalan Hageng masuk ke pipi kirinya dengan telak. Pukulan Hageng jelas belum memiliki Ki, tapi yang namanya pukulan tetap saja sakit.

Brom tumbang. Ia mengernyit kesakitan dan berusaha keras berdiri.

Hageng berlari mendekat ke arah Brom yang tentu sudah bangkit kembali. Brom melayangkan pukulan tapi dengan mudah dihindari oleh sang T-Rex. Dia menunduk, mengelak, dan lepas dari sergapan sehingga kini berada tepat di belakang Brom. Begitu sampai di belakang Brom, Hageng melompat dan mengunci leher dan kepala sang lawan dengan menggunakan sepasang lengan berukuran ekstra miliknya.

Sleeper Choke Hold!

“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkgh!”

Tangan besar Hageng tidak main-main, ia menekan dan menguci leher Brom dengan sangat ketat. Suara sang King Kong yang tercekik tidak nyaman didengarkan. Hageng sebenarnya segan karena dia menganggap Brom tidak seburuk yang terlihat saat ini. Dia pasti punya cerita dan latar belakang yang menarik. Dengan sengaja, meski tetap menahan kepala lawan dengan kucian yang kuat – Hageng sedikit melonggarkan kunciannya pada leher agar Brom bisa berbicara dengan bebas.

“Ayolah. Aku tidak mau melakukan ini, kita bisa zaja zuatu zaat nanti bertemu di jalan dan minum wedang zecang atau minum zuzu kacang, atau leyeh-leyeh zambil makan zop ayam. Bagaimana kalau kita hentikan zaja zekarang zemuanya?” ucap Hageng yang berusaha keras menahan lengannya tetap berada di leher Brom. “Kamu zangat kuat, aku kagum. Di kezempatan lain, kita biza menjadi kawan.”

“Hehehehe, tidak ada sejarahnya RKZ menyerah. Kalau kami punya tujuan, maka kami akan memastikan tujuan itu tercapai – jika tidak tercapai, maka lebih baik kami mati mencoba mencapainya, daripada hidup tanpa mendapatkan hasil yang diinginkan.” Brom mencoba meronta dan menarik lengan Hageng yang membuat napasnya amat sesak. Apa yang diucapkan raksasa yang gemar senyum itu memang benar, itulah motto RKZ – lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercemin bangkai. “Kami punya kekuatan besar yang selama ini tersembunyi di bawah tanah, jauh dari hiruk pikuk semesta yang kalian kenal. Inilah saatnya kami tampil ke permukaan untuk membumihanguskan semua yang merasa hebat dan besar.”

“Lalu apa? Zemua itu fana dan tidak ada akhirnya. Yang bezar mengalahkan yang kecil, yang kuat mengalahkan yang lemah. Begitu teruz zampai zang zurya tak lagi berzinar. Itu zemua percuma. Di ataz langit pazti mazih ada langit.”

“Benar, tapi kamilah langit yang ada di atas kalian. Kalau kamu mengira ini kekuatan sesungguhnya dari RKZ, maka bersiaplah untuk terkejut. Karena kami akan mengagetkanmu dengan rencana besar kami di kemudian hari. Hehehe.” Tawa Brom tidak berlangsung lama, dia mulai sesak napas, gencetan lengan di lehernya yang tak kunjung lepas membuat pria yang terus saja tersenyum itu mulai memerah dan tenaganya mulai habis. Sepuluh detik masa kritis Brom dimulai dari sekarang!

“Waktunya bicara sudah habiz,” ujar Hageng, “zekarang waktunya tid...”

Heads up!

Hageng mendongak dan di depannya, sepasang tapak sepatu melaju kencang menuju ke wajahnya.

Buoooooogkkkkh!

Tendangan kaki ganda yang muncul tiba-tiba membuat Hageng terlempar ke belakang dan terguling. Kencangnya tendangan bahkan berhasil memecah bibir dan membuat hidungnya terbongkar meneteskan darah.

Terguling di aspal bukan hal yang menyenangkan. Hageng menggunakan kekuatan kakinya untuk kembali berdiri dan melompat ke depan. Sang T-Rex berdiri dengan dua kaki menapak kuat di atas aspal jalan. Dia tersenyum ke depan dan mendapati Jay tengah membantu Brom berdiri. Brom memegang lehernya yang kesakitan, ia memandang Hageng dengan pandangan sengit – tapi kemudian berubah ramah dan tersenyum lebar.

Huff. Ini bakal jadi pertarungan yang seimbang dan melelahkan. Para petarung dari kedua sisi sama sekali tidak tahu caranya mengalah dan menyerah.

Meski Jay dan Brom sama-sama tahu mereka tengah terjebak di antara Hageng dan Amar Barok dan bagaimana keduanya bukan lawan yang bisa dianggap remeh, sikap mereka berbanding terbalik dengan situasi yang tengah dihadapi. Jay tertawa-tawa, bahkan melakukan tos dengan Brom.

“Ini sangat seru!” ujar sahabat Brom itu.

Hageng mengerutkan kening.

Apa-apaan mereka ini?





.::..::..::..::.





Bian yang sedang dicari-cari oleh Roy ternyata sudah berada di sisi lain arena, ia tengah berhadapan dengan lawannya yang kesekian yang ternyata cukup alot. Keduanya sama-sama bertarung dengan tipe boxer, keduanya sama-sama mampu mengatasi gerakan andalan orang yang mereka hadapi. Meski kroco, tapi lawan Bian kali ini cukup membuatnya kerepotan. Gerakan lawan cukup tangkas dan susah ditebak – tapi susah bukan berarti tidak mungkin, masih ada kesempatan untuk menjatuhkannya.

Pukulan Bian kembali terelakkan ketika lawan menggoyang badan ke kanan kiri seperti petinju profesional.

Sang anggota RKZ mencoba merangsek maju usai Bian kehilangan momentum, tapi si bandel tetap di atas angin setelah dia berhasil mengubah langkahnya menjadi ganjil dan memutus ritme lawan. Tekniknya itu ternyata berhasil, langkah kaki lawan menjadi kagok.

Bian yang tahu lawan mulai kebingungan segera memanfaatkan situasi. Badannya terputar sedikit, ia memusatkan badai serangannya pada kaki yang kokoh dan putaran pinggang kencang. Satu back hook melesat dan menghajar pipi kanan sang anggota RKZ.

“Aku ingin begini!”

Jblagkkhh!

Lawan terdorong ke kiri, sempoyongan, oleng, tak lagi balance. Kesempatan buat Bian untuk menyusul serangan itu dengan jab ke wajah lawan. “Aku ingin begitu!!”

Jblagkkhh!

Serangan susulan itu membuat lawan yang ulet roboh ke belakang. Bian tak ingin lawan segera bangkit. Ia menyepak kepala sang anggota RKZ dengan kencang! Lalu lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. “Ingin ini ingin itu banyak sekali!!”

Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh!

Lawan Bian benar-benar sudah tak lagi berdaya. Wajahnya terbongkar dengan darah muncrat kemana-mana. Ia sudah finish dengan napas tersengal dan tubuh lemas.

Tapi satu terbilang, yang berikutnya datang, bagai kocheng oren sekampung yang datang untuk jatah ikan asin. Sang lawan yang baru datang langsung melompat untuk menyergap Bian. Si bandel tak siap menerima serangan yang tiba-tiba.

Buooogkh!

Bian terpapar, kepalan lawan masuk ke wajah, ia roboh, dan bibirnya pecah. Bajingaaaak. Si bandel sengaja membiarkan diri terjengkang dan tidak segera bangkit untuk memancing lawan datang. Benar saja, anggota RKZ benar-benar datang untuk menuntaskan pekerjaan. Tapi sang pekerjaan itu justru memanfaatkan kakinya untuk menyodok lutut sang lawan yang baru datang!

Keseimbangan lawan Bian hilang dan jatuh ke samping. Bian berguling dan menggeser badan untuk mendekati lawan. Ia menjambak rambut lawannya yang panjang dan melepaskan pukulan beruntun ke wajah tanpa sempat ditahan dengan lengan atau kaki. Tumbukan bertubi diledakkan.

Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh! Jblagkkhh!

Begitu kencangnya pukulan Bian sampai-sampai tercerabut rambut sang lawan yang ia jambak. Lawan Bian pingsan dengan wajah penuh darah. Kepalan si bandel bercak merah tak karuan, dia mengelap tangannya ke baju putih lawan. Huff. Napas Bian mulai tersengal, sesak di dada sedikit terasa. Sompret, ia tak sempat lagi menghitung ini lawan yang ke berapa. Ia pun segera berdiri untuk mencari Roy.

Buooogkh!

Satu serangan kencang di wajah Bian menambah muncratnya darah di wajah si Bandel, hidungnya terpapar. Ia terlontar ke belakang dan jatuh terguling. Sungguh sangat telak serangan terakhir di wajah Bian. Yang baru datang untuk menyerang Bian bukan lagi kroco-kroco seperti sebelumnya. Dia adalah Agun – salah satu Capo RKZ yang punya peran seperti seorang kapten.

Bian yang terengah-engah kembali bangkit dengan mata nyalang. Si bandel gundul itu menghapus darah dengan punggung tangan, dan tersenyum sinis. “Datang tak diundang, pulang tak diantar. Orang seperti kamu lebih cocok ditanam di kuburan.”

“Bangsaaat! Masih saja bacot! Woryaaaaaaaaaaaaaa!!” Agun mendesak Bian.

Secara bentuk badan dan proporsi tubuh, Agun dan Bian bisa dibilang setara, dari tinggi, kegempalan, dan bentuk kepala yang sama-sama gundul. Bedanya, Agun mengenakan ikat kepala warna putih, dan tato di tubuh Bian lebih banyak. Secara kemampuan keduanya juga memiliki style bertarung yang hampir mirip – tipe boxer sama-sama menggunakan kepalan sebagai senjata.

Bian sedikit meremehkan kemampuan gerak Agun yang memiliki kesan lambat, padahal sesungguhnya cukup taktis. Dia tidak akan bergerak tanpa perhitungan, dan itu sangat efektif. Desir angin dan hembusan udara dingin pagi yang muncul bagai menghadapkan dua koboi di tengah jalan kota. Si kunyuk Agun punya pukulan yang kencang, keras, dan tajam.

Keduanya maju untuk beradu.

Lagi-lagi Agun lebih cepat, pukulannya telak mengenai hidung Bian yang sudah merah darah karena terbongkar. Si bandel mundul beberapa langkah, tapi segera menggoyang kepala dan maju untuk melepas jab kencang ke wajah Agun.

Jblagkkhh!

Begitu cepatnya tukar pukulan berlangsung sehingga keduanya tak sempat berimprovisasi atau menahan serangan lawan, Bian bahkan tak sempat mengeluarkan kalimat-kalimat khas-nya. Setiap pukulan Bian dibalas Agun, dan setiap sergapan Agun langsung dibalik oleh Bian. Seimbang adalah kata paling tepat menggambarkan kedua petarung. Hantam sekali balas sekali, begitu dijual langsung dibeli.

Napas Bian kembang kempis, untung Agun juga sama saja kondisinya. Keduanya sama-sama mundur beberapa langkah karena kelelahan.

Bian kembali menghapus darah yang makin deras menghias wajahnya. Hal yang sama juga terjadi pada Agun, dia melontarkan ludah bercampur darah. Bian mengangguk dan bersiap kembali dengan pose tinju, sebagaimana Agun melakukan hal yang sama. Keduanya saling pandang, saling lirik dan saling senyum sinis. Mengakui keunggulan dan kemampuan masing-masing.

Keduanya maju bersamaan, Agun menyerang terlebih dahulu. Pukulan beruntun bak senapan mesin. Setiap sergapan punya kekuatan besar dan sengatannya membuat beberapa kali Bian mundur karena perih. Sekali dua kali memang serangan Agun tak terhindarkan, namun di luar itu Bian berhasil menangkisnya.

Bian merubah strategi, dia tidak lagi bertukar pukulan, kali ini dia membiarkan Agun merasa di atas angin dengan sementara tidak membalas, dia ingin membiasakan diri dengan arus dan cara main sang lawan. Bangsat satu ini menyerbu bak seekor banteng menyerang matador, buas sekali. Tapi ada kalanya dia mengambil jeda untuk merubah posisi kaki dan jalur kepalan. Kenapa? Apa karena Kelelahan? Jeda itu bisa dimanfaatkan! Bian mulai membaca cara Agun bertarung dan menyusun rencana.

Dugaan Bian benar, tak lama setelah menyerang, Agun merubah posisi kaki, memberi jeda beberapa detik untuk Bian bersiap.

Beberapa saat kemudian si bandel menjalankan aksinya.

Usai jeda yang ia ambil, dua pukulan beruntun dilesakkan oleh Agun ke badan Bian, satu lagi ditepis dengan tangan, tapi yang satu lagi dihindarkan ke kiri. Tubuh sang punggawa RKZ itu lantas terjorok ke depan karena kekuatan pukulannya sendiri yang gagal menemui sasaran. Lutut Bian beraksi, merangsek masuk ke perut Agun.

“Hkghhhh!” Agun mundur beberapa langkah ke belakang dengan perut bak menelan granat tangan. Rupa-rupanya lutut Bian masuk dengan telak.

Bian tersenyum. Huff. Bagus, serangannya kena sasaran. Tinggal tindak lanjut! Bian maju menyerbu, kepalan tangannya kembali beraksi.

Jblagkh! Jblagkh!

Dua pukulan Bian kembali menyengat, Agun mulai goyah. Tubuhnya sempoyongan. Kalau ada kesempatan terbaik untuk Bian maka inilah saatnya! Bian mendekati Agun dan memberondongnya dengan pukulan bertubi ke arah wajah! “Boku woooo! Tsureteee! Susumeeeee!!!

Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh! Jblagkh!

Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah. Wajah.

Semua serangan Bian masuk, Agun benar-benar sudah kepayahan sehingga untuk mengangkat tangan demi melindungi diri pun tak dapat ia lakukan.

Agun akhirnya roboh di depan Bian yang tersengal-sengal.

Bian mendengus. “Player one wins.”





.::..::..::..::.





Deka menatap ngeri saat Gamal bersiap membuka pintu bengkel Amar.

Dia tidak bisa segera bertindak karena gelombang serangan Galung membuatnya makin jauh dari posisi semula. Bangsaaaaaat! Jangan sampai mereka dapat menemukan Dinda! Deka yang kehilangan fokus membuat serangannya mengendur.

Sbkgh! Sbkgh! Sbkgh!

Tiga sodokan tangan Galung membuat Deka terdesak ke tembok yang jauh dari bengkel. Meski perih tapi serangan itu tidak membuat Deka terluka berkat jurus pelindungnya yang nomor satu.

“Bukaaa bengkelnyaaaaaaaaa!!” teriak Galung sambil tertawa-tawa.

“Bangsaaaaaaaat!”

Deka mulai putus asa. Apalagi dia juga tak berhasil menemukan Amar dimana-mana. Kemana kakaknya itu? Sepertinya Amar sengaja menjauh dari bengkel agar dia dan Dinda dapat selamat. Tapi karena jumlah lawan terlalu banyak dan mereka menyebar, Deka tetap saja gagal melindungi Dinda.

“Bajingaaaaaaaaaan!!” Deka kebingungan.

Kalau saja kemampuan serangnya sepadan dengan kemampuan pertahanannya, maka dia tidak akan terdesak seperti ini. Beginilah kalau lalai berlatih. Dia harus benar-benar mempertimbangkan belajar dengan Pakdhe Wid setelah semua masalah ini selesai.

Pandangan mata Deka tak pernah lepas dari Gamal yang mulai berhasil membuka pintu bengkel. Dia makin khawatir saat Gamal masuk ke bengkel dan terdengar teriakan Dinda dari dalam. Deka mengamuk, tarian nunchaku-nya bak kesetanan. Tapi dia tetap tidak bisa melewati Galung yang ternyata cukup mumpuni, pantas saja dia didapuk menjadi seorang Capo.

“Hraaaaaaaaaaaaaghhhh!” Deka menyodok ke depan.

Sbkgh! Sbkgh! Sbkgh!

Galung kembali mendorongnya ke belakang.

Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya?

“Fokusmu seharusnya di sini. Bukan di sana.” Tukas Galung mengingatkan. “Mulai sekarang, biar kami yang mengurus lontemu.”

Deka tersedak saat kaki Galung menghunjam perutnya. Beruntunglah dia karena sekali lagi Perisai Genta Emas menyelamatkannya dari luka berat. Tapi Deka semakin terdesak dan sudah pasti tidak akan dapat menyelamatkan Dinda. Dia benar-benar putus asa.

Dia hanya bisa pasrah saat melihat tangan Dinda ditarik kasar oleh Gamal.

Seluruh nyawa Deka bagai lolos dari tubuhnya. Dia tidak akan pernah siapapun menyakiti orang yang dia sayangi, Dia tidak akan membiarkan Dinda disakiti Gamal seperti itu, tapi apapun yang ia lakukan rasanya percuma. Dia tidak bisa lepas dari Galung. Saat dia sudah sangat lemas, Perisai Genta Emas-nya mulai luntur.

Deka berteriak kesal.

Saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara lagi.

“Jangan khawatir. Serahkan padaku.”

Galung dan Deka sama-sama tertegun. Suara siapa barusan?

Kawulo namun saderma, mobah-mosik kersaing Hyang Sukmo.” Suara lirih itu tak terdengar siapapun. Sang bayangan melesat bak terbang meninggalkan Deka dan Galung.

Boom.

Mereka sama-sama menatap ke arah bengkel, seperti ada kelebat bayangan gelap yang bergerak teramat cepat menuju ke sana. Begitu cepatnya sehingga mereka sama sekali tidak dapat melihat sosok siapa itu.

Gamal yang sudah membuka rolling door bengkel mencoba menarik Dinda yang berjuang mati-matian dengan berpegang ke kaki meja bengkel. Untung saja meja itu cukup teguh membuat Dinda dapat bertahan sedikit lebih lama.

“Lepaskaaaan! Lepaasss!!” Dinda meronta, kakinya dijejak-jejakkan ke Gamal yang makin kesal.

“Dasar lonteeeeeeee!! Ayo keluaaaaaaar!!” Gamal memaki, pria berangasan itu mengangkat lengan dan siap memukul Dinda untuk menariknya keluar.

Tapi belum sempat ia melakukannya, sesosok bayangan bertopi muncul di hadapan Gamal. Preman itu terkesiap. Siapa orang ini...?

Angkara gung ing angga anggung gumulung.”

Bledaaaaaaam!

Gamal terlontar keluar dari bengkel hanya dengan satu pukulan ke dada. Ia terlempar sangat jauh, terguling, terlontar, dan terbanting berulang. Gamal terengah-engah saat menyadari dirinya sudah terkapar di aspal, ia mencoba bangkit tapi dadanya terasa amat sakit. Bibirnya juga pecah terantuk aspal berulang. Bajingaaaaan! Siapa orang itu!?

Begitu berdiri, ia menyaksikan pintu bengkel sudah ditutup kembali.

Ada satu sosok berdiri di sana.

Nanto.

Si Bengal membalik topi yang ia kenakan sehingga moncongnya berada di belakang, ia menekuk kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu menggemeretakkan jari-jemarinya dengan gerakan saling tangkup. Wajah tampannya yang bengal tersenyum bengis, membuat lawan kian jijik melihatnya.

Gamal mengelap darah yang mengucur dari bibirnya yang pecah dengan punggung tangan. Matanya nyalang ke sosok yang baru datang. Sok jagoan banget nih orang! Emang bisa apa dia? Yang barusan pasti cuma kebetulan! Tak akan ada dua kali!

Gamal terkekeh menganggap remeh, ia tersenyum sinis. “Kampret! Yang tadi tidak akan terulang lagi! Aku tidak akan lengah lagi! Cah ngendi kowe, nyuuuuuk!? Sopo jenengmu!? Siapa namamu!?”

“Namaku?” Nanto tersenyum, “Namaku Uvuvuvwevwevwe Onyetevwevwe Ugwemuhwem Osas.”

Gamal naik pitam, “Matamuuuu suuuuuuuu!!”

Sang preman RKZ bergerak maju, langkah kakinya zigzag. Ke kanan dan kiri, seperti kelinci berlari kegirangan di ladang wortel. Lompatannya tidak penuh, seakan hanya separuh saja ia menggunakan tenaga. Si Bengal geli melihatnya, mau nyerang aja kok repot amat. Nanto mempersiapkan diri, ia menggoyang kepalan. Untuk berhadapan dengan bedebah yang seperti ini dia tidak perlu membuka gerbang apapun. Gamal menyerang dengan gerakan yang terlalu terbuka, kemanapun ia menyerang, tubuhnya selalu memancarkan arah serangan. Telegraphic movement yang sangat terlihat.

Lihat saja sekarang, begitu sampai satu meter di depan Nanto, ia tiba-tiba menghentikan gerakan, tangan kanannya ditarik mundur, setengah badan atas berputar ke belakang, pinggang tetap pada posisinya – ini jelas menunjukkan arah serangan yaitu dari kiri...

Gampang sekali dibaca! Amatiran!

Awas kanan.

A-apa!? Gerbang pertama!? Nanto tertegun, secara reflek tangan kanannya terangkat untuk melindungi diri.

Benar saja. Meskipun gerakan tubuh dan posisi sang lawan seakan-akan menunjukkan bahwa dia akan menyerang bagian kanannya, tapi secara tiba-tiba kaki kiri Gamal naik ke atas tanpa kuda-kuda yang umum dan menghentak bagian kanan Nanto yang untungnya sudah mengangkat lengan sebagai perlindungan.

Bdkkkgh!

Lengan si bengal terhentak kuat, ia mundur setapak karena serangan tadi cukup tiba-tiba, tapi berkat mengangkat lengannya dia bisa bertahan. Gamal tentu saja terkejut bukan kepalang karena serangan mendadaknya gagal menemui sasaran. Bagaimana mungkin orang ini bisa menebak arah tendangannya? Hil yang mustahal! Tae gajah Bangkok! Gamal tidak terima! Ia meluncurkan serangan berikutnya dengan secepat mungkin sebelum orang ini sanggup menerka kembali!

Jika sebelumnya tendangan kaki kirinya gagal menemui sasaran, maka kali ini Gamal meluncurkan pukulan kanannya untuk menyerang. Tentu saja lagi-lagi pukulan itu hanya untuk mengelabui si Bengal, karena berikutnya kaki kiri Gamal kembali melaju kencang! Dia hendak menghancurkan selangkangan Nanto!

Tch. Stupid.”

Ha?

Gamal terbelalak saat menyadari kepalan tangan kanan si Bengal deras melaju ke arah wajahnya jauh lebih cepat dari serangannya yang manapun.

Bledaaaaaakghhh!

Gamal terlontar ke belakang dan terguling berulang.

“Kamu pikir serangan receh begitu bakal bisa digunakan berulang? Seamatir apa memangnya kamu ini?” Nanto menunduk seperti hendak berlari, lalu dalam sekejap mata sudah berada di sebelah Gamal. “Mereka yang beraninya mengeroyok biasanya cuma punya besar di bacot saja. Kucing kecil yang sok-sokan jadi macan.”

Gamal yang masih terbaring di aspal mencoba buru-buru bangkit dengan kesalnya. Niatnya tidak kesampaian. Tapak sepatu yang dikenakan si bengal langsung masuk ke wajahnya.

Jbkkkgghhh!

Gamal tersentak ke belakang, bagian belakang kepalanya terpapar aspal. Dia mencoba bergulir ke samping.

Sblkkghhhhkkk!

Sepakan kaki Nanto mampir ke wajah Gamal, menghajar kepalanya sekali lagi. Kepalanya terhempas aspal sangat kencang, membuat kepala teramat pening. Nanto mengejarnya tanpa ampun, si bengal melompat tinggi – begitu tinggi sehingga membuat Gamal terkejut. Dua kaki Nanto menyeruak masuk ke perut Gamal tanpa ampun. Punggawa RKZ itu terhenyak karena tulang rusuknya serasa remuk dihentak kekuatan besar dari atas.

“Haugkkkkkkhhhhh!”

Mulut Gamal mengeluarkan darah.

Nanto tidak berhenti.

Kakinya menginjak kepala Gamal sekali, dua kali, tiga, empat, lima, enam, tujuh kali!

Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh! Jboogkh!

Sang punggawa RKZ itu habis.

“Hrr...” Gamal sudah tak mampu berucap, wajahnya terbongkar. Ia bahkan sudah tak lagi sadar ia di mana. Ia terkapar tak berdaya.

Sepertinya keduanya bukan lawan yang seimbang, Nanto dengan mudah dapat mengalahkan Gamal bahkan tanpa harus mengeluarkan Ki. Si bengal pun melangkah pergi meninggalkan Gamal yang sudah tak lagi dapat melawan dan terkulai lemas di atas aspal, hanya terdengar rintihan-rintihan pelan dari bibir.

Baru beberapa langkah Nanto berjalan untuk mendatangi rombongan RKZ yang bergerombol, tiba-tiba saja anggota-anggota RKZ itu membubarkan diri mereka. ada yang kabur menggunakan motor, ada yang langsung lari begitu saja. Nanto mengerutkan dahi. Apa gerangan yang terjadi? Mau kabur kemana orang-orang ini?

Sebagian yang terkapar segera dibantu untuk melarikan diri.

Ha?

Apakah sudah begini saja pertarungannya?

Kan dia baru datang?

“I-ini belum berakhir!” Gamal memaki sambil berjalan tertatih di kejauhan, ia bahkan harus dipandu oleh salah satu orang teman RKZ karena tak dapat melangkah dengan baik. Pria itu menatap Nanto dengan pandangan sengit. “Suatu saat nanti, akan aku buat kamu menyesal, bangsat! Ingat janjiku ini! Kita akan bertemu lagi dan di saat itu, akan kubuat kamu menyesal!!”

Mengagumkan bagaimana ia masih dapat berbicara dengan jelas padahal wajahnya banjir darah.

Gamal diboncengkan oleh rekannya dan mereka segera pergi dari tempat itu. Satu-persatu motor dan anggota RKZ pergi, entah apa yang terjadi karena mereka semua kabur dengan terburu-buru. Apa ada aparat datang?

Nanto menggaruk-garuk kepala. Kampret. Dia baru datang kok semua sudah pada kabur? Badalah. Masa cuma begini aja? Rugi bandar. Di tempat yang sama, sedikit jauh dari bengkel, Amar Barok dan Hageng juga ditinggalkan oleh Jay, Brom, dan kawanannya yang sejak tadi mengeroyok Amar tanpa hasil.

“Amar Barok. Kamu sangat menarik. Dikeroyok berapa orang pun tak tergoyahkan. Mantap jiwa sungguh.” Jay dan Brom berdiri di depan Amar dengan senyum aneh mereka. “Kami masih belum menyerah, suatu saat nanti kami harap kamu berdiri di sisi kami dan bukan melawan kami. Entah apakah itu artinya kami harus memaksa kamu atau kamu sendiri yang bersedia menyeberang ke RKZ. Hehehe. Sampai jumpa lagi, Amar.”

Amar mendengus. “Menyeberang ke RKZ? Jangan mimpi.”

“Ketua kami akan menemuimu, Amar. Bersiaplah. Ahhahahaha.” Jay tertawa-tawa sambil menaiki motornya bersama Brom. Mereka ikut dengan yang lain, pergi dari tempat itu secepat mereka datang. Suara tawa Jay masih terdengar bahkan ketika rombongan mereka lenyap di tikungan.

Amar menggelengkan kepala, dasar psikopat. Tidak ada gunanya memikirkan orang seperti dia, lebih baik merasa lega karena akhirnya gelombang serangan RKZ rampung juga. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba kabur. Dia sudah berusaha sebaik mungkin menjadikan dirinya target serangan yang tidak melawan demi menyelamatkan Deka dan Dinda.

Serangan dari RKZ pagi ini membuatnya berpikir. Mereka benar-benar kelompok yang misterius. Menyerang dengan model gerilya, bergerombol, main keroyok, datang dan pergi seenak wudel sendiri. Siapa mereka sebenarnya?

“Ma-Mas Amar tidak apa-apa?”

Suara seorang wanita mengagetkan Amar. Ketika dia berbalik, Dinda sudah berdiri di depannya. Amar lega melihat Dinda selamat. Tujuannya memilih lokasi yang makin jauh dari bengkel adalah untuk menjamin keselamatannya.

“Aku tidak apa-apa.” jawab Amar.

Dinda mendekat dan mengelap keringat dan luka Amar dengan tissue yang ia bawa. Amar tertegun sejenak, tapi kemudian terdiam. Ia menatap Dinda tanpa berkedip, dilihat dari jarak sedekat ini, gadis ini semakin bersinar kecantikannya, bahkan jika kondisinya kotor karena bersembunyi di bengkel yang punya banyak lelehan oli di sana sini.

Setelah beberapa saat, Amar memegang pergelangan tangan Dinda. Wajah gadis itu memerah, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, jarak mereka berdua sangat dekat.

“Sudah, cukup, aku tidak apa-apa.” kata Amar. “Pastikan Deka juga baik-baik saja.”

“I-iya, Mas.” Dinda mengangguk dan segera berbalik untuk menemui Deka.



Amar segera mengalihkan pandangan ke arah Deka dan kawan-kawannya. Lumayan juga mereka, sangat cepat bisa berkumpul di sini. Harus diapresiasi. Sang singa Dinasti Baru mendengus dengan senyum kecut dan berjalan menuju Nanto yang tengah beristirahat di tepian trotoar. Amar mengulurkan tangan, “terima kasih. Kalian lumayan juga.”

Nanto berdiri dan membalas salam dari Amar. “Sama-sama, Mas. Maaf aku agak telat, tapi yang lain sudah terlebih dahulu datang.”

Belum sempat berbicara banyak, tiba-tiba saja hadir motor-motor baru di tempat itu. Kedatangan mereka hanya terpaut beberapa saat dari kepergian RKZ, bisa jadi gara-gara mengetahui akan datangnya rombongan motor ini sehingga RKZ memutuskan untuk kabur. Dasar gerombolan banci pengecut!

Rombongan yang baru saja datang membawa pasukan untuk memenuhi jalanan, wajah mereka kesal dan ganas, seolah-olah tidak terima ada kelompok lain mengincar anggota utama kelompok mereka. Orang-orang ini tentunya adalah kawanan unit bermotor Dinasti Baru.

“Kalian terlambat,” Amar tersenyum. “Mereka sudah pergi dari sini.”

“Sengaja, Bang.” Sapa salah seorang anggota sambil memberikan salam pada Amar. Ia mengangkat botol minuman keras yang masih dibawa-bawanya. “Lotse lebih enak daripada perang. Kami juga tahu kamu tidak akan membutuhkan bantuan kalau hanya berhadapan dengan anakan kecoak.”

“Wasu.” Amar memukul ringan temannya itu.

Satu persatu anggota Dinasti Baru turun dari motor.

Lima Jari hanya menyaksikan kedatangan mereka dengan hati dan perasaan yang gamang.





.::..::..::..::.





Lobi hotel di Jalan Kalipenyu KM bawah nampak lengang, mungkin tingkat hunian hotel sedang rendah, jadi terasa sepi sekali. Tangga melingkar dari lobi menuju ke atas menjadi satu-satunya pemandangan menarik karena berada tepat di antara kursi tamu dan pintu masuk. Musik gamelan mengalun pelan membuat hati yang gersang bagai disiram air yang sejuk.

Seorang pria turun dari tangga yang melingkar dan berjalan pelan menuju kursi tamu, Adrian masih berkutat dengan laptopnya saat pria itu berdiri di hadapannya.

Adrian sontak terkejut. Siapa orang ini?

“Selamat pagi Pak Adrian.”

“Selamat pagi. Maaf, Bapak ini...?” Adrian tidak menduga akan menjumpai orang ini, dia berharap akan bertemu orang lain.

“Saya hanya perwakilan dari perusahaan kakak saya. Mohon maaf sebelumnya karena beliau tidak dapat hadir sehingga mewakilkan urusan ini ke saya. Beliau sedang pergi keluar kota untuk menghadiri acara keluarga, tapi seperti yang sudah disampaikan melalui meeting tempo hari, kami berjanji akan mengusahakan dana untuk membeli saham kepemilikan start-up yang keuangannya dikelola oleh Pak Adrian. Dengan investasi kami, kami berharap semua halangan dan kesulitan keuangan start-up Bapak dapat teratasi dan kita semua bisa melangkah menuju masa depan yang cerah dan menguntungkan.” Orang itu tersenyum sembari menyerahkan sebuah map. “Ini penawaran dan rencana kami, jika disetujui maka kami akan membeli sebagian besar saham perusahaan Bapak. Untuk pengaturan masalah finansial akan dibicarakan lebih lanjut lagi dengan dewan pimpinan kami nantinya.”

“Te-terima kasih banyak. Saya juga harus menyampaikan ini ke pimpinan.” Adrian benar-benar tak percaya dia akan bertemu dengan penyelamat yang tiba-tiba saja hadir seperti ini. Ini mukjizat! Perusahaannya masih bisa selamat setelah semua pemerasan yang dilakukan oleh Eva! Dia memasukkan proposal dari sang penyelamat ke dalam tas. “Semoga semua ini berjalan dengan baik. Terima kasih banyak, Pak...”

“Reynaldi. Panggil saja saya Rey.”

“Terima kasih Pak Rey.”

“Sama-sama.”

Rey tersenyum penuh arti saat melihat Adrian berkemas-kemas.

Jadi ini suamimu, Asty? Kota ini bukan kota yang teramat besar rupanya, karena kemanapun kita melangkah, kita akan bertemu dengan siapanya siapa. Tapi sungguh jodoh bukan kalau ternyata aku bertemu dengan suamimu? Bagaimana kalau kita jadikan permainan ini lebih menarik?

“Pak Adrian.”

“Ya, Pak Rey?”

“Pak Adrian sudah sarapan? Mari kita sarapan bareng. Ada beberapa hal yang sepertinya asyik kita bicarakan pagi ini. Saya lumayan tertarik bicara mengenai IT dan teknik kerja di perusahaan Bapak, mungkin bisa jadi pengetahuan dan masukan baru buat saya. Kita bisa sarapan di belakang, Pak. Restoran hotel ada di sana.”

“Ha? Oh... hmm... tapi tadi saya sudah sarapan dan...”

“Dimasakkan oleh Bu Asty ya? Hahaha.”

“Ha? I-iya...” Adrian mengerutkan kening, “Kok Bapak tahu nama istri saya?”

“Mungkin Bapak lupa kita pernah ketemu sekilas sewaktu Bapak menjemput Bu Asty di SMA CB. Saya kebetulan juga mengajar di SMA CB, Pak. Tapi kadang secara khusus seperti hari ini saya membantu usaha kakak saya.”

“Oooooh ya ya... mengajar di SMA CB? Wah kebetulan banget. Dunia ini ternyata tidak seluas yang kita perkirakan ya. Muter ke situ-situ juga orangnya.” Adrian berdiri setelah semuanya rapi dan dikemas.

Rey tertawa dan berjalan ke samping suami Asty itu. Dia mempersilakan Adrian untuk menuju ke restoran yang terletak di bagian belakang hotel.

“Sepertinya ini akan menjadi awal dari persahabatan yang luar biasa, Pak Adrian.”

“Mudah-mudahan Pak Rey.”

Rey menyeringai.





.::..::..::..::.





Pintu depan Ndalem Banjarjunut porak poranda. Pasukan penjaga gerbang terkapar tak berdaya. Sepagi ini pasukan KSN yang sudah resmi bubar dikagetkan serangan mendadak oleh orang yang tak dikenal. Siapa pula yang menyerang mereka?

Oppa, Roni, Amon, Kang Daan, Albino, dan Tedi Ganesha berjajar di depan rumah utama. Mereka sejak beberapa hari masih berada dalam kondisi kebingungan karena KSN dibubarkan dan secara tidak langsung harus bergabung di bawah PSG yang tentu saja menimbulkan gelombang pro dan kontra. Opsi pertama adalah bergabung dengan PSG, sedangkan opsi kedua adalah mendirikan kelompok baru yang jelas menentang Lek Suman dan PSG, opsi ketiga adalah bergabung dengan kelompok lain untuk menentang dominasi Aliansi di wilayah utara.

Lalu pagi ini, tiba-tiba saja, gerbang depan Ndalem Banjarjunut didobrak oleh seseorang tak dikenal.

Seseorang.

Apakah dia sendirian saja?

Pria itu berdiri tegak sambil menepuk tangannya yang berdebu dan tertawa keras-keras. Barisan penjaga gerbang dan pasukan KSN yang tak kurang dari sembilan orang terkapar di sekelilingnya, kalau tidak pingsan mereka hanya sanggup mengerang kesakitan tanpa sanggup berdiri.

“Hahahahaaha! Mana ketua kalian!? Aku mau bicara! Hahahahah.” Suara kencang menggetarkan seluruh kawasan. “Aku mau bicara! Hahahaha.”

Sosok pria yang baru datang punya rambut gondrong ndeso yang arah nyisirnya ga karuan, keriting tapi dipaksa gondrong sampai sebahu, entah keputusan apa yang membuatnya memiliki penampilan seperti itu, padahal sudah jelas tidak akan menambah ganteng wajahnya. Perawakan badannya juga tidak nyaman dipandang. Gempal, gemuk, bundar, dan pliket – kayak bakso urat. Sekilas lihat bisa dikira Ron Jeremy si legenda film porno, sekilas lihat lagi bisa dikira kepalanya ketempelan pohon cingcau rambat.

“Siapa lagi makhluk jadi-jadian ini?” desis Tedi Ganesha emosi. Dia memang beberapa hari ini ngamuk melulu, apalagi jika dipaksa masuk PSG yang jelas dia sendiri tidak ingin melakukannya. PSG jauh di selatan dan merupakan preman-preman yang beroperasi di pasar, bukan seperti mereka yang punya gaya intelek.

Oppa dan Amon yang tangannya masih dibalut perban maju bersamaan ke depan, si ganteng berkacamata menyambut kedatangan pria tersebut sementara para anggota KSN mengerubuti dan melingkari posisi sang pria nekat.

“Aku yang bertanggung jawab di sini, siapa kamu, dan apa maumu?” tanya Oppa dengan ketus. Dia sedang tidak ingin main-main. Urusan PSG sudah membuatnya pusing, dia juga termasuk salah satu orang yang menentang keputusan KSN bergabung ke PSG. Sekarang bukannya bertambah tenang, malah ada masalah baru dengan datangnya si bakso urat ini.

“Hahahahhhaahaha. Wah, kamu pimpinan KSN? Masih muda dan ganteng. Hahahaa.” Pria gempal itu menarik sebungkus permen karet Big Bolob dari kantong bajunya, membuang bungkusnya sembarangan, menelan permen dan berjalan ke depan Oppa tanpa rasa takut sedikitpun, mulutnya berkomat-kamit mengunyah permen karet. “Aku datang dengan maksud baik. Tapi teman-teman kalian di depan tadi malah menyerang, jadi aku sekedar mempertahankan diri saja. Maaf kalau membuat mereka terkapar, nanti biaya perawatan aku yang bayar. Hahahahaha. Namaku Bambang tapi teman-teman dari Wetan memberiku julukan Jenggo. Jadi panggil saja aku Bambang Jenggo... dan ini...”

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja di belakang Bambang Jenggo muncul dua orang lagi pria berbadan besar dan perkasa, di sebelah kanan dan kiri. Mereka seperti kembar, susah dibedakan jeleknya. Mana yang lebih buluk dari yang lain. Keduanya mirip seperti penjahat di film India, kulit gelap, berkumis tebal, badan gempal, senyum lebar gigi kuning, suka geleng-geleng kepala, dan mengenakan beanie hat atau kupluk dengan warna gelap.

“Ini adalah dua jenderalku, Alang Kumitir dan Tunggul Seto. Keduanya susah dibedakan ya? Mereka kembar identik. Identik sama gentong. Hahahahah.” Kembali Jenggo melucu tapi tidak ada seorang pun dari KSN yang tertawa, sebaliknya kedua gentong tertawa mengikuti sang pimpinan. “Ya... ya... mereka berdua Jenderal kepercayaanku. Mirip seperti posisimu sekarang, cah bagus.” Jenggo menunjuk ke arah Oppa sambil menyeringai. “Aku tahu kamu hanya pimpinan sementara saja setelah pimpinan kalian kaput. Kondisi kalian juga kalang kabut karena di utara Aliansi merajalela dan kalian akan segera ditelan jika tidak segera bergabung dengan PSG. Nah, aku datang untuk memberikan opsi berikutnya buat kalian. Kalian punya potensi yang besar.”

Oppa saling pandang dengan Roni dan Amon. Apa lagi maksud si bakso urat ini?

“Kalian tidak bisa terus menerus berlindung di bawah kelek Lek Suman. Ketiaknya bau amis, mending bergabung denganku dan menjadi kekuatan baru di kota. Kita tidak perlu markas, tidak perlu kandang. Kita bisa berpindah-pindah tempat sesuai kemana hati menginginkan.” Cerocos Jenggo tanpa henti. Ia mengunyah permen karetnya tanpa henti sambil menyebarkan seringai yang mengerikan. Wajahnya sebelas dua belas dengan Darsono, mengerikan dan menjijikkan, tapi memiliki nuansa kepemimpinan yang tidak bisa dipungkiri.

Oppa bimbang, siapa orang ini? Tiba-tiba saja menawarkan mereka opsi untuk bergabung? “Jangan bikin kami tertawa. PSG adalah kelompok besar di kota, kami jelas akan memiliki jejaring yang besar jika bergabung dengan PSG. Sedangkan kalian? Kami sama sekali tak mengenal kalian!”

Jenggo tertawa, “sebentar lagi kalian akan tahu betapa mengerikannya kekuatan kami. Ahahahahah. Kalian mau membuktikan? Boleh saja, silahkan berhadapan dengan dua jenderalku ini.”

“Dari tadi jenderal-jenderal melulu! Kamu itu siapa dari kelompok mana, bangsa...” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Tedi Ganesha tersentak dan terbang ke belakang. Dadanya disodok dengan kekuatan dahsyat yang tidak main-main. Ia terbanting dan terguling beberapa kali di tanah. Tedi mengejang sesaat sebelum mulutnya tersedak mengeluarkan darah.

Di posisi tempat Tedi Ganesha sebelumnya berdiri, kini hadir sosok Alang Kumitir. Posisinya setengah merunduk dengan lutut ditekuk, wajah serius, siku tangan menyorong ke depan. Siku tangan inilah yang tadi menghempaskan Tedi ke belakang.

“Ada lagi yang mau mencoba? Hahahahahah.” Jenggo tertawa, “Kum! Mundur! Kita negosiasi dulu!”

Hanya dengan sekejap mata, Alang Kumitir kembali berdiri di sisi Jenggo.

Jenggo berdehem. “Mungkin salahku tidak mengenalkan diri terlebih dahulu. Coba aku ulangi ya, supaya kalian lebih paham berhadapan dengan siapa. Aku Bambang Jenggo, di kiri ini Alang Kumitir, dan di kanan Tunggul Seto. Kami bertiga menawarkan kalian dari KSN untuk bergabung dengan Randupanji Kombat Zombies. Kami berjanji akan menyalakan obor yang diperlukan untuk membakar kota dan menghabisi semua kelompok, entah itu PSG, QZK, JXG, atau Aliansi sekalipun – kalau kalian hanya ingin berkuasa di utara, kenapa tidak sekalian saja menguasai seluruh kota? Hahahaha. Kamu – cah bagus, akan menjadi Jenderal ketigaku dan akan memimpin unit pasukan mudamu jika bersedia bergabung denganku. Yang tidak bersedia, boleh gabung ke PSG. Bagaimana? Hahahaha.”

“Randupanji Kombat Zombies? RKZ?” Oppa meneguk ludah.

“Seratus.” Jenggo tersenyum licik. “Minat?”

“Patut dipertimbangkan.” Kang Daan mengangguk setuju.

“Tidak mau! Jangan sampai mau, Oppa!” Tedi Ganesha yang tadi dipermalukan berdiri dengan sengit, “PSG saja aku tidak mau apalagi kelompok sirkus semacam RKZ! Aku lebih memilih membentuk kelompok sendiri atau hancur sekalian daripada bergabung dengan mereka! Kelompok ga jelas!”

“Tidak jelas? Hahahahaha.” Jenggo tertawa, “bagaimana kalau kami buktikan saja? Akhir-akhir ini JXG bergerak dengan gerilya, hanya mengeluarkan punggawa-punggawa mereka dan bertindak hati-hati. Tapi dalam waktu dekat – RKZ yang kamu bilang tidak jelas ini akan bisa memancing JXG turun gunung lebih cepat dan memporakporandakan PSG sampai tuntas. Untuk hal semacam itu tidak butuh waktu lama bagi kami, apalagi hanya menepuk lalat seperti Aliansi. Bagaimana? Hahahahaha.”

RKZ akan memancing JXG menghancurkan PSG? Apa maksudnya? Oppa berpikir keras, apa yang harus dilakukannya? Bergabung dengan RKZ berarti mengkhianati Lek Suman, tapi pimpinan RKZ ini bilang dia bisa mengadu domba PSG dan JXG untuk melakukan perang besar. Kalau bergabung dengan PSG, bukannya jadi aman, malah bisa-bisa dikorbankan saat perang melawan JXG.

Tedi yang sudah bisa kembali berdiri mendekati Oppa, demikian juga Kang Daan.

“Tidak ada salahnya mempertimbangkan penawarannya, Bos. Kita tidak perlu hijrah ke selatan hanya untuk jadi sapi perah yang terus menerus dipekerjakan oleh PSG,” ujar Tedi Ganesha, “apalagi kalau sampai PSG perang dengan JXG. Selatan akan membara. Tidak ada untungnya buat kita.”

Kang Daan menggeleng, “peperangan PSG dan JXG sudah tinggal tunggu waktu saja dengan muncul atau tidaknya RKZ. Mereka hanya memanfaatkan peluang di air keruh. Kita harus mengikuti apa kata Lek Suman, pengalamannya sudah pasti lebih banyak daripada kunyuk dengan rambut cingcau rambat ini. Jangan gegabah mengambil keputusan untuk kita semua.”

“Hahahahahahah. Silahkan ambil keputusan,” Jenggo menarik kartu dari kantung bajunya dan melemparkannya sembari mengedipkan mata ke Oppa.

Sbpb!

Lemparan kartu itu teramat kencang – begitu kencangnya sehingga kartu nama Jenggo bisa menancap di sebuah pohon. Ki yang ia miliki jelas bukan Ki main-main. Oppa menggelengkan kepala, dia tidak mengira level lawan-lawan yang dihadapi makin besar dan makin kuat. Salah pilih pohon tempat berlindung dan mereka akan tercerabut sampai ke akar-akarnya. PSG atau RKZ?

“Itu kartu namaku, ada nomer telepon yang bisa dihubungi di situ. Silahkan ambil keputusan secepatnya. Jika tidak menghubungi kami dalam seminggu ini – kita akan bertemu lagi di kesempatan lain sebagai lawan. Hahahahaha.” Jenggo menyeringai sambil menjilat bibirnya sendiri, “kalau ada sumur di ladang boleh kita menumpang mandi. Kalau ada cah bagus mandi, boleh kita ikut nyabuni. Hahahahahah.”

Oppa bergidik ngeri sekaligus jijik. Bangsat! Anjim! Jijay! Wedhus!

Ketiga orang aneh itu melangkah pergi dari Ndalem Banjarjunut. Sayup-sayup terdengar Jenggo mendendangkan lagu It’s Raining Men.

Pimpinan RKZ begini amat yak?

Oppa harus segera mengambil keputusan. Ia memandang satu persatu kawan-kawannya yang hadir pagi itu. “Bagaimana menurut kalian?”

Kang Daan dan Tedi Ganesha berhadapan. Keduanya saling mendekat dan saling pandang, masing-masing tahu kalau saling berbeda pendapat. Apalagi keputusan penting ini akan menempatkan mereka pada kelompok yang berbeda dan akan berseteru suatu saat nanti. Dua kubu sudah tercipta, KSN hanya tinggal ambil suara.

Oppa tahu jika dia tidak segera mengambil keputusan, ataupun jika dia salah mengambil keputusan, pasti KSN yang sudah tercerai berai ini akan terbagi-bagi. Dukungan dari Lek Suman dan PSG jadi harga yang harus ditebus.

Mana pilihan yang terbaik?

Don Bravo yang mengamati dari kejauhan hanya bersidekap sembari sesekali mengunyah bengkuang. Ia bersandar ke pagar dan duduk di lincak dengan santai. Kori duduk di sebelahnya.

“Bagaimana menurutmu, dab?” tanya Kori sembari tersenyum lebar.

Don Bravo terkekeh, “Apapun keputusan Oppa, KSN sudah pasti akan terbelah. Sebagian akan ke PSG, sebagian mungkin berminat ikut RKZ, sebagian lagi bisa jadi akan mencoba membuat kelompok sempalan-sempalan baru tapi pasti hanya akan habis tergerus masa. Aku malah penasaran kira-kira panjenengan akan melabuh kemana, dab. Terlalu misterius tidak akan baik untuk kesehatan, lambat laun siapa panjenengan akan terbongkar juga. Kekekeke. Ini bukan ancaman, ini kenyataan.”

Kori tertawa, ia menepuk pundak Don Bravo.

“Aku hanyalah Scooby-Doo yang diutus oleh monster untuk bersembunyi di belakang monster lain, mas dab. Kekekeke.” Kori mengangkat bahu, “aku sih masa bodoh. Semakin besar monster tempatku bersembunyi – justru semakin bagus. Mudah-mudahan Oppa bisa memutuskan dengan benar karena aku sudah tidak sabar melihat kelompok-kelompok besar ini saling bunuh. Kota bisa aman tanpa ada yang harus turun tangan.”

Don Bravo tersenyum sinis, “dasar oportunis. Kesempatan dalam kesempitan. Memanfaaatkan geliat dalam sempak kekecilan.”

Kori tertawa lagi.





.::..::..::..::.





Rupanya kedatangan rombongan motor NWO-lah yang akhirnya berhasil mengusir semua anggota RKZ yang lantas pontang panting melarikan diri ke segala arah. Situasi jelas sangat menguntungkan bagi Lima Jari dan Amar Barok. Entah bagaimana caranya, para petinggi RKZ sudah tahu lebih dulu mengenai kedatangan pasukan NWO, sehingga mereka dapat kabur lebih cepat dan meninggalkan kroco-kroco di belakang tunggang langgang masuk ke kampung-kampung.

Yang penting pertarungan hari ini sudah usai.

Motor-motor NWO diparkir di sepanjang jalan dengan sebagian besar anggotanya turun untuk berjaga dan membantu membersihkan area.

Lima Jari beristirahat di tepian trotoar sambil menarik napas lega. Akhirnya pertarungan yang menghancurkan semangat pagi itu usai juga.

Sebenarnya sudah bukan rahasia - tentu saja Amar Barok akan dibantu oleh Dinasti Baru! Itu sudah jelas, hanya tinggal tunggu waktu sebelum mereka datang – apalagi lokasi bengkel Amar ada di kawasan tengah yang tidak jauh dari basis operasi Dinasti Baru. Kedatangan mereka yang terlambat dapat juga dijadikan penunjuk kalau Amar Barok sangat dipercaya untuk bisa mengatasi orang-orang RKZ tanpa perlu bantuan pasukannya sendiri.

Amar Barok menepuk pundak Deka, “kalian tidak apa-apa?”

Deka membalas dengan tersenyum sinis dan memukul dada sang kakak. “Bangsat, jangan pernah sok jago di depanku lagi.”

Amar mengangguk, ia menarik bungkus rokoknya dan menarik sebatang. Korek api dinyalakan dan batang rokok itu segera menyala. Asap membumbung ke udara. “Tidak akan lagi. Sudah cukup pertarungan hari ini. Kami yang akan membersihkan jalan, kalian balik ke utara saja.”

Nanto dan kawan-kawan dari lima jari setuju.

Dinda duduk di dalam bengkel yang kini sudah dibuka kembali. Kedua kakak beradik itupun menatap sang gadis idaman dengan pandangan yang sama-sama lega, setelah semua yang terjadi tadi, yang paling penting adalah Dinda selamat.

“Kamu tidak apa-apa?” Deka mendekat ke arah Dinda dengan senyum lebar. Ia memegang tangan gadis itu erat. Dinda tersenyum dan mengangguk. Gadis itu berdiri dan menggandeng Deka ke arah Amar yang duduk di tepian trotoar sambil melihat rombongan NWO merapikan jalan di depan bengkelnya. Meski preman, mereka tetap punya aturan.

“Mas Amar, Mas Deka...” Dinda mendatangi pria gagah itu bersama Deka. Ia mengangkat tangan Amar dan menggenggamnya erat, Dinda kini menggandeng tangan kedua kakak beradik itu bersamaan. “...aku memutuskan untuk tetap...”

Belum sempat Dinda berucap, kalimatnya terpotong.

“Woy woy woy!” Bian menghampiri Deka, ia mendorong pundak sang sahabat. “Apa-apaan ini!? Siapa cewek ini? Mau kamu kemanakan Ara? He? Jangan macem-macem, Ndes! Ora well babar blas! Ara itu sudah kayak satu bagian dari kita! dia jari keenam, Ndes!”

“Bi, ini bukan saat yang tepat.”

“Saat yang tepat gimana?”

“Kamu memotong di saat yang salah, sumpah. Pasti nanti aku jelasin ke kalian semua. Biar Dinda bicara dulu, nanti aku akan...” Deka berusaha menenangkan Bian yang wajahnya berubah serius, dia melirik ke Dinda yang kembali khawatir melihat adu mulut Bian dan Deka.

“Mas... aku tidak mau kalian...”

“Tenang, Din. Aku yang akan menyelesaikan ini.” Deka berbalik untuk menatap teman-teman lima jarinya yang bertanya-tanya. “Kalian tenang, aku bisa menjelaskan semuanya. Tapi aku mohon beri aku waktu...”

“Kalau kami sih tidak butuh penjelasan.” Terdengar seseorang memotong kalimat Deka.

Jboooookghhhh!

Pukulan kencang mengarah ke wajah Roy. Dia terhempas ke belakang karena tidak mengira akan ada orang yang menyerang secara tiba-tiba. Semua anggota Lima Jari terkesiap karena terkejut. Bahkan Amar Barok pun terbelalak.

Tapi Roy sudah jatuh dan Lima Jari langsung bersiaga.

Edi Jerangkong berdiri di hadapan pasukan NWO yang berwajah buas. Mereka siap mendukung orang yang baru saja merobohkan Roy. “Kalian pikir pertarungan hari ini sudah selesai? Pertarungan hari ini justru baru dimulai, bangsaaaaaat!”

Roy dan Bian menggemeretakkan gigi hampir bersamaan, ini orang yang kemarin mereka habisi di warung lele. Tak disangka akan secepat ini berjodoh kembali dengan mereka.

Sepertinya pagi ini urusan masih panjang.

Edi berteriak kencang. “Heaaaaaaaaaa...”

Boom!

Edi Jerangkong terlempar ke belakang empat meter jauhnya dan terguling-guling. Wajahnya terantuk aspal berulang kali. A-apa yang barusan membuatnya terlempar? Edi Jerangkong berusaha bangkit untuk mengamati satu persatu anggota Lima Jari.

Roy? Bukan, dia baru mulai berdiri setelah tadi ia pukul.

Bian? Bukan, dia masih berdiri di dekat Deka dan Amar dan memasang kuda-kuda.

Deka? Bukan juga, dia baru saja melepaskan gandengannya dari cewek yang keluar dari bengkel dan sekarang memainkan double-stick-nya dengan wajah buas.

Hageng sang T-Rex? Raksasa itu berdiri dengan menggemeretakkan jari-jemarinya sambil mendengus kesal. Dia baru saja membantu Roy berdiri, jadi bukan dia.

Satu-satunya orang yang bisa melemparkannya adalah...

Nanto melangkah pelan dan berdiri di depan semua anggota Lima Jari. Wajahnya bengis mengerikan, matanya menatap tajam, tangannya terkepal. Dengan kemampuannya saat ini, Edi Jerangkong jelas tidak bisa merasakan aura Ki yang menyala hebat dari si Bengal.

Amar Barok menatap Nanto dengan wajah terkejut. Kemampuan bocah ini...

“Tidak ada.” bisik Nanto sambil menunjuk ke arah Edi Jerangkong, “Tidak ada orang yang dapat pergi dari tempat ini hidup-hidup setelah memukul temanku. Paham?”

Edi Jerangkong menggemeretakkan gigi dengan geram, mana bisa dia diam saja diancam seperti itu! Memangnya siapa mereka? Bocah kemarin sore sudah kurang ajar! Teriakan-teriakan anggota NWO yang tidak terima dengan perlakuan Lima Jari pada Edi Jerangkong membuat NWO langsung meradang.

Edi tersenyum sinis pada Nanto, ia mengayunkan tangan. “seraaaaaaaaaaaang!!”

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!!

Bledaaaaam! Bleddaaaaaaam! Bleddaaaaaaam!


Sentakan tenaga besar Raungan Singa Emas membentuk angin kencang yang membelah dan memisahkan pertarungan antara Lima Jari dan NWO, bebatuan terlempar kencang menimbulkan suara keras memekakkan. Nanto dan Edi sama-sama dipaksa mundur teratur.

“Apa-apan kalian ini!?” Amar Barok dengan kesal berdiri di tengah antara NWO dan Lima Jari. “Kita baru saja selesai melakukan pertarungan dengan RKZ! Bukannya memutuskan apa yang harus kita lakukan dengan bajingan-bajingan itu, sekarang malah bikin urusan tambah runyam dengan mereka yang sudah membantu kita! Kenapa NWO harus cari masalah dengan Aliansi?”

“Hah!? Aliansi? Kami tidak ada urusan dengan Aliansi! Persetan dengan mereka! Mereka ini kemarin menyerangku dan dua teman lain! Masa tidak dibalas?” Edi membalas dengan kesal sambil menunjuk ke arah Roy dan Bian.

“Pasti ada alasannya. Mereka tidak akan menyerangmu tanpa alasan!” Amar membela dan berdiri di depan Lima Jari, dia sempat melirik ke arah Roy dan Bian yang tak gentar ditantang oleh Edi Jerangkong. Amar kembali membalikkan badan dan menatap mata Edi dengan tajam, “aku kenal mereka sejak lama, jadi kalau ada apa-apa...”

“Bang Amar! Bocah itu juga yang kemarin hari bikin masalah dengan Om Kimpling dan unit Slayer Biru malam-malam!” anggota Slayer Biru yang pagi ini hadir mengingat Nanto yang pernah berurusan dengan NWO kala itu.

“Itu salah paham saja.” Amar mencoba memberikan alasan. “Aku juga hadir di sana, kan?”

“Amar.” terdengar sebuah suara yang berat dan tenang, suara yang membuat Amar Barok tertegun. “hanya karena mereka adikmu dan teman-temannya, bukan berarti kita akan selalu mengampuni mereka. Sudah dua kali kita dipecundangi tanpa bisa membalas, masa begitu terus? Kita juga punya harga diri yang harus ditegakkan, mau diletakkan di mana muka kita kalau harus terus menerus mengalah pada sekumpulan bocah seperti mereka? Kamu sebagai panglima Dinasti Baru seharusnya paham hal itu.”

Suara itu berasal dari sosok seorang pria yang baru hadir di arena. Kedatangannya disambut dengan diamnya seluruh anggota Dinasti Baru, mereka menyibakkan barisan untuk memberikan jalan bagi sang pria yang sangat dihormati itu. Ia berjalan dengan tenang setelah datang hanya dengan mengendarai sebuah vespa tua biru yang warnanya lapuk. Tidak ada seorang pun anggota Dinasti Baru yang berani menatap wajahnya, kecuali Amar dan Edi yang sama-sama terkejut melihat kehadirannya.

Amar segera menundukkan kepala, memberi hormat. “Salam, Ketua.”

Edi juga melakukan hal yang sama, dia sama sekali tidak menyangka pagi ini dia akan melihat sosok yang sangat diagung-agungkan oleh Dinasti Baru. Pria kurus berjuluk Jerangkong itu terbata-bata, “Se-selamat pagi, Ketua.”

Deka menghela napas panjang.

Gawat. Urusannya bakal tambah panjang dan gawat kalau ketua Dinasti Baru juga turun tangan. Mungkin ada baiknya kalau mereka minta maaf dan tidak menambah daftar panjang kesalahpahaman di antara NWO dan Aliansi. Ya, mungkin itu yang harus...

HAH!?

Deka terbelalak.

Semua orang terkejut ketika tiba-tiba saja Nanto berjalan santai dengan tangan diselipkan masuk ke saku celana menuju ke orang nomor satu Dinasti Baru. Si bengal menghentikan langkah sang ketua sebelum ia mencapai posisi Edi dan Amar, ia berdiri di tengah-tengah mereka.

Si bengal dan ketua Dinasti Baru beradu pandang, sikap mereka tenang, tapi sudah siap untuk sama-sama menantang.

Si Bengal menatap orang yang baru hadir tanpa rasa takut sedikitpun.

“Bo-bocah itu!” Amar mendesis ngeri.

“Nanto!” Deka dan kawan-kawan lima jari saling berpandangan.

Nanto tak tergoyahkan oleh apapun.

“Semua masalah berawal dariku, jadi aku yang akan bertanggung jawab, bukan Bang Amar, bukan teman-temanku.” Nanto berdiri tegap di depan sang ketua Dinasti Baru yang wajahnya masih ditutup slayer dan helm. “Aku yang mengawali, aku yang akan menyelesaikan.”

“Hahahaha, sudah siap mati sepertinya.” Sang ketua tertawa memperhatikan Nanto sembari melepas helm dan kain slayer-nya dengan tangan kanan. Matanya tajam menatap si bengal, sementara tangan kirinya terkepal. Ki-nya menyala. “Baiklah. Mari kita selesaikan.”

Nanto mengangguk.





BAGIAN 5-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6



BONUS KONTEN

Suek.....keren ente hu....jancukkkkkk
 
Terimakasih atas update ceritanya suhu @killertomato ..
Wah keren, perkenalan RKZ dari ketua sampe jagoannya,
Dan ini mo perkenalan NWO,
Jangan2 ketuanya Om Darno, hahaha
Makanya Nanto berani maju..
Wah Rei kirain modal ganteng dan SSI doank,
Ternyata punya ilmu jg,
Jangan2 ilmu sesat itu yg lg dilatih sama guru yg masih misterius..
Dalam bahaya ini Bu Asty..
Rao murahan bgt, ditraktur gudeg langsung berubah pikiran, hahaha..
Ini jdnya Aliansi koq nantang kemana2 yak? Hehe
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd