Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
BAGIAN 14-B
ARAH






Om Kimpling terhenyak kaget dengan serangan tiba-tiba dari sang T-Rex, sekonyong-konyong dia pun mengangkat kedua lengannya untuk membuat pagar pertahanan. Garangan kribo satu ini bahkan tidak melakukan ancang-ancang apapun untuk melepas pukulannya! Petarung dari mana dia?

Bldddmmmhhh!

Lengan Om Kimpling disambar satu sengatan yang teramat dahsyat, tubuhnya bergetar dan ia terdesak mundur sampai satu meter ke belakang! Kampret! Tiba-tiba saja sudah menyerang sekuat ini! Untung saja pukulan Hageng tidak dilapisi oleh tenaga Ki macam apapun, sehingga pertahanan ala kadarnya dari Om Kimpling masih bisa kuat menahan serangan sang T-Rex.

Meski tanpa Ki, hantaman dari Hageng masih cukup menyengat.

Terdesak ke belakang, Om Kimpling mencoba menahan kakinya yang terseret di lantai lapangan agar tetap bertahan dan tidak terjungkal ke belakang. Kampret. Bisa-bisanya dia dibikin kelabakan begini oleh bocah yang ngomong s saja tidak bisa!

Om Kimpling tidak terima ia dihentak sebegitu mudahnya! Ha wegah no! Padakke opo e su!

Bos NWO itu segera memutar badan, melompat kecil untuk memberikan ekstra putaran, dan melakukan pukulan dengan posisi punggung tangan membelakang. Posisi backhand.

Saatnya menghajar!

Jbooooookghh!

Alih-alih masuk – satu pukulan kencang dari Hageng justru melesak masuk ke wajah Om Kimpling yang terbuka tanpa pertahanan! Tubuh sang raksasa itu terbang dengan setengah lompatan bagaikan sedang melakukan lompat halang rintang untuk menjemput wajah Om Kimpling dengan satu pukulan yang sudah dipersiapkan sejak sebelum melakukan lompatan.

Itulah Superman’s punch – satu hantaman kencang yang membuat pipi sang tetua melesak ke dalam karena besarnya kekuatan yang disematkan. Sekali lagi sang pimpinan NWO terlempar ke belakang!

Tapi lagi-lagi Om Kimpling hanya terseret mundur, tidak sampai terjatuh. Secara seimbang tubuh sang tetua mampu bertahan. Tentu dia justru menjadi semakin geram. Dia ini pimpinan NWO! Anak cabang dari Dinasti Baru! Kelompok yang berkuasa di kawasan tengah! Masa iya bisa dipukul mundur dua kali sama bocah kribo bau kencur!?

Dua kali lho ini! Dua kali!!

Tidak akan terjadi lagi!

Om Kimpling membuka saluran Ki-nya dengan segera, ia menundukkan badan dengan posisi menyamping, kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang. Kepala diputar ke arah kiri, sejajar dengan posisi arah jari kaki. Mata memandang ke depan untuk memperhatikan pergerakan lawan, sementara tangan bergerak lembut di samping badan seperti sedang memetik senar gitar atau kecapi. Tapi bukan memetik senar yang sebenarnya sedang ia lakukan, sang pemuka NWO itu bagaikan sedang memilin sesuatu yang tak nampak.

Hageng yang melihat gerakan tangan Om Kimpling merasa heran dengan kuda-kuda yang tak wajar itu. Apa yang sedang dia rencanakan? Hageng mencoba berhati-hati, berjalan zigzag agar tak mudah dihembus tenaga dalam apapun. Ya, pasti itu tenaga dalam. Sialnya dia masih belum bisa merasakan aura Ki apapun. Jangankan aura Ki, Aura Kasih juga dia belum pernah lihat.

Meskipun bergerak zigzag, tapi Om Kimpling sudah memperkirakan gerakan Hageng – dia sudah banyak makan asam garam dan bukan kali ini saja dia berhadapan dengan lawan yang bergerak dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan. Sang tetua memutar tangan yang tadinya tertelungkup mengarah ke bawah untuk memilin sesuatu yang tak kelihatan, menjadi menghadap ke atas. Lalu dikatupkannya ujung depan ruas atas jari tengah dan bagian dalam ruas atas jempol. Gerakan seperti hendak menembakkan sesuatu yang berukuran sebesar kelereng dengan jarinya. Kedua tangan bersiap saat Ki mulai dikumpulkan.

Jari-jemari tangan Om Kimpling pun segera beraksi!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Bak menembakkan peluru berkecepatan tinggi, Sentakan Ki berukuran kecil memberondong tubuh Hageng melalui jentikan jari Om Kimpling. Inilah salah satu andalan sang pimpinan NWO, jurus variasi Sentakan Ki versi mini dengan kuantitas mengerikan, bagaikan berondongan peluru dari senapan mesin – jurus Amukan Sejuta Lebah.

Meski sudah berusaha bergerak menghindar sebisa mungkin, tapi dengan tubuh besarnya yang tidak terlalu lincah Hageng tak dapat mengelak! Ke kiri kena lengan! Ke kanan kena paha! Lalu kiri lagi, kena di dada, kena di pundak, paha, kaki, kaki, kaki, kaki, wajah, pundak, dada, ulu hati, Hageng tak kuasa maju ke depan!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Hageng terdorong ke belakang! Kalau terkena berulang kali bisa-bisa Sentakan Ki berukuran kecil ini sanggup merobohkan Hageng yang bertubuh bongsor! Benar saja! Hageng kena di paha! Lalu di dada! Di pundak! Kena lagi! Lagi! Lagi! Lagi! Lagi!

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Kaki yang berulang kali tersambar akhirnya luruh ke bawah. Hageng hampir saja ambruk. Dia dapat bertahan dengan satu kaki masih tegap. Tangan sang T-Rex kini murni digunakan sebagai pertahanan dengan disilangkan di depan wajah dan dada.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Sang tetua tidak memberikan kesempatan sedikitpun pada Hageng untuk maju ke depan. Seakan-akan tenaga Ki-nya tidak habis-habis! Sang T-Rex melirik lagi ke depan melalui sela-sela jemari sebagai pelindung diri, adakah kesempatan untuknya menyerang?

Om Kimpling akhirnya berhenti memberondong. Kedua tangannya sudah luruh ke bawah.

Sekarang!

Hageng melaju dengan kencang ke depan, tangan kiri dibentangkan untuk menyambar leher, bersiap untuk melakukan clothesline! Berlari sekencang mungkin dengan langkah kakinya yang lebar, si bongsor Hageng dapat mempersingkat jarak dengan cepat, empat meter, tiga, dua, satu.

Kena?

Om Kimpling merunduk. Bentangan tangan Hageng tak kena. Clothesline-nya gagal.

“Nnggg.” Om Kimpling mendengung.

Tepat di saat Hageng melaluinya, sang tetua menyiapkan kepalan tangan yang sudah dibalut Ki terpusat dengan getaran hebat. Begitu jarak terpaut satu meter, Om Kimpling menarik tangannya ke belakang sedikit, memutarnya semakin kencang, dan meledakkannya tepat di saat tubuhnya dan Hageng sejajar. Rusuk sang raksasa jadi sasaran pukulan Sengatan Lebah Maut.

Bldddmmmhhh!

Hageng terpental ke belakang dengan satu pukulan kencang. Tubuh raksasanya sampai terbang karena kerasnya benturan. Sang T-Rex terbanting berulang di pelataran lapangan basket hingga akhirnya berhenti dan telentang.

Om Kimpling mengejar, tidak akan dia membiarkan Hageng bangkit kembali.

Meski tubuh remuk redam, tapi bukan Hageng namanya kalau menyerah begitu saja. Rusuknya nyeri bukan kepalang, entah ada yang patah, retak, atau hanya ngilu yang luar biasa terasa. Tapi dia harus bangkit. Dari posisi terlentang di atas lapangan, dia memutar badan sekuat tenaga meski ngilu bukan main rasanya. Kakinya yang panjang diputar dan dalam satu putaran kaki, Hageng sudah bangkit kembali tepat pada saat Om Kimpling datang menerjang.

Kaget karena Hageng kembali berdiri, Om Kimpling menghindari serangan langsung dari sang T-Rex dengan bergerak ke samping kiri. Justru itu yang dicari si kribo. Ia memutar badan ke kanan dan melewati Om Kimpling yang kini berada di depan dan memunggunginya!

Tangan Hageng masuk dengan cepat ke bawah lengan Om Kimpling, dikait di belakang wajah, mengunci sang tetua dalam posisi Full Nelson. Dari belakang lengan Hageng masuk di antara ketiak Om Kimpling, lalu naik ke atas untuk menjepit lengan dengan mengait jemari di belakang kepala belakang sang tetua.

Saat Om Kimpling sudah tak mampu lagi bergerak, kaki kiri Hageng maju ke depan kaki sang lawan, dan menyapukan kaki kiri itu ke bagian selangkangannya, seperti sedang mengengkol ke belakang dengan cepat – gerakan ini secara efektif mendorong tubuh Om Kimpling untuk ambruk ke depan dan membenturkan wajahnya tepat di alas keras lapangan basket. Eksekusi teknik skull crashing finale!

Atau setidaknya begitu rencananya.

Tepat sebelum Hageng mengayunkan kaki, Om Kimpling melemparkan kepalanya ke belakang.

Jddddgkkkkh!!

Kepala keduanya berbenturan. Dua-duanya berteriak kesakitan. Kuncian Hageng di lengan sang lawan terlepas. Saat itulah siku tangan kanan Om Kimpling bergerak mundur, melesak ke rahang kanan sang T-Rex.

Jddddgkkkkh!!

Hageng terlempar ke samping kiri, kunciannya sudah benar-benar lepas. Matanya berkunang-kunang saat sodokan siku tangan Om Kimpling barusan masuk. Puyeng sekali rasanya. Mau tidak dirasakan tapi kok tetap terasa. Meski terlempar, Hageng tetap bertahan tanpa terjatuh.

Nnnnngggggg.”

Om Kimpling bergerak cepat dan kembali mengeluarkan suara dengungan. Tangannya lagi-lagi terkepal dengan pusaran tenaga Ki terpusat dalam genggaman. Sengatan Lebah Maut beraksi kembali. Tubuhnya berputar dan satu hantaman melesat bak rudal ke wajah sang T-Rex.

Bldddmmmhhh!

Darah muncrat. Kepala Hageng terlontar ke belakang. Tertatih ia mencoba bertahan. Om Kimpling ingin menyelesaikan sesegera mungkin. Yang seperti ini harus dibombardir sampai tuntas!

Nnnnngggggg.”

Dengungan maut menyertai putaran tangan kanan Om Kimpling yang makin buas. Sengatan Lebah Maut terus melaju mencari mangsa. Ledakan hantaman dituntaskan ke wajah sang T-Rex.

Bldddmmmhhh!

Masuk. Sekali lagi.

Bldddmmmhhh!

Masuk lagi. Terus lanjutkan! Jangan berhenti!

Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh! Bldddmmmhhh!

Kepala Hageng terus menerus dihujani pukulan kencang oleh Om Kimpling. Wajahnya sudah berubah sembab, matanya makin lama makin tak dapat melihat jelas karena bengkak mulai terbentuk di sekeliling kelopak. Tubuhnya terhuyung-huyung, kepalanya pusing bukan kepalang, seperti ada dengungan bunyi microphone yang feedback dalam telinganya.

Kaki Hageng secara refleks melangkah ke belakang, kaki yang tadi dihujani sengatan bertubi juga seakan sudah tak kuat berdiri.

Hageng teringat ucapan Simon saat mengajarkannya Pukulan Geledek. Atur napas dengan baik. Buka saluran Ki, alirkan ke seluruh tubuh, benamkan sebagian besar di kepalan hingga ke lengan, lalu lepaskan dengan satu lecutan kencang. Hageng yang terhuyung-huyung mencobanya. Menyalurkan Ki, ke tangan, ke lengan, lalu lepaskan.

Tepat pada saat Om Kimpling menarik tangan untuk melepaskan satu lagi Sengatan Lebah Maut, kepalan Hageng datang menerjang. “Heaaaaaaaaaaaa!!”

Jbooooooookghhh!

Om Kimpling terdorong ke belakang, wajahnya terbongkar, darah muncrat dari mulutnya. Seperti halnya sang lawan yang menghujaninya dengan pukulan, kini giliran Hageng yang mengayunkan kedua tangan dengan membabi-buta. Kanan, kiri, kanan, kiri.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!”

Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh! Jbooooooookghhh!

Bak lontaran roket yang terbang dari kedua tangan, pukulan Hageng menukik dan menghunjam tepat sasaran. Wajah Om Kimpling yang sejak awal tidak jelas makin tidak karuan. Sang pimpinan NWO terdesak mundur. Kuat sama kuat!

Langkah kaki Om Kimpling bergoyang saat mundur, tapi sepertinya dia jauh lebih kuat dari Hageng. Karena setelah badai pukulan menerjang, dia masih tetap dapat berdiri tegap sedangkan sang T-Rex mulai goyang.

Nnnngggggg!

Bldddmmmhhh!

Satu pukulan menuntaskan tekad Hageng untuk memborbardir sang lawan. Hantaman telak yang melesak dari bawah masuk ke rahang membuat Hageng bagai masuk ke dalam kegelapan. Otaknya seakan berhenti berfungsi dan sang raksasa itu ambruk ke belakang.

Blmm.

Om Kimpling berdiri kokoh di hadapan Hageng yang tumbang. Napasnya satu dua, ia terengah, gerakannya patah-patah. Dengan berdiri susah payah, sang pimpinan NWO mencoba mengamati lawan yang sepertinya sudah pasrah. Masihkah dia mampu bangkit? Akankah dia menyerah?

Tidak semudah itu.

Terdengar suara tawa.

Tangan Hageng bergerak, menapak ke bawah, dan menggunakannya sebagai tumpuan untuk bangkit berdiri. Dengan napas terengah-engah, Hageng bangkit dengan gagah. Bibirnya yang sudah berdarah tersenyum tanpa ada tanda-tanda ingin menyerah kalah.

“Begitu saja kemampuan Om? Puas? Begitu sudah?”

“Heaaaaaaaaaarrrghh!”

Dipancing oleh Hageng, Om Kimpling berteriak kencang, membentangkan kelima jemari tangan kanannya, lalu melecutkan lengan kanan sekuat tenaga ke arah sang T-Rex. Amukan Sejuta Lebah muncul kembali! Kali ini lima tembakan sekaligus!

Kelimanya mengarah ke kaki kiri Hageng yang goyah.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

“Haaaaaaaaargh!” Sembari berteriak kesakitan Hageng luruh ke bawah. Kaki kirinya sudah tak lagi kuat menyangga.

Saat itulah tiba-tiba terdengar bunyi dengungan dari atas. “Nnnnnnngggg.”

Bldddmmmhhh!

Sekali lagi wajah Hageng terhampar kepalan tangan penuh energi Ki yang menukik ke bawah dengan kencang dan membongkar wajahnya. Hageng terbanting jatuh. Wajahnya terantuk kerasnya lapangan. Ia terjatuh dengan menelungkup. Om Kimpling maju ke depan secepatnya. Dia tidak mau lengah lagi seperti tadi. Kakinya melesat.

Bkghhh!

Kepala Hageng jadi sasaran dan langsung kena. Tidak ada perlawanan. Pastikan sekali lagi.

Bkghhh!

Pastikan terus. Sekali lagi. Dua. Tiga. Empat. Lima. Injakan demi injakan menghujani wajah sang T-Rex.

Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh! Bkghhh!

“Huff... huff...”

Om Kimpling amat puas dengan tendangan-tendangannya, ia pun mundur dengan napas yang tak teratur. Kelihatannya Hageng sudah benar-benar tak lagi bergerak. Sudah selesai sepertinya. Massa pendukung kedua belah pihak terdiam dengan aksi Om Kimpling saat menuntaskan Hageng. Mereka bahkan tidak tahu apakah Hageng hidup atau mati.

Nanto dan Deka menyaksikan dengan penuh kekhawatiran. Apa yang terjadi pada Hageng?

Sang tetua NWO mendengus, kepalan tangan kanannya diangkat ke atas. Sorak-sorai pasukan Dinasti Baru terdengar membahana. Kemenangan di tangan! Dengan ini kedudukan berubah menjadi...

“Tunggu... dulu... belum...”

Om Kimpling terbelalak.

Hageng kembali berdiri bak seorang monster. Senyum menyeringai di wajah sang T-Rex mengembang lebar. Tubuhnya sudah terlihat lusuh, lemas, dan lemah. Kakinya bergoyang hebat dan dicoba ditahan sekuat tenaga. “Apa... cuma... zegitu... saja...? Aku... bahkan belum... mengeluarkan... andalan... baru...”

“Kamu ini....” Om Kimpling tidak habis pikir, bukankah lebih baik rebah saja daripada menerima hajaran lagi? Kekuatan mereka tidak setara!

Nnnnggggggg!

Bldddmmmhhh!

Langsung on point. Kepalan tangan Om Kimpling melesat tepat lurus ke depan, mendarat dengan kecepatan tinggi di wajah Hageng yang tak sempat melakukan apa-apa.

Sang T-Rex terlempar ke belakang dan kembali ambruk.

“Huff... huff...” Om Kimpling mulai kelelahan. Seharusnya lawannya sudah tidak sanggup lagi berdiri. Seharusnya Hageng sudah benar-benar selesai sekarang. Seharusnya. Pukulan terakhir tadi lepas dan meledak telak dengan tepat sasaran.

Sudah.

Pasti sudah.

Dengan ini sudah selesai.

Om Kimpling menyaksikan dengan ngeri saat melihat telapak tangan Hageng bergerak, dengan mantap tangan itu menapak di lapangan, dan sekali lagi menggunakannya sebagai tumpuan untuk mengangkat tubuhnya berdiri.

Kembali Om Kimpling mundur menjauhi sang T-Rex. Dia geleng-geleng kepala. Mau berapa kali lagi? Dengan ancang-ancang seadanya, Om Kimpling melesat ke depan untuk menyerang. Kembali jemari tangan kanan dibentangkan lalu dilecutkan ke depan.

Pw! Pw! Pw! Pw! Pw!

Lima sentakan ki kecil melesat dan masuk menghujani badan sang T-Rex yang terpental-pental ke belakang tanpa daya. Tubuhnya pasti sudah mulai susah digerakkan. Lima serangan itu masuk ke dada, pundak, lengan, dan rusuk Hageng yang sejak awal sudah terluka. Menambah limbung tubuhnya yang sudah tak lagi kuat berdiri.

Nnnnggggggg!

Pukulan pamungkas Sengatan Lebah Maut dikerahkan sang tetua! Kali ini pasti selesai!!

Jbooooookkkkgh! Krrrkkkgh!

Kepalan tinju Om Kimpling ternyata disambut juga... oleh kepalan tinju kiri Hageng!

“Haaaaaaaaaaargh!”

Keduanya terlontar ke belakang dengan jari tangan seakan retak karena berbenturan dengan kerasnya. Tapi ada perbedaan, Om Kimpling melapisi tinjunya dengan Ki, sementara Hageng masih menggunakan pukulan yang mentah. Sang T-Rex terlontar lebih jauh dengan tangan berasa sangat ngilu, tangan itu mulai membengkak.

Setelah sempat terguling beberapa kali, Hageng kembali berdiri.

Sang raksasa itu terengah-engah. Kenapa belum keluar juga? Dia sudah berusaha keras membuka keran Ki-nya agar mengalir ke seluruh tubuh, tapi tidak juga muncul. Kenapa? Apa yang salah? Ki-nya sudah jelas tidak tersegel, ini semua karena ia memang belum bisa mengaktifkannya. Sang T-Rex kebingungan sembari menatap kepalan tangannya. Apakah ada langkah yang belum ia lakukan? Latihan yang belum ia jalankan? Laku yang belum ia amalkan? Kenapa Ki-nya tidak bisa muncul dengan sempurna? Bagaimana caranya? Dia harus bagaimana lagi?

Deka dan Nanto menatap Hageng dari kejauhan. Mereka tahu apa yang dia rasakan.

“Itu adalah salah satu kelemahan Hageng,” ungkap Deka. “Dia masih belum bisa mengeluarkan dan menyalurkan tenaga Ki dengan baik. Mungkin karena selama ini memang bukan itu fokus latihannya. Dia terbiasa dengan teknik gulat bebas, bukan pengaturan energi Ki. Belum balance antara yin dan yang. Tenaga dalam dan teknik luar.”

Nanto mengangguk, “Aku juga menyadarinya, keran Ki-nya belum terbuka, bukan karena ditutup, tapi karena memang belum ada kerannya.”

Di tengah arena, Hageng kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia menjadi satu-satunya yang tidak bisa mengeluarkan tenaga Ki dengan natural? Apakah ini karena kebodohannya? Apakah ini karena dia tidak memiliki guru? Satu-satunya tempat dia belajar adalah Simon – dan untuk mempelajari Pukulan Geledek dia harus mengeluarkan Ki. Sesuatu yang hingga saat ini justru sangat susah ia lakukan.

“Haaaaaaaaaaaaaaarrrghhhhh!!!”

Dengan rasa putus-asa yang makin merajam di dalam dadanya, Hageng berteriak kesal. Kedua tangannya dikepalkan dengan geram. Kecewa pada dirinya sendiri yang tak mampu meningkatkan level secara mandiri. Piye to ikih carane?

Om Kimpling mengerutkan kening melihat lawannya bertingkah-laku aneh. “Kenapa lagi kamu?”

Hageng tersenyum, “Zebentar. Ini ceritanya ada drama di pertarungan ini, Om. Biarkan aku menikmati zebentar zaja putuz aza yang azukampret ini zupaya terlihat keren dan punya peranan bezar dalam perkembangan ke depannya.”

“Heleh. Munyuk. Kenapa harus putus asa? Hanya gara-gara Ki-mu masih belum mengalir lancar? Sejak tadi kamu terus menerus menunjukkan determinasi yang luar biasa. Meski jatuh, tapi selalu bangkit. Itu hebat banget! Masa hal yang begini saja justru bikin kamu putus asa?” Om Kimpling mendengus, karena ia bisa merasakan apa sebenarnya masalah Hageng. Aura Ki si bongsor kribo itu masih belum stabil, kadang muncul lebih sering lenyap. Itu menyebabkan semua serangannya tak sempurna dan hasilnya mentah. Jika ini pertarungan tanpa Ki, Hageng bisa menang – sayangnya ini pertarungan yang sudah naik level. “Jangan khawatir. Ki itu bisa dilatih, jadi tidak ada alasan bagi anak muda sepertimu untuk putus asa. Masa depan masih cerah, masih banyak kesempatan untuk belajar. Contohnya mudah, lihat aku. Aku ini cuma orang kasar yang doyan wedokan – hidupku ini njelehi. Ra umum eleke ra umum wasu-ne. Tapi semua kesulitan yang menerpaku aku anggap sebagai batu loncatan untuk naik jenjang, aku tidak pernah sekalipun menyerah atau putus asa. Prinsipku simpel, kalau orang lain bisa – aku pasti bisa.”

Hageng menunduk dan terkekeh pelan. Apa-apaan ini? Malah dikasih wejangan sama lawan. Semenyedihkan inikah dia? Ayo Hageng, ini bukan dirimu! Kamu selalu optimis dan tidak akan pernah menyerah dalam kondisi apapun! Kamu pasti bisa.

“Bersiaplah.” Tiba-tiba saja Om Kimpling mengejar posisi Hageng.

Hageng terkejut karena serangan itu sangat mendadak.

Karena tidak akan siap untuk mundur atau menyerang balik saat menerima serangan tiba-tiba itu, maka Hageng pun memilih pose bertahan. Ia memiringkan tubuh dan meringkuk – bagai pertahanan seekor kura-kura yang masuk ke tempurung. Sayangnya dengan begitu, bagian belakangnya terbuka tanpa pertahanan.

Telapak tangan Om Kimpling menyambar punggung sang T-Rex.

Bldmmmmmmmm!

“Haaaaaaaaaaaaaaarrrghhhhh!!!”

Hageng bagaikan disambar listrik ribuan volt. Ia mengejang dan terdorong ke depan dengan satu hentakan. Tubuh bongsor sang T-Rex terguling-guling ke depan, hingga akhirnya tak bergerak beberapa saat lamanya dengan posisi tertelungkup ke bawah.

Massa yang sejak tadi saling berbalas dukungan pun terdiam kembali.

Apakah sudah benar-benar selesai sekarang?

“Hageng…” Deka yang melihat tubuh kawannya tak bergerak sudah siap berlari menuju Hageng, namun ia terhenti setelah lengannya ditahan oleh Nanto.

Si Bengal menatap tak berkedip ke tengah lapangan dan menggeleng. “Jangan. Ini berbeda. Hageng tidak akan hancur semudah itu. Tidak dengan cara ini.”

Deka mengerutkan kening. Berbeda? Apanya yang berbeda!? Hageng sudah terkapar tak berdaya. Mereka harus segera…

Tiba-tiba terdengar teriakan membahana. Semua anggota Aliansi bersorak-sorai. Deka memindahkan pandangannya ke tengah lapangan, dan ia sungguh terkejut. Hageng kembali berdiri tegap dan menantang di depan hadapan Om Kimpling!

“A-apa yang terjadi?” si Gondes bertanya-tanya.

“Aura-nya…” ucap Nanto.

“Aura? Kenapa aura si Hageng?”

“Ki-nya sudah menyala.”

“Heh?”

“Pukulan demi pukulan Om Kimpling ibarat trigger yang ternyata mampu membuka Ki yang tersimpan dalam diri Hageng – terutama yang terakhir tadi.”

Persis seperti apa yang dikatakan oleh si Bengal, Hageng merasa ada rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, membuatnya merasa rileks, tenang, sekaligus bertenaga. Tapi berbeda dari sebelum-sebelumnya, energi ini terasa aktif, hidup, dan mengalir lancar tanpa henti. Hentakan pukulan dari Om Kimpling ternyata berhasil memberikan jalan bagi Ki yang selama ini gagal ia aktifkan.

Jadi seperti ini rasanya memiliki tenaga dalam?

Ohohoho!

Hageng menatap ke arah Om Kimpling dan berucap, “Terima kazih, Om. Tidak menyangka zama zekali kalau pukulan-pukulan dari Om juztru membuatku zeperti ini. Ki-ku jadi aktif.”

“Heheh. Iyakah? Ha… ya… ya... aku sebenarnya juga tidak menyangka, tujuanku mau menang saja. Tapi baguslah. Kamu tidak perlu lagi putus asa dan kita bisa bertarung dengan lebih adil. Tugasmu sekarang adalah mengembangkan dan meningkatkan apa yang kamu miliki, karena toh apa yang kamu miliki itu sebenarnya masih sangat mentah. Ki-mu sudah menyala, tapi masih sangat redup.”

“Coba sajaaaa!” Hageng dengan bersemangat melompat sekuat tenaga, dengan bekal Ki yang ia miliki, Hageng membungkus tangannya menggunakan tenaga dalam. Saatnya mengeluarkan jurus baru dengan nama yang maksa yang ia ciptakan!

Pukulan Palu Dewa Petir!!

Sentakan energi Ki dan hantaman kencang dari Hageng bertemu dengan kekuatan pertahanan dari Om Kimpling.

Blddddmmmmmm!!!

Meski sudah dilapis Ki, tapi pertemuan energi yang terjadi masih tidak setara.

Ki milik Om Kimpling jelas jauh lebih kuat dan terlatih. Hageng terlontar ke belakang. Ia terbanting, terguling, dan terjerembab. Tubuhnya terseret ke belakang agak jauh. Dengan tangan kiri yang sigap, Hageng mencengkeram lapangan basket sekuat tenaga agar tidak terlempar terlalu jauh. Kekuatan Ki yang melindungi tangan membuat jemari Hageng lebih kuat.

Setelah berhenti terseret, Hageng kembali bangkit. Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, Ia berlari sekuat tenaga, kembali meloncat dan melontarkan kembali pukulannya dengan tangan kanan. “Zekali lagi!”

Blddddmmmmmm!!!

Tak disangka, kali ini pukulan Hageng berhasil menembus lengan Om Kimpling yang disilangkan sebagai pertahanan. Menyeruak dari samping, Hageng menghajar rahang sang tetua yang tidak siap. Om Kimpling pun terlontar ke kanan, tapi lagi-lagi dengan langkah kaki tegap, pria utama di NWO itu masih sanggup bertahan tanpa terjatuh.

Om Kimpling memutar badan dan melecutkan punggung tangannya ke arah Hageng, lagi-lagi serangan backhand.

Jbkgh!

Hageng mencengkeram pergelangan tangan Om Kimpling dan menahannya tepat sebelum mengenai rusuk yang tadi sempat dilukai. Sang tetua NWO gagal menyerang Hageng kali ini. Hageng mengunci tangan sang lawan, lalu melompat dan menjejakkan dua kaki sekaligus ke badan Om Kimpling!

Double drop kick!

Bkkkkkkghhh! Bkkkkkkghhh!


Om Kimpling tersentak ke belakang dan terjerembab hampir empat meter jaraknya. Ia jatuh telentang. Demikian juga Hageng yang terjatuh usai menyarangkan tendangannya. Dua-duanya sama-sama terkapar.

Suasana sepi.

Semua menatap ke arena.

Teriakan berkumandang.

Om Kimpling menjadi petarung pertama yang bangkit, sang T-Rex menyusul tak lama kemudian. Wajah keduanya sama-sama sudah lelah dan letih. Keduanya sudah mencapai taraf energi paling penghabisan.

Terutama sang T-Rex. Hageng sudah kehabisan tenaga, tenaga murni maupun tenaga Ki sama-sama sudah terkuras. Dia tidak akan mampu lagi mengeluarkan Ki – apalagi Ki yang ia miliki masih sangat ranum. Beruntung dia masih bisa berdiri tegap meski dengan tubuh bergetar kencang, keseimbangannya sudah kacau. Om Kimpling ini memang hebat, kepalannya bukan kaleng-kaleng.

“Masih bisa berdiri? Ajaib! Sekali lagi!” Om Kimpling menggelengkan kepala melihat Hageng yang masih bisa bertahan.

Om Kimpling kembali datang dengan satu pukulan kencang, seluruh Ki dikumpulkan dalam genggaman. Yang satu ini bakal membuat Hageng luluh lantak bak terkena jentikan jari Thanos! Bahkan Om Kimpling pun sebenarnya sudah amat kepayahan. Meski ngomong besar, inilah serangan terakhirnya. Seluruh tenaganya sudah habis!

Swsssh.

Pukulan Om Kimpling dihentikan tepat di posisi di mana Hageng semula berada tanpa mengenai apa-apa. Dengan sekuat tenaga, sang tetua menghentikan pukulannya. Bagaikan ada putaran waktu yang berhenti mendadak.

Sang T-Rex hanya tertawa. Dia sudah tak sanggup lagi bertahan, tubuhnya luruh ke tanah dan iapun duduk bertongkat lutut. Ia sudah terlalu lemas. Bahkan sebelum pukulan Om Kimpling sampai, dia sudah luruh ke bawah.

Pemuda bongsor itu geleng-geleng kepala. “Zudah cukup zepertinya. Zudah.”

Om Kimpling mengangguk. “Sudah cukup. Kamu luar biasa.”

Hageng tertawa lagi, tapi kali ini ambruk ke belakang dengan berdebam. Ia terengah-engah, tenaganya sudah habis. Baik tenaga luar maupun Ki yang baru sekali ini dapat ia keluarkan. Suatu saat kelak dia akan melatihnya agar lebih mampu bertahan, tapi hari ini?

Dia kalah.

Hageng melambaikan tangan pada Ableh Ndaho.

“Petarung dari kubu Aliansi sudah kehabisan tenaga sepertinya. Apakah dia menyerah?” tanya Ableh Ndaho untuk memastikan. “Apakah ini berarti Om Kimpling memenangkan pertarungan kedua hari ini?”

Hageng yang sudah terbaring di lantai lapangan basket mengangguk. Ia melirik ke arah Nanto dan Deka yang sama-sama mengangguk dan tersenyum. Mereka berdua mengangkat jempol mereka pada Hageng. Ketiganya sama-sama tertawa.

Seluruh massa yang hadir pun riuh. Pasukan Dinasti Baru berteriak dengan kencang dan sorak-sorai akan kemenangan mereka. Dengan ini kedudukan berubah menjadi 1-1 dan hasil akhir masih belum bisa terbaca dengan jelas. Kemenangan masih bisa menjadi milik siapapun.

Hageng terbaring dengan napas kembang-kempis. Tenaganya sudah terkuras banyak dan ternyata itu masih belum cukup untuk menjatuhkan sang lawan. Om Kimpling memang lawan yang cukup kuat dan level sang T-Rex belum bisa menyamainya untuk saat ini. Dia masih harus banyak belajar. Alih-alih dapat mengeluarkan Ki, ia justru harus dibantu oleh Om Kimpling untuk dapat mengeksekusinya

Hageng jadi geli sendiri. Tadi dia terlalu pede. Sekarang ambruk di tengah lapangan sembari menatap langit siang.

Sial.

Level mereka memang benar-benar masih belum seimbang.

Dia harus mengakui dia kalah.

Tentu saja pertarungan kali ini bukan pertarungan sia-sia, selain sekarang sudah bisa mengakses Ki, dia juga mendapatkan banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Terutama pelajaran bahwa tak selamanya kekuatannya bisa menyelesaikan segalanya karena saat kita merasa kuat, akan ada lagi orang yang lebih kuat dan lebih hebat.

Hageng menatap langit di atas kepalanya. Dia masih terkapar sembari menatap angkasa yang indah ketika tiba-tiba saja ada satu tangan besar menyeruak di atas wajahnya.

“Kamu luar biasa.” ternyata Om Kimpling yang mengulurkan tangan, “meski kalah, kamu sudah memberikan perlawanan yang hebat. Mengagumkan sekali. Aku salut padamu, le.”

Hageng terkekeh dan menerima uluran tangan Om Kimpling. Dia pun ditarik Om Kimpling hingga berdiri sambil tertawa terbahak. “Hahaha, zayang aku zudah mengecewakan kelompokku. Aku kalah telak, Om. Zelamat, kemampuan Om memang lebih mantap jiwa.”

“Mengecewakan kelompokmu? Dengan bertarung habis-habisan seperti tadi? Seharusnya mereka bangga, bukan kecewa. Kamu luar biasa.”

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Terdengar teriakan membahana dari kelompok Aliansi – terutama dari Sonoz. Ya, mereka semua menyaksikan pertempuran antara sang T-Rex berkepala kribo lawan Om Kimpling dan semuanya sepakat kalau Hageng sudah memberikan yang terbaik. Meski kalah, dia sudah membuktikan diri sebagai laki-laki dan pimpinan Sonoz sejati, sudah sepatutnya mereka bangga dengan sang T-Rex.

Hageng tertawa mendengar yel-yel itu berkumandang.

Dia berjalan ke arah Nanto dan Deka sembari mengangkat kepalan tangan tinggi di udara sambil tertatih-tatih karena ia sudah teramat lemas.

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Teriakan dari Aliansi makin membulat, semuanya membanggakan kiprah sang T-Rex, tidak ada satupun yang mencela meski dia kalah pada pertarungan kali ini dan membuat kedudukan menjadi imbang satu lawan satu. Itu hanya berarti pertarungan ketiga akan diadakan. Tidak masalah kalah, yang penting dia sudah menunjukkan harkat dan martabat Sonoz, Lima Jari, dan Aliansi.

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Hageng tertawa dan geleng-geleng kepala karena yel-yel masih saja riuh.

Jalannya mendadak oleng karena tubuhnya tidak seimbang, tapi dia tak sampai terjatuh karena Om Kimpling langsung memapahnya. Lawan Hageng itu ikut tertawa dan mengayunkan tangannya yang bebas sembari memberikan semangat pada anggota Aliansi. “Terus! Lanjutkan! Berikan semangat padanya! Dia berhak mendapatkannya! Terus!”

Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng! Hageng!

Tak hanya kawan dan anggota Aliansi saja yang berteriak, kini giliran anggota-anggota Dinasti Baru ikut-ikutan memberi semangat pada Hageng dengan meneriakkan namanya, Om Kimpling kembali mengayunkan tangannya pada anggota Dinasti Baru untuk mengapresiasi perjuangan sang pemuda kribo yang terus saja tertawa itu.

Sang tetua NWO memapah Hageng keluar dari arena.

Nanto dan Deka tertawa bersama sembari bertepuk tangan. Luar biasa memang sang T-Rex, dia sanggup membuka mata Aliansi dan Dinasti Baru yang masih meragukan semangat Lima Jari, membuat mereka bangga, sekaligus kagum secara bersamaan tanpa ada dendam.

“Dia hebat.” Kata Om Kimpling pada Nanto dan Deka.

“Kami tahu, Om.” Jawab Deka. “Terima kasih sudah membawanya kemari.”

Om Kimpling mengangguk dan kembali ke arah rombongan Dinasti Baru dengan satu tangan terangkat. Tandanya ia baru saja meraih kemenangan. Sorak-sorai Dinasti Baru makin membahana.

“Maaf. Aku gagal.” Kata Hageng pada kedua sahabatnya.

Nanto menepuk pundak Hageng dan memberikan sebotol air kemasan sebagai pengusir dahaga. “Bodo amat dengan kemenangan apapun, kamu sudah bikin bangga kita semua, Dab. Aku bener-bener kagum sama kamu.”

“Hahaha.”

“Edan, Dab. Edan.” Deka mengangkat dua jempolnya ke atas.

“Hahaha.” Hageng terbatuk. “Aku butuh…”

“Butuh apa? Perban? Bet@dine? Mana yang terluka paling parah? Biar aku…” Deka buru-buru mendekat ke arah Hageng. Jangan-jangan ada luka dalam? Tapi yang sebelah mana? Badannya remuk redam begini.

“Aku butuh mie ayam ceker. Zuper pedaz biar melek.”

Wasu.” Deka mundur dan bersungut-sungut, kirain butuh apaan, jebul mung ngelih.

Deka pun memanggil empat orang anggota Aliansi, dua orang untuk merawatnya, dan dua orang lagi untuk secara spesial membelikan Hageng makanan.

Setelah urusan Hageng selesai, Deka kembali berdiri di samping Nanto yang tengah mengamati arena. Keduanya harus kembali ke kenyataan yang mesti dihadapi sekarang. Pertarungan belumlah usai. Kedua sahabat itu saling bertatapan seakan hendak menghadapi penghakiman.

“Kedudukan sekarang satu-satu. Kamu tahu apa artinya itu kan?” tanya Deka.

Nanto mengangguk.

Ia mengalihkan pandangan ke arah Amar Barok yang sedang menatapnya balik dari tengah arena.

Siapa yang berikutnya akan turun?





.::..::..::..::.





Pasat terbangun dengan kepala nyut-nyutan dan pusing yang teramat sangat, di kepalanya sekarang bagaikan ada pertarungan abadi antara King Kong lawan Godzilla, Son Goku lawan Jiren, atau tim bubur diaduk lawan tim bubur tidak diaduk. Sebuah pertarungan yang membagongkan. Pusingnya berasa kambing banget kayak odading Mang Ole.

Di saat-saat seperti ini entah kenapa lagi-lagi Pasat teringat pada pesan dari Ki Kadar – sang Guru Rambut Perak yang pernah memberikan pesan yang berkesan padanya mengenai teknik bangun tidur. Saat itu di suatu pagi, sang pemuda berambut coklat mengeluh sakit kepala usai bangun mendadak dari tidurnya. Karena sering merasakannya, dia pun mencoba berkonsultasi dengan sang guru.

“Guru, kenapa ya kalau bangun tidur seringkali langsung tiba-tiba merasa pusing? Unyeng-unyeng terasa seperti ada yang ngebor. Ini bukan pertamakalinya.”

Ki Kadar memberikan masukan, “Kalau kepala sering terasa pusing atau berkunang-kunang seperti itu, maka sebaiknya kamu jangan buru-buru bangun. Cobalah bertahan sejenak untuk tetap berada dalam posisi berbaring sampai kondisi stabil – kalau orang Jawa bilang – sampai nyawane kumpul. Kenapa? Supaya menghindari penurunan tekanan darah secara tiba-tiba.

“Pada saat posisi badan dalam keadaan berbaring, buka mata perlahan, rasakan aliran darah lancar mengalir ke seluruh tubuh dengan seimbang. Jika sudah terasa demikian, barulah bangkit perlahan-lahan, jangan menyentak dan terburu-buru. Saat berbaring aliran darah akan mengalir lancar ke seluruh bagian tubuh. Jika kita kemudian berdiri secara mengagetkan, maka aliran darah akan mendadak turun dan terkonsentrasi ke kaki. Keadaan ini membuat refleks sistem syaraf atau sistem pengendalian syaraf akan terganggu.”


Mengingat itu, pemuda berambut coklat itu pun lantas tetap berbaring meski sudah sadar. Ia menyentuh dan memijat kepalanya sebentar sebelum berani membuka mata. Saat membuka mata-pun masih terasa berat, seakan-akan kelopak matanya sedang di-gondeli oleh si gajah Dumbo, emaknya Dumbo, bapaknya Dumbo, pakliknya Dumbo yang obesitas, dan teman-teman karawitan si Dumbo yang masing-masing memanggul bedug paling gede sekecamatan. Nyut-nyutan di kepala bak sinaran kunang-kunang di sawah kala malam. Silih berganti dan terasa berat. Cahaya yang menerpa pun jadi silau yang teramat memedihkan.

“Uff.”

Harus membiasakan diri. Pemuda berambut coklat itu pun mencoba berulang kali mengejapkan mata. Berharap cahaya yang awalnya menyilaukan perlahan-lahan bisa berubah menjadi terang yang jauh lebih normal jika dia mencobanya sedikit-sedikit.

Apa yang terjadi? Kenapa dia berada di sini?

Ingatannya mulai terkumpul dan terbentuk. Apa hal terakhir yang dia ingat? Dia di sini karena pingsan setelah dipukul oleh Sentakan Ki sang Jagal dan terlempar hingga jatuh ke sungai. Eh, tapi bukankah seharusnya dia sudah jadi bubur dan tercerai-berai di bebatuan yang ada di sungai? Jarak antara makam dan sungai sangat tinggi. Rasanya tidak mungkin ia akan selamat tanpa luka atau patah tulang.

Jadi... bagaimana mungkin dia bisa selamat?

Ketika perlahan-lahan membuka mata dan pendar cahaya mulai bisa ia terima dengan normal, Pasat akhirnya dapat melihat keadaan sekitar.

Dia berada di sebuah ruangan yang kotor, berdebu, dan singup – disebut tak terawat barangkali mungkin lebih tepat. Dengan debu teronggok tebal di berbagai posisi, ruangan ini rasanya lebih pantas disebut gudang daripada sebuah kamar – meski sebenarnya ruangan ini cukup rapi dengan barang-barang berada di posisinya tanpa tersentuh. Cat tembok mulai terkelupas karena dinding lembab tak lagi mampu menahan lekatan. Cahaya matahari masuk dari sela-sela koran yang menutup sebuah bidang jendela besar. Pembaringannya juga bukan pembaringan yang terawat baik. Siapapun yang tinggal di sini, orangnya sangat mencintai debu atau sangat-sangat miskin sehingga tidak punya sapu dan kemoceng.

Siapa yang mau tinggal di sini?

Bangkit dari pembaringan, Pasat mulai berjalan menuju jendela yang terang – hendak melihat di mana dia sebenarnya. Tapi karena kepalanya masih sangat berat dan pusing, pemuda berambut coklat itu pun kembali jatuh terduduk di tepian pembaringan. Sepertinya kondisinya belum stabil.

“Ku… ku… ku… duduk di situ, istirahat dulu. Mau pergi silakan. Mau pulang silakan. Mau ini itu, tidak ada yang menahan. Ku… ku… ku…”

Siapa yang berbicara?

Pasat memicingkan mata dan menguatkan pendengaran. Ada gesekan seseorang dengan dinding yang terdengar. Menyeramkan sekaligus membuat penasaran.

Suara yang menyeramkan itu rupanya terdengar dari pojok ruangan. Di sana juga ada satu jendela yang terbuka. Saat Pasat memusatkan pandangan barulah ia dapat melihat dengan jeals. Ternyata di sana ada seseorang yang jongkok di kusen jendela dan memandang ke dalam ruangan dengan senyum menyeringai.

Bajingak! Ngaget-ngageti, su!

Tapi... orang inikah yang telah menyelamatkannya dari maut?

“Te-terima kasih sudah menyelamatkanku…” Pasat mengucek mata dan mencoba berdiri kembali, ia berjalan mendekat ke arah suara untuk berusaha melihat lebih jelas lagi siapa sebenarnya orang itu. Tapi saat ia benar-benar bisa melihat sosok di ujung ruangan, ia ternyata tak siap dengan pemandangan yang ia lihat di depan matanya.

Pasat mundur beberapa langkah dengan kaget.

Pemuda berambut coklat itu terhenyak saat melihat wajah sang penyelamat ternyata lumayan medeni. Wajah yang rasa-rasanya tak akan dicintai oleh ibu sendiri karena teramat menyeramkan, dengan luka berbentuk senyuman melebar dari ujung pipi kanan ke pipi kiri. Jahitan tak sempurna di kulit wajah pucat membuat tampang sang pria penyelamat Pasat terlihat tragis.

Tapi bukan itu yang membuat Pasat terkejut.

Bukan wajah horor itu.

Bukan wajah yang mengerikan yang sang pemuda berambut coklat mundur teratur. Bukan. Dia terhenyak mundur karena dia mengenali wajah itu di balik tampilan luarnya yang menyeramkan.

Dia mengenalinya.

Pasat terbata-bata. “Ka-kamu…”

Pasat tak akan salah mengenali, meski dengan senyum menyeramkan itu, meski dengan wajah pucat tanpa ekspresi, meski dengan tubuh yang sudah kurus dan tak terbentuk sempurna lagi. Pasat hapal betul dengan wajah yang tak sempurna itu, wajah yang teramat ia kenal.

“Ku… ku… ku… ku…” sang pria ganjil bergoyang-goyang sembari jongkok santai di tepian jendela bak seekor monyet di atas kayu. “Ada setan main kartu. Siapa aku? Aku hantu. Ku… ku… ku…”

Pasat yang awalnya mundur akhirnya berjalan perlahan menuju sang pria ganjil. Pandangannya yang kabur menatap penyelamatnya yang tak terlihat jelas. Dia ingin sekali lagi memastikan. Ya, benar. Dia tidak salah! Dia mengenali sosok itu!

“Ka-kamu… kamu kan…”

Sang pria ganjil menengok ke arah luar, menggerakkan hidung seperti tengah mencium sesuatu, lalu tersenyum ke arah Pasat – dan dengan tiba-tiba saja meloncat keluar dari jendela!

“Ku... ku... ku... kalau sudah waktuku, ku tak mau seorang kan mengadu... ku... ku... ku...”

Sang pria ganjil lenyap dari pandangan.

“Tungguuuu!” Pasat tertatih mencoba mengejar.

Namun saat ia sudah sampai di jendela, sang pria ganjil sudah tak lagi ada di sana.

Ajaibnya, mereka ternyata berada di sebuah gedung tua yang terletak di tepi sebuah tebing. Di bawah sana ada sungai yang mengalir. Pria ganjil itu… tidak mungkin turun ke arah sungai di bawah karena posisinya sangat terjal, tapi tidak mungkin juga terbang. Kemana dia pergi?

Pasat bertanya-tanya dalam heran. Lokasi ini – Pasat mencoba mengamati tempatnya berada sekarang… sepertinya dia sedang berada di tepian Sungai Tjedo, di dekat penjual bunga-bunga di belakang Gereja Kutoanyar. Jendela tepat menghadap ke arah sungai, artinya tidak ada kemungkinan si wajah setan tadi terjun ke bawah. Satu-satunya kemungkinan adalah dia naik ke atas.

Ketika memutar kepala untuk melihat ke atas, sosok ganjil itu sudah lenyap entah kemana.

Tapi benar kan hal yang ia lihat?

Pasat rasanya tak mungkin salah.

Orang itu… pria bak setan dengan wajah yang menyeramkan itu… sudah pasti dia adalah Mas Dika! Suami mendiang Mbak Priska, kakak ipar yang selama ini ia pikir sudah meninggal.

Mas Dika masih hidup!





.::..::..::..::.





“Dari Dinasti Baru – orang yang akan menyelesaikan pertarungan hari ini adalah... Amar Barok!!” teriak Ableh Ndaho melalui megaphone. Suara berkumandang disambut oleh teriakan gegap gempita penonton Tarung Antar Wakil terutama dari kubu Dinasti Baru. Siapa yang tidak mengenal Amar Barok? Sang Panglima paling populer dari kelompok tengah kota itu.

Amar Barok menggoyangkan kepalanya dan berdiri tenang di tengah lapangan.

Tepat seperti yang sudah disampaikan oleh pria gagah itu, dia akan menjadi petarung ketiga Dinasti Baru. Siapakah yang akan menjadi petarung ketiga dari pihak Lima Jari?

Kedudukan sekarang satu-satu. Kemenangan bagi Dinasti Baru sudah bisa dipastikan jika si Bengal tidak turun lagi karena tidak ada seorang pun di roster jajaran Lima Jari ataupun Aliansi yang setara dengan si Bengal atau setara dengan sang Panglima. Itu menyebabkan Amar yakin sekali bagaimana pertarungan ini akan berakhir. Beda urusan kalau Nanto yang turun, karena pertarungan akan menjadi tidak menentu dan tidak akan diketahui siapa yang akan menang.

Sesosok pemuda dari Aliansi turun ke arena.

Bukan kejutan ketika kemudian yang muncul dari sisi Lima Jari adalah Deka. Amar geleng-geleng kepala dan bersidekap. Kenapa dia tidak heran?

“Wakil dari Lima Jari dan Aliansi – Deka!” pengumuman dari Ableh Ndaho berkumandang dengan gemuruh di sisi Aliansi dan tawa di sisi Dinasti Baru. Lagi-lagi bukan lawan yang seimbang, turunnya Nanto di pertarungan pertama bisa menjadi blunder, dengan begini kedudukan bisa jadi 1-2 untuk Dinasti Baru.

Tapi pertemuan Amar dan Deka membuat beberapa orang kemudian berbisik-bisik. Ini adalah pertemuan dan pertarungan abang adek yang sepertinya sudah ditakdirkan karena mereka berdua berdiri di sisi yang berlawanan. Lebih ngeri lagi, hasil pertarungan mereka akan menentukan jalur yang akan ditempuh oleh kedua kubu di kemudian hari.

“Sudah kuduga kamu yang akan turun, Kun.”

“Tidak perlu basa-basi, Mas. Sepertinya sudah lama kita berdua tidak sparring. Sekarang waktu yang tepat.” Deka meringis, “aku tidak akan memaafkanmu kalau hari ini kamu mengalah. Bertarunglah dengan kekuatanmu yang sesungguhnya. Jangan dikurangi dan jangan disembunyikan. Bertarunglah dengan sungguh-sungguh, karena aku juga akan serius.”

“Tidak ada rencana untuk mengurangi atau menyembunyikan kekuatanku. Kamu yang seharusnya berhati-hati karena aku akan menyelesaikan pertarungan hari ini secepatnya.” Amar melakukan peregangan tangan dan kaki untuk melemaskan otot. Dia melirik ke arah Deka yang juga melakukan hal yang sama. Sang kakak diam-diam tersenyum, tapi kemudian menghapus senyum di wajahnya sebelum Deka bisa melihat. Ia lantas berdiri dengan tegap dan berucap tegas, “Kita di sini bukan sebagai kakak dan adik, tapi sebagai perwakilan kelompok masing-masing. Ingat itu baik-baik dan lakukan secara maksimal karena banyak yang dipertaruhkan.”

“Sudah pasti.”

Amar mendengus, sejuta memori tentang sang adik berputar dalam benaknya. Saat mereka masih kecil dulu, saat berebut sebatang gulali, saat berebut sekotak bakpia, saat berebut sebotol carica, mereka memang sering berebut – dan sebagai yang lebih besar Amar selalu mengalah. Seumur hidup dia selalu mengalah pada Deka. Dia tidak pernah mengenyam bangku kuliah karena Amar tahu orangtuanya yang susah payah menabung lebih ingin Deka yang berkuliah – sedangkan Amar yang mandiri akhirnya memilih membuka bengkel dengan uang yang ia kumpulkan sendiri.

Seumur hidupnya ia selalu mengalah – bahkan ketika hal itu menyerempet ke wanita yang ternyata sama-sama mereka cintai.

Tapi tidak hari ini. Untuk pertamakali dalam hidupnya, Amar tidak akan mengalah.

“Aku akan memberikan waktu lebih untuk mundur dan mengaku kalah. Lakukan sekarang juga sebelum semuanya terlambat. Anggap saja ini belas kasihan karena hubunganku dengan kalian, menyerahlah sebelum kita melakukan pertarungan sebagai jalan terakhir,” ucap Amar.

“Jangan main-main, Mas.” Deka mencibir, “bukan hanya kamu yang punya kelompok untuk dibela. Aku tidak akan selangkahpun mundur kalau itu sudah berkaitan dengan Nanto dan yang lainnya.”

“Ya sudah kalau begitu. Sepertinya tidak akan ada yang bisa merubah pikiranmu.” Amar Barok sudah hendak membalik badan ketika kemudian ia tiba-tiba saja mengacungkan jari dan kembali mendekat ke arah Deka. “Aku punya satu hal lagi yang akan membuat pertarungan kita menjadi semakin berwarna. Bagaimana kalau kita tambahkan satu pertaruhan lagi?”

“Pertaruhan apa?”

Amar tersenyum, “Kita akan melakukan semuanya secara seimbang. Win some lose some. Yang menang pada pertarungan kali ini akan kehilangan sesuatu dan yang kalah akan memenangkan sesuatu. Siapapun yang menang hari ini berarti dia telah mengangkat derajat kelompoknya tinggi-tinggi, tapi karena sudah menang, maka dia akan kehilangan kesempatan untuk mengejar Dinda. Dia yang menang akan mundur dan mengalah pada yang kalah untuk mendapatkan cinta Dinda. Bagaimana?”

Jantung Deka seakan terhenti mendadak. Si Gondes pun geleng-geleng kepala, “Sial. Usulan macam apa itu? Jangan pertaruhkan Dinda! Tadi katanya harus membedakan pertarungan hari ini sebagai kakak dan adik, bertarung demi kelompok. Lalu kenapa tiba-tiba mencampurkan masalah pribadi dan...”

“Kamu takut? Kalau kamu kalah – kamu justru akan mendapatkan Dinda dan aku akan mundur.”

Gemblung! Edan! Jadi aku harus mengorbankan Lima Jari demi Dinda? Mana ada cerita begitu!”

“Bingung? Takut?”

Deka mendengus, “Siapa yang takut?! Aku cuma tidak mau Dinda disangkutpautkan dengan urusan kelompok kita ini!”

Amar tersenyum. Mudah sekali memancing emosi Deka. Ia pun mempersiapkan kuda-kuda. Ki-nya menyala, pertahanan super Perisai Genta Emas sudah aktif. “Usulan yang menguntungkan sekaligus merugikan bukan? Bagaimana, Kun? Aku hanya akan melayanimu bertarung dengan syarat itu.”

Deka tidak mau kalah, dia juga mempersiapkan kuda-kuda yang sama untuk menyalakan Perisai Genta Emas. Dua jurus pertahanan yang sama digelar meski berbeda level penguasaannya, sekarang bergantung pada kemampuan menyerang masing-masing. Siapa yang lebih mampu memanfaatkan pertahanan super untuk mengendalikan serangan? Deka jelas tidak takut. Justru sekaranglah saatnya. Saat yang paling tepat untuk membuktikan siapa di antara mereka berdua yang lebih baik.

“Yang menang akan kalah dan yang kalah akan menang. Aku tidak akan mundur selangkahpun. Baiklah aku setuju dengan pertaruhannya!”

“Bagus! Bersiaplah!”

Nanto menyaksikan pertarungan antara kakak beradik itu dari kejauhan. Apapun hasilnya, nasib Lima Jari sepertinya akan berubah ke arah yang tidak mereka ketahui. Dia bukannya meremehkan Deka, tapi seperti yang sudah dibuktikan oleh Hageng – ada perbedaan kemampuan antara mereka dan Dinasti Baru. Meski Nanto tidak mau mengakuinya secara jujur di depan Deka dan Hageng, karena khawatir mereka akan turun semangatnya, tapi sudah jelas kemampuan kedua sahabatnya itu memang masih di bawah Dinasti Baru.

Hageng sudah dipertemukan dengan kenyataan pahit. Sekarang sepertinya Deka juga punya masalah yang sama. Dia masih harus belajar banyak untuk bisa mengejar kemampuan sang kakak. Nanto bisa merasakan besaran Ki yang berbeda dari keduanya saat mengaktifkan Perisai Genta Emas. Nyala Ki dari Amar jauh lebih besar dari si Gondes.

Sial. Bagaimana caranya membantu Deka tanpa turun ke arena secara langsung ya? Pikiran Nanto melanglangbuana. Sepertinya hanya ada satu cara untuk membantu Deka. Berdoa dan berharap yang terbaik.

Tkk. Tkk.

Pundak Nanto ditepuk oleh seseorang dari belakang. Si Bengal menengok untuk melihat siapa yang telah menepuk pundaknya. Dia berhadapan dengan seseorang yang tidak asing – seseorang yang pernah ia lihat di suatu tempat. Seseorang berpakaian serba hitam.

“Akhirnya aku menemukanmu,” desis sang Jagal sembari mencengkeram pundak Nanto. “Saatnya kita bicara.”

Nanto mengerutkan kening. Siapa ya orang ini? Dia capet-capet kelingan, agak inget-inget dikit pernah bertemu dengannya. Tapi di mana?

Lalu yang lebih penting lagi adalah... ada apa lagi ini? Apa yang terjadi?

“Bolehkah saya minta anda untuk melepaskan tangan dari pundak saya dengan baik-baik? Ataukah harus dengan...?”

“Dengan apa?”

Si Bengal membalikkan badan. Dia dan sang Jagal saling bertatapan sengit.

Ki keduanya menyala.





BAGIAN 14-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 15
Mantap... Thebest ceritanya dab...... Bikin ketagihan baza nya.....
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd