Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
JALAK – KISAH SISIPAN 2
BILA KAU TAK DI SAMPINGKU






Rahasia untuk berubah adalah dengan memusatkan seluruh kekuatan.
Bukan dengan melawan yang lama, tapi untuk membangun yang baru.
- Socrates






“Yang benar saja.”

Seorang pria berkacamata hitam, memakai peci, dan mengenakan batik lusuh duduk di ruang tamu rumahnya sembari bersungut-sungut. Ia terus menerus protes pada Pasat Bayuputra. Kala itu kota masih diguyur hujan deras yang seakan tanpa akhir. Derasnya hujan terdengar hingga ke dalam rumah, rintikannya berisik berderap menggempur tanah. Teriakan petir berderu mengguntur di atas langit memekakkan telinga setelah menyalakan angkasa yang gelap dengan cahaya sekejap.

Suasana hujan seharusnya lebih cocok untuk rebahan. Tapi bukannya bisa tiduran dengan santai, pria yang mengenakan baju batik itu malah harus dihadapkan dengan situasi yang menghujaninya dengan tanda tanya.

Kepalanya jadi munyer-munyer tidak karuan. Padahal ia baru saja minum bodr3x.

“Yang benar saja. Aku ini tukang pijat tunanetra. Pijatnya pun pijat urut kesehatan. Nambani-ne wong loro kecetit. Bisanya benerin urat yang kenceng. Kenapa pula kamu suruh membenahi orang yang punya luka parah seperti ini? Ya jelas aku tidak sanggup lah. Bocah edan pancene kowe iki. Aku tidak mau! Wedi aku nek kenopo-kenopo! Aku takut kalau sampai kejadian yang tidak-tidak.”

Pria berkacamata hitam yang memiliki jenggot panjang dengan warna belang putih dan hitam itu geleng-geleng kepala saat melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Saat itu ia tengah memegang tubuh seorang pemuda yang mengerang kesakitan di depannya. Ada luka menganga berwarna hitam di bagian dada yang bercampur dengan darah.

Orang ini sekarat.

Dia benar-benar tidak habis pikir dengan Pasat.

Iki piye jal? Bocah mbilung tenan. Harus aku apain orang ini? Bukannya dibawa ke rumah sakit kok malah dibawa ke sini. Kalau kenapa-kenapa bagaimana? Dia ini sudah antara hidup dan mati.”

Baik Pasat maupun sang pria berbatik tengah duduk di kursi ruang tamu sang pria berkacamata hitam sementara sang pesakitan direbahkan di sofa panjang.

Pak Mustofa adalah seorang pria tua yang sesungguhnya sehari-hari berjualan krupuk rambak - namun sering diminta tolong oleh tetangga sekitar untuk memijat urut karena konon tangannya bertuah. Dia lumayan populer di kalangan RW 06 sebagai tabib dan kadang-kadang dianggap sebagai orang pinter, padahal sekolahnya cuma sampai SMP. Meskipun populer, Pak Mus selalu menolak dimasukkan ke dalam golongan dua stereotype tersebut. Dia tidak ingin dianggap sebagai tabib dan dia tidak ingin dianggap sebagai orang pinter. Dia lebih suka dihubungi kalau ada yang mau pesan krupuk rambak dengan jumlah banyak, bukan untuk menyembuhkan orang pesakitan begini.

Pasat yang jadi tertuduh hanya cengengesan. “Ayolah Pak Mus. Dicoba dulu. Pak Mus itu kan cekelane mantep, maknyus, nylekamin, ada sedikit gurih, secuil rasa manis, tapi juga ada kenyamanan yang bikin adem. Sekali pegang orang, langsung sembuh.”

Rupamu! Ha kok disamakan sama lawuh – pijat kok disamain lauk pauk itu gimana to. Jinguk tenan.”

“Saya tahu Pak Mus punya sesuatu yang linuwih. Kemampuan njenengan kan tidak hanya sebatas chief executive marketing krupuk rambak ataupun pijat urut pakai uncekan kayu. Saya sudah mendapatkan bocoran mengenai kemampuan sebenarnya seorang Pak Mus dari Ki Kadar,” Pasat membimbing tangan Pak Mus ke arah tubuh yang terus kedinginan di depan mereka, “rasakan ini, Pak. Apa ya Pak Mus tidak kasihan? Diraba-raba dulu to, orang ini benar-benar butuh pertolongan, Pak Mus. Kalau pertolongan pertama sudah kami lakukan.”

Haish!” Pak Mus mendengus kesal. “Jian aku paling sengit kalau ada yang memaksa begini. Ya wes. Terpaksa iki. Demi kamu yang ngeyel-nya tidak ketulungan dan demi Ki Kadar yang sudah jadi langganan harian krupuk rambak. Yang jelas aku ndak berani tanggung kalau kejadian apa-apa, lho ya. Kalian yang nekat. Orang sakit begini kok mbalah dibawa ke sini itu lho... kenapa bukan langsung ke rumah sakit.”

“Nah begitu dong.” Pasat sedikit tersenyum meski situasi lumayan genting. Ia tersenyum karena sepertinya ia berhasil memancing minat sang tetua. “Oh iya, pertama... aku tahu kalau Pak Mus kan sebenarnya tidak rabun apalagi buta. Pakai kacamata itu hanya buat gegayaan saja biar mbois. Iya kan? Hayolah mengaku saja.”

Bocah gemblung.”

“Kalau buta beneran kok mijetnya milih-milih? Pagi kemarin Pak RT mau pijet, Pak Mus nolak mentah-mentah. Katanya tidak sempat memijat sampai siang karena harus mengantar pesenan krupuk ke Kutoageng. Giliran agak siang dikit Mbak Yati yang janda itu mau pijet lah langsung gage-gage nyiapin tempat karena katanya pesenan krupuknya bisa diundur. Emang dasar kok sampeyan itu.”

Haish!” Pak Mus tersenyum kecut, “Ancene munyuk kowe ki.”

Pasat tertawa.

Pria itu menengok ke kanan, melongokkan kepala ke sisi jendela, lalu ke kiri, lalu melepas kacamata hitamnya dan meletakkannya di atas meja. Dia lalu memiringkan kepala untuk melepas soft-lens yang dia kenakan. Usai ritual itu, sang pemijat ‘tunanetra’ menatap Pasat dengan tatapan mata tajam.

“Puas?”

“Hehehe. Mohon segera ditolong dia ini, Pak Mus.”

Pak Mus mendengus sembari mencibir. Pria sepuh itu lantas memegang pergelangan tangan pria yang berbaring di sofa – untuk memeriksa nadinya. Lalu menyentuh dahi, perut, dan akhirnya membuka bagian dada yang terluka cukup parah. Ada tumpukan herbal di bagian dadanya. Kemungkinan besar Pasat yang melakukannya untuk menyelamatkan nyawa sang pemuda yang saat ini sedang kembang kempis napasnya.

Dia sudah melakukannya dengan benar. Bagus. Lukanya juga sudah dijahit dengan rapi. Sepertinya pekerjaan klinik kecil yang darurat.

Pak Mus memejamkan mata, aliran Ki menyebar hingga terasa hangat di sekeliling ruangan. Bahkan Pasat pun bisa merasakan hangatnya ruas-ruas aliran yang ditebarkan oleh sang pemijat yang ternyata tidak tunanetra itu.

Beberapa saat kemudian Pak Mus menyelesaikan pemeriksaannya. Keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya. Ia menggelengkan kepala.

“Lukanya sebenarnya tidak seberapa, tapi ada racun berbahaya yang menyebar dengan ganas, itu yang berbahaya. Pantesan kamu bawa ke sini.” Pak Mus merengut. “Sepenglihatanku yang sekilas, racun itu hasil dari ilmu kanuragan yang terlarang – Jurus Cakar Tangan Hitam. Kemampuan jurus ini didapat dari perjanjian dengan pihak jahat. Seharusnya sudah lenyap puluhan tahun yang lalu. Bocah ini hendak dijadikan tumbal untuk wewujud penghuni cakar si penyerang. Semakin banyak tumbal jatuh – semakin mengerikan dan kuat ia jadinya. Cakarnya makin lama akan semakin tak terkalahkan seiring bertambahnya korban.”

“Apa maksud Pak Mus? Yang beginian ada urusan supranatural-kah?” Pasat tidak memahami kalimat yang terlalu mistis itu, “masa iya di jaman ini masih ada tumbal-tumbalan segala macam?”

Nek ngeyel wae tak tumpakke andong neng segoro. Dibilangin kok malah sembrono.” Pak Mus yang masih penasaran memeriksa kembali tubuh pemuda di hadapannya, meski kali ini tidak melibatkan Ki.

Pasat mulai penasaran, “bagaimana Pak Mus? Apakah dia bisa selamat?”

“Aku tidak ingin PHP. Jadi aku harap diagnosa seadanya dari seorang penjual krupuk rambak bisa memuaskanmu...”

“Err... Pemberi Harapan Palsu maksudnya?”

PHP Hypertext Preprocessor.”

“Ha!?”

“Ya iyalah maksudku Pemberi Harapan Palsu. Xixixi.” Kembali Pak Mus geleng kepala setelah melontarkan jokes bapack-bapack garing yang tidak pada saat dan waktu yang tepat, “Aku tidak ingin memberi harapan palsu. Racun yang masuk ke dalam tubuhnya menyebar dengan kecepatan luar biasa, kemungkinan karena saat menghentakkan cakar juga disertai dengan dorongan Ki – kombinasi Ki dan racun yang masuk ke dalam tubuh membuat penyebaran menjadi tak terkendali. Hal itu menyebabkan kondisi bocah ini bak orang mati, dia bertahan karena fisik dan Ki-nya cukup tangguh. Itu sebabnya kita harus berpacu dengan waktu dan berharap pada kekuatan fisik yang masih tersisa dari si bocah ini. Dudukkan dia pegangi dari depan.”

Pasat berpindah posisi, ia duduk di depan tubuh si pesakitan yang tentu saja adalah Roy dari Lima Jari yang tidak hidup tapi tidak juga mati setelah terkena hentakan pukulan sekaligus cakar beracun dari Reynaldi sang Durjana.

Pasat mendudukkan tubuh Roy dan memeganginya dari depan.

Pak Mus beringsut ke belakang Roy. Ia memejamkan mata sembari bersila. Tangannya berputar-putar di depan dada, kembali hawa hangat terasa memenuhi ruangan saat Pak Mus menyalakan lagi tenaga Ki-nya.

Tangan yang berputar-putar menempel di punggung Roy dengan pelan. Merasakan, menyalurkan, membenahi, menyembuhkan. Satu menit, dua menit, lima, sepuluh, dua puluh menit berlalu. Tak ada kata terucap, tak ada mata terkejap. Hanya detak jantung yang menjadi pernyataan alam, bahwa ketiganya masih terus menggerus hari yang beranjak malam.

Keringat membasahi wajah Pak Mus. Tenaga Ki yang ia masukkan ke dalam tubuh sang pengendara angin menekan semua racun yang menyebar di dalam tubuh dan mengumpulkannya ke satu titik. Terus ditekan hingga naik, naik, naik, dan naik.

Tiba-tiba saja ada cairan berwarna gelap muncul di batas kiri bibir Roy. Mulutnya terbuka lebih lebar, darah gelap pun termuntahkan.

Buru-buru Pasat mengambil tissue untuk menadah darah kotor.

Roy terbatuk-batuk.

Pak Mus manggut-manggut, ia menyeka keringat dan berdiri dengan tenang. Ia menepuk pundak Roy dan memberikan kode supaya Pasat membaringkannya. “Baringkan saja dulu, biar dia beristirahat.”

Pasat pun membantu membaringkan Roy kembali di sofa panjang. Tubuhnya yang tadi sudah dingin kini perlahan-lahan berubah menjadi lebih hangat. Pertanda baik ataukah buruk? Wajah Pasat yang bertanya-tanya sudah diperkirakan oleh Pak Mus. Pria tua itu duduk di kursinya, memejamkan mata, lalu mengatur peredaran aliran Ki dalam tubuhnya sendiri.

Jawaban apapun yang ditunggu oleh Pasat, harus menunggu sampai Pak Mus juga lebih rileks dan tenang. Rileks dan tenang itu ternyata sekitar lima menit kemudian.

“Racun paling gawat sudah dikeluarkan dari tubuhnya, tapi yang lain masih belum bisa aku urai. Butuh waktu. Aku butuh waktu untuk mengatur tenaga demi membantunya sembuh dan bocah ini butuh waktu untuk mengeluarkan racun berbahaya yang sudah terlanjur menyebar di dalam tubuhnya. Aku tidak ingin berandai-andai, aku tidak ingin memberikan kabar buruk. Tapi ada kemungkinan kalau racun ini tak akan bisa sempurna meninggalkan tubuhnya jika sudah menjalar terlalu luas. Butuh waktu untuk bisa setidaknya mencapai titik paling sehat dalam kondisinya yang sekarang, dan itu pun perkiraan paling cepat berminggu-minggu. Perkiraan paling lambat? Bisa berbulan, bahkan menahun untuk dapat mencuci bersih tubuhnya dari racun.“

“Berminggu-minggu? Wah...”

“Ya. Paling cepat. Itupun kalau dia punya fisik yang kuat dan bisa bertahan dengan racun yang masih menjalar di dalam tubuh. Syaratnya dia harus benar-benar beristirahat dan meminum beberapa obat herbal yang manjur untuk menangkal racun – aku yang akan meramu obatnya.”

“Terima kasih, Pak Mus.”

Pak Mus mengangkat telapak tangannya. “Tapi masalahnya bukan itu saja. Ada kemungkinan dia tidak akan bisa sehat seperti sediakala. Ada kemungkinan dia akan terus membawa racun ini sampai akhir hayatnya. Kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik dan berdoa semoga dia bisa bertahan karena ini tergantung dari ketahanan fisik yang ia miliki. Bocah itu harus menetralkan kondisi, tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh banyak pikiran, dan harus beristirahat total selama beberapa hari ke depan. Ini kalau ingin sembuh paling tidak sampai titik paling tinggi. Hal yang sama juga berlaku untuk menyembuhkan luka fisiknya.”

“Apa yang harus kita lakukan, Pak Mus?”

“Kita? Kamu aja keles.”

“Pak Mus... plis deh.”

“Xixixi... baiklah. Seperti yang aku bilang tadi. Aku akan membantumu memberikan obat-obatan herbal dan memberikan bantuan tenaga dari hari ke hari. Usahakan kalian berdua tinggal di tempat yang tak jauh dari sini. Aku capek kalau harus perjalanan jauh.”

“Semua akomodasi kami tanggung, Pak Mus. Nanti juga ada bonus-bonus tambahan.”

Lha yo mesti to. Kudu to yo. Sudah semestinya. Apa ya kamu tega ga ngasih aku uang saku? Asem ik.”

Pasat tertawa.





.::..::..::..::.





Pasat melemparkan kunci ke atas meja. Ia menekuk kepalanya ke kanan dan kiri. Badannya benar-benar terasa pegal hari ini. Sudah terlalu banyak yang ia lewati. Peristiwa demi peristiwa yang membuatnya bekerja keras seharian penuh.

Pemuda itu berjalan melalui ruang tamu yang gelap dan melangkah perlahan menuju dapur. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Dia tidak ingin mengganggu siapapun yang sedang tertidur, tapi dia lapar sekali. Mudah-mudahan masih ada sisa roti sobek di belakang.

Pasat mengendap-endap supaya suara langkah kakinya dapat diredam.

“Bagaimana? Apakah Pak Mus mau merawatnya?” suara datang dari sosok yang duduk di kursi yang berada di sudut gelap.

Suara Ki Kadar. Pasat sangat mengenalinya. “Sepertinya begitu, Guru.”

Ki Kadar mengangguk-angguk. Pria tua itu tersenyum, “Kalau begitu kita tinggalkan dulu dia bersama Pak Mus sampai kondisinya membaik. Kita jemput dia kembali setelah lebih mendingan. Dia tinggal di kos di samping rumah Pak Mus?”

“Iya, Guru. Saya akan membantunya setiap hari.”

“Baiklah.”

Ki Kadar menyeruput kopi pahit yang ada di meja di sebelahnya. Dia memperhatikan Pasat yang berjalan dengan gontai menuju ke dapur. Punggungnya membungkuk, kepalanya tunduk, langkah kakinya seperti diseret.

“Apa ada masalah?”

“Guru?” Pasat melirik ke arah gurunya yang masih berada di kegelapan.

“Apa ada masalah? Kenapa kamu sepertinya sedang kecewa karena sesuatu hal? Tadi kamu sangat bersemangat saat mengantarkan bocah itu ke Pak Mus.” Ki Kadar sudah hapal betul dengan perangai dan sifat Pasat, sehingga dia tahu kalau ada yang tidak beres. “Apa kabar baik dan apa kabar buruknya?”

“Iya, Guru. Kabar baiknya pemuda itu sudah dipastikan tidak menderita luka yang terlalu fatal karena sudah diobati secara herbal. Dia kemungkinan besar bisa sembuh meskipun kondisi badannya menurun untuk beberapa hari ke depan dan saat ini dia demam hebat. Untuk lukanya yang parah, dia menderita luka yang cukup dalam di bagian dada.”

“Oke, lalu apa kabar buruknya?”

“Racunnya, Guru. Racun Cakar Hitam yang masuk masih bersemayam di dalam tubuhnya dan entah apakah bisa disembuhkan atau tidak – karena menurut Pak Mus itu butuh ketelatenan, hanya pengguna Cakar Hitam sendiri-lah yang bisa menghilangkan racun itu dengan sangat cepat – kita jelas tidak mungkin meminta bantuan Mas Rey. Jadi untuk sementara kita hanya bisa berharap dari obat-obatan herbal yang diberikan oleh Pak Mus. Kalaupun pemuda itu bisa sembuh pasti akan butuh waktu lama, kalaupun tidak racun itu kemungkinan besar akan mengganggu beberapa aktivitas sekaligus mungkin mengurangi umurnya.”

“Oke... sejauh ini berita baik dan buruk hanyalah tentang pemuda itu. Lalu kenapa kamu yang lemas?”

“Guru... tadinya saya berharap dia akan menjadi jawaban untuk masalah Mas Reynaldi. Kalau tangan kita terikat karena bekerja untuk QZK, maka orang ini lah yang bisa membantu kita membersihkan sang durjana. Tapi saat ini dia sedang kesakitan dan rasa-rasanya harapan saya mulai punah. Reynaldi akan terus menjadi masalah dan semakin banyak wanita tak bersalah menjadi korbannya.”

“Itu yang kamu khawatirkan?”

“Iya, Guru.”

Ki Kadar mengangguk-angguk. “Beberapa hari lagi jemput dia kalau kondisinya sudah delapan puluh persen. Pak Mus pasti setuju-setuju saja karena kita sudah tahu apa masalahnya yang sebenarnya. Pak Mus masih akan tetap datang kemari untuk merawat dan menyembuhkan pemuda itu. Aku akan pastikan ke Pak Mus.”

“Te-terima kasih, Guru.”

“Satu lagi.”

“Apa itu, Guru?”

“Setelah ia datang nanti, kita tidak bisa membiarkan dia pergi kemana-mana dulu. Racunnya mungkin harus dicek secara berkala sampai dia benar-benar aman untuk keluar. Setelah kondisinya membaik barulah kita bantu dia. Kamu terutama juga akan membantu dia.” Ki Kadar mengucapkan kalimat demi kalimat dengan nada bergetar, ia sepertinya tahu apa yang dirasakan oleh Pasat. Entah peristiwa apa di masa lalu sang tetua yang membuatnya mendukung Pasat.

“Saya pasti akan membantu, Guru.”

“Kamu akan membantu dia dengan membantunya mempelajari Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.”

Pasat tersenyum, “siap, Guru. Dengan senang hati. Apakah itu artinya dia akan menjadi murid Guru?”

Ki Kadar membalas senyum Pasat dalam kegelapan. Mungkin ia melihatnya, mungkin juga tidak. “Kalau dia menghendaki dia bisa memanggilku Guru. Kalaupun tidak juga tidak masalah. Aku hanya ingin mempersiapkan dia untuk masalah yang besar di depan nanti.”

“Masalah di depan?”

“Pertempuran antar kelompok sudah akan berkumandang. Hawanya sudah terasa. Aku sih berharap tidak terjadi apa-apa yang mengerikan seperti beberapa tahun lalu saat JXG bertarung habis-habisan melawan QZK.” Ki Kadar menghela napas. “Entah berapa banyak korban saat itu. Baik Pak Zein ataupun Bos Janu sama-sama kehilangan banyak. Mudah-mudahan keempat kelompok besar yang ada saat ini sanggup menahan diri demi kebaikan bersama.”

“Pertempuran semacam itu hanya akan melahirkan rasa sakit dan dendam saja, Guru. Dendam itu bertumpuk dan seakan-akan tidak ada akhirnya. Lingkaran setan yang menjebak.”

“Tepat sekali. Hal itu mirip seperti yang terjadi pada Syam dan Jagal. Keduanya dulu adalah rekan sepangkat di QZK, tapi kini jadi musuh bebuyutan. Apalagi bisa dibilang termasuk gara-gara Syam-lah, Jagal yang sebenarnya adalah murid langsung Bos Janu berpindah haluan untuk mendukung JXG. Syam pula yang secara tidak langsung mengirimkan Jagal masuk ke penjara.“ Ki Kadar menggelengkan kepala. “Kalau sudah dendam, orang akan melakukan apa saja.”

“Iya, Guru.”

Ki Kadar tersenyum, ia tahu pasti kalau dalam hati Pasat sebenarnya juga menyimpan satu dendam kesumat. “Dalam hidup kita ini, tentu saja kita tidak hanya akan dihadapkan pada peristiwa bahagia dan menyenangkan semata. Kalau hanya mengalami kedua hal itu, kita tidak akan pernah belajar dari kesalahan-kesalahan yang wajar kita lakukan sebagai manusia. Dalam hidup, ada kalanya kita akan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan seperti rasa sakit, rasa dikhianati, dan rasa benci. Gara-gara hal yang tidak menyenangkan itu kita akan geram, marah, dan dendam atas perbuatan orang lain yang kita anggap menyakitkan. Padahal menyimpan dendam itu bukanlah hal yang baik, apalagi jika disimpan terlalu lama. Hal itu kemungkinan besar akan merugikan diri kita sendiri dan orang lain yang sebenarnya tidak bersalah.”

Pasat menunduk, “menurut Guru, apa yang sebaiknya dilakukan?”

“Pertama adalah mencoba merasakan dan mengingat kembali saat-saat yang paling bahagia dalam hidup. Biarkan diri kita terbiasa mengingat yang baik dan membuang yang buruk. Dendam itu melelahkan dan membuat kita mudah capek, jauh dari kebahagiaan. Kalau ada orang yang berbuat jahat, ingat pula kalau ada orang yang berbuat baik. Arahkan kegiatan yang tadinya dipenuhi hasrat nafsu membalas ke kegiatan yang lebih positif. Daripada lelah memikirkan dendam, lebih baik tenang memikirkan bahagia.

“Kita juga harus ingat kalau orang yang menyakiti kita sesungguhnya juga manusia biasa, tempatnya salah. Ada kalanya dia benar, ada kalanya dia salah. Sama halnya seperti kita. Kita juga memiliki kelemahan yang sama. Kadang kita benar, kadang kita salah.

“Itu sebabnya kalau kita sedang disakiti, cobalah untuk memaafkan orang yang menyakiti itu sebisa mungkin. Memaafkan orang lain adalah hal yang paling berat yang akan kita rasakan. Bayangkan saja, bagaimana mungkin kita dapat memaafkan orang yang telah jahat kepada kita? Memang susah tapi harus dilakukan. Tapi kita tidak melakukan itu untuk orang yang berbuat salah. Kita melakukan itu untuk berdamai dengan diri kita sendiri. Supaya kita bahagia, supaya kita senang, supaya kita tenang, supaya kita sanggup melanjutkan hidup tanpa terpenjara belenggu dendam.”

Pasat masih menunduk mendengarkan petuah singkat dari sang Guru.

“Baik. Akan saya usahakan. Terima kasih, Guru.”

“Istirahatlah, Pasat. Kita butuh badan yang segar untuk esok hari.”

“Iya, Guru. Saya ijin undur diri.”

“Hmm...”

Pasat membalikkan badan dan berjalan pelan menuju ke dapur kembali.

Ki Kadar terdiam dan menatap kegelapan.





.::..::..::..::.





Duduk santai berempat di tepian sungai ditemani api unggun adalah sebuah kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya oleh Roy yang terbiasa hidup di kota. Kini bersama sahabat-sahabat barunya yang tengah menikmati hari libur, Roy bisa menjalani sesuatu yang luar biasa ini.

Setelah seharian mengikuti sepak terjang Rey sang durjana, Ki Kadar, Hamdani, dan Pasat akhirnya bisa beristirahat dengan santai di tepian sungai di kaki Gunung Menjulang. Sekedar menikmati aliran sungai yang masih bening dan hutan yang masih asri.

Ki Kadar yang duduk sembari membakar sosis di api unggun mencoba memancing pembicaraan. “Kalau sedang di depan api unggun begini, asyiknya kita santai, minum kopi, makan-makan sambil ditemani cerita-cerita. Bagaimana?”

“Wah setuju, Guru.” Pasat mengangguk dan menyiapkan empat gelas kopi untuk mereka berempat. Satu untuk Roy, satu untuk Ki Kadar, satu untuk Handoko Hamdani, dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Setelah semua kopi siap, barulah Pasat duduk kembali di posisinya semula. “Biasanya cerita Guru itu seru, bikin betah yang dengerin.”

Roy pun mencari posisi pewe di samping Pasat dan bersiap mendengarkan cerita dari Ki Kadar. Sesekali ia mengernyitkan wajah dan memegang dada yang terasa nyeri. Ia memang masih belum benar-benar sembuh dari lukanya.

“Sebenarnya lebih asyik lagi kalau kita tidur. Kita kan baru saja sampai di sini, jadi aku usul kalau kita istirahat saja dulu. Seharian kita sudah ngikutin Rey dari malam sampai pagi – apa ya sesampainya di tempat ini kita justru tidak beristirahat?” usul Hamdani yang wajahnya sudah mengantuk berat.

“Hahaha, tidurlah kalau mau duluan.” Ki Kadar tertawa renyah menanggapi murid pertamanya. Ia lantas menatap Pasat dan Roy yang bersemangat mendengarkan cerita. “Bagaimana kalau kalian? Kalian mau mendengarkan cerita apa?”

“Akhir-akhir ini saya sering mendengar cerita tentang cagak bebandan, Guru. Apa itu sebenarnya?” Pasat memberikan usulan bahasan.

“Ah... legenda tentang cagak bebandan ya.”

“Itu legenda, mitos, atau benar-benar kejadian ya, Guru?”

“Hahaha, baiklah. Aku akan mencoba menceritakan legendanya. Kalian sendiri yang akan memutuskan apakah ini kejadian nyata atau bukan nanti di akhir cerita.” Ki Kadar mengunyah sosis yang baru saja ia bakar sebelum memulai kawruh-nya. “Berbicara mengenai cagak bebandan berarti bicara mengenai Ki. Kekuatan Ki memang menakutkan dan sudah sejak ratusan tahun menjadi bahan perdebatan. Apakah ilmu kanuragan berbasis Ki itu nyata, apakah ilusi, akankah berguna, ataukah justru jadi penghancur. Banyak perbincangan yang dilakukan bahkan hingga ke tingkat politik tinggi di jamannya. Tak lain dan tak bukan karena ulah para pengguna Ki makin lama makin menjadi dan terkadang meresahkan masyarakat.

“Sebenarnya ada dua cara untuk menanggulangi penggunaan Ki dengan skala kecil. Yang pertama adalah dengan Ki sendiri, yaitu dengan jurus penahan Ki – yang jumlahnya ada beragam. Jadi secara simpel bisa dikatakan, menggunakan Ki untuk menahan Ki. Dengan jurus ini, lawan tidak akan dapat menggunakan Ki-nya secara utuh atau bahkan tidak bisa sama sekali. Tapi jurus ini penggunanya cukup langka karena sangat menyerap tenaga. Hanya orang yang benar-benar bagaikan baterai hidup yang sanggup menggunakan jurus penahan Ki. Cara kedua adalah dengan menggunakan cagak bebandan.”

Cagak bebandan.” Roy mengerutkan kening.

“Betul, cagak bebandan. Sepanjang sejarah kita sudah mengenal banyak keris pusaka yang sakti. Ada yang memang bertuah, ada yang dilengkapi khodam, ada yang ternyata cuma hiasan kaleng. Macam-macamlah. Beberapa diantaranya pasti sudah pernah kalian dengar legendanya. Ada Keris Baru Klinting yang konon merupakan potongan lidah naga, Keris Mpu Gandring yang mengutuk penggunanya sampai beberapa keturunan, Keris Kyai Pleret, Keris Kanjeng Kyai Ageng, dan masih banyak lagi.” Ki Kadar terbatuk sedikit, ia minum kopi pahitnya dan melanjutkan. “Nah... untuk melawan para pengguna Ki di jaman pertempuran antar kerajaan di masa yang telah lampau, terutama berdasarkan Kakawin Kredakaton, konon di jaman Kanjeng Gusti Pangeran Pitutur atau Raden Pitutur – tercipta apa yang disebut cagak bebandan.

“Awalnya Raden Pitutur memerintahkan kepada tiga belas orang empu sakti pencipta keris untuk membuat senjata yang sanggup melawan kekuatan Ki agar para prajurit yang tidak mampu menggunakan Ki dapat melawan para pengguna Ki. Lama kelamaan berkembang ide untuk menciptakan senjata yang akan menahan kekuatan Ki sehingga penggunanya akan kehilangan kekuatan mereka karena dibatasi oleh cagak bebandan. Dengan cara ini maka pertarungan di medan laga menjadi lebih seimbang, karena pengguna Ki hanya akan menjadi orang biasa.”

“Wah, iya juga ya. Kalau Ki dipakai di jaman perang tentunya tidak akan menjadi pertarungan yang imbang. Kalau di sisi kita sih tidak apa-apa, tapi kalau pengguna Ki-nya ada di sisi lawan pasti bisa bikin kita kewalahan.” Pasat menyambung.

“Aku pernah mendengar cerita ini.” Handoko Hamdani menggosok hidungnya. “Jadi boleh tidur ya sekarang? Aku lelah sekali seharian mengikuti si durjana brengsek itu gabut ga jelas.”

Ki Kadar tersenyum dan mengangguk, ya tidak apa-apalah kalau memang butuh istirahat. Ulah Reynaldi memang selalu membuat mereka semua kelimpungan. Apalagi dia seringkali bertindak jahat secara random.

“Mohon dilanjut, Ki.” Roy penasaran.

“Baiklah. Jadi Raden Pitutur di masa itu merasa kalau pertarungan yang tidak imbang tentu akan merugikan mereka, karena jika Ki digunakan di peperangan maka penggunanya pasti akan merenggut banyak korban dengan mudahnya. Itu sebabnya ia memerintahkan pada ketigabelas empu sakti untuk masing-masing membuat pembatas Ki entah bagaimana caranya karena negara sedang dilanda perang.”

“Nah ini mulai bagian serunya,” timpal Hamdani.

“Katanya mau tidur.” Pasat tertawa.

“Ya ini sambil merem.”

Ki Kadar melanjutkan. “Setelah dicoba dan mencoba, dua belas empu ternyata mengalami kegagalan, barulah empu terakhir atau empu yang ketigabelas – yaitu Mpu Rantas, yang berhasil menemukan cara dengan sedikit bantuan supranatural. Dia menciptakan tiga belas keris sakti yang kemudian dikenal dengan istilah cagak bebandan atau tiang penahan.

“Penggunaannya simpel. Keris-keris itu ditancapkan ke tanah secara memutar atau membentuk lingkaran besar sembari mengucapkan rapalan dan hasilnya masing-masing keris itu akan membentuk satu jejaring penahan Ki imajiner. Siapapun yang melintas atau berada di tengah area keris yang biasanya dipasang membentuk lingkaran itu akan kehilangan kemampuan Ki mereka sampai mereka sanggup melintas meninggalkan lingkaran cagak bebandan. Tentu saja jarak lingkaran jejaring itu kurang lebih hanya beberapa ratus meter saja, makin sedikit keris yang digunakan, makin pendek lingkaran jaring penahan yang bisa tercipta.”

“Wow.” Pasat manggut-manggut kagum.

“Edan juga ya jaman segitu sudah kepikiran bikin penahan.” Roy menyambung. “Aku juga sudah pernah mendengar cerita tentang ini tapi tidak begitu paham seperti apa penahannya.”

“Aku tidak tahan ingin tidur.” Hamdani merem tapi masih ngoceh.

“Tapi penasaran sebenarnya bagaimana cara Mpu Rantas menciptakan keris-keris ampuh penahan Ki itu?” tanya Pasat.

Ki Kadar tersenyum, “Nah ini uniknya legenda ini. Demi menciptakan tiga belas keris penahan Ki, Mpu Rantas justru mengelabui kawan-kawannya yaitu para empu yang tadi gagal menciptakan keris sakti dan menjadikan mereka tumbal bagi khodam di masing-masing keris yang ia ciptakan. Dengan licik dan banyak tipu muslihat, Mpu Rantas membunuh mereka satu persatu untuk menciptakan ketigabelas keris sakti penahan Ki. Cerita tentang Mpu Rantas dan keduabelas pembunuhan yang ia lakukan ini ada di Kakawin Kredakaton. Suatu saat kelak akan aku ceritakan.

“Sebentar-sebentar, Guru... bukankah kerisnya ada tiga belas? Sedangkan para empu yang dijadiin tumbal kan jumlahnya hanya dua belas?” Pasat bertanya-tanya.

“Benar sekali. Nah, keris yang paripurna adalah kunci yang paling sakti dan disebut Keris Mpu Rantas. Kamu tahu kan apa itu artinya?” tanya Ki Kadar sambil tersenyum. “Artinya Mpu Rantas lantas mengorbankan dirinya sendiri menjadi tumbal untuk keris yang terakhir. Ia melakukannya tepat di hadapan Raden Pitutur demi menyempurnakan kesaktian ketiga belas keris. Dia menggorok lehernya sendiri, meneteskan darah di atas batang keris, dan tewas seketika.”

Roy manggut-manggut.

Ki Kadar melanjutkan, “Raden Pitutur kemudian memenangkan perang berkat bantuan ketigabelas keris itu dan setelahnya memisahkan semua keris untuk menjaganya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Apalagi Raden Pitutur sendiri sebenarnya diam-diam juga seorang pengguna Ki sejati.”

“Apa yang kemudian terjadi pada keris-keris itu, Guru?” tanya Pasat. “Apakah masih ada di jaman modern? Ataukah hanya sekedar fiksi dan legenda semata?”

“Masih ada kok, meski kesaktian dan keotentikannya di jaman modern harus dipertanyakan. Beberapa keris sudah hancur, lalu banyak juga yang hilang ditelan jaman, sehingga saat ini konon hanya tersisa sembilan saja. Empat keris dimiliki oleh Keraton dan ditempatkan masing-masing di pojok beteng. Tentu saja posisi dan lokasi keempat keris itu terlalu jauh untuk bisa berfungsi sebagai cagak bebandan. Keris-keris itu memang ditempatkan di empat penjuru keraton sebenarnya hanya untuk menjadi penanda saja tanpa maksud apapun.”

“Bagaimana dengan lima yang tersisa?” tanya Roy.

“Yang tiga sempat muncul dan menghebohkan dunia lelang karena setelah ditelusuri ternyata selama ini keris-keris itu dibawa sampai ke negeri Belanda. Pemenang lelang ketiga keris itu orang Indonesia, tapi sampai saat ini siapa pemilik terakhirnya tidak diketahui siapa. Yang jelas ada di negeri kita.”

“Lalu yang dua lagi?” Pasat juga penasaran.

“Nah ini. Satu-satunya orang yang diketahui memegang Keris Kyai Mpu Rantas dan satu keris lagi adalah orang yang konon katanya merupakan keturunan dari Mpu Rantas.” Ki Kadar tertawa seakan-akan ada yang lucu. “Kalau kalian kenal orangnya pasti akan tertawa. Karena meski keturunan dari Mpu Rantas, tapi ternyata dia justru sama sekali tidak paham cara penggunaan kedua keris sakti itu. Sangat disayangkan, bukan? Ilmu ajaib dengan media akhirnya cagak bebandan lenyap dan punah.”

Pasat dan Roy saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka bertanya, “Siapa orang itu?”

Handoko Hamdani menguap, dia melirik ke arah Pasat dan Roy sambil geleng-geleng kepala. Dengan suara malas dia menjawab pertanyaan kedua yuniornya sembari mengubah posisi tidur supaya dapat membelakangi mereka berdua, “Lek Suman.”

“Le-Lek Suman?” Roy dan Pasat kembali berpandangan.

Ki Kadar tertawa. “Betul. Dialah keturunan jauh dari Mpu Rantas dan pewaris dua keris sakti cagak bebandan. Kalau ada perang antar pengguna Ki di jagad ini, maka kunci kemenangan seharusnya ada di tangan Lek Suman. Meski dia sendiri tidak tahu cara penggunaan kerisnya.”

Hamdani yang mengaku tertidur ternyata membuka matanya dengan nyalang. Baik Ki Kadar, Pasat, maupun Roy tidak menyadari kalau pria itu tengah berpikir keras. Pikirannya menuju ke sosok Lek Suman, sementara bibirnya berbisik mengucapkan kalimat yang konon merupakan rapalan untuk mengaktifkan cagak bebandan berdasarkan dari buku kuno Kakawin Kredakaton.

Ora lokak soyo kebak, ora wutah samsoyo wutuh, ora roboh lan soyo bakoh.”





.::..::..::..::.





Ki Kadar sedang berlatih ilmu kanuragan dengan Handoko Hamdani di sebuah tanah lapang sementara Roy dan Pasat duduk-duduk di gubuk yang tepat berada di tengah pematang sawah. Suasana asri dan hijau ditemani oleh angin semilir sejuk dengan hawa dingin kaki Gunung Menjulang membuat jiwa-jiwa yang hangat menjadi lebih tenang dan senang.

Roy tersenyum saat melihat rekaman video di ponsel Pasat. Dia menatap layar tanpa berkedip. Di sana, Pasat merekam semua kegiatan yang dilakukan oleh Rania. Itulah kenapa Pasat diam-diam mengunjungi Rania saat dia hendak pulang kerja – demi memberikannya kepada Roy.

“Terima kasih sudah membantuku menjalan hidup baru ini, Pasat,” ujar Roy yang berkaca-kaca saat melihat kecantikan Rania dari jarak jauh. “Entah kapan aku bisa bertemu kembali dengannya. Tapi rasanya rindu sekali. Demi dia aku pasti akan sembuh dari semua luka dan racun yang masih mengungkung tubuhku ini.”

Pasat mengangguk, dan menepuk pundak Roy. “Aku tahu rasanya berada di posisimu. Aku pernah mengalami kehilangan yang hebat – tapi Guru dan Kang Hamdani membantuku bangkit kembali. Kalau aku bisa, kamu juga bisa. Kita pasti menemukan cara untuk menyembuhkan racun yang masih bersemayam di dalam tubuhmu.”

“Entah bagaimana aku bisa berterima kasih. Kalau kamu tidak membawaku setelah dipukul oleh Reynaldi, aku pasti sudah mati.”

Pasat mengangkat pundaknya, “Aku hanya merasa kamu tidak pantas mati begitu saja setelah melindungi orang yang kamu sayangi. Sayang sekali kalau berkurang orang baik di dunia ini hanya gara-gara Rey. Si durjana itu seharusnya dihukum berat, tidak malah dibiarkan hidup senyaman sekarang – tapi tanganku terkekang, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bekerja di kelompok yang sama dengan Rey. Sedangkan kamu... kamu bisa melakukannya. Pastikan untuk membawa Rey ke bui, penjarakan dia seumur hidup.”

“Bilang aja kamu malas ngikutin dia melulu setiap harinya.”

“Hahaha, memang bener juga sih. Eneg banget rasanya. Itu orang pikirannya ga jauh-jauh dari selangkangan. Seperti tidak ada yang lain di dunia ini selain cewek dan cewek.”

Roy menunduk, “Aku harus jadi lebih kuat lagi untuk bisa melindungi Rania dan teman-temanku. Mereka butuh bantuan karena semua masalah yang akan kita hadapi kedepannya nanti sesuai ramalan Ki Kadar.”

Pasat kembali menepuk pundak sang pengendara angin, wajahnya menunjukkan penyesalan. “Maaf untuk sementara waktu kamu masih belum bisa menikahi kekasihmu itu. Setidaknya sampai racun di tubuhmu benar-benar sudah hilang.”

“Aku tahu.” Roy meneguk ludah, “rasanya pahit sekali tidak bisa menikah dengannya, tapi racun ini benar-benar menghalangiku. Lebih baik aku mati daripada menularkan penyakit ini pada orang yang paling aku cintai.”

Pasat mengangguk. Dia juga berharap Roy dapat sembuh sesegera mungkin karena bisa jadi Roy adalah harapannya untuk dapat mengatasi masalah Reynaldi yang kian lama kian menjadi. Durjana busuk itu harus diberi pelajaran supaya tidak sewenang-wenang terhadap kaum perempuan. Pasat selalu teringat nasib yang menimpa kakaknya yang malang jika melihat korban-korban Reynaldi. Saat itu tidak ada yang membantunya, bahkan kakak iparnya pun malah menghilang.

Ketidakadilan membuatnya geram terhadap ulah Rey.

Sialnya Pasat tak bisa berbuat banyak, karena dia justru bekerja untuk Reynaldi saat ini – jadi tidak bisa membalasnya secara langsung. Dia hanya berharap Roy sanggup membuat sang durjana kapok sekapok-kapoknya. Masuk bui kalau bisa. Ditusbol di bui lebih mantap lagi. Biar tau rasa.

Ponsel sang pengendara angin nyaring menyala. Kebetulan posisi ponsel itu tepat berada di samping Pasat. Sang pemuda berambut coklat itu pun melirik ke ponsel milik Roy.

“Apa pesannya?” tanya Roy.

Dia sudah sangat percaya pada Pasat, jadi tidak masalah kalau pemuda itu membuka layar ponselnya. Toh itu juga sudah pernah dilakukannya dulu. Pesan singkat WA akan muncul di halaman notifikasi Roy sehingga ia tidak perlu membuka WA-nya.

“Ada pesan singkat. Kode Bravo. Rao diserang PSG di GOR Klabangan,” kata Pasat membaca pesan yang muncul di lockscreen ponsel. Wajahnya berubah menjadi serius. “Bagaimana?”

“Itu artinya mereka sedang menyusul Rao yang diserang PSG di GOR Klabangan,” ujar Roy yang meski vakum di grup WA Lima Jari tapi tetap mengikuti perkembangan keempat kawannya. Dia sengaja tidak masuk ke grup supaya bisa membantu di saat-saat yang tepat. “Aliansi sedang ditekan kanan kiri, kalau tidak salah dengar percakapanmu di telepon tadi – saat ini DoP juga sedang diserang RKZ kan?”

“Betul.”

“Mereka sedang terpojok. Ending-nya pasti tidak bagus.”

“Lokasinya lumayan. Tidak jauh tidak dekat. Ada bau busuk sih, PSG sepertinya sudah menyiapkan siasat,” ujar Pasat yang baru saja membaca pesan singkat yang muncul di penampang layar ponsel milik Roy. “Bagaimana? Apakah sekarang waktunya? Kamu sudah siap? Bagaimana kondisi badanmu? Racunnya? Lukanya?”

Roy berdiri.

Dia tidak buru-buru menjawab.

Ia menggoyangkan kaki, merenggangkannya, mengangkatnya tinggi-tinggi, menempelkannya ke tiang pancang gubuk, dan mulai melakukan pemanasan. Setelah beberapa kali terdiam, akhirnya ia menatap ke arah Pasat.

Racunnya belum sepenuhnya hilang, luka belum sepenuhnya sembuh. Tapi kedua hal itu tak akan menghentikannya menemui sahabat-sahabatnya di saat mereka membutuhkan. Terlebih lagi dia ingin mencoba ilmu kanuragan baru yang ia kuasai.

Roy mengangguk dan tersenyum, “Sekarang saatnya.”





JALAK – KISAH SISIPAN 2
BILA KAU TAK DI SAMPINGKU
SELESAI.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd