Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Kentang owalah kentang,,,kok ky ngene Yoo rasane kena kentang,,,gwe penasaran bgt iki ,,,,ddi g sbr nunggu klnjtnya,,,pesen satu bwt suhu killertomato,,,tlg Bu Asty jgn diapa2in y,,,disini byk fans garis keras Bu Asty loh🤭,,, thanks atas updatenya
 
Sekalinya dobel updet ceweknya yg gugur langsung 2 eva sm nuke, belum lagi nasib kinan sm asty yg dlam bahaya. Kinan sudah pasti jd umpan buat dapatin nanto seperti nada dl, asty mudah2an bs di selamatkan sm komandan kocak.
Joko gunar tewas gara2 nuke? Konyol, pdhl perang besar sudah menanti...
 
BAGIAN 5
PUPUS






“Akulah yang akan mati ketika waktunya aku mati.
Jadi biarkan aku menjalani hidupku seperti hidup yang aku inginkan.”
- Jimi Hendrix






Sebuah mobil berwarna gelap akhirnya berhenti di sebuah jalan. Jalan yang berada di pertengahan antah berantah. Kanan kiri sawah, lampu redup berjarak jauh, tidak ada rumah dalam jangkauan tiga kilometer dari ujung ke ujung. Entah posisi mereka ada di mana sekarang karena semuanya gelap.

Pintu geser mobil berwarna gelap itu terbuka dan sesosok seorang pemuda yang sudah tak berdaya dilemparkan ke luar begitu saja dari dalam mobil ke parit dangkal di pinggir sawah.

Beberapa orang yang berada di dalam mobil memberikan komentar saat mereka melemparkan pemuda itu.

Modyar kowe, Nyuk!” komen salah seorang dari mereka.

“Kamu beruntung nyawamu diselamatkan oleh pacarmu, jadi kami tidak perlu membuang mayatmu ke laut selatan. Kalau cerdas, mulai sekarang jangan pernah mencampuri urusan PSG lagi apalagi kami sudah bergabung dengan RKZ – tidak ada yang bisa mengalahkan koalisi Axis Joko Gunar dan Bambang Jenggo. Kalian tidak sebanding dengan kami! Cuh!” komen orang yang lain sembari meludah ke wajah sang pemuda yang dibuang di parit tepi sawah.

“Hehehe. Dasar bodoh. Sudahlah… laki-laki semacam kamu tidak pantas bersanding sama cewek secakep itu. Jadi relakan saja pacarmu yang mulus itu dientotin Bang Gunar. Kamu cukup nyari lonte di pinggir jalan.” Komen orang yang satu lagi. “Doakan kami juga mudah-mudahan setelah Bang Gunar bosan sama cewek kamu, kami kebagian memeknya.”

“Hahahahahaha…” semua yang di dalam mobil tertawa.

Mobil itupun segera pergi setelah pintu ditutup kembali.

Pemuda yang terpuruk di parit itu… adalah Rao, sang Hyena Gila. Tangan Rao menggapai tepian jalan dan ia harus menyeret tubuhnya sendiri untuk bisa kembali ke atas. Dia tahu jaraknya dengan pemukiman sangat jauh dan dengan kekuatannya yang sekarang, dia mungkin tak akan dapat mengejar para bedebah itu.

Rao mencoba menggapai napasnya yang tersengal-sengal, berulang kali dia terkapar di pinggir jalan setelah merangkak, pingsan, merangkak, pingsan, merangkak lagi, sampai akhirnya dia terlentang di hamparan rumput yang luas sembari menatap langit yang berbintang, dia sudah tidak peduli di mana dia sekarang. Mau mati pun tak peduli.

Sakit terasa di sekujur tubuh, tulang-tulangnya terasa ngilu, tenaganya habis, semangatnya hilang tanpa bekas, dan ia bahkan hampir tak bisa menggerakkan badan. Semua ia rasakan dan semua menyakitkan. Tapi sesungguhnya yang paling sakit adalah hatinya yang remuk redam bukan kepalang. Rasa-rasanya dia sudah tak bisa apa-apa lagi dengan perasaan yang sedemikian.

Jadi seperti ini ya rasanya?

Seperti ini ya rasanya patah hati?

Bangsat.

Sang Hyena Gila hanya bisa tersenyum dan tertawa. Bisa-bisanya dia merasakan hal yang absurd seperti ini? Dia. Rao. Dijatuhkan lawan karena cinta. Karena cinta! Bajingan, Nyuk. Jadi rasa seperti ini yang membuat banyak orang kalang kabut sepanjang masa? Sampai-sampai berjutaan puisi dituliskan dalam berbagai macam aksara?

Cinta.

Ia menepuk kepalanya sendiri.

Kopet.

Rao mengulang lagi, ia memukul kepalanya sendiri. Lalu memukul lagi, lalu lagi, lalu lagi, dan lagi, dan lagi.

Sang Hyena Gila tidak memukul kepalanya dengan main-main. Ia benar-benar memukul dengan teramat keras. Sakitkah? Ya sakit. Kepalanya benar-benar sakit terkena pukulan meski pukulan itu ia lakukan sendiri, tapi tetap saja tidak bisa menggantikan rasa sakit yang ia rasa dalam dadanya.

Kenapa dadanya terasa sesak? Kenapa dia diberkahi dengan rasa sakit yang seperti ini? Kenapa ada cinta jika berujung duka? Kenapa ada rindu di dada jika diakhiri perpisahan yang menyakitkan? Kenapa dia yang seperti batu harus dilunakkan jika kemudian hanya untuk dibentuk kembali menjadi batu?

Apa gunanya?

Rao mendengus.

Kesal? Ya dia kesal. Marah? Sudah pasti dia marah. Menyerah? Jangan harap.

Rao adalah Rao. Setelah ini, sang Hyena Gila akan mengobarkan kemarahannya. Dia masih punya DoP, dia masih punya Aliansi. Wanita yang ia sayang mungkin sudah meninggalkannya, tapi kawan-kawan yang baik masih berada disisinya. Menyerah tidak ada dalam kamusnya. Dia akan bangkit dan harus bisa bangkit.

Tidak cukup hanya Lontaran Tenaga Dalam, tidak cukup hanya Tendangan Tanpa Bayangan. Rao harus menguasai sesuatu yang baru – sesuatu yang mampu mengantarkan namanya memuncaki semuanya. Sesuatu yang punya efek dahsyat untuk melampiaskan kemarahannya. Demi apapun dia harus menguasai jurus pemuncak dari Lontaran Tenaga Dalam-nya.

Dia tahu ada seseorang yang bisa membantunya melatih ilmu kanuragan pilih tanding. Ilmu kanuragan yang akan memberikannya tambahan kekuatan. Untuk itu dia harus kembali menemui seseorang yang berjuluk Sang Juru Kunci. Seorang guru yang berada di desa teratas di kaki Gunung Menjulang, seseorang yang pernah memberikan dirinya ilmu lontaran Ki.

Rao menatap langit, menggeram, dan berteriak dengan kencang melampiaskan kekesalan.

Cukup sudah semua urusan melelahkan ini. Cukup sudah menjadi bulan-bulanan. Cukup sudah dipermainkan bak seorang pecundang. Dia mungkin akan menjadi orang yang sangat membenci cinta dan tak lagi ingin jatuh cinta – untuk selamanya.

Hidupnya akan ia berikan untuk Aliansi dan kejatuhan semua kelompok bangsat yang menyesakkan dadanya. Saatnya untuk bangkit telah tiba. Cerita tentang wanita dan kisah cengeng yang menyertai? Tidak ada lagi.

Tidak ada.

Tidak ada yang dapat menghentikannya sekarang.

Tidak ada yang dapat menghentikan amarahnya.

Dia pasti bangkit dan saat dia bangkit nanti, dia tidak lagi menjadi mangsa. Dia akan menjadi sang pemangsa. Karena seperti nama julukannya, dia adalah Hyena.

Itulah janji Rao, janji penuh amarah pada langit.





.::..::..::..::.





“Semua kemewahan ini, akan menjadi milikmu seorang,” ucap Joko Gunar dengan bahagia.

Pria bertubuh gempal itu menggandeng Nuke memasuki kediamannya, melewati pendopo, dan masuk ke ruang tengah yang megah dan mewah meskipun masih bernuansa kedaerahan. Nuke pernah masuk ke sini, tapi tidak menyangka ia akan datang kembali sebagai istri muda sang pemilik rumah.

Gunar terus menerus menyiramnya dengan puja dan puji semu yang bagi Nuke tidak ada artinya. “Kamu… akan jadi nyonya rumah yang sempurna. Cantik, seksi, putih, dan aduhai indah tubuhnya. Tak akan pernah aku ijinkan kamu mengenakan celana dalam selama berada di dalam rumahku supaya aku bisa mengakses memekmu kapanpun aku mau. Huahahahahaha.”

Wajah Nuke memerah, orang ini kalau ngomong benar-benar tidak tahu waktu dan tidak tahu malu. Apakah hanya selangkangan saja yang selalu ia pikirkan? Dasar otak cabul. Gadis itu menjadi tidak nyaman ketika beberapa orang penjaga menatapnya dengan pandangan aneh dan mesum usai Gunar mengucapkan kata-kata biadabnya. Sama saja orang-orang ini - ketika sang bos melecehkannya, mereka juga akan menatapnya dengan pandangan menelusur dari ujung kaki ke ujung rambut. Pandangan yang seakan-akan menelanjanginya.

Nuke merasa tidak nyaman.

Joko Gunar menyadari ketidaknyamanan sang bidadari pujaan, “Jangan pedulikan mereka. Pedulilah hanya padaku seorang. Hehehe.”

Nuke melirik ke Joko Gunar yang sepertinya tahu apa yang sedang dirasakan oleh Nuke.

Gunar terkekeh pelan, “Mereka itu preman pasar yang tidak punya pasangan. Satu-satunya hiburan mereka adalah ngentotin lonte di selatan stasiun kereta menjelang malam, atau banci di dekat Kali Mambu. Keberadaanmu di sini mulai hari ini jelas akan menjadikan hari-hari mereka berbeda ke depannya. Kapan lagi mereka bisa melihat seorang bidadari dari hari ke hari? Saat kamu masih sering berjualan di dekat lapangan besar saja mereka sudah sering membicarakan tentangmu, apalagi sekarang.”

Pernyataan itu terdengar menenangkan sekaligus menggelikan. Terlebih keluar dari mulut seorang bajingan seperti Joko Gunar.

Gunar menggenggam tangan Nuke dengan erat, ia menatap perempuan berparas jelita itu dengan pandangan yang lembut, “Tapi aku beda dengan mereka. Aku dengan tulus akan mencintaimu, dengan semua daya upayaku sampai akhir masa. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak kamu masih remaja, tak kusangka aku akan benar-benar dapat mengawinimu.”

Nuke mendongak dan menatap wajah sang Kodok Besar. Bukan wajah yang rupawan apalagi nyaman dipandang, tapi saat itu ia bisa merasakan ketulusan. Mungkinkah ia bisa berbahagia di sisi Joko Gunar sebagai pasangan?

Dia sudah berjanji untuk menikahi Joko Gunar, jadi dia harus belajar untuk menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang tidak dia inginkan tapi harus dilakukan.

Mereka berdua melalui dapur dan bertemu dengan seorang wanita berusia senja yang mengenakan pakaian sederhana sedang membawa sepiring ayam kung pao yang baunya sangat sedap. Setelah wanita tua itu meletakkan piring di atas meja makan, Gunar membawa Nuke untuk menemuinya.

“Nah ini yang namanya Mbok Emban,” ucap Gunar memperkenalkan pasangan barunya pada sang asisten rumah tangga.

Wanita tua itu sempat terhenyak kaget ketika melihat sosok Nuke untuk beberapa saat lamanya – mungkin karena ia tak menyangka Joko Gunar akan membawa pulang seorang nyonya rumah baru, tapi ia lantas tersenyum ramah. “Sugeng ndalu, Den Ayu. Selamat malam, sudah makan nopo dereng? Saya siapkan makan nggih?”

Nuke bertatapan dengan perempuan tua yang tersenyum ramah itu. Ada sesuatu yang…

Mbok Emban itu ahli masak serba bisa. Kalau mau pesan makanan apa saja tinggal bilang.” Joko Gunar terkekeh, tapi sesaat kemudian ia terdiam seribu bahasa saat melirik keluar jendela. Ada sedikit perubahan di wajahnya. Tadi ia selalu ceria, tapi sekarang ia muram.

Gunar mendorong Nuke ke arah Mbok Emban, Nuke bertanya-tanya kenapa Gunar melakukannya.

“Ini adalah salah satu privilege-mu sebagai istri mudaku. Apapun yang kamu inginkan, akan aku penuhi, semua keinginanmu akan aku turuti. Termasuk masakan apapun yang kamu inginkan. Kurang baik bagaimana lagi aku ini? Sudah, pesanlah apapun. Nanti pesanannya akan diantarkan ke kamar kita, sayang.”

Nuke terdiam dan mengangguk malu-malu ke Mbok Emban yang sepertinya tidak terkejut tuannya secara paksa membawa seorang wanita muda untuk dijadikan istri. Jelas ini bukan kali pertama. Tapi ada sesuatu yang berbeda yang membuat Mbok Emban itu terlihat ceria, seperti seorang kawan yang sudah lama tidak berjumpa. Nuke pun membungkuk dan membisikkan sesuatu ke Mbok Emban yang langsung dibalas dengan angguk dan senyuman.

Kerso dhahar meniko, Den Ayu? Mau makan itu, Den Ayu? Siap. Bahan-bahannya kebetulan ada jadi akan saya siapkan semuanya untuk makan malam.”

Nuke melirik ke belakang, sosok Joko Gunar sudah tak lagi terlihat.

Memang benar.

Joko Gunar meninggalkan Nuke sejenak untuk menemui dua orang tamu yang duduk di pendoponya. Mereka terlihat dari posisi di mana sang dara berada. Nuke pun kemudian bercengkerama dan ngobrol dengan Mbok Emban.

“Selain masak yang tadi saya pesan… Mbok Emban bisa masak apalagi?”

“Saya bisa masak…” Mbok Emban meremas tangan Nuke. Seperti ada air mata yang menetes dari pelupuk matanya. “Den Ayu… maafkan saya yang tidak bisa menahan rasa… tapi Den AyuDen Ayu…”

Mbok Emban terbata-bata sembari tiba-tiba saja memeluk Nuke. Dara jelita itu mengernyitkan dahi, apa yang…? Apakah Mbok Emban merasa kasihan dengannya? Nuke mengelus-elus punggung wanita tua yang sesunggukan sambil memeluknya itu. Awalnya Nuke merasa heran, tapi lantas ia sadar kalau mungkin ada alasan yang berbeda di balik itu semua.

“Mbok… bagaimana kalau kita masak bersama…?”

Keduanya kemudian berjalan menuju dapur.

Di luar, Joko Gunar menemui dua orang pemuda yang gelisah dengan wajah sumringah – wajah seseorang yang lamarannya diterima. Setelah mendapatkan Nuke, sang pimpinan preman itu memang tak berhenti untuk menebar senyumannya. Hari ini dia menjadi pria yang sangat berbahagia karena telah berhasil mendapatkan wanita idamannya sejak lama dan memastikan tidak ada lagi drama. Joko Gunar sudah ngiler dengan kecantikan dan tubuh Nuke sejak gadis itu masih SMA, tak disangka-sangka sekarang ia benar-benar akan mendapatkannya.

Dua orang pemuda menyambut Joko Gunar dengan wajah yang nampak tidak senang, mimik wajah keduanya tidak karuan. Sang kodok besar sudah bisa menebak alasannya kenapa.

“Ada apa ini? Kenapa kalian tiba-tiba datang kesini? Kenapa wajah kalian seperti itu?” Jenggo mendengus, “Mbok ya kalian kalau ketemu Bapak itu wajahnya tidak pating pleketut, tidak masam begitu. Aku ini Bapak kandung kalian lho! Dasar anak-anak bleguk semua. Setidaknya yo bisa to ya menunjukkan wajah hormat saat bertemu denganku? Kurang apalagi coba aku sama kalian? Uang sudah kuberi, kemewahan tidak pernah berhenti, ilmu kanuragan sudah kubagi. Apalagi yang kalian inginkan? Bisa tidak sejenak saja ikut berbahagia hari ini?”

Gunar duduk di kursinya, memandang satu persatu dari kedua pemuda di hadapannya dan mendengus kesal. Kedua pemuda itu bukannya semakin tenang namun justru tambah gelisah mendengar kata-kata Joko Gunar barusan.

“Bahagia? Bahagia?? Pak! Bisa-bisanya kami bahagia kalau Bapak masih mengumbar nafsu pada wanita muda! Kami berdua sudah mendengar semuanya! Dia… dia bahkan hanya beberapa tahun lebih tua dariku!” salah satu anak Joko Gunar protes, “Kami sudah melihatnya dan tidak menyukai wanita jalang yang bakal Bapak jadikan istri muda itu! Kami tidak peduli Bapak mau mengawini siapapun tapi setidaknya perhatikan ibu kami! Bagaimana dengan nasib ibu yang sampai saat ini belum juga Bapak nikahi secara resmi? Bagaimana dengan kesejahteraan ibu yang saat ini sakit-sakitan?”

Pemuda bernama Aswin Aswatama itu berapi-api. Dia adalah salah satu anak Joko Gunar dengan wanita yang belum juga dibawa ke KUA, padahal Aswin sekarang sudah dewasa. Dari wajah dan penampilan, Aswin Aswatama memiliki sosok yang mirip dengan sang ayahanda, gempal dan besar dengan dagu berlipat-lipat karena kelebihan daging.

“Aswin betul, Bapak sama sekali tidak memberikan hak-hak pada Ibu-Ibu kami yang sudah menderita luar dalam. Ini tidak adil. Bukannya membenahi hubungan dengan wanita-wanita yang telah memberikan keturunan, eh sekarang Bapak malah mau menikahi wanita lain, benar-benar tidak ada hati nurani.” Ajo Gunarso - adik tiri Aswin juga ikut protes.

Berbeda dengan kakaknya, Ajo memiliki paras yang cukup lumayan dan berkulit kaukasia karena dia terlahir dari seorang ibu asal Skandinavia. Ibunya dulu adalah seorang turis asing yang diperkosa dan dipaksa tinggal di negara ini oleh Joko Gunar sampai kemudian dideportasi. Ajo yang ditinggal di negara ini akhirnya dirawat oleh ibu Aswin.

Kedua kakak beradik beda ibu itu benar-benar kokoh mempertahankan kehormatan ibu mereka masing-masing yang hidupnya terlunta-lunta karena tidak diperhatikan oleh Joko Gunar.

Hrmph.” Gunar menggerutu. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong jaket yang ia kenakan – buku cek. Ia melemparkannya ke meja di depan Aswin dan Ajo. “Tuliskan berapapun yang kalian mau. Berikan ke Ibu kalian. Aku tidak akan mempermasalahkan jumlahnya.”

“Ibu kami butuh perhatian, bukan uang.” Aswin masih protes.

“Aku tidak bisa memberikannya ke seorang wanita tua yang sudah sakit-sakitan. Aku memiliki perusahaan untuk dijalankan dan kelompok untuk dibina, semua kesibukanku membutuhkan perhatian seratus persen. Mana sempat aku mengurus rumah jompo!”

“Pak! Ibu bukan…” Aswin kembali protes, namun kalimatnya sudah dipotong sang bapak.

“Aku membesarkan perusahaan demi kalian! Bukan untuk siapa-siapa! Untuk kalian! Jadi kalau kalian masih bilang aku tidak memperhatikan, maka aku akan memberikannya ke orang lain yang iri melihat keberuntungan kalian! Aku ingin kalian meneruskan usahaku, menjadi pewaris kelompok PSG, mewarisi ilmu kanuraganku, aku ingin kalian berdua menerima warisanku. Apakah itu belum cukup?” Joko Gunar mendengus-dengus dengan kesal, ia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan emosi. “Masih menuntut macam-macam padahal kalian berdua sudah sama-sama menerima Jurus Kodok, sama-sama sudah menerima Hikmat Penyesap Prana. Lalu apa lagi yang kalian inginkan? Itu ambil ceknya yang ada di atas meja, tulis nominalnya, bawa ke bank, dan berikan ke ibu kalian! Sudah, selesai masalah!”

Joko Gunar berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Aswin dan Ajo yang hanya bisa berdiri terdiam. Mereka geram diperlakukan seperti itu tapi tak kuasa melawan Gunar, bagaimanapun pria itu adalah ayah mereka.

“Jadi bagaimana?” tanya Ajo.

Aswin mengambil cek itu dan menatap adik tirinya. “Kita belikan ibu sesuatu.”

Ajo mengiyakan dengan mengangkat jempolnya. “Bagaimana dengan cewek itu?”

Aswin mengangkat bahunya tapi lantas tersenyum lebar, “Biar saja. Itu urusan Bapak. Aku sih tidak peduli dia mau ngentotin siapa, yang penting cek ini bisa terus dicairkan.”

Ajo tertawa. Taktik mereka untuk mendapatkan uang dengan dalih memperhatikan Ibu ternyata berhasil. Seperti anak, seperti bapak. Aswin dan Ajo sama brengseknya dengan Joko Gunar.

Buah memang tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.





.::..::..::..::.





“Apa yang akan kita lakukan, Bos?”

Syam memandang Ki Kadar, Ki Kadar memandang Syam. Mereka berdua saling berpandangan, menandakan sama-sama saling mempertanyakan. Ki Kadar mengangguk pertanda mengiyakan, Syam pun mengangguk untuk melaksanakan.

“Maaf, Bos.” Syam mengulang pertanyaannya. “Mengenai serangan gabungan PSGxRKZ ini, apa yang akan kita lakukan? Tidak mungkin kan kita diam saja? Ini jelas-jelas tindakan ngawur yang bisa kita ibaratkan bagaikan hinaan. Ini bagaikan meludah langsung ke wajah kita. Mereka sudah seenak wudel-nya sendiri membumihanguskan Talatawon yang jelas-jelas netral.”

Om Janu duduk dengan tenang sembari membolak-balik halaman majalah Panjebar Semangat yang setelah bertahun-tahun masih tetap bertahan terbit. Sang pimpinan terdiam tanpa melirik sedikitpun ke arah anak buahnya. Ia masih tetap menikmati membaca sebuah artikel.

“Bos?” ulang Syam. Ia berdehem untuk meminta perhatian om Janu. “Jadi bagaimana?”

“Apanya yang bagaimana?” om Janu akhirnya membalas pertanyaan Syam.

Di depannya kini, berdiri Syamsul Bahar, Ki Kadar, Mugianto alias Muge Monster, dan Agus Lodang. Empat punggawa jajaran atas QZK yang sering disebut dengan nama Empat Perisai QZK, para punggawa yang ekuivalen dengan Empat Anak Panah JXG, Empat Belati Dinasti Baru, dan Tiga Gentho dari Bondomanan PSG. Sementara di belakang sang pimpinan tertinggi QZK itu berdiri Pak Mangku dan seorang sekretaris bernama Erina. Mereka semua sedang menantikan keputusan dari om Janu mengenai serangan yang dilakukan oleh PSGxRKZ.

“Netral. Apa sebenarnya netral itu?” om Janu meletakkan majalah yang ia baca ke atas meja, lalu duduk santai dan menyilangkan kakinya sembari menatap keempat anak buahnya. Mereka terdiam beribu bahasa tanpa ada yang berani menjawab. “Netral itu artinya tidak berpihak. Apa kalian berpikir selama ini Talatawon tidak berpihak? Mereka memang berada di bawah lindungan kita karena posisinya yang dekat ke wilayah utara, tapi Talatawon itu sejatinya bukan onderbouw kita. Mereka maunya mandiri, bebas dari segala macam urusan kelompok, dan tidak pernah mau ikut campur jika kita membutuhkan bantuan – terutama karena mereka ingin mempertahankan kenetralannya. Mereka memang memberikan supply sumber daya untuk dijadikan pasukan besar pada kita, tapi Talatawon tidak pernah mau menjadi bagian resmi dari QZK. Terlepas dari itu, Talatawon sebenarnya juga memiliki kepentingan dengan memijakkan kaki di kelompok lain – kelompok yang kemungkinan besar adalah JXG. Kalau begini urusannya tentu saja kita tidak bisa menolong mereka begitu saja, atau protes pada PSGxRKZ. Ini masalah Talatawon dan mereka harus menghadapinya sendiri.”

Jawaban itu agak sedikit mengagetkan Syam dan kawan-kawan. Selama ini mereka mengira QZK tidak ada masalah dengan Talatawon. Kenapa sekarang tiba-tiba saja om Janu enggan membantu mereka? Apakah ada sesuatu yang tidak mereka ketahui? Syam tentunya hanya bisa terdiam dan mematuhi om Janu.

“Ada yang lain lagi?”

Nuwun sewu. Dengan tidak mengurangi rasa hormat karena mengalihkan pembicaraan, saya ada satu laporan juga. Karena kita sudah berbicara mengenai JXG, maka bisa saya laporkan ada pergerakan dari JXG yang masuk ke wilayah utara untuk memburu sisa-sisa RKZ melalui unit SSX mereka. Saya dan rekan-rekan sudah menghentikan mereka untuk masuk lebih jauh demi mencegah huru-hara. Apakah akan ada pembicaraan lebih lanjut dengan Pak Zein mengenai hal ini? Mohon memberikan kepastian apakah kami bisa mengijinkan SSX masuk ke wilayah utara dan memburu RKZ.”

“Aku dan Pak Zein akan membicarakan hal ini pada saat pertemuan di pernikahan Ahmad minggu depan – termasuk dengan om BMW. Karena terkait dengan penculikan Nada, maka setidaknya aku bisa mengijinkan mereka masuk dengan syarat-syarat tertentu sebagai bentuk simpati. RKZ sendiri sekarang sudah bergabung dengan PSG, kalau memang Joko Gunar dan Bambang Jenggo berkoalisi, hal itu akan menjadi ancaman bagi semua pihak termasuk Dinasti Baru. Jadi memang harus ada yang dibicarakan di antara kami bertiga. Kalau sudah ada keputusan nanti pasti aku sampaikan ke kalian. Ada yang lain lagi?”

“Mungkin saya ada,” ujar Muge. “Ada beberapa orang Aliansi yang memburu Mas Reynaldi hingga menyatroni rumahnya. Unit saya kebetulan sedang berjaga di sana. Mungkin kita perlu memperingatkan mereka supaya tidak…”

“Aliansi?” kening om Janu berkerut, “Ngapain lagi Reynaldi? Kenapa dia dikejar-kejar Aliansi? Dasar! Anak itu selalu saja bikin masalah. Ki Kadar, apa lagi yang dilakukan Rey? Kemana dia sekarang?”

Nuwun sewu,” Ki Kadar menjura. “Mas Rey saat ini sedang berada di kamar belakang dan berlatih ilmu kanuragan. Akhir-akhir ini beliau memang tinggal di sini seperti yang diperintahkan oleh Bos dan amat menggemari berlatih ilmu kanuragan. Meski selalu kami awasi siang dan malam, tapi ada beberapa kali kami gagal menghentikan terjadinya insiden, dan kami juga gagal membersihkan tilasannya. Diketahui sudah ada beberapa… korban meninggal… termasuk seorang pria dan seorang wanita renta, sementara ada korban kritis seperti seorang wanita muda dan bocah balita.”

Om Janu geleng-geleng kepala. “Bocah itu selalu saja cari masalah. Aku akan mencari Nanto dan kawan-kawannya dari Aliansi dan mencoba mencari tahu apa akar masalahnya sampai-sampai mereka mencari Rey. Kemungkinan besar mereka punya hubungan khusus dengan para korban itu. Untuk sementara waktu jangan sampai Aliansi sadar kalau Reynaldi ada di bawah perlindunganku dan jangan biarkan adikku itu pergi kemana-mana. Bisa kacau semuanya nanti.”

“Baik, Bos.” Ki Kadar dan Muge sama-sama menjura dan menjawab.

Pandangan om Janu beralih ke Agus Lodang, “Bagaimana denganmu? Apa ada yang perlu dilaporkan juga?”

Agus yang memiliki rambut mullet alias gondrong ndeso itu menggeleng sembari tersenyum. Dia justru menyerahkan sebuah amplop coklat besar ke hadapan om Janu. Sang pimpinan QZK membuka amplop itu dan mengeluarkan beberapa foto dari dalamnya, ada sosok seorang bapak-bapak dan wanita muda di masuk dan keluar dari hotel.

Om Janu pun terkekeh, “Nah begini lah. Paling tidak ada berita baik hari ini. Orang ini adalah Dukuh paling bejat di Jalan Kalipenyu, seenaknya sendiri ngumbar kemaluan. Sekarang kita bisa pegang buntut orang ini dan memaksanya melakukan apa yang kita mau, termasuk menjual beberapa tanah miliknya dengan harga murah. Dia pasti tidak berani berkutik karena kalau macam-macam foto ini akan beredar. Dasar Dukuh ora nggenah, anak KKN kemaren sore diembat juga sama. Mentang-mentang jidatnya jenong langsung maen celup.”

Ada suara ponsel berbunyi, semua anggota QZK secara reflek memegang ponsel mereka masing-masing meskipun mereka tahu itu bukan nada dering yang mereka pasang. Sesaat kemudian mereka menyadari kalau yang berbunyi ternyata ponsel milik Erina. Sang sekretaris berparas jelita dan bertubuh indah itu pun mengangkat panggilan telpon setelah om Janu menganggukkan kepala.

“Ya? Bagaimana?” Mata Erina terbelalak. “Be-benarkah berita itu?”

Wanita jelita yang rambutnya dikuncir ke atas model bun itu benar-benar terkejut saat menerima telepon. Dia pun mengangguk-angguk meski orang yang memberikan kabar jelas-jelas tidak akan dapat melihat sosoknya.

“Baiklah, akan segera aku sampaikan pada Bos Janu. Baik. Terima kasih infonya.” Erina mengakhiri telpon itu dengan meneguk ludah. Baru saja ada sebuah berita besar. Sangat besar malah. Berita besar yang akan mengubah tatanan kota.

“Bapak. Ada berita baru. Ini pasti akan mengagetkan.” Erina mendekati sang Bos, ia menyampaikannya perlahan pada om Janu melalui bisikan.

Om Janu mengerutkan kening saat mendengarkan bisikan Erina dan memahami apa yang disampaikan oleh sekretarisnya itu. Semua wajah di ruangan itu tegang menatap sang Bos - mereka tidak paham apa yang telah terjadi. Memangnya ada apa?

Erina kemudian mundur ke posisi semula setelah menyampaikan kabar, wajahnya menyiratkan bahwa ada sesuatu yang serius yang telah terjadi. Om Janu kembali duduk di kursinya, kali ini bahkan dengan lebih santai.

Om Janu lalu tertawa, tawa yang tidak seperti biasanya.

Ia tertawa terbahak-bahak.

Pria tua itu kemudian tiba-tiba saja berdiri, lalu berjalan ke arah jendela rumahnya. Dari sana ia bisa melihat taman yang hijau, asri, dan indah penuh warna yang berselimutkan gelapnya malam. Hanya cahaya lampu yang membantu mereka kentara di bawah sinar purnama, antara ada dan tiada, antara mekar indah mewangi, atau hilang begitu saja.

“Sungguh sebuah kabar yang tak disangka-sangka. Siapa yang akan mengira? Kematian datang ketika kita sama sekali tidak menduganya. Heheheh… Hahahahaha…” Om Janu memalingkan kepala ke arah Empat Perisai, “Bersiaplah kalian semua. Kota akan segera bergejolak lebih cepat dari seharusnya. Asah ilmu kanuragan kalian setinggi-tingginya. Karena begitu kalian lengah, nyawa kalian taruhannya. Paham?”

“Paham!” jawab keempat punggawa QZK itu hampir serempak.

Om Janu tersenyum.





.::..::..::..::.





Bau wangi aroma therapy memenuhi ruangan, bau khas batik menyebar. Ada hawa mistis sekaligus etnis yang menyeruak dari sisi kiri kamar ke sisi kanan, dari sela-sela tirai penutup jendela hingga ke ujung pojok ruangan. Angin dingin dihembuskan oleh air conditioner yang berderik pelan, kadang mengatup kadang membentang.

Suasana sepi di luar kamar, hanya terdengar suara jangkrik memainkan biola alami menyambut malam. Hanya ada paduan suara sang kodok saling bersahutan di tepian empang. Langkah kaki beberapa penjaga terdengar, namun hanya dari kejauhan. Satu-satunya ruangan yang masih bekerja di rumah itu hanyalah dapur yang sibuk menyelesaikan masterpiece terakhir mereka hari ini. Asap yang membumbung dari dapur ibarat pertanda akan terciptanya maha karya berupa masakan lezat nikmat mantap.

Ada ruangan yang pintunya tertutup tapi tak terkunci. Jika mendengarkan sejak beberapa jam yang lalu, akan terdengar suara desah bersahut-sahutan. Meski sudah cukup lama di dalam, namun suara desahan itu tak menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti.

“Aaaaaaah! Aaaaaah!! Ahhhhh!! Hngggkkkkhhh!!”

Nuke memejamkan mata saat batang kejantanan Joko Gunar kembali melesak memenuhi rongga liang cintanya hingga ujung terdalam – seakan-akan hendak tembus hingga ke rahim. Ia meremas seprei dan menjatuhkan kepalanya ke kasur. Berulang kali Gunar menampar pantat Nuke dan memaksakan kemaluannya keluar masuk.

“Aaahhhh… ahhh… ahhh…”

Nuke melenguh berulang, ada air mata leleh di pipinya. Joko Gunar adalah orang terakhir di dunia ini yang ia harapkan akan menembus liang cintanya. Tapi nyatanya sekarang dia mampu melakukannya dan ia benar-benar berhasilkan menaklukkan Nuke. Bertumpu dengan lengan dan lutut dengan posisi menunduk alias doggy style, Nuke beruntung dia tidak perlu menatap wajah sang kodok besar yang buruk rupa.

“Haaaaaah! Hahaaaaahhh!! Enaaaaakghhh!! Enaaaakghhh!!”

Joko Gunar terus saja berteriak-teriak menikmati. Wajar jika dia merasa senang, karena dia sudah mengidam-idamkan Nuke sejak berjumpa dengannya bertahun-tahun lalu saat Gunar masih menjabat sebagai deputi ayah Nuke dan gadis itu masih sekolah.

“Sebentarh lagihhh… sebentarrr lagihhh!!! Teruuuusss!! Genjooot teruuuuuss!!” Goyangan Joko Gunar menggila, makin cepat dan menghebat. Tubuh Nuke melonjak-lonjak ke depan dan belakang melayani nafsu buas pria yang menjajah tubuhnya itu.

Joko Gunar mempercepat sodokannya yang perlahan-lahan meningkat semakin cepat sehingga membuat tubuh Nuke kelojotan. Si cantik itu mengerang tak tertahan, mau ditahan seperti apapun juga – seks adalah seks. Ketika tak ada kehadiran cinta maka begitu penis masuk ke vagina, kita mulai melupakan siapa dengan siapa, melainkan menikmati prosesnya secara alami. Nuke berusaha menahan diri untuk tidak menikmati, tapi itu mustahil ia lakukan.

“Aaaahhhh… ahhhh... ahhhh… Bang…. Banggg….”

“Iyaaaa sayaaaang… ini Abang keluar masukkan punya Abaaaang!! Masuk keluar masuk keluaaar!!! Enaaaaakghh memek kamu sayaaaaaaang!!”

“Aaaaaahhh… ahhhh… aaaaaahhh…” air cinta Nuke kembali mengalir deras membanjiri liangnya. Tubuhnya bergetar-getar menahan rasa tak karuan dan semprotan-semprotan kenikmatan yang keluar di dalam bagian paling rahasia pada tubuhnya.

“Satu kali lagi!!!!” Gunar menyodokkan penisnya keras-keras ke dalam vagina Nuke yang ikut menjerit. Batang kemaluan si kodok besar melesak sangat dalam dan akhirnya menyemprotkan air cintanya tanpa bisa ditahan. Basah, becek, banjir hingga ke rahim.

Joko Gunar memejamkan mata untuk menuntaskan hingga tetes terakhir dan akhirnya menarik kemaluannya dengan kasar. Ia ambruk ke pembaringan setelah mendorong Nuke ke samping.

Keduanya menggapai napas masing-masing dan akhirnya berbaring berdampingan. Gunar di kiri, Nuke di kanan. Joko Gunar menebar senyuman puas yang tak ada habis-habisnya.

Nuke benar-benar menjadi miliknya! Mimpinya menjadi kenyataan!

“Bang…”

“Ya?”

“Kenapa keluarin di dalem?” tanya Nuke dengan suara bergetar.

“Biar kamu hamil.”

Nuke menatap langit-langit kamar dan memejamkan mata. Ia merasa sangat kotor dan sangat berdosa. Satu karena telah menerima Joko Gunar dan kedua karena ia menikmati permainan cintanya. Ada air mengalir dari pelupuk matanya. Seharian ini matanya sembab karena berulang kali menangis. Siapa yang menyangka kalau ia pada akhirnya akan menyerahkan miliknya yang paling berharga pada seorang Joko Gunar. Tidak ada pernikahan syahdu, tidak ada pria yang dirindu, tidak ada pelaminan dengan sosok ayah ataupun ibu, dan jelas ini bukan bulan madu.

Dkg dkg dkg.

Terdengar pintu kamar diketuk perlahan.

Nuke buru-buru mengambil selimut untuk menutupi ketelanjangannya dan membalikkan badan, memunggungi pintu, supaya siapapun yang datang tidak dapat melihatnya. Meski sudah berusaha menutupi diri, Joko Gunar tidak membiarkan Nuke bebas dari pelecehan begitu saja. Ia menarik selimut Nuke supaya punggung dan pantatnya tetap terbuka. Wajah Nuke langsung memerah dan ia menggigit bibirnya sendiri karena merasa malu bukan kepalang.

“Masuk.” Perintah Gunar. Tangannya mengelus-elus pantat bulat putih mulus milik Nuke.

“Nu-nuwun sewu, Den. Permisi. Mau mengantarkan makanan pesanannya Den Ayu.” Ternyata Mbok Emban yang datang.

“Oh? Apa ini?”

Satu nampan besar berisi hidangan dibawa masuk ke kamar oleh Mbok Emban. Nuke kemudian terduduk dan membailikkan badan sembari tetap memegang selimut untuk menutup dadanya yang terbuka. Ia menatap sang asisten rumah tangga, Mbok Emban hanya tersenyum, mengangguk memberi hormat, dan meletakkan nampan di salah satu meja di pojok ruangan.

Mbok Emban menjura, “monggo dipun rahapi. Silakan dinikmati, Den Ayu.”

“Terima kasih, Mbok Emban.” Nuke menatap perempuan tua itu dengan lembut.

Joko Gunar tersenyum lebar, “nah begini dong. Baru beberapa jam di tempat ini tapi Nuke telah membawa perubahan yang berarti. Ada perubahan menu dan makanan yang didatangkan langsung di tempat tidur. Memang tempat ini butuh sentuhan wanita jadi bisa lebih hidup dan semarak. Terima kasih, sayang.”

Sang kodok besar membungkukkan badan untuk mengecup dahi Nuke yang duduk di sampingnya. Mbok Emban tidak berani mendongak dan melihat ke arah ranjang karena sudah pasti tidak sopan. Wajah Nuke sendiri sedikit memerah karena malu.

“Apakah… semua pesanan saya ada, Mbok?” tanya Nuke dengan lembut.

“Ada, Den Ayu. Semuanya sudah disiapkan di sini.” Ujar Mbok Emban dengan kepala tertunduk, entah kenapa nada suaranya bergetar. Dia seperti akan mengatakan susunan kalimat yang panjang kali lebar namun ditahannya. “Sa-Saya mohon maaf kalau selama ini saya ada kekurangan-kekurangan yang… ma-maksud saya… saya mohon maaf kalau rasanya kurang enak, Den.”

“Ah apa. Masakan Mbok Emban selalu enak! Hahahahahah!” Joko Gunar tertawa. Dengan nakal tangannya menelusup ke sebalik selimut dan meremas-remas payudara Nuke kembali.

“Esssthhh!” Nuke sedikit memekik saat jemari Gunar memutar dan memencet-mencet puting payudaranya. Ia mendorong tangan pria yang baru saja memerawaninya itu, “Ini ada Mbok Emban ini lho, Bang. Yang sabar sedikit kenapa!?”

Mbok Emban tahu dia harus pergi. “Saya permisi, Den... Den Ayu…”

“Ya… ya… makasih, Mbok.” Gunar mengangguk.

Mbok Emban beringsut keluar dari kamar. Sebelum menutup pintu, ia menatap ke arah Nuke yang juga tengah mengamatinya. Ada tetes air mata di pelupuk mata Mbok Emban yang turun membasahi pipi. Mungkin dia juga kasihan dengan nasib Nuke.

Pintu pun ditutup.

Ketika sang asisten rumah tangga itu benar-benar sudah keluar dari kamar, Joko Gunar tersenyum dan menyibakkan selimut yang melindungi tubuh indah Nuke. Pria bertubuh gempal itu terkekeh melihat body gitar sang dara yang kini sudah menjadi miliknya.

“Mmmhhh… mau apa lagi sih, Bang? Dingin ini…” Nuke memukul pelan Gunar dan mengambil selimutnya kembali, udara dingin dari air conditioner membuat Nuke yang telanjang bulat menggigil kedinginan. Ia meringkuk dan berbaring kembali.

Joko Gunar tak peduli, ia memainkan jemarinya di sisi-sisi tubuh Nuke yang terbias sinar lampu temaram. Sungguh indah wanita jelita ini, benar-benar indah dengan bentuk yang teramat seksi. Memang sudah benar sejak dulu ia mengidam-idamkan tubuh Nuke. Sudah benar ia memimpikan tubuh indah Nuke di pelukannya. Ia selalu membayangkan Nuke, di setiap ia onani, di setiap ia menggauli.

Bagi Joko Gunar, Nuke adalah segalanya. Puncak prestasinya. Putri dari mantan bosnya yang kini berhasil ia perawani. Sang putri, sang emas berlian yang disayang-sayang bos lamanya, akhirnya menjadi milik Joko Gunar. Rasa bahagianya membuncah, ia benar-benar bahagia dan merasa beruntung karena akhirnya dapat memiliki Nuke.

Sekali lagi Gunar memainkan telunjuk dan jari tengahnya untuk menelusuri tubuh Nuke, dari pundak geser ke samping, ke lengan, turun ke dada, memutar bundaran besar bulat menggiurkan menggairahkan, lalu geser ke samping lagi ke perut rata yang luar biasa menyalakan api birahi dalam diri sang pimpinan preman.

Gunar memeluk tubuh Nuke dari belakang dan mengecup pundaknya. “Sudah hangat sekarang?”

“Hmmm…”

“Aku entotin lagi ya, sayang? Ini kali keberapa ya? Keempat hari ini? Hahahaha.”

“Hmmm….”

Nuke memejamkan mata karena ia lelah, lelah lahir batin. Jadi dia biarkan saja si preman sialan itu melakukan apa saja ke tubuhnya. Biarkan saja sudah sebodo amat. Dia sudah terlalu lelah untuk protes ataupun melawan. Lagipula bukankah dia harus menjalani hal-hal seperti ini di sisa hidupnya? Harus rela dijadikan mainan seks oleh sang kodok besar? Sesakit apapun hatinya, dia harus…

Eh, tunggu sebentar…

Kehadiran Mbok Emban tadi sedikit menyadarkan Nuke akan sesuatu.

Lidah Gunar beraksi, mengukur jengkal demi jengkal kulit Nuke yang seputih pualam.

“Mmmhh…” Nuke membalik tubuh sehingga dia berhadapan langsung dengan Joko Gunar dan menghentikan aksinya mandi kucing. “Aku lapar, Bang. Aku mau makan dulu. Seharian aku belum makan.”

Melihat wajah Nuke tepat berada di depan wajahnya Joko Gunar tersenyum. Dengan berani Gunar mengecup bibir Nuke, “Kamu boleh aku makan tidak? Seluruh tubuhmu lezat dijilat dan enak digigit.”

“Apaan sih.” Nuke berusaha menyibakkan selimut lebih lebar agar dia bisa keluar dari ranjang. Tapi Joko Gunar menghentikan Nuke. Si cantik itu menengok ke arah pria yang saat ini memegang lengannya dengan erat. “Bang, kita sudah empat kali gituan. Sekarang aku lapar berat, ijinkan aku makan sebentar saja.”

“Coba lebih santun mengucapkan permohonanmu.”

Nuke mendesah dengan kesal, ia memejamkan mata. Demi apa dia harus mengucapkan kata-kata menjijikkan itu? Tapi dia harus melakukannya. “Abang sayang… aku lapar. Aku mau makan dulu boleh?”

“Aku juga lapar… akan tubuh indahmu. Gimana kalau ngentot sekali lagi habis itu baru makan?”

“Bang… aku tidak akan kemana-mana. Kita kan sudah buat perjanjian. Asal Mas tidak menyakiti mas Rao, aku akan tetap tinggal di sini. Jadi ditahan dulu sebentar nafsunya.”

“Sudah pasti aku akan melepaskan Rao. Dia sudah selamat seperti yang kamu lihat dari bukti kiriman anak buahku. Dia dilepas di pinggiran sawah jauh di kawasan timur. Dia pasti bisa balik lagi. ke kota dengan mudah” Joko Gunar mendengus, “kenapa? Kamu masih belum bisa move-on dari dia? Akulah yang akan menjadi suamimu. Bukan dia. Paham?”

“Ya paham lah. Abang pikir sedari tadi kita ngapain? Sudah berapa kali Abang gituin aku? Memangnya aku akan menyerahkan milikku yang paling berharga ke orang sembarangan? Aku sudah tahu kalau aku bakal nikah sama Abang jadi aku rela diapa-apain sedari tadi. Masih belum percaya juga sama aku?” Nuke sewot. Ini orang emang ga ngotak. Udah jelas mereka tidur bersama dan sudah berkali-kali melakukan masih saja meragukan komitmen Nuke. “Sekarang aku siapkan makanannya, Abang tetap rebahan saja. Kita makan bareng. Gimana?”

“Boleh bangetlah! Hahahahaa! Asyik banget ini akhirnya bisa makan bareng kamu di tempat tidur. Habis makan, ngentot lagi. Hahahhaaha.”

Nuke menarik napas panjang. Dia sebenarnya geram dan ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi si cantik itu tahu kalau dia melakukan hal itu sekarang, dia akan membahayakan keselamatan Rao. Hal terakhir yang ingin dia lakukan adalah menyakiti Rao.

Nuke memejamkan mata.

Maafkan aku, Mas.

Ijinkan aku melayani bedebah ini di sisa hidupku, mudah-mudahan kamu mendapatkan yang terbaik yang akan melayanimu di sisa hidupmu
. Aku akan bahagia jika kamu bahagia.

Nuke berjalan menuju nampan yang telah disiapkan oleh Mbok Emban.





.::..::..::..::.





Seorang suster perawat berparas manis memeriksa catatan-catatan yang terdapat pada lembaran kertas yang dikaitkan pada writing-pad-nya. Obat-obatan yang diberikan sudah benar sesuai takaran, botol infus yang menjelang habis sudah diganti, pemeriksaan tensi darah juga sudah dilakukan pada shift sebelumnya. Semuanya sepertinya sudah sesuai dengan prosedur dan apa yang dituliskan di catatan-catatan ini.

Suster manis itu pun bersiap mengunjungi satu persatu pasien di bangsal masing-masing untuk memastikan obat sudah diminum. Dia melangkah ringan untuk keluar dari bilik perawat.

“Pasien-pasien yang sudah pulang saya coret dari daftar ya, Suster Ros,” ujar sang suster manis pada kepala perawat yang sedang merapikan administrasi pergantian shift di dekat pintu keluar bilik perawat.

Sang kepala perawat mengangguk, “Iya, Suster Okti. Coreten wae. Itu tadi si Suster Ani yang shift sebelumnya lupa mau coret.”

“Siap. Termasuk… Mbak Kinan ini ya? Kan sudah pulang tapi di sini tertulis masih harus perawatan.”

“Mbak Kinan?” Kepala perawat mengerutkan kening, “Apa iya dia sudah boleh pulang? Bukannya dokter Abbas belum memperbolehkan pulang paling tidak untuk sehari lagi?”

“Sudah kok. Ada surat-suratnya lengkap,” Sang suster manis membuka sebuah selipan amplop, “ini ada pernyataan kalau keluarga ingin merawat Mbak Kinan di rumah dan bertanggung jawab penuh seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Sang suster kepala memeriksa surat pertanggungjawaban mutlak itu, sepertinya tidak ada yang salah, tanda tangan lengkap, cap beres. Tapi… kenapa perasaannya tidak enak ya? Dia sudah beberapa kali berbicara dengan Mbak Kinan dan sepertinya ada satu masalah dengan keluarga yang masih belum terselesaikan. Kenapa tiba-tiba dia sekarang pulang bersama keluarga? Apakah akhirnya sudah dibicarakan baik-baik?

“Kalau yang surat satu lagi? Siapa yang tanda-tangan di surat pemberian ijin rawat jalan? Suster Ani sama dokter jaganya siapa? Dokter Pitoyo?”

“Iya.”

“Coba aku cek.”

Sang suster kepala memeriksa surat ijin yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Lagi-lagi tidak ada masalah, semua sudah diselesaikan termasuk biaya dan lain-lain. Jadi tidak ada yang aneh dan ganjil, mungkin hanya perasaannya saja.

“Saya permisi ya, suster. Pulang duluan.”

Suster kepala dan sang suster manis menengok ke arah suster yang baru saja melalui mereka.

“Suster Ani,” panggil suster kepala.

Suster Ani menghentikan langkah dan berjalan ke arah suster kepala. “Ya, Suster?”

“Pasien atas nama Kinan. Siapa yang jemput?”

“Dijemput keluarganya beberapa jam yang lalu, Suster. Dijemput sewaktu tertidur lelap jadi tidak bangun sama sekali sewaktu proses. Capek sepertinya si Mbak Kinan.”

“Keluarganya? Siapa yang jemput? Bapak ibunya?”

“Bukan sih kayaknya, yang jemput bapak-bapak bawa-bawa tongkat dan rombongannya.”

“Bapak-bapak bawa tongkat? Kayaknya belum pernah datang menjenguk Mbak Kinan ya?” Suster kepala mengernyitkan dahi, “apakah keluarga Mbak Kinan itu memperkenalkan diri? Setidaknya memberitahukan siapa namanya?

“Mar… Mar… Martoyo? Agak lupa saya, suster.”

“Martoyo?”

“Iya, ada kok namanya di surat pertanggungjawaban.”

Sang suster kepala sekali lagi memeriksa surat yang dimaksud. Surat yang menyatakan bahwa keluarga akan bertanggungjawab penuh atas kepulangan Kinan. Entah kenapa detak jantung sang suster kepala semakin berpacu ketika ia membaca dengan teliti surat itu. Ada yang membuatnya ragu-ragu tapi entah apa. Ia akhirnya bisa memastikan nama orang yang menjemput Kinan.

“Ah ini bukan atas nama Martoyo, Suster Ani. Tapi atas nama Bapak Martani.”

“Hahahahah, ah iya. Martani. Pak Martani.”

Suster kepala mengangguk-angguk.

Ya sudahlah. Mungkin instingnya salah. Mungkin sebenarnya tidak ada apa-apa karena semua surat-surat terbukti lengkap dan sah. Ia meletakkan semua berkas-berkas itu di tumpukan administrasi.

Sang suster kepala menarik napas lega. Syukurlah kalau Kinan ternyata sudah bisa pulang ke keluarganya. Dengan kondisi hamil dia harus tenang dan nyaman secara fisik maupun mental demi kesehatan ibu dan anak. Mudah-mudahan semua baik-baik saja.

Kasihan gadis itu.





.::..::..::..::.





Sakit.

Terasa sakit.

Sakitnya tidak main-main.

Ini sakit sekali.

Joko Gunar mengejapkan mata. Seperti ada sesuatu yang aneh dan tak seperti biasanya ia rasakan.

Ia sebenarnya baru saja terlelap dan tidur cukup lama, tapi badannya bukannya segar, melainkan justru sakit hampir di sekujur badan – bahkan sakitnya sangat luar biasa, perih dan pedih sekali seperti tak terperi. Joko Gunar mengerang. Sungguh badannya terasa tidak nyaman. Ada rasa sakit yang benar-benar tak tertahankan.

Ugh.

Eh?

Kenapa ini?

Preman itu baru menyadari kalau dia tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Saat membuka mata dan semua terlihat jelas, barulah Joko Gunar menyadari apa yang terjadi. Kedua tangan dan kakinya terikat ke ujung ranjang.

“Apa yang…”

Tapi bukan itu saja…

Joko Gunar akhirnya menyadari.

Rasa tidak nyaman itu… adalah sebuah pisau yang menancap di perutnya yang telah robek dan terbuka lebar. Sebagian isi perutnya terburai kemana-mana. Merah darah yang muncrat tumpah ruah ke seprei putih. Pemandangan yang tidak pernah terbayang di benak Joko Gunar. Ia tidak bisa melihat lebih jelas lagi.

“A-APA APAAN INI!?”

Sang pimpinan preman itu masih belum merasakan sakit yang luar biasa karena shock – tapi perlahan-lahan, rasa itu hadir dan menyergap. Ia gemetar dan berusaha menahan diri agar tidak beteriak, tapi sebentar lagi ia pasti akan pingsan karena darahnya benar-benar membanjir.

“Akhirnya bangun juga.” Nuke yang masih telanjang duduk dengan tenang di antara kaki Gunar yang kemudian meronta dan menatap perempuan itu dengan geram. “Bagaimana rasanya, Bang? Akui saja kalau kamu meremehkanku, Joko Gunar. Kamu pikir aku tidak berdaya? Kamu pikir kamu akan aman-aman saja dengan membiarkan aku berdua denganmu tanpa penjagaan? Kamu bahkan tidak berpikir untuk melindungi diri dengan cara apapun karena kamu mengira aku lemah. Salah besar. Kamu belum pernah merasakan pembalasan seorang wanita yang teraniaya. Ini saatnya pembalasan, Joko Gunar – atas semua yang kamu lakukan padaku. Aku tahu kalau saat kamu tidur adalah saat terlemahmu, karena di saat itulah Ki-mu tidak aktif.”

Nuke memutar jemari dengan sekuat tenaga, pisau itu makin merobek perut Joko Gunar, ususnya makin terburai keluar. Pria bertubuh gempal yang tadi berulangkali menidurinya itu kini menggelinjang kesetanan dan tersedak-sedak. Ia mencoba meronta, tapi gerakan itu justru membuat rasa sakitnya merajam.

Tidak ada ampun, Nuke juga ikut berteriak kencang sembari terus menggeser pisau yang sangat tajam itu sementara Joko Gunar menjerit-jerit dan menggila. Tangan dan kaki Joko Gunar terikat tak bisa digerakkan.

Nuke baru saja merobek perut sang Kodok Besar dan mengeluarkan isi di dalamnya secara paksa. Semuanya menjadi merah hari itu. Darah mengalir deras, nyawa sudah ada di ujung utas. Ketika jiwa sudah tak punya harapan, kekuatan menjadi sangat besar. Nuke benar-benar sudah nothing to lose, pisau teramat tajam ia gerakkan dengan halus.

Bukan jagoan mahir, bukan pendekar pilih tanding, bukan kelompok putih, bukan kelompok hitam, bukan preman papan atas, bukan anggota geng, bukan polisi, bukan siapa-siapa. Hanya seorang gadis tak berdaya yang telah ia rudapaksa – yang akhirnya mampu menaklukkan sang pimpinan PSG dengan jari jemari yang kukuh dan niat yang tak padam.

“Kamu tak akan pernah bisa menyakiti siapa-siapa lagi.” bisik Nuke sambil tersenyum menyeringai. “Jangan pernah meremehkan anak seorang preman sejati, Bang. Mbok Emban yang tadi masuk dan kamu pekerjakan, dulu bekerja untuk keluargaku – dan dia mengenaliku. Aku meminta pisau yang paling tajam yang dia punya untuk diantarkan ke kamar dan disembunyikan di bawah nampan. Dia pula yang membantuku mengikat tangan dan kakimu.”

Joko Gunar terbalalak mendengar cerita itu. Ia menggeleng dan meraung. Bajingan! Bahkan Mbok Emban pun mengkhianatinya? Tidak. Tidak seperti ini. Tidak dengan cara seperti ini. Rencananya masih banyak, ilmu-ilmu yang ia kuasai masih belum tuntas. Pertarungan kelas hebat belum ia rasakan, kemenangan atas pimpinan lain belum ia raih, penghinaan atas statusnya sebagai pimpinan PSG belum ia dapatkan. Dia tidak boleh mati sebegini mudahnya.

Dia seharusnya masih bisa berkelit.

Ya, dia bisa. Kerahkan ilmu! Kerahkan tenaga! Apa saja yang penting selamat!

Masa dia akan habis dengan cara seperti ini?

Masih ada perang yang harus ia tuntaskan, masih banyak urusan yang masih belum usai ia rampungkan. Dia masih harus membawa PSG menuju puncak kesuksesan – apalagi mereka baru saja sukses membongkar Talatawon dan mengalahkan pimpinan DoP dengan mudah. Langkah pertama untuk menaklukkan utara sedang ia jalani.

Masa iya seorang Joko Gunar akan berakhir seperti ini saja? Di tangan seorang wanita lemah?

“Aku kehilangan semuanya di tanganmu. Aku kehilangan Papa yang kamu khianati demi merebut pengikutnya dan mendirikan PSG, aku kehilangan tunanganku yang kalian buat cacat, aku baru saja merelakan pria yang aku cintai demi keselamatannya, dan sekarang aku kehilangan kesucian dan harga diriku. Kamu pikir aku baik-baik saja dengan semua itu?” Nuke menyeka air matanya yang turun sembari menyeringai, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja dan tidak akan pernah baik-baik saja jika bajingan semacam kamu tetap dibiarkan hidup. Cukup sampai di sini saja kamu bisa bertingkah. Aku sudah muak menjadi wanita lemah yang selalu menghindar. Kamu memang preman, tapi bahkan kamu pun tak ada apa-apanya saat berhadapan denganku.”

Pintu kamar Joko Gunar digedor-gedor dari luar oleh pasukan yang mendengar teriakan sang pimpinan. Tapi mereka tidak bisa membukanya. Upaya mendobrak pun dilakukan. Sebentar lagi mereka akan masuk. Pintu semakin ringkih.

“BAJINGAAAN!! BAJINGAAAAANN!! MATI KAMUUUUU! MATI KAMU, SUNDAAAAAAAL! MEREKA AKAN MASUK DAN MENYELAMATKANKU!!” teriak Joko Gunar dengan beringas, wajahnya terlihat menyeramkan. “BEGITU MASUK MEREKA AKAN MEMBUNUHMU! MEREKA AKAN MEMPERKOSAMU SAMPAI MATI!!”

Tapi Nuke tetap tenang. “Lalu? Memangnya yang begituan bakal jadi masalah buatku? Aku sudah tidak peduli, aku sudah tidak takut apa-apa lagi, dan sudah tidak punya apa-apa lagi. Dengan begini kita impas.” Air mata mengalir di pipi Nuke, tapi dia tetap tersenyum pada Joko Gunar. Sang preman terus menerus berteriak dan meronta. Nuke sudah tahu, sesuatu yang tidak baik akan segera menimpanya, dan dia sama sekali tak gentar. Dia sudah tahu semua resikonya.

“A-APA YANG KAMU LAKUKAN?”

Nuke memegang kemaluan sang Kodok Besar dan menggenggamnya. Pisau yang menancap di perut Joko Gunar ditarik. Nuke menghembuskan napas dan tersenyum. “Ucapkan selamat tinggal pada kawan sejatimu, Bang.”

Pisau itu digerakkan menyilang.

Darah kembali tersebar.

Joko Gunar berteriak kesakitan, wajahnya menegang, matanya terbelalak, dan ia melolong tanpa daya. Sekuat tenaga sang Kodok Besar mencoba bangkit. Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia menarik tali-tali yang mengikat tangannya. Pria gempal itu berteriak kencang, mengerahkan Ki yang sebisa mungkin ia kumpulkan dalam keadaan desperate, dan tali-tali itupun putus setelah beberapa kali sentakan.

Sang kodok besar melontarkan satu pukulan pamungkas dengan kedua tangan besarnya secara bersamaan. Ia tahu ia mungkin tidak akan selamat dari upaya Nuke untuk membunuhnya, tapi demi apapun dia tidak akan jatuh sendirian. Kalau mati bersama yang gadis itu inginkan, maka jadilah. Pria bertubuh gempal itu menghentak badan gempal yang tadinya rebah untuk bangkit dengan sekuat tenaga, rasa sakit di perut dan selangkangan ia lupakan sesaat, ia menggunakan Ki terakhir yang masih bisa ia kumpulkan. Tangannya melesat.

Nuke tahu dia tidak akan bisa menghindar.

Bibir si cantik itu merekah kecil, ia mendongak ke atas, memejamkan mata, dan berbisik. “Mas. Aku pergi dulu. Doaku untukm…”

Krrrrgggkkgghkkk!

Tepukan dahsyat di kepala sang dara mengakhiri perlawanannya. Bagai raksasa menepuk nyamuk, warna merah darah membias di mata Nuke yang terbelalak, mungkin kepalanya pecah. Joko Gunar menarik tangannya dengan cepat dan mengumpulkan satu energi hebat di tangan, lalu menghentakkan tenaga sekuat-kuatnya ke dada wanita yang baru saja merobek perutnya.

Bledaaaaaaaaammmn!!!

Gadis itu terbang ke belakang, menubruk pesawat televisi raksasa dan beberapa perangkat elektronik lain sebelum akhirnya terhempas ke tembok dengan teramat keras. Tumbukan tubuh sang dara menimbulkan bunyi berdebam nyaring dan bekas retakan berdarah di tembok.

Gadis itu luruh ke bawah dengan bersimbah darah, tanpa nyawa.

Joko Gunar mendengus berulangkali, lalu melihat ke perut dan ususnya yang telah terurai keluar, lalu ke kemaluan yang sudah terpisah dari tubuhnya. Napasnya makin sesak, matanya makin kabur, dan ia tahu waktunya sudah dekat.

Sang Kodok Besar mengumpat. “Sialan… bajingan… cewek sundal sialan… tidak seperti ini… tidak sekarang… aku masih banyak ilmu yang harus aku… bajingan… baji...”

Pria gempal itu terhempas ke belakang. Napasnya telah habis, ia tersengal-sengal menggapai udara yang rasa-rasanya tidak ada yang masuk ke dalam tubuh. Dadanya terasa sesak dan kegelapan makin menjemput. Matanya terbelalak, tapi ia tahu sudah sampai di ujung usia.

Ia jatuh, karena nafsunya sendiri.

Jiwanya perlahan-lahan meninggalkan badan. Tidak ada ilmu kanuragan yang ia kuasai yang sanggup membalikkan takdir.

Dua tubuh akhirnya terkulai tanpa kehidupan.

Dua nyawa terangkat.

Pintu berhasil didobrak, tapi pasukan PSG masuk terlambat. Banyak yang berteriak-teriak, mencoba memanggil dan membangunkan sang pimpinan, ada yang berteriak mencoba mengamankan kamar, ada yang berteriak memanggil ambulans.

Semua panik, kecuali Mbok Emban yang kemudian meninggalkan rumah yang menyeramkan itu dengan tangis berderai. Sembari menyusuri gang, bibir sang wanita tua terbata-bata, “Den ayuden ayu…”

Satu persatu punggawa PSG masuk ke ruangan yang penuh darah. Tapi apapun yang mereka lakukan, Joko Gunar sudah tak lagi bisa diselamatkan.

Siapa yang mengira?

Pada akhirnya sang pimpinan preman Pasargede yang legendaris tidak tewas oleh lawan, tidak tewas dalam perang, tidak secara gagah, dan tidak secara jantan. Dia dihancurkan oleh obsesinya sendiri karena secara paksa ingin memiliki apa yang tidak menjadi haknya. Sekali lagi sejarah membuktikan bagaimana pria gagah akan dikalahkan oleh kemolekan. Seperti halnya Tunggul Ametung yang akhirnya jatuh karena terbius kecantikan, seperti halnya Samson yang roboh karena terlena dibuai keindahan, dan seperti halnya Attila the Hun yang keperkasaannya memudar ditelan jaman karena tikaman wanita idaman.

Wanita, akan selalu menjadi salah satu alasan kejatuhan seorang pria.

Kematian datang di saat yang paling tidak diduga-duga.

Kematian Joko Gunar mungkin terasa prematur di tengah gejolak antar kelompok yang makin memanas dan belum lagi memuncak, kelompok sebesar PSG pasti akan menjadi buntung dan timpang. Tapi bukankah tidak pernah ada yang pasti di dunia ini kecuali perubahan? Dunia ini kejam dan tidak akan berubah menjadi lembut hanya demi satu dua orang. Manusia adalah makhluk lemah yang harus menyesuaikan diri demi memahami gejolak alam, bukan sebaliknya.

Lagipula, ada yang lebih tahu kapan jari-jari sang elmaut harus beraksi untuk memutus tali kehidupan. Ada yang lebih tahu kapan, ada yang lebih tahu bagaimana, dan ada yang lebih tahu di mana. Kalaupun akhirnya datang pun tidak pernah menunggu kita untuk siap.

Kapan saja, di mana saja, entah bagaimana.

Kalau memang sudah waktunya, ya sudah waktunya.

Sekarang sudah waktunya bagi Joko Gunar.

Eranya telah usai.





.::..::..::..::.





Suasana duka begitu terasa di rumah yang berada di sebuah kompleks perumahan di kawasan kota bagian utara. Meski pemakaman jenazah sudah selesai dilakukan beberapa hari yang lalu, tapi suasana duka masih tetap terasa, awan mendung serasa menggelayut hingga seminggu lamanya. Beberapa karangan duka masih ada di depan rumah, beberapa tetangga masih membenahi tikar dan mengumpulkan barang-barang yang baru digunakan untuk acara doa bersama.

Sang pemilik rumah mengucapkan terima kasih dan memberikan makanan kepada mereka yang baru saja mengikuti acara doa bersama. Beberapa orang tetangga meninggalkan rumah duka dan bercakap-cakap. Termasuk Pak RT dan Pak Lis yang berjalan beriringan pulang ke rumah mereka.

“Kasihan sekali. Masih muda dan cantik, tapi sudah menjadi janda,” Pak Lis geleng-geleng kepala. Pria tua ini termasuk orang yang dituakan dan dihormati di kompleks dan teramat sering ngobrol dengan Pak RT. “Kok bisa-bisanya almarhum mendapatkan kematian yang begitu mengerikan ya? Padahal beliau terkenal baik dan tidak pernah ada masalah dengan warga sekitar. Memang sungguh umur tidak ada yang tahu.”

“Iya, Pak. Yang bikin kasihan itu almarhum juga meninggalkan anak yang masih kecil padahal setahu saya sang istri tidak bekerja.”

“Oh ya? Bukannya dulu istrinya jadi guru, Pak?”

“Setahu saya sudah agak lama keluar. Memang benar beliau lama jadi guru, Pak.”

“Oh begitu…”

Seseorang berjalan dengan tergesa-gesa sehingga menabrak Pak Lis. Begitu kencangnya tabrakan itu sampai-sampai Pak Lis hampir terjatuh, untung saja Pak RT memegang lengan Pak Lis sehingga posisinya masih setengah berdiri.

Pemuda yang menabrak Pak Lis justru melirik dengan tatapan galak seolah-olah ini kesalahan pria tua itu. Pak Lis tadinya hendak protes, tapi ia mengurungkan niatnya saat melihat lingkaran menghitam di sekeliling mata sang pemuda yang bagaikan mengenakan maskara.

“Heh! Jangan kurang ajar ya! Jalan ini lebar! Lihat-lihat kalau jalan…! Kami ini warga yang…” Pak RT menunjuk-nunjuk ke arah sang pemuda dengan emosi.

“Sudah, Pak. Sudah. Tidak perlu diperpanjang. Maaf ya, Nak… saya tadi tidak melihat kamu melintas,” justru Pak Lis yang minta maaf.

Orang itu hanya mendengus dan berlalu dengan cepat. Ia sempat bertatapan dengan Pak RT.

“Dasar pemuda tidak tahu diri, bukannya minta maaf malah marah-marah. Dasar anak muda jaman sekarang, sudah hilang semua tatakramanya.” Pak RT geleng-geleng kepala. “Awas saja nanti kalau bikin masalah. Langsung kita panggilkan yang berwajib sekalian.”

“Sudah, Pak. Sudah…”

Kedua orang tua itu berlalu sembari memperbincangkan kelakukan anak muda di jaman ini.

Pemuda itu sendiri tidak peduli. Dia berjalan dengan grusa-grusu menuju ke arah rumah duka. Dia sudah tidak peduli dengan segala macam omongan, tuduhan, ancaman, urusan receh, dan segala macam tetek bengek lainnya. Ia hanya punya satu tujuan… untuk menemui seseorang.

Karena suasana sedang agak ramai, pemuda itu dengan mudah menyelinap ke halaman rumah tanpa dikenali oleh banyak orang. Pemuda itu sampai di depan pintu, ia melongokkan kepala ke kanan dan kiri untuk mencari seseorang.

Ia menemukannya.

Orang yang ia cari adalah seorang wanita cantik yang saat ini tengah sibuk memunguti akwa gelas plastik yang bertumpuk di sudut-sudut ruangan. Memang kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana. Sekarang sabar sebentar, tunggu beberapa saat lagi, tapi amati terus pergerakan targetnya.

Pemuda itu pun menunggu sebentar sampai suasana benar-benar sepi – benar-benar hanya menyisakan sang wanita jelita itu bebersih sendiri. Saudara yang lain sedang berpindah untuk membersihkan rumah tetangga lain yang digunakan sebagai tempat untuk memasak. Sang wanita jelita hanya menjadi satu-satunya orang yang tertinggal.

Pemuda itu pun tersenyum, tanpa melepas sepatu ia masuk ke dalam rumah, menutup pintu, mengunci, dan mendatangi sang wanita jelita. Dengan satu gerakan cepat, pemuda itu merenggut pergelangan tangan sang wanita.

“Heeeei!”

Perempuan cantik yang sedang mengumpulkan gelas plastik bekas itu protes. “Apa-apaan sih. Saya sedang…” Wajahnya berubah menjadi ketakutan ketika ia melihat siapa yang merenggut tangannya. “Re-Reynaldi!?”

“Apa kabar, cinta?”

Tidak perlu tebak-tebak buah manggis. Pemuda itu adalah Reynaldi dan wanita cantik yang baru saja menjadi janda itu adalah Asty.

Asty mencoba meronta tapi pergelangan tangannya tak bisa dilepaskan, cengkraman Rey bahkan sampai meninggalkan bekas menghitam.

“Setelah mendengarmu menjadi janda, aku sudah ingin datang ke sini sejak berhari-hari yang lalu, tapi badanku tiba-tiba saja menjadi sakit, baru sekarang aku bisa datang. Aku butuh asupan memek segar jadi aku langsung mencarimu. Wahai dewi pujaanku, ijinkan aku menjadi pengganti suamimu. Ijinkan aku setiap malam tidur denganmu untuk mengisi hari-harimu yang kini kosong. Jangan khawatir, kamu tidak akan pernah merasa sepi dan sendiri karena kita setiap malam akan bercinta sampai pagi.”

Plaaaaaaaak!

Asty menampar Rey. “Kurang ajar! KELUAR! KELUAAR KAMUUU!”

Rey hanya tersenyum, tak bergeming. Ia malah menjilat bibirnya sendiri dan memutar-mutar lidahnya. “Sekali lagi kamu berteriak, aku akan memukulmu pingsan, membawamu ke kamar, dan memperkosa tubuh indahmu itu sampai kamu tak bisa lagi berjalan dengan tegak. Kamu mau itu terjadi?”

“Ba-bajingan kamu, Rey! Kalau aku berteriak, semura orang akan datang dan kamu akan dihajar massa. Kamu tidak lihat aku sedang…”

“Dengar… tenangkan dirimu dan aku janji tidak akan ada siapa-siapa yang tersakiti. Aku hanya hendak mengajukan sesuatu padamu, terserah kamu mau menyetujuinya atau tidak.” Perlahan-lahan Rey melepaskan pergelangan tangan Asty. “Bagaimana?”

Asty mundur setelah Rey melepaskan tangannya, tapi ia tidak bisa kemana-mana. Tubuhnya tersudut ke tembok. “Rey… ja-jangan…”

“Aku bahkan tidak menyentuhmu. Kamu yang ribut sendiri sejak tadi.”

Wajah Asty memerah, ada benarnya juga. Sejak tadi Rey memang tidak memperlakukannya dengan kasar selain memegang pergelangan tangannya. Tapi ia jelas tidak boleh begitu saja percaya. Asty hanya harus mengulur waktu sampai tetangga dan saudaranya pulang kembali ke rumah ini.

“Bagaimana?” Reynaldi tersenyum dan mendekati Asty. “Bolehkan aku mengajukan sesuatu padamu?”

Asty menghela napas panjang. “Apa maumu?”

“Sejak tahu suamimu meninggal, aku tak pernah berhenti memikirkanmu dan si kecil. Aku bahkan merasa bertanggungjawab, dan menurutku sepertinya hanya ada satu solusi untuk masalah ini.” Rey meneguk ludah dan berlutut di hadapan Asty, “Menikahlah denganku, sayang. Aku akan membahagiakanmu. Aku pasti akan membuatmu bahagia.”

Asty terbelalak.

Wajah ibu muda jelita itu berubah menjadi merah karena marah dan emosi. “Apa sebenarnya yang ada di dalam kepalamu itu, Rey? Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu sudah gila!? Makam almarhum suamiku belum lagi kering kamu sudah punya pikiran segila ini? Kamu sudah tidak waras ya?”

Rey mendengus kesal, ia berdiri dengan tangan tergenggam, tangan yang berubah menghitam. Ia menundukkan kepala, “aku sudah berusaha bicara baik-baik denganmu – aku bahkan kabur dari rumah kakakku karena ingin menemuimu. Kalau tidak kamu turuti, maka aku terpaksa mengambil jalur kekerasan. Aku tidak peduli kamu mau melawan atau ngapain, aku hanya ingin ngentotin kamu setiap hari.”

Plaaaaaak!

Sekali lagi Asty menampar Rey. “Jangan. Pernah. Berbicara. Kotor. Padaku. Lagi.”

“Aku hanya…”

Plaaaaaaak!

“KELUAR KAMU! KELUAR!”

Bkgh!

Satu pukulan mendarat di perut sang wanita jelita. Pukulan yang sebenarnya ringan, tapi memiliki daya lebih ampuh karena Asty tak memiliki perlindungan apapun. Si jelita itu pun tersungkur ke bawah. Wajahnya tak karuan, matanya melotot menahan kesakitan. Seluruh isi perutnya seakan mendesak hendak keluar dari mulut.

“Kamu sendiri yang berulah. Aku sudah mencoba berbicara baik-baik, tapi kamu tidak mau dan lebih ingin diperkosa. Karena kamu pengen diperkosa, maka jadilah. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, aku harus ngentot sama kamu hari ini.” Rey mendengus dan mendekati sang janda jelita.

“Apa ada masalah di sini, Dek Asty?”

Terdengar satu suara penuh kharisma terdengar. Baik Rey maupun Asty sama-sama menengok ke arah awal suara. Ke arah satu sosok yang masuk melalui belakang. Rey memang terlalu nekat menyerang Asty di tengah ramainya suasana di rumah duka yang terbuka ini.

“Aku masuk dari belakang karena pintu depan ditutup.” Orang itu meletakkan buket bunga mawar indah di atas meja makan, dia berjalan dengan gagah untuk menemui sang janda muda dan sang durjana.

Reynaldi mendengus kesal karena rencananya lagi-lagi berantakan. Siapa lagi orang yang baru masuk ini? Kenapa dia mengenakan seragam? Sang durjana menggemeretakkan gigi dengan kesal. Bajingaaaaan! Apa tidak bisa ia memasukkan kontolnya ke memek Asty sekali saja tanpa gangguan? Ki pemuda yang sudah gelap mata itu langsung menyala dan tangannya menghitam.

Masa bodoh! Tidak dapat Asty, dia harus dapat tumbal.

Orang yang baru masuk mengernyitkan dahi dan menatap Rey dengan aneh. Sepertinya ia bisa merasakan ada tenaga dalam sedang bergejolak di tubuh sang durjana. Pria yang baru datang itu pun segera memasang kuda-kuda dan menyalakan Ki-nya sendiri.

“Siapa orang ini, Dek Asty? Njenengan tidak apa-apa?”

“Ma… Mas Ri.”

Rey tidak tahu kalau dia sedang berhadapan dengan komandan tim Garangan.





BAGIAN 5 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6

suwun dobel updetnya suhu @killertomato
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd