Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Ternyata bener kalo om janu ada dibelakang semua ini, sempat kepikiran saat didesa saat si bengal latihan lalu tiba² pak mangku didatangi sosok yg ga disebut oleh ts. Terus tiba² selalu ada pak mangku setiap kali muncul sosok KJM. Secara nalar.. Pak mangku ini adalah sosok kepercayaan om janu & selalu ada kemanapun om janu berada, plus yg di ganggu selalu psg & jxg, sedang om janu kelompoknya aman² aja. tapi karena kehebatan suhu @killertomato ,.. Reader pasti akan berpikir ulang menebak siapa sosok KJM. & sekarang ada lagi pertanyaan bagaimana nasib nanto & yg lain di acara pembantaian trah watulanang karena saat potongan cerita beralih ke tarung antar wakil.. Tiba² muncul KJM. Yg kemungkinan besar akan bisa membantai 4 punggawa JXG. Tapi sepertinya lek suman akan bisa menjadi sosok yg bisa merubah arah angin.
Menunggu update selanjutnya karena penasaran dengan nasib aliansi & 5 jari. Bener² hebat & detail rencana jahat dari om janu ini, sepertinya semua org sudah di arahkan sesuai dengan skenario yg dia susun. Tapi apapun itu.. Sehebat & sedetail apapun rencana jahat om janu.. Pasti ada kelemahan serta kekurangannya.
Mantappppp pokoknya
Kalo aja bisa ngasih cendol lebih dari 1.. Pasti akan saya kasih buatom tomat ini. 👍👍👍
 
Time line nya acara trah sama tarung wakil sama gak ya? Kalau sama saya curiga Om Janu bukan identitas KJM yg asli deh...
Kalo Om Janu Itu KJM berarti levelnya udh A++ sampe bisa perintah Rahu pasti dia keturunan via ibunya eang bara yg diperkosa itu....
Udah pasti dia anggota NDA...
Saya kira spin off yg kemarin udh kejam sekarang lebih lagi sampe anak" juga di basmi sadiss...
NDA sepertinya kumpulan kekuatan monster nan keji dan bengis yang Organisasi nya Negara Ini deh...
Terakhir saya prediksi Si Tukul Reynaldi terus di biarin Om Janu tujuannya mau di jadikan sebagai tumbal kebangkitan Suro waanggono
 
BAGIAN 17-A
HADAPI DENGAN SENYUMAN




Pikiran adalah sesuatu yang begitu licik dan begitu pintar,
sehingga mampu mendistorsi pemahaman semua hal demi kenyamanan pikiran itu sendiri.”

- Jiddu Khrisnamurti





Hngkh!


Surya terbelalak tiba-tiba.

Seketika itu juga rasa sakit bergelombang menyerang meski tidak secara keseluruhan mendera. Seluruh tubuhnya terasa linu, kaku, dan nyeri. Kepalanya juga berputar bak gasing yang steady, seakan pusing itu tak ingin pergi. Surya memegang kepalanya yang nyut-nyutan dan memejamkan mata lagi. Cahaya yang menyeruak masuk ke pandangannya membuat ia berkunang-kunang dan terdistorsi.

Berikutnya ia membuka mata dengan lebih hati-hati, perlahan-lahan saja untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang ada di ruangan, membiasakan dan menyelaraskan. Ketika akhirnya ia bisa melihat dengan jelas, Surya menyadari sesuatu.

Tempat ini bukan tempat terakhir yang ia lihat ketika dia pingsan.

Di mana ini?

Ia sudah tidak lagi berada di jalan. Ia sekarang berada di ruangan serba putih, di atas sebuah ranjang warna putih, dan berada dalam ruang tersekat dengan gorden yang juga berwarna putih. Surya langsung sadar – dia berada di dalam bangsal rumah sakit.

“Pelan-pelan saja.” Terdengar suara yang terdengar teramat dalam namun menenangkan. Suara itu datang dari seseorang yang berdiri di samping ranjang Surya – berdiri dan bersidekap sembari bersandar ke tembok. Suara yang sudah sangat familiar bagi sang pemuda.

Begitu pandangan Surya pulih, dia menyadari bahwa suara itu berasal dari Rao sang junjungan DoP.

“A-aah… Pimpinan…” Surya mencoba bangkit, tapi rasanya berat sekali.

“Tidak perlu berdiri, berbaring saja dan tenangkan dirimu. Jangan khawatir, kalian semua sudah selamat. Kalian bertiga sudah mendapatkan perawatan dan pengobatan. Untung saja luka-luka kalian tidak parah. Mudah-mudahan dua sampai tiga hari lagi kalian bisa keluar dari tempat ini.”

Surya mengangguk perlahan dan merebahkan diri. Ketika menengok ke samping kiri, dia baru menyadari kalau Jo dan Bondan juga berada di ruangan yang sama dan masih terlelap di ranjang mereka masing-masing. Beberapa bagian tubuh mereka diperban dan ada beberapa jahitan. Kondisi yang sama seperti yang dia alami. Pasti butuh waktu bagi mereka bertiga untuk benar-benar pulih dari kondisi ini.

“Te-terima kasih telah menyelamatkan kami, Pimpinan…” lirih Surya berkata. Dia merebahkan kepalanya kembali karena masih sangat pusing sekali. “Kami akan selalu berhutang budi dan…”

“Aku tidak melakukan apa-apa. Kalau mau berterima kasih, berterimakasihlah pada orang ini.” Rao menunjuk ke samping dan di sana sudah berdiri sang Pemuncak Gunung Menjulang, Simon Sebastian.

Simon tersenyum ramah, “Tidak perlu berterima kasih. Kebetulan saja aku datang bersamaan dengan pihak yang berwajib sehingga KRAd lari tunggang langgang. Hahahaha.”

“Heleh. Pasti kamu juga yang memanggil mereka.” Rao mencibir. Simon hanya tertawa-tawa.

“Ja-jadi…?” Surya kebingungan.

“Saat kalian pingsan, Simon datang bersama rombongan polisi. KRAd melarikan diri dan menghilang dengan cepat. Pertarungan akhirnya antiklimaks.” Rao mencibir, “padahal seandainya saja dia tidak datang, aku bakal selesai menghabisi 3GB dengan kedua tanganku sendiri.”

Simon menepuk pundak sang Hyena Gila, “bukan seperti itu konsepnya, dab. Kamu harus memikirkan keselamatan mereka dulu, mereka kan bawahanmu. Mereka sudah klenger, tepar, dan tak berdaya, saat kamu selesai mengurus 3GB, mereka bertiga pasti sudah mati.”

“Ya… ya… ya…” Rao mengangguk-angguk sambil tetap mencibir, “Pada intinya, Simon-lah yang telah menyelamatkan nyawa kalian.”

Surya meneguk ludah.

“Baiklah – beristirahatlah dulu, aku akan berbincang sebentar dengan bosmu di balkon.” Simon tersenyum sambil mengangkat jempol. Ia menarik Rao perlahan ke arah balkon yang ada di samping bangsal perawatan ketiga anggota DoP.

Kedua pimpinan kelompok geng kampus itu melangkah keluar sementara Surya yang masih kebingungan berusaha memejamkan mata kembali. Usahanya tak membutuhkan waktu lama karena bius sepertinya masih menyekap kesadarannya, melelapkan tidurnya, dan memangkunya melewati ambang batas kesadaran.

Rao dan Simon berjalan ke balkon, bersandar di dinding pagar. Simon menarik kaleng minuman dari dalam kantong plastik yang ia bawa-bawa dan memberikannya pada Rao. Ia lantas mengambil untuknya sendiri satu minuman kemasan pembangkit ion tubuh.

“Apa kata dokter?” tanya Simon sembari membuka tutup botol.

Angin yang berhembus di atas gedung cukup kencang terasa memenuhi angkasa. Balkon rumah sakit yang sempit menjadi terasa luas karena pemandangan yang terbentang di depan. Pandangan Simon menyusuri langit dan landscape apik yang bertebaran di bawah megahnya gunung menjulang – balkon rumah sakit ini memang menghadap ke utara, sehingga mereka bisa menyaksikan potongan keindahan luasnya alam dari timur ke barat, dan sebaliknya dari barat ke timur.

Simon melanjutkan, “Saat aku ambil mereka bertiga semalam, semuanya dalam kondisi mengkhawatirkan. Tapi barusan tadi kelihatannya semua baik-baik saja.”

“Mereka akan bertahan, lukanya tidak terlalu parah. Kami kuat. Anak-anak DoP tidak selembek bocah-bocah Sonoz,” kelakar Rao sembari menikmati minuman soda yang nyatanya nyegerin. Minuman kaleng yang baru saja diberikan oleh Simon.

Simon tertawa, “masih saja ya.”

“Apa agenda Aliansi? Masih jadi kura-kura yang sembunyi dalam tempurung? Perang dingin antara QZK dan JXG sepertinya mulai memuncak. Anggota masing-masing pihak ada yang saling berpindah posisi, membuktikan kalau selama ini setiap kelompok punya penyusup.” Rao melirik ke arah Simon dengan mata terpicing, “Mungkin hal serupa juga ada di Aliansi. Bagaimana menurutmu?”

Simon menyeringai, “Gimana gimana? Apakah kamu menuduhku menjadi mata-mata? Bagaimana denganmu sendiri? Menghilang tanpa kabar cukup lama. Apa saja yang kamu lakukan selama ini? Jangan-jangan kamu jangan-jangan.”

“Cih. Ra jelas.” Rao mencibir, “tidak sepertimu yang memanfaatkan waktu kosong dengan tebar pesona pada cewek orang. Aku naik ke gunung untuk berlatih ilmu kanuragan.”

“Hahahaha. Hmm ya ya… akupun berlatih, tapi tidak dengan cara seperti yang kamu bayangkan. Ada tempat dan cara tersendiri untuk melatih Pukulan Geledek.” Simon melirik kembali ke arah Rao, “Tapi omong-omong… aku merasakan sesuatu yang berbeda dari Ki-mu. Ada yang berubah. Aku merasakan ada tiga…”

“Tidak perlu menyelidiki kekuatanku. Aku bisa mengatasinya.”

Simon menatap Rao tak yakin. “Yakin? Aku tidak akan menghentikanmu menghancurkan dirimu sendiri, aku hanya butuh kepastian aku tidak berdiri sejajar di medan perang dengan orang yang bahkan tidak mampu menguasai badan sendiri.”

“Aku akan mengatasinya.” Rao melirik balik ke arah Simon, “Aku akan membuat orang-orang KRAd merasakan pembalasan atas apa yang telah mereka lakukan padaku dan pada kami. Aku akan melakukan semua itu dengan caraku sendiri.”

“Sudah kamu pikirkan baik-baik? Sekali menjadi gelap, kabut itu tidak akan terangkat.”

“Sudah dan rasa-rasanya aku tidak peduli, hidupku ya sudah seperti ini saja. Orang seperti aku toh nothing to lose. Tidak akan kehilangan apa-apa.”

Simon mengangguk – bukan karena dia setuju, tapi karena dia tahu apapun yang dia ucapkan tak akan mengubah pandangan dan perasaan sang lawan bicara. Rao memegang arang yang menyala dalam genggaman tangannya. Api di arang itu bisa membesar dan membakar seluruh tubuhnya, tapi bisa juga menjadi lilin penerang. Semua tergantung penggunanya. Mau tidak mau Simon harus mempercayai si Hyena Gila.

“Baiklah kalau begitu. Aku yakin kamu berbeda. Orang sebebal kamu pasti punya kekuatan yang lebih besar daripada sekedar tingkatan nggilani. Aku yakin kamu pasti bisa mengatasi semua masalah yang akan datang padamu.”

Rao mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana posisi Aliansi? Apa kabar si Bengal?”

“Nanto sudah balik dari desa, tapi untuk sementara waktu dia akan langsung menghadiri acara keluarga yang diampu om Janu – acara trah-nya di dekat candi Prambaru. Dia tidak akan bergabung dengan kita sampai selesainya acara, dia harus langsung hadir karena acara itu diprakarsai oleh om Janu. Nanto tidak mungkin mengelak.”

“Jadi dia belum langsung balik lagi ke kita?”

“Belum.”

“Oke. Ada kabar apalagi? Bagaimana kabar Amar?”

“Sebagai penjaga tahta sementara, bang Amar Barok sangat berpengalaman dan bekerja dengan baik. Dia menjauhkan kita dari semua masalah dan memimpin dengan bijak. Tapi aku dengar kabar-kabur dia kemarin memerintahkan Hageng, Bian, dan Roy untuk menyelamatkan gadisnya yang diculik. Ini sebenarnya dirahasiakan dari semua jajaran pimpinan Aliansi, tapi kamu tahu sendiri – tidak pernah ada rahasia yang benar-benar rahasia di dunia ini,” Simon melirik ke arah Rao, “mereka hendak menyatroni salah satu rumah sekap milik KRAd hari ini.”

“Rumah sekap KRAd? Nekat sekali.”

Simon mengangguk. “Masalahnya adalah kalau kita berdua, bang Amar Barok, atau bahkan Nanto sudah turut campur, maka urusan itu akan berkembang menjadi terbukanya perang Aliansi vs KRAd, dan itu bakal membuat kota semakin tidak karuan. Apalagi jika QZK dan JXG ikut-ikutan tersulut untuk mencari celah di air keruh dan memaksa kita memilih pihak.”

“Sudah pasti.”

“Kita tidak bisa berbuat apa-apa dan terpaksa membiarkan mereka bertiga melakukan tugas ini sendiri tanpa mengirimkan bantuan. Mudah-mudahan mereka berhasil menyelamatkan cewek-nya Amar.”

Rao mengangguk-angguk. “Dengan alasan yang sama aku juga akan menyatroni mabes KRAd sendirian, tanpa DoP dan tanpa Aliansi. Dendamku dendam pribadi pada mereka dan aku tidak akan berhenti sampai dendamku tuntas. Semalam polisi keburu datang untuk menyelamatkan 3GB, kelak tidak akan ada lagi hal semacam itu, aku akan membunuh mereka bertiga satu persatu. Mereka juga sudah tahu aku mentargetkan mereka.”

“Hehehe. Sayangnya saat ini dendammu harus ditunda. Saat ini mereka sedang sangat sibuk. KRAd dan JXG tengah melakukan Tarung Antar Wakil untuk menentukan penguasa selatan sejati.”

“Oh? Melawan JXG? Kenapa KRAd nekat seperti itu?”

“KRAd tentu tahu mereka tidak akan bisa mengalahkan JXG jika nekat terjun adu kekuatan secara langsung, tapi mereka juga tahu mereka harus memanfaatkan situasi saat permasalahan JXG lawan QZK belum mereda. Pemikiran yang cerdas, dengan begini mereka hendak memastikan kekuatan JXG sedang dalam posisi rentan, terlebih setelah Pak Zein pimpinan JXG digiring ke mabes Tim Garangan kemarin.”

“Oh ya? Pak Zein dibui? Kampret… aku ketinggalan banyak berita.” Rao terkekeh layaknya seekor Hyena.

Simon melemparkan kemasan minumannya ke tempat sampah dan masuk dalam kesempatan pertama. Dia menatap ke arah Rao. “Tapi semua itu tadi adalah pandangan awal kita. Nanto memberikan beberapa berkas padaku yang rasa-rasanya akan mengubah pemikiran kita mengenai kondisi kota saat ini. Kupikir kamu juga harus membacanya. Berkas-berkas ini bisa membuat kita berubah pikiran dan terjun ke medan perang.”

Rao mengerutkan kening. Alis tebalnya seakan menyatu di tengah.

Simon kembali mengeluarkan sesuatu dari kantong plastiknya. Sebuah amplop berwarna coklat. Dia memberikannya pada Rao, “ini diberikan oleh Nanto padaku setelah didapatkan dari seseorang. Ada beberapa hal yang sepertinya harus kamu baca juga. Tidak semua orang boleh membacanya.”

Rao mengernyitkan dahi, dia mengambil amplop itu dari Simon, menarik beberapa carik kertas dari dalam, dan mulai membacanya.

Untuk beberapa saat, Rao terdiam. Tapi ia kemudian terbelalak meski tak mengucapkan sepatah kata pun.

Simon melanjutkan setelah Rao membaca keterangan yang ada pada berkas-berkas itu, “Aku juga punya reaksi yang sama denganmu saat pertama kali membacanya. Mengagetkan bukan? Data-data menunjukkan kalau kota kita sedikit demi sedikit sedang di-invasi oleh kelompok luar dengan bantuan salah satu kelompok dalam, beberapa bukti dijabarkan jelas dengan masuknya RKZ dan merger mereka dengan PSG. Tapi invasi itu belum berhenti sampai di situ saja. Kita sama-sama tahu akan ada kejadian yang tidak akan berakhir dengan baik hari ini, tapi entah di mana dan yang mana. Meskipun ada skenario besar yang masih tanda tanya tapi arahnya sudah jelas. Jadi kita tetap harus bergerak meskipun resikonya besar. Kita harus mengatur strategi dengan Amar Barok untuk bisa menangani hal ini.”

Rao mendengus dan memasukkan kembali berkas-berkas itu ke dalam amplop, “Aku tahu yang kamu maksud dan aku setuju. Jika kita melakukannya sekarang tentu bakal ada konsekuensi. Begitu kita terekspos, alarm JXG dan QZK akan berbunyi dan semua tidak akan pernah sama lagi. Kita masih belum tahu kelompok yang mana yang akan membantu invasi kelompok lain ke kota ini.”

Simon mengangguk. Wajahnya berubah menjadi serius. “Kita toh tidak mungkin menghindar selamanya. Bukti-bukti ini sudah jelas. Diam pun kita tetap akan terkena imbasnya. Dengan ini… Aliansi harus terjun ke peperangan. Kalah atau menang itu urusan belakangan. Ada kota yang harus kita pertahankan.”

Rao menggemeretakkan gigi. Tangannya terkepal.

Aliansi memang tak bisa menghindar lagi.

Perang benar-benar telah dimulai.





.::..::..::..::.





Penjara.

Suasana penjara ya seperti penjara pada umumnya tempat penahanan.

Sepi, gelap, sunyi, pengap, dan membosankan.

Tidak banyak yang terjadi di tempat seperti ini. Kalaupun ada yang terjadi, biasanya melibatkan kekerasan. Tapi tentu, tidak semua tempat seperti itu - hanya biasanya saja, dan hanya sesekali saja.

Ada kemungkinan, sesekali itu terjadi hari ini.

Ruang tahanan di ujung lorong terlihat gelap karena hanya ada satu sumber cahaya – yaitu dari depan jeruji yang mengarah ke lorong samping. Di sana ada jendela besar sebagai sumber cahaya. Cahaya yang masuk itupun masih dibatasi oleh teralis yang jarang sekali dibuka. Ruang penjara itu bukan ruang yang bisa dibilang sehat dan perekeyasanya dulu memang tidak ada niat sedikit pun untuk membangun ruang yang seperti itu.

Satu ruangan biasa dihuni oleh delapan hingga dua belas orang. Sel ini diisi oleh sembilan – seharusnya sepuluh, tapi orang kesepuluh sedang mengerang kesakitan dalam senyap, kakinya berbelok ke arah yang salah dan wajahnya pucat pasi. Dia membekap bibirnya kuat-kuat. Dia tidak ingin suara erangannya mengganggu orang yang amat ditakutinya.

Orang yang ditakuti itu… adalah Pak Zein.

“Kalau ada yang berani mengganggu lagi, aku tidak akan segan-segan.”

Pimpinan tertinggi JXG itu duduk dengan tenang dan memejamkan mata, ia meletakkan kepalanya tersandar pada tembok di belakang sementara ia duduk di pembaringan. Beberapa orang yang berada di tempat itu sama sekali tak bergerak. Jangankan mendekat, mereka bahkan tak berani bertatapan mata dengan sang pimpinan JXG itu. Reputasi memang segalanya, mereka baru saja membuktikan kalau reputasi itu bukan hanya sekedar omong kosong.

Hanya satu orang saja yang berani mendekat.

Seorang tua.

“Hehehehe… tidak pernah menduga sama sekali akan berjumpa dengan njenengan di sini, Pak Zein.”

Pak Zein tersenyum, “aku malah sudah menduga akan berjumpa denganmu. Lama tak jumpa. Bagaimana kabar? Tambah seger aja sepertinya.”

“Hahaha, sae… sae… kabar saya baik-baik saja. Terima kasih sudah menanyakan. Apalah artinya orang tua seperti saya di antara hiruk pikuknya pertarungan anak-anak muda di luar sana.” Dari kegelapan, muncul seorang pria tua yang berjalan tertatih karena tak membawa tongkat. Dia duduk di samping Pak Zein, “Sebelumnya mungkin perlu saya jelaskan… ssaya berani mendekat ke njenengan tanpa perlu rasa khawatir, karena tempat ini sudah dibentengi oleh cagak bebandan.”

Pak Zein tersenyum, “Aku tidak membutuhkan tenaga Ki untuk mematahkan leher sampeyan.”

“Nah, lha ya itu lho yang saya takutkan.” Lek Suman tertawa, ia menganggukkan kepala ke samping. Empat orang mendekat dan berdiri di dekat Lek Suman.

“Bahkan di sini pun, sampeyan punya kacung, Lek?” Pak Zein mendengus.

“Sekedar-sekedar, Pak Zein. Kita harus selalu bersiap-siap kalau-kalau ada-ada saja masalah-masalah yang ujug-ujug. Bukan begitu, nggih?” Lek Suman menyeringai culas. “Saya hanya melakukan persiapan saja. Kalau-kalau, menowo gek-gek. Tiba-tiba saja ada yang sekonyong-konyong koder. Hehehe. Tapi njenengan benar, njenengan tidak membutuhkan Ki untuk mematahkan leher kulo. Tapi nyawa saya kan memang tidak ada artinya, apalah artinya orang tua seperti saya ini yang sudah dilupakan oleh sejarah? Tidak ada artinya! Ga ada, Pak! Mboten enten artine! Saya mati atau hidup, dikubur di mana saja tidak akan ada yang peduli. Heheheh. Sebaliknya nyawa njenengan adalah harga tertinggi.”

“Lalu…? Maksud sampeyan ngupengi saya dengan empat orang berbadan gede begini apa? Apa maksudnya? Sampeyan berani macem-macem begitu? Awas lho… kasihan mereka kalau nanti terjadi apa-apa.”

Lek Suman tersenyum, “oh njenengan jangan salah sangka, Pak. Mereka bukan berlaku demikian untuk mengancam njenengan, tapi untuk menjamin keselamatan saya. Saya tahu kalau dalam singkat njenengan pasti akan dibebaskan dari sini – karena njenengan punya backing yang cukup kuat.”

Pak Zein mendengus, “Lalu? Sampeyan kan juga punya backing? Kenapa masih tetap berada di sini?”

“Kenapa tidak? Di sini saya aman, makanan terjamin, hidup lebih tenang. Hehehe. Saya pasti akan keluar menyusul njenengan. Tapi ini belum waktunya. Karena RKZ… eh maaf, hehehee… maksud saya KRAd… susah amat ya nyebut namanya… karena KRAd… sebenarnya punya rencana lain mengajak JXG bertempur di Tarung Antar Wakil,” Lek Suman menyeringai. “Saya sih yakin njenengan juga sudah paham hal itu.”

Pak Zein menatap Lek Suman.

Sang sengkuni membalas tatapan sang pimpinan JXG, “Seandainya masih hidup – Joko Gunar tidak akan pernah menyetujui pertarungan dengan JXG ataupun berwacana meleburkan PSG dengan RKZ. Tidak ada cerita seperti itu. Sayang si bodoh itu mati terlalu cepat. Kematian Gunar membuat semuanya menjadi mungkin. Jadi… meskipun tidak direncanakan, RKZ berhasil menggabungkan diri mereka dengan salah satu kekuatan di kota secara resmi dan bahkan berhasil menempatkan Bambang Jenggo di puncak kepemimpinan. Ajaib sekali bukan? Sudah pasti ajaib. Semua karena sosok Ki Juru Martani.”

Pak Zein tersenyum, “Itu aku juga sudah paham.”

“Masalahnya sekarang KRAd ini punya agenda yang masih abu-abu. Apa dan bagaimana mereka di bawah asuhan Ki Juru Martani sangat tidak bisa ditebak dan amat berbahaya. Agenda RKZ dan KRAd sebenarnya sama, invasi.”

Pak Zein mengangguk-angguk. “Sepertinya kalian dari PSG baru mulai sadar kalau sejak awal RKZ memang hendak mencaplok PSG ya? Apakah kalian kini sudah berdamai? PSG dan RKZ di bawah kesatuan KRAd? Persekutuan yang menggelikan.”

“Lha kalau menurut njenengan pripun? Secara kelompok mau tidak mau kan saya terpaksa bergabung dengan mereka, meskipun secara pribadi ya nanti-nanti dulu. Wekekekek. Itulah sebabnya saya masih menolak untuk meninggalkan tempat ini dan tidak ada yang bisa memaksa saya untuk keluar. Suasana di luar terlampau tidak menentu, tidak baik untuk kesehatan orang tua seperti saya. Wekekekekek.” Lek Suman tertawa licik, “Tapi kehadiran saya saat ini ke hadapan njenengan sebenarnya hanyalah sebagai pembawa pesan. Ki Juru Martani mengirimkan salam untuk njenengan – beliau berharap saya menyampaikan sesuatu hal kepada njenengan sebagai bagian dari bakti saya kepada kelompok. Ya sudah berhubung ini tugas, jadi saya sampaikan saja hal tersebut pada njenengan.”

Pak Zein mendengus.

“Wekekeke… jadi ceritanya agak panjang ya…, kita mulai dari awal sekali. Di jaman dahulu kala, di saat negeri kita masih kacau balau… terjadi penyatuan wilayah secara adil maupun paksa oleh satu orang yang sangat tangguh dan ulet. Oleh orang lain kadang beliau dianggap penjahat dan sangat kejam, tapi oleh sebagian lagi beliau dianggap sebagai pemersatu yang mau tidak mau harus melakukan hal yang tidak populer demi kepentingan bersama. Apa yang kemudian beliau hasilkan adalah wilayah yang sekarang kita huni dan tempati, kota yang kita berdikari, mandiri, berdaulat, damai, dan kita cintai.”

“Maksudnya? Apa Ki Juru Martani menganggap aku buta sejarah?”

“Setidaknya sejarah yang belum selesai diceritakan. Bagaimana sejarah itu bermula dan berakhir, mungkin njenengan paham. Tapi apa yang terjadi dan apa yang beliau alami selama masa pemersatuan berlangsung dan saat beliau mengalami pengkhianatan… tidak banyak diketahui orang lain. Saya yakin njenengan hanya paham apa yang terjadi di permukaan saja, njenengan hanya paham apa yang diceritakan oleh buku sejarah. Karena sejarah ditulis oleh para pemenang.” Lek Suman duduk bersandar di samping Pak Zein. “Tapi KRAd membawa semangat beliau, semangat pemersatu…”

“Pemersatu? Halah. Pemersatu sampeyan itu kan penjahat besar, Lek. Dia bukan pemersatu, dia diktator. Semua orang sudah tahu sepak terjang Raden Randu Panji yang haus darah. Saya tidak hanya tahu dari sejarah, tapi juga cerita dari para leluhur saya yang juga terlibat. Kisah tentangnya disampaikan secara turun temurun. Apa sampeyan mau bilang kalau simbahnya simbah simbah saya itu ngelantur?” Pak Zein terkekeh.

Melihat kondisi sepertinya aman-aman saja, Lek Suman menganggukkan kepala kepada empat penjaganya yang langsung mundur. Kini Lek Suman dan Pak Zein duduk berdua saja.

Pak Zein mendengus, “Jangan isi malam ini dengan dongeng ngawur yang sampeyan dengar dari orang-orang yang menganggap Randu Panji jatuh karena konsipirasi. Cerita semacam itu kan gosip receh berusia ratusan tahun. Semua orang sudah tahu kebenarannya, saksinya banyak, bukti peninggalannya banyak. Saya akui beliau sudah mempersatukan negeri, menerapkan hukum yang dipatuhi masyarakat dengan baik, membangun wilayah nan subur, dan berhasil menyebarkan ketentraman – meski secara terselubung – tapi di balik itu beliau menerapkan sistem kediktatoran yang kejam dan sewenang-wenang, sering mencabut rumput liar yang tumbuh di halaman rumahnya. Menjatuhkan yang tidak sepaham bahkan sampai membunuh jika diperlukan. Hal semacam ini sudah bukan rahasia lagi kan?”

“Betul sekali.”

“Lalu sekarang bisa-bisanya ada kelompok muda seperti KRAd dan sebelumnya RKZ yang menyanjung-nyanjung seorang seperti dia – ya tidak masalah. Urusan masing-masing itu. Saya sih tidak peduli. Tapi mbok ya belajar sejarah dulu yang bener, menggali kawruh dari banyak sumber baru menyuarakan aksi. Lagian aksinya juga ga bener. Kebanyakan anarkis dan klitih. Njelehi tenan.”

Lek Suman cengengesan, “Baiklah… baiklah. Sebelum kita ngelantur terlalu jauh lebih baik to the point saja. Yang ingin saya jelaskan adalah… Ki Juru Martani sebagai keturunan dari Raden Randu Panji ingin memberlakukan hal yang sama. Menyatukan kelompok-kelompok yang terpecah-pecah dalam satu bendera. Tidak ada yang diperlakukan berbeda, tidak ada yang sok jawara. Semua di bawah kekuatan besar yang menaungi dan mengayomi yaitu di bawah KRAd...”

“Ini yang saya tidak suka. Kalian menggunakan sosok dan sejarah dari masa lampau untuk mengukir dan memaksakan sejarah di masa modern. Tidak lucu tur wagu. Mbok ya dipahami dulu konsepnya. Apa yang sudah terjadi ya sudah, sejarah sudah tertulis, ngapain disenggol-senggol? Sekarang ya sekarang, tidak perlu dicampurbaurkan dengan masa lalu. Tidak ada gunanya dan tidak ada juntrungannya. Kalian dari KRAd kan sebenarnya hanya mencari-cari alasan untuk mendapatkan keuntungan, intinya kan kalian cuma mau menyatukan kota di bawah bendera KRAd. Itu saja tanpa embel-embel. Benar atau benar? Dasar kelompok wagu tur njelehi. Tidak ada cerita seperti itu. Sekarang adalah jamannya JXG yang akan selalu setia pada keraton. Kalian tidak akan pernah kami akui sampai kapanpun.”

Lek Suman tertawa, “Nah terkait dengan JXG, seperti halnya di masa dahulu kala. Saya yakin njenengan pasti sudah pernah mendengar cerita ini – bahwa Raden Randu Panji memulai kejayaannya dengan menghancurkan Perguruan Seribu Angin. Jadi saat ini… KRAd akan memulai langkah besarnya dengan menghancurkan kelompok yang menyanjung Inti Angin Sakti. Satu-satunya kelompok yang memenuhi kriteria seperti itu di jaman modern adalah kelompok njenengan, kelompok JXG. Sejarah memang selalu terulang kembali, ya? Setuju njenengan?”

“Ini maksudnya ancaman, begitu?”

“Sama sekali bukan… sama sekali bukan… njenengan jangan salah paham.” Lek Suman tertawa-tawa. Ia menggelengkan kepala dan melambaikan tangannya, “ini bukan ancaman. Sama sekali bukan. Saya kan sudah bilang tadi… ini cuma penyampaian pesan dari Ki Juru Martani. Saya hanya pengantar pesan saja. Bukan siapa-siapa yang mampu mengancam njenengan.”

“Lalu? ”

“Nah, setelah menyampaikan pesan dari Ki Juru Martani, sudah saatnya saya pribadi memberikan penawaran kepada njenengan. Saya yakin betul kalau tidak mungkin menerapkan cara yang sudah dilakukan oleh junjungan KRAd yaitu Raden Randu Panji di era modern seperti saat ini dengan mencaplok wilayah demi wilayah secara paksa. Itu konyol namanya. Di era modern seperti sekarang ada banyak cara yang lebih efektif. Salah satunya adalah dengan negosiasi.”

“Negosiasi? Wes, Lek. Capek aku mendengarkan semua gedebus-mu. Ngomongo seng jelas. Sak tenane opo karepmu? Kamu ini sebenarnya mewakili KRAd atau bukan?”

Njenengan pikir penangkapan njenengan menjelang Tarung Antar Wakil adalah sebuah kebetulan? Sebuah ketidaksengajaan? Omong kosong saja kan. Penangkapan njenengan memang disengaja dan sudah diatur sedemikian rupa oleh Ki Juru Martani.”

“Sudah jelas ini politik.”

“Betul sekali. Panggung untuk penangkapan njenengan sebenarnya sudah dipersiapkan sejak surat tantangan dikirim demi melemahkan JXG di Tarung Antar Wakil. Mereka juga sadar penangkapan njenengan tidak akan bisa bertahan lama karena jaminan dan relasi njenengan dengan keraton.”

Pak Zein mendengus, sebelum ia sempat membalas ucapan dari Lek Suman, pria tua itu melanjutkan kembali sembari tak menghapus senyum lebarnya.

“Tapi itu tadi kan dari Ki Juru Martani dan KRAd. Heheheh,” bisik Lek Suman. Dia tidak ingin ada yang mendengar ucapannya.

Pak Zein mengerutkan kening, “maksud sampeyan?”

“Sepertinya pertemuan kita berdua memang sudah ditakdirkan. Njenengan sejak tadi mungkin bertanya-tanya apakah saya secara lahir batin berbakti pada KRAd? Jelas tidak. Jiwa saya PSG, hasrat saya KSN. Saya tidak pernah mempercayai Ki Juru Martani dan Bambang Jenggo, tapi saya tidak kuasa melawan kehendak mereka yang datang membabi-buta secara tiba-tiba dan melakukan merger paksa dengan PSG yang kehilangan induk usai kematian Joko Gunar. Bayangkan jika saya benar-benar dibebaskan, entah jadi apa saya di luar sana di tangan mereka.”

“Hmm, sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini.”

Njenengan tentu tahu, kekuatan KRAd bukan main-main dan ada kemungkinan JXG bakal kalah dalam Tarung Antar Wakil hari ini. Tapi meskipun ada kemungkinan kalah semuanya masih bisa diperbaiki, kekalahan itu bisa dibalas dan area yang direbut bisa didapatkan kembali. Hehehe… Kondisi internal KRAd sebenarnya masih rentan dan bisa dijungkirbalikkan – terutama melalui Aswin dan Ajo Gunar yang tidak rela PSG hancur begitu saja.”

Pak Zein bersidekap dan tersenyum. Ia menundukkan kepala sembari menyandarkan badan ke dinding.

“Sekarang saatnya bagi saya dan njenengan untuk menggabungkan kekuatan. Kita bersama-sama akan menghancurkan KRAd. Anda dari luar, saya dari dalam. Saya akan memberikan info-info seputar KRAd untuk anda, sehingga bisa menjalankan pion lebih cepat di atas papan catur. Singkat cerita, saya akan menjadi telik sandi bagi JXG dengan bayaran yang simpel, ijinkan kami menegakkan kembali panji PSG di wilayah kabupaten selatan – betul, kabupaten di selatan. Kami tidak akan menyenggol JXG dan akan menyingkir dari kota. Kita wujudkan kesatuan di wilayah selatan. Kan ada jargon tuh, bersama kita bisa. Heheheh. Bagaimana tawaran saya ini?”

Lek Suman tersenyum lebar. Tangannya terulur ke depan, hendak bersalaman.

Pak Zein bersidekap dan mendengus.

Bisakah dia mempercayai seorang Sengkuni?





.::..::..::..::.





Plaaak!

“Ssssst!” sergah Roy sembari bersungut-sungut. Ia menatap saudara kembarnya dengan pandangan galak. “Dibilangin jangan bikin suara malah ribut melulu nih! Kalau ketahuan gimana?”

“Hehehe… reflek. Ga sengaja. Habisnya tadi ada nyamuk…” Bian terkekeh perlahan.

Terdengar bunyi nguuuung nguuuuung yang membuktikan kalau Bian benar – memang ada nyamuk di lokasi tempat mereka berada sekarang. Di sebuah kebun yang berada di dekat pohon pisang. Singup, dingin, adem, dan becek. Benar-benar suasana yang ra mbois.

“Mungkin lain kali kita bisa mengusulkan pada Amar untuk mencari tempat-tempat pengintaian dan jalan masuk yang lebih nyaman. Kebon pisang bukanlah pilihan yang tepat. Kurang higienis kan? Mana sepatuku juga baru beli ini… duh, becek begini. Wedhus ik.” usul Bian yang tidak berhenti nyerocos.

Jinguk. Bisa diam tidak sih? Bar ngombe po, Dab? Wasu, lambene bocor terus. Diam dulu ya.” Protes Roy yang sedang berkonsentrasi. “Kita harus masuk diam-diam ini, bukan malah nyerocos ga karuan ra mandeg-mandeg!

“Kondizi zudah aman. Beberapa penjaga lengah karena berjaga di pozizi yang berbeda.” Hageng yang tubuhnya tinggi besar sedang berdiri di tangga untuk mengintip suasana di seberang tembok di pojok yang gelap. “Mazuk zekarang?”

Roy menggeleng, “Negatif. Jangan, kita ikuti saja instruksi yang diberikan oleh Mas Amar. Kita tunggu dulu sampai ada keributan di depan baru kita bergerak. Teman-temannya Mas Amar yang kemarin itu… yang berasal dari mantan anggota Dinasti Baru, apa itu namanya…? Tim Bengkok?”

“Tim Samsu.” Bian membenahi.

“Nah itu. Mereka rencananya akan membuat keributan di gerbang depan. Begitu penjagaan melemah dan konsentrasi pasukan lawan tersedot ke depan, barulah kita masuk ke dalam dan…”

Boooom!

Terdengar suara ledakan tak jauh dari posisi mereka berada. Ketiga sahabat saling berpandangan. Itukah kode yang mereka tunggu-tunggu?

“Hageng?”

“Zemua penjaga di taman belakang lari ke depan rumah, mereka zepertinya juga kebingungan dengan apa yang terjadi,” kata Hageng menjelaskan situasi yang terjadi di dalam. “Tim Bengkok… eh tim Zamzu zudah berakzi zepertinya. Bagaimana?”

Roy mengangguk. “Kita masuk.”

Hageng mengangguk.

Bian terkekeh, “Finally. Some action.”

Secara bergantian ketiga sahabat menaiki tangga dan memindahkan posisi tangga tersebut supaya nanti mereka bisa melarikan diri dan memiliki jalur untuk menyelamatkan Dinda. Setelah semuanya berpindah ke halaman belakang rumah KRAd, ketiganya mengendap-endap untuk mencari posisi paling enak supaya bisa masuk ke dalam rumah.

“Di mana posisi gadis itu disekap?” tanya Bian perlahan.

“Entahlah. Tapi menurutku paling memungkinkan ya di dalam rumah itu,” jawab Roy dengan berbisik-bisik. “Tidak ada lokasi lain yang lebih ketat penjagaannya dibandingkan rumah itu. Kita mulai saja periksa saja dari gudang di sebelah kanan itu. Siapa tahu mereka di sana.”

Halaman belakang rumah sekap KRAd sangat luas, ada petak bangunan di sebelah kanan para penyusup – yang sepertinya difungsikan sebagai gudang, lalu ada rumah kontrakan besar di depannya. Di antara rumah kontrakan dan bangunan gudang ada kebun singkong yang cukup luas. Di sebelah kiri para penyusup ada halaman luas dengan jajaran pohon-pohon buah seperti mangga, rambutan, jambu, dan nangka. Melewati halaman pepohonan buah, mereka akan sampai di sebuah bangunan yang seperti kamar mandi luar, dan akhirnya… rumah utama.

Para sahabat mengendap-endap melalui pepohonan yang gelap dan tanpa cahaya. Inilah jalan paling aman untuk mereka! Suasana tenang dan sepertinya semua penjaga benar-benar berlarian ke depan. Luar biasa kiprah tim Samsu.

Begitu ketiga sahabat sampai di dekat kamar mandi luar, tiba-tiba saja…

Blaaaaaar!

Lampu-lampu dinyalakan. Cahaya terang berpendar. Bak panggung, ketiga sahabat menempati posisi tengah yang disorot oleh banyak cahaya. Hageng, Bian, dan Roy terkesiap. Mereka ketahuan!

Apa-apaan ini?

“Bagaimana rasanya ingin menjebak tapi malah terjebak? Kalian masuk ke perangkap yang kami tebarkan tanpa perlu banyak bersusah payah. Sebodoh itulah kalian.” ada sosok seorang pemuda berambut coklat yang menyambut mereka. Dia menggunakan topi hitam bertuliskan kata Burn.

Roy mengernyitkan kening… suara itu… suara itu kan… “Pasat..?”

Benar.

Pasat dan Moxon berdiri di hadapan sekitar dua puluh orang yang duduk dengan tenang. Di belakang rombongan itu, masih ada Muge Monster dan Agus Lodang dengan pasukan masing-masing. Roy, Hageng, dan Bian langsung sadar mereka sedang dalam bahaya besar.

Lho kok QZK? Kenapa QZK ada di sini? Mana KRAd?

Kalau ini jebakan, itu berarti Tim Samsu mengalami kekalahan? Apa yang terjadi pada mereka?

Pasat menyeringai. Dia menunjuk ke arah Roy. “Kalian mengira bisa masuk ke sini dengan mudah? Kalian pikir kami bodoh? Tentu saja kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya!””

Roy mengerutkan kening, “Pa-Pasat? Kenapa kalian bisa ada di sini? Bukankah ini markas KRAd? Apa yang…?”

Pasat tersenyum sadis, “Malam ini revolusi dimulai. Seluruh unit QZK sedang bergerak, termasuk unit kegelapan. Kami akan menghabisi semua kelompok. Malam ini – adalah malam terakhir bagi Aliansi. Kalian bertiga… kalau tidak ingin hancur, menyatulah denganku di QZK, ini tawaran pertama dan terakhir.”

“Ngomong apa sih kamu ini?” Roy menggemeretakkan gigi dengan marah. Kenapa? Kenapa harus Pasat?

Tangan Hageng mendarat di pundak Roy.

Roy mengayun lengannya, “Jangan sekarang! Aku sedang…”

“Itu… yang di zana.” Hageng menunjuk ke satu arah.

Roy menatap ke arah jauh dan terkesiap. Di dekat pintu masuk rumah, seorang gadis setengah telanjang sedang dibentangkan dengan tangan dan kaki terikat di sebuah papan. Tangan dan kakinya direntangkan sehingga membentuk huruf X. Melihat tubuhnya yang lunglai dan kepalanya yang luruh ke bawah memastikan kalau gadis itu sedang tidak sadarkan diri.

Gadis itu sudah pasti Dinda.

“Ba-bajingan kalian! Lepaskan dia! Dia tidak bersalah! Apa yang kalian lakukan!?” Bian paling gemas dengan orang-orang yang tega memperlakukan seorang gadis seenaknya.

“Selamat. Akhirnya kalian tahu juga kalau ini semua perangkap.” Pasat tersenyum, “Aku ada urusan yang harus kuhadiri malam ini, jadi tidak bisa banyak membantu kalian. Aku harap suatu saat kelak aku bisa mengunjungi makam kalian untuk meletakkan bunga-bunga harum mewangi.”

Roy terdiam dan menatap Pasat kebingungan. Kenapa Pasat jadi berbeda sekali? Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia menjadi keji dan licik seperti ini? Apa ada yang salah dengan otaknya? Apakah ada yang menghipnotisnya? Kejadian apa yang mengubah sifat dan perangainya?

Hanya ada satu kemungkinan.

Roy menghela napas, “Pasat… aku tahu di dalam hati sebenarnya kamu masih orang yang sama. Kamu orang yang kuat, tangguh, dan bisa menghadapi semua ujian hidup dengan baik. Kamu berubah menjadi seperti ini kemungkinan besar karena rasa sakit itu sudah tak terperi. Sakit sesakit-sakitnya sakit. Orang yang paling kamu percaya meninggalkanmu. Sekarang kamu berusaha membentengi diri dan menganggap gagal menjadi dirimu yang lama, oleh karenanya mengubah dirimu menjadi seperti ini. Benarkan seperti itu? Masih belum terlambat untuk kembali. Kami sahabat-sahabatmu masih di sini.”

Pasat menatap Roy dengan tatapan mata kosong. Ia lalu meludah ke kaki Roy. “Jangan sok tahu, setan!”

“Aku tidak sok tahu. Aku memang tahu. Selama ini kamu…”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Jbuaaaaaaaakghhh!! Brrrkghhhh!!


Tubuh Roy melayang jauh ke belakang. Ia terhampar tembok pagar dan jatuh berdebam ke depan dengan wajah terpapar tanah. Punggung, dada, dan wajahnya terasa sakit semua. Pemuda itu mengerang kesakitan.

Hageng dan Bian bersiaga.

Di hadapan mereka, kini ada sosok Mox yang menyeringai, dia mengedipkan mata sembari terkekeh perlahan. “Too much, too long, too noisy. Terlalu banyak basa basi. Terlalu banyak kata-kata seperti sedang upacara bendera tujuh belasan. Don’t you think?”

“Mox, kita pergi saja. Serahkan mereka untuk kawan-kawan yang lain. Kita harus segera ke Tarung Antar Wakil. Orang yang kita buru kita ada di sana. Kita harus memberikan laporan terbaik untuk pimpinan,” kata Pasat.

“Meh, you’re right, Kiddo.” Mox melambaikan tangan pada Hageng dan Bian sembari berjalan bersama Pasat menuju ke pintu keluar. “See ya, Boys. Wear something cute next time we meet. Something likegrandma panties. Wahahahahahahaha.”

Saat Mox dan Pasat pergi, kawan-kawan mereka dari QZK maju menggantikan. Mau tidak mau, suka tidak suka ketiga sahabat harus berhadapan langsung dengan anggota-anggota QZK yang amat berbahaya. Tiga orang maju ke depan. Ketiganya adalah anggota kelompok QZK Phantom Gate bersama dengan sang pimpinan… Muge Monster. Pria ganjil itu menyorongkan tangan ke depan… dan tanah di bawah kaki ketiga sahabat bagaikan terkena gempa lokal. Ketiganya terjatuh berulang karena tanah di bawah mereka bergoyang-goyang.

Muge Monster mengayunkan lengannya. “Maju. Habisi mereka.”

Belasan anggota Pasukan QZK, Pasukan KRAd, dan QZK Phantom Gate bergerak ke depan, mengepung, dan bersiap untuk menyerang.

Roy mendesis kesal. “Bersiaplah.”

Bian mengatur kuda-kuda. “Omae wa mou shindeiru!

Hageng hanya mendengus. Tapi kaki-kakinya kokoh menjejak bumi.

Tiga tenaga dalam menyala dan menguat.





.::..::..::..::.





Berita terbaru.”

Shinta menguap dan mengerang saat melihat ke arah televisi yang ada di seberang pembaringan.

Dia mengerang karena badannya sebagian besar masih terasa sakit meskipun sudah sangat berkurang dibandingkan sebelumnya. Ranjang putih tempatnya berbaring dibenahi supaya dia bisa duduk sedikit lebih tegak dengan tetap mempertahankan posisi berbaring. Hal itu dengan mudah ia lakukan dengan menekan beberapa tombol di samping pembaringan.

Nah ini baru enak, Shinta menarik napas panjang.

Tapi senikmat-nikmatnya nikmat, tetap tidak nikmat bermalam di rumah sakit. Apalagi malam ini udara terasa pekat, senyap, dan panas. Biasanya hawa-hawa beginilah yang justru menandakan kalau hujan akan turun deras. Sedikit melirik ke arah jendela, Shinta melihat ada sebaran petir di kejauhan. Malam ini pasti hujan deras.

Posisi ruangnya yang berada di lantai tiga membuat pemandangan terlihat begitu segar, meskipun dari posisinya Shinta hanya bisa melihat langit di kejauhan.

Hmm… yah, dia bosan. Kalau sudah bosan ngapain ya? Shinta berusaha mencari-cari ponselnya, tapi benda itu tengah di-charge. Ya sudah, terpaksa menonton televisi saja. Kebetulan channel-nya sedang menayangkan siaran berita lokal.

Siaran berita. Ada berita apa? Dua berita berlalu seputar kejadian terkait demo mahasiswa dan demo memasak di Ibukota. Berita ketiga yang menarik perhatian Shinta.

“Beberapa ledakan terjadi di dekat dua kampus terkemuka di utara kota. Ledakan yang terjadi hampir bersamaan ini merubuhkan dua tempat yang tidak jauh dari pusat kampus. Diperkirakan ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Berikut laporan dari reporter khusus kami di tempat kejadian…”

Haaaahhh!!? Ledakan? Di dekat kampus? Kampus mana?

Shinta mencari-cari remote televisi yang ada di meja dan segera menekan tombol plus pada remote. Ia mencoba membesarkan suara televisi yang menyala di kamar tempatnya dirawat. Mata gadis itu terbelalak saat melihat laporan dan judul yang tertera pada running text.

Gedung terbengkalai di samping Universitas Amora Lamat dan ruang olahraga Universitas Zamrud Khatulistiwa roboh karena ledakan di waktu yang hampir bersamaan. Sebuah kebetulan?

Gedung terbengkalai di samping UAL?

Rangkaian ledakan besar terjadi di sebuah gedung terbengkalai yang berada di samping Universitas Amora Lamat malam ini. Gedung yang dulu hendak dibangun sebagai cabang dari sebuah bank swasta ini terpaksa ditinggalkan oleh pemiliknya karena bangkrut imbas dampak krisis ekonomi. Gedung ini sebenarnya dibiarkan terbengkalai dan tidak terawat. Akhir-akhir ini gedung yang sudah kosong ini sering digunakan sebagai tempat nongkrong kelompok anak muda.

Malam ini rangkaian ledakan besar terjadi di gedung tersebut. Rentetan ledakan mengakibatkan beberapa tiang penyangga runtuh. Gedung kemudian roboh dan menimbulkan bunyi yang cukup kencang. Masih belum dapat dipastikan ledakan besar apa yang menyebabkan gedung terbengkalai ini hancur lebur. Selain masih belum diketahui apa penyebab dari ledakan, masih belum diketahui juga berapa korban meninggal, dan berapa korban terluka. Polisi masih mendalami situasi sementara masyarakat sekitar membantu seandainya ada korban tertimbun bebatuan.

Hampir secara bersamaan, di lokasi lain di lereng Gunung Menjulang, bangunan kantor yang ada di samping gedung olahraga Universitas Zamrud Khatulistiwa juga hancur lebur karena ledakan. Beruntung gedung ini berlokasi cukup jauh dari kampus utama Unzakha. Sama halnya dengan peristiwa yang terjadi di UAL, masih terus diselidiki korban yang mungkin timbul karena peristiwa ini. Demikian yang bisa kami sampaikan dari lokasi kejadian, saya Ani Eurow melaporkan…”

Shinta mulai menyadari kenyataan pahit. Kandang Walet hancur? Di sana kan ada mas Amar dan Don Bravo. Apakah mereka berada di dalam gedung saat peristiwa ini terjadi? Mudah-mudahan tidak. Keduanya sering berada di lantai teratas. Kalau gedung itu roboh, bisa jadi keduanya menjadi korban. Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan keduanya selamat.

Shinta mulai merasakan desiran angin dingin yang memeluk tubuh indahnya. Hujan sepertinya benar-benar akan datang. Hawa angin sudah membawa harum wangi semerbak udara yang basah. Shinta turun dari pembaringan dan berjalan perlahan menuju ke arah jendela dan menutupnya. Sebentar lagi toh hujan. Dia tidak mau angin dingin masuk ke dalam ruangan.

Markas-markas Aliansi dihancurkan.

Gila.

Setelah ini apalagi? Gila gila gila
.

Kenapa order dan chaos di kota jadi gila sepertinya ini yah? Siapa yang berulah?

Siapa sebenarnya yang menggulirkan rencana demi rencana yang laknat tersebut? Benarkah semua hal yang terjadi ditimbulkan oleh sosok yang disebut dengan nama Ki Juru Martani? Saat ini Tim Garangan seperti sedang kucing-kucingan dengan Ki Juru Martani dan antek-anteknya. Mereka datang di saat Ki Juru Martani pergi, mereka pergi di saat Ki Juru Martani datang.

Belum ada tiik temu yang pas.

Seram sekali kondisi kota saat ini, kondisi bergulir menjadi tak terkendali dalam waktu sangat singkat. Begitu mudahnya nyawa diletakkan di ujung nasib. Orang merasa jumawa dan seakan berhak menentukan hidup mati orang lain. Konsep macam apa itu!

Markas Aliansi dihancurkan.

Bulu kuduk gadis itu pun menegak ketika Shinta perlahan-lahan mulai memahami apa implikasi dan akibat yang bisa ditimbulkan. Kalau Kandang Walet dan markas di Unzakha sampai hancur, Aliansi sudah bisa dipastikan akan bergerak untuk melawan siapapun yang mereka curigai, dan itu bukan pertanda bagus. Perang akan makin melebar dan makin frontal. Aliansi akan terjun dalam perang.

Tapi melawan siapa?

Kelompok mana yang dicurigai menghancurkan Kandang Walet? Aliansi tidak boleh ceroboh bergerak karena bisa saja mereka justru akan menyerang orang yang tidak bersalah, terutama jika bertindak membabi-buta di tempat umum. Aliansi seharusnya netral, tapi dua markas diserang hampir bersamaan? Itu sama saja memancing Aliansi turun ke jalan. Siapapun yang menghancurkan Kandang Walet, orang-orang ini memang niat menghancurkan Aliansi dan seluruh fasilitas yang mereka miliki.

Shinta merasa dia harus tahu kabar Don Bravo – mudah-mudahan dia selamat, mudah-mudahan saja pria unik pemakan bengkuang itu sanggup meloloskan diri. Shinta mencabut kabel charger dari ponselnya, membuka kontak di dalam smartphone-nya, dan mulai mencari-cari nama Don Bravo.

A… B… C… ah ini dia D. Don Bravo… Don Bravo… Don Bra… Ah.

Saat sampai di angka D, Shinta justru berhenti dan terdiam ketika menemui satu nama, Deka.

Nama yang akhir-akhir ini mengganggu perasaannya. Shinta tersenyum dalam hati. Entah kenapa Shinta kok jadi sering membayangkan Deka ya? Apakah karena dia kharismatik? Apakah karena dia cerdas dan punya banyak strategi? Ataukah karena dia diangkat menjadi murid oleh Om Tarjo sehingga ada semacam ikatan batin di antara mereka? Ataukah karena…

Deka!

Deka kan juga Aliansi!


Shinta meneguk ludah.

Tunggu dulu! Jangan-jangan Deka juga mengetahui kabar ini!? Gawat!

Buru-buru gadis itu bangkit dari ranjangnya, tubuhnya terasa limbung karena dia bangkit dan berdiri terlalu cepat. Shinta merapihkan bajunya sembari berlari ke arah pintu. Ia membukanya dan segera berlari menelusuri koridor. Ia berlari menuju ke sebuah ruangan. Ruang yang untungnya tidak terlampau jauh dari bangsalnya.

“Mbak! Kenapa berlari-lari!? Ini rumah sakit! Mbak seharusnya…” seorang suster berusaha menghentikan laju Shinta, tapi dia gagal karena Shinta sudah melesat dengan sangat cepat.

Sembari berlari Shinta berdoa dan berdoa dan berdoa dalam hati.

Jangan. Jangan. Jangan. Jangan. Jangan. Aku mohon jangan lakukan.

Pintu kamar sudah terbuka. Gawat.

Shinta segera masuk dan menuju ke arah pembaringan.

“Mas! Kamu jangan nekat! Kamu jangan…”

Shinta terkejut saat melihat apa yang ada di hadapannya.

Televisi menyala dengan suara sedikit kencang, ranjang yang berantakan sudah kosong, ada kabel dan jarum infus bergelantungan diterpa angin setelah sepertinya dilepas dengan paksa, dan ada jendela ruangan yang terbuka lebar padahal mereka ada di lantai tiga.

Shinta menghela napas panjang.

“Mas Deka…”

Deka sudah tidak ada di sana.



BAGIAN 17-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 17-B
Makasih double apdetnya bro @killertomato
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd