Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
BAGIAN 1
SATU




Kita masing-masing adalah malaikat bersayap satu.
Yang hanya bisa terbang jika saling berpelukan.
- Luciano de Crescenzo




Suasana tanah pemakaman di tepian ringroad utara kota cukup sepi pagi itu, hanya ada satu dua orang saja yang mengunjungi makam dan menebarkan bunga. Wajar saja, ini masih teramat pagi, ini bukan hari libur, dan ini bukan akhir pekan. Di antara ranting-ranting pepohonan kamboja yang membungkuk kokoh, dedaunan bergoyang ringan diterpa angin pagi nan semilir, di antara pemandangan senyap, terdapat kesunyian yang sendu, di mana kenangan mengalir bak air bah saat nama-nama pada nisan terbaca. Nama-nama yang pernah punya makna.

Mereka pernah hidup, pernah berarti, pernah menjadi sosok yang mencinta dan dicintai. Ada yang bilang kalau makam adalah penanda cinta yang tertinggal ketika jiwa sudah bergerak ke tahap yang lebih tinggi. Seberapa lama mereka akan tetap berada di dunia ini, akan sebatas pada mereka yang mampu mengingatnya dalam memori.

Suasana pagi yang sejati. Tidak ada keributan, hanya ketenangan, hanya sepi.

Makam mungkin sebuah konsep yang sering disalahartikan sebagai lahan menyeramkan dengan nuansa horor dan berbagai hal ajaib lain berlaku, namun sesungguhnya di tempat itulah manusia bisa langsung merasakan keberadaan Zat Yang Maha Tinggi. Di tempat itulah kita tahu bahwa pada ujungnya, inilah tempat kita akan berakhir nanti. Bukan untuk selesai, tapi untuk menyeberang ke tingkat abadi. Ketika jiwa kembali dari mana dia berasal sedangkan tubuh sekali lagi dipeluk ibu pertiwi. Seperti sebuah siklus, dari tanah kita berasal, menjadi tanah kita akan kembali.

Ada juga rasa cinta yang membumbung tinggi, karena di tempat ini, kita akan merasakan betapa besar kerinduan terhadap orang-orang yang semasa hidupnya kita cintai. Di sini kita merasakan bagaimana mereka dahulu memberikan segalanya untuk mengayomi, membimbing, dan melindungi. Di sini kita merasakan mereka memeluk kita dengan kehangatan dari balik tirai dimensi.

Hanna Dwi Bestari meletakkan bunga di atas sebuah makam yang usianya masih baru. Mungkin hanya beberapa minggu saja. Wanita berparas cantik itu berulang kali menghapus air mata yang meleleh di pipinya dengan tissue. Matanya menatap kosong ke papan nisan bertuliskan nama Glen – orang yang pernah menjadi kekasih dan tunangannya.

Glen... mungkin bukanlah kekasih yang paling baik sedunia dan jelas bukan tunangan yang setia. Dia ringan tangan meski di balik itu punya nilai positif yang kadang tak kentara dan sering tak ditunjukkan karena tertutup oleh ego, gengsi, dan rasa posesifnya yang jauh lebih besar. Jika ada setitik kebaikan dalam dirinya, itu disembunyikan karena dia ingin tampil kokoh dan tak tergoyangkan. Bagi Hanna, setidaknya Glen juga pernah menjadi orang yang berjasa bagi hidupnya dan bagi keluarganya.

Dulu, sekarang, ataupun esok.

Karena saat ini, Hanna merasa sangat bersalah.

Rasa bersalah yang pasti akan menghantui sang dara hingga akhir masa.

Kalau tidak karena menyelamatkannya, Glen mungkin masih bisa hidup. Dia mungkin masih bisa menemukan jalan cerita yang baru, cerita yang lebih baik, bahkan mungkin menemukan pasangan yang bisa menemaninya sampai ujung masa, mungkin sukses menjadi manajer sebuah usaha, mungkin bisa menjadi seorang ayah yang bahagia dan sangat menyayangi anak-anaknya. Mungkin. Entah bagaimana jalan hidupnya, yang jelas ceritanya tidak terhenti sampai di sini saja.

Tapi takdir berkata lain.

Glen tutup usia.

Hanna sungguh merasa bersalah. Dia tidak menyangka sama sekali, kalau di akhir hidupnya, Glen akan mengorbankan jiwanya untuk sang tunangan yang bahkan tidak ingin bertemu dengannya. Entah bagaimana caranya Glen bisa menemukan Hanna di saat-saat paling kritis. Yang jelas ia berada di parkiran mall itu, menutup jalur Reynaldi yang hendak memangsa Hanna dan Kinan, dan memastikan mereka selamat.

Hanna meneteskan air mata lagi. Sungguh ia merasa bersalah, seandainya saja bisa, dia akan memutar balik waktu, da ingin melepaskan Glen agar dia bisa bahagia dengan wanita lain secepatnya – tidak menunggunya, tidak memaksakan agar mereka harus bersama. Hanna ingin mengakhiri semua cerita mereka dengan cara yang normal, tidak setragis ini.

“Maafkan aku...” bisik Hanna sembari menepuk makam Glen. “Semua ini gara-gara aku. Kalau saja kita tidak saling kenal, mungkin tidak begini jadinya, tidak seperti ini akhirnya. Kenapa sih kamu harus memilih aku? Kenapa tidak yang lain? Yang lebih cantik, yang lebih mandiri, yang lebih mapan, yang lebih mampu mengimbangimu, yang lebih mampu menyayangimu, yang lebih paham bagaimana membahagiakanmu? Yang aku yakin dapat dengan mudah kamu cari dengan caramu. Apalah aku ini? Aku hanya menjadi beban yang akhirnya membuatmu menjadi korban. Maafkan aku...”

“Bukan salahmu. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri. Semua sudah ada jalannya masing-masing.” Ada tangan yang menepuk pundak Hanna dengan lembut. “Sudah saatnya pergi. Maaf aku tidak bisa lama-lama.”

Hanna tersenyum dan mengangguk, ia memiringkan kepala untuk bisa mengeluskan pipinya ke tangan yang tengah mengelus pundaknya itu. Jemari Hanna lantas saling berkait dengan jemari yang baru saja menepuknya dan ia pun bangkit dari jongkoknya di depan makam Glen.

Jalak Harnanto yang membantunya berdiri.

Nanto menggandeng Hanna. Keduanya lantas mencuci tangan dan kaki menggunakan keran air yang sudah disediakan penjaga makam di dekat pintu keluar. Sembari berjalan menuju motor, Hanna mencubit lengan jaket Nanto dengan lembut.

“Terima kasih sudah menemaniku ke sini,” ujar Hanna pelan. “Sewaktu kamu menghubungiku tadi pagi, aku langsung kepikiran untuk mengajakmu ke sini. Aku tahu teman kerjamu juga dimakamkan di tempat yang sama.”

“Iya, terima kasih. Lady memang dimakamkan di sini.” jawab Nanto sembari menunduk.

Hanna menghela napas panjang. “Sama sekali tidak menyangka dan tidak membayangkan kalau kedua orang ini akan mendahului kita. Begitu kerdilnya kita sebagai manusia, kadang tidak menyadari bahwa hidup itu cuma sekali saja dan kita dapat diminta kembali kapan saja.”

Nanto mengangguk, mengenai kehilangan, mungkin dia sudah sering terkena dampaknya. Satu persatu orang keluarga dekat telah meninggalkannya. Bapak, Ibu, sang Kakek, dan kini sang teman kerja yang sudah bagaikan saudara.

“Kamu sendiri. Apa rencanamu selanjutnya? Ada bayangan ke depan?”

“Aku tidak tahu, Mas. Semuanya blank. Kalau untuk saat ini aku tidak bisa mikir apa-apa. Jujur aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan setelah semua yang terjadi, terutama setelah kematian Glen. Papa Mama sudah menawarkan aku untuk menyelesaikan kuliah di luar negeri, selain untuk melupakan apa yang sudah terjadi, tapi juga untuk menenangkan diri. Bahkan Papa Mama Glen juga menawarkan diri menjadi sponsorku seandainya benar aku lanjut S2 di sana nantinya. Bagaimana menurutmu, Mas? Aku ambil tidak tawarannya?”

“Ambil keputusan saat kamu sudah tenang nanti. Jangan mengambil keputusan berdasarkan emosi sesaat. Aku tahu kamu mampu memutuskan dengan kepala dingin kok. Jawaban pertanyaan itu kan sebenarnya simpel. Mana yang lebih kamu inginkan?” Nanto mengelus pelan dahi Hanna, merapikan poni yang terbentuk karena angin yang nakal memainkan rambut indah gadis manis itu.

Tiba-tiba saja Hanna memeluk lengan si Bengal dengan erat. “Satu-satunya yang aku inginkan saat ini adalah bersama dengannya, selalu di sampingnya, selalu mendukungnya. Aku tahu apa yang aku inginkan, tapi aku tidak tahu apakah aku juga dia inginkan.”

“Hanna...”

“Aku sudah tahu jawabannya kok, Mas. Sudah pasti bakal bertepuk sebelah tangan karena dia yang kusayang sudah punya kekasih hati.”

Nanto tersenyum. “Mungkin dia tidak sesempurna yang kamu bayangkan. Aku yakin kamu pasti akan menemukan yang lebih baik lagi.”

Hanna tidak ingin melepas pelukannya di lengan Nanto, “Begitu ya? Jadi dia pikir mudah mencari seseorang seperti dia? Dasar kurang ajar dia, Mas. Menetapkan standar yang terlalu tinggi. Aku tidak tahu apakah kelak ada yang sanggup membuatku menyayangi orang selain dia, tapi untuk saat ini aku tetap akan sayang padanya seorang.”

Nanto tertawa dan menggeleng kepala, dasar keras kepala. Hanna menanamkan kepalanya di pelukan si Bengal di pagi yang dingin itu. Kata-kata berikutnya cukup lirih terdengar.

“Kemungkinan besar aku akan pergi, Mas.”

Si Bengal mengelus hidungnya sendiri meski tidak ingin bersin, tentu saja ada rasa sedih yang ia rasakan karena akan kehilangan seseorang yang sangat berarti. Tapi sepertinya dia tidak sanggup untuk menahan kepergian Hanna demi kehidupan yang lebih baik. Apa sih yang dia miliki untuk bisa menahan Hanna pergi? Seandainya pun Hanna tetap tinggal, apa yang bisa dia tawarkan pada seorang gadis yang telah memiliki segalanya?

...dan yang jauh lebih penting lagi, dia sudah punya Kinan.

“Yakin?” tanya Nanto.

“Tidak.” Hanna menggeleng, “Ada lem super kuat yang membuat aku ingin terus bertahan di sini. Lem yang sama yang membuatku pasti akan selalu kembali. Aku tahu aku tidak punya banyak peluang untuk tetap bertahan di lem itu. Jadi aku harus pergi untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi, menjadi dewasa, menjadi lebih mandiri – sampai lem itu juga menempel pada seseorang yang aku rindukan. Untuk itu aku harus meninggalkan zona nyamanku terlebih dahulu. Tapi aku pasti akan kembali. Bahkan... bahkan jika kelak aku harus menjadi yang kedua...”

Heish. Ngomong apaan sih kamu? Orang seperti kamu ditakdirkan untuk sukses, aku yakin sekali. Kamu sendiri yang bilang tadi kalau kamu punya segalanya yang akan mendukungmu kuliah di luar negeri. Aku juga akan selalu mendukungmu dari jarak jauh. Kita pasti akan berkumpul kembali suatu saat nanti. Aku janji.”

“Janji ya.”

“Janji.”

“Saat aku pulang nanti, aku ingin langsung bertemu denganmu, dan kita akan bersama-sama lagi. Kalau kamu bersedia melakukannya maka aku akan berangkat. Janji?”

“Janji.”

Keduanya saling berpandangan. Saling menelaah perjanjian yang mereka lakukan saat ini. Perjanjian yang mungkin hanya sekedar lisan, tapi kelak akan membawa dampak yang jauh lebih dari sekedar kata dan kalimat di bibir saja.

“Mas...”

“Hmm?”

“Boleh tidak aku minta satu permintaan? Aku ingin meminta sesuatu darimu sampai saatnya aku pergi nanti. Aku berharap kamu mau mengabulkannya.”

“Apa itu?”

“Jadilah kekasihku sampai aku pergi nanti. Bisakah?”

Nanto menunduk. “Hanna... aku kan sudah ada Kinan...”

“Aku juga tahu, Mas. Ini hanya untuk menenangkan perasaanku saja, untuk memberikan aku rasa nyaman pada saat pergi nanti. Setidaknya aku pernah merasakan menjadi kekasih orang yang paling aku sayangi saat ini. Kemarin Mama bilang kalau aku mau berangkat, maka sudah diminta mengurus surat-surat minggu depan, jadi rasanya tidak akan lama lagi aku akan pergi. Entah bulan ini, entah bulan depan, entah kapan.”

“Hanna...”

“Kamu tega membiarkan aku pergi dengan hati yang hancur dua kali? Pertama kehilangan Glen, lalu kehilangan kamu juga?”

Nanto menghela napas panjang, tentu saja dia tidak akan tega. Bagaimana bisa ia membiarkan Hanna yang baik itu menderita? Si Bengal menepuk kepalanya sendiri. Dia pasti akan mendulang masalah baru gara-gara ini. Tapi ya sudahlah, mau kemanapun, dia tidak akan pernah berhenti dikejar masalah. Nanto menatap dara cantik di depannya dengan pandangan lembut.

“Baiklah.”

“Hah!? Sungguh?” Wajah Hanna berubah menjadi lebih cerah. “Beneran kamu mau?”

“Iya. Tapi syarat dan ketentuan berlaku. Pertama, ini cuma pura-pura saja; kedua, hanya sampai saat kamu pergi; dan ketiga, aku tidak ingin Kinan tahu. Kasihan dia kalau sampai tahu meskipun ini cuma pura-pura saja.”

“Su-sungguh...?” Ada bening air mata mengalir di pelupuk mata Hanna. “Terima kasih, Mas.”

“Lho? Kok malah nangis?”

“Meski bohongan, tapi aku bahagia banget kamu akhirnya mau sama aku.”

Nanto geleng kepala, Ini anak gimana sih? Ga diturutin nangis, diturutin eh tetep nangis juga. Si Bengal geli. “Ya udah ayo. Aku tidak punya waktu banyak hari ini, banyak yang harus aku kerjakan. Setelah berziarah, aku mau ke tempat Kinan.”

“Aku ikut ya, Mas.”

“Yakin?”

Hanna mengangguk. “Aku akan ikut kemanapun kamu pergi hari ini.”

“Dasar.”

Nanto pun segera naik dan menyalakan motor, Hanna membonceng dan memeluknya erat dari belakang dengan berani. Gadis itu menempelkan kepala dan dadanya erat-erat di punggung si Bengal. Kan barusan mereka jadian, boleh dong?

Ya meskipun jadiannya di depan komplek makam, ga ada romantis-romantisnya acan.

Motor itu pun melaju ke rumah sakit di mana Kinan dirawat.

Seandainya saja Nanto tahu apa yang akan ia hadapi sebentar lagi. Seandainya saja Hanna tahu apa yang akan terjadi menjelang kepergiannya kelak. Seandainya saja mereka berdua tahu.

Seandainya saja.





.::..::..::..::.





Amar Barok duduk bersila di atas karang raksasa yang menjulang dan menjorok ke lautan di tepian pantai. Matanya terpejam, konsentrasinya terpusat, aliran tenaga ditanam, sebagian disimpan, sebagian disalurkan ke seluruh badan. Ia sedang berusaha memaksimalkan kemampuan Perisai Genta Emas-nya yang masih belum bisa menembus level yang lebih tinggi, masih mentok di kisaran tingkat ke sebelas untuk saat ini. Sedangkan yang dia tahu Deka barangkali di level delapan atau sembilan. Mereka berdua masih harus banyak berlatih.

Tubuhnya bergetar diterpa dingin, kadang oleh deburan ombak, kadang oleh angin.

Konsentrasi, berserah, pasrah, dan introspeksi.

Ojo rumongso biso, nanging biso rumongso.

Jangan merasa menjadi manusia yang serba bisa, tapi jadilah manusia yang bisa merasa. Jauhkan diri dari kesombongan, jauhkan diri dari kebohongan, bentuk mental yang mengagungkan kejujuran. Jalankan semua hal dengan hati dan perasaan, tidak hanya mengandalkan ego diri yang berlebih dan berbuatlah baik untuk kepentingan bersama, bukan sebaliknya. Ngroso, rumongso, atau merasa itu pedang bermata dua. Di satu sisi kita akan menjadi percaya diri dengan mindset yang sedemikian, tapi kita juga bisa saja menjadi orang yang belum bisa namun merasa dan mengaku bisa – membentuk paradigma ketidakjujuran yang pasti akan berkesinambungan. Biso rumongso itu artinya mengakui kemampuan dan ketidakmampuan, jika bisa maka tunjukkan, jika memang tidak bisa ya jangan merasa bisa. Jadilah pribadi yang dengan jujur mengakui dan tahu diri, mengakui sampai di mana kemampuan diri sendiri.

Amar tahu dia gegabah, seharusnya dia bisa lebih berhati-hati lagi dalam bertarung. Kemarin Galung dari RKZ dengan mudah dapat menemukan titik lemahnya dan titik lemah Deka melalui bantuan ilmu kanuragan yang sepertinya membuka mata batin. Sungguh sebuah kesalahan fatal telah meremehkan anggota-anggota RKZ. Kesalahan yang harus dibayar dengan robohnya dia dan sang adik di depan Bambang Jenggo.

Hal yang sama tidak boleh terulang kembali. Kini setelah ia bergabung dengan Aliansi, Amar Barok dapat saling bahu-membahu dengan Deka dan kawan-kawannya untuk membangun kawasan utara yang lebih kondusif. Di saat yang sama, ia dapat melaporkan semua kejadian penting pada sang Bos sesungguhnya... om BMW. Ya, Amar tidak akan pernah benar-benar lepas dari Dinasti Baru, dia tumbuh dan berkembang di Dinasti Baru.

Tiba-tiba terdengar suara kriuk-kriuk yang mengganggu.

Kampret tenan.

Mau apa lagi si kunyuk ini sekarang? Kenapa tidak bisa diam saja di hotel dan tidur? Kok malah ke sini hanya untuk mengganggunya. Bukankah dia kemarin ke kota? Apa tidak ada hal penting lain yang bisa ia kerjakan?

Amar menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan panjang, mencari ketenangan. Tapi suara snack dikunyah membuatnya hilang fokus. Pada akhirnya dia menyerah, bukan waktu yang tepat untuk berlatih.

Ada satu pertanyaan yang pada akhirnya ia ajukan. “Bagaimana kabar si Ara, Kun?”

“Kenapa memangnya?”

“Kamu lagi ada masalah sama dia?”

“Bagaimana kamu tahu aku ada masalah dengan Ara?”

“Kelihatan dari wajahmu.”

“Kamu bahkan tidak menengok ke sini, mata saja terpejam. Kok bisa-bisanya tahu ada masalah sama Ara dilihat dari wajahku. Elok men. Pakai jurus apa? Sepasang Mata Spion?

“Kamu pikir perlu menengok?” Amar membuka mata, lalu memutar kepalanya untuk menengok ke belakang, menatap sang adik yang sedang makan snack kacang sukro. “Ada yang lebih dapat melihat dibandingkan mata.”

Deka mencibir lalu menunduk, “Ara terkena masalah serius. Ada racun di badannya, siapapun yang menyerangnya, dia menggunakan jurus terlarang Cakar Tangan Hitam yang beracun. Aku sudah mencoba mencari pemunahnya kesana kemari. Untunglah kebetulan guruku bilang kalau dia juga pernah mempelajari ilmu itu. Tapi untuk menciptakan pemunahnya bakal butuh waktu karena bahan-bahannya tidak mudah didapatkan. Guruku bilang besok lusa pemunah racun untuk Cakar Tangan Hitam sudah bisa disiapkan. Mudah-mudahan saja Ara bisa bertahan.”

“Gurumu?”

“Iya...”

Hrmph.” Amar mendengus, “Kamu ini aneh. Sewaktu berantem di gudang kamu mempertanyakan niatku gabung ke RKZ meski sudah bisa ditebak tujuannya untuk menjadi telik sandi. Tapi kamu sendiri justru mempelajari ilmu hitam dari guru yang tidak jelas. Dasar wong aneh. Tidak usah macam-macam dengan ilmu hitam, Kun! Lepas jurusmu itu sebelum terlambat. Akan sangat sulit mengendalikan ilmu hitam meskipun itu untuk tujuan baik sekalipun.”

“Aku butuh jurus yang dapat dipraktekkan dan dipelajari dalam waktu singkat. Satu, karena nyawa taruhannya – dan itu artinya aku harus meningkatkan kemampuan secepatnya. Dua, karena nyawa yang ditaruhkan tidak hanya nyawaku saja – tapi juga sahabat-sahabat dan orang-orang yang aku sayangi. Jadi aku belajar ilmu yang dapat dengan cepat memberikan hasil. Mudah-mudahan jawaban itu memuaskan.”

Amar menggelengkan kepala, “Jawaban yang tidak memuaskan sama sekali. Kamu menggunakan shortcut yang paling berbahaya yang pernah kamu jalani. Ilmu hitam lebih cepat dipelajari karena kita tidak mempelajarinya sendiri, kita meminjam kemampuan orang lain atau lebih tepatnya... kita meminjam kemampuan entitas lain.”

“Terus?”

“Terus? Beneran kamu nanyanya gitu?” Amar menatap sang adik dengan tatapan mata tajam, “Bisa-bisanya kamu bilang terus. Aku memperingatkanmu karena aku pernah lihat sendiri beberapa anak Dinasti Baru yang pengen naik rank kemakan ilmu hitam mereka sendiri. Kondisi akhir mereka mengenaskan, hidup segan mati tak mau. Jadi hentikan selagi sempat, Kun. Yang seperti itu berbahaya. Mumpung masih bisa. Ingat baik-baik pesan Bapak dulu, hal-hal yang baik diraih tidak dengan instan, tapi dengan perjuangan.”

Deka terdiam tak menjawab. Dia tahu semua kata-kata Amar ada benarnya. Tapi dia ingin menguasai ilmu kanuragan yang hebat dengan caranya sendiri, dia yakin dia bisa mengatasi ilmu hitam yang dia pelajari dari Ki Demang Undur-undur. Dia pasti bisa.

Saatnya mengalihkan perhatian dengan satu pertanyaan ke sang kakak, karena ada satu hal berkaitan dengan Ki Demang Undur-undur yang membuatnya bertanya-tanya. Gurunya itu selalu merasa diawasi terus menerus - terutama terkait pekerjaannya sebagai kuncen makam Ki Suro. Itu sebabnya Ki Demang tidak pernah meninggalkan Pantai Selatan meski sudah dipaksa-paksa.

Tapi siapa sebenarnya yang mengawasi Ki Demang? Apa tujuannya? Apakah berkaitan dengan perang besar beberapa tahun yang lalu? Apakah mereka menginginkan sesuatu dari orang tua itu? Tapi apa? Masih banyak pertanyaan, tidak satu pun memberikan jawaban.

“Orang-orang lama sepertinya tabu menceritakan apa yang terjadi saat perang besar utara dan selatan. Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang menang? Kenapa semuanya abu-abu? Apakah memang seimbang dan tidak ada pemenangnya?” Deka duduk santai di samping sang kakak. Kaki diluruskan, punggung disandarkan ke bebatuan, tangan mengantarkan makanan ke mulutnya. “Jujur penasaran.”

Amar Barok mencibir, “Kenapa nanyanya ke aku? Aku kan juga tidak tahu banyak. Itu cerita orang-orang lama. Tapi aku jelas tahu siapa yang menang.”

“Utara atau selatan?”

Amar Barok tersenyum sinis, “menurutmu yang mana?”

“Utara. Saat ini kelihatannya om Janu lebih santai daripada Pak Zein dalam segala hal, meski keduanya sama-sama memiliki kemampuan dan pasukan yang besar, namun om Janu punya kelebihan di sikapnya yang ramah dan santai dibandingkan Pak Zein yang kaku dan formal. Kalau dinilai dari sikap santai mereka, jawabannya om Janu.”

Amar tersenyum, Ia mengangguk. “Benar... benar...”

“Jadi benar? Pemenangnya QZK?”

“Benar-benar salah. Saat pertarungan besar JXG lawan QZK yang berdampak hingga ke seluruh kota, JXG-lah yang sebenarnya memenangkan pertarungan besar itu bertahun-tahun yang lalu. Tapi JXG pula yang kemudian kehilangan banyak hal, mulai dari anggota sampai wilayah – seperti yang kamu ketahui, JXG yang harus meredam semua kegiatan setelah perang besar justru kemudian dilangkahi oleh PSG di selatan dan Dinasti Baru di tengah.”

Deka mengangguk.

Ndeeeeeess!!” terdengar teriakan dari kejauhan. Roy berlari-lari dengan wajah panik. Deka dan Amar sama-sama berdiri dan menemui Roy. “Ndes!! Aku mencarimu kemana-mana!!”

“Mencariku? Memangnya ada apa, Roy?”

“Gawat, Ndes. Ini gawat.”

Deka dan Amar Barok saling bertatapan. Deka menepuk tangannya yang kotor oleh pasir, mengoleskannya di celana, dan mendekati sang kawan, “Gawat apanya? Ayo ceritakan. Kamu ini jangan bikin kaget aja.”

“Rania! Si Rania!”

“Ada apa dengan Rania?” Deka mengerutkan kening, tak urung jantungnya juga berdegup kencang melihat sang kawan panik dan ketakutan. Entah kenapa perasaannya mengatakan kalau ada sesuatu yang tidak beres yang telah terjadi.

“I-ibu dan anaknya Rania... mereka berdua ditemukan bersimbah darah. Sepertinya ada perampok sadis yang masuk ke rumahnya! Mereka berdua sekarat! Rania berteriak-teriak histeris sejak tadi di telepon, kita harus segera ke kota, Ndes. Kita harus cepat.”

“Ibu dan anaknya?” Amar Barok merinding dengan tingkat kesadisan sang perampok yang biadab. Membayangkannya pun dia tidak sanggup dan tidak tega. Bagaimana mungkin ada orang sekejam itu!? Sungguh di luar nalar.

“Edan! Padahal orang tua lemah dan anak-anak. Dia bukan manusia! Perampok itu harus dicari dan dibasmi sampai dapat!” Deka menggeram, kemarahannya mulai membara, tubuhnya bergetar. Meski Rania bukan orang yang dia kenal dekat, tapi emosinya menggelegak hebat mendengar ada orang sadis berkeliaran tanpa peduli usia korbannya.

“Aku harus ke sana, Ndes. Aku harus menyusul Rania. Aku tidak bisa diam saja di sini tanpa melakukan apa pun sedangkan dia sedang kebingungan, panik, dan histeris.”

Deka mengangguk, “Oke, ini kondisi darurat. Coba kita cari penjaga hotel. Kalau tidak salah masih ada kendaraan di garasi belakang. Mungkin bisa kita pakai.”

“Oke, kita segera ke sana. Hageng dan Bian tidak dalam kondisi terbaik, mereka biar tinggal dulu di sini,” ujar Roy.

“Betul... kita bertiga saja cukup untuk saat ini...”

“Ayo. Jangan buang waktu lagi.” Amar Barok melaju cepat menuju lokasi lobby hotel, sementara Roy menyusul di belakang – berkat ringan tubuh, pemuda itu bahkan akhirnya mendahului sang panglima, terutama karena tentunya dia yang paling khawatir dengan kondisi Rania.

Sementara itu Deka berlari paling belakang. Entah kenapa si Gondes tiba-tiba merasa lelah sekali, mungkin karena kondisi kesehatannya sedang tidak prima. Kaki yang tadinya menjejak tanah dengan kokoh, lama kelamaan makin melemah dan gemetar.

Deka mengerutkan kening. Ini tidak biasa.

Ada sesuatu yang...

“Hnnnghh!”

Dadanya sesak sekali, napasnya berat. Dia menghembuskan udara pelan, lalu ditarik lembut, lalu dihembus lagi pelan. Rasanya ada sesuatu yang memenuhi ruang di dadanya, menyesaki dari sudut ke sudut. Deka jatuh terduduk. Ia terengah-engah.

Lapar.

Deka terbelalak.

Suara siapa itu barusan? A-apakah itu efek dari penggunaan ilmu hitam yang ia pelajari? Apakah ia berhalusinasi?

“Kun? Kamu tidak apa-apa?” Amar memanggil sang adik dari kejauhan, membuyarkan khayalannya. “Ngapain?”

“Tidak apa-apa, cuma dadanya terasa sesak saja.” Deka melambaikan tangan dan mendengus. “Jalan duluan saja, cari kunci mobilnya di penjaga hotel. Aku langsung ke garasi.”

“Yakin?”

“Ya, aku tidak apa-apa.”

Amar curiga, tapi tetap mengangguk. Dia berlari meninggalkan Deka yang sudah berdiri kembali. Deka memastikan Amar sudah meninggalkannya ketika dia kembali jatuh terduduk. Deka semakin ambruk ke bawah sembari memegang dadanya.

“Hrghhhh!”

Jangan sekarang. Kendalikan! Kendalikan! Demi semua orang, kendalikan!

Deka menggeram, dia mengira bisa mengendalikan tapi ternyata tidak semudah itu. Meskipun susahnya mati-matian, dia harus bisa mengendalikan. Dia tidak boleh gegabah. Memaksakan diri, Deka bangkit dan mencoba mengejar sang kakak dan Roy.

“Hrrghhh!!”

Ada sesuatu yang makin menekan dada Deka. Sembari menahan sakit, Deka terus berjalan.

Gawat. Sepertinya salah perhitungan. Tidak boleh ada orang yang tahu.

Sial.





.::..::..::..::.





Di suatu sudut kota, satu rombongan motor berhenti di sebuah warung makan Mie Ayam dan Bakso di selatan perempatan Blok Ow. Posisinya berada di sebelah barat flyover Tjinta, di sebuah gang yang di ujung barat tembus ke kawasan perempatan ke arah bonbin dan Omah Abang.

Suasana sebenarnya sepi siang itu, tidak banyak orang hilir mudik melalui jalan yang memang berada tepat di samping jalur lambat ringroad. Orang-orang akan lebih memilih melewati ringroad atau langsung menuju Omah Abang mengitari jalan besar ketimbang masuk ke gang-gang tembusan kecil seperti ini.

Tapi siang itu, jalan tembus itu mendadak menjadi ramai.

Gara-garanya adalah adanya pertemuan dua kelompok. Yang satu mencari, yang lain dicari.

Di satu sisi adalah mereka-mereka yang tersisa dari RKZ. Kondisi mereka letih, lelah, dan belum benar-benar pulih setelah bentrok di gudang dengan Aliansi beberapa hari yang lalu. Mereka sebenarnya sedang jajan mie ayam bersama-sama di warung, namun terpaksa keluar karena datangnya satu rombongan motor lain yang berbondong-bondong mengepung.

“Bajingan. Siapa mereka?” tanya Agun.

Dia berjalan dengan tertatih menggunakan kruk. Saat keluar dari warung Mie Ayam dan Bakso untuk menemui keributan di depan warung. Di bibirnya masih nampak olesan saos cap Bagong berwarna merah.

Galung, Tedi Ganesha, Roni, dan Albino berdiri di samping Tunggul Seto. Sementara sekitar enam orang lain berada di belakang mereka. Saling mendukung dan merapatkan barisan.

Di hadapan mereka kini berdiri beberapa orang berpakaian hitam – dipimpin oleh tiga orang. Yang pertama sudah sangat terkenal dengan sebutan Hantu, yang kedua adalah seorang pria gagah berambut cepak dan yang ketiga adalah seorang wanita yang mengenakan topeng kelinci putih ala Jepang.

Agun terkekeh, “Bajingan su. Jebul orang-orang JXG. Mau apa kalian kesini? Kalau plesir kalian kejauhan! Ini sudah masuk wilayah tengah! Bukan lagi di Selatan!”

Tunggul memalangkan tangannya ke depan Agun, menghentikannya untuk lebih jauh menghina orang-orang JXG yang datang. Dengan napas tertata, Tunggul Seto bertanya, “Apa yang kalian inginkan? Mengapa datang kemari?”

“Satu dua tiga empat, kami ingin kalian tamat. Kekekekekekek...” Hantu mengeluarkan anekdot dan tertawa sendiri sambil menggoyang-goyangkan badan. Tidak ada satu orangpun yang mengikuti tawa sang Hantu. “Lima enam tujuh delapan. Kami datang untuk mengantar kalian ke kuburan. Hahahahaha.”

Saat melirik ke arah dua orang lain, baik si rambut cepak maupun si topeng kelinci sama-sama tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Mereka sangat tenang.

“Sudah kau pindai?” tanya Tunggul pada Galung.

“Sudah.”

“Bagaimana?”

“Tidak seimbang. Mereka lebih fresh. Kita hanya beberapa persen saja kekuatannya.”

Tunggul geram, kekuatan mereka tidak seimbang – RKZ sedang sangat payah karena masih terluka dan tidak dalam kondisi terbaik. Mereka tidak akan bisa menandingi orang-orang JXG ini meskipun jumlah mereka hanya sedikit. Dia berbisik ke arah Galung. “Dengarkan baik-baik, begitu aku beri isyarat, segeralah menyebar. Jangan bergerombol dan jangan ladeni serangan mereka, kita tidak akan sanggup mengalahkan mereka saat ini. Kalau kalian masih hidup, lari sekencang-kencangnya.”

Agun sewot, “Bah! Tidak ada yang seperti itu! Kalian berenam! Serang mereka!!”

Perintah Agun jelas mengagetkan kawan-kawannya, termasuk Tunggul Seto. Karena perintah Agun yang gegabah itu pula keenam orang prajurit RKZ menyerbu ke depan dengan membabi buta. Teriakan-teriakan kencang dikumandangkan. Orang-orang RKZ itu melaju dengan nekat.

Tunggul mendesis marah karena secara hirarki, seharusnya Agun menunggu apapun komando dari Tunggul, bukan menyiagakan dan melepas serangan seperti ini. Ia menatap ngeri ke depan.

“Heaaaaaaaaaaaaaa!!”

Si rambut cepak malah bersidekap. “Hanya enam orang saja. Selesaikan, Usagi-chan. Ladies first.”

“Cih. Bisa-bisanya malah aku duluan.”

Perempuan berpakaian seksi dengan topeng kelinci itu menunduk, ia meluruskan tangan kanannya ke depan, dan menyerongkan posisi tubuhnya sementara tangan kiri bersiap untuk menarik keluar pedang yang cukup panjang dari sarungnya.

Swsh.

Satu lompatan ke depan.

Usagi bagaikan kelinci yang dengan kaki lincah dan jenjangnya mampu melompat teramat tinggi sekaligus langsung menyarangkan serangan ke lawan terdepan. Lalu ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke depan, mundur, ke kanan, menahan serangan ala ampas, bertahan lagi, menyerang balik, menuntaskan dan akhirnya kembali ke posisi semula di samping si rambut cepak.

Pedang Usagi sudah masuk kembali ke sarungnya.

Enam orang anggota RKZ sudah terkapar tak berdaya di atas aspal, semua mengerang kesakitan. Darah menggenang. Apa yang menyerang mereka, tidak terlihat. Apa yang mereka serang, tidak tersentuh.

“Wuahahahahaah! Sudah lama aku tidak melihatnya! Aku tidak melihatnya lama-lama! Hohohoho! Itulah dia! Canteeeek sekaleeee!! Uhuuuuuy!!” Kembali Hantu meracau, ia bertepuk-tangan. “Hiten Mitsurugi-ryu. Gaya Pedang Terbang Negeri Surgawi.”

Agun terbelalak melihat serangan yang sangat-sangat cepat itu. Sangat cepat dan mematikan. Meski tidak sampai membunuh, tapi keenam anggota RKZ sudah tidak lagi mampu bergerak. Agun tidak menduga sama sekali kalau JXG akan bertindak sejauh itu.

Saking kagetnya, dia hanya bisa terpaku di tempatnya.

“Cepaaaat laaaaaarrriii!”

Teriakan Tunggul dari kanan menyadarkan sang anggota RKZ. Agun pun melesat ke kiri dengan menggunakan kruk-nya. Semua teman-temannya sudah berpencar mendahului. Keterlambatannya akan membuat Agun menyesal setengah mati, karena saat itu juga Hantu sudah meloncat dan menubruknya.

Itulah terakhir kalinya orang-orang RKZ pernah melihat Agun.

“Dasar pengecut.” Si rambut cepak mendengus melihat anggota RKZ berlarian dan berpencar, dia melirik ke pasukannya. “Kalian tahu apa yang harus dilakukan. Menyebar, kejar dan habisi mereka. Sisakan satu yang bernama Tunggul. Kita harus memperoleh info mengenai Pak Pos. Selain dia, tidak boleh ada yang lolos hari ini. Semua harus diselesaikan tanpa ampun. RKZ harus tamat hari ini juga. Itu titah dari ketua kita.”

Hanya dengan sekali memberikan komando, pasukan JXG langsung menyebar dan memburu anggota RKZ yang berpencar.

Hari itu, wilayah utara kembali ramai.





.::..::..::..::.





Bian turun dari atas motor Honda CB yang ia culik dari garasi hotel dengan senyum seulas di bibir. Wajah bandelnya terlihat terlalu ceria meski hatinya ketahuan sedang hancur luar biasa. Dia melambaikan tangan ke Hageng yang masih duduk di atas motor dan memegang stang,

Dengan raut muka bahagia, Bian melambaikan tangan. “Oke, nanti aku jemput di kost ya. Sekitar jam sembilan malam. Kamu tunggu aja di sana, nanti aku datang bawa motornya.”

Gemblung! Kebalik, zomplak. Kan aku yang bawa motor.”

“Oh iya... hahahaha.”

“Pokoknya hati-hati, wazpada kalau ada RKZ berkeliaran, mereka tidak akan memaafkan kita zebegitu mudahnya. Paztikan kamu zembunyi, bukan melawan. Karena kalau ada apa-apa, kita tidak akan biza zaling bantu. Jangan zampai juga ketahuan Nanto atau Deka kamu ada di mana. Mereka zih tidak akan marah azal kita tidak aneh-aneh dan nanti malam pulang.”

“Iya... hahahaha, untung kita masih bisa ke kota meskipun dikarantina. Hahahah. Pinter kamu nyolong kunci motor dari meja resepsionis. Wakakakaka. Emang mantep kowe, Dab.”

Wong uedyan. Yang nyolong kunci motornya kan kamu!”

“Hah? Oh iya ya. Hahahahaha.”

Hageng mendengus, badannya masih terasa pegal dan kaku, ada beberapa bagian tubuhnya yang lagi-lagi diperban. Ia sendiri tadinya tidak yakin ia akan sanggup mengantarkan sang sahabat ke tempat tujuan dengan kondisi tubuh seperti yang ia rasakan sekarang. Untunglah ternyata mereka sampai juga. Mudah-mudahan tidak ada masalah macam-macam. Mereka bisa mengerjakan apapun yang mereka inginkan sampai jam sembilan malam, lalu pulang kembali ke hotel seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Beginilah resikonya pergi diam-diam. Toh Nanto, Deka, dan Roy juga sedang tidak berada di tempat.

“Nanti Whatzapp zaja mau dijemput di mana, kalau tidak ada kabar aku tunggu di kozt-ku. Jam zembilan malam teng kita haruz balik ke Pantai Zelatan. Ingat jaraknya jauh. Jangan cari gara-gara, jangan macem-macem, dan jangan mabuk lagi. Biza mati kamu entar!”

Bian mengangguk. Ia kembali melambaikan tangan sembari berjalan masuk ke sebuah gang. Hageng menghela napas. Ia memastikan Bian sampai di depan rumah dan mengetuk pintunya sebelum ia sendiri mengendalikan motor untuk melaju ke arah lain.

Bian menjadi orang selain Hageng yang harus tinggal di hotel sementara Nanto pergi ke kota menggunakan motor, dan yang lain mengantarkan Roy untuk menemui Rania. Wajar saja sebenarnya mereka berdua tidak diajak, karena saat ini Bian sedang dalam kondisi mental yang hancur dan belum sepenuhnya sadar dari pengaruh alkohol, sehingga tidak dapat dipercaya untuk melakukan apapun. Sedangkan Hageng justru dalam masa pemulihan. Ia seharusnya tidak banyak gerak, bahkan tidak meninggalkan pembaringan. Tapi dasare do mbeling, Hageng dan Bian justru ke kota dengan meminjam motor pak satpam hotel tanpa bilang-bilang.

Roy sebenarnya sudah pamit karena alasan urgent ke tempat Rania, tapi Bian sepertinya tidak mendengarnya. Dia terlampau mabuk untuk menyadari apapun sampai beberapa jam kemudian. Ketika Bian tersadar dan tidak menemui siapapun di hotel kecuali Hageng, dia meminjam kunci motor Honda CB milik penjaga hotel yang dibiarkan tergeletak begitu saja dengan teledor dan membawanya kabur dengan mengajak sang T-Rex.

Bian sengaja kabur, untuk dapat sampai ke tempat ini, rumah Beni Gundul.

Bian mengetuk pintu.

Saat dibuka, ada wajah Wati yang sembab karena tak henti-hentinya menangis. Bian menundukkan wajahnya, dia juga tak bisa mengucapkan apa-apa, kecuali satu kata yang menurutnya paling pantas ia ucapkan.

“Maaf.” Bian jatuh berlutut di hadapan Wati, sang kekasih Beni Gundul.

“Ja-jangan begini, Mas Bian. Mas Beni pasti tidak suka melihat Mas Bian seperti ini...”

“Ini semua kesalahanku, Dek. Kesalahanku. Kalau saja aku tidak mengajaknya ke Aliansi, kalau saja aku tidak nekat melawan Bambang Jenggo sendirian, kalau saja aku tidak...”

Wati menepuk-nepuk pundak Bian sembari menahan air matanya tumpah. “Bukan salahmu, Mas. Aku tahu seperti apa Mas Beni itu, dia pasti akan melakukan hal yang sama terhadap kawan-kawannya yang lain, tidak hanya ke Mas Bian saja. Dia memang seperti itu orangnya, kesetiaan terhadap kawannya tidak setengah-setengah. Terbukti untuk Mas Bian dia benar-benar rela berkorban jiwa raga.”

“Aku harus bagaimana sekarang? Aku benar-benar merasa bersalah...”

“Masuk dulu yuk, Mas... masuk dulu...” Wati memapah Bian masuk. Ia lantas mendudukkan Bian di sofa. Membiarkan pemuda itu tenggelam dalam kesadarannya yang masih separuh. “Aku siapkan teh hangat ya, Mas. Sebentar aku bikinkan.”

Bian mengangguk meski matanya tetap terpejam. Ia bisa mendengarkan suara langkah kaki Wati meninggalkan ruang tamu. Ia lelah sekali, sangat-sangat lelah. Dia mau tidur di sini dulu. Boleh tidak?

Bian tidak menyadari kalau di ruang tamu Wati sebenarnya ada dua orang yang juga sedang berkunjung. Mereka geleng kepala melihat kelakuan sang tamu terakhir yang tidak ada sopan-sopannya itu. Datang ke rumah orang kok mabuk begini? Merepotkan saja!

“Siapa dia? Kenapa datang dalam keadaan mabuk seperti ini?”

“Kemungkinan besar dia orang yang diberikan buku ilmu kanuragan yang kita sampaikan ke Beni tempo hari, wajahnya sama seperti yang dulu kita lihat di foto. Lihat gerakannya, dia tahu ilmu bela diri – tahu tinju, tahu Ki, tapi tidak menguasai. Dari postur tubuhnya sebenarnya cukup kencang, kuat, dan potensial. Otot-ototnya sudah terbentuk. Sayang sekali dia belum bisa memelihara Ki dengan baik sehingga tertinggal dari yang lain.”

“Bagaimana bisa mempelajari Ki dengan baik dan benar kalau hobinya mabuk seperti ini? Lebih mudah menjerumuskan dia ke ilmu hitam.”

“Si... siapa kalian? Room service?” Bian benar-benar mabuk, meski akhirnya dia tahu ada dua orang lain yang duduk di sampingnya, tapi matanya yang terpejam terlampau berat untuk dibuka. Dia tidak menyadari siapa yang sedang berbicara itu. “Aku mau protes kenapa di sini tidak ada kulkasnya! Mana kulkasnya?”

Salah satu dari dua sosok itu tersenyum saat menatap Bian. “Dia akan menjadi proyek yang sangat menarik untuk menghadapi ancaman Ki Juru Martani yang mulai terdengar gaungnya di seantero kota. Dia bahkan bisa jadi salah satu penyeimbang. Seperti pembicaraan kita sebelumnya, kita harus mencari mereka-mereka yang bisa jadi andalan menghadapi anjing-anjingnya Ki Juru Martani, tanpa kita harus turun langsung. Jelas kita sudah tidak muda lagi, tidak akan sanggup menghadapi pasukan hebat yang dibentuk oleh keturunan dari Raden Randupanji itu.”

“Yang seperti ini? Menarik? Tidak salah lihat?” Orang yang satu lagi menunjuk Bian, kumis tebalnya bergerak-gerak dan bergoyang. “Yang seperti ini?”

Dia mendorong Bian pelan dan pemuda itu ambruk ke samping dengan mudahnya.

Si Bandel memang belum sepenuhnya sadar karena hari-hari terakhirnya ia habiskan dengan mabuk dari pagi ketemu pagi. Masih untung sampai saat ini dia belum mati karena kelebihan asupan alkohol. Jadi setidaknya dia masih bisa sesekali sadar, dia tahu ada dua orang yang saat ini berada di sampingnya, tapi... siapa mereka ini?

Bian mencoba berdiri dengan sempoyongan setelah didorong. Kemana kesadarannya saat diperlukan? Bangsat. Ia mencoba membuka matanya yang berat.

“Siapa kelen...? Ngapain di mari? Minta dihajaaar, heeeeh?” kedua tangannya bersiap dengan pose tinju meski matanya kadang merem kadang lebih merem. Kaki Bian juga bergoyang-goyang tidak jelas. “Tidak ada yang boleh nyolong ment0s pemberian putri duyungkuuu! Sialaaaan kalian! Pergi! Cari permen sendiri!!”

Pose perkasa itu hanya bertahan sebentar, Bian akhirnya ambruk ke sofa lagi.

Kedua orang di depan Bian kembali bertatapan.

“Dia payah sekali. Mabuk begini apa dapetnya? Kenapa kita harus memberikan ilmu yang amat berharga ke orang menyedihkan seperti dia? Bukankah ini sia-sia belaka?” Sang pria berkumis - salah satu dari dua orang di hadapan Bian berkata dengan ketus, dia mendengus saat melihat Bian yang terkapar. “Lihat ini. Dia hanya seperti sampah. Siang bolong begini mabuk. Berdiri saja tidak bisa, bagaimana dia nantinya bisa mempelajari ilmu kanuragan sehebat itu? Kamu yakin kita akan mewariskan ilmu kanuragan kita yang berharga padanya?”

Orang pertama yang jauh lebih tenang mengangguk, “Tidak masalah. Aku rasa dia dapat bangkit dari masalah mabuk ini setelah dia memahami apa artinya ini semua untuk Beni Gundul. Dengan memberikan ilmu ke pemabuk ini, kita sekaligus telah memenuhi wasiat dari Beni. Untuk mengangkat kemampuan sahabatnya. Itu pesan terakhirnya.”

Orang yang kedua melengos, “Aku masih tidak yakin orang seperti ini bisa dipercaya. Bagaimana kalau dia menggunakannya untuk hal-hal yang merugikan banyak orang? Aku tidak akan ikhlas kalau seperti itu penggunaannya!”

Orang pertama tertawa, “Kita memang tidak mengenal dia, kita tidak tahu bagaimana sifat dan apa kerjanya, tinggal di mana, dan siapa orangtuanya. Tapi satu hal yang sangat aku pegang teguh adalah: Beni mempercayainya. Dia bahkan melindungi orang ini dengan nyawanya. Rasa-rasanya aku sangat percaya penilaian Beni. Wati tadi juga terlihat tidak memendam dendam sama sekali pada orang yang telah menyebabkan kekasihnya terbunuh. Itu menandakan orang ini punya potensi.”

“Iya juga sih.”

“Itu yang pertama. Yang kedua... dari keterangan Beni Gundul aku tahu dia tergabung ke Aliansi, lebih tepatnya ke kelompok Lima Jari. Mereka adalah harapan kita untuk menyelesaikan permasalahan Ki Juru Martani ini. Karena dari semua kelompok yang saat ini berada di kota, merekalah yang paling tidak bermasalah. Atau setidaknya belum. Sejauh ini mereka bahkan mampu mengatasi KSN dan RKZ. Bukankah itu sebuah prestasi?”

“Prestasi dengan korban jiwa.”

Jer basuki mawa beya.”

Wati datang membawakan segelas teh hangat dan dua gelas kopi. Dia melihat Bian yang sudah mendengkur. Wati meletakkan gelas teh di depan Bian, satu gelas kopi di depan pria tua tenang, dan satu gelas kopi di depan si kumis berangasan. Tidak lupa meletakkan sepiring cemilan pisang goreng di hadapan mereka.

“Satu untuk Pakdhe Gito, satu lagi untuk Pakdhe Gati. Monggo diunjuk Pakdhe, silakan diminum, maaf seadanya.”

Matur nuwun, Nduk. Terima kasih.”

“Justru saya yang seharusnya berterima kasih sekali atas kedatangan Pakdhe berdua. Berkat Pakdhe Gito dan Pakdhe Gati, kami berdua tidak pernah kekurangan tempat untuk berteduh, atau bingung cari makan untuk disajikan di meja. Selama kami tinggal di kota ini dari awal sampai sekarang, meski hidup sederhana, tapi kami berdua bahagia – yah meskipun kami berdua baru menikah secara siri dan belum resmi, tapi Pakdhe berdua mempercayakan kebun dan ladang untuk kami garap.”

Mung kebon cilik-cilikan, Nduk. Hanya kebun kecil saja. Cuma cukup buat nanam singkong,” ujar si pria berkumis yang ternyata bernama Gati Waskito – atau seperti bagaimana Wati memanggil, Pakdhe Gati.

“Itu sudah jadi sumber rejeki kami, Pakdhe. Hasilnya sama sekali tidak Pakdhe minta jadi bisa saya jual di pasar. Sungguh-sungguh kami berterima kasih.” Wati meneguk ludah seakan-akan berat mengucapkan kalimat-kalimat selanjutnya, “Ini sekaligus jadi acara saya pamit, Pakdhe berdua... karena setelah ini saya mau pulang ke desa saja. Mau membantu Mamak dan Bapak di sawah. Di kota... rasanya sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa saya lakukan dan pertahankan. Semuanya sudah hilang lenyap tak berbekas, termasuk pria paling baik dalam hidup saya.”

Wati menunduk dan terisak.

“Ya ya ya... wes..., Nduk. Wes, ojo ditangisi.” Pakdhe Gito Waluyo yang lembut menepuk pundak kekasih Beni Gundul itu dengan kebapakan. “Kami juga cuma bisanya membantu seadanya. Tahu sendiri kami ini sudah tidak punya daya apa-apa lagi di kota ini. Kami hanyalah sisa-sisa mesin tua rombengan yang hanya laku di kilokan.”

“Huaaaaheeeeeeemmmmmmm.” Bian melenguh keras dan memperbaiki posisi tidurnya.

Gito dan Gati saling berpandangan, lalu menggelengkan kepala.

Wati tersipu-sipu karena agak malu pada kedua tetua yang dihormatinya. “Maaf juga ini ada tamu tiba-tiba datang yang... sepertinya agak mabuk. Ini temen karibnya Mas Beni, Pakdhe. Namanya Mas Bian.”

“Jadi ini orang yang dulu kalian bagi ilmu kanuragan tangan kosongnya? Yang Beni Gundul menuliskan apa yang kami berdua sampaikan itu?” tanya Pakdhe Gati.

Leres, Pakdhe. Bener ini orangnya.”

Gito dan Gati saling berpandangan, mereka mengangguk-angguk hampir bersamaan.

“Apakah dia orang baik?” tanya Pakdhe Gito.

“Dia setia kawan, selalu bekerja keras kalau demi teman, tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, dan setahu saya dia sangat baik, Pakdhe.”

“Bagaimana?” tanya Gito.

“Sepertinya kita sepakat.” Gati mengangguk.

“Wati... kami ingin kamu melakukan sesuatu untuk kami, semacam permintaan terakhir sebelum kamu pergi meninggalkan kami berdua kakak beradik kesepian di kota ini.”

“Apa itu, Pakdhe?” Wati kebingungan. Apa yang mereka berdua inginkan? Kedua orang tamu agung Wati ini memang unik. Mereka kemana-mana mengenakan pakaian Jawa warna coklat dari ujung blangkon sampai ke sendal selop. Keduanya seperti mantan anggota keluarga dari orang penting di era-era lama, yang kini hanya sanggup menikmati sisa-sisa kejayaan yang mulai tergerus oleh jaman. Ada aura ningrat dari Pakdhe Gito dan Pakdhe Gati. Aura yang membuat Wati dan almarhum Beni Gundul selalu tenang. Meski keduanya tidak kembar, tapi sangat kompak sekali. Setahu Wati mereka berdua tidak pernah punya keturunan, sehingga mengangkat Beni dan Wati sebagai anak temu keduanya.

Pakdhe Gito tersenyum. “Ambil buku tulis dan pena. Kami berdua secara bergantian akan menjelaskan sesuatu... nah tugasmu adalah untuk menuliskannya dan memberikan pada pemuda ini. Seperti yang pernah dilakukan Beni Gundul. Bersedia?”

“Tentu saja, Pakdhe.”

“Kita mulai.” Pakdhe Gati menyalurkan tenaga Ki pada Wati tanpa sepengetahuan kekasih Beni Gundul itu. Dia tidak akan pernah paham apa yang terjadi.

Wati mengambil dua buku tulis dan beberapa bolpen, lalu sedikit demi sedikit mendengarkan ucapan kedua tetua sembari mencatatnya dengan detail. Tak terasa detik demi detik berlalu, menit demi menit, jam demi jam. Hebatnya, Wati tidak kelelahan dan mampu menyelesaikan tugas itu dengan cukup cepat.

Bunyi dentang jam berbunyi mengagetkan si Bandel yang tadinya masih terlelap. Pemuda itu mengejapkan mata. Sial, kenapa tidak ada yang membangunkannya? Apakah sudah waktunya masuk kelas? Eh, itu tadi bel apaan ya? Bel sekolah bukan?

Bian yang merasa pusing mencoba duduk. Kepalanya berputar dan matanya terasa berat dibuka. Seketika itu juga dia melihat dua buku ditumpuk di depannya.

Ada secarik kertas dengan satu tulisan.

Dari Beni Gundul untuk Mas Bian.

Dua buku ini? Dari Beni Gundul? Masa sih? Buku apalagi ini yang ada di depannya? Tulisannya seperti bukan tulisan dari Beni. Ini jauh lebih apik dan rapi.

Bian mengucek mata untuk membaca apa yang tertera di bagian depan. Bagian cover seperti hanya ditulis dengan tangan. Wah, siapapun yang bikin kitab ini pasti tidak niat. Kenapa juga ditulis pakai tangan. Ini jaman apa woy. Kenapa tidak pakai aplikasi saja? Kan lebih kekinian. Lagipula ini jurus apa sih? Apa ini bacanya?

Hi... hika... Hikayat Pemuja Langit.

Bian tertegun. Otaknya yang belum berfungsi dengan lancar bekerja seadanya. Kayaknya pernah denger jurus yang mirip seperti itu... tapi di mana ya? Kayak tidak asing.

Ah entahlah, dia terlalu intoxicated untuk memahami apapun. Dia juga tidak paham ini ilmu apa, yang penting dia pelajari saja, karena toh ini adalah wasiat dari Beni Gundul.

Ada teh yang sudah dingin di atas meja. Bian meminumnya dalam sekali teguk.

“Eh, sudah bangun, Mas?”

“Iya, Wati. Eh, sudah berapa jam aku tidur ya? Maaf datang-datang aku malah jadi merepotkan.”

“Tidak apa-apa, Mas. Aku paham kok. Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk melalui kesedihan. Aku harap cara Mas Bian tidak merugikan Mas Bian sendiri.”

Bian manggut-manggut. “Terima kasih juga buku yang kamu berikan ini.”

“Itu dari mas Beni, kok. Bukan dari saya, Mas. Saya hanya membantu menuliskan saja. Mohon dipelajari ya, Mas.”

Bian mengangguk.

“Eh iya, saya mau ke makam Mas Beni sebentar. Dekat kok tinggal jalan saja. Mas Bian mau ikut?”

“Boleh deh. Aku belum ke makamnya.”

Wati mengangguk, “Mas Beni pasti senang sekali Mas Bian menjenguknya.”

Bian tersenyum. “Mudah-mudahan.”

“Yuk...”





.::..::..::..::.





Nanto dan Hanna masuk ke ruang tempat Kinan berada. Mereka bertiga saling berbagi senyum. Nanto mendekat ke sang kekasih yang terduduk lemah di ranjangnya.

“Hei kamu,” ucap si Bengal sembari melangkah pasti ke arah wanita jelita sang pemilik hati.

“Hei kamu juga.” Kinan membentangkan tangannya.

Keduanya pun berpelukan. Nanto berulang kali mengecup dahi dan pipi sang kekasih. “Aku kangen banget sama kamu.”

“Aku juga...”

Sementara sepasang kekasih itu melepas rindu, Hanna memalingkan muka. Wajahnya memerah. Meski memaksa ikut si Bengal, adegan ini bukan adegan yang ingin dia saksikan. Dia memang tidak bermasalah dengan Kinan – gadis itu sudah memenangkan hati Nanto, dan mereka juga sudah jadi sahabat. Tapi setidaknya dia ingin merasakan secuil saja rasa itu. Dia sudah berusaha untuk tidak cemburu, tapi dia tetap wanita biasa yang tidak mungkin menahan perasaannya.

“Ehem.” Hanna sedikit terbatuk. Sengaja.

Nanto dan Kinan tersadar dari kemesraan mereka.

“Kak Hanna.” Kinan tersenyum, “Maaf merepotkan ya. Kalian jadi ke pemakaman tadi?”

“Jadi. Kami kesana dulu sebelum berangkat menjenguk kamu.” Hanna tersenyum dan duduk di samping kanan pembaringan Kinan, sementara Nanto duduk di kiri. Tangan kiri dan kanan Kinan masing-masing menggenggam jemari Nanto dan Hanna. “Kondisi kamu gimana sekarang?”

“Sudah membaik. Agak shock, tapi sudah lebih membaik.”

“Papa Mama kamu sudah ke sini?”

Kinan mengangguk lemah. Hanna menyadari ada yang tidak beres. Sepertinya pertemuan Kinan dan kedua orangtuanya tidak berjalan selancar yang diinginkan. Hanna menarik napas panjang, wajar sih kalau mengingat kondisi mereka semua saat ini. Bukan kabar yang tepat yang bisa disampaikan ke orang tua dengan cerah ceria.

Hanna dan Kinan saling berpandangan, keduanya lantas melirik ke arah si Bengal dengan bersamaan. Nanto pun langsung kebingungan ketika melihat kedua wanita jelita di depannya menatapnya dengan pandangan yang aneh. “Eh, ada apa nih. Kok kalian ngeliatinnya gitu amat?”

Hanna meremas tangan sang sahabat. “Aku keluar dulu ya. Kalian sepertinya butuh ngobrol berdua.”

Kinan tersenyum dan mengangguk. “Makasih Kak.”

“Mau kemana?” tanya Nanto.

Hanna tersipu, masih ada sedikit perhatian rupanya, meski hanya sedikit tapi itu cukup berarti. “Ke kantin saja. Minum teh atau kopi.”

“Oke.”

Hanna pun berdiri dan mengecup kening Kinan dan mengeluskan tangan di perutnya. “Sehat-sehat ya. Kalau nanti aku tidak balik ke sini dari kantin, besok aku datang jenguk kamu seperti biasa.”

Kinan mengangguk. “Makasih ya.”

Hanna pun berlalu sembari meninggalkan Nanto dan Kinan, memberikan ruang untuk sepasang kekasih yang sudah lama tak berjumpa itu.

Saat Hanna sudah benar-benar pergi, Nanto berdiri, mendekatkan kepalanya ke Kinan, dan mengecup bibirnya lembut. Ia mengeluskan hidungnya ke hidung sang bidadari pujaan. “Aku benar-benar rindu.”

“Kami juga rindu.”

Nanto mengerutkan kening, ia kembali duduk di kursinya, di samping kiri Kinan. “Kami?”

“Mas...”

“Ya?”

“Kamu kemarin nanya kan kenapa aku masuk rumah sakit?”

“Iya. Kenapa emang?”

“Kondisiku sedang sangat lemah, ditambah mungkin stress, dan campur aduk lainnya.”

“Lho, kenapa stress?”

Kinan menarik tangan Nanto dan meletakkannya di perutnya dengan gerakan selembut mungkin. Si Bengal meneguk ludah, apa yang...

“Mas. Aku sedang mengandung anakmu.”

Nanto terbelalak. Ia menarik tangannya dengan cepat dari perut Kinan, ia juga mundur dari posisinya sekarang sembari menatap sang kekasih dengan pandangan tak percaya. Kursinya sampai hampir terjatuh karena ia sangat terkejut.

“Ja-jangan bercanda.”

Kinan menggeleng kepala.

“Ka-kamu serius!?”

Kinan mengangguk.

Anggukan kepala Kinan bagaikan akumulasi adegan horor paling seram yang pernah disaksikan si Bengal seumur hidupnya. Saat ini kepala Nanto bisa diibaratkan sebagai landskap Hiroshima dan bom atom baru saja dijatuhkan di paparannya. Semuanya bubar mawur. Pandangannya menatap mata Kinan dengan wajah yang berubah drastis.

Nanto kembali meneguk ludah dengan kelu. Mereka berdua masih sama-sama muda, sama-sama baru mulai kuliah, dan Nanto sendiri sedang berusaha mencari kerjaan baru. Lalu tiba-tiba ada ini? Bagaimana dia menjelaskannya ke semua orang? Ke Om Darno? Ke Tante Susan? Ke anak-anak Lima Jari?

Sekali lagi tindakan gegabahnya membawa masalah, tapi celakanya dia tidak akan melalui ini sendirian karena Kinan juga terlibat di dalamnya. Sangat-sangat terlibat.

Apa yang sekarang harus diucapkan? Apa yang sebaiknya dilakukan? “Aku...”

Gleg.

Nanto meneguk ludah. Harus bagaimana sekarang? Kinan menatapnya dengan pandangan sendu, loyo, dan layu. Menunggu apa yang hendak diucapkan oleh pria yang paling diharapkan olehnya itu. Apa yang akan terjadi pada mereka berdua kelak?

Apa yang akan terjadi pada jabang bayi tak bersalah yang kini tengah dikandung Kinan?

Bagaimana, Nanto?





.::..::..::..::.





Nada tunggu.

Lagi-lagi tidak ada jawaban untuk beberapa saat lamanya.

Hageng berjalan menuju apartemen Eva dengan terburu-buru setelah memarkirkan motornya. Mau tidak mau ia jadi khawatir juga, khawatir akan keselamatan sang wanita jelita yang sudah menjadi temannya itu. Hageng menelpon Eva sembari menatap ke atas gedung, mencoba mencari di mana letak kamar apartemen Eva. Seakan-akan ia akan menemukannya dengan cara seperti itu – padahal ya tidak mungkin juga.

Hageng mempercepat jalannya, telpon masih tetap di telinganya.

Nada terima. Akhirnya.

“Eva?”

“Iya...” Si cantik itu berbisik teramat pelan. Kenapa dia berbisik? Ada getaran yang berbeda di nada suaranya, seperti... sedang sembunyi?

“Kamu di rumah?”

“Di... di rumah... aku takut mereka akan datang lagi... Aku takut banget...”

“Mereka ziapa? Tolong lebih jelaz. Zumpah, kemaren kamu membuatku ketakutan. Hahahaha. Aku benar-benar tidak paham mazalah apa yang menimpamu. Tapi aku zegera datang. Bertahanlah. Aku zudah ada di bawah apartemenmu, mau naik ke ataz.”

“Cepatlah... aku mendengar suara... aku... sepertinya ada yang masuk ke dalam...”

Ada suara napas menderu dari Eva, si cantik itu pasti sedang dalam kepanikan luar biasa, seakan-akan sedang mencari tempat sembunyi. Hageng tahu dia harus lebih cepat. Masuk ke lobi – meja resepsionis kosong. Hageng mencari-cari posisi lift.

Sial.

Ada tanda lift sedang maintenance.

Kenapa di saat-saat seperti ini lift apartemen malah rusak? Hageng mulai membuka pintu darurat dan berlari naik tangga ke atas yang berputar-putar. Bukan saat yang tepat untuk menghitung dia harus naik berapa tingkat. Pokoknya naik!

Dengan terengah-engah Hageng membalas telpon Eva. “Aku datang zekarang. Mezti lewat tangga, lift-nya ruzak.”

“Tolong ke sini secepatnya. Bawa aku kemana saja. Aku pasti akan ikut kamu. Bawa aku kemanapun kamu mau. Ke-kemarin mereka datang dan mengancam, tapi hari ini pasti mereka akan... akan... ka-karena aku tidak bisa...” bisikan Eva makin terdengar tak beraturan, ditambah kondisi jaringan ponsel yang putus-putus membuat Hageng geregetan.

Hageng tidak biasa seperti ini, tapi karena sangat mengkhawatirkan keselamatan Eva dia jadi sangat-sangat panik. Nada suara Hageng tercekat, tak mau keluar dari mulutnya. “Aku zudah hampir zampai.”

Terdengar bunyi sesuatu yang keras di telepon, seperti ada yang dibanting. Terdengar satu teriakan buas, berteriak mencari di mana Eva berada. Berulangkali terdengar teriakan memanggil nama perempuan yang sedang sangat ketakutan itu terdengar.

“Sudah masuk... dia sudah masuk...!! Tolo...”

Sambungan telepon terputus.

Hageng terkesiap.

Jantungnya berdegup kencang, perasaannya benar-benar tidak nyaman, situasi sepertinya sudah sangat gawat. Dalam hatinya ia berulangkali menanyakan pertanyaan yang tidak ada jawabannya.

Apa yang terjadi?

Pemuda bongsor itu mempercepat larinya ke atas. Sial, kenapa juga rusuknya terasa begini menyiksa justru di saat-saat penting. Tapi dia tidak boleh berhenti sekarang! Dia harus menahan rasa sakitnya dan segera ke tempat Eva! Dada Hageng berdegup sangat kencang, terlalu kencang malah. Pertama karena ia tidak tahu apa yang terjadi, kedua karena naik tangga sampai lantai entah berapa ini.

Siapa orang yang sedang menyerang Eva?

Kenapa juga wanita cantik itu memilih tinggal di lantai yang tinggi? Kenapa tidak lantai satu saja di sebelah minimarket? Selain Hageng tidak perlu repot naik tangga ke atas, dia juga bisa beli cemilan.

Huff.

Akhirnya Hageng sampai juga di lokasi yang sejak tadi ia cari-cari. Benar kan ini lorong yang menuju ke apartemen Eva? Sembari mengelap keringat dengan punggung tangan, sang T-Rex menilik alamat sekali lagi di handphone.

Bener kok, ini lantai yang benar.

Hageng berlari menuju lokasi apartemen wanita cantik itu dan...

Ia tertegun.

Pintu apartemen Eva sudah terbuka lebar. Tidak ada bekas-bekas dobrakan. Orang yang masuk pasti menggunakan kunci duplikat. Dari mana ia bisa mendapatkannya?

Dengan langkah hati-hati, Hageng masuk ke dalam. Apartemen itu berantakan, semua barang ada di lantai, kalaupun tidak di lantai semuanya berserakan di mana-mana. Hageng melangkah pelan sambil melirik ke kanan dan kiri. Kosong. Tidak ada tanda-tanda siapapun di dalam.

Ada angin yang sekilas memainkan rambutnya kribonya.

Sang T-Rex melirik ke samping.

Jendela sudah terbuka, balkon terlihat menganga dan tirainya bergelombang ditiup angin. Orang yang mengejar pasti mengira Eva sembunyi di balkon.

Mata Hageng mengitari ruangan. Ada bekas pergulatan yang kentara, beberapa barang seperti lampu sudut terbanting ke lantai, mungkin karena tak sengaja tersenggol. Eva pasti melakukan perlawanan. Cewek pintar.

Lalu di mana mereka sekarang?

Hageng membuka pintu kamar mandi perlahan-lahan. Tidak ada siapapun di dalam, relatif rapi – pertanda kalau Eva dan pengejarnya tidak masuk ke sini. Jadi kemungkinan ada di kamar tidur.

Hageng melongok ke dalam kamar tidur, tidak ada siapa-siapa juga. Kosong dan sepi. Tapi dari semua barang-barang yang berantakan ini, kondisi pembaringan justru paling rapi. Ruangan ini juga sangat wangi, ada bau parfum Eva di sini.

Kemana Eva?

Eh, tapi bener kan ini apartemen cewek itu? Jangan-jangan dia salah masuk?

Hageng melirik ke ponsel sekali lagi. Lantai yang benar, nomer apartemen yang benar. Sudah bener kok alamatnya. Ah iya, itu pigura foto selfie Eva di atas meja di samping pembaringan. Ini benar apartemen Eva tapi semuanya sudah berantakan. Bahkan pintu pun terbuka lebar tanpa ada seorang pun di dalam.

Kenapa tadi pintunya terbuka ya? Apakah Eva berhasil melarikan diri dari pintu depan?

“Eva? Kamu di mana? Mana di mana? Mana di mana anak kambing zaya?” kata Hageng sembari melangkah dengan hati-hati. Berharap ia tidak bertemu dengan siapapun penyerang Eva secara mendadak. “Eva? Ayo kita makan nazi goreng berzama-zama lagi. Eva?”

Perasaan sang T-Rex mulai tak nyaman. Sepertinya ada yang tidak beres ini, suasana ini terlampau sepi sekaligus terlalu misterius, ada nuansa gelap yang hadir di apartemen terang benderang milik Eva, tapi dia tidak bisa menyimpulkan apa yang tidak beres. Yang jelas jantungnya berdegup dengan kencang. Angin yang berhembus kencang dari jendela yang terbuka di ruang tengah membuatnya tidak bisa fokus.

Kenapa dia dibuat tertarik menuju ke arah balkon?

Hageng melangkah pelan.

Matanya melirik ke kanan dan kiri. Ia berhati-hati sekali, tidak ingin menimbulkan gerakan yang tidak perlu. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang...

Sungguh ia penasaran.

Hageng melongok dari balkon.

Apa yang selanjutnya ia lihat tidak akan pernah ia lupakan sepanjang sisa hidupnya.

Ada seorang wanita di bawah sana. Jaraknya lumayan jauh, tapi dari sini sudah terlihat apa yang terjadi. Kepalanya pecah, darah muncrat membasahi lantai pinggir kolam renang. Meski wajahnya tertutup rambut, tapi tubuh seksi dan pakaian itu...

Hageng meneguk ludah.

...Eva?

Beberapa orang yang kebingungan dan panik mengerumuni tubuh wanita itu sembari mendongak ke atas dan menunjuk-nunjuk ke arah balkon tempat Hageng berada.

Tidak. Tidak mungkin... Eva? Apakah itu benar-benar Eva? Tidak mungkin Eva bunuh diri, dia penuh dengan semangat hidup. Dia baru saja minta ditolong oleh Hageng. Lihat tempat ini, seperti ada bekas perlawanan. Apakah ia dicelakai seseorang?

Siapa yang tega melakukan ini?

Hageng yang baru saja memegang pagar di pinggir balkon melihat ke tangannya. Ada sesuatu yang lengket dan berwarna merah.

Darah!?

Tiba-tiba saja ada suara bentakan di belakang sang T-Rex.

“ANGKAT TANGAN!! JANGAN BERTINDAK MACAM-MACAM!! ANGKAT TANGAN!!”

Hageng menengok ke belakang, beberapa orang polisi bersenjata masuk ke apartemen Eva ditemani sekuriti apartemen. Sang polisi menodongkan senjata ke arahnya. Ada yang berpakaian seragam coklat, ada yang seragam hitam, ada yang preman.

Bagaimana mungkin mereka bisa ada di tempat kejadian secepat ini?

Dengan mata terbelalak sang T-Rex menatap mereka. “Zaya tidak... bukan zaya yang...”

Sial. Ini pasti jebakan. Siapa yang menjebaknya? Apa yang terjadi pada Eva?

“ANGKAT TANGAN!!”





BAGIAN 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2


no quote
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd