Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
Bimabet
BAGIAN 2
KOSONG




Dua jalan bercabang di hutan, dan aku—
Aku mengambil jalan yang jarang dilalui,
Dan hal itu telah membuat semuanya berbeda.
- Robert Frost




Krgh
.

Satu tubuh terjatuh dengan kaki patah, mungkin permanen, mungkin bisa sembuh dengan bulir-bulir jompa-jampi keajaiban yang ditiupkan oleh Tabib paling cendekiawan. Meskipun begitu, kalaupun pulih, akan butuh waktu bertahun-tahun baginya untuk bisa kembali berjalan dengan normal.

Satu hal yang pasti, dia sudah tak lagi menjadi ancaman bagi siapapun mulai hari ini.

Seorang pria berambut cepak menepuk-nepuk debu di telapak tangannya sementara satu tubuh kesakitan mengerang di bawah kakinya. Dia baru saja membuat Tedi Ganesha tak akan bisa mengkhianati siapapun lagi. Dia telah membuat pemuda itu menjadi orang cacat. Tedi hanya berteriak-teriak kesakitan sembari memegangi kakinya yang sudah berubah arah. Ada tulang yang keluar menembus kulitnya, darah tumpah kemana-mana.

Sakitnya tak terbayangkan.

Tapi si rambut cepak tak peduli. Dia hanya menuntaskan tugasnya.

Nii-san.”

Sang pria berambut cepak menoleh ke samping – ada seseorang yang baru saja memanggilnya dengan sebutan kakak. Di sana si topeng kelinci Usagi-chan sudah mengunci tangan Albino, pemuda rekan Tedi Ganesha. Usagi-chan seperti menunggu keputusan yang sebaiknya diambil dengan melirik ke arah si rambut cepak.

Sang kakak menggeleng. “Kita sudah dapat si Tunggul Seto. Kita tidak membutuhkan yang lain-lain lagi sebagai tahanan. Yang itu terserah mau diapain. Toh cecunguk-cecunguk bodoh macam mereka ini memang butuh efek jera. Berani-beraninya menculik Non Nada.”

Begitu mendengar ucapan sang pria berambut cepak, wanita bertopeng kelinci itu memutar tangan sang anggota RKZ yang sudah sangat sering menjadi kutu loncat dengan berpindah-pindah kelompok itu dengan satu putaran yang tak terbayangkan dapat dilakukan. Tangan Albino mengikuti putaran dari Usagi-chan, tiga ratus enam puluh derajat. Kaki Usagi dijejakkan di dada sang pria berkulit putih yang menahan sakit teramat sangat.

Putaran kencang Usagi menyebabkan ada sesuatu yang lepas.

Krrgkh.

Entah engsel, entah urat syaraf, entah semangat yang masih tersisa. Ada yang tak lagi berada di tempatnya semula. Albino luruh ke tanah tanpa daya, sama seperti yang terjadi pada Tedi Ganesha, akan butuh waktu baginya untuk kembali pulih. Kiprahnya di dunia hitam usai sudah. Hanya si rambut hijau Roni yang berhasil lolos dari maut, dia kabur dengan menumpang motor orang yang lewat.

Nii-san, sepertinya sudah cukup yang di area sini. Kita harus mencari yang lain-lain lagi. Sampai sejauh ini, Bambang Jenggo belum nampak. Mayatnya juga tidak ditemukan di gudang RKZ – itu artinya dia masih hidup. Dia target utama kita.”

“Dari sini ke utara, mungkin kita bisa lanjut ke pertigaan jalan layang Tjinta. Habis itu kita bisa ke kiri - ke arah Mal, atau ke kanan arah ke bandara. Kamu pilih yang kemana?”

Usagi tersenyum menggoda dengan tawaran dari si rambut cepak, “Mungkin ke...”

Kalimat berikutnya terhenti karena tak lama kemudian muncul tiga orang pria yang sepertinya baru saja turun dari sebuah mobil berwarna hitam. Usagi-chan, si rambut cepak, dan pasukan mereka langsung bersiaga. Mereka tidak main-main karena tiga orang yang baru turun dari mobil itu adalah Pasat, Handoko Hamdani, dan Ki Kadarusman - tiga punggawa dari Qhaoz-Kings.

“APA-APAAN INI?” Handoko berteriak marah.

SI rambut cepak menengok ke arah tim-nya dan menggeleng, melarang mereka bergerak dengan alasan apapun.

“Ini wilayah utara, tidak ada orang yang boleh mengacau di utara kecuali kami ijinkan,” ucap Handoko Hamdani dengan tegas sambil berjalan dengan langkah berani ke depan si rambut cepak. Dia tidak peduli apakah orang-orang di depannya ini punya jabatan atau tidak di JXG, di sini mereka bukan siapa-siapa. Lewati wilayah boleh, mau main silakan, asyik indehoi boleh, ihik-ihik ga ada yang ngelarang. Tapi mengacau ketentraman? Tidak ada cerita. Setahu mereka Ki Kadar dan kedua muridnya, belum ada perjanjian apapun antara Pak Zein dan om Janu seputar ijin JXG memburu RKZ di wilayah utara.

Kebetulan sekali mereka bertiga lewat wilayah ini dan melihat kiprah Usagi dan kawan-kawan. Pasat dan Ki Kadar berdiri di belakang Handoko, masing-masing menatap tajam ke arah Usagi-chan dan si rambut cepak.

Sementara si rambut cepak dan Usagi terdiam menghadapi mereka, kemunculan Handoko, Pasat, dan sang guru justru membuat satu sosok bahagia karena dia sudah bosan setengah mati. Hantu meloncat ke depan Handoko dan cekikikan berulang. Tubuhnya bergoyang-goyang aneh, sementara ia melirik ke tiga orang yang di depannya secara bergantian.

Hrmph. Ini wiliyih itiri, tidik idi ying bilih mengici. Jyaahahaahaha... eo Bang Dul, minta nasi gorengnya satu, harus pedes cabenya tujuh belas. Tidak usah pakai sayuran, banyakin bawangnya. Jyahahaha.” Kembali Hantu meracau tidak jelas, dia bergoyang-goyang dengan menyeramkan. Matanya menatap tajam ke arah Handoko Hamdani. “Kenapa melotot begitu? Aku benci lihat mata kamu. Siap aku ajak ke neraka? Kekekeke.”

“Ha-Hantu...” Pasat yang melihat sosok mengerikan itu justru penasaran karena Hantu mengingatkan dia pada seseorang – pada sang Kakak Ipar yang ia kira sudah tiada. Pemuda itu mencoba maju ke depan. Namun tangan Ki Kadar menghalangi. Tetua QZK itu menggelengkan kepala. Si rambut coklat terpaksa menurut meski dia penasaran sekali.

“Oy, Hantu. Jangan gegabah.” Si rambut cepak mencoba mengingatkan, karena yang mereka hadapi kali ini adalah lawan yang mumpuni dan sangat-sangat siap, tidak seperti cecunguk-cecunguk RKZ yang kondisinya sudah kepayahan tadi. Pria bertubuh besar dan tegap itu berjalan ke depan melewati Hantu untuk berhadapan satu lawan satu dengan Handoko.

Hantu tidak mau mendengarkan. “Hajar saja mereka... tunggu apalagi? Kekekekeke.”

Handoko mendengus, tapi hanya terdiam dan bersidekap. Dia sepertinya sudah tidak heran dengan kiprah Hantu yang memang kadang-kadang asal bicara. Tapi si rambut cepak ini... dia berbeda. Si rambut cepak menganggukkan kepala di depan Handoko, lalu ke Pasat, dan menjura di depan Ki Kadar.

“Salam wahai sang perisai QZK. Kami datang ke sini murni hanya untuk memburu RKZ yang telah berlaku jahat menculik putri dari pimpinan kami. Tidak ada maksud sedikitpun untuk mengacau di kawasan utara yang menjadi wilayah QZK. Selain itu kami juga sedang melakukan penyelidikan mengenai hilangnya Pak Pos yang ditengarai juga menjadi ulah RKZ.”

Ki Kadar tersenyum, “Apa kabar Hanzo? Sejak kapan seorang ajudan turun ke jalan layaknya Empat Anak Panah? Apakah kalian kekurangan orang sekarang setelah hilangnya Pak Pos?”

Pria berambut cepak yang dipanggil dengan nama Hanzo itu membalas senyum Ki Kadar.

“Tentu saja tidak. Kami justru sedang bertambah, jika Sang Perisai paham apa yang saya maksud.” Hanzo menyilangkan dua telapak tangannya di depan wajah. Saat melepas silang tangannya, Hanzo kembali menatap Ki Kadar dengan berani, “Dengan satu anggukan kepala dari pimpinan kami, maka kami sanggup mengatasi semuanya. Seperti halnya kami dulu mengatasi urusan dengan QZK.”

Sindiran yang cukup mengena dan agak mengancam. Orang-orang tahu kalau dulu QZK pernah ditundukkan oleh JXG di ajang perang besar. Rasa sakitnya sampai sekarang belum terbalaskan. Rasanya kurang bijak mengingatkan kembali Ki Kadar pada peristiwa itu.

Sang Tetua QZK hanya terkekeh pelan, “Kalian pikir QZK yang sekarang sama dengan QZK yang dulu?”

“Kami tidak berani memperkirakan kekuatan QZK yang tentunya sangat hebat. Kami hanya menyampaikan fakta apa yang pernah terjadi dan kami harap Ki Kadar sudi memberikan kami akses untuk masuk setidaknya sampai ke kawasan Boborsari. Kami berjanji untuk menuntaskan urusan dengan RKZ ini secepatnya dan tidak berlama-lama di sana.”

“Tidak ada perjanjian apapun, tidak boleh masuk. Titik.” Ki Kadar bersikap tegas. Dia menghentakkan tangan ke bawah dan sebuah tenaga besar menghempas dalam bentuk lingkaran besar. Mereka-mereka yang tidak kuat terlempar ke belakang, termasuk orang-orang JXG di belakang Hantu, Hanzo, dan Usagi.

Melihat apa yang dilakukan oleh Ki Kadar, pasukan JXG jelas marah.

“Aku bilang juga apa... Jyahahahahah. Serang saja kan beres,” ujar Hantu.

Tangan Usagi dibentangkan di depan pasukan JXG yang sudah bersiap menyerang dan mengikuti perintah Hantu. Seaneh dan seunik apapun tindak-tanduknya, Hantu adalah salah satu dari empat anak panah JXG, orang yang patut mereka jalani perintahnya. Tapi Usagi tidak ingin membuang waktu dan tenaga. “Jangan bertindak gegabah. Kita sudah tahu resikonya ketika kita melangkah di wilayah utara. Biarkan kakakku yang mengurus ini.”

Si topeng kelinci itupun memiringkan kepalanya dan menoleh ke arah orang yang paling tinggi jabatannya di antara tiga orang di depannya, “Selamat siang Ki Kadarusman – sang punggawa empat perisai. Kami dari JXG minta ijin melangkah di tanah utara untuk mengejar orang-orang RKZ yang tersisa. Seperti yang tadi dibilang oleh kakak saya, orang-orang RKZ telah menculik putri Pak Zein dan disinyalir bertanggung jawab atas hilangnya Pak Pos. Tentu kami tidak bisa tinggal diam. Kami minta kebijakan dari Ki Kadar untuk mengijinkan kami melakukan pengejaran. Ini permohonan terakhir kami.”

Ki Kadar tersenyum pada asisten pribadi Pak Zein itu, “Selamat siang, Usagi-chan. Jarang sekali saya melihat anda melangkah keluar jauh dari lingkaran keamanan Pak Zein. Pasti urusan kali ini benar-benar sangat spesial ya. Sampai-sampai Pak Zein mengutus kalian berdua yang biasanya melindungi beliau. Tapi sekali lagi maaf, perbatasan ini adalah titik terjauh kalian bisa menginjakkan kaki di wilayah utara. Bos Janu tidak mengijinkan siapapun mengacak-acak wilayah utara tanpa terkecuali. Situasi bisa berubah jika Pak Zein dan Bos Janu telah melakukan pembicaraan. Silakan kalian pulang dulu dan biarkan kedua pimpinan kita bicara. Apa yang terjadi hari ini akan saya sampaikan ke pimpinan saya. Siapa tahu Bos Janu akan memberikan keringanan.”

Hanzo melirik ke belakang, mereka sudah mendapatkan Tunggul Seto. Tidak masalah melepas yang lain untuk sementara, mereka dapat dikejar, diburu dan dihabisi oleh unit-unit kecil atau mengirim trained-hunter seperti saudara-saudaranya dari SSX. Pemuda itu akhirnya tersenyum pada Ki Kadar. “Baiklah. Hari ini kami akan mengakhiri perburuan kami terhadap RKZ. Mudah-mudahan Pak Zein dan Bos Janu segera bertemu untuk membicarakan masalah ini. Kamu undur diri.”

Ki Kadar mengangguk dan tersenyum sopan.

Hanzo membalikkan badan, ia mengayunkan lengan dan pasukan JXG pun kembali ke motor-motor mereka.

Pasat menatap pasrah saat Hantu melesat pergi tanpa pernah sekalipun meliriknya. Sebenarnya apa yang terjadi sampai kakak iparnya menjadi seperti itu? Apa yang dulu pernah terjadi? Apa yang... eh? Tak sengaja Pasat menatap ke arah Usagi-chan.

Si topeng kelinci membuka topengnya sedikit untuk memberikan spoiler satu wajah jelita yang ternyata cukup innocent. Siapa yang menyangka bahwa perempuan muda semanis itu bisa merupakan perwira dari JXG, asisten pribadi Pak Zein, sekaligus anggota unit rahasia JXG.

“Sampai ketemu di lain waktu, rambut coklat.” Usagi mengedipkan mata ke Pasat.

Pipi pemuda itu pun memerah. Ia jadi salah tingkah. “A-aku...”

Usagi tertawa manis, ia meniupkan kecupan dari bibirnya pada Pasat, lalu menutup topengnya kembali dan dengan satu lompatan ringan dia sudah berada di dekat Hanzo dan membonceng di belakang motornya. Gadis itu memeluk si rambut cepak dengan erat saat motor besar milik anggota JXG itu meraung dan meninggalkan lokasi.

“SSX sudah mulai menunjukkan taring mereka. Usagi dan Hanzo tidak akan menjadi ancaman yang terakhir. Kita juga harus bersiap.” desis Handoko Hamdani dengan kesal. Pria itu menatap sang guru, “Menurut guru bagaimana? SSX sepertinya sudah semakin solid di sisi JXG. Mereka terus menerus memperkuat barisan demi menjaga nama kelompok selatan jika ada konfrontasi berikutnya antara utara dan selatan.”

Pasat menatap heran pada Handoko dan sang guru. Apa yang mereka bicarakan? “Maaf, Guru. Apa itu sebenarnya SSX?”

“SSX singkatan dari Shinsengumi X. Unit rahasia milik JXG yang berbau jejepangan. Kita lihat saja nanti bagaimana kiprahnya – dua di antara mereka bahkan langsung terpilih sebagai asisten pribadi Pak Zein beberapa tahun belakangan ini. Tentunya mereka bukan kaleng-kaleng. Kalau SSX sudah diaktifkan oleh Pak Zein, kita juga harus bersiap mengaktifkan unit kita. QZK pernah kalah dalam pertempuran besar utara selatan. Di perang saudara selanjutnya, QZK harus jadi yang terkuat, kita harus menjadi berarti atau mati.” ujar Ki Kadar dengan tegas.

Handoko Hamdani mengangguk.

Pasat terdiam. Dia penasaran dengan sikap Usagi yang membuatnya... degdegan? Siapa yang menyangka kalau dia ternyata sangat cantik?

“Siap berangkat, Pasat? Kita sudah mulai kehilangan jejak Rey. Akhir-akhir ini dia semakin menggila dan kita tidak sempat membereskan kelakuannya. Jangan sampai Bos Janu terkena getah kotorannya lagi. Ayo.”

Pasat terbangun dari lamunannya. “Si-siap, Guru.”

Mereka bertiga kembali masuk ke mobil.





.::..::..::..::.





Om Janu memperhatikan board catur yang ada di depan mejanya. Dia bertanggung jawab menjalankan bidak warna hitam, sementara sang lawan sudah menjalankan putih ke depan. Pria yang masih gagah meski rambutnya sudah memutih itu tersenyum saat melihat pembukaan yang dilakukan oleh pion putih dengan membuka langkah ke medan perang.

“E4 ya? Menarik sekali, sudah sangat umum tapi menarik. Ya sudah, karena putih sudah maju ke e4, maka aku masuk ke c5.”

Om Janu menggerakkan hitam.

Sang lawan mengangguk-angguk. Pria yang usianya tak jauh beda dari om Janu itu tersenyum santun. Pria itu berwajah tampan meski kerut-kerut di wajah mulai tak bisa disembunyikan, rambut pendek yang tertutup oleh blangkon juga menunjukkan usianya. “Pertahanan Sisilia.”

Om Janu duduk dengan santai dan mundur ke belakang setelah menjalankan bidaknya. Ia menatap lawannya. “Tepat sekali. Sekarang giliran panjenengan.”

“Siap. Heheh.” Orang itu terkekeh, “Old but gold. Pertahanan Sisilia adalah perlawanan terhadap putih yang paling ampuh ketika ada pergerakan 1.e4. Kalau menurut saya teknik ini mirip seperti pola permainan catenaccio - kunci gerendel pertahanan sepakbola Italia namun digabungkan dengan serangan balik super handal ala-ala hit and run punya Inggris. Jadi tidak hanya kuat dalam bertahan, namun juga agresif dalam menempatkan bidak. Bertindak bukan hanya untuk mencapai keseimbangan secara taktis, tapi juga demi mendapatkan kesempatan untuk mengelabui lawan ketika mereka melakukan kesalahan.“

Om Janu tersenyum. “Panjenengan memang paling tahu. Silakan lanjutkan.”

Orang itu mengangguk dan menjalankan bidaknya. Kuda ke f3.

Om Janu membungkuk ke depan, memperhatikan papan catur, lalu mengangkat kuda hitam dan meletakkannya secara strategis untuk membalas. Kuda hitam ke c6. “Kita coba centralize. ”

Orang itu menggoyangkan kepalanya, menjalankan lagi bidaknya. Pion ke d4.

Om Janu tertawa, dan mulai membalas. Mereka berdua saling bertukar teknik dalam permainan catur. Sudah sangat sering bermain bersama dan sama-sama paham apa yang tengah dipikirkan lawan.

Checkmate. Arep neng ndi meneh? Kamu sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Hahahahaha...” Lawan om Janu tertawa puas dan meminum segelas teh nasgitel dalam gelas blirik di sebelahnya.

“Wah wah. Nyerah saya. Memang rekor tak terkalahkan itu tak terbantahkan.”

“Hahaha, bisa saja. Ini bukan masalah rekor, ini hanya soal kebiasaan.”

Om Janu lantas berdiri dan melangkah menuju ke satu lemari kaca. Ia membukanya, di sana ada sebuah lemari besi dengan kunci putar. Om Janu memutar beberapa kali dan membuka pintu lemari besi kecil itu. Isinya ada beberapa hal menarik. Tapi ia memilih sesuatu yang dibungkus oleh kain. Sang pimpinan QZK lantas mengambil benda itu, lalu menutup lemari besi dan lemari kaca secara berurutan kembali.

Om Janu meletakkan bungkusan itu di samping papan catur saat kembali ke hadapan tamunya.

“Ini yang seharusnya ada di lemari penyimpanan milik Ngarso Dalem. Sejak awal memang ingin aku kembalikan. Seharusnya benda seperti ini berada di keraton dan melindungi Ngarso Dalem bukannya dipakai main-main oleh orang rendahan. Ini aku kembalikan sebagai baktiku pada Gusti Sinuhun. Sebaiknya mulai sekarang panjenengan berhati-hati dalam menjaganya supaya tidak terulang lagi kejadian kemarin. Bisa-bisanya keris-keris ini jatuh ke tangan suket teki semacam Bambang Jenggo? Bagaimana mungkin ia bisa mengumpulkannya dari empat penjuru beteng?” kritik om Janu pada orang di hadapannya, “Lain kali mungkin panjenengan bisa lebih waspada dalam mengawasi agar barang-barang sepenting ini tidak lagi jatuh ke tangan yang tidak berhak.”

Orang itu hanya tersenyum, “Para priyayi di balik tembok sibuk dengan urusan yang beranekaragam sampai-sampai mereka lupa pada hal semacam itu, mereka terlena dan lupa seakan-akan tembok akan selalu melindungi mereka.”

Om Janu mengangguk. Dia mengambil gelas dan menyeruput tehnya.

“Penjagaan lengah sementara orang-orang seperti kami disibukkan oleh hal-hal yang lebih penting. Seperti misalnya menerapkan penjagaan tenaga berlapis agar kesakralan wilayah utama kota tidak ternodai oleh urusan kelompok-kelompok yang bertikai ora nggenah.”

“Kerja bagus.”

“Tapi kita tidak perlu membahas itu. Ngarso Dalem sudah menyatakan bahwa beliau sangat gembira saat njenengan memutuskan untuk mengembalikan pusaka-pusaka ini. Tapi...” Sang pria menggeser bungkusan itu kembali ke arah om Janu, “Tapi Ngarso Dalem sudah memiliki gantinya dan tidak membutuhkannya lagi. Beliau justru meminta njenengan menyimpankannya, begitu titahnya. Kepercayaan beliau pada njenengan sudah berlipat ganda, jangan disia-siakan.”

Om Janu mengerutkan kening, “Sungguh? Beliau meminta saya menyimpan benda-benda ini atas nama beliau? Itu yang beliau titahkan?”

“Saya tidak pernah berbohong pada njenengan, bukan?”

“Pasti ada udang di balik bakwan ini. Saya tidak pernah bermaksud meremehkan, tapi saya benar-benar rikuh mengetahui Ngarso Dalem melakukan pengorbanan sebesar ini untuk saya. Bagaimana saya dapat membalasnya?”

Orang di depan om Janu tersenyum lagi setelah meminum tehnya dengan puas. “Ngarso Dalem tidak ingin ikut campur terlalu dalam terhadap upaya-upaya perebutan wilayah yang kalian-kalian lakukan kecuali jika sudah sangat keterlaluan. Beliau hanya ingin tahu apa yang sedang njenengan rencanakan setelah ini. Karena beliau khawatir dengan angin sepoi yang bisa berubah menjadi badai dalam waktu dekat, beliau sudah menerima tanda-tanda.”

Om Janu membalas senyuman itu. “Wah. Kita butuh kopi kalau begitu.”

“Waktu saya banyak.”

“Tentu saja.”





.::..::..::..::.





Kinan hamil.

Kinan tengah mengandung buah hati mereka.

Nanto jatuh terduduk di kursinya. Dia tahu dia baru saja mendapatkan kabar yang level terkejutnya sudah ibarat terkena sambaran geledek, dicampur bakmi samyang, ketumplekan seblak petir, dicampur saus sambal sepuluh juta skala Scoville. Di tengah-tengah semua hal yang sedang menghimpit dan mencekiknya dari kanan kiri atas bawah, si Bengal sama sekali tidak menduga akan datang masalah yang sebesar ini sebagai gong.

Matanya melotot dan mulutnya terbuka lebar, Nanto benar-benar terkejut.

“Mas?”

Krik... krik... krik.

Tidak ada jawaban. Kinan melirik, ternyata Nanto masih melotot dengan mulut menganga.

Oke, sepertinya efek terkejutnya masih belum tuntas. Ya sudah, ditunggu sebentar lagi. Kinan menunggu dengan sabar. Disempet-sempetin maen sudoku di ponsel sebentar. Buat ngademin pikiran. Semenit, dua menit, tiga menit. Baiklah, mari diulang lagi.

“Mas?”

Krik... krik... krik.

Ternyata masih belum ada jawaban. Oke, tunggu lagi.

Eits!

Tiba-tiba saja Nanto berdiri, setengah meloncat, dan mendekat ke arah Kinan. Matanya menatap sang kekasih dengan lekat.

Kekasih si Bengal itu pun jadi takut-takut melihatnya, ngaget-ngagetin aja ini si Masnya. Mau apa dia sekarang? Mudah-mudahan logikanya dapat berjalan dengan normal karena kini semua keputusan berat ada di pundak Nanto, masa depan mereka bertiga akan tergantung pada keputusannya hari ini. Apa yang akan dia lakukan? Apa yang akan ia putuskan?

Nanto meneguk ludah, “A-aku tidak... maksudku aku tidak bisa... duh. Bagaimana ini ngomongnya? Tapi... ini semua terlalu mendadak. Bagaimana aku bisa... maksudku... apakah kita harus menikah?”

“Kamu tidak mau menikah denganku?”

“Bukan begitu sayang... aku kan masih... maksudku, aku baru saja kehilangan kerjaan, kuliah masih dibayarin om Darno dan Tante Susan, kontrakan juga bingung sekarang gimana bayarnya. Lalu kalau tiba-tiba seperti ini... aku mesti gimana? Dari mana aku cari uang untuk nikah? Dari mana aku cari uang untuk membiayai hidup kita bertiga? Menikah tidak hanya sekedar hidup bersama, kan? Lebih daripada itu.”

Jawaban Nanto itu sudah diperkirakan Kinan.

“Kalau kamu saja bingung, terus aku gimana, Mas? Kamu ga mikir aku bakal jadi apa? Kita berdua sama-sama masih kuliah! Jangan memikirkan diri sendiri! Pernah mikir tidak bagaimana kuliahku? Bagaimana rasanya nongol di kampus dengan perut membengkak? Bagaimana aku nanti di mata keluarga? Di mata tetangga? Di mata semua orang? Ini aib, Mas! Aib! Kamu ga mikir malunya aku yang harus kemana-mana bawa perut segede Gaban hasil di luar nikah? Aku juga sama saja sepertimu! Bahkan lebih! Jangan berpikir aku baik-baik saja dengan keadaan ini! Apalagi aku cewek! Pandangan orang bakal lebih sadis! Keluargaku juga keluarga baik-baik, aku selalu jadi anak alim, kerudungan, tapi semua image buyar gara-gara ini! Aku sudah bikin malu keluarga, Mas!”

“Kinan... denger dulu... aku tidak...”

“Sekarang maumu gimana? Aku sudah hampir sebulan memendam rahasia ini karena takut reaksimu pasti seperti ini! Karena aku tahu pasti, kamu belum siap bertanggung jawab!”

“Bukan begitu, maksudku...”

Air mata Kinan menetes, nada suaranya meninggi. “Aku sedang mengandung anakmu, Mas! Anak pertamamu! Buah cinta kita! Tapi melihat wajahmu yang kebingungan itu membuat aku sedih banget! Jangan buat aku menyesal, Mas! Jangan buat aku menyesal telah mengandung anakmu ini!”

“Kinan...” Nanto meneguk ludah. “Kita berdua tidak bisa...”

“Tidak bisa apa!?”

Si Bengal menyesali kebodohannya yang tidak berhati-hati dalam berbuat. Kenapa sih dulu dia tidak menggunakan kondom? Tidak menggunakan pengaman? Nyesel kan sekarang? Dasar bodoh! Sekarang bagaimana dia akan menyelesaikan masalah ini? “Maksudku... kita lihat saja secara logika, aku saat ini masih belum mampu menopang semua kebutuhan kita. Aku tidak yakin aku bisa melamarmu hanya dengan...”

“Terus sekarang gimana kalau kenyataannya sudah begini? Kamu tidak lihat bagaimana murkanya Papa sama Mama aku yang datang dengan amarah mereka. Mengusirku dari rumah kalau tidak segera menghadirkan kamu di depan mereka? Hidupku sudah hancur, Mas. Kepada siapa lagi aku bisa berpaling kalau tidak ke kamu?”

Nanto memejamkan mata. “Apakah tidak ada opsi...”

Kinan melotot.

“Kalau kamu mau mengusulkan aku untuk menggugurkan kandungan, kamu sudah gila! Aku tidak akan pernah menjadi pembunuh! Bayi ini akan lahir dengan penuh cinta dan kasih sayang karena dia tidak bersalah. Kitalah yang bersalah, tapi bayi yang belum lahir ini adalah wujud sesuatu yang suci dan merupakan titipan yang harus dipertahankan dan dijaga. Ingat itu, Mas! Aku memang berdosa, kamu juga berdosa, tapi bayi ini tidak mempunyai salah apa-apa.”

Nanto memejamkan mata, ia ambruk dan berlutut di dekat pembaringan Kinan. Ia memegang tangan kekasihnya itu dengan penuh rasa sayang, ditempelkannya di pipi. Kinan benar. Bayi itu sama sekali belum mempunyai salah apa-apa. Tugas mereka berdua adalah menjadikannya pribadi yang lebih baik supaya tidak mengulangi kesalahan orang tuanya.

Di saat si Bengal putus asa, seperti ada pijatan tak kasat mata yang membuat bahunya terasa lebih nyaman. Bebannya seakan-akan terangkat sesaat. Pijatan dari sosok yang tak disangka-sangka akan muncul, sosok yang dirindukan.

Laki-laki itu berani berbuat dan berani bertanggung jawab. Kamu laki-laki bukan?

Bisikan dalam kalbunya membuat selubung kehangatan yang menentramkan jiwa si Bengal. Ada rasa ragu yang awalnya membuat dia takut, tapi bisikan itu meyakinkannya, bahwa di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Manusia memang kadang dirundung rasa khawatir, tapi sejatinya bisa berusaha sampai akhir. Bukan bagaimana akhirnya, tapi bagaimana mereka berusaha. Nanto tahu dia harus jadi manusia yang lebih baik. Demi Kinan dan demi sang jabang bayi yang belum lahir.

Si Bengal berdiri, tangannya meremas tangan Kinan dengan lembut. Ia menatap sang kekasih yang matanya basah itu dengan pandangan penuh rasa sayang. Inilah dia, calon ibu anaknya. Selalu berjuang demi lahirnya sang jabang bayi tanpa tahu harus bagaimana. Nanto tak boleh membiarkan Kinan berjuang seorang diri. Lihat saja dia yang terus berusaha, entah bagaimanapun caranya, entah harus menanggung malu yang seperti apa. Kinan sangat membanggakan dan tidak ada yang lebih pantas menjadi pasangannya selain wanita jelita ini.

Nanto membungkuk dengan hati-hati agar tidak menyakiti Kinan, ia mengecup dahi sang kekasih. “Terima kasih.”

“Terima kasih kenapa?”

“Terima kasih karena telah memberikan aku kebahagiaan yang tidak bisa didapatkan oleh pria-pria lain di dunia. Kebahagiaan karena telah menjadikan wanita sepertimu sebagai pasangan dan calon ibu dari anakku,” bisik si Bengal selembut mungkin di telinga Kinan. “Kita berdua akan melalui ini semua. Berdua, bersama-sama. Kita pasti bisa. Anak ini harus lahir. Aku berjanji untuk bertanggung jawab entah bagaimana caranya. Aku akan menemui kedua orang tuamu untuk memohon ampun dan melamarmu. Aku juga akan menemui om Darno dan Tante Susan. Aku yang bersalah, aku yang akan bertanggungjawab. Kalau Papa kamu mau membunuhku, aku juga siap.”

“Kamu yakin?”

Nanto mengangguk. Ia menurunkan kepalanya ke bawah, “Karena aku sayang sama kamu.”

Bibir si Bengal mengoles bibir sang kekasih. Pelan dan lembut, seperti satu permohonan maaf karena telah berbuat salah dan berjanji untuk melakukan yang terbaik. Dia akan membereskan semuanya, entah apakah usahanya itu akan diterima oleh orangtua Kinan ataupun tidak, itu masalah belakangan. Yang penting usaha dulu.

Itu juga artinya, dia harus segera berburu pekerjaan.

Kedua pasangan itu berpelukan, berharap yang terbaik pada masa depan yang semakin gelap. Mudah-mudahan keduanya dapat melalui semuanya dengan baik-baik saja.

Hanna tersenyum dari kejauhan saat melihat Kinan dan Nanto mencapai kesepakatan. Tak terasa ada segaris air mata menetes dari pelupuk matanya. Sebagian karena bahagia, sebagian karena cemburu. Dia tak akan pernah bisa memiliki si Bengal sebagaimana Kinan memilikinya. Tapi tidak apa, asalkan mereka berdua bahagia.

Ada beberapa perawat yang kemudian masuk untuk mengantarkan obat dan makanan. Nanto pun keluar dari ruangan untuk sesaat, membiarkan Kinan berbincang-bincang sejenak dengan sang perawat, memastikan kapan dia bisa pulang.

“Jangan khawatir, semua biaya RS aku yang tanggung.” Kata Hanna saat menemui Nanto di luar.

“Ya ampun, jangan... maksudku... aku masih ada tabungan, walau tidak seberapa. Aku akan...”

Hanna menggeleng, “Aku sudah bayar semua sampai hari ini. Besok kekurangan lain-lain juga akan aku bayar. Ini bukan demi kamu, Mas. Ini demi Kinan. Dia melewati hari-hari yang berat sendirian, dimaki-maki orang tua sendiri, bingung mau gimana lagi. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuk mengurangi bebannya.”

Nanto bersandar di dinding bangsal dengan lemas. Ia menundukkan kepala, “terima kasih.”

“Tidak apa-apa, Mas. Mumpung aku masih bisa.”

Hanna melirik ke dalam, Kinan sepertinya masih sibuk dengan perbincangan soal perawatan kehamilan. Setelah memastikan Kinan tidak melihat, Hanna mendekat dan meremas tangan si Bengal. “Aku akan membantumu melalui ini semua. Jangan khawatir. Aku pernah membantumu mendapatkan pekerjaan di cafe. Aku bisa mencarikan kamu pekerjaan lain. Itu bakal jadi persembahan terakhirku untukmu di sisa waktuku tinggal di kota ini, Mas.”

“Hanna, aku tidak bisa terus menerus meminta tolong padamu. Apa yang kamu lakukan sudah lebih dari cukup, aku pasti bisa..”

“Aku tidak menolong kamu saja. Ini demi Kinan dan bayinya juga. ijinkan aku membantu dengan caraku. Aku pasti akan menemukan pekerjaan untukmu.” Hanna berjanji. “Hanya ada satu syarat saja, kita berdua harus terus bersama-sama sampai aku pergi dari kota ini. Kamu janji menjadikan aku kekasih sementara.”

“Iya tapi kan itu cuma main-main saja. Lihat itu di dalam, Kinan sedang...”

“Dia sedang menderita, ya aku tahu. Tapi aku juga menderita, Mas. Sebentar lagi aku akan pergi dari sini dan tidak akan pernah bisa melihat lagi laki-laki yang paling aku sayangi entah untuk berapa lama. Aku juga tidak tahu apakah jika kelak kita berdua dipertemukan lagi perasaan kita akan masih tetap sama seperti ini. Selama ini aku selalu berusaha membahagiakan orang lain tanpa pernah memikirkan diriku sendiri, jadi untuk sekali ini ijinkan aku melakukan sesuatu yang aku inginkan. Sekali ini saja. Aku tidak minta apa-apa lagi setelah itu, aku bahkan tidak akan pernah memintamu mengganti semua pengeluaranku saat ini. Anggap itu kadoku untuk kalian berdua.”

Nanto menatap Hanna dengan bingung. Kenapa sih cewek ini pengen banget jadi kekasihnya? Lihat saja dia, cantik, pintar, baik, kaya, sempurna. Apa yang dia lihat dari si Bengal? Apa yang bisa ia berikan pada Hanna? Kenapa Hanna menganggapnya begitu tinggi?

Nanto mengangguk. “Baiklah.”

Hanna memeluk Nanto dengan erat.

Saat itu Si Bengal tidak tahu.

Semua keputusannya hari ini akan ada konsekuensinya.





.::..::..::..::.





“Bagaimana kondisi mereka?”

Roy menggeleng, “Rania sedang dirawat di bangsal, diberi obat penenang karena masih histeris, menangis dan teriak-teriak tidak henti-henti. Dia shock berat. Tapi itu wajar. Siapa orangnya yang bisa menghadapi kenyataan sepahit ini dalam satu hari. Ibunya meninggal dan anaknya koma – racun yang hinggap di tubuh si kecil lumayan parah, aku tidak yakin dia bisa...”

Deka menepuk punggung Roy, menenangkannya.

Roy mendesis dengan geram. “Bajingan itu benar-benar tidak pandang bulu siapa korbannya. Kita harus mencari, memburu, dan membunuhnya sebelum dia bisa menyakiti orang lain lagi. Penyakit semacam dia hanya satu obatnya. Dilenyapkan dari muka bumi.”

“Sejauh ini sudah ada kamu, Ara, lalu Ibu dan anak Rania yang terkena racun si bangsat itu.” Amar Barok bersidekap. “Bajingan ini benar-benar harus dibekuk. Ulahnya sudah sangat keterlaluan. Aku khawatir dia menggunakan ilmu hitam untuk memperkuat kemampuannya.”

Amar melirik Deka yang melirik balik ke arah sang kakak.

Simon yang juga berada di situ mengelus-elus dagunya, “Namanya Reynaldi ya? Aku sedang melacak orang itu dengan bantuan anak-anak Sonoz. Tidak akan ada orang yang menyakiti Ara yang boleh melenggang dengan bebas begitu saja.”

Kini giliran Simon yang melirik Deka, si Gondes melirik balik ke arah Simon. Deka sepertinya sedang serba salah. Kanan kiri ada masalah.

Rumah sakit tempat Rania berada sekarang adalah rumah sakit yang sama tempat Ara tengah dirawat. Itu sebabnya Roy, Deka, dan Amar Barok bertemu juga dengan Simon.

“Gimana menurutmu, Dab? Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Roy pada Deka.

Huff. Deka menarik napas panjang, semua kembali padanya ya. “Aku tidak bisa mengambil keputusan tanpa sepengetahuan Nanto. Tapi rasa-rasanya kita harus menggerakkan semua anggota Aliansi untuk memburu si Bangsat ini. Apa yang dilakukan Simon sudah benar, tinggal bagaimana sekarang kita membagi tugas. Sepertinya kita tidak perlu balik lagi ke Pantai Selatan karena kondisi sudah gawat di sini. Aku yang akan kembali ke sana untuk mengambil obat penawar racun dari guruku untuk mereka semua yang keracunan.”

“Aku tahu di mana si durjana bangsat itu berada.”

Tiba-tiba terdengar suara serak tak jauh dari posisi mereka berempat berada. Suara yang sebenarnya amat mereka kenal namun sudah lama tak mereka jumpai.

Rao sang Hyena Gila.

“Rao!” Simon tersenyum sembari melakukan fistbump dengan orang yang ia anggap sebagai rival utamanya dalam segala hal itu. “Suwe ora ketemu, Dab. Tambah ganteng ae sampeyan.”

“Rupamu.” Rao mencibir dengan ledekan guyon dari Simon. Sang pimpinan DoP melangkah ringan ke arah keempat petinggi Aliansi yang lain. “Orang bernama Reynaldi yang kutukupret kadas kurap kecoak kunyuk ini pernah memperkosa cewek UAL beberapa tahun silam. Kasusnya sempat ramai di sosmed tapi lantas redam karena keluarga korban membatalkan tuduhan dan semua masalah diselesaikan secara kekeluargaan, entah kenapa – mungkin uang bicara, saat itu belum ada pihak kepolisian yang terlibat. Tidak menyangka dia akan muncul lagi dengan kasus seperti ini. Intinya adalah, dulu kami pernah menyatroni rumahnya. Kalau dia masih tetap tinggal di rumah yang sama, itu artinya kita tahu di mana dia berada.”

“Kamu tahu di mana dia berada?” Roy buru-buru mendekat ke arah Rao. Dia sudah tidak sabar lagi. “Cepat katakan alamat lengkapnya!”

“Tidak semudah itu. Dia punya backing yang sangat kuat sehingga selalu lolos dari semua himpitan masalah. Apakah kalian yakin bisa mengatasi backing-backing-nya?”

“Tidak masalah! Siapapun akan kami terjang! Siapapun akan kami lawan!” Roy sudah tidak sabar lagi. Dia ingin tahu di mana Reynaldi si Durjana berada. “Di mana dia berada?”

Rao membuka ponselnya, membuka aplikasi Maps, dan mengetikkan nama suatu wilayah.

“Mas... obatnya sudah aku ambil. Ayo kita pul-... eh...” muncul seorang gadis di belakang Rao – ternyata itu Nuke. Gadis itu menyadari kehadiran Simon dan kawan-kawan, lalu menganggukkan kepala memberi hormat. Keempat punggawa Aliansi mengajaknya tersenyum.

“Sebentar ya. Ini urgent.” Kata Rao dengan lembut pada Nuke. Ketika akhirnya menemukan posisi yang ia cari di Maps, Rao menunjukkannya pada Deka dan kawan-kawan. “Dulu orang itu tinggal di sini. Aku tidak tahu apakah sekarang dia masih tinggal di tempat yang sama.”

“Bukankah itu kawasan elit? Dia orang kaya?” tanya Amar Barok.

“Sepertinya begitu.” Rao menyelipkan ponselnya kembali ke kantong celana. “Ingat yang aku bilang, orang ini backing-nya hebat. Meski kami juga tidak yakin siapa yang selalu menolong dia, tapi dia benar-benar selalu selamat dari semua masalah dengan mudahnya.”

“Dia tidak akan selamat kali ini.” Roy menggemeretakkan gigi dengan geram.

Tiba-tiba saja ada keramaian.

Kelima orang petinggi Aliansi pun mundur sedikit dari posisi mereka sekarang untuk memberikan jalan bagi para perawat yang tengah melarikan seorang pasien yang dibaringkan di sebuah brankar dorong. Seorang pria yang tengah mengerang kesakitan.

Nuke terpekik kaget melihat kondisi sang pasien. Rao menggenggam erat tangan gadis itu untuk menenangkannya.

Pasien itu sebenarnya baru saja masuk ke IGD, namun harus segera dilarikan ke meja operasi karena kondisinya sangat parah. Darah menetes tanpa henti dari seluruh penjuru tubuh. Dia tak sadarkan diri, wajahnya hancur bagai terkena pukulan benda tumpul berulang-ulang. Kaki dan tangannya berbelok ke arah yang tidak seharusnya. Kalau dia bisa selamat dari luka-lukanya, maka itu keajaiban namanya.

Simon dan Rao saling berpandangan karena kaget saat mereka mengenali wajah yang sudah hampir hancur. Mereka berdua lantas menatap ke arah Amar Barok yang pasti juga mengenali orang yang baru saja dibawa ke ruang operasi itu. Namun sebelum mengucapkan apapun, Amar mendapat panggilan telepon. Ia pun langsung mengangkat telepon yang mendadak masuk ke smartphone-nya.

“A-apa aku tidak salah lihat?” Simon terbata-bata.

Genggaman tangan Rao di tangan Nuke juga semakin erat. “Tidak salah lagi. Orang itu...”

Amar Barok memasukkan ponselnya ke saku celana dan menggeram kesal, “Sepertinya ada perang baru lagi. Mereka-mereka yang netral justru menjadi target awal serangan.”

“Tapi siapa yang bisa...?” Simon menggelengkan kepala, “Maksudku kemampuannya kan tidak main-main. Tidak sembarangan orang bisa mengalahkannya! Jangankan mengalahkannya, menyentuhnya pun tidak akan mampu.”

“Informasi baru saja masuk dari Bos BMW. Berita teranyar di kawasan utara – baru banget masuk,” ucap Amar Barok mencoba menjelaskan. “Ini semua ulah PSG, ternyata mereka menggabungkan diri dengan sisa-sisa RKZ dan mengamuk. Langkah pertama PSG adalah menghancurkan Talatawon yang jelas-jelas didapuk sebagai kawasan netral. Orang yang baru saja masuk ke IGD itu... kalian pasti sudah mengenalinya. Dia Ableh Ndaho.”

Ableh Ndaho dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu kanuragan lumayan. Kalau dia kondisinya sampai separah itu, maka kekuatan macam apa yang telah membuat Talatawon hancur? Kekuatan macam apa yang sekarang dimiliki PSG?

Deka mengencangkan kepalan.

Masalah datang tanpa henti.

Kapan ini semua berakhir?

Mana si Bengal?





.::..::..::..::.





Hikayat Pemuja Langit dibangun dari hati yang suci dan diberkati. Sebuah sikap pasrah akan leluhur dan memohonkan bantuan dari mereka yang sudah terlebih dahulu pergi. Jika Hikayat Pemuja Malam adalah Yin, maka Hikayat Pemuja Langit adalah Yang. Si putih yang hadir sebagai penawar si hitam. Ilmu kanuragan pilih tanding yang tidak boleh digunakan untuk memangsa yang lemah, tapi untuk melindungi mereka dari kuasa jahat.”

Bian membaca kalimat demi kalimat dari buku yang diberikan oleh Pakdhe Gito dan Pakdhe Gati dengan hati-hati sekali. Untung saja tulisan si Wati jauh lebih bisa dibaca dibandingkan tulisan Beni Gundul, sehingga Bian bisa menyerap semuanya dengan cepat.

Hikayat Pemuja Langit tidak membiarkan tubuh dikosongkan dan dimasuki oleh roh asing, tidak mengijinkan jiwa yang lebih tinggi justru dikendarai oleh sosok astral sebagai kendaraan. Hikayat Pemuja Langit hanya meminta tolong pada poro ageng untuk hadir sesaat demi membantu mereka yang membutuhkan dengan meminjamkan kemampuan. Ini sebabnya Hikayat Pemuja Langit baru benar-benar bisa keluar ketika ada masalah yang sangat pelik karena hanya bisa muncul seijin poro ageng.

“Pemujaan pertama, dilakukan dengan melemaskan seluruh tubuh, membiarkan semua urat dan syaraf bergerak pasrah tanpa paksaan, mengijinkan semua sudut badan bergerak dengan bebas dan lepas. Membina rasa bahagia berada di dunia. Ijinkan kaki melompat tinggi, tubuh merasa ringan bagai kapas, dan badan terasa nyaman diibaratkan mampu terbang. Hisap tenaga Ki dengan perlahan, lalu salurkan ke seluruh badan, biarkan Hikayat Pemuja Langit yang kemudian bekerja. Rekatan Pertama, Pemuja Sang Kera Putih.”

Bian memejamkan mata, membiarkan Ki yang tiba-tiba saja berpendar dalam dirinya mengalir begitu hebat, membuat tubuhnya terasa sangat ringan seakan-akan sanggup melompat dengan sangat tinggi. Di saat yang bersamaan dia merasa ada sosok mengawasi dari kejauhan. Tapi tunggu dulu! I-ini tidak mungkin! Bagaimana dia bisa memiliki Ki sehebat ini hanya dalam sehari? Ini kan sungguh hil yang mustahal kalo kata Asmuni. Kok iso ki kepiye? Bagaimana caranya?

Sesaat kemudian Bian baru paham.

Ini bukan Ki yang menjadi miliknya secara murni. Ini adalah Ki milik Pakdhe Gito dan Pakdhe Gati. Mereka telah menyalurkan tenaga mereka ke dalam tubuhnya. Mewariskan seluruh tenaga mereka ke dalam tubuh Bian, meningkatkan tenaganya berkali-kali lipat. Ini luar biasa. Jadi begini rasanya punya tenaga dalam yang sedemikian hebat.

Edan. Mimpi apa dia? Puja kerang ajaib lah ini.

Setelah mabuk berhari-hari dengan putus asa, ternyata lagi-lagi Beni Gundul yang menyelamatkannya dari lembah kemalangan dan memberinya harapan. Memberinya sesuatu yang di luar nalar, ilmu kanuragan dan tenaga dalam.

Begini ternyata rasanya ketiban ndaru. Beni... sekali lagi Bian berhutang budi.

Tenaga dalam dari kedua Pakdhe, masih ditambah lagi dengan kekuatan poro ageng. Luar biasa. Emejing. Tak henti-hentinya Bian bersyukur.

Semua excitement ini membuat Bian merasa haus, pemuda bandel itu kemudian melirik ke meja di sampingnya, di sana ada dua botol. Botol minuman keras dan botol air putih kemasan. Dia mendengus dan tersenyum. Bian memilih mengambil air putih kemasan, membuka tutupnya dan mengangkatnya sembari menatap langit.

“Demi kamu, Dab... demi kamu.”

Bian meminum air kemasan itu dengan segar.

“Nah, kalau sudah minum. Boleh kok, Mas ngicipin kue saya. Hihihi.” Tiba-tiba saja muncul suara lembut yang tak jauh dari posisi Bian saat ini duduk. Seorang gadis berkerudung membawa nampan dengan tangan kanan sembari tertatih karena menggunakan tangan kirinya untuk memegang kruk.

Itu kan Hasna.

Bian baru sadar di mana dia berada.

Saat ini pemuda bandel itu sedang berada di kost milik Hageng, tepatnya di kebun depan kamar kost-nya. Sejak tadi ia sudah menunggu-nunggu kehadiran sang T-Rex tapi tidak juga kunjung datang. Sementara langit mulai gelap. Kemana saja si bongsor bajindut itu? Kalau kelamaan bisa bahaya juga nanti di Pantai Selatan. Bisa-bisa diamuk si Deka.

Dasar nasib lagi untung. Pas nungguin begini, Hasna datang dengan sepiring roti lapis. Duh bener-bener deh, mimpi apa ya Bian semalam?

Eh, jangan-jangan... Bian teringat pada benda di kantongnya. Sebungkus permen Ment0s dengan bungkus terkoyak. Jangan-jangan permen pemberian si putri duyung ini adalah benda keberuntungan? Soalnya sejak diberi permen ini Bian terus menerus beruntung. Hahaha.

Buru-buru Bian bangkit untuk membantu Hasna meletakkan nampan di meja. “Duh, Hasna. Ngapain juga repot-repot coba? Ini si Hagengnya malah belum datang. Kan biasanya dia yang tukang icip-icip. Hahahaha.”

“Tidak apa-apa, Mas. Mas Bian kan juga sudah sering datang ke sini. Semua temen Mas Hageng sudah saya anggap sebagai tukang icip-icip berlisensi kok. Hihihi. Buktinya kalau saya bawa apa, selalu ludes kalian habiskan.”

“Ladalah. Hahahaha.”

Ada sepiring kue lapis kukus ala Surabaya, sepiring gorengan, dan segelas minuman jahe hangat. Oalah jan tenan. Pengen nangis Bian rasanya. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

“Sini duduk dulu, Hasna. Kita ngobrol-ngobrol bentar.” Bian menawarkan kursi lain di samping meja. “Ga enak kalo sendirian aja di sini bengong nungguin si kribo itu datang. Mending ditemenin Hasna. Hahaha.”

“Dih, kok jadi Hasna yang ketiban tanggung jawab ya? Hihihi. Ya udah gapapa, Mas. Sekali-kali. Besok-besok lagi kalau dimintain tolong nemenin Mas Bian, Hasna mau kenain charge. Boleh dibayar pakai debit tapi dilarang kredit. Hihihi.”

“Hahahaha, bisa aja.”

“Emangnya Mas Hageng kemana, Mas?”

“Ga tau dah. Ke tempat ceweknya mungkin.” Si Bandel keceplosan.

“Ha? Mas Hageng sudah punya pacar? Serius, Mas?”

“Eh...” Duh salah ngomong ya? Si Hasna ini jangan-jangan salah satu cewek yang didemenin si bongsor bajindut? Wadidaw. Ment0s ajaib, selamatkanlah aku dari nasib buruk ini. Bian meneguk ludah, keringatnya mulai menetes. Kalau salah jawab bisa-bisa dia dilipat jadi origami sama si T-Rex. “Eh, oh, nganu... nggak tahu juga sih. Setahuku sih belum ada. Dia kan kemana-mana sendirian, jadi rasa-rasanya belum deket sama cewek manapun. Kalaupun deket, kemungkinan bakal anjlok dari balkon lantai dua puluh karena punya cowok kayak Hageng. Hahahaha.”

“Dih, kok Mas Bian ngomongnya begitu sih. Pamali tau, Mas.”

Salah maning salah maning.

Haep. Mending makan lapisnya aja lah. Lho? Enak juga ini. Haep. Satu lagi, terus satu lagi, terus satu lagi. Hasna tertawa melihat Bian makan dengan lahap.

“Kalau Mas Bian?”

Bian mulutnya penuh. Dia menatap Hasna dengan pipi menggembung penuh kue lapis. “Kawaw akuw kenawaw?”

“Hihihihi, kalau Mas Bian sudah punya cewek belum?”

Bsshh! Wajah Bian memerah bak disiram kuah seblak. Dia menggeleng sembari menatap Hasna dengan pandangan memelas. “Bewum.”

“Hihihihi, sudah ketahuan sih dari jauh.”

“Hawsnaaaa...” Wajah Bian berubah bagaikan emoticon menangis.

“Cup-cup... jangan khawatir, Mas. Masih banyak ikan di laut. Kalau yang kemarin-kemarin belum kejaring...”

Bian menunggu-nunggu. Pasti kalimat selanjutnya kalau tidak coba lagi dan coba lagi, pasti perbaiki jaringnya supaya lain kali ada ikan kejaring. Hahaha. Ketebak sudah.

“...kalau tidak ada ikan kejaring, mending Mas Bian nyemplung juga laut. Biar tenggelem sekalian. Supaya kalau pulang ga malu. Hiihihi.”

“Hawsnaaaa...”

“Kalau...” Wajah Hasna tiba-tiba berubah memerah dan ia pun menunduk, agak malu-malu. Ucapannya berubah jadi agak lirih. “Kalau... yang paling ganteng itu... mas... mas Nanto ya? Sudah punya pacar belum?”

Tentu saja Bian memahami perubahan di sikap dan tutur kata Hasna saat menanyakan soal si Bengal. Badalah. Nanto lagi Nanto lagi. Makan apa ya si bocah itu kok ciwi-ciwi pada demen? Apa Bian operasi plastik aja ya di Asgar biar bisa nyaingin si Bengal? Hahaha. Asem tenan.

Bian mundur dengan santai dan menyandarkan kepalanya ke dinding setelah berhasil menelan semua layer kue lapisnya, “Hehehe, kenapa emang sama Nanto? Hasna naksir ya?”

“Ng... nggak kok... nggak... cu-cuma nanya aja. Emang ga boleh?”

“Boleh kok, boleh. Hasna nanya apapun pasti aku jawab.”

Hasna menunggu-nunggu dengan wajah berharap. Bian tidak tahu lagi. Emang di mata ciwi-ciwi si Bengal itu siapa? Aktor Korea kali ya?

“Sayangnya dia sudah punya pacar, Hasna.” Jawab Bian dengan jujur.

“Yaaahhh...” Wajah Hasna berubah kecewa.

“Lho?”

“Eh, maksudnya, yeeey.”

“Hahahaha...” Bian menyeruput jahe pemberian Hasna. “Tenang saja. Masih banyak ikan di laut, Hasna. Siapa tahu kalau sekarang ini kejaring...”

“Idih, kok dibales dah. Hihihi...”

Tiba-tiba saja ada seseorang berlari-lari di dalam kamar kost-an. Dia menuju ke arah Hasna dan Bian. Dia teman satu kost-nya Hageng, namanya Pradipta.

“Bi... Bian!!”

Melihat Dipta berlari-lari dengan wajah tegang membuat Bian jadi waspada, “Iya. Aku di sini, kenapa Dip? Ada apa?”

“Hageng Bi... Hageng!” Dipta terengah-engah, bukan karena berlari, tapi karena tegang setengah mati, “Eh, Hasna... kamu di sini juga?”

“Iya, Mas Dipta. Lagi ngobrol sama mas Bian. Mas Hageng kenapa, Mas?”

“Ha-Hageng ditangkap polisi, Bi! Tadi ada temen yang kebetulan kerja di apartemen mewah lihat Hageng ditangkap. Dia gak begitu kenal tapi inget banget sama wajah si Hageng.”

Wajah Bian berubah menjadi tegang. Dia dan Hasna saling berpandangan.

Gawat. Ada urusan apalagi nih?





.::..::..::..::.





“Jadi? Apa pembelaanmu?”

“Zaya berada di tempat yang zalah di waktu yang zalah. Zepertinya itu zaja zudah cukup menjelazkan.”

“Haaa jelas! Kalo berada di tempat yang tepat waktu yang tepat, kamu tidak akan tertangkap to yooo! Aku juga maunya berada di warung gudeg pas jam makan siang! Itu baru namanya waktu yang tepat saat yang tepat!” Kapten Ri menggebrak meja dan menatap mata Hageng dengan pandangan mata tajam di balik kacamata hitam. “Mana ada kolang-kaling teriak kolang-kaling!”

“Ehem.” Shinta berdehem. “Maling teriak maling kali, Kapten Ri.”

“Ya itu pokoknya!”

Ruangan itu tidak begitu luas dan agak terasa sesak karena ada beberapa orang sekaligus di dalam. Mereka semua mengelilingi meja dan mengajukan pertanyaan demi pertanyaan pada Hageng secara bergantian namun terkadang hampir bersamaan dan dengan nada yang tinggi.

Di dalam ruangan itu, terdapat juga Kapten Ri dan Bripda Shinta dari tim S7 alias Tim Garangan, merekalah yang paling bertanggung jawab atas operasi ini karena adanya indikasi keterlibatan korban E dengan komplotan preman tapi entah yang mana. Shinta berulangkali memeriksa ponselnya kalau ada informasi dari kasus ini dan membisikkan kalimat demi kalimat pada sang kapten seandainya ada perkembangan terbaru.

“Jawabanmu tidak memuaskan.” Kapten Ri berdiri sambil berkacak pinggang, ia menunjuk ke arah Hageng. “Kita ulang lagi dari depan. Kenapa kamu berada di apartemen saudari E?”

“Boleh zaja diulang-ulang. Mau berapakali pun jawaban zaya tetap akan zama. Karena memang itu kenyataannya. Zaya datang di zaat yang zalah, tapi zaya tidak berzalah. Kedatangan zaya ke apartemen itu karena ingin menolong Eva, bukan menyakitinya – atau bahkan membunuhnya. Zama zekali tidak ada dalam pikiran zaya.”

Shinta mendekat ke Kapten Ri dan berbisik. “Semua CCTV menunjukkan kalau jarak antara kedatangan orang ini di lobi apartemen dan detik-detik terlemparnya gadis itu dari balkon tidak terpaut terlampau jauh. Supaya pasti kita masih harus memastikan CCTV terakhir di lorong tempat kamar apartemen E berada. Rekamannya sedang diunduh dari cloud. Semua jadi agak susah karena dia naik ke atas melalui tangga darurat, dan di sana tidak ada CCTV. Untuk sementara alibi-nya tidak dapat digunakan.”

“Jadi dia bersalah atau tidak?” bisik Kapten Ri kembali.

“Masih belum bisa dipastikan.”

Kapten Ri mengangguk, dia kembali duduk di depan Hageng. “Baiklah, zobat. Aku mau bertanya zekali lagi, apa yang zedang kamu lakukan di zana? Apa hubunganmu dengan zi E ini? Pacarnya? Germonya? Tukang AC? Badut ulang tahun? Apa? Apa hubunganmu dengannya!? Zebutkan zemuanya dengan lengkap jangan zampai ada keterangan yang kurang!”

“Lho? Kapten kok ikut-ikutan ngomongnya gitu?” Shinta terheran-heran. “Kenapa pakai Z juga?”

Ha wez biar zaja!! Aku mangkel je! Emangnya cuma dia aja yang biza bikin kita bingung? Zekalian dong dia juga dibikin bingung waktu kita tanya.” Kapten Ri puas sepertinya. Shinta cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang pimpinan yang memang unik dan eksentrik.

Hageng geleng kepala, mau diulang berapa kali lagi sih? Pernyataannya jelas tidak akan berubah karena dia sudah berusaha untuk jujur. “Zaya hanya seorang teman. Eva menelpon zaya dan meminta tolong, tapi zaya tidak tahu zebenarnya dia ada mazalah apa, karena zuaranya terdengar zeriuz. Itu zebabnya zaya datang untuk memerikza apakah dia baik-baik zaja. Biza dicek di ponzel zaya jam berapa zaja zaya telpon dia. Mungkin biza dicek juga zemua CCTV. Yang jelaz zaya tidak mungkin membunuh zeorang gadiz – apalagi itu teman zendiri. Zeperti yang zudah zaya zampaikan berulang-ulang. Zaya tidak bersalah.”

Kapten Ri mengetukkan jemarinya di dagu. Dia mengerutkan kening, seperti sedang berpikir keras tentang sesuatu. Dia diam cukup lama. Shinta pun mendekat dan kembali berbisik.

“Kapten.”

“Ya?”

“Kapten sedang berpikir mengenai kasus ini atau tiba-tiba saja kebayang game solitaire yang belum tuntas di laptop? Takutnya Kapten ngelamun.”

“Enak aja. Ini aku sedang sibuk mikirin jemuran di rumah nanti siapa yang angkat kalau hujan. Sepertinya tadi sudah mendung-mendung.”

“Hah!? Beneran?”

“Ya nggak lah! Aku sedang sibuk mikirin kasus ini!” Kapten Ri berdiri dan mengajak Shinta ke satu sudut, “Kasus si E ini sebenarnys sudah aku pantau sejak lama. E – atau Eva ini adalah cewek panggilan papan atas yang sering melayani klien-klien penting. Itu sebabnya meski dia tidak memiliki satu pekerjaan resmi, tapi sanggup membeli apartemen dan barang-barang yang cukup mewah. Dia juga tidak melayani klien dengan asal, dia memilih siapa yang akan dia layani – itu sebabnya karirnya melejit, dia pilih-pilih, tidak sembarang orang bisa menidurinya.”

Shinta mengangguk. Informasi itu sebenarnya sudah ia baca dan pahami, tapi tidak apa-apa, siapa tahu ada hal-hal yang diketahui Kapten Ri yang tidak tersimpan database Tim Garangan. Polwan manis itupun mendengarkan saja ketika kemudian sang Kapten nyerocos tanpa henti seperti selang bocor.

“Sayangnya sampai saat ini kita masih belum tahu dengan pasti siapa agennya, siapa germonya, siapa penghubungnya, dan siapa saja yang pernah menjadi klien-kliennya. Kenapa hal itu penting? Karena Eva tidak bekerja sendirian. Dia punya tim dan tim itu tergabung ke dalam satu kelompok preman besar. Satu-satunya alasan kenapa Eva dihabisi adalah karena dia ingin resign. Informasi terakhir dari Gisel yang kita terjunkan ke di ranah yang sama, Eva memutuskan untuk mundur dari dunia hitam, dan berniat untuk mengembalikan semua pemberian bosnya.”

“Bukankah itu bagus?” tanya Shinta.

“Bagus buat Eva, tidak buat Bos-nya.” Kapten meruncingkan bibirnya seperti curut, “Eva itu the most wanted girl in town. Bisa meniduri dia adalah lambang prestige buat para penggede karena harga sewanya super mahal – dan memang benar dia hanya melayani klien-klien paling top notch. Kalau sekarang Eva memilih resign dan mundur, maka ada dua konsekuensi yang harus ditanggung oleh kelompok preman besar yang menaunginya. Satu – mereka bakal kehilangan cuan yang jumlahnya aduhai, dan kedua – mereka bakal terancam karena Eva saat ini memegang rahasia dapur banyak klien besar. Orang-orang itu tentunya takut jika suatu saat nanti Eva akan membeberkan rahasia-rahasia mereka. Kalau Eva memang berniat mundur, maka satu-satunya jalan adalah melenyapkannya. Cuan boleh hilang tapi rahasia harus tetap aman.”

Shinta geleng-geleng kepala. Dia hendak mengucapkan sesuatu namun kemudian ponselnya bergetar perlahan. Shinta melirik ke layar smartphone-nya dan menekan tombol terima. Polwan manis itu kemudian seperti terkejut, matanya melotot. Dia menengok ke Kapten Ri dan memberi tanda ke arah pintu, memohon ijin keluar ruangan. Begitu sang Kapten mengangguk, Shinta langsung melesat ke depan.

“Aku dengar kamu gabung ke Aliansi. Geng anak muda paling nggegirisi di wilayah utara. Gabungan antara kelompok geng mahasiswa dari Unzakha dan UAL, ditambah beberapa dosis simpatisan Patnem. Lumayan juga.” Kapten Ri manggut-manggut. “Hebatnya lagi dengan kekuatan ala indomie telur begitu kalian bisa-bisanya menuntaskan kelompok-kelompok yang lebih besar seperti KSN dan RKZ. Emejing jiwa. Untuk itu kami tentunya justru berterima-kasih. Sayangnya nih... sayangnya... kekacauan yang terakhir kalian lakukan di Gudang RKZ menimbulkan korban jiwa, itu jadi masalah besar buat kami. Nobody walks away with murder. Tidak boleh ada yang melenggang dengan bebas setelah membunuh orang lain di kota ini. Tidak boleh dan tidak akan aku ijinkan. ”

“Kami tidak pernah membunuh ziapapun kalau itu yang kalian makzud dengan...”

“Aku tidak peduli. Yang aku peduli adalah bahwa aku bersumpah akan memburu siapapun yang telah bertindak kelewatan melakukan aksi pembunuhan dan membawanya ke meja karambol!”

Para anak buah saling berpandangan. Salah satu mendekat ke arah sang Kapten.

“Ehem. Hijau, Kapten. Meja hijau. Bukan meja karambol.” Salah seorang anak buah membenahi sang Kapten yang memang suka kacau.

“Nah pokoknya itu.”

Hageng mengangkat pundak. Kan memang benar, Lima Jari tidak membunuh siapapun. Belum.

Kapten Ri pun mendekat ke arah sang anak buah, “Makasih sudah dibenerin hahaha, kadang mulut sama otak ga sinkron. Hahaha. Bisa-bisanya bilang meja karambol. Hahaha, memangnya mau ngepel lantai? Hahaha.”

“Hadeehh... yang buat ngepel itu karbol, Kapten. Bukan karambol.”

“Nah pokoknya itu.” Kapten Ri lalu melihat wajah sang anak buah, “Kamu bukan Rama.”

“Bukan Kapten.”

Kapten Ri pun mengerutkan kening saat melihat wajahnya, “Kamu siapa? Di mana Rama?”

“Saya Briptu Hafiz, Kapten. Brigpol Rama sedang melakukan penyelidikan di pantai selatan sesuai yang Kapten Ri perintahkan. Berkaitan dengan adanya pertemuan kelompok WNA Jepang.”

“Oh ya ya... yang itu ya...” Kapten Ri tersenyum, “Posisi sebagai calon menantu Raja Selatan ternyata ada gunanya juga. Dapat kita manfaatkan untuk mendapatkan informasi-informasi penting kapan saja. Hahaha, lanjutkan kerjamu! Bagus sekali! Jangan lupa infokan hasil apa yang didapat dari pertemuan orang-orang Jepang itu di pantai selatan.”

“Eh, tapi saya Briptu Hafiz, Kapten. Bukan Brigpol Rama. Saya dari tadi di sini tidak pernah ke pantai manapun, saya kan...”

“Pokoknya itu.”

Tiba-tiba saja pintu ruang interogasi terbuka.

Shinta masuk dengan wajah pucat pasi, ia buru-buru mendekat ke Kapten Ri. “A-ada informasi baru, Kapten. Yang ini pasti akan sangat membagongkan, ini masalah baru. Kelompok PSG baru saja menyerang Talatawon dan menghancurkan mereka dengan kekuatan besar. Setidaknya ada empat geng kampus di wilayah utara yang tengah dihancurkan oleh PSG – tidak termasuk DoP dan Sonoz.”

Kapten Ri langsung menunjuk beberapa orang, “Kamu, kamu, kamu, dan kamu. Bawa pasukan dan lihat kondisi di kandang Talatawon. Cari tahu kenapa PSG tiba-tiba saja mengamuk dan membabibuta. Hentikan mereka sebelum pecah perang besar.”

“Siap.”

“Siap.”

“Siap.”

“Siap.”

Empat orang langsung melesat dan mengikuti perintah Kapten Ri. Peristiwa hancurnya Talatawon tentunya bakal memancing QZK turun ke jalan karena Talatawon adalah subsidiary QZK.

Kapten Ri geram mendengar kabar itu. “Mau apa lagi si Gunar sekarang. Berani-beraninya dia mancing onar di utara. Dasar gemblung orang satu itu.”

“Kapten Ri,” Shinta berdehem. “Apakah masih kuat menerima kejutan?”

“Kenapa memang?”

“Mengenai kasus E dan H yang sedang kita tangani ini, ternyata ada satu saksi lagi di apartemen itu, Kapten. Saksi penting.” ujar Shinta yang kemudian terlihat kebingungan. “Tapi saksi yang satu ini memaksa untuk bertemu calon tersangka sebelum mau menyampaikan kejadian sebenarnya. Saya jadi bingung karena...”

Lho piye? Kok malah bingung? Apa seperti membeli kemoceng dalam karung?” Kapten Ri juga ikut bingung. “Apa ada lagi informasi yang membingungkan? Jangan ditambah-tambah lah, ini aku juga masih bingung dengan kasus si E ini. Kita masih belum tahu siapa yang membunuhnya, kenapa dia dibunuh, dan apa alasannya. Semua masih belum jelas. Kalau ditambah lagi misteri, bisa-bisa kasus ini nembus ke versi 10 saking njelimetnya. Satu-satunya petunjuk yang ada cuma kehadiran si kribo bongsor ini di apartemen si E. Kalau misalnya...”

“Maaf. Tapi saksi ini sungguh sangat penting, Kapten. Sepertinya cukup krusial untuk kasus kita. Kita harus mengijinkan dia masuk ke dalam ruangan ini.”

“Aku kok jadi mules kalau lihat muka kamu.”

Terdengar pintu diketuk dari luar. Shinta yang bergegas menuju ke pintu dan membukakan.

Tiba-tiba saja sesosok wanita masuk, ia mencari-cari dan akhirnya menemukan di mana Hageng berada. Buru-buru wanita itu memeluk Hageng yang terkaget-kaget. Ia memeluk sang T-Rex dengan sangat erat seakan tidak ada hari esok. Tangisnya pecah ketika bertemu dengan Hageng.

Kapten Ri juga jadi kaget, “Eh! Ayam ayam ayam! Eh! Eh! Apa ini!? Ini apa!? What is this? Nani? Yamete! Kok ada yang maen selonong terus meluk! Enak aja! Siapa yang kasih otoritas orang ini bisa masuk-masuk ke dalam? Ini baru pemeriksaan lho! Ini kantor lho! Ini polisi lho! Ini kantor polisi lho! Seenaknya saja masuk terus main pelak-peluk di kantor polisi!?! Dikata ini pelem India apa? Saya kan jadi kepengen.” Kapten Ri langsung bertanya pada Shinta, “siapa dia?”

Hageng yang terkejut tidak sempat melihat siapa yang sedang memeluknya, ia pun mundur sedikit untuk melihat siapa sebenarnya wanita itu. “Ziapa yang... EVA!?”

“EVA!?” Kapten Ri melotot.

Shinta tersenyum kecut, “Dia Eva, Kapten.”

Hafiz ikut menambahkan, “Itu Eva, Kapten.”

Tukang antar minuman juga ikut mengangguk, “Itu Eva, Kapten.”

“Eva?” Kapten Ri kehabisan kata-kata. Kalau si E ada di sini, hidup, dan tak kurang suatu apa. Lalu mayat siapa yang ada di ruang jenazah? Siapa yang membunuhnya? Kenapa dibunuh?

“Maafkan aku, maafkan aku... aku tidak bermaksud membuatmu ditahan di sini.” Eva menangis sembari memeluk Hageng dengan erat. Sang raksasa kribo hanya tersenyum lembut dan mengelus-elus rambut wanita cantik itu.

Kapten Ri garuk-garuk kepala lagi.

Wasu.

Sungguh mati Kapten Ri jadi geregetan. Dia paling benci kalau penyelidikannya tidak bisa dituntaskan dengan sekali duduk dan bukannya selesai malah jadi panjang seperti sekarang ini. Kapten Tim Garangan itu pun menghempaskan dirinya di kursi.

“Asem. Kentang.”





BAGIAN 2 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3

no quote
 
Terakhir diubah:
Terimakasih atas update ceritanya suhu @killertomato ..
Waduh pusing, njlimet, kayak benang bundhet..
Banyak penasarannya euy..
Itu Usagi apa kenal Pasat?
Ini PSG dan RKZ koq tiba2 nyerang Talangtawon minus kampus2 Aliansi..
Ini Roy dkk ga tahu klo Rey Tukul rumahnya di Om Janu?
Kabar baiknya Nanto kesatria mo tanggung jawab, jd Kinan amanlah,
Tp kasihan Hanna suhu,
Ijinkan Nanto POLIGAMI suhu, please..
Tambah Nada dan Bu Asty...
Kabar baik jg Nuke selamat, tp ga ada ceritanya Hu? Tiba2 udah berduaan aja ama si Hyena..
Kabar baiknya jg ternyata yg kirain bakalan serius mikir nasibnya Hageng, malah polisi guyonan doank, haha
Kapten Ri benar2 sengklek..
Eva jg selamat, terus yg mati sapa?
Peran Rama ini apa? Dan jg peran Jejepangan dari JXG apa?
Kabar baiknya Bian jd sakti jg,
Lima jari bakalan jaya klo begini mah..
Itu Om Janu diminta apa yak sama Ngarso Dalem? Sampe 4 kerisnya dikasih,
Jangan2 semua ini ada keterlibatan Keraton?
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
 

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd