Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v3

Selama ini, siapakah tokoh antagonis yang bikin suhu-suhu di sini geregetan dan emosi?

  • Ki Juru Martani

    Votes: 149 33,3%
  • om Janu

    Votes: 82 18,3%
  • Bambang Jenggo

    Votes: 91 20,3%
  • Joko Gunar

    Votes: 6 1,3%
  • Reynaldi

    Votes: 187 41,7%
  • Rama

    Votes: 25 5,6%
  • Rahu Kala

    Votes: 7 1,6%
  • Darsono

    Votes: 3 0,7%
  • Mox

    Votes: 3 0,7%
  • Tokoh antagonis lain

    Votes: 3 0,7%

  • Total voters
    448
  • Poll closed .
GAROU
RETURN OF THE PRODIGAL SON




Kata Bermula

Halo semuanya. Saya bukan Cak Lontong, salam lemper.

Sembari menunggu kelanjutan cerita Jalak, ada satu cerpen spin-off yang mudah-mudahan bisa menghibur. Tapi untuk dapat memahami cerita spin-off ini, dianjurkan anda mengikuti semua serial JALAK dan KIDUNG SANDHYAKALA terlebih dahulu. Karena cerita ini memiliki sedikit sangkutan dan hubungan dengan kedua cerita tersebut.

Cerita ini masuk ke dalam inisiasi Jalak Universe Narrative. Apa itu narrative? Kalau menurut kamus Merriem-Webster, narrative is a work with imaginary characters and events that is shorter and usually less complex than a novel. Badalah, apa meneh itu maksudnya? Ya wes pokoknya begitulah. Pokoknya aman, ngab.

Apakah cerita ini canon atau official? Belum tahu. Karena ini hanyalah sebuah ide yang iseng-iseng diwujudkan. Bisa saja di sepanjang perjalanan waktu ada yang berubah.

Yang jelas cerita ini terbit karena ide tentangnya tiba-tiba saja muncul saat saya menulis ending Jalak v2 dulu. Daripada idenya ilang, lebih baik saya tuntaskan dalam bentuk cerpen.

Cerita ini adalah cerita fiktif, semua kejadian yang termuat di dalamnya bukanlah kejadian nyata. Kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan belaka. Tentu saja cerita ini jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Mohon ambil baiknya, buang buruknya. Penulis tidak menganjurkan atau mendukung seandainya ada aktivitas negatif seperti yang mungkin diceritakan dalam cerita.

Mudah-mudahan berkenan.
Selamat menikmati, sobat ambyar.



.::..::..::..::.



.:: INTRO



“I’m a prodigal son. The black sheep of a white flock.
I shall die on the gallows.”
- William A. Drake




Mungkin.

Mungkin ini adalah kisah pada suatu ketika.

Di suatu masa, pada sebuah jaman yang saat itu adalah ketika itu.

Kenapa hanya ketika itu? Kenapa lantas tidak menyebutkan waktu? Karena jika ketika dijadikan sebagai penanda masa, maka ketika juga bisa dijadikan pembatas angan yang tidak bisa dan tidak perlu dibatasi. Jadi cukup dipahami, bahwa ini adalah kisah pada suatu ketika. Tidak perlu didalami apalagi dimengerti. Cukup dimaklumi bahwa kita hanya bisa sampai di suatu ketika tanpa perlu memahami sejatinya bagaimana perjalanan hingga saat ini.

Kisah pada suatu ketika ini mungkin bisa berdiri sendiri, mungkin bisa terhubung, atau mungkin saja kemudian tersambung pada sebuah kelanjutan, tapi bisa juga ternyata tidak terjadi sama sekali. Yang jelas kita tidak perlu menyelidiki jaman. Cukup melihat dari kejauhan. Cukup memaklumi keadaan. Bahwa yang mungkin bisa menjadi mungkin saja, dan yang tidak mungkin bisa menjadi bisa saja.

Ini adalah sebuah kisah pada suatu ketika, tentang pertemuan para serigala, dan babak lain dari perjalanan panjang Kidung Sandhyakala.



.::..::..::..::.



.:: SATU



Janoko Lananging Jagad.”

Pria yang baru saja dipanggil dengan nama lengkap yang unik itu menoleh dan tersenyum pada sosok jelita di belakangnya, “Ya, sayang? Lengkap bener manggil namaku? Pasti ada sesuatu ini. Pasti ada udang di balik bakwan.”

Janoko yang sering dipanggil dengan nama Jano itu pun menghentikan apa yang sedang ia lakukan.

“Mas Jano, apa yang kamu lakukan itu... jahat.” Seorang wanita berwajah jelita memeluk pemuda itu dari belakang dan mengecup bahunya. Jano sendiri sebenarnya sedang merapikan semua yang hendak ia bawa besok ke dalam ransel yang ada di samping pembaringan, termasuk kartu vaksin dan bukti swab antigen.

Wanita berparas indah bernama Syahnaz itu merajuk manja, menempelkan tubuhnya di punggung Jano dan mendaratkan kepalanya di bahu sang kekasih untuk bersandar. “Berani-beraninya meninggalkan tunanganmu di sini sendirian. Gimana nanti kalau ada yang mencuri hatiku? Kamu rela hatiku direbut laki-laki lain? Kamu mau aku dipegang-pegang laki-laki lain? Tega ya kamu? Teganya teganya.”

“Demi penjara Azkaban.” Jano pun membalik tubuhnya dan berniat memeluk sang kekasih hati, namun sang bidadari malah menghindar kali ini. Jano tersenyum melihat wanita jelita itu terus saja merajuk karena tidak mau ditinggal. “Sya sayang... aku yakin sekali tidak akan ada yang berani mencuri hatimu. Karena siapapun pun yang nekat melakukannya maka dia harus berhadapan denganku. Orang-orang di sini sudah tahu siapa aku dan untuk siapa aku bekerja. Mereka cari perkara kalau berani menyentuh bahkan sehelai rambutmu saja.” Jano tersenyum. Ia membenamkan tubuh telanjangnya di samping sang tunangan. “Tidak sedikit yang berusaha mencuri hatimu, tapi aku yakin hanya aku yang mampu memuaskanmu.”

“Dih, pede banget. Noh si otong langsung kenceng.”

Jano tertawa, “Kamu duluan yang mancing.”

Si cantik yang juga tanpa busana itu kini memeluk Jano, “Jangan pernah tinggalin aku ya, Mas. Walaupun di sana nanti kamu ketemu cewek yang lebih cantik dan lebih seksi dari aku... tapi aku yakin dia tidak akan sayang sama kamu sebesar sayangku padamu.”

“Aku janji.” Jano mengulurkan kelingkingnya dan si cantik itu melakukan hal yang sama. Mereka menautkan kelingking sebagai tanda setia ala-ala. “Lagipula di sana aku tidak berencana bertemu mantan yang manapun.”

Syahnaz mencibir, “Janji pokoknya.”

“Iyaaa.” Janoko tertawa dan mengucapkan kata yang seolah-olah adalah sumpah. Jano mengucapkannya sambil meletakkan telapak tangan di dada. “Teruntuk kekasihku, Syahnaz Juliana. Aku berjanji akan selalu setia selamanya. Bumi dan langit jadi saksinya.”

“Kekasih? Kok cuma kekasih?” Sya mengangkat jemarinya yang sudah dihiasi oleh cincin ke muka Jano.

“Tunanganku.” Janoko tertawa kembali.

“Kok malah ketawa sih? Ih, Mas-nya ga serius.”

“Abisnya kamu itu aneh.” Jano mengeratkan pelukannya pada sang kekasih hati, “kita sudah tunangan, tanggal pernikahan sudah dikirim ke tukang bikin undangan. Kok ya bisa-bisanya kamu mengira aku akan tergoda oleh wanita lain. Yang bener aja, Sya. Masa iya kamu tidak percaya sama aku?”

“Ini kan pertama kalinya kamu balik ke kotamu, Mas. Setelah beberapa tahun di sini akhirnya kamu balik juga. Aku bisa apa kalau di sana kamu nanti ketemu sama ciwi-ciwi yang bemper depan belakang gede. Hiks... punyaku kan cuma segini...”

“Hidih. Kamu pikir aku cowok apaan semudah itu naksir cewek lain cuma gara-gara bemper.” Jano mencibir, “aku pulang justru karena kita akan menikah. Aku merasa tidak nyaman kalau tidak sekali pun menyampaikan niatku untuk menikah pada Bapak. Biar bagaimanapun juga beliau orang yang sangat berjasa membentuk siapa diriku sekarang.”

“Aku tahu kok, Mas. Aku tahu betapa berartinya Bapak kamu. Sayang aku tidak bisa menemuinya. Seandainya saja aku bisa ikut, aku pasti akan menemanimu. Tapi kamu tahu sendiri kerjaanku kayak apa. Hiks...”

“Jangan khawatir, akan kusampaikan salammu.”

“Nah begitu juga bagus, tolong sampaikan pada Bapak... kalau anaknya sudah sering nakalin aku...”

“Oh.” Jano tersenyum, “pesannya harus seperti itu ya?”

“Iya, harus disampaikan secara utuh, tidak boleh terpotong-potong. Kata per kata harus tepat.”

“Oh, oke. Tidak boleh terpotong-potong ya.” Jano tertawa.

“Bilang kalau anaknya sudah sering nakalin aku. Sekarang juga nakal banget, masa aku ditinggal sendirian. Alasannya sih mau ketemu Bapak, padahal aku tahu alasan sebenarnya tuh dia mau ketemu sama mantannya yang di sana. Mantan yang itu tuh, Pak...”

“Woy.”

“Jangan dipotong. Ini kan pesan buat Bapak. Kamu jangan ngrecokin lah, Mas.”

“Woy lah.” Jano tertawa. “Ga gitu juga kali pesannya.”

“Bilang ke Bapak kalau saking nakalnya si anak, dia pernah hampir menikah sewaktu masih sekolah. Edan ga tuh? Kurang bandel gimana lagi coba? Untung masalah utama akhirnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Kalau ga, wah gawat tuh...”

“Woooy.” Janoko tersenyum sembari melirik ke bagian bawah tubuh Syahnaz, ada bulu-bulu halus yang dipotong rapi dan tipis. Sangat bersih sekali. Kekasihnya memang pandai merawat diri. Dengan berani pemuda itu memainkan jemarinya di bulu-bulu halus milik sang kekasih itu.

“Heh! Mau ngapain? Bukannya dengerin malah maenin punyaku.” Syahnaz protes. “Tadi kan udah berkali-kali.”

“Kamu terlalu indah untuk dianggurkan. Terlalu cantik untuk tidak diapa-apain. Bagaimana kalau besok aku rindu? Aku pasti ingin menikmati keindahanmu lagi dan lagi.”

“Gombalmu itu lho, Mas.”

“Kenyataan.”

Kepala Jano maju, bibirnya terbuka. Mereka saling mencium. Tangan pemuda itu juga tak tinggal diam, menelusup menyusuri tubuh indah sang dewi, lalu meremas buah dada Sya. Bidadari itu melenguh saat dadanya diremas-remas dengan buas.

“Mmmhhh... nakal banget memang...” Sya protes. “Sudah istirahat ternyata masih juga digangguin. Tadi padahal sudah berkali-kali.”

“Seperti yang aku bilang, kamu terlalu indah.”

“Mmhh... memangnya mau lagi?”

“Sudah pasti.”

Sya tersenyum. “Syarat dan ketentuan berlaku.”

“Bilang saja.”

Woman on top.” Kedip Sya.

As you wish.”

Sya menaiki tubuh Jano, menempatkan tubuh indahnya di atas pangkal paha sang pemuda. Kakinya melebar, mengangkang, memposisikan diri di atas batang kejantanan yang tegak mengencang, berdiri menantang, bagai pesawat ulang-alik NASA yang siap menembus bintang-bintang. Jemari lentik Syahnaz memegang batang penis Jano dan menempatkannya agar benar-benar tepat berada di bawah bibir kemaluannya sendiri. Lalu setelah posisinya pas, Syahnaz memejamkan mata, tubuhnya diturunkan. Si ujung gundul mulai menyeruak di dalam liang cintanya.

“Aaaaaaaahhhh...” lenguhan terdengar dari bibir sang bidadari yang terbuka sedikit. Jano terpana, seksi banget sumpah.

Tubuh indah sang bidadari mulai naik turun, ia merem melek. Napasnya mulai memburu karena batang kejantanan Jano memenuhi liang cintanya hingga mentok ke ujung. Jano sendiri tidak diam saja menikmati, tangannya bergerak untuk merengkuh buah dada Syahnaz, meremas-remas bongkahan kenyal yang menggantung merangsang bergerak erotis. Bagai terpicu, birahi Sya makin melonjak.

Jano menatap wajah kekasihnya yang begitu menggairahkan dengan keringat mulai menetes dan mata terpejam. Bidadari jelita itu benar-benar sangat menikmati permainan cinta ini. Wajah cantiknya sungguh menggoda, tubuh sensualnya, hidung mungilnya, bibir merekahnya... Jano tak tahan. Ia menarik tangan sang kekasih, membiarkan tubuh indah itu luruh ke bawah untuk mendarat di dada bidangnya. Ketika mereka kemudian dekat, Jano lantas mencium bibir sang kekasih dengan sepenuh hasrat seakan tiada hari esok.

Giliran Janoko yang beraksi sekarang, sembari mengecup bibir sang bidadari, ia menggoyang batang kejantanannya di dalam liang cinta milik sang dewi. Masuk, keluar, masuk, keluar. Keluar, masuk, keluar, masuk. Sya memeluk kekasihnya sembari melenguh berulang-ulang. Tubuhnya disentak-sentah berkali-kali. Batang kejantanan Jano meraja di dalam liang cintanya, merambah posisi yang mau berapa kalipun didesak tetap saja enak. Syahnaz tidak kuat... kenikmatan ini...

Syahnaz kembali menegakkan badan dengan bantuan kedua lengannya yang tegak di samping badan Jano. Tubuh indahnya bergerak mengikuti irama sodokan sang kekasih, ia memutar pinggulnya, naik turun menjalari panjang batang kemaluan kencang sang kekasih dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Ia masih memejamkan mata, menghantamkan tubuhnya sendiri untuk mengendarai pilar kencang yang bertahta di liang cintanya dengan kecepatan tinggi.

Tak butuh waktu lama, dengan cepat Ia sudah hampir sampai ke puncak kenikmatan.

“Oh, oh, oh, oh, oh, oh, ah, ah, ah... Hnnnnghh...! Gilaaaaaa... kamuuu...! Gilaaaaa kamuuuuu... Hnngh... enak banget inih... enakkkgh... ngghh... nghh... nghh...” mulutnya memaki, tapi tubuhnya mengikuti aksi. “Sayaaaaaaang... aku sudah maaaauuu...”

Tangannya beralih untuk mencengkeram erat bahu Jano.

“Aaaaaaaaah...!!”

Sya ambruk ke dada Jano, tubuhnya dihempaskan ke dada bidang sang kekasih. Napasnya kembang kempis. Jano pun memeluknya. Sedikit demi sedikit pemuda itu masih menggoyang karena batang kejantanannya masih belum usai menuntaskan kerja. Ia membiarkan saja Syahnaz berhenti sejenak untuk sementara waktu, membiarkan wanita jelita itu menikmati pemuncak yang baru saja ia dapatkan.

“Gimana?” tanya Jano setengah berbisik.

Syahnaz tidak segera menjawab. Ia hanya membuka mata dan menatap pria yang sangat disayanginya itu dengan penuh cinta. Ia mengecup bibir Jano.

Tanpa perlu mengucap banyak kata, Sya tahu apa yang harus ia lakukan saat menatap wajah Jano yang menuntut. Saatnya berganti posisi. Bibirnya terbuka sedikit, beneran seksi banget. Jano mengecupnya saat keduanya kemudian melepaskan diri. Terdengar bunyi letupan kecil yang disertai dengan desahan manja dari mulut Sya.

“Mmmhh...” Bidadari itu tersenyum.

Sya kemudian merebahkan diri dan berbaring di samping Jano. Pria itu segera beraksi, ia menindih tubuh Syahnaz, menggiring batang kejantanannya yang kencang bagai kayu ke bibir kewanitaan sang dewi. Lesakan masuk dengan nyaman di usaha pertama, dinding liang cinta Syahnaz sudah teramat basah.

“Mmmaaaassshh... eemmmhh...”

“Yaaa?”

“Aku sayang banget sama kamuuu...”

“Aku juga...”

Jano menggerakkan pinggulnya.

Efeknya luar biasa. Syahnaz memejamkan matanya, kedua kaki jenjangnya mengunci pinggang sang pria, sementara tangannya yang melingkar di leher sang pemuda menarik kepalanya ke bawah, dan mereka berdua kembali berciuman. Jano tak berhenti menggerakkan pinggangnya untuk menusuk dan menyodok, membuat Sya mendesah nikmat setiap kali ia merasakan batang kejantanan Jano meraja di liang cintanya. Awalnya perlahan, lalu lama-lama berubah menjadi cepat.

“Maaaaasssssshhhh...” Sya merintih nikmat. Jano tak lagi menjawab.

Gerakannya menghebat, menghempaskan tubuh sang bidadari berulang-ulang. Tangan Jano mulai menggapai buah dada Syahnaz, pas setangkupan, tidak besar tidak kecil. Ia meremas-remas buah dada yang baginya sempurna itu.

Tubuh Janoko membungkuk dan mulutnya turun ke bawah, menjilat dan menggigit puting merah muda mungil di ujung buah dada yang masih terus ia remas-remas. Sya menggelinjang antara geli tapi juga keenakan. Gempuran penisnya di liang cinta sang bidadari juga tak berhenti, bahkan semakin kencang. Keduanya mendaki bukit kenikmatan, keduanya mengerang, mendesah, dan mengucapkan kalimat demi kalimat puja puji rasa sayang.

Benturan paha keduanya menimbulkan bunyi tempaan kulit yang menjadi musik indah di kamar yang redup cahaya namun hangat suasana. Gerak pinggul Jano berirama, menempa selangkangan Syahnaz yang membuka kakinya lebar-lebar. Pria itu lantas memeluk sang dewi, mencium bibirnya, menghisap kenikmatan terindah dalam hidupnya.

“Hmmhhh.” Sya melenguh dan terpejam.

Terasa bibir bawah Syahnaz mulai mencengkeram kuat, tanda bahwa akan ada pertemuan pemuncak. Keduanya berpagutan menyambut finalisasi. Tubuh meregang, tangan Sya mencengkeram erat rambut Jano.

“Aaaaaaahhhh... Maaaaaasshh...”

Jano merasakan apa yang dirasakan oleh sang kekasih, naiknya birahi hingga ke titik tanpa kembali. Kenikmatan itu sudah sangat di ujung sekali. Hingga akhirnya letupan terjadi. Liang cinta Syahnaz yang dilesaki kemaluan Jano kini dibanjiri. Baris demi baris cairan hangat disemprotkan ke dalam liang surgawi.

Sudah. Usai sudah.

Tempaan paha berkurang kecepatannya hingga akhirnya selesai. Tubuh keduanya yang awalnya menegang kini lemas dan tak lagi menuntut. Bibir saling mengecup, saling mengucap terima kasih. Itu sekarang, entah nanti jika terulang kembali.

Jano menghempaskan dirinya di samping Syahnaz. Entah berapa kali malam ini mereka sudah mereguk nikmatnya menaiki rakit asmara. Ia memejamkan mata dan terbaring dalam tenang, tangannya lalu menelusup ke bawah kepala sang kekasih, untuk menarik, mendekatkan, lalu merangkul sang tunangan. Ia suka wangi tubuh kekasihnya itu.

Syahnaz membenamkan kepalanya di dada Jano, “Mas... hati-hati ya di sana, kalau ada apa-apa kabarin aku. Jangan lupa VC aku setiap malam. Pokoknya cepat pulang, aku pasti kangen banget.”

“Pasti, Sya.” Jano mengecup dahi sang kekasih dan memeluknya erat. “Aku yakin tidak akan ada kejadian apa-apa di sana. Semuanya pasti akan baik-baik saja.”

Syahnaz terdiam. Entah kenapa perasaannya berkata lain.



.::..::..::..::.



.:: DUA



Kota ini... punya sejuta kenangan buat Janoko.

Kenangan indah juga kenangan buruk.

Seandainya saja waktu dapat berputar kembali, akankah dia memilih untuk tetap tinggal di sini?

Mungkin iya, mungkin tidak.

Tapi jika jawabannya ya maka Jano tidak akan pindah ke pulau seberang dan meraih indahnya kehidupan yang sekarang di sana. Semua yang ia syukuri yang hadir dalam hidupnya. Semua ada plus minus. Yang pasti, kota ini tak akan tergantikan sebagai muara sejuta kenangan.

Kota ini selalu punya sesuatu untuk dikenang bagi setiap orang yang pernah hadir dan bahkan tinggal. Pahit getir kehidupan hingga nyaman indahnya mimpi dan harapan. Semua ada di sini, mulai dari keluarga yang pernah ia tinggalkan, cinta pertamanya, hingga semua patah hati terbesarnya. Kota ini memang tempatnya kenangan. Bahkan ada seorang sastrawan yang bilang, kalau kota ini terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.

Pemuda tampan itu membawa ranselnya menyusuri trotoar di depan mal. Entah sudah berapa tahun dia tidak masuk ke mal yang berada tepat di samping hotel ini. Berada di perbatasan kota antara wilayah tengah dan utara dan menjadi penanda kemegahan beberapa dekade yang telah lalu.

Tahun-tahun keemasannya telah berlalu. Mal itu kini hanya menjadi saksi sepi kehidupan yang telah lama ia tinggalkan. Ditambah lagi saat ini di sekeliling mal terdapat toko-toko yang tutup dan mulai dikosongkan karena pandemi, wajah-wajah menahan pedih karena kehilangan pekerjaan, dan mata pencaharian muncul satu dua dari berbagai sudut. Semuanya dapat ia lihat hanya di satu wilayah ini.

Jano datang ke tempat ini karena dia kangen dengan satu warung burjo yang berada di salah satu gang di samping mal. Mudah-mudahan saja masih buka. Gambling saja datang ke sini karena dia baru bisa check in di hotel nanti tengah hari. Jadi mau mampir dulu ke sini untuk sarapan.

Mungkin agak terlalu pagi? Atau terlalu siang? Dia langsung datang ke sini setelah turun dari pesawat, Jano tidak tahu jam berapa warung-warung di kota ini buka selama masa pandemi. Ketika melewati kelokan gang di mana warung burjo itu berada jantung Jano mulai berdegup. Harap-harap cemas.

Ah, syukurlah.

Ternyata warungnya masih ada dan sudah buka. Untunglah... dia sudah lapar. Warung burjo ini adalah salah satu tempat yang ia rindukan. Tempat yang telah memberikan banyak kenangan saat ia masih sekolah.

Seperti halnya warung burjo yang masih buka, kafe bertaman di depannya ternyata juga masih buka. Bahkan ada satu dua orang yang duduk di taman untuk makan pagi meski mereka duduk saling berjauhan.

Luar biasa memang pertunjukan kemewahan dan kesederhanaan yang hadir saling berhadapan di tempat ini. Bertolak belakang namun akur, saling menyindir tapi berbaur. Jano dulu pernah menjadi saksi keunikan warung burjo yang santai dan humble sementara kafe di depannya dihadiri oleh hingar bingar masyarakat papan atas yang berduit, tapi mereka bisa mingle. Bisa berbaur. Tempat ini memang tempat yang unik.

Janoko masuk ke warung burjo, melihat hanya ada satu orang yang duduk di dalam sembari minum kopi susu. Ia mengenakan jaket ojol. Jano pun bertanya pada sang penjual. “Kang, boleh makan di tempat?”

“Duduk, Mas.”

Jano mengangguk. “Milow anget satu, Indowmie goreng satu. Pake telur ya, Bang.”

Si Akang mengangguk dan segera beraksi bak chef handal. Dia sudah berusaha dengan keras, tapi kita tahu kita tidak akan pernah melihatnya hadir di Masterchef Indonesia.

Tempat ini desainnya tidak berubah, posisi meja dan kursi masih sama saja sejak ia tinggal bertahun-tahun lamanya. Bahkan tempe goreng lemes berminyak yang legendaris pun masih tetap sama format dan ukurannya, tempenya kalau diremas mungkin bisa jadi lotion saking berminyaknya. Yang berubah mungkin cat yang dulu sudah kusam, kini sudah diremajakan – dan si akang penjual sudah dilukir oleh generasi berikutnya.

Setelah makanan dan minuman dihidangkan, Jano menikmatinya sembari memainkan smartphone. Mencoba mencari berita tempat-tempat mana yang ditutup dan mana yang dibuka selama pandemi. Dia sudah menyewa satu kamar di sebuah hotel di kawasan utara, jadi tidak akan ada masalah di mana dia akan tinggal.

Tidak lama kemudian, semangkok mie rebus hadir di hadapan Janoko. Lengkap dengan telur setengah mateng ala-ala. Jano langsung menyantapnya karena sudah lapar berat.

Usai makan, Jano langsung membayar namun tidak segera beranjak pergi. Dia masih menikmati minuman hangatnya sembari menikmati suasana hari dan berita-berita di smartphone-nya.

“Di sini kawasannya masih merah ya, Kang?” tanya Jano sambil memperbaiki masker medisnya.

“Masih. Ga tau kapan ijona. Warung ini aja buka tutup melulu. Rugi kita.”

Jano mengangguk-angguk. Semua orang merasakan hal yang sama dari ujung timur ke ujung barat dan sebaliknya. Ia pun mengenakan kembali maskernya.

Saat itulah tiba-tiba terdengar teriakan dari gang.

Jano buru-buru berlari untuk melihat apa yang terjadi. Dia paling tidak bisa diam kalau ada yang kesusahan. Mungkin ini sudah mendarah daging dari keturunan. Seorang perempuan, terjatuh di jalan. Tapi bukan karena kecelakaan, dia berteriak-teriak minta tolong. Satu sepeda motor melaju meninggalkannya dengan membawa tas milik sang perempuan.

Penjambretan.

Motor itu dikendarai dua orang, melaju kencang dan sebentar lagi akan melewati Jano.

Meski berlari sekencang apapun, Jano tidak akan pernah menyamai kecepatan motor jika sudah mulai dipacu di kecepatan yang menanjak meninggi. Tapi jarak ini tidak begitu jauh. Mereka belum bisa menggebernya sampai melewati Jano. Itu artinya saat sampai di dekat Jano, kecepatan motor masih bisa diimbangi.

Jano berbalik ke warung burjo. Ada satu barang di sana yang bisa membantunya.

Kursi warung burjo, yang sebenarnya hanyalah bangku panjang sederhana yang terbuat dari kayu murahan dengan palang seadanya sebagai penyangga.

“Kang, pinjem bangkunya. Nanti aku ganti.”

“Eh!?”

Jano meraih bangku panjang itu dengan cukup mudah, hanya satu tangan saja. Kayunya ringan. Tak perlu berpikir panjang, pemuda itu langsung menyalakan sesuatu dalam tubuhnya. Sebuah rangkaian tenaga tak kasat mata yang kuat memenuhi rongga-rongga di dalam tubuh, memberi kehangatan yang membabibuta namun memang dinantikan.

Jano sedang menyalakan tenaga dalam – Ki.

Begitu tenaga dalamnya menyala, pemuda itu lantas berbisik kepada udara. “Kawulo namung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”

Swsh.

Si Akang burjo tiba-tiba saja tidak dapat melihat kemana Jano pergi. Dia menghilang begitu saja. Hilang, lenyap, tak berbekas. Seperti hantu.

Begitu juga bangku panjangnya.

“Lah? Kursina teh kamana?”

Hanya dalam sekejap mata, Jano berlari dengan kekuatan ekstra yang didapatkannya dari hempasan tenaga dalam yang menyala. Ia lalu melompat ke depan sembari sekuat tenaga mengayunkan bangku panjang yang ia ambil dari warung burjo dengan kedua tangannya. Tepat ketika sang penjambret sudah sampai di depannya. Kecepatan dan kekuatan ayunan Jano menjadi pembeda.

Brrruuaaakkghkghhhhh!

Kena.

Kedua penjambret jatuh. Honda Beaat modif yang mereka kendarai ambruk ketika tak lagi terkendali. Bangku panjang terpelanting dan terbelah menjadi dua karena kerasnya benturan. Tukang jambret yang tadinya mengendara di depan terguling-guling dengan helm pecah karena terbanting ke bawah. Ia mengaduh kesakitan karena tak mengira akan ada bangku melayang. Sakitnya dua kali, sakit karena tersambar dan sakit karena jatuh. Si pembonceng lebih beruntung, karena meski jatuh dia masih bisa bangkit dan dengan tenaga yang entah dari mana, ia kemudian berlari kencang membawa tas yang ia jambret.

Dia tidak tahu dengan siapa dia berurusan.

Jano pernah dijuluki manusia serigala karena kecepatan larinya yang tanpa tanding. Meski tadi tertinggal di belakang sang penjambret, Jano dapat dengan secepat kilat menyusul. Begitu jarak mereka sudah hitungan sentimeter, Jano merapal kembali jurusnya.

Wujud hana tan keno kinira.”

Ia pun melompat dan mencengkeram kepala bagian belakang sang penjahat. Kekuatan tangan yang bagaikan baja membuat cengkramannya terasa menyakitkan. Penjambret itu berteriak kesakitan. Tapi Jano belum berhenti di situ saja. Ia mendorong kepala sang penjambret ke depan, menyurukkannya ke bawah – menghamparkannya ke aspal jalan.

Jbrrkghh!

Darah muncrat. Gigi lepas. Tapi si penjambret masih mampu meronta. Jano tidak melepaskan kepala sang lawan. Jano menyeret wajahnya di aspal. Lawan berteriak-teriak kesakitan dan minta ampun. Ia tak lagi meronta, ia minta ampun berulang dan mengangkat tas yang tadi ia jambret. Darahnya terpulas bagai cat air di atas hamparan jalan.

“Lain kali jangan diulangi. Ini memang jaman susah, tapi bukan berarti kalian boleh bertindak seenaknya. Kalau memang tidak tahan, berdoa dan jangan berhenti berusaha, lakukan apapun boleh setidaknya jangan menjadi beban. Ini bukan masalah kalian saja, semua juga sedang kesusahan.”

Jano menghentakkan kepala jambret itu ke aspal sekali lagi, membuatnya pingsan seketika.

Huff.

Tuntas.

Janoko pun mengambil tas yang tergeletak di jalan dan melangkah dengan santai ke arah wanita yang tadi histeris dan berteriak-teriak ketakutan.

“Tasnya, Mbak.”

Wanita itu melongo melihat Jano berjalan ke arahnya sembari membawakan tas yang tadi dijambret oleh dua orang pengendara Beaat modif. Bagaimana bisa orang ini... melempar bangku warung dengan semudah itu? Lalu berlari secepat itu? Lalu mengambil tas dan...

“Mbak?”

“E-eh... iya... makasih Mas... terima kasih banyak... terima kasih banyak...” Berulang-ulang wanita itu berterima kasih. Dia buru-buru membuka tas dan mencari-cari sesuatu di sana. “Sa-saya tidak punya banyak, tapi mungkin ada sedikit yang bisa saya...”

“Tidak perlu.” Jano hanya tersenyum. “Lain kali hati-hati di jalan. Sedang banyak orang yang butuh uang dengan cara yang tidak tepat.”

“I-iya, Mas.”

“Pastikan juga maskernya selalu dipakai,” ujar Jano sembari berjalan kembali ke warung burjo untuk mengganti bangku yang baru saja ia hancurkan.

Akang burjo jadi gemetar setelah melihat aksi yang dilakukan oleh Jano dan menawarkan kursi yang lain kalau-kalau mau dihancurkan juga. Dia terharu setelah Jano mengeluarkan beberapa lembar uang warna merah untuk membayar bangku yang tadi dirusak olehnya.

Peristiwa itu tentu saja membuat heboh semua orang di sekitar gang. Beberapa bahkan dengan sengaja ikut-ikutan menghajar kedua jambret yang kini tak berdaya. Sebagian lagi memanggil polisi untuk mengamankan kedua penjahat. Situasi kembali terkendali.

Semua melihat kejadian itu dengan rasa syukur. Untungnya ada si Mas-nya yang itu jadi jambretnya ketangkep. Jano yang tidak nyaman dikerubungi orang lantas buru-buru pamit dari warung burjo dan bersiap menuju hotel. Ojek online yang tadi berduaan dengannya di warung burjo menawarkan jasanya dengan gratis karena melihat aksi pemuda itu.

Semua orang kagum.

Semua orang heran.

Semua orang melihat aksi Janoko.

Termasuk dua orang yang duduk di taman kafe yang ada di seberang Warung Burjo. Dua orang yang wajahnya sangat mirip. Yang satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Bisa ditebak kalau mereka berdua kembar. Dari pakaian mereka yang bermerk, bisa dipastikan si kembar ini berasal dari keluarga yang cukup berada. Sekilas lihat mereka mungkin bisa dikira anggota boyband dan girlband asal Korea Selatan karena penampilannya yang mirip.

“Tidak mungkin.” Sang pria yang bernama Johan-Lobo mendengus sambil meremas bungkus minuman yang ia pegang dan melemparnya ke tong sampah yang tak jauh dari posisi mereka duduk. “Tidak mungkin. Aku pasti salah lihat. Pattern Ki-nya, gerakannya. Masa sih? Tidak mungkin itu jurusnya Papa.”

Sang wanita yang bernama Jihan-Lisa mengangguk dan tersenyum. Ia juga meletakkan minuman buah segar yang baru saja ia habiskan ke atas meja. “Aku juga baru saja mau bilang begitu. Kok orang itu bisa...”

Johan tak menjawab. Pemuda tampan bertubuh tegap itu berdiri, kepalanya ditekuk ke kanan dan ke kiri, lalu ia menggemeretakkan kepalan tangan kanan dalam tangkupan tangan kiri, kemudian berganti – kepalan tangan kiri oleh tangan kanan.

Jihan-Lisa memandang dengan khawatir ke arah Johan. Ia pun berusaha mencegah sang adik berbuat yang tidak diinginkan. “Jo, dengarkan aku. Kamu jangan...”

Tapi Johan tidak menghiraukan Jihan yang mencoba memegang lengan jaketnya, pemuda itu justru berjalan ke arah Jano dengan cepat. Mencoba menghampiri sang pemuda misterius yang kini tengah dikerumuni banyak orang.

Jihan berjingkat mengejar, “Johan!”

Pemuda itu tak lagi peduli dengan suara dari sang saudara kembar. Dia hanya punya satu target. Si bedebah yang menguasai ilmu milik Papa-nya. Selama ini tidak ada lagi orang yang sanggup menguasainya. Karena ilmu itu adalah ilmu kanuragan warisan. Tidak diberikan pada orang secara asal kecuali berasal dari trah yang sama. Jadi darimana dia bisa menguasainya?

Johan ada di batas penasaran dan geram.

Ia menyalakan Ki-nya.

Keberadaan Johan-Lobo dirasakan juga oleh sang serigala. Janoko merasakan ada pendar tenaga dalam hebat yang datang ke arahnya. Pendar tenaga yang pattern-nya amat ia pahami. Tenaga yang fokus untuk menyerang. Pemuda itu segera menyeruak keluar dari kerumunan dan melangkah ke hadapan pemuda lain yang baru saja keluar dari kafe. Seorang pemuda tampan dari keluarga kaya, dengan baju putih bermerk, celana pendek putih, dan sepatu putih keluaran Onitsukaa Tiger.

Janoko dan Johan saling bertatapan.

Jihan yang akhirnya berhasil mengejar sang adik mencoba menahan saudaranya agar tidak berbuat yang aneh-aneh di tengah kerumunan massa. Setelah beberapa saat, mereka baru sadar kalau mereka pernah kenal pada suatu masa yang telah lalu.

Kala itu, mereka lebih akrab dari ini. Johan dan Jihan mengenali Jano.

Begitu pula Jano.

Sang Serigala terdiam saat melihat Johan, ia menganggukkan kepala, lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk menumpang ojek online yang tadi menawarkan boncengan kepadanya ke hotel. Mereka berlalu dari tempat itu.

“Bangsat.” desis Johan sembari mengepalkan tangan. Tubuhnya bergetar karena muncul beribu pertanyaan dalam dirinya.

“Jo...” Jihan kembali menahan lengan sang adik.

“Itu dia, Kak. Itu dia! Dia pulang, Kak! Dia sudah pulang! Dia juga mengenali kita tadi!”

Jihan memegang erat tangan Jo, menahannya agar tidak mengejar kemana Jano pergi. Gadis itu khawatir dengan apa yang terjadi kalau Jo sampai bertindak nekat. “Aku tahu. Biarkan saja. Kalau dia memang ke sini untuk menemui kita, kita pasti akan bertemu dengannya lagi. Tapi kalau dia tidak ingin bertemu kita, kita tidak boleh memaksa.”

“Bangsat itu mau ketemu Papa, Kak. Itu pasti.”

“Jo... berapa kali aku bilang jangan panggil dia bangsat. Dia itu...”

“Itu Jano.” Johan menoleh ke arah sang kakak, menatapnya dengan amarah bercampur gairah yang belum pernah dilihat oleh Jihan sebelumnya. Johan menggemeretakkan gigi, “Itu Jano, dan dia telah kembali ke kota ini.”

“Jo...”

Johan memalingkan kepala ke arah kemana Jano pergi. “Saatnya menunjukkan kepada dia di atas langit masih ada langit. Sekali untuk selamanya.”

Jihan sangat khawatir ia tidak bisa menahan Johan. Jano dulu mungkin lebih baik dari banyak segi. Tapi Johan-Lobo yang sekarang adalah seorang monster. Jika mereka berhadapan, dia takut tidak akan bisa menahan Jo menghajar Jano.

Jihan meneguk ludah. Batinnya bergejolak.

Gimana ini, Pa?



.::..::..::..::.



.:: TIGA



Peristiwa yang terjadi di gang kecil di sebelah mal ternyata mengundang banyak perhatian orang terutama setelah kejadian itu viral dan disebarkan melalui media sosial. Tanpa seijin Janoko dan tanpa sepengetahuannya, kemarin ada beberapa orang yang merekam, mem-video-kan, dan mengunggah rekaman aksinya menghajar jambret. Aksi yang kemudian dikenal dengan caption: Aksi Heroik Pria Bermasker Menghajar Jambret.

Mulai dari saat para penjahat terjatuh hingga saat ojek online-nya pergi, semua ada di rekaman itu. Bahkan ada rekaman baru yang mewawancarai si ojol mengenai apa yang mereka perbincangkan selama perjalanan. Tapi untung saja ojol itu bungkam dan tidak membuka rahasia di mana Jano sebenarnya menginap.

Johan-Lobo memperhatikan setiap detail adegan demi adegan dalam video sambil duduk di kursi tinggi yang ada di samping island dapur. Jihan-Lisa hanya geleng-geleng kepala.

“Rotinya dimakan. Jangan nonton Youtube terus.” Sindir Jihan sembari mendorong piring roti tawar dan gelas susu ke arah Jo.

“Apaan sih.” Johan mencibir. Meski wajahnya merengut, tak urung Jo meminum juga susu yang disodorkan. Jo melirik sang ibunda yang sedang memasak, mungkin ini saat yang tepat untuk memberitahu Mama-nya.

“Kemarin kami bertemu dengannya, Ma.”

Johan memakan roti tawar selai nanasnya dengan berhati-hati. Gusinya masih terasa sakit karena bekas pukulan semalam saat ia melakukan sparring dengan Jihan di ring tinju. Kalau soal tinju resmi, mungkin Jihan lebih jago daripada dia. Jo beberapa kali menggoyang rahangnya. Pemuda berwajah tampan itu mengambil mug berisikan susu coklat yang ada di samping roti tawar.

“Oh? Bertemu siapa?” Mama Johan yang sedang asyik di dapur pun mengerutkan kening, ia tidak paham siapa yang dimaksud pemuda itu.

Jihan yang duduk di meja yang sama dengan Johan menatap sang adik dengan pandangan galak. Ia menggelengkan kepala dan meletakkan telunjuk di bibirnya. Ini bukan saat yang tepat, lebih baik mereka diam saja dulu. Itu sebabnya Jihan memberi tanda supaya sebaiknya sang Mama tidak diberitahu mengenai perjumpaan mereka dengan...

“Jano.”

Ada suara sendok jatuh ke lantai.

“Hiss! Dibilangin kok!” bisik Jihan dengan ketus sembari menendang betis sang adik.

“Aduh!” Johan mengelus betisnya. “Kakak nih, Ma.”

“Jihan! Jangan begitu sama adikmu!”

“Iya, Ma...” Jihan mencibir pada Jo.

Mama mereka berdiri dengan tubuh bergetar, wajahnya terlihat sedih, seperti berusaha menahan diri agar air matanya tidak tumpah, “Di-di mana kalian bertemu dengannya? Apa yang terjadi padanya? Di mana sekarang dia tinggal? Apakah dia baik-baik saja? Dia kurus atau gemukan?”

“Ma...” Jihan buru-buru menghampiri sang Mama dan memeluknya dari samping. “Dia baik-baik saja, Ma. Kemarin kami berdua lihat dia menolong orang. Ilmu kanuragannya sangat bagus, mirip seperti Papa.”

Sang Mama tersenyum meski air matanya mulai menetes. Getar tubuhnya mulai berangsur menghilang. “Syukurlah kalau begitu... Mama selalu berdoa untuknya...”

Mama kedua kembar lalu duduk di kursi. Jihan berada di sampingnya dan memijat bahu sang mama.

“Sudah berapa tahun dia pergi? Sudah lama sekali ya rasanya. Dulu dia masih beringas saat memutuskan pergi. Tak disangka-sangka sekarang dia pulang. Dia pasti pulang untuk menemui Papa. Sebentar lagi ulang tahunnya.”

“Aku akan mencarinya, Ma,” kata Johan. Dia tidak berusaha menyembunyikan kegeramannya sedikit pun. “Aku pasti akan menemukannya.”

“Mau apa kamu?” Sang Mama mulai menatap putranya dengan pandangan khawatir. “Jangan berpikir yang aneh-aneh!”

“Dia itu pergi saat kami membutuhkannya! Saat kami berdua mengaguminya! Papa pernah bilang supaya kami semua harus selalu akrab! Tapi bagaimana bisa kalau dia kemudian tiba-tiba pergi begitu saja tanpa pamit? Memangnya kami dianggap apa?”

“Jo...” Sang Mama berusaha berdiri dan mendekat ke Johan. Dia memeluk putranya dengan rasa sayang. “Kalian tidak tahu apa yang pernah ia lalui. Apa yang menyebabkan dia pergi. Tapi itu bukan kesalahannya. Itu juga bukan karena kalian. Ada hal-hal yang tak akan pernah bisa kalian pahami. Sama seperti kenapa dulu Kak Aira juga memutuskan untuk pergi dari kota ini.”

“Tapi Kak Aira kan masih sering datang, Ma.” Jihan kembali datang untuk memeluk sang Mama. “Kalau aku sih paham. Alasan apapun yang dimiliki Jano pasti itu alasan yang tepat. Karena dia selalu berpikiran logis. Kita harus memaklumi keadaannya.”

Sang Mama tersenyum dan mengecup pipi Jihan.

“Aku tidak peduli dan aku tidak mau tahu.” Johan punya sikap yang berbeda. “Dia sudah memilih untuk pergi. Itu artinya dia tidak membutuhkan kita. Sekarang aku juga sudah tidak membutuhkan dia. Sudah saatnya membuktikan siapa yang lebih pantas menyandang gelar pewaris Kidung Sandhyakala. Siapapun yang kalah tidak boleh menggunakan ilmu kanuragan itu lagi.”

“Johan!” Sang Mama setengah berteriak. “Kamu nggak nurut sama Mama?”

Johan-Lobo hanya diam, ia kemudian bangkit dan mengambil kunci mobil di island dapur. Pemuda itu lantas melesat tanpa menghiraukan sang Mama. Pemuda yang tengah panas hati itu berlari menuju garasi. Entah mau kemana dia.

Sang Mama geleng-geleng kepala. “Tolong awasi adikmu itu, Kak. Mama cuma bisa mengandalkanmu kalau soal dia. Johan selalu saja begini kalau sudah punya mau, persis kayak Papanya dulu.”

Jihan tersenyum, “Jangan khawatir, Ma. Johan anak baik kok. Dia hanya penasaran saja sama Jano. Mama ingat kan kalau dulu dia yang paling kecewa sewaktu Jano pergi? Itu karena belum pernah sekalipun Jo menang kalau bertanding lawan Jano. Tapi setelah itu dia berubah menjadi lebih mandiri dan kuat. Mungkin dia tidak ingin kembali menjadi Johan yang cengeng dan lemah ketika Jano balik lagi ke kota ini, jadi dia harus mengalahkan demon-nya sendiri dengan menghadapi Jano lagi.”

Sang Mama tersenyum, mendaratkan kecupan di dahi Jihan. “Kamu memang paling tahu, Kak.”

“Siapa dulu dong Mama-nya. Hihihi.”

“Pastikan mereka berdua tidak terluka. Itu saja. Mama tidak melarang mereka bertanding, tapi jangan terlalu serius.”

Jihan mengangguk dan meneguk ludah.

Bisa tidak ya?



.::..::..::..::.



.:: EMPAT



“Nasi gyudon dua. Satu pakai onsen tamago.”

Seorang wanita cantik muncul dari balik jendela dan memberikan sekantong plastik berisi dua bowl paket nasi pada seorang ojek online yang sudah menunggu. Di belakang ojol itu, masih ada tiga ojol lain yang juga mengantri. Ketika dua sudah dilayani, dua datang kembali. Seperti hari-hari biasanya, penjualan nasi daging di tempat ini ternyata cukup laris sebelum dan selama pandemi. Kalau dulu banyak yang antri makan dine in, sekarang banyak yang makan take away. Yang manapun, yang penting penghasilan tetap masuk.

“Nasi tori don tiga.”

Perempuan yang sama kembali muncul dan meletakkan bungkusan di jendela. Bungkusan yang langsung disambut oleh sang ojek online.

“Makasih, Mbak.”

“Sama-sama, Mas.”

Seorang pemuda muncul di pintu resto yang ada di samping jendela dan tersenyum gembira saat masuk ke dalam, suasana tempat ini masih sama. Pembaharuan hanya terjadi di beberapa ornamen dan foto penghias saja. Resto ini juga termasuk salah satu tempat yang menjadi lokasi favoritnya saat masih sekolah dulu. Dia bahkan pernah bekerja di sini sekali waktu sebagai freelancer, membantu si perempuan cantik tadi bekerja.

Seorang gadis yang mungkin masih SMP buru-buru keluar dari dalam dapur saat melihat kehadiran sang pemuda di resto. Gadis itu memandang heran ke arah sang pemuda, “Maaf, Mas. Restonya tutup. Kami bisanya cuma take away. Mau pesan apa?”

“Apa saja asal yang masak Mbak Lena, karena sudah pasti enak. Kalau Metta sudah bisa masak belum? Pengen ngicipin juga masakannya Metta.”

Gadis itu sedikit kaget sembari menatap sang pria yang mengenakan topi dan masker dengan pandangan menyelidik. Kayaknya ada yang aneh sama orang ini. Kok dia bisa tahu namanya dan nama sang kakak?

Metta berteriak kencang, “Mbaaaaaaaaaak. Sini deh.”

Perempuan cantik yang ternyata dipanggil dengan nama Lena itu membuka pintu samping untuk menghampiri sang adik. “Apa sih, Dek? Ini kan lagi sibuk. Mbak lagi bantuin yang lain masak. Tolong bantu dulu lah, ini baru ramai.”

“Tapi ini maunya pesen sama Mbak.”

“Ya masa kamu ga bisa bantu dulu sih, Dek?” Lena menghela napas panjang, kemudian menoleh dan menatap ke sang pemuda. “Ada yang bisa kami bantu, Mas? Hanya take away saja, ya.”

“Mbak Alena Agesti. Masih ingat sama saya?”

Lena mengerutkan kening saat menatap sosok di hadapannya, mencoba mencocokkan wajah yang ada di buku memory-nya dengan suara yang baru saja terdengar. Ia lalu terpekik kaget, “Demi Azkaban! Kamu kan...!”

Pemuda itu membuka topi dan maskernya, menunjukkan wajah tampan yang cengengesan. “Halo, Mbak. Gimana kabarmu?”

“Janoooo!!” Perempuan cantik itu tiba-tiba saja berteriak kencang dan berlari untuk memeluk Janoko. Teriakan itu mengagetkan si gadis SMP dan para ojol yang sedang duduk-duduk di luar saking kencangnya suara Lena. “Janoooo!! Ya ampuuuuun!! Janooo!! Kapan kamu datang!?”

“Tidak cukup cepat, Mbak.” Jano memeluk sang perempuan cantik itu dengan erat dan menepuk punggungnya, “tidak cukup cepat.”

“Hei! Hei!” Metta mengingatkan. “Protokol kesehatan hei!”

Lena dan Jano sama-sama tertawa.

“Ada urusan apa kamu datang ke sini?” Lena melepaskan pelukannya dan menghapus basah yang menggenang di pelupuk matanya. Kangen banget dia sama Jano.

“Aku cuma mau sowan ke Bapak saja kok, Mbak.”

Tenane? Cuma buat itu aja? Ga kangen sama kita-kita?”

Jano mengangguk. “Tentu saja, makanya aku datang kan.”

“Metta!”

“I-iya, Mbak?” Si Gadis SMP itu terkejut ketika Mbak Lena tiba-tiba saja memanggilnya.

“Kamu suguhin deh gyudon buat Mas Jano. Ini Mas Jano. Masih inget ora? Waktu terakhir kalian bertemu Metta masih bayi sih, jadi wajar saja kalau lupa siapa dia.”

“Oooh. Iya, pernah dengar namanya tapi Metta lupa.” Adik Mbak Lena menganggukkan kepala pada Jano. “Ya udah, duduk dulu ya, Mas. Metta siapin gyudon bentar. Minumnya ocha saja ya. Mau dingin atau panas?”

“Panas saja.”

“Oke, segera datang.”

Jano mengangguk dan tersenyum. Saat Metta sudah ke dapur, Jano menatap Lena yang masih berdiri di hadapannya.

“Gyudon itu apa, Mbak?” tanya Jano pada Lena.

Perempuan itu tertawa, “Sego daging. Wes menengo, pokoke nanti apa yang njedul, ya itu yang di-emplok. Hahahaha. Tapi sumpah, hari ini tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja datang si pemain utama. Kamu gimana kabarnya?”

“Baik, Mbak. Baik...” Jano tersenyum. “Selain ke tempat Bapak, aku mau minta doa restunya, Mbak.”

“Eh? Eh? Doa restu apa ini? Kok mak bedunduk? Mak jegagig? Mak sinyongnyong? Kamu wes nemu jodoh? Wahahahah, kampret tenan!” Lena tertawa terbahak-bahak dan menepuk-nepuk pundak Jano, “Nah begitu kan waras. Ga seperti dulu waktu masih di sini. Masih sekolah udah hamilin anak orang. Wes jan kamu itu...”

Lena memang ceplas-ceplos pembawaannya. Dia tidak peduli apakah kalimat yang keluar dari mulutnya itu menyakiti orang lain atau tidak. Tapi dia selalu bicara berdasarkan fakta, dan Jano – yang sudah Lena anggap sebagai adik sendiri itu sangat paham bagaimana sifat dan pembawaannya.

“Iya, sudah nemu jodoh. Tanggal nikah juga sudah ada. Kecil-kecilan karena hanya bakal dihadiri orang-orang dekat. Tidak akan ada resepsi. Mbak Lena kira-kira bisa nyebrang atau nggak? Nanti aku bayarin tiket deh.”

Gayamu, Nyuk. Nggak usah! Aku bisa bayar sendiri! Pokoknya undangannya harus sampai ke sini! Paham ya! Tidak boleh ada alasan apapun kenapa undangannya ga nyampe. Mau kecil kek, mau besar kek, aku harus datang kalau kamu nikah!”

“Hahaha, siap.”

“Coba lihat kayak apa calonmu?”

Jano tersenyum dan membuka layar smartphone-nya. Foto sang kekasih ada di sana sebagai wallpaper.

Wuidihhh! Ayune! Yakin dia matanya nggak sliwer waktu ketemu kamu? Kok bisa-bisanya dia naksir kamu? Kamu blackmail ya!?”

“Enak aja.” Jano tertawa. “Dia aku dapatkan dengan fair and square, Mbak. Sudahlah, akui saja kalau adikmu ini memang Lananing Jagad seperti namanya.”

Mbak Lena manggut-manggut sembari terkekeh, dia tersenyum dan menatap ke arah Jano dengan lembut “Selamat ya. Aku ikut bahagia. Sungguh. Aku ikut bahagia. Seneng banget atiku kamu sudah seperti ini sekarang. Gimana pekerjaan?”

“Aman, Mbak.”

Mbak Lena kembali mengangguk, “Tidak ada rencana balik ke sini?”

Jano tertawa renyah, ia tersenyum dan menggeleng. “Jalanku sudah berbeda, Mbak.”

“Aku tahu. Yang pergi akan selalu jadi berbeda, tapi kota ini akan tetap selalu sama, kitanya yang akan berubah. Itu sebabnya kalau kita terus berada di sini, kita akan dipeluk oleh kenangan yang enggan kita lepaskan.” Lena mengelus punggung tangan Jano, “Kamu sudah ketemu siapa saja?”

“Belum ketemu siapa-siapa. Oh, paling kemarin ketemu Jo sama Jihan selintas.”

“Ah ya. Si Jo penasaran banget sama kamu, dia selalu bilang dulu kalau pertarungan terakhir kalian berakhir nanggung. Dia sebenarnya bisa mengalahkanmu. Kalau kesini dia selalu koar-koar kapanpun kamu kembali, dia akan menantang dan menaklukkan kamu. Bocah satu itu benar-benar...”

“Sebenarnya dia anak baik.”

“Aku tahu. Dia sangat-sangat baik. Cerdas juga – mirip seperti ibunya. Setahuku dia itu filantropis. Dia menggunakan uangnya untuk membangun rumah jompo, rumah panti asuhan, atau entah bagaimana caranya ada saja ide untuk membagi uang pada yang membutuhkan. Bikin channel Youtube untuk bagi-bagi duit, kalau tidak salah nama channel-nya CRY Wolf - Crazy Rich kota ini, hahaha. Sempat dijuluki Mr.Beast-nya Indonesia.”

“Aku tahu. Sesekali aku juga nonton. Eh iya, kalau Om sama Tante bagaimana kabarnya, Mbak?”

“Baik kok. Mereka sekarang tinggal di pinggiran kota. Makanya Metta ikut aku karena dia sekolah di SMP negeri di tengah kota, depan rumah sakitnya Mama.”

“Begitu ya. Salam aja deh kalau begitu buat Om sama Tante. Langgeng terus, sehat terus.”

“Siap. Kapan-kapan kalau ke rumah mereka aku sampaikan salam dari kamu.” Tiba-tiba saja Lena tersenyum, “Kok kamu tidak menanyakan soal kabar dia?”

Jano tersenyum kecut, dia menunduk. “Takut, Mbak.”

“Makanya jangan jadi anak bandel. Masih sekolah eh hamilin anak orang. Hampir aja bubar tuh sekolah dia. Untungnya duit bicara jadi dia selamat meski harus cuti dan pindah sekolah. Kalau tidak salah denger kabar sekarang dia nerusin S2 di luar negeri, orangtuanya kan tajir.”

“Bagaimana dengan...”

“Oroknya?”

Jano mengangguk.

“Nah itu yang ga tau. Ada yang bilang dia gugurin kandungan, ada yang bilang dirawat saudaranya, ada yang bilang diadopsi orang, ada yang bilang diberikan ke pembantunya. Intinya, itu sudah masa lalu yang tidak akan pernah kita ketahui ujungnya. Mungkin ada untungnya kamu tidak ketemu dia dan keluarganya lagi. Mungkin suatu saat bakal ada freak accident dan kamu akan bertemu dengan anakmu ketika dia sudah besar nanti.”

“Mungkin saja.”

“Ada yang mau kamu sampaikan padanya kalau ketemu?”

“Dia masih sering ke sini?”

“Setahun kemarin sebelum dia berangkat ke luar negeri dia pamit. Mungkin kalau dia pulang nanti dia akan berkunjung ke sini. Sama sepertimu, tempat ini juga punya kenangan untuknya.”

Jano mengangguk, dia kemudian menarik tas ranselnya dan mencari-cari sesuatu. “Kalau begitu... aku mau nitip. Mau setahun, mau dua tahun, mau entah kapan. Pokoknya kalau dia datang, tolong berikan ini padanya.”

Jano mengambil satu kotak kecil dan menyerahkannya pada Mbak Lena. Perempuan cantik itu mengerutkan keningnya. “Apa ini?”

“Sesuatu yang seharusnya aku berikan padanya dulu ketika tahu dia hamil.” Jano mendesah, “Aku masih terlalu muda dan bodoh, tidak tahu apa yang terbaik. Itu milik Ibu yang katanya ingin diberikan padanya. Sudah jadi cita-cita Ibu untuk memberikan benda itu padanya. Hubungan antara ibu dan dia kan sangat erat.”

“Kenapa tidak kamu berikan ke cewekmu yang sekarang? Kenapa diberikan padanya yang kemungkinan besar sudah melupakanmu?”

“Karena itu haknya, bukan hak cewekku yang sekarang. Aku merasa Ibu akan lebih bahagia jika ini diberikan padanya dan aku membelikan yang lain untuk calon istriku yang sekarang. Itu adalah penanda persahabatan ibu dan dia, bukan antara Ibu dan calonku yang sekarang.”

Mbak Lena mengangguk-angguk. “Aneh-aneh saja. Tapi baiklah. Akan aku simpan selama aku mampu.”

“Terima kasih, Mbak.”

“Kapanpun kamu butuh bantuan lain dariku, bilang saja.”

Jano mengangguk.



.::..::..::..::.



.:: LIMA



“Ini hotelnya?”

Seorang pria berwajah sangar dengan masker bergambar tengkorak turun dari motor. Di jalanan dia dikenal dengan nama Dix Tindik karena wajahnya penuh tindikan. Bibir, hidung, telinga, alis, semua ditindik. Bersamanya, ada dua orang lagi yang juga memiliki tongkrongan seperti preman. Jumlah semuanya ada enam orang, ditambah satu lagi sebagai pengantar mereka – seorang ojek online yang dipaksa ikut.

“Be-benar. Ini alamat terakhir saya mengantarkannya,” jawab sang ojek online dengan ketakutan. Ia merasa wajib takut karena orang-orang yang dia antarkan ini adalah perwakilan preman dari kelompok geng besar yang brutal MDX - MarduX. “Su-sudah ya, Bang. Saya pulang dulu.”

Dix mengangguk. “Lepaskan dia. Kita sudah sampai di tujuan.”

Ojek online itupun bersyukur dan buru-buru kabur. Dia tidak ikut-ikutan lagi dengan urusan seperti ini. Lain kali dia tidak ingin menawarkan kebaikan untuk orang lain kalau ujung-ujungnya hal seperti ini dia dapatkan.

“Len. Cari tahu di resepsionis, apakah orang yang kita cari itu ada di dalam.” Perintah Dix pada salah satu dari lima orang yang ada di belakangnya. “Siapa namanya tadi?”

“Janoko,” jawab salah satu dari kelima anak buah MDX.

“Cari tahu apakah bajingan bangsat itu ada di dalam. Lemparkan tubuhnya kemari.” Dix mengulang perintahnya. Pria bertindik itu membuka masker untuk menyelipkan sebatang rokok ke bibirnya. Ia menyalakan korek untuk membakar ujungnya. Asap pun mengebul ke atas.

“Siap, Bang.” Satu orang lain bergegas masuk ke dalam hotel bertingkat di depannya untuk bertanya pada resepsionis. Sekitar dua menit kemudian ia keluar dan menganggukkan kepala. Memberi tanda dengan tangan.

Dua. Tiga. Kamar dua tiga. Lantai dua kamar nomor tiga.

Dix mengangguk. Dia mengangkat dua jari dan mengayunkannya ke depan. Bersama dengan rekan mereka yang tadi bertanya pada resepsionis, dua orang itu masuk ke dalam dengan tergesa-gesa. Mereka menimbulkan keramaian dan membuat banyak tamu berlarian keluar. Para tamu itu tahu ada yang tidak beres. Bahkan pegawai pun ketakutan dan lari keluar dari hotel.

Beberapa satpam mencoba datang untuk menetralkan suasana, tapi saat melihat Dix dan tatto logo MarduX yang tersemat di lengan pria itu, para satpam langsung terdiam. MDX bukan untuk diajak main-main. Mereka brutal dan ganas, bahkan polisi pun mereka lawan tanpa berkedip.

Tak lama kemudian terdengar keributan di lantai dua. Seperti ada pintu didobrak, ruang dirusak, dan barang-barang dibanting. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan.

Asap rokok keluar tipis dari bibir Dix.

Tidak ada orang yang berani-beraninya melecehkan anggota MarduX dan bisa selamat begitu saja. Dua orang jambret yang viral adalah anak buah di unitnya. Tugas Dix adalah membalaskan dendam mereka. Tidak susah melacak si ojek online yang mengantarkan orang yang viral itu.

Terdengar suara kaca pecah.

Ada satu tubuh terlempar dari lantai dua.

Brrrrkkghhhh!! Krrgkh!

Satu jerit kesakitan panjang. Pasti ada tulang yang patah.

Dix menghembuskan asap dari bibirnya, dia bersiap menghampiri tubuh yang baru saja jatuh, senyumnya mengembang. Namun senyum itu kemudian menghilang dengan cepat. Karena kemudian dua tubuh menyusul terlempar keluar dari jendela. Teriakan kesakitan berulang terdengar. Yang jatuh ini bukan target mereka, ini anak buah yang ia kirim masuk!

Satu orang turun dengan lompatan ringan seolah-oleh dia punya kaki pegas karena tidak mempedulikan dari ketinggian berapa dia turun. Satu orang pemuda dengan kaus hitam dan celana pendek kotak-kotak.

“Maaf. Kiriman paket kalian tidak bisa aku terima. Kembalikan ke pengirimnya saja.” Janoko berdiri gagah tak kurang suatu apa. Dia menepuk tangannya yang seakan-akan kotor. “Aku tidak pernah ada masalah dengan kalian. Tapi karena kalian sudah menggangguku, maka aku tidak akan memberi ampun. Kecuali kalau kalian sudah mengganti kerusakan hotel ini.”

Dix menggemeretakkan gigi dengan geram. “Maju.”

Dua orang yang tersisa segera menyerbu ke depan. Jano tersenyum sinis. Ia mengambil kuda-kuda yang aneh. Tubuhnya sedikit merunduk, tubuh tegap, mata menatap ke depan, kedua tangan di depan dada menutup akses ke bagian tengah, tangan kiri di depan tangan kanan, telapak tangan menghadap ke atas.

Dix menyadari apa yang sedang dilakukan oleh Jano. Kuda-kuda itu... wing chun?

Kedua anggota MDX tidak punya kesempatan. Gerakan Jano meskipun tanpa Ki sekalipun masih terlampau cepat untuk mereka. Lawan yang pertama kali maju ditarik tangannya ke depan bahkan sebelum Ia melontarkan pukulan. Begitu lengannya dikunci oleh tangan kanan Jano, kaki sang serigala menyambar kaki lawan, dia terjatuh. Tapi Jano jelas tidak akan membiarkan sang lawan terjatuh begitu saja. Serangkaian pukulan ke arah dada mengikuti jatuhnya sang lawan.

Tengah. Tengah. Tengah. Dada. Dada. Dada. Dada.

Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk!

Sang lawan tersengal-sengal dan jatuh ke tanah dengan berdebam. Jano mengangkat lengan kanannya, menarik ke belakang sedikit, dan melontarkan ke depan satu kepalan dengan kecepatan tinggi.

Jbmmmhh!

Kepala sang lawan tersambar, terantuk aspal, dan lemas seketika.

Samping.

Lawan kedua datang dengan lompatan dari arah kiri. Dia mencoba mengincar kepala Jano dengan satu kepalan. Tapi sang serigala sudah tahu arah dan tujuan sang lawan. Karena gerbang pertama-nya sudah terbuka. Jano memutar badan, kakinya bagaikan tiang pancang yang bergoyang, kokoh melayang.

Jbkkkghhh!

Headshot
. Lawan kedua terkena sambaran kaki Jano di kepala, tubuhnya terlontar ke belakang, ambruk saat terhampar ke ornamen tembok hotel yang terbuat dari batu kali. Ia mengaduh dan berteriak-teriak kesakitan.

Semua anak buah MDX terkapar tak berdaya dan mengerang kesakitan.

Jano berdiri dengan tenang, semua lawan sudah berhasil ditaklukkan. Hanya tinggal satu orang saja. “Seperti yang aku bilang – aku baru akan memaafkan kalau kalian sudah mengganti biaya kerusakan di hotel ini. Kaca yang pecah, perkakas yang dibanting, pintu yang dirusak, semua kalian tanggung.”

“Bedebah! Kamu tidak tahu berhadapan dengan siapa!” Dix membuang batang rokoknya. Dia maju ke depan dengan kemarahan luar biasa. Entah jurus apa yang dia punya, tapi sepertinya dia sudah sangat siap. Semua jurus akan dia kerahkan.

“Minggir.”

Terdengar suara dari belakang Jano, pemuda itu pun buru-buru beringsut ke samping.

Lir handaya paseban jati.”

Tiba-tiba saja ada lontaran energi dahsyat dari belakang Jano, suatu sentakan tenaga yang terbang melintasi halaman depan hotel dari posisi di belakang Jano hingga sampai ke tempat di mana Dix berada.

Jboooommmm!

Tubuh Dix yang tak memperkirakan akan terkena sambaran sentakan tenaga Ki itu pun terlontar ke belakang. Ia jatuh terguling, berdebam berulang, terbanting sekali, dua kali, tiga kali, kepalanya terantuk dan tersambar tiang beton hingga berulang kali, dan akhirnya pria bertubuh besar itu jatuh terkapar dengan lemas.

Hanya sekali serangan saja sudah menyelesaikan.

Sesosok pemuda berjalan tegap melewati Jano, lalu menghadapi Dix tanpa berkedip. “Berani-beraninya MDX berbuat onar di sini. Mau apa kalian kemari? Bukankah basis kalian di dekat candi besar? Apa sudah bosan hidup? Apa yang kalian inginkan? Mau dibubarkan kelompok utara?”

“Ka-kamu...” Dix yang tak mampu berdiri melotot saat melihat siapa sebenarnya sosok pemuda yang berdiri tegap dan bersidekap di hadapannya. “Jo-Johan-Lobo! Ma-maafkan aku! Aku tidak tahu kalau orang itu punya hubungan dengan...”

“Satu - jangan pernah mengirimkan tukang jambret lagi di kota ini kalau tidak mau mereka dihajar lagi seperti kemarin. Dua - bayar semua kerugian hotel ini tanpa mengeluh, dan tiga - kalau kalian berani-beraninya petentengan dengan membawa-bawa nama MDX dan mengacau seperti ini lagi, maka akan kuminta ketua utara membumihanguskan MarduX untuk selama-lamanya. Paham?!”

“Pa-paham...”

“Mana dompetmu?”

Susah payah Dix mengeluarkan dompet dari dalam sakunya, tangannya terasa susah sekali digerakkan. Dia menyerahkan dompet itu pada Johan-Lobo. Sang pemuda membuka dompet dan mencibir.

“Habis malak kemana aja kamu dapet duit segini banyak?”

“Ti-tidak, itu saya...”

“Diam kamu.”

Johan memanggil salah seorang pegawai hotel. Orang itu pun mendekati Jo dengan takut-takut, dia mengajak seorang satpam supaya merasa aman. Siapa pemuda ini? Kenapa preman itu bisa sedemikian takut dengan kehadirannya?

“I-iya?”

“Saya tidak tahu apakah uang di dompet ini cukup atau tidak untuk mengganti kerugian hotel. Tapi jika masih belum cukup, kalian bisa meminta lagi darinya. Jika dia tidak mau, kalian dapat memanggil bantuan polisi untuk menangkap orang ini, bilang saja kalian butuh bantuan Tim Garangan karena ada preman yang mbalelo. Ini KTP-nya, bilang juga dia merusak property kalian.” Johan mengambil dompetnya sendiri dari kantong belakang celana jeans yang ia pakai, lalu membuka dan menyerahkan secarik kartu nama, “Itu kartu namaku. Kalau dia tidak bisa dihubungi, menolak membayar, atau mengancam kalian, telpon saja aku. Akan aku obrak-abrik seluruh kota untuk mencarinya.”

“Si-siap...”

Johan pun meninggalkan sang pegawai hotel dan Dix yang masih mengerang kesakitan. Ia menemui Jano yang berdiri dengan tenang tak jauh dari para cecunguk MDX yang lain. Jano tersenyum dan mengangguk-angguk, seperti memberikan persetujuan akan kemampuan Johan.

“Kamu sudah dewasa banget sekarang, aku bangga,” ujar Jano. “Bagaimana bisa menemukanku di sini?”

“Jangan menghina kemampuanku. Aku punya banyak sumber.” Jo mendengus, “Tidak usah membicarakan hal-hal receh. Urusan kita baru akan dimulai. Sebutkan tempat dan jamnya. Aku akan datang. Kita buktikan siapa yang lebih baik.”

“Yakin tidak akan menyesal telah menantangku?”

“Aku akan lebih menyesal kalau tidak melakukannya.”

Jano menyeringai. “Bagaimana aku bisa menghubungimu?”

Johan menarik sesuatu dari kantong celananya. Smartphone keluaran Korea Selatan generasi paling baru. Sepertinya baru keluar bulan ini. Jo melemparkannya pada Jano.

“Apa ini?”

“Ambil saja, aku bisa beli yang lain. Itu sudah ada nomernya. Aku akan menghubungimu untuk memberitahukan nomerku nanti. Sebutkan saja tempat dan jamnya.” Johan melangkah pergi meninggalkan Jano dengan cuek, “Jangan mati dulu sebelum kita bertemu.”

“Tidak ada rencana untuk melakukan itu.”

Jo terdiam, dia pergi.

Jano juga terdiam, menatap arah kemana Johan pergi.



.::..::..::..::.



.:: ENAM



Janoko jongkok di depan sebuah makam.

Hanya sebuah makam sederhana, berbatas semen yang mulai retak mengitari. Ada bekas bunga ditebarkan, mungkin kemarin saat beliau berulangtahun ada yang datang dan meletakkan bunga-bunga yang wangi. Untuk ukuran seseorang yang berulangkali berjasa pada kota ini, makam ini mungkin rasa-rasanya terlalu humble. Nisannya pun sederhana, tidak ada ornamen yang menandakan nama dan tanggal-tanggal. Hanya nama, tahun lahir, dan tahun kematiannya saja yang terpampang. Lalu ada juga inisial di atas namanya.

Di samping makam sang Bapak, ada dua makam lain yang mirip – juga menggunakan inisial. Keduanya memiliki tahun kematian lebih dahulu daripada sang Bapak, jauh sebelumnya. Jano masih teringat sang Bapak pernah mengajaknya kemari dan tiba-tiba saja menangis di depan makam itu, seperti menunjukkan sebuah penyesalan yang teramat dalam. Tapi Bapak tidak pernah bercerita mengenai apa penyesalan itu dan mengapa beliau merasa seperti itu. Jano hanya tahu kalau mereka gugur di perang besar. Entah perang besar yang mana, yang kedua atau yang ketiga.

Kini mereka hanya nama-nama tersemat pada nisan. Seandainya sudah tidak ada lagi yang ingat, mungkin makam-makam ini kelak akan tergusur atau digantikan oleh yang lain. Satu hal yang tidak ia inginkan dan sangat ia sayangkan. Tapi begitulah Bapak. Bapak adalah orang yang tidak ingin dikenal luas sebagai seorang yang berjasa dan dipuja-puja, dia hanya ingin hidup sederhana dan bahagia bersama keluarganya.

Janoko Lananging Jagad tersenyum, seandainya ingat makam sang sahabat di samping gua yang ada di kampung sang Bapak, ia justru dapat membayangkan sebuah makam yang megah. Dengan hiasan anjing yang berdiri gagah, seakan-akan menjaga gua dari siapapun yang akan datang untuk mengganggu ketentramannya. Satu gempa bumi telah meruntuhkan pintu gua, jadi bisa dipastikan gua itu akan aman selama-lamanya.

Piye toh, Pak. Kok kalah mentereng sama kirik?” Jano berdiri dan menuangkan air dari air botol kemasan yang sejak tadi ia bawa-bawa. Sekarang tanah di tengah terlihat lebih segar. Ia lantas merogoh ke kantong jaket dan mengeluarkan sebungkus permen jahe. Ia meletakkan permen itu di bawah nisan. “Dimakan, Pak. Cuma itu yang bisa aku bawa dari seberang pulau. Aku tahu Bapak seneng banget sama permen jahe.”

Jano kembali jongkok di samping makam, mengelus-elus nisan yang sudah lama ia rindukan. Jano menarik napas panjang, lalu menghelanya dengan satu hembusan.

“Maaf baru sekarang bisa datang. Tahu sendiri aku kerja di pulau seberang nemenin Ibu sampai wafatnya, kalau tidak begitu aku tidak akan bisa makan. Kota ini rasa-rasanya sudah jauh lebih aman sekarang, jadi tidak perlu dijaga seperti jaman Bapak dulu. Sudah tidak ada lagi pertikaian, tidak ada lagi begajul-begajul sok jago berkeliaran. Yah, walaupun sepertinya ada kelompok-kelompok kecil yang mencoba menjadi besar, tapi aku yakin... mereka-mereka yang masih bertahan di kota ini sanggup mengatasinya.

“Jadi aku putuskan untuk tetap tinggal di kotaku yang sekarang. Jodohku ada di sana, kerjaku ada di sana, hidupku ada di sana. Aku tidak akan betah tinggal di sini dan terbenam kenangan lama. Aku harus pergi untuk menjalani arus kehidupanku sendiri di dunia yang baru. Yah, walaupun dunia sekarang sedang carut marut oleh pandemi – setidaknya aku tahu tempatku memang ada di sana.

“Aku datang kemari pertama-tama untuk mengucapkan selamat ulang tahun, Pak. Maaf terlambat bertahun-tahun. Tahu sendiri harga pesawat mahal, hehehe. Yang kedua... ingin meminta doa restu. Sebentar lagi aku akan menikah. Iya... aku sendiri juga heran kok bisa-bisanya aku akhirnya menikah muda. Bisa-bisanya ada bidadari khayangan yang mau sama begundal macam aku. Mungkin di kehidupan yang lalu aku menyembunyikan selendang mereka, jadi sekarang mereka terpaksa mau menikah denganku. Hehehe.

“Dia cantik, baik, dan pintar. Kerja di salah satu badan milik pemerintah, jadi masa depan kami sudah pasti terjamin. Keluarganya juga sudah sangat welcome, mereka sebenarnya berasal dari pulau ini, tapi sudah lama merantau di sana. Doakan kami semoga semua berjalan dengan lancar, Pak. Aku yakin Bapak juga pasti senang kalau ketemu sama calon mantunya. Jangan khawatir juga soal kesetiaan – aku kan tidak seperti Bapak. Hahahaha. Dia juga pesan panjang lebar mengenai aku yang nakal yang katanya harus disampaikan ke Bapak.”

Jano geleng kepala dan tersenyum kalau ingat pesan-pesan dari sang kekasih untuk Bapaknya. “Aku akan berusaha membahagiakannya, Pak. Akan berusaha memberikan apapun yang bisa aku berikan untuk membuatnya tersenyum hingga akhir masa karena dia begitu indah. Entah bisa atau tidak yang penting aku akan berusaha. Dia layak dibahagiakan. Dia anugerah terindah yang pernah aku miliki.

“Bisa dibilang aku pengen seperti Ibu. Yang di saat-saat terakhirnya memegang erat baju kesayangan Bapak dan mengucapkan nama Bapak. Beliau sayang sama Bapak sampai saat terakhir, tak pernah sekalipun berpaling ke yang lain – padahal tidak sedikit yang mendekati Ibu saat statusnya sudah janda. Tapi beliau tetap setia. Aku ingin seperti Ibu.”

Jano lantas menunduk dan memejamkan mata. Ia mengucapkan kalimat-kalimat doa, ia hunjukkan pada sang pemilik langit dan bumi, agar sang Bapak mendapatkan tempat yang terbaik.

Ketika kemudian ia selesai berdoa, Jano berdiri dan menepuk nisan sang Bapak tiga kali. “Aku pamit dulu. Suatu saat nanti aku pasti kembali. Mudah-mudahan setelah menikah aku bisa membawa mantu Bapak kesini. Doakan saja.”

Ada sesuatu yang berbunyi tiba-tiba – seperti bunyi ponsel. Jano awalnya bingung tapi kemudian menyadari sesuatu. Ponsel yang diberikan Johan-Lobo. Ia membuka layar smartphone itu. Ada pesan singkat dari Jo.

Dmn.

Jano mendengus, ia memalingkan wajah ke nisan sang Bapak. “Sepertinya ada yang harus aku selesaikan sebelum balik ke pulau seberang. Urusan lama yang belum usai. Kalau menurut Bapak, siapa yang akan menang akhirnya?”

Jano tersenyum. Ia membalas pesan singkat itu. “Di taman tempat kita terakhir bertarung, nanti malam. Kita selesaikan pertarungan yang dulu tertunda. Sekali untuk selamanya.”

Lalu ia pun berlalu.



.::..::..::..::.



.:: TUJUH



Sebuah taman biasa, di sebuah lembah yang tak jauh dari pusat kota. Tak jauh dari jalan utama kota, tak jauh dari stasiun kereta, tak jauh dari gereja, tak jauh dari penjual kue pukis legendaris yang selalu laris manis habis tanpa sisa. Hanya sebuah taman biasa, yang sepi, tersembunyi, gelap, dan sunyi, dikelilingi gedung-gedung tua – yang mungkin pernah punya makna pada jamannya dan menjadi rumah menyeramkan menyedihkan di sisa masa. Tak banyak yang tahu posisi taman kecil ini, kecuali beberapa orang yang memang pernah mengunjungi dan sejenak melepas asa.

Gemericik air sungai yang mengalir bagaikan musik di taman yang dekat dengan lembah sungai Tjedo, di antara bebatuan di kanan kiri, mengapit, menjadi pembatas sungai. Suara gitar yang berdenting pelan terdengar hingga jauh, ibarat musik sendu yang mengalun pelan mengisi sekat-sekat malam. Lampu taman nan redup jadi saksi, saat seorang pemuda duduk di taman hanya bertemankan gitar, memetik satu persatu senar yang kemudian membentuk alunan lagu merdu, memainkan musik dengan lirih suara berdendang, menghiasi malam, dalam pekat hitam kelam.

Hanya seorang pemuda biasa, yang duduk-duduk santai sembari memainkan gitar Yamahaa, yang kemudian menghentikan jentikan jarinya pada senar-senar yang berdenting bergantian. Yang kemudian menjadi tidak biasa, ketika ia menyadari kalau ia sudah tidak lagi sendirian di sana. Pemuda itu berdiri, meletakkan gitar di kursi beton di samping, dan mulai berjalan menuju ke sosok yang baru saja datang dengan kepalan tergenggam dan jantung berdegup di dada.

“Kenapa berhenti? Permainan gitarmu bagus.” Orang yang datang bersandar di tiang lampu taman yang tinggi menjulang. Tangannya bersidekap, kakinya disilangkan, wajahnya kosong tanpa ekspresi saat si pemain gitar datang dengan mengancam. Masker hitam menutup wajah si pengusik malam.

Johan-Lobo sang pemain gitar mendengus saat melihat sosok yang sebenarnya memang ia tunggu-tunggu telah tiba. Pemuda itu berkacak pinggang dan menatap tajam lawannya.

“Satu pertanyaan. Mengapa pulang? Aku pikir kamu sudah memilih untuk meninggalkan kota ini untuk selama-lamanya. Lalu sekarang hanya pulang sebentar untuk kembali pergi. Jangan lupa swab dulu di klinik. Aku tidak mau kamu pulang dengan membawa penyakit untuk kampungmu di sana. Sekali-kali berbuatlah sesuatu yang berguna untuk orang yang dekat denganmu.”

Orang yang datang – Janoko, terkekeh. “Sudah swab tadi pagi, hasilnya negatif.”

“Masa bodoh.”

Jano menghela napas. “Aku memang tidak datang kembali ke kota ini untuk menetap selamanya. Dari awal rencanaku memang hanya beberapa hari saja. Kamu sudah tahu alasannya. Karena beberapa hari yang lalu adalah hari ulang tahun Bapak – aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun sekali saja di depan makamnya. Itu alasan pertama yang membuat aku ingin pulang.”

Jo mencibir. “Cih.”

Jano memotongnya, “Tapi tiba-tiba saja pertemuan tak direncanakan dengan kalian berdua membuat aku sadar kalau aku masih punya hutang yang belum aku penuhi, hutang untuk menyelesaikan pertarungan. Pertarungan yang bertujuan untuk menjadi ajang pembuktian. Karena itu inilah saat yang paling tepat untuk menunjukkan siapa di antara kita berdua sebenarnya yang lebih baik – dan menjadi pewaris semua ajaran Bapak. Aku sama sekali tidak berniat meninggalkan kota ini dengan kekalahan apalagi sebagai pengecut yang kabur dari tantangan. Kita tuntaskan saja di sini sekarang, siapa di antara kita berdua yang berhak menyandang gelar pewaris sejati Kidung Sandhyakala.”

Johan tersenyum sinis, “Kamu tidak akan bisa menang. Aku sudah menguasai hampir semuanya. Papa mengajarkan aku dari A sampai Z. Aku yakin kamu tidak memahami sebanyak yang aku pahami. Waktumu bersama Papa tidak banyak.”

“Mungkin. Aku hanya tahu beberapa gerbang saja.” Jano tersenyum, “tapi dalam diriku juga mengalir trah Watulanang dan akulah yang dipilih Bapak untuk datang ke gua Sagu bersama beliau sebelum Bapak meninggal. Bukan kalian berdua, bukan yang lain.”

Jo tersenyum. “Aku juga bisa mengatakan hal yang sama, dalam tubuhku juga mengalir darah Watulanang. Aku juga mendalami ilmu-ilmu dari sesepuh-sesepuh lain yang jawara di jamannya. Aku juga belajar ilmu dari sahabat-sahabatnya. Kamu kalah sebelum bertanding.”

“Kita buktikan saja.”

“Ayo.”

Johan membungkuk dan membuka kuda-kuda, tangan dibuka lebar seperti mekar, kaki kanan ke depan, kaki kiri ke belakang, posisi menyamping dengan tubuh luruh ke bawah.

Janoko tersenyum melihat kuda-kuda itu. Yang seperti ini tidak mungkin dipelajari dari Bapak, ini bukan jurusnya. Jano juga bersiap. Ia membuka tangan ke depan, di depan dada, tangan kiri di depan tangan kanan, telapak tangan membuka ke atas. Tubuhnya membungkuk, kaki hanya ditekuk sedikit. Mata tajam menatap ke depan.

Keduanya saling berpandangan, saling menatap, saling menakar kekuatan masing-masing. Yang satu lebih muda dibanding yang lain, tapi dari segi kekuatan Ki, keduanya bisa dibilang setara dan seimbang. Toh usia mereka juga tidak terpaut begitu jauh, bahkan wajah mereka pun sebenarnya mirip satu sama lain.

“Maju, nyet.”

Bisikan Janoko seperti pemantik api dalam hati bagi Johan-Lobo. Pemuda tampan itu melesat ke depan, seperti halnya Jano yang juga ikut berlari.

Tak pelak lagi, tukar menukar pukulan terjadi. Jano dengan kecepatan tangan yang luar biasa dan Johan dengan tendangan beruntun memborbardir. Setiap tendangan Johan dihadang oleh lengan Jano, setiap pukulan Jano, ditahan oleh kaki Johan. Wing-chun kontra Tendangan Tanpa Bayangan. Keduanya seimbang.

Yang satu ke kiri, yang lain ke kanan. Yang satu menyerang, yang satu bertahan. Yang satu melompat, yang satu menghindar. Yang satu berkelit, yang satu menyambar. Dari kiri, dari kanan, dari kiri, dari kanan. Kepalan dilepaskan, kaki dilontarkan. Jurus diumbar, niat menghajar.

Napas mulai memburu, serangan terus gencar dilakukan. Johan memutar tubuhnya ke udara, melontarkan tiga tendangan beruntun dengan kecepatan dan kekuatan yang mengerikan. Kali ini Jano tidak bisa membalas dengan pukulan. Ia terdesak mundur berkali-kali. Kemampuan pertarungan tangan kosong Johan-Lobo memang patut diacungi jempol. Dia benar-benar anak dari sang jawara yang sesungguhnya.

Jbkk! Jbkk! Jbkk!

Linu rasanya lengan Jano saat menerima tiga tendangan beruntun dari Johan-Lobo. Tapi tidak mungkin ia mengeluh begitu saja. Pemuda itu mundur tiga langkah ke belakang. Tidak menduga sengatan demi sengatan akan membuatnya terdesak.

Huff. Sial. Bahkan napasnya pun kian terasa sesak.

Ia melepas masker yang menghimpit napas, dan melesakkannya ke kantong jaket yang ia kenakan. Nah. Sekarang barulah dia bisa bernapas dengan lega. Jano tersenyum saat Johan-Lobo juga melakukan hal yang sama, yaitu melesakkan maskernya ke dalam kantong.

Demikian juga Jo. Saat memperhatikan Jano, barulah Jo menyadari kalau ada bekas luka jahit di pelipis kiri Jano, di dekat alis, agak panjang jadi terlihat. Dulu luka itu tidak ada. Apa yang terjadi padanya?

Haish. Masa bodoh. Fokus pada pertarungan.

Keduanya kembali mengambil ancang-ancang. Mirip seperti awal tadi.

“Sepertinya kamu terdesak oleh tendangan beruntunku.” Jo tersenyum sinis, ia menggoyang-goyangkan kaki dengan penuh percaya diri. Pertanda bahwa dia sanggup menyelesaikan lawan dengan cepat. “Yakin masih mau melanjutkan? Bahkan Kak Jihan lebih kuat dalam pertarungan tangan kosong daripada kamu.”

Jano membalas dengan senyuman yang membuat Johan kesal. “Tendanganmu memang kuat, tapi tidak sekuat yang aku bayangkan. Sebentar lagi aku tunjukkan jurus yang aku ciptakan sendiri, tidak kudapatkan dari Bapak, tidak dari keempat Om, tidak dari anggota-anggota Aliansi, tidak dari siapapun. Itulah kemampuanku yang sudah pasti tidak kamu miliki - aku bisa menciptakan jurusku sendiri. Bersiaplah menghadapi Dahagi Delapan Serigala.”

Jano menyentakkan kakinya ke bawah dan melesat ke depan dengan kecepatan tinggi. Hentakan kakinya sekaligus menjadi pelontar. Kepala berada di depan, mata menatap tajam ke sasaran, kedua tangan ditarik ke belakang. Bak peluru yang terbang dengan kecepatan tinggi ia melesat memburu sang lawan. Johan-Lobo memang punya banyak pengalaman bertarung dengan orang-orang yang ia pahami jurusnya, tapi ia tidak pernah berhadapan dengan orang yang jurusnya sama sekali tidak ia ketahui.

Cih.” Jo menatap sengit pada sang lawan. Ia memutar tubuh, kembali pada kuda-kuda pertahanan, dan mempersiapkan diri. Ia menyalakan Ki untuk pertahanan. Mau pakai jurus apapun dia yakin sang lawan tidak akan sanggup menembus pertahanannya.

Jano merasakan ada kekuatan yang menyala di tubuh lawan. Sang serigala mengenali aura pertahanan yang dikeluarkan oleh pemuda di hadapannya, Johan-Lobo punya pertahanan yang itu sepertinya. Ini jadi menarik karena Janoko sama sekali belum mengaktifkan tenaga dalamnya sendiri. Dia ingin melihat apakah Dahagi Delapan Serigala-nya sanggup mengatasi pertahanan nomor satu di jagad persilatan.

“Kamu pikir Perisai Genta Emas bisa menghalangiku?” ujar Jano. “Angkara gung ing angga anggung gumulung!

Tinju sang serigala melesat ke depan. Pertama tangan kiri, lalu tangan kanan. Bergantian berdentum menumbuk lengan Johan-Lobo.

Jbkkkgh! Jbkkkgh!

Tumbukan kedua pukulan Jano dan pertahanan kelas wahid dari Johan-Lobo membuat satu hempasan tenaga besar di taman. Pertahanan prima Jo tidak memudahkan bagi Jano untuk membuka gerendelnya. Tumbukan kekuatan jadi buktinya. Keduanya terbang ke belakang bagaikan terdorong oleh satu kekuatan besar hasil dari pertahanan Johan-Lobo.

Tak mau berhenti begitu saja, usai terhempas, Jano menghentakkan kakinya ke tanah sekali lagi, melesatkan tubuhnya ke depan. Johan-Lobo tidak kalah, setelah menapakkan kakinya ke tanah, ia memutar tubuhnya, bagaikan spiral. Kedua kakinya membentuk badai serangan ke arah Jano.

Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh!

Pukulan Jano bertemu dengan tendangan kaki Johan-Lobo. Tidak ada yang mau mengalah. Setiap tendangan disambut dengan pukulan, dari kiri maupun kanan, dari atas maupun bawah, dari depan maupun belakang, semua saling serang saling hantam saling tahan.

Pertarungan tangan kosong tanpa Ki ternyata membuat Jo kewalahan. Seandainya ia tak dilindungi oleh jurus pertahanan nomor satu, dia pasti akan terkapar dihajar serangan Dahagi Delapan Serigala milik Jano yang sangat ganas dan mengerikan. Jo tak menyangka Jano sanggup menyerang dari segala arah dengan kecepatan tinggi, seolah-olah ada delapan sosok penyerang sekaligus yang mengitari dan menyerbunya secara bersamaan – dan untungnya itu serangan tanpa Ki. Bagaimana jika kemudian ia menggunakan gerbang kekuatan?

Jano memang benar-benar berbakat.

Seperti mampu membaca pikiran Johan-Lono, kini Jano menghempaskan Dahagi Delapan Serigala dengan ditopang oleh Kidung Sandhyakala. Bahaya serbuan pemuda itu jadi jauh lebih berbahaya.

Jboooom! Jbooom! Jbooooom!

Johan-Lobo terpental ke belakang, untunglah sejauh ini Perisai Genta Emas masih melindunginya dari semua serangan Jano sehingga seseram apapun serangan sang serigala, Johan masih sanggup bertahan. Tapi sialan memang, Jano bisa menciptakan sesuatu yang menyeramkan seperti itu. Saatnya melakukan serangan balasan yang lebih lengkap untuk menyudahi pertarungan ini.

Johan-Lobo melaju kencang dengan satu rapalan, “Kawulo namung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo.”

Swsssh.

Tiba-tiba saja Johan-Lobo menghilang dari pandangan. Sudah sewajarnya karena dia menggunakan gerbang kecepatan. Tapi Jano tahu apa yang harus dia lakukan jika itu terjadi dan bersiap mengantisipasinya. Dia justru kemudian diam, fokus, dan memejamkan mata. Biarkan tubuh yang mengambil alih dan berbaur dengan alam. Memahami lawan, memahami diri sendiri, memahami lingkungan, mengatasi semua persoalan. Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan diri, dia bisa mengikuti kemampuan lawan.

Weruh rosing roso kang rinuruh,” bisik Jano kepada diri sendiri.

Saat dia membuka mata, dunia jadi terasa berbeda. Seakan-akan ia melihat ke lingkungan sekitar dalam mode night vision. Warna menjadi aura, aura menjadi warna. Tenaga menjadi cahaya, cahaya menjadi tenaga. Entah kenapa gerbang pertama seakan redam ketika berhadapan dengan sesama pengguna Kidung kecuali jika tenaga mentah digunakan. Itu sebabnya ia harus menggunakan gerbang kedelapan.

Ada semburat tenaga muncul dari kanan atas.

Jano membuka gerbang pertahanan, “Kalis ing rubeda, nir ing sambikala.”

Jblmmm!!

Serangan Johan gagal menemui sasaran. Pertahanan Kidung membuatnya terpental. Seakan ada selimut tebal yang melindungi sang serigala. Johan-Lobo terguling beberapa kali di taman, membuat pakaiannya kotor terkena tanah. Kesal serangannya gagal, pemuda itupun melompat untuk bangkit. Tangannya terkepal di dada, bersiap untuk kembali merancang kuda-kuda.

Dia tidak memperkirakan kecepatan sang serigala.

Heads up.”

Johan terbelalak. Lagi-lagi ia melihat delapan sosok Jano menyebar dan menyerangnya dari delapan penjuru. Apa-apaan sih jurus ini? Tidak mungkin ia bisa melawan sekarang, untuk saat ini dia hanya bisa bertahan. Johan-Lobo berharap banyak pada Perisai Genta Emas-nya.

Tapi belum sempat ia membuka Ki untuk memanfaatkan jurus pertahanannya itu, serangan Jano menyeruak masuk mendarat di delapan titik tubuhnya, dua kali lipat. Enam belas pukulan masuk secara beruntun.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Johan-Lobo tersengal-sengal dan mundur ke belakang berulang kali. Wajah, dada, rusuk, punggung, bahu, semua terkena serangan yang seakan tidak ada usainya. Ingin dia merapal jurus pertahanan Kidung Sandhyakala yang bisa diaktifkan jauh lebih cepat dibandingkan Perisai Genta Emas, tapi dia masih belum menguasainya. Saat ini dia hanya bisa pasrah menghadapi gempuran dari Dahagi Delapan Serigala.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Bibirnya pecah. Darahnya muncrat. Semua pukulan Jano masuk tanpa terhalangi.

Masa hanya begini saja, Jo? Hanya seperti ini saja kemampuanmu? Selama ini kamu berhasil menjaga kota. Masa iya semuanya buyar saat berhadapan dengan lawan yang paling ingin dihadapi? Ayo berpikir. Bagaimana caranya mengatasi serangan lawan dengan apa yang kamu punya?

Membagi diri menjadi delapan, delapan arah, delapan penjuru. Jano mampu menyerang lawan tanpa jeda dari delapan posisi sekaligus. Bagaimana dia bisa melakukannya? Tidak mungkin kan dia benar-benar memecah diri menjadi delapan sosok yang berbeda. Jawabannya hanya satu. Kecepatan yang sangat hebat. Kalau Johan sanggup mengatasi kecepatan Jano, dia bisa mengatasi serangan sang serigala. Kalau tidak bisa mengatasinya, dia tamat.

Johan-Lobo terlontar ke belakang, dia jatuh terguling berulang dengan wajah sembab, bibir pecah, dan badan remuk redam. Jano benar-benar tidak menahan pukulannya. Dia menyerang dengan sekuat tenaga. Tapi bukan Johan kalau menyerah begitu saja.

“Seranganmu kuat, jurusmu hebat. Tapi namaku bukan Johan-Lobo Abimanyu kalau aku tidak bisa menemukan cara untuk mengantisipasinya.”

Tangan Jo menjejak ke tanah, menerbangkan tubuhnya ke udara dengan sekali sentakan. Ia lantas memutar tubuhnya dengan segenap kekuatan, serangan pertama, serangan kedua, serangan ketiga. Tiga tendangan beruntun dilontarkan sembari tubuh diputar dengan kecepatan tinggi. Tidak akan bisa dihindari. Kaki kanan, kaki kiri, kaki kanan.

Jbkgh! Jbkgh! Jbkgh!

Tentu saja Jano sudah bersiap dengan pertahanan. Lengannya disilangkan. Tapi justru itu yang dicari-cari oleh Jo, gerbang pertahanan Kidung Sandhyakala itu cepat dirapal, cepat dibuka, tapi butuh resource yang besar saat digunakan. Ajaib kalau Jano bisa menggunakan gerbang pertahanan dan merapal jurus lain pada saat yang bersamaan.

Saat Jo turun ke tanah, Jano bersiap maju untuk menyerang. Johan-Lobo menggerakkan tangannya ke depan. “Lir handaya paseban jati.”

Jblaaaaaaaaam!

Tubuh Jano terhempas hentakan tenaga dalam dari jarak dekat. Ia terlontar ke belakang dengan teramat kuat. Tubuhnya tersentak dan terhampar tembok beton taman di belakang. Ia tersentak, tubuhnya terjerembab ke depan.

“Hraaaaaaaaaaaaa!!”

Jano terbelalak. Johan tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Kaki sang lawan sudah terangkat tinggi dan tanpa menunggu lama langsung meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.

Jbuuuuuaaaaakkkgh!

Tumit kaki Johan sebenarnya mengincar kepala Jano, tapi karena sempat menghindar, Johan hanya dapat mengenai pundak Jano yang lantas berteriak kesakitan.

Tapi Janoko juga nekat. Sembari menahan sakit dan dengan tumit Johan berada di bahunya, Jano bergerak dengan sangat cepat untuk mengunci kaki itu. Ia menggunakan tenaga mentah untuk mendorong kaki Johan ke depan, menjerembabkan Johan ke belakang.

Johan meronta.

Jano melawan.

Mereka berdua saling mengunci dan bergulingan sembari saling bertukar pukulan. Wajah masing-masing jadi sasaran. Tidak ada Ki digunakan, tidak ada lontaran tenaga, tidak ada pertahanan ekstra, hanya adu kepalan.

Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh! Jbkkkgh!

Keduanya memuntahkan darah.

Keduanya melepas kuncian.

Keduanya meloncat mundur bersama untuk saling menghindari serangan lawan selanjutnya.

Johan-Lobo terseret mundur oleh loncatannya, ia menggunakan tangan untuk mencengkeram tanah sekaligus memasang kuda-kuda dengan tubuh merunduk. Jano melakukan salto seadanya, berusaha agar tidak jatuh dan bisa berdiri dengan sempurna.

Terengah-engah bersama-sama. Saling menatap, saling memaksakan diri. Satu lagi. masih bisa satu lagi. Tanpa tenaga dalam, tanpa apapun. Masih bisa satu lagi.

Johan berlari, Jano juga kencang memacu diri.

Jboookkkgh! Jbooooookkkgh!

Hantaman Jano masuk ke rahang Johan, tendangan Johan masuk ke rusuk Jano. Keduanya terlontar ke belakang. Terguling di tanah, dan terhentak berulang oleh kencangnya pukulan. Johan mencoba bangkit dengan kepala berputar karena pening, Jano berusaha berdiri dengan rusuk kesakitan. Keduanya tak lagi berlari. Mereka kini berjalan saling mendekat. Masing-masing saling menatap meski pandangan mulai kabur.

Kepalan sudah disiapkan, tapi mau mengangkat lengan pun sudah payah.

Akhirnya mereka berdua jatuh terduduk.

Sudah.

Selesai sudah.

Tenaga mereka sudah mencapai puncaknya.

Tidak akan ada yang menang dan tidak akan ada yang diuntungkan. Pada akhirnya memang mereka tidak ingin saling mengalahkan. Mereka hanya ingin membuktikan. Hasil akhir dan kenyataannya memang seperti ini.

Keduanya megap-megap mencoba menggapai udara dan duduk dengan saling membelakangi, punggung bertemu punggung, saling menjadi sandaran satu sama lain. Keduanya saling mengakui kemampuan masing-masing meski tak ada satu kata pun terucap. Napas satu dua jadi musik yang saling bergantian terdengar di malam yang sepi, mungkin hanya jadi pengiring di saat malam telah usai menunaikan tugas, digantikan oleh hari baru yang kemudian hadir.

“Akhirnya... aku bisa... jauh... lebih baik...” Jo terengah-engah.

“Enak... saja... kamu belum mengalahkan... aku...” Jano membalas. “Harus... berlatih... lagi...”

“Tunggu... sebentar... lagi...” Jo mencoba mengatur napas. “Kalau... kalau... aku sudah selesai... mengembalikan... tenagaku...”

“Jangan... mimpi... aku juga... bisa...”

Seorang gadis yang tadinya berlari kencang akhirnya sampai juga di tempat kedua pemuda itu sekarang berada. Wajah khawatir yang tadinya bersemu di wajahnya akhirnya berubah cerah setelah melihat kedua pemuda di hadapannya ternyata baik-baik saja. Mereka berdua hanya sedang beristirahat memulihkan tenaga.

“Sumpah... kalian... berdua... bikin aku... jantungan...” kata gadis itu.

“Kak, aku...”

“DIAM!”

“Jihan, aku...”

“KAMU JUGA DIAM!”

Jihan-Lisa mendekati mereka berdua, gadis itu lantas fokus, memejamkan mata, menyalakan Ki, dan menyalurkan tenaga pada Johan dan Jano. Sedikit demi sedikit tenaga kedua pemuda itu kembali, meski tidak sampai benar-benar penuh.

Jihan berdiri dan berjalan mundur ke belakang untuk bersandar di batang sebuah pohon. Ia mengatur napas dan mencoba memadamkan kekuatannya kembali. Dia juga butuh beristirahat setelah menyalurkan tenaga pada mereka.

Jo berdiri dan menghampiri gadis itu dengan khawatir. “Kakak! Kakak tidak apa-apa?”

Gadis itu bukannya senang dihampiri sang saudara kembar tapi malah menoyor kepala Jo. “Kamu itu ya! Emang ga bisa dibilangin! Tahu ga sih kalau Mama khawatir setengah mati mikirin kamu?! Sudah dibilangin ga usah kemana-mana, malah kabur! Mama sampai sakit mikirin kamu! Eh dasar bocah, malah tetap aja nekat! Bukannya nyantai di rumah, malah ke sini bikin masalah sama dia!!”

“Ta-tapi kami berdua sudah janji kalau akan menyelesaikan masalah...”

“Masalah apa!? Tidak ada masalah di antara kita! Dia bukan musuh kita! Dia saudara tirimu! Kita sedarah hanya beda ibu! Dasar bocah gemblung! Berulangkali dibilangin kok! Kamu pikir almarhum Papa bakal senang lihat anak-anaknya berantem kayak bocah seperti ini? Yang benar saja! Lihat itu wajahmu! Luka di mana-mana, duuuh, gimana nanti kalau Mama lihat kamu luka-luka seperti ini...”

“Tapi... aku tidak apa-apa! Sungguh aku tidak apa-apa... aku hanya...”

“Tapi apa!? Apa lagi alasan kamu jadi bengal begini!? Ayo kita pulang! Mama sudah nungguin!”

“Kak Jihan, aku tahu Mama khawatir, tapi aku ke sini bukan untuk... maksudku... aku datang ke sini bukan karena aku bermasalah dengannya. Kita memang pernah dia tinggal dulu, tapi sebenarnya itu bukan alasanku memendam dendam. Ya, aku masih marah karena dia pergi meninggalkan kita berdua, tapi aku sangat senang saat melihat dia kembali. Sungguh aku senang. Aku bertarung dengan dia hari ini... karena...”

Jihan terdiam, ia menatap sang adik yang menunduk dan terlihat muram. Dia memberikan kesempatan pada Johan untuk berbicara. Suara gadis itu kemudian sedikit melunak. “Kenapa? Kenapa kamu tetap datang ke sini? Karena apa?”

“Karena aku rindu sama Papa, Kak! Aku kangen banget sama Papa!!” Johan menunjuk ke arah Jano, “Dia... dalam segala hal mengingatkan aku sama Papa.”

Lantang suara Johan terdengar.

Jihan langsung lemas mendengarnya.

Jano juga menunduk mendengar kalimat yang diucapkan oleh Johan. Ia tahu sekali apa yang dirasakan oleh saudara tirinya itu. Mungkin ia selalu ingin pulang ke kota ini dan berhasrat untuk bertanding dengan Johan, juga karena hal yang sama. Wajah, tingkah laku, kemampuan, cara bicara, semua dari Johan mengingatkan Jano pada sosok Bapak yang ia rindukan. Bapak yang hanya hadir tak lama untuknya – tapi telah memberikan segalanya.

Jano berdiri dan menatap kedua kakak beradik yang merupakan saudara tirinya dari kejauhan.

Jihan mendekat ke sang adik dan memeluknya penuh rasa sayang. “Aku juga... aku juga kangen sama Papa, Jo. Tapi bukan seperti ini caranya. Tidak dengan bertarung dengannya. Mama khawatir dia akan...”

“Tidak.”

Jihan dan Johan menengok ke arah Jano yang sudah berkacak pinggang dan tersenyum, ada bekas lebam di pinggir bibirnya yang membuat senyumnya terlihat aneh.

“Bro... aku...” Johan mencoba menetralkan suasana. Dia takut kalau-kalau Jano punya persepsi lain.

Tapi Jano menggeleng dan mengangkat tangannya. Janoko menatap Jihan. “Tidak, tidak... maksudku aku juga tidak ada masalah denganmu atau dengan keluarga kalian.”

Jihan mengangguk.

Janoko menatap gadis itu. “Aku hanya... aku juga sama saja seperti dia, seperti Johan. Aku juga rindu sama Bapak. Aku tidak sempat mengenalnya lama seperti kalian, tidak sempat tinggal bersamanya, tidak sempat merasakan kasih sayangnya. Aku hanya bertemu dia untuk beberapa tahun saja, dan selama beberapa tahun itu aku bertemu hanya untuk beberapa bulan saja. Dan selama beberapa hari dalam satu bulan, itu pun untuk beberapa jam saja. Aku paham apa yang kamu rasakan, aku masih merasa ini semua tidak adil, karena tidak bisa sesering kalian bertemu Bapak. Tapi aku paham...”

Jihan menarik napas panjang. Ia menggandeng Johan untuk mendekat ke arah Jano. Jihan berkaca-kaca menatap Jano, “Kami tidak pernah menganggapmu sebagai orang jauh, Jano. Aku juga tahu bagaimana rasanya rindu sama Papa... tapi aku juga rindu sama kamu. Kamu dulu selalu hadir dan melindungi kami saat kami masih kecil. Saat kami masih belum kuat, saat kami di-bully – kamulah yang selalu membela kami. Tapi setelah peristiwa itu... setelah itu kamu pergi dan lenyap begitu saja... kami kemudian harus menjadi kuat sendiri, harus menghadapi lagi tukang bully. Jo sering kena hajar dan berharap dengan begitu kamu tiba-tiba akan muncul dan menyelamatkannya, tapi kamu tidak pernah kembali. Itu sebabnya dia kemudian berubah menjadi seperti ini.

“Lalu aku. Aku selalu kangen sama kamu, aku selalu kangen sama Kak Aira, sama Jano, sama semuanya. Kita seharusnya bisa lebih baik dari ini... bisa lebih akrab dari ini... seperti apa yang pernah Papa bilang dan inginkan. Jano... tetaplah tinggal bersama di kota ini, kota yang selalu dijaga Papa bahkan sampai akhir hayatnya.”

Jano tersenyum dan menggeleng, “Aku mau saja, tapi tidak bisa... ada seseorang yang menungguku di Kota Seribu Sungai dan aku harus pulang kesana karena cewekku sudah...”

“Cewek?” Jihan tersenyum dan memahami situasinya. Dia tidak akan bisa memaksa Jano untuk tetap tinggal. Tapi dia maklum Jano telah menjalani kehidupan yang berbeda.

Jano mengangguk.

“Sudah dilamar?”

Jano tersipu dan kembali mengangguk.

“Hahaaha! Tuh kan tebakanku bener! Jano! Itu kan kabar gembira! Gimana kalau kita habiskan sisa malam ini untuk makan malam bersama supaya kamu dapat menceritakan siapa cewek itu pada kami? Aku dan Johan pasti akan senang mendengar cerita tentang calon saudara ipar kami... kalau tidak mau, kami akan ikut menyusulmu ke Kota Seribu Sungai!

Jano langsung mundur.

Jihan dan Johan tertawa. Jihan mengulurkan tangannya, mengajak Jano.

Jano tertawa kecil. Ia tidak menerima tangan Jihan dan Johan. Ia merangkul mereka.

Ketiganya berjalan beriringan menuju jalan raya, meninggalkan taman gelap yang jadi saksi luruhnya seluruh ego dan perasaan tak nyaman di antara mereka.

Jano melirik ke arah Jihan, “Ngajakin makan. Emangnya kamu sudah bisa masak sekarang?”

Jihan tertawa. “Iya dong. Aku sudah bisa masak...”

Johan mendengus, “Apaan masak. Dadar telur aja gosong.”

“Kamu baru saja dicoret dari KK.” Jihan menjulurkan lidah.

Jano tertawa.

Jihan menatap sang saudara tiri dengan tatapan bahagia. “Mama pasti senang kamu datang. Beliau sudah menunggu kamu datang bertahun-tahun lamanya. Ini namanya kembalinya si anak hilang! Hahaha. Malam ini bakal jadi malam yang ramai di rumah. Papa pasti bahagia melihat kita semua berkumpul.”

“Akhirnya bisa makan lengkap lagi berempat ya, minus Bapak dan Kak Aira yang tentunya lagi di luar negeri,” ujar Jano.

Jihan dan Johan saling berpandangan, lalu tertawa.

Jano mengerutkan kening. “Kok ketawa?”

Jihan menepuk pundak sang kakak, “Jano pikir saudara tirinya cuma kami berdua sama Kak Aira?”

“Lho?” Jano terkejut. “Bener kan kita cuma berempat saja?”

“Siap-siap terkejut nanti di rumah.” Johan ikut menyambung dan mengedipkan mata.

“Hah?”

Jo mengangguk, “Papa kan playboy banget di masanya. Nyebar benih kemana-mana.”

“Hush!” Jihan menghardik adik kembarnya dan menatap langit, “Pa. Nanti malam tolong hantuin mimpi si Jo, pakai wujud semenyeramkan yang Papa bisa, ya.”

Johan tertawa.

Malam itu, beberapa saudara tiri berkumpul bersama setelah sekian tahun terpisah. Saling menceritakan kehidupan di saat-saat mereka tak berjumpa, menceritakan kisah tentang sang ayah yang ceritanya masih belum usai. Menceritakan kenapa mereka pergi, kenapa mereka kembali.

Yang jelas, sudah ada cerita tentang ayah mereka, sudah ada cerita tentang leluhur mereka. Mungkin kelak akan ada sebuah kisah tentang mereka, kisah para serigala. Tentang kemenangan, tentang tragedi di pulau seberang, tentang kembalinya sang pewaris, dan tentang perang besar yang berikutnya.

Tapi itu hanya mungkin.

Mungkin.





GAROU – RETURN OF THE PRODIGAL SON.
SELESAI.



 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd